It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Part One: Kematian
Malam ini langit tiada berbintang. Sepi… sepi sekali. Pernahkah kalian merasakannya? Suatu malam yang penuh perenungan, malam yang terkadang dipenuhi penyesalan, sekaligus malam yang dipenuhi harapan. Malam itu, aku menunggu. Satu waktu, dua detik, tiga menit, empat jam. Dia belum pulang juga. Sambil gusar, aku melihat jam di dinding kamarku yang sempit yang bergerak lambat sekali. Jam satu tepat.
Sayup kudengar bunyi pagar terbuka aku langsung melompat cepat, segera menuju ke pintu depan. Aku melihat wajahnya menuruni motor dan menutup pagar. Aku ingin menghujaninya dengan jutaan pertanyaan, ungkapan kekuatiranku padanya. Aku terdiam dan bibirku terkunci ketika aku melihat raut lelah di wajahnya. Tidak, bukan hanya lelah, tapi raut sedih yang dipendam.
“Bagaimana?” kataku pelan. Ia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil meremas pundakku, seakan ingin meneguhkanku. Padahal aku tahu, ia yang butuh keteguhan itu.
“Ayahku sudah tidak ada,” katanya singkat. Dingin. Aku tercekat, tidak tahu harus berkata apa.
“Besok, aku akan mengurus pemakamannya,” jawabnya lagi tetap dengan senyum tipis yang ingin menunjukkan, semua baik-baik saja.
Aku tahu dia dekat dengan ayahnya. Ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya yang menjadi figur teladan di rumahnya. Apakah berat kehilangan seorang ayah?
“Apa yang bisa kubantu?” tanyaku. Ia meraih tanganku dan meletakkan di dadanya, “Kamu di sini saja sudah sangat membantuku.”
Aku melihat wajahnya tersenyum lagi seperti tidak ada kepahitan melanda hatinya. Senyumnya yang sudah delapan tahun ini dibaginya kepadaku.
“Ibumu?” tanyaku lagi, ingin tahu.
“Ibuku masih di rumah sakit bersama adik-adikku. Mereka jaga di sana malam ini,” ia melepas jaketnya dan meletakkannya di atas kursi ruang makan.
“Maaf…,” aku tercekat kembali, tidak memahami apa yang ia rasakan, apa yang telah ia lalui malam ini.
“Kenapa meminta maaf?”
“Maaf karena aku bukan siapa-siapamu, paling tidak di mata keluargamu. Aku tidak dapat berguna apapun,” aku meraih celana panjang dan kaos yang dilepaskannya di lantai.
“Hey, jangan bicara seperti itu,” ia memelukku dan menenangkanku. Konyol sekali, di saat dirinya membutuhkan kekuatan, ia malah menguatkan diriku.
“Ayo, mandi dulu sebelum istirahat. Aku siapkan air panas ya?” tanyaku. Ia tidak menjawab. Ia terus memelukku, semakin lama semakin erat. Kepalanya berat menekan pundakku dan tanpa kutahu, tiba-tiba pundakku basah. Basah oleh air mata. Belum pernah selama delapan tahun ini aku melihatanya menangis. Kesedihan yang coba ia tutupi dari tadi, kali ini tidak mampu ia bendung.
“Aldo,” aku mengelus pundaknya sambil memanggil namanya. Dia hanya mengisak. Aku tidak ingin menghujaninya dengan nasihat picisan untuk tabah, menerima kenyataan, atau kalimat-kalimat sampah lainnya. Aku tidak berhak. Aku tidak tahu sedikitpun apa yang ia rasakan.
“Aku…,” ia berusaha menyusun kalimat di tengah bibirnya yang bergetar. Namun, ia tidak mampu menyelesaikannya karena tangis sudah menyesakkan dirinya.
Malam ini memang tidak berbintang. Mendung menyelimuti luas langit malam. Kelam, gelap, pekat, sedih, syahdu, sakit, perih, pedih…. Kira-kira kata-kata itu yang dilukiskan di lembaran mendung malam. Dilukiskan di dalam rumah kami. Diguratkan di hati kami masing-masing.
Inilah kisah kehidupan kami berdua. Laki-laki dan laki-laki. Bertemu. Cinta. Hasrat. Dan tentunya kesedihan. Bagian dari hidup kami. Izinkan aku untuk membaginya…. Hitam dan putih perjalanan hidup kami.
Aku ke dapur menyiapkan air mandi untuk Aldo, kekasihku yang tersayang. Aku kemudian kembali ke kamar untuk memanggilnya. Namun, kudapati ia telah terlanjur tertidur dalam kelelahan.
“Aldo…,” aku mencoba memanggilnya pelan tetapi ia tetap terlelap. Aku membelai rambutnya dan membisikkan sesuatu ke telinganya, “aku sayang kamu, Aldo.”
Hatiku
Hatimu
Milikku
Milikmu
Kesedihanmu, bagikan padaku…..
Bersambung………..
Pagi ini, aku bangun lebih awal. Aku menyiapkan makan pagi untuknya walau hanya makanan sisa kemarin yang dihangatkan. Aku juga sudah menyiapkan beberapa kemeja warna hitam untuk dipilihnya nanti.
“Kau sudah siap?” tanyaku sambil melihat Aldo mengenakan sepatunya. Ia mengangguk sambil tersenyum kepadaku.
“Apa proses pemakamannya sudah siap?” tanyaku sambil menyerahkan jaket dan helm.
“Ayahku… ia sudah menyiapkan segala sesuatunya. Seakan-akan, ia tahu waktunya sudah dekat. Ia bahkan telah menyiapkan tanah makamnya sendiri, di pemakaman dekat rumah. Kemarin semua sudah beres, hanya memang waktunya terlalu malam untuk dimakamkan,” ia meraih jaket dan memakainya.
“Aku…,” ujarku namun tak kuasa meneruskan.
“Kamu ingin ikut?” tanyanya sambil mencoba memandang tepat ke mataku. Aku mencoba menghindar dan memberinya anggukan kecil.
“Situasi serba sulit saat ini. Aku takut dengan respon keluargaku ketika melihat kita berdua. Sungguh, aku ingin sekali kamu menemaniku di saat-saat seperti ini, tapi…,” ia berusaha memberikan penjelasan. Aku tahu kehadiranku hanyalah beban. Kehadiranku menambah masalah ke pundak Aldo dan tentu ke keluarganya. Kehadiranku adalah aib. Aib.
“Aku tahu, aku egois jika aku menampakkan diri. Tapi berjanjilah padaku, katakanlah apapun yang dapat kulakukan untukmu,” aku menggenggam tangannya.
“Di agamamu, mereka percaya tentang surga dan doa-doa bagi orang yang telah meninggal, bukan?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Doakanlah ayahku. Doakan ia dapat masuk ke surga.”
“Tanpa perlu kau minta, Al,” aku tersenyum mendengarkan permintaannya.
“Aku harus berangkat. Kasihan kalau sampai ibu dan adik menungguku.”
Aku menciumnya di kening dan memeluknya erat-erat. Ingin aku mengatakan, hati-hati di jalan, segeralah pulang, aku akan menunggumu, tabah dan kuatkan hatimu, tapi lidahku kelu. Rasanya aku kehilangan dirinya hari ini. Ia milik keluarganya hari ini, bukan milikku.
“Jaga diri ya,” pesannya kepadaku sambil menyalakan motor dan menghilang perlahan dari pandanganku.
Hatiku gusar, diserang kekosongan ketika ia pergi. Pergi dalam kesedihan dan suasana duka. Walau tak sedikitpun ia menampakkan kesedihannya padaku pagi ini. Aku putuskan untuk menyusulnya. Aku tidak sanggup didera kegalauan sepert ini.
Aku sampai pemakaman yang paling dekat dengan rumah ayah Aldo. Kulihat keramaian di pemakaman tersebut. Aku menduga di sanalah tempat pemakaman ayah Aldo berlangsung. Banyak orang mengenakan kerudung hitam atau baju hitam mengerumuni tempat pemakaman tersebut. Aku berjalan mengendap-endap dari jauh dan menjaga diriku supaya tidak terlalu dekat. Aku melihat Aldo dari jauh di antara kerumunan orang-orang. Aku melihatnya merangkul adik bungsunya yang menangis tersedu-sedu. Sementara dua adiknya yang lain lagi ditemani oleh pacar-pacarnya. Suara ayat-ayat Quran surah Yaasin berkumandang dari bibir orang-orang yang hadir di sana, berdoa dan menambah sayatan di hati pendengarnya.
Aku mencari-cari di mana ibu Aldo tapi yang kulihat perempuan setengah baya yang terkulai lemas di tengah ibu-ibu yang berupaya menenangkan dirinya. Itu ibu Aldo yang tak kuasa membendung rasa sedih ditinggalkan suami. Tak mampu menghadapi pemandangan jenazah yang diturunkan ke dalam makam dan ditimbun oleh tanah, perlahan-lahan. Bayangkan, orang yang kau cintai terbujur kaku dalam balutan kafan putih. Tak berdaya dihujani tanah yang disesalkan ke atasnya. Orang yang kau cintai masih kental dalam ingatanmu, tapi tubuhnya perlahan menghilang ditutupi oleh tanah. Tanah yang hina, bau, dan kotor.
Aldo berdiri tegap, tidak menangis, tidak sedih, ia hanya diam. Ia tegar. Setidaknya itu yang terlihat. Aku tertegun entah beberapa lama kemudian aku teringat bahwa tempat pemakaman ini bukanlah tempatku. Sungguh menyakitkan bagiku ketika melihat adik-adik Aldo bisa ditemani oleh orang terkasih di saat sulit seperti ini. Adik-adik Aldo memiliki tempat berbagi kesedihan. Pacar-pacar mereka ada di sana, membuktikan kesetiaan mereka, menemani di saat-saat tersedih dalam hidup.
Sementara di mana diriku? Mengintip dari balik pohon di kejauhan. Seperti pencuri, seperti pemeran antagonis dalam sinetron-sinetron yang menari-nari karena lawannya telah meninggal dunia.
Aku adalah aib bagi mereka.
Sampai malam, Aldo belum pulang. Aku menunggu lagi, sama seperti kemarin. Makanan yang kusiapkan telah dingin. SMS yang kukirimkan tidak dibalas selain pesan singkat yang dikirimkannya lima jam yang lalu, “Sabar ya. Masih ada urusan.”
Waktu sudah jam sebelas malam lewat. Akhirnya, Aldo kembali juga. Tak terbayang betapa lega hatiku karena ia kembali. Walau ia datang dengan wajah kusut dan lelah yang ditumpuk-tumpuk.
“Capek, Al?” tanyaku pelan. Ia tidak menjawab namun ia menyeretku ke sofa di ruang tamu dan membanting tubuhku ke atas sofa itu.
“Boleh aku tidur di pangkuanmu?” tanyanya tanpa menunggu jawabanku. Ia meletakkan kepalanya di atas pahaku dan memejamkan matanya. Aku membelai rambutnya dan mengagumi betapa tampan kekasihku ini. Tidur yang nyenyak, sayang….bisikku.
Detik-detik berganti
Kisah hidup terlalui
Lambat namun pasti
Malam ini terus kembali
Kesedihan belum mati
Yang ada hanya tidur lagi
Bersambung
Tapi kok yg baca pada males komen ya? Kan sayang kalo yg nulis juga ikut males lanjutin ni cerita
Boy meets boy
And look in his eyes
Time stands still and two heart catch fire
Once upon a time, begitulah suatu dongeng dimulai dan kelak akan diakhiri dengan kebahagiaan sang putri bersatu bersama pangeran berkuda putih. Pada zaman dahulu kala, suatu cerita akan dimulai dan demikianlah ceritaku dengan Aldo dimulai
Tepatnya ketika aku masih duduk di kelas III SMP. Aku tidak akan menceritakan sejak kapan aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku. Tidak ada yang berbeda, aku sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Aku sama dengan siapapun yang ada di kelas. Mereka jatuh cinta, mereka berpacaran, demikian pula diriku. Aku jatuh cinta….
Ketika itu, waktu pukul dua siang. Matahari bersinar terik. Aku baru saja melangkahkan kakiku keluar dari pagar sekolah bersama-sama Ruben, Tomas, dan Agung. Ketiganya teman akrabku di kelas.
“Panas sekali. Aku mau beli jus dulu,” jawab Ruben yang badannya paling besar di antara kami.
Kami juga kepanasan sehingga tentunya tidak menolak ajakan Ruben.
Sekolah kami sekolah swasta sederhana, tidak dibekali dengan ruang kelas berAC atau memiliki komputer super canggih bagi siswanya. Ayahku yang bekerja sebagai dosen fakultas teknik tidak cukup kaya untuk memasukkanku ke sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas. Namun, aku tidak pernah menyesal bersekolah di sana karena sekolah itu tetap punya banyak prestasi yang membanggakan. Juara basket liga daerah enam tahun berturut-turut. Juara debat dan karya tulis ilmiah juga sering digondol sekolahku. Apalagi sekolahku ini juga sangat identik dengan mie ayam yang berjualan di sebelah sekolahku. Pembelinya tidak hanya siswa-siswa dari sekolahku, tapi juga dari siswa-siswa sekolahan lain, pegawai kantoran, hingga ibu-ibu arisan.
Selayaknya anak SMP, kami sangat menyukai istilah “persahabatan.” Sama seperti aku bersahabat dengan Ruben, Tomas, dan Agung.
Masing-masing memiliki kekunikan tersendiri tapi ada pula persamaan yang menyatukan kami. Tomas adalah yang terpandai di antara kami. Dialah juara kelas yang selalu memaksa kami untuk giat belajar, mengerjakan PR, dan lain sebagainya. Dia pula yang mempertahankan tradisi juara karya tulis ilmiah di sekolah kami. Aku rasa, Tomas yang menjadi lem di antara kami berempat karena tanpa dirinya, kami yakin kami akan menemui banyak kesulitan menghadapi mata pelajaran yang semakin lama semakin berat. Apalagi dua minggu ini, Ebtanas (namanya ketika itu) akan dimulai.
Tomas juga membutuhkan kami, apalagi Agung, sang pujaan sekolah. Ya, Agung adalah yang paling tampan di antara kami atau semua makhluk laki-laki yang ada di seantero sekolah. Vivi, Susi, Susan, Susi yang lain lagi, Becky, Lusi, Susi (yang lainnya lagi), dan Helen adalah contoh nama-nama perempuan yang pernah dipatahkan hatinya oleh Agung. Harap maklum, karena dialah kapten tim futsal sekolah. Dia pula yang pertama kali mengantarkan tim sekolah ini menoreh juara futsal di kompetisi lokal. Tomas yang kuper membutuhkan nasihat cinta dan “selera busana” dari Agung untuk mendekati perempuan.
Ruben, dia adalah penghibur sejati. Badannya yang besar saja sudah memancing senyum orang-orang yang melihatnya. Belum lagi kepolosannya dan selera makannya yang membuat kami tidak mungkin tidak menerimanya sebagai sahabat dekat. Lalu bagaimana dengan diriku? Apa keunikanku selain aku gay? Aku adalah siswa yang biasa-biasa saja yang diam-diam jatuh hati dengan Agung si kapten futsal. Aku tidak tampan, juga tidak pandai. Keluargaku juga tidak sekaya keluarga Agung yang anak pengusaha bahan bangunan. Semua serba standar dalam diriku. Lalu kenapa mereka mau berteman dengan diriku? Entahlah….
Namun, selain kami berempat, tentunya ada “geng-geng” lain yang ada di sekolah. Seperti kelompok pencinta alam, kelompok pencinta kebudayaan Korea, dan yang paling disegani, kelompok geng bermotor. Itu julukan kami terhadap sekawanan anak-anak bengal di sekolah kami. Cukup mudah mengenali mereka. Ya, kelompok itu sering menghabiskan waktu di pojok belakang sekolah sambil diam-diam membawa rokok atau minuman keras. Aku dan teman-temanku selalu berpendapat kalau mereka jangan-jangan juga memakai narkoba. Selain itu, motor mereka selalu paling berbeda sendiri dengan modifikasi knalpot, rangka bodi, stiker, dan tak lupa lambang geng mereka yang menyerupai tokoh “Ghostrider.” Kalau masih sulit mengenali mereka, coba perhatikan saja berita sekolah. Kalau ada murid yang dipanggil ke BP (atau BK) karena berkelahi, pasti salah satunya adalah anggota geng tersebut.
Peraturan utama yang kami buat adalah: “Kalau tidak mau terkena masalah, jauhi mereka.” Jujur saja, kadang aku merendahkan mereka sebagai kumpulan pecundang di sekolah kami.
Kami baru saja hendak menyeberang jalan untuk mencapai toko penjual jus (yang ada di sebelah tempat mie ayam terkenal tadi) namun terdengar suara motor menderu-deru. Aku tahu itu adalah suara anggota geng bermotor yang hendak memuaskan jiwa petualang mereka dengan kebut-kebutan. Aku, Ruben, dan Tomas berusaha menyingkir dari jalan untuk cari selamat kecuali Agung. Ia tidak tanggap ada motor ngebut yang mau lewat karena Agung sedang menggunakan handphone. Benda mahal dan ekslusif itu (di kala itu) membuat nyawa Agung terancam sementara motor yang memimpin di depan anggota geng motor yang lain tidak ada tanda-tanda menghentikan lajunya. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah “ya ampun kalau Agung celaka, nanti perempuan-perempuan pemuja dirinya akan bersedih. Nanti wajah tampannya tergores aspal jalanan.” Pikiran yang konyol kenangku.
“Agung awas…,” teriakku dan teman-temanku. Aku tak sadar menjadi pahlawan dan mengorbankan tubuhku sendiri. Aku mendorong Agung sehingga ia terjerembab. Ponsel Nokia jatuh berantakan sama seperti diriku yang terjengkang oleh motor. Aku ingat bau aspal jalanan, panasnya jalanan ketika itu, bau darah yang anyir, teriakan histeris Ruben dan Tomas, ban sepeda motor yang berdecit karena berusaha mengerem, dan gelap…………………………..
Aku terbangun karena ada suara gaduh sayup-sayup kudengar. Aku berusaha membuka mataku namun susah sekali. Badanku remuk dan tidak dapat digerakkan. Aku jadi teringat aku baru saja tertabrak. Aku pun bertanya, di mana diriku kira-kira saat ini atau sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.
Ketika penglihatanku sudah kembali normal, aku melihat sekelilingku. Rumah sakit. Simpulanku saat melihat infus di pergelangan tangan, kamar yang dicat serba putih, ranjang dengan pinggiran besi, dan tentunya wangi karbol yang tercium. Aku berusaha mendengarkan kembali suara gaduh yang membangunkanku.
“Maaf, pak. Izinkan kami meminta maaf. Kelakuan anak saya memang keterlaluan,” ujar seorang pria bersuara berat.
Kemudian aku mendengar suara ibuku tercekam oleh amarah. Belum pernah aku mendengarnya semarah itu, “sudah cukup kesulitan yang anak bapak buat. Tinggalkan tempat ini dan bawa kembali uang Anda. Kami tidak membutuhkannya!”
“Paling tidak biarkan kami menemui anak Ibu dan meminta maaf padanya,” suara pria itu memohon.
“Bertemu? Anak saya sampai sekarang belum sadarkan diri. Kalian mau bicara apa ke anak saya?” suara ibuku meninggi. Dari percakapan itu, aku tahu kalau yang ada di luar adalah ibuku dan orang yang menabrakku dan ayahnya.
“Beri kami kesempatan. Anak saya harus belajar bertanggung jawab terhadap perbuatannya.”
“Lebih baik bapak ajari dulu anak bapak. Masa anak III SMP sudah naik motor, kebut-kebutan pula.”
Aku mengumpulkan tenaga untuk memanggil ibuku, “ma… ma….” Semoga suaraku cukup keras pikirku.
Kegaduhan berhenti dan tiba-tiba ibuku dan ayahku merangsek masuk ke dalam kamarku. Ternyata ayahku juga ada di sana namun tidak bersuara karena membiarkan ibuku yang ambil kuasa memarahi “penabrakku.”
“Kau sudah siuman nak? Kamu baik-baik saja?” suara ibuku berganti menjadi lembut dan penuh kecemasan. Aku mengangguk sambil tersenyum lemah. Perhatianku terarah ke seorang pria dewasa dan anak muda yang berdiri di ambang pintu.
“Siapa mereka?” tanyaku pelan.
“Oh, mereka…,” ibuku mengeluarkan nada yang seakan-akan merendahkan mereka.
“Permisi, nak. Perkenalkan, saya Pak Hari, ayah Aldo. Aldo ini adalah orang yang tidak sengaja menabrak kamu kemarin,” ujar pria bernama Hari itu dengan suaranya yang teduh dan wajahnya yang tulus.
“Tidak sengaja?” ibuku bersiap marah kembali namun ayahku menepuk pundak ibuku untuk memberikan kesempatan bagi mereka berbicara terlebih dahulu.
“Kami di sini mau meminta maaf atas kelakuan Aldo yang telah menabrakmu. Kami tahu maaf saja tidak cukup, oleh karena itu, kami juga bersedia menerima konsekuensi apapun sehingga Aldo dapat belajar dari kesalahannya,” Pak Hari tetap dengan ada suaranya yang teduh. Anak muda bernama Aldo itu tetap saja terdiam, menunduk, tidak berani memandang sekelilingnya. Entah takut, malu, atau merasa tidak perlu hadir di sana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kecuali memandang ke arah ayah ibuku.
“Ayo, Aldo! Minta maaf!” perintah Pak Hari ke Aldo sambil menarik tubuh anaknya agar mendekat. Sesaat, Aldo tetap bungkam dan terus menunduk.
“Ayo…!” paksa Pak Hari sekali lagi.
“Maaf,” tukas Aldo singkat dan pelan.
“Minta maaf seperti apa itu?” ayah Aldo tak puas.
Aldo kemudian mengangkat wajahnya memandangku dengan amarah, kesal, dan takut. Campur aduk jadi satu.
“Maaf,” sahut Aldo dengan lebih lantang.
Ya ampun. Demi Allah yang hidup. Wajah Aldo begitu tampan. Hidungnya mancung dan matanya lebar. Kulitnya cokelat bersih. Ia benar-benar mirip ayahnya. Ketika muda, pasti ayahnya juga tampan seperti anaknya, pikirku. Aku terpesona, terpikat, dan bertanya-tanya dalam hati, “ke mana saja kamu selama ini koq sampai aku tidak tahu anak sekolah yang setampan dirimu.”
“Siapa namamu, nak?” tanya Pak Hari. Aku tidak menjawab. Aku terbisukan oleh Aldo yang kini sudah kembali menunduk. Aku jatuh cinta.
Bersambung.
Slmt dtg kembali!
Ya, itulah perjumpaan pertamaku dengan Aldo. Lelaki yang selama ini kupandang seperempat mata hanya karena ia anggota geng motor yang menyebalkan. Tapi, bodohnya, aku jatuh cinta, pada orang yang nyaris saja mencabut nyawaku.
Apa yang menarik dari anggota geng bermotor itu sehingga aku jatuh cinta padanya? Tidak ada. Aku tidak memiliki alasan untuk menjelaskan mengapa aku tertarik padanya. Yang aku tahu, this is it!. Perasaan itu tidak pernah kualami sebelumnya. Aku hanya “tahu.” Perjumpaanku yang hanya sesaat dengan Aldo menyisakan banyak pertanyaan. Dan konyolnya, menyisakan rindu yang tak perlu di dalam hatiku.
Hari ketiga aku berada di atas ranjang rumah sakit, aku tidak betah. Aku tidak mau ketinggalan pelajaran apalagi sesaat lagi menjelas Ebtanas. Aku memang tidak perlu kuatir karena setiap hari Tomas datang membawakan catatan dari kelas untuk aku pelajari. Selain itu, aku juga lelah mendengarkan ucapan terima kasih dari Agung, betapa aku telah menyelematkan hidupnya. Setiap kali ia mengunjungiku bersama Ruben dan Tomas, atau bersama kedua orangtuanya, kalimat itu selalu didengungkan seakan-akan aku ini adalah pahlawan super. Ketiga temanku maupun kedua orangtuaku senantiasa mengunjungiku dan memastikan aku tidak kesepian di rumah sakit. Namun, entah mengapa, bukan mereka yang kuharapkan. Aku menanti kedatangan Aldo. Aku menunggunya, menjengukku, atau paling tidak menanyakan kabarku.
“Kamu tahu anak yang menabrakmu?” Ruben angkat bicara sambil mulutnya memakan apel yang ada di meja. Buah-buah terus mengalir berdatangan sehingga aku harus meminta bantuan Ruben untuk memakannya.
Aku jadi teringat Aldo karena pertanyaan Ruben tadi. Aku mengangguk singkat dan berkata, “ya, kemarin ia ke sini bersama ayahnya.”
“Hah? Untuk apa? Mau cari gara-gara?” Agung sangat diliputi oleh dendam. Nyawanyalah yang sesungguhnya hampir terancam. Aku menggeleng sambil tersenyum lemah lalu bertanya ke Ruben lagi, “kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Anak itu tamat riwayatnya. Sekolah menskors dirinya lalu ada desas-desus kalau ia akan dikeluarkan dari sekolah karena sudah mempermalukan nama baik sekolah. Kau belum tahu ya berita tentang kecelakaanmu itu masuk koran loh,” jawab Ruben sambil tetap menikmati buah-buahan.
“Apa?” aku terjingkat hingga dadaku terasa sakit. Kejam sekali pikirku.
“Hey, sudahlah. Buat apa kau terkejut seperti itu. Biarkan itu menjadi pelajaran berharga buat dirinya,” tukas Tomas. Aku terdiam, tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Pagi itu, aku kembali ke sekolah dengan gegap gempita sambutan layaknya pahlawan. Tepuk tangan, pandangan kagum, dan ucapan selamat dari orang-orang yang semula tak kukenal mampir menghampiriku. Namun, entah mengapa semua itu tidak membuatku bahagia apalagi bangga. Aku malah sedih. Entahlah. Tomas yang penuh pemikiran, menyarankan aku untuk berhati-hati dengan anggota geng bermotor yang mungkin saja malah dendam terhadapku. Gara-gara diriku, Aldo jadi diskors dan sekarang terancam dikeluarkan.
Dengan kepala masih diperban dan jalan yang masih tertatih-tatih, aku nekat untuk sekolah. Aku sudah terlalu bosan terbaring tidak berdaya di ranjang. Tapi ada hal lain yang harus kulakukan….
Bel sekolah sudah berbunyi, aku malah melarikan diri dengan alasan mau ke kamar mandi. Namun, aku bukan ingin ke kamar mandi. Aku ke tempat kepala sekolah. Hanya di saat jam pelajaran mulai, ruang guru sudah sepi dan hanya ada ibu kepala sekolah di ruangannya.
“Permisi, Bu Riris,” ujarku sambil mengetok pintu ruangannya yang separuh terbuka.
“Oh, kamu nak. Masuk. Masuk,” wajahnya terlihat cerah ketika melihat kedatanganku.
“Bagaimana? Kamu sudah sembuh? Seharusnya kamu masih bisa istirahat dulu dan tidak memaksakan masuk sekolah,” lanjutnya lagi dengan penuh simpati. Baru kali ini aku melihat Bu Riris Kepala Sekolah kami dalam keadaan yang ramah dan tidak marah-marah. Perempuan dengan rambut yang selalu disasak ini sekarang terlihat jauh lebih cantik dari biasanya.
“Oya, kamu koq di sini? Tidak ada pelajaran?” ia menghujaniku dengan pertanyaan. Aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan mengapa aku ada di ruangannya saat ini.
“Begini bu. Mengenai anak yang menabrak saya…,” aku terdiam.
“Oh, Aldo? Kamu jangan kuatir. Pihak sekolah akan memperlakukan sanksi yang tegas bagi dirinya supaya kapok,” wajah Bu Riris berubah serius.
“Sanksi apa itu?” tanyaku.
“Sudah jelas. Dia harus dikeluarkan dari sekolah ini,” jawabnya. Mendengar ucapan itu, aku tidak mampu menyembunyikan raut kekecewaan dari wajahku.
“Kenapa, nak?” tanyanya lagi sambil terheran melihat ekspresiku.
“Tidak, bu. Apakah mungkin ibu membatalkan sanksi tersebut?” aku memberanikan diri. Bu Riris menjadi terkejut.
“Bagi saya, hukuman itu terlalu berat. Toh, saya tetap hidup dengan tidak kekurangan sesuatu apapun. Saya yang jadi korban pun tidak mendendam,” aku mencoba merangkai kata-kata, “apalagi… apalagi kalau ia dikeluarkan, yang ada bukannya ia sadar, malah mungkin akan menaruh dendam pada saya dan pada sekolah ini.”
Bu Riris terdiam untuk beberapa saat.
“Berikan dia kesempatan, bu,” kataku lagi mencoba meyakinkan dirinya.
“Oh, nak. Kau sungguh baik hati sekali. Sempat-sempatnya kau memikirkan nasib orang lain. Yang kau katakan ada benarnya juga. Aku akan mempertimbangkannya lagi. Tapi peraturan tetaplah peraturan. Ia harus menjalani skors yang telah diberikan,” kata Bu Riris sambil tersenyum manis. Aku sungguh lega mendengarnya.
Agung berbaik hati meyakinkan orangtuaku untuk tidak perlu menjemputku di sekolah. Usai latihan basket, Agung akan mengantarkan aku ke rumah.
“Terima kasih, Gung buat tumpangannya,” kataku sambil meraih tas ranselku.
“Jangan berkata demikian. Kamu sudah menyelamatkan hidupku,” ujarnya semangat. Aku muak juga mendengarnya untuk ke seribu delapan puluh lima kalinya. Aku turun dari mobilnya dan memberi salam untuk pak sopir. Aku melambaikan tangan dan menunggu sampai mobil Agung belok di tikungan gang. Ketika aku hendak masuk ke rumah, aku melihat sesosok yang pernah aku kenal. Ia berdiri di sebelah pagar sambil bersandar ke tembok.
“Bisa kita bicara sebentar?” kata orang itu. Bagai petir di siang bolong, aku baru menyadari bahwa orang itu adalah Aldo. Dalam hatiku ada kegirangan yang sulit dijelaskan. Tapi aku juga takut, mengapa ia menungguku di sana.
Cinta
Ke kamu
Tidak pakai alasan
Cinta
Ke kamu
Jangan sampai habis alasan
Aku memilihmu. Titik.
Bersambung.
Terima kasih buat yang sudah kasih komentar. Maaf, kalau harus bosan dengan alur ceritanya karena sekarang lagi alur mundur. Cerita dari awal mula.... ^^
@ Charmingazer: I miss you a lot.... 8)
Inspiring!
Inspiring!
Kelanjutannya lama sekali! Tak sabar menunggu! Hump!
Oh yah, mudah-mudahan episodenya berlangsung tanpa adagan sex, karena romantisnya cerita sudah terlalu indah.
PS. Ada cerita yg lain? dimana bisa kutemukan?
libby muach2...