It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hello – Goodbye
“Sekarang kamu maunya gimana?” Tanya Gadis.
Gua dan Gadis sedang duduk berdua di sebuah kafe yang tenang dan nyaman. Cukup ironis karena keadaan hubungan kita berdua saat ini sedang dalam kondisi yang tidak tenang dan tidak nyaman.
“Harusnya aku yang nanya itu sama kamu. Kamu maunya gimana?” gua mencoba membalikan pertanyaan si Gadis, karena gua merasa sebenarnya ini hanyalah kelebay-an si Gadis dalam masalah ini. “Kamu masih mau mempertahankan hubungan ini? Kamu masih mau kita terus pacaran?”
“Gimana aku bisa sanggup mempertahankan hubungan ini, sementara di sini Cuma aku sendiri yang berjuang. Kamu seolah nggak peduli dan nggak ngerasa bahwa hubungan ini patut dipertahankan.” Kata Gadis tampak penuh perasaan.
“Apanya yang baik-baik aja, Raff? Udah berapa lama kita nggak saling ngomong? Udah berapa lama kita nggak jalan bareng? Udah berapa lama kita nggak punya waktu berduaan? Kamu bisa bilang kita masih baik-baik aja?!”
“Iya sebenarnya dan seharusnya kita baik-baik aja. Semua ini bermula karena temperamen kamu yang tiba-tiba tinggi Cuma untuk masalah sepele.”
“Masalah sepele apa?”
“Soal aku lupa jemput kamu, soal aku nggak bisa dateng tepat waktu, soal aku nggak bisa punya waktu sama kamu. Itu kan Cuma masalah sepele, dan kamu selalu melebih-lebihkannya seolah itu masalah besar.”
“Untuk apa kita pacaran kalo ketemu aja nggak pernah. Untuk apa pacaran kalo kamu nggak bisa nepatin janji kamu?”
“Emang kita nggak bisa pacaran lewat telepon? Lewat email, lewat facebook, twitter, sms?”
“Itu nggak sebanding dengan kita ketemu langsung. Jalan bareng, berduaan. Rasanya beda, Raff!” kata Gadis mulai meninggi walaupun masih belum sampai level yang sanggup membuat orang sekitar kita jadi nontonin kita. “Disini udah keliatan kalo kamu nggak pernah berusaha untuk ada. Kamu nggak pernah berusaha untuk membahagiakan aku. Aku nggak berjuang untuk hubungan kita.”
“Kamu lebay.”
“Aku lebay? Lebay dimananya?”
“Sikap kamu. Emang kamu nggak bisa ngerti ya sama kesibukan aku? Emang aku kaya nggak pernah aja khilaf lupa sama kamu.”
“Masalahnya... kamu dulu nggak pernah lupa sama janji kamu. Dulu kamu selalu berusaha untuk aku. Setiap kamu bikin janji sama aku pasti kamu akan selalu tepatin. Tapi itu dulu, sekarang... kamu berubah. Kamu nggak kaya dulu lagi. Udah berapa kali kamu bikin janji dan kamu nggak nepatin janji kamu. Kamu lupa.”
“Tapi sejujurnya aku nggak pernah lupa sama kamu!”
“Kalo itu kenapa kamu nggak pernah nelepon aku?”
Kata-kata Gadis bagaikan tonjokan bagi hati gua. memang benar, selama ini gua gak pernah berusaha untuk berbicara sama Gadis, karena gua terlalu gengsi untuk memulai. Gua gak mikirin bagaimana perasaan Gadis. Gua selama ini selalu berpikir dari sisi gua sendiri, gua gak pernah mencoba berpikir dari sisi Gadis. Gua gak pernah mencoba memposisikan diri gua di diri Gadis. Gua terlalu egois mengenai diri sendiri.
“Aku nungguin kamu nelepon, tapi kamu nggak pernah sekalipun nelepon aku. Sampai akhirnya aku yang harus nelepon kamu.”
Gua Cuma bisa terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.
“Dan aku tanya, sekarang kamu maunya gimana?” Gadis kembali membawa pembicaraan ini kebagian awal. “Kamu maunya gimana?”
Gua gak bisa jawab apa-apa. Gua Cuma bisa terdiam membisu. Karena sekarang bukan hak gua untuk memutuskan bagaimana kelanjutan hubungan ini. Gua ngerasa gadislah yang berhak, dan gua Cuma bisa menerima apapun Keputusan dia.
Dan setelah sekian lama gua dia, gua baru menyadari bahwa perlahan mata Gadis mulai berair, dan gua tidak mampu untuk berbuat apapun selain hanya diam.
“Sepertinya aku dan kamu sudah tahu. Aku yakin kamu sudah menentukannya.” Kata Gadis.
Dan air mata wanita yang gua cintai itu semakin deras mengalir seiring dengan beranjaknya dia dari tempat itu. Gua Cuma bisa melihat dia pergi menjauh, menghilang dari balik pintu dalam diam. Gua tidak sanggup, tidak ada kemampuan, tidak memiliki keberanian untuk mengejarnya. Gua membiarkan cinta gua pergi. Melangkah menjauh dari genggaman gua. Membiarkan Gadis pergi dan hilang. Gua merasakan mata gua mulai berair.
http://verterusvoso.blogspot.com
“Hyung... hyung... Raffa!” suara itu menyeruak merusak tidur nikmat gua di sore hari yang dingin gerimis. Harusnya momen seperti ini adalah momen gua yang gak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Karena perpaduan udara dingin dan gerimis adalah perpaduan sempurna dan sakral untuk tidur. Sayangnya itu tidak berlaku bagi Evan.
Perlahan gua membuka mata dan melihat muka Evan dari jarak 20 centimeter.
“AAAAAK! POCOOONG!” Gua pura-pura terkejut.
“Anjing lo! Enak aja gua dibilang pocong.” Kata Evan yang kemudian duduk disebelah gua.
“Lah salah elu sendiri kenapa muka lo deket banget sama gua. kan gua nyangkanya elu pocong.” Kata gua sambil bergerak duduk dan bersandar di tembok.
“Ah lebay lo, emang sejelek itu kah muka gua.” kata Evan cemberut.
“Enggak juga sih, yak elah, gitu aja langsung mewek.” Kata gua.
“Eh, gimana kemarin lo sama si Gadis?” Tanya Evan sambil melepas sepatu kuliahnya. Hari ini si Evan sengaja pulang lebih lama dari gua karena dia ikutan belajar kelompok. Beberapa hari belakangan ini si Evan lagi sering ikutan belajar kelompok. Entah apa yang dia pelajarin.
“Raff, elu pulang duluan deh, gua masih ada urusan nih.” Kata Evan setelah kelas terakhir usai.
“Ada urusan apaan lu?”
“Gua mau belajar kelompok.” Jawab Evan dengan yakin.
“Hah? Tumben.” Gua akan heran juga seorang Evan bisa tiba-tiba termotivasi untuk belajar kelompok. Soalnya seringnya yang ngerjain tugas dia kan gua, kalo nggak dia nyontek tugas gua, kalo nggak dia liat tugas gua terus dimodifikasi dikit biar jadi gak sama persis. Jadi ketika tiba-tiba Evan memutuskan untuk ikutan belajar kelompok, gua punyak hak untuk merasa heran.
“Yak elah, elu kaya gak tau gua aja. Gua kan orangnya pinter. Elunya aja yang nggak nyadar.” Jawab Evan sambil tersenyum melecehkan.
Gua terbawa ke momen-momen ironis soal kepintarannya si Evan.
“Van, elu tau nggak definisi dari Semiotika Penelitian?” tanya gua.
“Ah masa gitu aja nggak tau. Lu cari di google juga ada tuh.”
“Van, Editing Dinamis itu unsur-unsurnya apa aja ya? Gua agak lupa nih.”
“Gampang, pastinya itu terdiri dari beberapa unsur. Isinya elu bisa cari sendiri. Baca buku dong.”
“Van, tujuh kali delapan berapa?”
“Ah lupa gua. Tadi pagi gua udah mabok angka pas pelajaran Statistik.”
“Oh iya ya, elu emang pinter, Van. Gua nya aja yang nggak nyadar.” Gua manggut-manggut ikut menyetujui. Yang waras ngalah. “Ya udah, gua balik duluan deh, udah mau ujan soalnya, pengen tidur gua.
Dan gua serta Evan pun berpisah.
“Gua sama Gadis putus, Van.” Gua menjawab lemah, dan kembali kegalauan gua muncul.
“Hah? Putus? Sayang banget!” kata Evan agak terkejut. “Gila, kalian kan udah cukup lama pacaran.”
“Ya gitu deh... kayanya kita udah gak bisa aja lanjutin hubungan ini lagi.” Jawab gua yang semakin galau.
“Waduuuuh, sayang banget, Raff.” Kata Evan yang kini sudah bertukar pakaian dengan celana pendek tanpa kaos.
“Tapi gua masih sayang banget sama Gadis, Van. Gua masih cinta banget sama dia.” Perlahan namun pasti gua semakin galau dan mulai tampang sedih.
“Elo masih sayang sama dia?”
“Iya, Van, gua masih sayang sama dia.” Gua mulai nangis, untung aja diluar ujannya deras lagi.
“Elu masih cinta sama Gadis?”
“Iya, gua masih cinta sama Gadis, gua cinta banget sama dia.” Tangisan gua makin kejer, kaya anak kecil banget deh gua nangis begini.
“Kalo gitu kenapa kemarin elu mau aja putus sama dia?”
“Karena gua nggak bisa berbuat apa-apa... Gua emang salah, dan gua ngerasa Gadis lah yang berhak membuat Keputusan. Gua udah nyakitin Gadis kemarin-kemaren, jadi wajar aja kalo dia mutusin gua.” jawab gua disela-sela tangis gua. “Gua masih sayang sama dia, Van.”
Evan kemudian memeluk gua dan membiarkan gua nangis dalam pelukannya. Sambil memeluk tangannya mengelus-ngelus kepala gua. Gua terus aja menangis karena gua masih belum bisa menerima kenyataan kalo gua udah putus sama Gadis.
“Tenang aja, hyung. Kalo kalian jodoh, kalian pasti bakalan balikan lagi kok.” Kata Evan berusaha tampak dewasa. “Dan gua yakin, kalian bakalan balikan lagi.”
“Yakin banget lo?” tanya gua disela-sela nangis.
“Ya yakin aja.” Kata Evan, “Lagian elu nggak usah terlalu bersedih gitu lah, kan masih ada gua yang sayang sama lo.”
“Cuma beda, Van. Sayangnya elu ke gua sama sayangnya Gadis ke gua beda.”
“Sama aja. Sama-sama manusia juga kan.”
“Tapi elu kan batangan.”
“Elu kan juga suka batangan.”
“Kagak.” Kata gua sambil melepaskan diri dari pelukannya Evan.
“Halah, pura-pura muna nih lo.” Kata Evan. “Pokoknya intinya, gua juga sayang sama elo, hyung. Jadi gak usah sedih lah. Itu lah untungnya punya pacar dua, putus satu masih ada back-up-annya.”
“Elu emang susah ya dibilangin, orang beda rasanya.” Tangisan gua mulai berhenti.
Kemudian Evan mencium bibir gua.
“Nah, gimana? Sama aja kan. Gua juga bisa ngasih lo ciuman seperti yang Gadis lakukan.”
“Bibir Gadis gak baru rokok.”
“Sialan!” Kata Evan tersinggung. “Udah lah, gak usah nangis lagi. Udah mau malem nih, cari makan malam yuk. Udah, berenti lo meweknya!”
“Traktir gua dong, Van. Gua lagi berduka nih...” kata gua.
“Halah, ada-ada aja lo. Ya udah, gua traktir, cepetan lo pake baju!” Kata Evan.
Dan gua cengengesan sambil bersiap-siap untuk ditraktir si Evan. hihihi... ada untungnya juga gua nangis-nangis tadi.
http://verterusvoso.blogspot.com
Kuliah terakhir hari ini berlangsung dari jam 3 sore sampai jam 5 sore. Karena kebetulan ini adalah kuliah pengganti. Setelah selesai kuliah, gua, Evan, Misca dan Margo tadinya ingin langsung balik ke kosan karena capek di kampus dari jam 9 pagi sampe jam 5 sore. Namun tiba-tiba rencana berubah ketika Evan memberikan ide untuk makan sate. Dia bilang sekalian makan malam, biar sampe kosan bisa langsung istirahat. Maka akhirnya mendaratlah kita di tukang sate deket kampus.
Begitu tiba di tukang sate gua akhirnya sadar bahwa ada maksud lain kenapa si Evan ngajak kita maka di tukang sate ini. Misca pun bahkan langsung bener-benerin rambut begitu tiba ditukang satenya. Sementara si Evan berlagak biasa aja, mana mungkin dia ikutan bener-benerin rambut seperti yang Misca lakukan. Tukang sate ini penampilannya kece abis. Celana Jeans dengan kaos polo shirt berwarna putih, dengan potongan rambut cepak, berkulit cokelat terang serta berbadan tegap dan berisi. Coba hilangkan gerobak satenya, maka orang-orang gak bakalan ada yang nyadar kalo itu orang adalah tukang sate.
“Abaaang...” Misca berkata dengan genit. “Pesen satenya dong 4 porsi. Bisa bang?”
“Bisa, neng.”
“Kalo abangnya bisa dipesen nggak? Hihihi...” Misca berkata dengen mesem-mesem.
“Oh, kalo saya mah nggak dijual neng.” Jawab si tukang sate sambil senyam-senyum.
“Yeeeee, dasar jablaaaaay. Udah punya kita masih aja nyosor cowok laen.” Kata Evan.
“Yeeeee, becanda tauk. Hehehe, maaf ya bang, Cuma bercanda.”
“Hehehe, gak apa-apa neng.”
“Oh ya bang, satenya pake daging kambing, ya bang.” Misca kembali genit. “Jangan pake daging abang, ntar aku jadi nggak-nggak-nggak kuat.”
“NAJEEEESSSS...!!! Sumpah, baru kali ini gua ngeliat elu lenje abis mis, parah banget dah.” Kata si Evan sementar gua Cuma cengar-cengir aja disebelahnya.
“Tau nih loh mis, elu becandannya nggak baek. Bikin gua gelisah aja.” Kata Margo.
“Hah?” mendadak gua menanggapi omongannya si Margo. “Gelisah gimana maksudnya?”
“Ah um, maksudnya bikin gua gelisah, takutnya abangnya nanti jadi gak mau ngelayanin kita gara-gara digodain mulu sama Misca.
“Bang, mendingan mah abang jadi model aja bang, pasti laku deh.” Kata Misca tidak mempedulikan omongannya si Margo.
“Aaaah, si neng bisa, mana pantes saya jadi model, hahaha...” si tukang sate tampak malu-malu.
“Yeeee si abang, beneran bang. Abang potongannya udah model banget. Kalo nggak ikut kontes L-Men bang, siapa tau menang.” Kata Misca melanjutnya.
“Hahaha, si mas Evan aja tuh yang ikutan kontes L-Men, pasti menang deh.”
Mata gua mendadak melebar seketika. Nih tukang sate udah kenal sama si Evan. Ada apa ini?
“Lah, mas... mas kenal sama nih orang.” Gua bertanya sambil nunjuk ke si Evan.
“Iya mas, dia belakangan ini sering makan sate saya. Katanya enak banget satenya.”
“Sate mas? Aduh si mas ini omongannya suka ambigu deh.” Kata si Misca sambil tertawa geli.
Gua mendadak mengetahui alasan kenapa belakangan ini si Evan suka ikut kegiatan yang dia sebut dengan “Belajar Kelompok.” Dan berikutnya, kenapa si tukang sate ini bisa ngerekomendasiin si Evan untuk ikutan L-Men kontes, apakah dia sudah pernah liat Evan tanpa pakaian? atau jangan-jangan...?
“Mas, emang kenapa menurut mas, si Evan pantes untuk ikutan L-Men?” tanya gua mencoba mencari jawaban dari kepenasaran ini.
“Yaaa, keliatan aja dari tampilan mas Evan, pasti rajin olah raga, pasti badannya bagus.”
“Jiaaaah, bisa aja si mas.” Evan mendadak salah tingkah dan cengengesan.
Setelah beberapa saat kita puas gangguin si tukang sate, akhirnya pesenan kita selesai dan disajikan. Kita kemudian makan dalam kedamaian. Namun mendadak kedamaian gua sirna ketika gua melihat Gadis yang sedang jalan sama cowok lain dikejauhan. Awalnya gua gak yakin kalo itu si Gadis, namun menjadi yakin ketika gua semakin jelas melihat wajahnya. Ya benar, itu si Gadis, dia lagi jalan sama cowok. Sialan, baru putus bentar aja udah cari cowok lain, semudah itu kah dia ngelupain gua. Bangsat, berarti selama ini gua bukan siapa-siapanya dia.
Pantes aja dia minta putus, pantes aja kemarin-kemaren dia cari alesan buat marah-marah biar bisa putus, rupanya dia udah punya cowok lain. Menyesal gua kemarin nangis bombay semalam suntuk buat cewek macam dia.
Gadis berjalan sambil merangkul lengan tuh cowok, mereka tampak bahagia dan tertawa kecil sambil berjalan memasuki seven-eleven. Mendadak nafsu makan gua hilang, gua udah gak ada lagi selera buat makan. Gua merasa ditipu dan dihianati oleh Gadis. Wanita yang gua cintai ternyata selama ini ngebohongin gua.
“Hyung, lo gak abis makannya? Elo sekarang diet?” mendadak Evan membuyarkan pikiran gua.
“Mendadak nafsu makan gua hilang.” jawab gua, “Mas, ini satenya dibungkusin aja dong, biar nanti saya makan di rumah, siapa tau saya mendadak laper.”
“Elo mau pulang duluan, Raff?” tanya Misca sambil mengunyah satenya.
“Iya, ada yang mau gua urus nih.” Gua menjawab asal-asalan.
“Urusan apaan lo di rumah?” tanya Margo.
“Ada lah pokoknya.”
“Oh ya udah, nanti kita nyusul yak. Gua masih betah di sini, makanan gua juga belum abis.” Kata Evan.
Setelah sate gua dibungkus, gua langsung cabut balik ke kosan. Sesampainya di kosan gua langsung lepas sepatu, lepas kaos, lepas celana Jeans dan langsung tidur, gua pengen nenangin diri. Kalo gua gak tidur, takutnya gua malah ngamuk-ngamuk nonjokin tembok. Nanti temboknya retak, nanti ibu kos ngamuk-ngamuk ke gua, haah bisa panjang nanti urusannya.
http://verterusvoso.blogspot.com
“Hyung... Hyung... bangun...! Elu kok belakangan ini rajin banget tidur.” Suara Evan menarik gua ke dalam alam sadar. Mata gua perlahan-lahan terbuka dan melihat Evan yang wangi sabun abis mandi sudah duduk didekat gua.
“Eh elu udah pulang, udah mandi lagi, nyampe jam berapa tadi?” tanya gua masih males-malesan.
“Jam tujuan lah. Hehehe, wangi kan badan gua, abis mandi nih gua.” kata Evan sambil tersenyum bangga.
“Iya, wangi-wangi...” gua ikutan tersenyum. “Gimana, elu udah puas ngeliatin tukang sate yang hot itu?”
“Puas dong, seksi abis tukang satenya, hahaha... baru belakangan ini aja gua nyadar, dideket kampus kita ada tukang sate yang hot banget tampilannya.” Kata Evan.
“Gua juga baru nyadar ada tukang sate yang niat banget dandan Cuma buat jualan sate.”
“Yeee, si hyung ini, itu namanya niat dagang. Kalo mau kerja itu jangan setengah-setengah, segala aspek harus disiapkan. Contohnya yang si abang sate seksi itu, dia peduli penampilan biar nambah daya tarik satenya.”
“Ckckckck, sejak kapan elu jadi bijaksana gini?” kata gua.
“Ya sejak bayi lah.” Kata Evan bangga. “Ya udah, sekarang elu mandi gih, badan lo masih bau matahari nih. Gak enak banget. Apa elu mau makan dulu? Laper gak lo? Biar gua bawa makanan buat lo.”
“Serius lo?”
Si Evan ngangguk-angguk sambil senyum manis.
“Ya udah, mana, gua juga laper nih. Abis tidur gua jadi laper.” Kata gua sambil duduk di kasur.
Evan kemudian menyiapkan makan malam, dia mengambil sebuah piring yang diatasnya sudah ada bungkusan. Gua menerimanya dengan suka cita, dan begitu membukanya...
“Nyet, ini kan sate gua. Elu bilang elo bawa makanan.”
“Lah, ini. Makanan elu gua bawain ke elo, tadi kan jauh di meja, nih gua bawain ke pangkuan elu, biar elu gak perlu capek-capek lagi, tinggal makan aja..” Evan berkata dengan lugu.
Gua menarik nafas dalam-dalam. Manajemen kesabaran. “Huuuuh... sabaaaaar-sabar.”
“Abis makan, mandi ya, hyung.”
Gua mengangguk-anggukan kepala aja, nurut aja dah. Gua makan dengan tenang, sementara Evan ke kasur seberang buat facebookan di laptopnya.
Setelah selesai makan, gua lantas pergi mandi. Mandi jam 9 malam rasanya menyegarkan. Setelah mandi rasa kantuk gua malah hilang, berganti dengan rasa segar. Gua masuk ke kamar dan melihat si Evan sekarang lagi sibuk ngerjain tugas. Tumben. Di kasurnya lagi berserakan kertas-kertas beserta alat tulis dan laptop yang tersambung ke internet modem.
“Van, elu ngerjain tugas apaan?”
“Tugas MPS.” Jawab Evan dengan mata masih tertuju ke laptop dan tangan mengetik-ngetik.
Kalo Tugas MPS mah udah dari kemarin-kemaren gua kerjain, jadinya gua nyantai aja. Cuma gua agak kaget juga sama Evan malam ini. Biasanya dia ngerjain tugas kalo udah mau deadline. Sehari sebelum dikumpulin baru dia kerjain. Sekarang tumben aja dia mau ngerjain jauh-jauh hari.
Gua duduk di kasur gua sambil memperhatikan Evan yang lagi serius kerja. Kalo diperhatiin emang pantes juga sih dia tampang serius. Wajahnya tampak terlihat sedang serius belajar, bukan tampak lagi pengen bunuh orang. Hahaha...
Jam 11 akhirnya si Evan selesai ngerjain tugas, gua menemani Evan sambil dengerin musik. Begitu melihat dia berstreching-streching lelah, gua melepaskan earphone gua.
“Udah selesai, Van?”
“Udah nih, capek banget gua ngerjain tugas. Mana kasur Berantakan lagi.” Jawab si Evan.
“Ya udah, sini, elu tidur sama gua aja, biarin aja semuanya disitu.” Kata gua.
Tanpa banyak bicara, Evan yang kelelahan merangkak pindah ke kasur gua. Gua meletakan iPod gua dipinggir kasur dan memberi ruang untuk Evan.
“Capek ya? Ada yang pegel gak?” tanya gua sambil memijit-mijit kecil leher belakang Evan.
“Iya pas banget tuh, hyung, leher gua pegel.” Jawab Evan yang tidur memunggungi gua. kita untuk saat itu dalam posisi tidur menyamping.
“Tumben elu ngerjain tugas jauh-jauh hari, ada angin apaan nih?” gua bertanya sambil memijit-mjit kecil leher Evan.
“Lah, kan dari dulu gua udah bilang, hyung, gua itu pada dasarnya rajin dan pintar. Makannya harusnya elu nggak perlu heran ngeliat gua belajar kaya tadi.”
Gua mengucapkan kalimat “Hah? Maksud lo?” tanpa suara dibelakang Evan. Karena seharusnya yang bikin gua nggak heran adalah ketika si Evan kelabakan ngerjain tugas sehari sebelum waktu dikumpulin, bukan kaya sekarang ini.
Kemudian si Evan memutar badan dan tidur terlentang dengan mata kita saling bertatapan.
“Hyung, elu masih depresi?”
“Kagak.”
“Galau?”
“Masih sih... tapi sedikit.” Gua menjawab singkat.
“Jangan terus-terusan depresi, hyung, gak bangus. Nanti cepet sakit lo.” Kata Evan yang keliatannya agak khawatir sama keadaan gua.
“Iyaaaa... gak mungkin juga lah gua selamanya depresi terus. Ntar lama-lama juga ilang kok.” Kata gua.
“Bener hyung. Hidup mah jangan galau terus. Pokoknya elu kalo butuh apa-apa bilang dah sama gua, sebisa mungkin gua bantuin.”
“Iya, thanks ya, Van. Seneng gua punya temen kaya elu.” Gua kemudian mencium pipi Evan karena gemas. Kok bisa-bisanya sekarang gua gemas ngeliat si Evan. “Ya udah, yuk tidur.”
“Ayo.”
Kita berdua pun menarik selimut dan tidur bersama.
http://verterusvoso.blogspot.com
Gua dan Evan lagi makan siang ketika sesosok manusia mendadak muncul di pintu kamar kos kita.
“ALEEEEEX!!!” Gua berseru kegirangan, bahkan sampai membuat Evan terlonjak kaget.
“RAFFAAAAA!!!” Alex pun membalas tidak kalah hebohnya.
Gua dan dia saling mendekat dan berpelukan. Abang gua akhirnya dateng juga. Dia tampak gagah sekarang. Datang dengan kaos hitam polos ditutupi kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing, dengan celana jeans yang belel namun keren. Serta sepatu Converse All Star hitamnya. Rambutnya pendek dan agak Berantakan. Wajahnya bersih dan terawat. Keren banget dah abang gua sekarang ini.
“Akhirnya dateng juga lu ke Jakarta.” Kata gua. “Tambah keren aja lo sekarang, hahaha...”
“Haaaah, elu juga nyet, sekarang elu malah udah gak ceking lagi, badan lo kok sekarang seksi amat. Nguli di mana lo?” kata abang gua, sambil memperhatikan badan gua yang kebetulan tidak berkaos.
“Ah tai lo, gua fitnes nih. Keren kan.”
“Keren-keren-keren.”
“Oh ya Lex, kenalin, ini temen gua. Namanya Evan. Van, ini abang gua, namanya Alex.”
“Halo, bang.” Evan lebih dulu mengulurkan tangan yang disambut dengan hangat oleh abang gua.
“Pasti yang ngajarin fitnes elu deh?” kata Alex ke Evan.
“Bener, bang. Iya, saya yang ngajak dia buat fitnes. Abis suka ngeri kalo jalan sama dia pas cuaca berangin, takut ketiup angin.”
“Hahahaha... bisa aja lu, Van.” Kata Alex.
“Eh, gampang gak tadi nyari tempat gua?”
“Nyari tempat elu sih gampang, tapi panasnya itu yang gak tahan gua. Gila, Jakarta panasnya to the max banget dah.” Kata Alex. “Eh, ngomong-ngomong kamar mandi di mana ya? Gua mau kencing nih, kebelet banget gua.”
“Oh, elu ke kanan aja, terus ampe mentok, terus belok kanan lagi, ntar ketemu dah kamar mandi.” Jawab gua.
“Oooh, ya udah, gua ke kamar mandi dulu yak.”
Abang gua kemudian beranjak dari kamar kos gua dan pergi ke kamar mandi.
“Hyung, parah! Abang lo ganteng banget.” Evan tampak masih terkesima.
“Iya dong, siapa dulu adeknya. Gak jauh bedalah sama gua, sama-sama ganteng.” Gua berkata berbangga diri sambil menaik-naikan alis gua.
“Beda, abang lo mah ganteng mampus. Speechless gua. Dia mau nginep di sini?”
“Iya.”
“Waaaaaah....”
“Apaan lo, jangan macem-macem. Abang gua normal tuh.” Gua langsung mewanti-wanti, takut-takut abang gua jadi mangsanya si Evan.
“Lah, elu kan juga, tapi bisa kan akhirnya.”
“Nggak ada-nggak ada-nggak ada! Nggak bisa! Nggak boleh.”
Si Evan masih saja bengong menatap pintu kamar kosan, berharap abang gua muncul lagi dalam waktu cepat. Malam ini gua jadi agak bingung bagaimana kita tidur nantinya.
Bersambung ke Chapter 15
yang udah lama gak pernah ngasih komentar, ayo komentar lagi...
biar saya tambah semangat menulis serial ini...