It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bagaimana Kita Bertemu
Evan adalah nama salah satu sahabat terbaiku. Dia adalah teman satu kost ku dan dia adalah... hmmmm, apa ya. Sahabat tapi mesra, hahaha... i gak tau juga deh.
Kisah ini berkisah tentang kehidupan gua dan Evan. Si sahabat yang baik... si sahabat yang sering ngomel-ngomel juga, si sahabat yang heboh... si sahabat yang gay. Ya, dia gay... dan gua menerimanya... dan gua pun perlahan menikmatinya. Dia membelokan gua. Gua harus mengakui itu.
***
Semua ini bermula dari awal gua masuk kampus. Ketika gua baru aja selesai mengurus registrasi gua di kampus dan duduk-duduk sendiri sambil minum freshtea botol. Berlindung didekat gedung dari panas matahari jam 2 siang. Jakarta panasnya keterlaluan! Aje gile!
Ditengah asiknya gua mengademkan diri baik diluar maupun dalam, mendadak sesosok pria duduk beberapa meter disebelah gua. Dia juga sama minum freshtea dingin. Kalo bukan perbedaan ras dan gaya yang cukup mencolok maka gua gak akan menatap dia lama-lama. Cowok ini sepertinya keturunan campuran. Entah bapak atau ibunya yang dari luar negeri yang gua tau cowok ini ganteng banget. Gua yang saat itu masih berpikiran 100% straight juga mengagumi kegantengan cowok ini. Kelakuannya begitu normal. Dan gaya berpakaiannya sepertinya menandakan kalo dia berasal dari keluarga yang mampu. Wajahnya percampuran antara macho dan manis. Sepertinya dia juga kaya gua baru daftar buat masuk kampus ini. Ada bungkus rokok Marlboro Black Menthol yang menyelip keluar dari kantong celana jeansnya. Rokoknya sama lagi sama punya gua, hehehe... okay, sampai disini gua kembali menatap lurus. Kembali bersikap seperti baru melihat kucing lewat.
Lima menit kemudian gua memutuskan untuk merokok. Paru-paru ini sepertinya butuh di fogging untuk membuat keadaan gua lebih santai. Maka gua mengambil sebatang rokok dan kemudian gua sadar korek gua gak ada. Sialan! Gua ingat terakhir gua lempar tuh korek gas gara2 gak nyala-nyala pas gua coba nyalain tadi. Hasilnya sekarang gua gak punya korek. Ya seperti yang kita tahu berikutnya gua meminta korek dari cowok disamping gua.
“Bos, ada korek api gak?”
Si cowok itu menatap gua sejenak, tatapan yang cukup bersahabat. Kemudian ia memberikan korek gasnya. Gua menerimanya dan menyalakan rokok gua.
“Mau kuliah disini bos?” gua bertanya sambil mengembalikan koreknya.
“Ya.” Dia menjawab ramah sambil tersenyum manis. Yakin deh, ada banyak cewek yang akan menggelepar kalo ngeliat dia senyum. Secara fisik dia itu tipe cowok yang tidak akan pernah malu-maluin kalo diajak kondangan. Cewek bakalan bangga pamerin dia sama orang-orang.
“Nih lo cowok gua. Ganteng kaaaan, keren kaaaaan! Emang kaya cowok lu. Hus, lempar ke laut aja, sana!”
Tipe cowok yang bikin orang bakalan nengok sekilas untuk memperhatikannya. Yang belakangan gua menyadari memang dia memiliki gaya tersendiri kalo berpakaian.
“Ambil jurusan apa bos?” gua kembali bertanya, berusaha membuat pertemanan.
“Broadcasting, bos. Elo?”
“Wah sama kita. Gua juga ambil jurusan Broadcasting.”
Dia tertawa kecil menyadari kebetulan ini. Lalu setelah beberapa saat ngobrol, kitapun berkenalan.
“Gua Evan.” Dia mengulurkan tangannya. Tampak sangat straight.
“Gua Raffa.” Gua menyambut tangannya.
Dan berikutnya kita kembali mengobrol. Membicarakan hal-hal formal. Dan rentetan kebetulan pun kembali terjadi. Kita sama-sama suka film. Kita sama-sama suka ke bioskop dan... kita sama-sama lagi cari kosan deket kampus.
“Giiiila, dari tadi kebetulan mulu ya.” Gua ketawa kecil.
“Hahaha... jodoh kali.” Si Evan nyeletuk.
Kitapun saling berpandangan sebentar sebelum kemudian masing-masing ketawa. Saat itu gua masih menganggap celetukan dia hal lucu untuk bego-begoan.
“Mau cari kosan disini, dimana ya?” Evan kembali berkata.
“cari bareng-bareng yuk.” Gua memberikan usulan. “Tapi katanya sih kosan di Jakarta mahal-mahal.”
“wah, gak sanggup gua kalo kemahalan.”
“Yaaaa kita barengan aja kosannya. Biar pete-pete. Biar jatoh-jatohnya murah. Dapet kosan bagus, tapi harganya murah!”
“Oke!” dia menyetujui.
Lima menit kemudian kita sudah berjalan bersama menelusuri sekitar kampus untuk mencari-cari kosan. Kesegaran freshtea ternyata hanya bertahan sebentar, karena panasnya terik matahari menyerap itu semua keluar dari badan kita berdua.
“Anjreeeeet! Panas banget, Jakarta! Jahanam!” Ya, mungkin ini omelan pertama yang gua alami dari Evan. Kita berdua diterpa panasnya matahari saat mencari kosan deket kampus.
“Iya nih, parah banget panasnya!” gua ikut-ikutan mengutuki panasnya Jakarta.
“Elu nanti pas ngekos bawa kulkas gak, Raf?” tanya Evan sambil berjalan.
“Emang kenapa?”
“Bawa aja. Yang gede! Biar gua bisa ngadem didalem pas pulang kuliah. Hahaha...!”
“Hahaha, gila lo. Busuk makanan nanti kalo elu masuk dalem kulkas!”
“Hahaha...”
Kita masih saja keliling-keliling cari kosan. Setelah 15 menit ngeluntang-ngelantung akhirnya kita tiba di kosan pertama. Si pemilik menunjukan kamarnya kaya gimana. Cuma 3x3 meter. Kita gak nolak, tapi gak setuju juga. Kita coba cari kosan lain. Berikutnya kita dapet juga kosan 3x3 meter, namun harganya lebih mahal dari yang pertama. Langsung tolak. Berikutnya dapet kosan yang lumayan enak, ada 2 kamar pula. Cuma harganya mahal banget. Langsung ditolak. Sampai kira-kira pukul 4 sore kita akhirnya dapet kosan yang lumayan dari semuanya. Ruangannya lebih besar dari semua kosan yang kita kunjungi sebelumnya. Bisa muat dua kasur terpisah dan masih muat untuk lemari, meja belajar dan beberapa barang kecil lainnya. Harganya emang terbilang mahal, Cuma karena kita bagi dua maka jadi murah. Gua dan Evan pun deal untuk ambil kos ini.
Gua kira kita bakalan jadi dua-duanya orang baru disini. Tapi ternyata tidak. Ada cukup banyak calon mahasiswa lain yang mulai ngekost disini. Jadi secara garis besar sebagian besar penghuni kos ini baru semua. Lumayan lah. Males juga kalo ngekos sama orang lama, takutnya pada songong, hehehe...
Deal, besok dibayar dan besok pula mulai angkut barang.
***
Hari pertama ospek sudah selesai. Jam 6 sore kita baru disuruh pulang setelah di kampus hampir 12 jam. Gila ya, dari jam 6 pagi sampe jam 6 sore. Pegel! Gua dan Evan langsung terkapar di kasur masing-masing begitu tiba di kosan jam setengah tujuh kurang. Kalo dari kampus ke kosan jalan kaki bisa makan waktu 15 menit.
“Raf, kalo besok gua udah gak bernyawa lagi, tolong bilang ke keluarga gua, gua menyayangi mereka semua. Terus bilang ke nyokap gua kalo waktu sma gua sering banget nyolong duitnya. Minta maap aja dah kalo gitu.”
“Van, kalo gua yang besok udah gak bernyawa lagi, tolong bilang ke cewek gua kalo dia baru boleh pacaran lagi setelah 1000 hari gua meninggal. Dan cowoknya gak boleh lebih jelek dari gua.”
“Ya udah nanti pacaran ama gua aja, hahaha...”
“Kalo gitu gua hidup lagi dah, gak rela gua.”
“Hahahah, tolol lo.” Evan terkekeh.
Satu jam kemudian kita terpaksa bangun. Mau gak mau! Perut harus diisi. Maka kita pun berganti pakaian. Entah kenapa mata gua selalu tertuju pada badannya Evan yang terbentuk sempurna. Otot-otot keringnya, six packnya, kerampingannya, otot punggungnya. Semuanya begitu sempurna. Evan memang cowok yang sempurna. Gua terbawa ke masa dimana untuk pertama kalinya gua melihat Evan tanpa kaos, ketika kita selesai beres-beres kamar kos. Setelah bolak-balik masukin barang. Hal yang bukan Cuma kita berdua aja yang lakukan, karena ada beberapa anak kos baru yang kebetulan mulai masukin barang bersamaan dengan kita. Hal ini cukup menguntungkan karena jadinya kita bisa saling berkenalan. Setelah selesai kita berdua lantas tergeletak lemas di kasur masing-masing. Evan secara naluriah membuka kemejanya dan memperlihatkan badan seksinya. Gua gak nafsu, tapi gua malah sirik. Sialan, nih cowok apa yang kurang sih. Kayanya yang ada dia yang bagus-bagus semua. Gua langsung minder sendiri dengan badan gua yang ceking tak ada otot.
Beberapa hari berikutnya, sehari setelah dikasih tau panitia soal perlengkapan yang harus dibawa selama ospek, gua dan Evan dan beberapa temen kos lainnya secara berjamaah pergi dari satu pasar ke pasar lain, dari satu warung ke warung lain, dari satu mall ke mall lain, dari satu supermarket ke supermarket lain untuk memenuhi kebutuhan ospek. Kebetulan lagi para anak kost baru di kosan gua sebagian besar masuk ke kampus yang sama juga walaupun berbeda jurusan dan fakultas. Cuma karena ospeknya barengan maka kita keliling-keliling Jakarta barengan. Jadinya kita sering charter mikrolet barengan. Malahan sampe disatu tempat si supir angkot rela nungguin kita dengan tambahan 2 ribu tiap-tiap orang sebagai upah nunggu. Kemudian jadinya tuh angkot udah kaya mobil pribadi yang nganterin kita kemana-mana selama cari-cari peralatan.
Begitu malam tiba semuanya belum usai. Kita harus mulai prakarya. Gunting-menggunting, mewarnai, tulis-menulis dan lain sebagainya. Secara inisiatif para cewek masak indomie buat makan malam sementara para cowok melanjutkan pra karya. Ada satu penghuni lama yang berbaik hati memberikan wejangan-wejangan. Dia senior dikampus kita namun bukan tipe mahasiswa yang senioritas, namun termasuk kategori orang yang berprinsip “anda sopan, kami segan.”
“Nyantai aja kalo ospek. Kalo bisa jangan sengong, jangan tampang bego dan jangan banyak tingkah. Berlaku biasa aja dan jangan cari-cari masalah. Karena biasanya senior bakalan ngerjain elo.”
Kita mendengar dengan penuh hikmat.
“Soal menu besok yang dikasih teka-teki. Kalo elu gak tau, elo bikin aja semampu elo. Soalnya palingan elo Cuma diketawain doang. Pas ospek bersama elo dikerjaian bareng2. Beda kalo pas ospek fakultas, bisa aja elu dikerjain yang aneh-aneh. Elu juga bisa tanya sih sama mentor-mentor yang ada disana. Beberapa suka ada yang ngasih tau kok jawabannya.”
“Kalo elo ngerasa gak sehat, gak mampu atau gak bisa yang lain, bilang terus terang. Panitia yang baik biasanya bakalan ngasih keringanan.”
Lewat pukul 12 malah baru deh kosan sepi. Semuanya mau tidak mau harus tidur. Entah elo insomnia kek, entah elu gak bisa tidur kek, atau emang udah ngantuk, harus tidur. Karena untuk istirahat sekaligus ngumpulin tenaga buat besok paginya. Soalnya jam setengah 5 kita harus udah bangun. Siap-siap dan jam 5 kita berangkat dari kosan menuju kampus. Ospek emang dimulai jam 6, tapi kita harus udah dikampus jam setengah 6!
Dan dari jam 6 pagi sampai jam 6 hanya menyisakan kelelahan luar biasa seperti yang gua dan Evan alami sekarang ini.
“Raf, ke warteg yuk! Makan disana.” Si Evan mengusulkan diri setelah ganti baju dengan kaos dan celana selutut.
“oke. Yuk.” Gua menyetujui.
Kita berduapun keluar kamar, begitu hendak meninggalkan tempat kos salah satu temen kos yang juga temen ospek nongol keluar dari kamarnya. Namanya Margo.
“Woy, lo pada mau ke warteg ya?”
“Kok tau?” si Evan heran.
“Ya nebak aja. Gua nitip dong. Nasi, sama telor dadar sama orek sama udang, sama tempe goreng.”
“Ah, gak inget gua.” Kata Evan.
“Ah ya udah , gua tulis dulu.” Si Margo balik lagi kedalam kamar kosnya.
“Tapi gua makan disana, gak papa ya kalo lama.”
“Gak papaaa... gua capek banget. Males bergerak!” sahut si Margo dari dalam kos, tak lama kemudian ia keluar sambil memberikan kertas menu makan malamnya.
Mendadak Misca, temen kosan dan temen ospek juga muncul keluar dari kamar.
“Evaaan, gua juga nitip doooong... nih gua tulis pesenan gua sama si nanda di kertas.” Kata si Misca begitu manis dan manja.
“Gila, elu mah emang udah niat nungguin orang buat disuruh kan, Mis.” Kata si Evan.
“Hehehe...” Si Misca cengengesan. “Capek banget gua, Vaaaan... badan gua rontok semua. Gua aja heran sama elu berdua masih sanggup jalan keluar dalam keadaan nestapa begini. Apa gak capek badan lo pada?”
“Capek sih iya, mis. Tapi kan kita butuh makan untuk nyambung nyawa.” Jawab gua dengan lugu. “Entar pada nyari telor sama roti tawar bareng kan?”
“Iya, tapi ntar ya, jam 9an. Tunggu bedan oke dulu. Kita cari di alfa midi aja, pasti ada kok.” Kata Misca.
“Oh okay, betewe yang lain pada kemana? Belom pulang.” Tanya gua.
“Pada beli makanan dulu, tadinya gua mau nitip mereka Cuma gua belum sempet tukeran nomor, jadi gak jadi deh, hehehe... untung ada kalian, dua cowok ganteng yang baik hati.”
“Dasar kau ini. Ongkos 2000, pajak 1000 dan administrasi 1500. Jadi nanti elu sama nanda masing-masing kena charge 4500 ya.”
“Ah elu mah Raf. Sesama anak kos gak boleh saling memeras. Gak baek! Udah, pada beli sana! Laper nih gue.”
“Jiaah, dia ngusir.” Celetuk si Evan. “Ya udah, yuk raf.”
Gua dan Evan pun beranjak ke warteg terdekat. Saat jalan mendadak hape Evan berbunyi dan berikutnya gua mendengar percakapan ala orang pacaran. Jadi selama perjalanan gua kaya nyamuk aja gitu nemenin si Evan yang cekakak-cekikik ditelpon. Sampe warteg baru deh dia berenti nelpon. Ngehe emang!
Sejauh ini semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Semuanya masih normal dikala itu, menurut gua. Evan adalah teman yang menyenangkan, temen kos yang klop dan belakangan ini temen nonton yang asik. Ya... sejauh ini semuanya masih baik-baik saja.
Bersambung ke Chapter 2
The New Guy
“Hai beb, gimana udah makan malam blom?” gua membuka percakapan ketika sedang melakukan ritual telepon malam bersama Gadis, pacar gua selama 2 tahun ini.
“Udah dong, kamu sendiri gimana. Udah makan blom?” Gadis yang ceria menyahut dari seberang sana. “makan apaan? Warteg apa Indomie?”
“Akuuuu... makan indomie.” Gua menjawab jujur dan sudah tahu reaksi dia bakalan kaya gimana.
“What! Kamu makan indomie! Kamu mau cepet mati ya?! Emang kamu pikir sering-sering makan indomie sehat apa? Bikin cepet mati tauk!”
“i know-i know. Cuma tadi gara-gara kelaperan aja sama males keluar jadinya rebus indomie aja. Lagian tadi juga indomienya dibeliin sama temen kos aku.”
“Berkelamin apa?”
“Batangan, kok. Tenang aja.”
“Tuh kan, kamu tuh udah males, makannya indomie pula. Emang kenapa sih gak makan di warteg aja. Kan pilihan menunya banyak! Sehat-sehat lagi!”
“Iya-iya-iya, maaaap... besok-besok aku makan warteg aja deh.”
“Kamu mau debus ya? Makan warteg. Emang sanggup makan bangunan segede itu?”
“Maksud aku makan di warteg, beb.”
“Bagus kalo begitu... ya sudah, mari kita bicarakan yang lain, gimana hari pertama kuliah kamu, seru gak?”
“Biasa aja.”
“Udah ada yang kamu kenal?”
“Baru satu, dan itupun satu kosan lagi sama aku, hahaha...”
“Siapa namanya?”
“Namanya Evan.”
“Evan! Kayanya orang bule ya?”
“Kok tau?” Ekspresi heran gua sama persis seperti yang diucapkan Evan ketika Margo tau kita mau ke warteg.
“Yaaaa, dari namanya aja udah keliatan kali.”
“Yak elah, beb, gak semua orang bule namanya Evan kali.”
“Iyaaa, tapi nama Evan itu udah identik sama orang bule.” Gadis berargumen. “Coba aku tanya, kalo aku sebut nama Markonah, orang mana yang ada dipikiran kamu?”
“Orang Indonesia. Cewek.”
“Nah itu dia, mana ada orang bule yang namanya Markonah. Ya kan!”
Gua males membahas kegiatan bertelepon sampai habis karena setelahnya hanyalah obrolan-obrolan minim intelektualitas yang gua rasa bisa menurunkan kadar IQ.
Evan masuk sesaat setelah gua selesai bertelepon. Ia baru saja mandi. Hanya dengan mengenakan celana pendek dan topless dengan handuk melingkar dilehernya ia masuk sambil mengeringkan rambut cokelat pendeknya. Seharusnya orang yang sudah mandi membawa suasana segar dan rasa damai. Namun ini seperti tidak berlaku untuk Evan.
“Raf, elu nyium bau busuk gak?”
Hidung gua mengendus-endus mencari bau. Evan juga ikutan ngendus-ngendus seperti anjing, dan ia lebih sempurna melakukannya.
“Gua gak nyium bau busuk ah. Sepatu lo kali, Van, nginjek tai kucing.”
“Gak mungkin, kalo beneran nginjek tai kucing dari tadi siang pasti baunya udah kecium.” Endusan Evan terus-menerus dan entah kenapa semakin dekat gua arah gua. Dan benar saja ia berhenti satu meter didepan gua. “Elu raf yang bau. Anjrit dah! Sampah abis baunya!”
“Ngeheeee....!!!” Gua menggeplak kepala Evan. “Gua emang belom mandi, tapi gua gak bau kali.”
“Wuakakakak, nah itu dia. Pantesan bau nih kamar kos, bedebahnya elu ternyata, wuakakakak... mandi gih sana, apa perlu gua mandiin lu. Gua gak mau nih kosan jadi bau.”
“Okey-okey.” Gua bangkit berdiri lalu melepaskan kaos dan celana jeans gua, dan hanya menyisakan boxer hitam saja. Tanpa sadar ketika proses menelanjangi diri gua diperhatikan oleh Evan.
“Yak ampun Raf, gua kasian ngeliat elu. Elu tuh ceking amat sih.” Evan menatap badan gua dengan penuh iba. Harap diperhatikan disini, khususnya segala hal yang diucapkan Evan. Evan itu seneng banget menghiperbolakan sesuatu. Asal tau aja, badan gua emang kurus, tapi bukan kurus kaya orang kekurangan lemak atau tinggal tulang doang. Masih ada dagingnya kok. Emang sih tangan, pundak, dada dan punggung gua gak berotot, tapi walaupun gak six pack, perut gua termasuk rata kok, gak gendut. Evan itu suka lebay orangnya. “Elo gak sirik apa liat badan gua?!” Tanya Evan.
Evan yang Cuma bercelana pendek aja lantas berpose ala binaraga, lengkap dengan ekspresinya. “Liat tuh, badan gua keren kan! Cewek bisa klepek-klepek kalo liat badan gua kaya gini. Lo liat nih perut gua, beuuuuh, six pack abis, gua malah rencana pengan eight pack. Nih lo liat lengan gua, keren kan ototnya. Punggung gua, dada gua, beuuuuh, mantep dah.”
“Iya-iya-iya... gua tau. Badan elu emang keren kok, pantesan pamer mulu.”
“Lah iya lah, emangnya gampang dapetin beginian. Asal lu tau ya, gua tuh dulu gemuk... yaaaa gak gemuk-gemuk amat sih, tapi lemaknya berlebih lah. Nah gua tuh berjuang keras biar kaya gini. Elu tuh ya, sebenernya udah bagus badannya, badan elu udah kering. Malah cenderung menyedihkan, kalo elu mau isi ama otot malah gampang.”
Gua merasa tertarik mendengar perkataan Evan, sepertinya dia udah pro banget dalam dunia fitnes. Gua emang ada niatan untuk mulai membentuk badan dan hidup sehat, Cuma masalahnya gua masih belum bisa berhenti merokok. Maklum, udah 3 tahun ngerokok sih, jadi susah ilangnya. Hehehe...
“Jadi gua ada peluang besar nih untuk bisa punya badan bagus kaya lo?”
“seratus persen bisa!” kata Evan semangat. “Gua tanya dulu, tapi elu mau gak gua ajak fitnes sama minum suplemen?”
“Ya mau lah.”
“Duitnya ada gak?”
“Soal duit mah gampang.”
“Okay kalau begitu. Kebetulan beberapa hari kedepan gua mau nyari tempet fitnes yang deket-deket sini. Nanti elu gua daftarin sekalian.” Kata Evan tampak serius. “Tapi sebelumnya, coba elu buka celana lu?”
Bah?! Ada apa ini, kenapa dia nyuruh gua bugil didepan dia. Dia kan cowok, gua juga cowok. Masa jeruk makan jeruk.
“Ngapaian gua disuruh buka celana?”
“Udah buka ajaaaa...!!”
“Nggak ah, aneh-aneh aja lo.” Kata gua menolak.
Namun Evan tidak menyerah, dia mendekati gua dan menurunkan celana gua. Sempat terjadi aksi tarik menarik antara gua dengan Evan. Namun karena tenaga Evan lebih besar maka gua harus rela. Evan berhasil menurunkan celana boxer gua. Posisi gua dan Evan seperti posisi orang yang hendak ngeblowjob. Evan berlutut didepan gua, kepalanya sejajar dengan penis gua yang tertidur lemas. Sejenak gua mengira akan terjadi hal yang aneh-aneh, yang berhubungan dengan dunia homo. Namun ternyata tidak—atau setidaknya belum terjadi saat ini. Evan malah membalik badan gua dan meremas-remas pantat gua—okay, ini agak homo, tapi gak apa-apa lagi selagi dia ngeremasnya sambil bilang; “Elo pasti seneng lari ya atau gak main bola?”
“Iya.” Gua menjawab dengan agak risih, mana enak ngebiarin cowok ngeremas-remas pantat lo!
“Pantat lo udah bagus gak tepos namun gak over. Paha lu kalo dilatih dikit jadi bagus. Perut lo udah rata, elu rajin sit up aja pasti gampang muncul six packnya. Dada lo gak rata, itu bagus. Elo bisa gampang nanti buat ngejadiin dada lo. Lengan elu emang agak cukup menyedihkan, gak ada otot sama sekali. Tapi itu bisa diatur lah.”
Asal tau aja, selama dia berbicara dia juga memegang setiap anggota tubuh yang dia bicarakan. Dan gua anehnya Cuma diam saja ketika Evan dengan leluasa menggerayangi tubuh telanjang gua.
“Yakin deh, 5 bulan aja elu fitnes yang rajin, pasti badan elu bakalan jadi kaya gua.”
“Beneran?”
“Bener! Ya udah mandi gih lo sana. Jangan lupa pake celana dulu.” Evan berkata sambil iseng menepak pantat gua.
***
Apa yang dikatakan Evan ternyata terbukti benar. Seminggu setelah pembicaraan aneh malam itu gua dan Evan akhirnya jadi member sebuah tempet fitnes disebuah mall yang menyediakan fasilitas member untuk pelajar/mahasiswa, yang mana lebih murah daripada member reguler. Evan menjadi temen fitnes sekaligus personal trainer gua. Dobel untung jadinya.
Malam setelah hari pertama fitnes yang gua rasakan pegal-pegal luar biasa. Gua ngomel-ngomel sama si Evan dan menggerutu terus lantaran badan gua pada sakit semua. Sementara Evan yang tidur-tiduran di kasur seberang tampak anteng-anteng aja. Sebulan setelah gua mengikuti fitnes gua emang melihat perubahan yang berarti. Eman bener ternyata otot perut gua samar-samar mulai terlihat. Lengan gua mulai membesar karena otot mulai tumbuh. Punggung gua juga mulai tumbuh otot serta dada gua semakin berkembang dengan baik.
Dikarenakan Evan adalan teman kuliah, sekaligus teman kos, sekaligus temen fitnes dan yang paling penting adalah dia personal trainer gua, baik di tempat fitnes maupun di kosan, maka dia bener-bener melatih dan mengamati gua secara personal. Itu terbukti dari gua yang harus senantiasa telanjang didepan dia berdiri tegak, berputar-putar sementara Evan duduk mengamati atau kadang pegang-pegang, toel-toel, atau remas-remas. Cewek gua aja Cuma beberapa kali ngeremas pantat gua pada waktu iseng-isengan. Sementara Evan sudah tak terhitung lagi berapa kali dia meremas pantat gua, paha gua, lengan gua. Pencet-pencet dada gua, perut gua, punggung gua. Maka jika ada orang yang paling sering melihat ketelanjangan gua selain gua sendiri dan Tuhan, orang tersebut adalah Evan. Begitu seringnya si Evan ngeliat gua telanjang, sampai-sampai gua jadi terbiasa telanjang didepan dia. Dia remas-remas kontol gua aja, gua udah biasa aja. Memang, metode pengajaran dia aneh sekali.
***
Sudah 2 bulan gua dan Evan kuliah. Teman-teman mulai bertambah, serta progres badan gua semakin baik. Badan gua mulai terlihat berotot walaupun tidak sebaik Evan. Dikosan masing-masing mulai menampakan sifat aslinya. Evan selain suka hiperbola dan bershirless ria di kosan, dia juga orangnya males dan pinter mensugesti atau mempersuasi orang untuk mengerjakan pekerjaan dia.
Akhir-akhir ini setiap ada tugas kelompok dimana gua dan Evan menjadi satu kelompok. Seringnya gua sendiri yang bakalan ngerjain tugas. Evan ada aja alesannya kalo gua ajak ngerjain tugas bareng.
“Van, yuk kerjain tugas.”
“Elu dulu deh yang ngerjain, gua lagi sibuk chatting nih. Penting.”
Gua lantas mengerjakan duluan, namun berikutnya gua mendapati si Evan udah molor di kasurnya dan gua mau gak mau harus ngerjain tugas itu sendirian sampe larut malam.
“Van, tugas naskah TV dikumpulin besok, selesaiin yuk.”
“Entar aja deh, elu dulu yang ngerjain, lo gak liat gua lagi sibuk makan?”
Lantas gua mengerjakan duluan membiarkan Evan dengan tenang makan. Dengan spekulasi habis makan maka tenaga Evan akan pulih dan pikiran kembali jernih. Kita bisa mengerjakan dengan baik. Sayangnya habis makan si Evan nyantai-nyantai lalu tidur. 6 jam gua habiskan buat bikin skenario drama bakal tugas kampus.
“Van, ayo dong ah kerjain tugas bahasa Indonesia. Cuma bikin makalah doang kok, gampang.”
Evan yang sedang tidur-tiduran di kasurnya tampak mendengar penuh perhatian. Ia lalu menjawab dengan serius. “Baiklah, Raffa. Gua akan bantu lo. Gua pasti bantu elo, kaya gua bantuin elo bikin badan lo bagus. Tugas ini sebenarnya mudah. Bener toh?!”
“Bener.” Gua dengan lugunya mengiyakan pertanyaan tidak penting si Evan tersebut.
“Namun satu hal yang bikin tugas ini sulit. Mau tau apa itu?”
“Apa?”
“Inspirasi!” Evan menjawab. “Maka dari itu, elo beri gua waktu sebentar untuk mencari inspirasi biar tugas ini bisa gua kerjakan.”
“Oh, okay.”
Kemudian si Evan meletakan kedua tanganya dibawah kepala dan menutup mata.
Dua menit kemudian.
“Gimana, Van? Udah dapet inspirasi apaan?”
“Belom, gua masih nyari.”
Lima menit kemudian.
“Udah dapet, blom?”
“Belom. Sabar.”
10 menit kemudian.
“Udah dapet belom inspirasinya, kelamaan lu nyarinya.”
“Zzzzzzzzz.....”
Gua menghelas nafas, “Bangsaaaaaaaatttttt....!!!!”
Kembali gua sendiri yang mengerjakan tuh tugas kampus. Jam 1 pagi gua baru tidur gara-gara mahluk laknat itu gak ngebantu gua sama sekali. Gua capek-capek browsing cari bahan, ngetik, kumpulin data, nyusun kalimat sama data sampai akhirnya jam 1 selesai semuanya. Rasanya melelahkan.
Sebelum tidur gua menatap tajam Evan, seperti tatapan pemeran antagonis dalam sinetron. Membayangkan rasa bahagia menggoreng Evan yang sudah ditepungin menjadi Evan Goreng. Sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Gua menutup mata dan tidur.
***
Gua lagi asik denger musik melalui earphone gua yang gua colok ke laptop gua ketika gua melihat sesosok orang yang berdiri didepan pintu dari jendela kamar kos gua. Kalo Evan pastinya langsung masuk, namun ini berhenti saja didepan pintu. Gua lantas melepaskan earphone gua dan membuka pintu.
“Ya, cari siapa?” tanya gua ketika pintu tersebut terbuka.
“Oh, hai. Evannya ada?” seorang pria berwajah sangat Indonesia sekali menjawab. Ia tampak bersih dan terawat namun tidak meninggalkan kesan machonya yang tercetak jelas diwajahnya. Cowok tersebut mengenakan kemeja hitam celana jeans. Rambutnya hitam pendek dan rapih.
“Oh Evannya lagi mandi. Paling entar lagi juga selesai. Ini dengan siapa?”
“Oh, saya Panji.” Cowok tersebut mengulurkan tangan mengajak salaman.
“Raffael.” Gua menyambut tangan dia dan bersalaman. “Masuk aja dulu, mas. Entar lagi si Evan juga bakalan selesai mandi.”
Dan si Panji itu masuk kedalam kamar kos gua dan duduk di kasurnya si Evan. Sepertinya cowok ini berumur beberapa tahun lebih tua dari gua. Jangan-jangan ini abangnya kali, Cuma kalo abanganya gak mungkin banget. Evan aja putih bersih dan berwajah blenderan Indonesia, Korea dan Amerika, sementara cowok ini berwajah Indonesia banget dan kulitnya gak seputih Evan, malah cenderung kecokelatan.
Untungnya Evan dateng gak lama kemudian.
“Oh elu udah datang, Nji.” Kata Evan sambil masuk dan menutup pintu. “Kita sekarang mau kemana nih enaknya.”
“Seperti minggu kemaren aja lah, gak bosen kan”
“Nggak lah... ama alu mah kapan sih bosen. Hahaha...” Evan lantas melempar handuknya entah kemana, menanggalkan sisa pakaiannya. Gua kalo gua sama Evan doang saat ini sih biasa-biasa aja, abis kita berdua udah pernah ngeliat ketelanjangan satu sama lain. Evan apa lagi. Namun dengan adanya orang ketiga dan Evan yang telanjang, gua yang Cuma pake boxer doang, ini merupakan situasi yang cukup aneh. Apa sebelumnya si Panji ini udah biasa ngeliat Evan telanjang. Wah, bener nih, si Panji abangnya si Evan. Cuma mungkin aja si Panji yang anak angkat, atau Evannya yang anak angkat.
Lima menit berlalu dan Evan sudah berpakaian rapih. Celana jeans dan kaos v-neck coklat serta jaket. Dan setelah semua siap, mereka berdua pun berpamitan.
“Raf, gua pergi dulu ya jalan-jalan. Elu jagain kos kita, jangan sampai ilang. Okay!”
“Yaaa...” gua menyahut dengan malas.
Dan Evan serta Panji pun pergi. Meninggalkan gua sendirian di malam minggu. Gini nih gak enaknya kalo hubungan jarak jauh. Kalo malam minggu gak bisa keluar jalan. Jangankan malam minggu, udah hampir 2 bulan gua sama Gadis gak jalan bareng. Gak enak banget deh rasanya. Kan ada yang kangen pengen ‘jelajah goa’, huhuhuhu...
Bersambung ke Chapter 3
yo, lanjutanya udah ada tuh, hehehe...
Cowok Seksi?
Sudah dua bulan berlalu dan hubungan persabahatan gua dengan Evan semakin erat. Sampai-sampai gua curiga ada yang mikir gua sama Evan ini pasangan gay lagi. Hihihi... latihan fitnes gua dengan Evan masih terjadi, Evan dengan semangat 45 terus memaksa gua untuk latihan fitnes, entah gua males atau capek dia akan terus nyeret gua untuk fitnes. Penilaian badan sekarang udah menjadi seperti kebiasaan bagi gua. Rasanya udah biasa banget gua telanjang depan Evan, dimana Evan dengan leluasa pegang bagian tubuh manapun yang dia mau.
Hari sabtu gua menyempatkan diri untuk kembali ke rumah. Gua kangen rumah dan gua kangen cewek gua. Setelah sampai di rumah gua istirahat sebentar lalu sorenya gua ke rumah cewek gua. Awalnya sih Cuma ngobrol-ngobrol doang dan bercanda. Namun ketika kedua orang tuanya berangkat kondangan dan kita disuruh di rumah aja jangan kemana-mana sampai mereka kembali, maka kita mematuhinya dengan masuk ke dalam rumah, kunci pintu dan masuk ke kamar. Di kamar langsung saja kita saling menanggalkan pakaian dan melakukan hubungan seks.
Jangan pikir anak SMA jaman sekarang lugu-lugu. Sebagian besar dari mereka malah lebih mengerti masalah seks dibanding sebagian dari orang tua yang ada. Gua dan Gadis pertama kali melakukan hubungan seks ketika gua kelas 3 dan dia masih kelas 2 SMA. Kita selalu melakukan safe seks dengan selalu memakai kondom. Namun frekuensi hubungan seks kita gak sering, sama yang sekarang berarti baru 5 kali gua berhubungan seks sama dia.
Gadis bukanlan tipikal cewek yang pintar bercinta. Dia tipe cewek yang nurut aja diapain. Mau misionaris kek, mau doggy style kek, mau woman on top kek, mau berbagai gaya kamasutra kek, semuanya dia nurut aja. Biasanya gua yang lebih pro aktiv dalam urusan ranjang.
Setelah selesai, seperti biasa, gua dan gadis bersantai sejenak dalam ketelanjangan kita dibalik selimut. Gadis membuka Ipad-nya dan langsung online. Ia kemudian membuka profil facebook gua karena gua bilang si Evan baru tag foto baru. Hasil dari jalan-jalan gua sama temen-temen kampus ke dufan. Kala itu karena dosen gak ada, maka kita ramai-ramai jalan ke dufan. Seperti biasa, Evan paling heboh kalo udah sampai dufan. Semua wahana dinaikin semuanya. Mulai dari istana boneka sampai tornado dia sabet semuanya.
“Eh naik Kora-kora yuk, seru!” Evan mengajak dengan semangat.
Ayooooo....
“Eh naik Histeria yuk, kayanya asik tuh!”
Ayooooo....
“Eh naik halilintar yuk!”
Ayoooo.... dengan beberapa temen cewek yang nggak ikut. “Ah gak mau ah, ntar gua mandul!” Gimana caranya coba?
Berikutnya...
“Naik tornado kayanya lucu tuh. Naik yuk!”
Cuma berenam yang naik Tornado, 2 cewek dan sisanya cowok termasuk gua dan Evan. Setelah selesai.
“Eh, naik lagi yuk. Kan lagi sepi!”
Beramai-ramai menjawab : “Naik aja sendiri!”
Dan Evan naik tornado sendirian. Yang lain pada nonton sambil geleng-geleng kepala.
“Itu anak waktu masih dikandungan ibunya makan apa ya?” Kata salah satu temen gua.
“Makan badak kali.” Gua nyeletuk.
Waktu istirahat mendadak Evan menggeluarkan blackberrynya dan mendatangi gua.
“Raff, kita foto berdua yuk. Setelah gua melihat sejarah elu dan gua, kayanya kita blum pernah foto bareng deh. Foto bareng yuk! Lumayan buat kenang-kenangan, hahaha...”
“Oh, oke.”
Dan terjadilah, gua berdua foto bareng Evan. Awalnya foto-foto sok cool, namun kemudian berubah foto-foto jadi senyum-senyum dan ketawa-ketawa sampai akhirnya foto gokil-gokilan. Dan satu foto yang diupload dia ke facebook adalah yang mungkin merupakan foto terbaik. Dimana gua dan Evan saling berpelukan satu tangan dan tersenyum lepas menatap kamera. Foto yang cantik. Di foto tersebut gua dan Evan tampak begitu bahagia, begitu dekat, begitu saling menyayangi tampak seperti dua sahabat yang sedang bahagia.
“Ini temen kos kamu?” tanya gadis ketika dia melihat foto tersebut. “Yang namanya Evan?”
“Iya, gimana menurut kamu orangnya?”
“Ih sekilas tuh kaya artis korea ya. Dia blesteran ya?”
“Iya, kalo gak salah. Pokoknya ada campuran kanada sama indonesianya deh. Ada turunan korea juga sih, tapi dikit kayanya.”
“Cakep ya, manis lucu gitu orangnya. Kayanya orang bersih lagi.”
“Tapi gantengan aku kan pastinya.”
“Enggak.”
“Dih, parah banget, pacar kamu sendiri juga, ckckck...”
“Iya, disini tuh Evan cakep banget. Hihihi, kamu kalah. Kamu kan cokelat.”
“Hehehe, tapi kamu kan suka sama cokelat. Makanya kamu juga suka sama aku, aku kan kulitnya cokelat. Enak lagi, hahahah...”
“Dasaaaar....” gadis mencubit manja lengan gua. “Tapi ya, jujur, aku suka foto ini. Aku suka ngeliat kalian di foto ini. Kalian tampak begitu bahagia, seperti dua sahabat bahagia. Senyum kalian begitu lepas, rasanya semuanya sempurna aja di foto ini.”
Gua juga kembali menatap foto tersebut dan mau gak mau harus setuju. “Yeah, kamu emang bener. Aku juga suka foto ini. Foto ini benar-benar bagus.”
Kita masih tidur-tiduran sampai sekitar jam 7 malam, ketika kedua orang tuanya pulang, kita pamit untuk pergi nonton. Dan sekitar jam 12 malam gua mengantar Gadis kerumahnya dan kembali pulang.
***
Senin gua kembali ke kosan. Karena senen gak ada jadwal kuliah jadi gua bisa kekosan siang-siang. Begitu tiba, gua liat Evan lagi molor di kasurnya. Dengan dress code andalanannya, celana pendek sepaha berwarna hitam. Evan itu eksebisionis, dia senang pemer badannya. Gua yakin, kalo pamer kontol itu wajar di Indonesia, mungkin Evan bakalan ke kampus dalam keadaan bugil. Hehehe, lebay juga sih.
Melihat Evan yang tidur begitu pulas dan damai seperti bayi yang dibuang orang tuanya, gua jadi terhipnotis untuk juga tidur. Maka gua pun meletakan tas gua, melepaskan sepatu gua, menanggalkan kaos gua, melepaskan jeans gua dan tidur dengan boxer saja. Begitu lelah dan begitu nikmat rasanya dikasur tersebut sehingga gua cepat terlelap. Namun satu hal yang gua lupa, dan ini menurut gua benar-benar tolol. Gua melakukan itu semua tanpa ingat untuk menutup pintu kamar kos gua. Maka jadilah dari siang sampai malam, gua dan Evan tidur dalam keadaan semi bugil dan pintu kos terbuka. Sebuah pemandangan indah bagi para gay ataupun cewek. Mereka bisa leluasa melihat dua cowok seksi tidur dengan hanya mengenakan celana pendek.
***
“Raff... raff... woy Raffa, bangun! Kebo banget dah lo ah tidurnya.”
Sayup-sayup gua mendengar suara pengganggu tersebut. Lalu akhirnya gua membuka mata yang melihat Evan yang tampak baru mandi membangunkan gua. Tau baru mandi karena badannya bau sabun.
“Kenapa sih bangunin gua?”
“Diajak makan diluar tuh sama anak-anak kos. Mandi gih lo sana.” Kata Evan sambil melepaskan handuknya dan berbugil ria mencari pakaian di lemari.
“Ah males gua, masih ngantuk. Elu-elu aja deh yang pergi sana. Ntar lo bawain gua makanan.” Kata gua sambil kembali memeluk bantal guling.
“Yeee, katanya kita berdua harus ikut.” Kata Evan. “Gua juga kalo gak dibanguni si Margo juga gak bakalan bangun. Elu ya, tidur lupa nutup pintu. Udah gak tau dah siapa aja yang udah ngeliat kita tidur kaya gini.”
“Haaah?” gua terlonjak kaget. “Gua lupa nutup pintu ya? Buset, berarti dari siang kita tidur gak nutup pintu dong. Paraaaaahhhh...!!!”
“Udah ah, bodo ah, elu mandi gih sana, entar lagi ke berangkat ke setia budi. Makan disana.”
Gua akhirnya menurut, gua bangkit lalu mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Singkat cerita kita sudah asik-asik ngobrol setelah makan di salah satu restoran di setia budi. Lagi asik-asiknya ngobrol tiba-tiba si Misca mengeluarkan hapenya.
“Eh elo-elo pada mau liat, gak, finalis L-Men 2020.” Kata si Misca sambil jarinya gerak-gerak di layar hapenya. “Keren loh, eksklusif Cuma dari hape gua. Rahasia terungkap! Foto dua finalis L-Men 2020 lagi tidur. Wuakakakkaak...!!! seksi banget kan!”
Misca menunjukan foto gua lagi tidur terlentang dengan hanya mengenakan boxer aja. Kemudian pas digeser berikutnya ada foto Evan yang tidur tengkurep dengan memeluk bantal guling. Sontak semua saling rebutan untuk ngeliat dan setelahnya pada ketawa ngakak.
“Wuakakakak, gokil! Parah! Lo berdua eksebisionis banget dah, tidur aja pake buka pintu segala, kaya kurang dingin aja AC di kamar lo. Wuakakakakak...!!!” si Margo gak berenti-berenti ketawa.
“Iya, seksi banget dah ah!” sahut si Riko yang juga cekakakan dari tadi.
“Kalian ya, mentang-mentang badannya pada bagus pamer-pamer deh. Mis, elu upload ke facebook gih cepetan. Biar heboh anak-anak.” Kata si Nanda.
“Eh jangan dong, ah parah ah. Malu tauk!” Gua kelabakan. “Apus-apus ah! Ini \"adult content\".grafi.”
“Tau,” sahut Evan. “Mis, elo kok kejam banget sama kita. Kita tuh jadi seperti Luna Maya dan Ariel Peterporn tauk. Korban kalian.”
“Biarin, habis siapa suruh tidur bugil gak nutup pintu. Untung aja kalian tidurnya misah, coba kalo tidurnya satu ranjang, lebih heboh lagi tuh. Wuahahahahah...” kata Misca begitu bahagia dan begitu puas.
“Tapi emang harus difotoin, apa? Aturan sebagai teman yang baik kalian nutupin pintu kamar kita dong, huh. Ngambek ah gua.” Kata Evan.
“Wuakakakak, tidak. Mendingan gua foto buat kenang-kenangan, wuakakakak...” kata Misca.
“Heh, Mis, Elo kejam banget sih.” Si Evan mendadak menatap Misca dengan begitu bengis dan geram. “Asal lo tau ya, sampai kapanpun elu gak bakalan dapetin cintanya Farrel. Cintanya Farrel Cuma buat fitri tauk! Elo jangan harap bisa rebutin farrel dari tangan fitri.”
Mendadak semuanya berhenti ketawa dan bengong.
“Hah? Kok jadi nyambung ke sinetron Cinta Fitri sih?” tanya si Nanda bingung.
“Iya, gak di Cinta Fitri gak disini, yang namanya misca tuh jahat orangnya.” Kata Evan pura-pura ngambek.
“Euuuuh, deh Evan ngambek ya, huhuhuhu...” Kata misca sambil memeluk si Evan. “Sini-sini netek dulu sama mamah.”
“Ogah-ogah-ogah, najis deh gua.” Kata si Evan menghindar.
“Diiih, van, emangnya elu gak suka toket cewek?” kata si Margo.
“Nggak!”
Zzebb! Mendadak semuanya diam menatap Evan, dan Evan sepertinya langsung menyadari semuanya.
“Maksud gua, gua gak suka sama toketnya si Misca. Kaya tutup panci soalnya.”
Sontak semuanya meledak ketawa.
“Anjrit! Lo bilang tutup panci. Melon nih!” Kata si misca tidak terima. “Tuh si Nanda yang tutup panci, wuakakakak...”
“Eeeh kurang ajar.” Kata nanda juga tidak terima. “Gua tuh buah kelapa tauuuk...!!!”
Mendengar perkataan si Nanda ledakan tawa kembali terdengar lebih besar. Semuanya ketawa. Dan seterusnya tawa dan canda terus terjadi sampai jam 12 malam dan kita akhirnya kembali pulang ke kosan.
***
Jumat larut malam, Evan baru saja menyelesaikan tugasnya (akhirnya mau juga dia ngerjain tugas) dan tampak ngantuk berat. Ia bahkan langsung ketiduran tanpa mematikan laptopnya dulu. Ketuan banget dah malesnya.
“Van... van... laptop lu matiin tuh, abis ntar baterenya!” Kata gua dari kasur seberang. "Van...!"
Evan tidak menjawab, sepertinya dia udah tidur karena kecapekaan. Maka gua berbaik hati untuk mematikannya, gua ambil laptop si Evan dari pangkuannya dan membenarkan posisi tidur Evan yang tadinya duduk bersendar jadi tiduran, serta menyelimutinya. Kemudian gua melihat tampilan laptopnya yang masih menampilan jendela Microsoft Word 2010. Gua klik save dan menutupnya.
Mendadak ide nakal gua muncul, gua pengen cari siapa tau ada video bo.kep di laptopnya Evan. Maka gua membuka explorernya. Evan pernah nunjukin sekali tempat penyimpanan video-video bo.kepnya dipedalaman folder sana akhirnya muncul 3 buah folder yang bertuliskan “Hot Picture”, “Hot Video”, dan “Hot-Hot” gua membuka hot video dan langsung melihat puluhan video bo.kep straight. Gua tonton satu persatu dan ada satu hal yang gua dapat (dan belum gua sadari maksudnya waktu itu) bahwa disetiap video tersebut, walaupun itu video por.no straight, tapi model cowoknya cakep-cakep semua dan berbadan seksi semua. Model ceweknya ada yang jelek ada yang cakep, tapi model cowoknya cakep-cakep semua.
Gua hendak menutup dan menyelesaikan itu semua sampai gua ingat ada satu folder yang namanya “Hot-Hot” yang gua pikir pastinya isinya jauh lebih hot dari yang video. Maka gua mengkliknya. Didalam folder tersebut ada lebih banyak folder lagi dan gua mengklik salah satunya. Dan terkejutlah gua dimana di folder tersebut banyak foto cowok-cowok seksi yang hanya memakai celana dalam saja. Begitu gua hendak mengklik salah satu untuk melihat lebih jelas, mendadak layarnya menjadi gelap dan gua tahu itu artinya batere laptopnya habis. Gua menutup layar laptopnya sambil bengong. Untuk apa Evan punya banyak foto cowok-cowok begitu. Cuma pada pake celana dalam doang lagi. Wah, Evan ini aneh-aneh aja. Apa jangan-jangan ada yang nggak beres nih?
Gua akhirnya menyelesaikan tugas gua sampai jam 1 pagi dan kemudian mematikan laptop gua dan tidur. Bayangan foto-foto cowok seksi di laptop Evan yang mana adalah cowok juga, berkecamuk di pikiran gua.
Bersambung ke Chapter 4
Kedatangan Gadis
Paginya gua terbangun karena Evan dengan hebohnya, yang seperti biasa, membangunkan gua.
“Raffaaaaa...!!!” suara tinggi dan dengan menggoyang-goyangkan badan gua secara tidak manusiawi. Kebiasaan ini mulai berlangsung semenjak 2 bulan yang lalu, awalnya gua marah-marah karena dibangunkan kaya begini. Ganggu dan bikin emosi banget, tapi bukan Evan namanya kalo digituan aja langsung kapok, jadinya terus menerus dia lakukan itu setiap ada kelas pagi. “Woy bangun, nih udah gua beliin nasi uduk nih, cepetan bangun... wooooooy.... wooooooy.... kebooooooo.... banguuuuuunnnn!!!!”
Karena “alarm” sudah berbunyi (gua terkadang pernah berkeinginan untuk menabok muka Evan sebagai metafora mematikan alarm) maka gua bangun aja. Baiknya Evan, dia tuh udah nyiapin nasi uduk gua. Dalam artian, bungkusnya udah ditaruh dipiring, udah dibuka sama udah dikasih sendok garpu, kerupuknya, karena terpisah, juga udah ditaruh diatas nasi uduknya. Masih kurang? Dia juga udah nyiapin dua gelas air putih. Jadi tuh gua tinggal makan aja. Dulu gua pernah komentar soal ini.
“Van, niat amat luh ngasih gua sarapan ampe gua tinggal makan aja.”
“Udah lu makan aja, mumpung gua lagi baek nih.”
Gua sih seneng aja, karena “mumpung baeknya” dia itu selalu terjadi setiap kali dia beli sarapan.
Evan seperti biasa makan dengan lahap. Karena kelaperan. Dia biasa bangun jam 5 pagi untuk lari pagi dan kembali jam 6 kurang dengan membawa sarapan. Gua yang paling males bangun pagi jadi merasa terberkati dengan ritual pagi Evan ini.
“Van, elu sabtu besok balik ketempat abang lo, nggak?” tanya gua sambil mengunyah makanan.
“Balik, emang kenapa?”
“Nggak usah aja ya, temenin gua. Soalnya sabtu-minggu gua dikosan.”
“Kenapa?”
“Cewek gua mau dateng, dia mau main kesini sama nginep.”
“Lah bukannya bagus, ya?” kata si Evan. “Elu kan jadi bisa berduaan sama cewek lo, pake nginep lagi, jadi gak ada yang ganggu. Bikin anak deh lo sana.”
“Anjing lo, lo kira gua pengen kawin muda, hahaha...” Gua menendang pelan kaki Evan. “Bukan, cuy. Cewek gua mau kenalan sama eluuuu.”
“Oh ya?”
“Iya, pas dia liat foto kita berdua di dufan dia jadi pengen kenalan sama elu. Katanya elu tuh cakep sama imut.”
Evan agak keselek dikit. Lalu menatap gua. “Apa?! Gua gak denger!”
“Dia bilang elu tuh cakep sama imuuuuut...”
“Ah, apaan, coba ulangin lagi, gua gak jelas dengernya?” Evan masih pura-pura gak denger.
“Ngehe lo, males gua ngulang-ngulang, kege-eran lu.”
“Hahahaha... gua mah udah biasa kali dibilang kaya gitu.”
“Najis.”
“Ya udah kalo gitu, sabtu besok gua gak usah balik ke apartermen abang gua.”
“Naaaah, gitu dong... itu baru namanya sohib gua. Tenang aja, nanti gua pijitin elu dah abis elu kalo elu capek, wuakakakaka...” kata gua bercanda.
“Bener ya, elu kalo gua capek, elu harus pijitin gua. Gua udah berkorban waktu, malam minggu dan kebahagian gua demi memuaskan batin cewek lu untuk kenalan sama cowok ganteng macam gua ini.”
“Najis, lebay banget sih lu. Kesannya kaya elu udah berkorban jiwa raga aja.”
“Ya terserah, tapi intinya kalo gua minta pijit elu harus mau.”
“Eh yang itu gua becanda, van. Yak elah, serius amat lu nanggapinya.”
Evan yang sudah selesai makan lantas bangkit berdiri dan minum, “Oh ya udah kalo gitu.” Dia membuang bungkus nasih uduk ke tong sampah. “Raff, sabtu besok gua balik ke tempat abang gua ya, elu jaga kossan disini, okay.”
“Yak elah, Van. Elu gitu banget sih. Kejam ah, tega ah, nggak setia kawan.”
“Laaah, elu aja gak bisa pegang omongan elu. Katanya mau mijitin tapi gak jadi.” Evan kali ini duduk di kasurnya sambil membuka laptop. “Lagian untuk apa gua disini sabtu-minggu kalo Cuma untuk ngeliatin elu berdua pacaran dan gak dapet apa-apa. Yah, ini laptop baterenya pake acara abis lagi, hah.” Evan lantas mencharger laptopnya.
“Yak udah, ntar gua pijitin deh. Puas lo.”
Evan langsung nyengir kegirangan. Dasar gak mau rugi. Evan lantas diam sebentar dengan mata ke layar laptop. “Raff, elu semalem abis nonton bokep" di laptop gua ya? Ini history-nya ada.”
Kini giliran gua yang nyegir, “hehehe, iseng, Van.” Kata gua. “Betewe, kemaren iseng-iseng jelajah di laptop lo gua liat ada folder isinya foto cowok-cowok Cuma pake kolor doang, itu apaan, van?”
“Foto cowok. Emang kenapa?” Evan menjawab dan bertanya dengan lugunya seakan itu bukan suatu keanehan. Bagi gua malah aneh, tapi gua kok jadi salah tingkah gini, jadi gua yang merasa bersalah gini. Aneh.
“Oh, enggak. Gak apa-apa.”
Dan berikutnya hanyalah keheningan...
***
“Beb, kamu udah dimana?” aku bertanya melalui telepon di sabtu siang yang panas.
“Aku udah mau nyampe nih, tuh udah keliatan kamunya, ih gak malu banget sih Cuma pake celana pendek aja.” Si Gadis yang sudah keliatan diujung sana menjawab sambil berjalan mendekati rumah kos gua.
Ia kemudian tiba didepan gerbang sambil senyum bahagia. “Raffa sayang, akhirnya kita ketemu juga. Uuuuuh, aku kangen banget sama kamu.” Kita berpelukan dan berciuman. “Kamu kok jadi seksi gini sih badannya, makan apaan? Iiiih jadi gemes pengen nonjokin.”
“Fitnes dong, jadi keren kan badannya. Nih liat perut aku six pack nya udah mau nongol, manteb kan!”
“Iya-iya manteb. Gini dong, baru manteb. Kalo gini kan aku jadi gak malu lagi kalo bawa kamu ke kondangan.”
“Hah? Emang sejelek itu kah aku yang dulu.”
“Hahahaha... masuk yuk. Evan mana?”
Kita berdua pun akhirnya masuk dan menuju langsung ke kamar kos gua. Gadis nyampe siang hari sekitar jam 2 siang, dan gua (setelah memohon-mohon) bekerja sama dengan si Evan untuk membersihkan kosan kita. Karena gua bisa menduga kalo Gadis ngeliat kosan kita dalam kondisi normal dia bisa heboh komen sana komen sini.
“Evan lagi keluar beli makan siang, tenang aja aku udah nyuruh beli buat bertiga kok.” Gua dan gadis masuk kedalam kamar kosan dan beristirahat.
Gadis masuk dan secara naluriah langsung mengamati kosan gua. Melihat-lihat, buka lemari liat isinya, periksa meja belajar dan lain-lain. “Rapih... kosan kamu rapih. Kapan dirapihin nih?”
Glek!
“oh enggak, emang kita orangnya rapih kok. Evan apalagi, rapih banget orangnya, semuanya dirapihin, tinggal nunggu hidup aku aja dia rapihin juga, hahaha...”
“Dasar lebay. Ngaco kamu. Tapi kok beda ya sama kamar kamu yang kaya kapal pecah.”
Gua gak bisa jawab, dan kebetulan Evan datang.
“Naaaaah, Evan datang. Asik-asik-asik, waktunya makan siang.” Gua menyambut kedatangan Evan.
Evan yang Cuma pake celana pendek sama kaos dengan santainya masuk kedalam kosan. Gadis langsung seperti terpana melihat wujud Evan dalam dunia nyata. Sekilas bete juga, karena gua jadi merasa kalah ganteng sama si Evan.
“Hai, oh ini yang namanya Gadis.” Kata Evan sambil masuk dan mengajak salaman.
“Iya saya gadis, oooh ini yang namanya Evan. Aduh ganteng ya, lucu lagi.” Kata Gadis tanpa basa-basi. “Raff, kok kamu bisa dapet temen yang ganteng kaya gini sih, mancing dimana?”
“Udah langsung makan aja yuk, laper nih.” Gua malas menjawab pertanyaan gadis. Dan si Gadis Cuma senyum-senyum aja dikacangin.
Dan kitapun makan siang. Biasanya sih normalnya kita kalo makan siang itu antara jam 12 sampai jam 1 siang, biasanya. Cuma karena ini kebetulan nunggu si Gadis datang jadi sakalian juga nungguin makan siang. Biasanya juga kalo makan siang kita seringnya makan diluar, di warteg.
Setelah makan siang kita lanjutkan dengan acara ngobrol-ngobrol gak jelas. Dan seperti biasa, jika dengan Gadis maka seringnya adalah obrolan gak jelas yang minim intelektualitas. Cukup heran juga karena di sekolah si Gadis selalu masuk 5 besar tapi kalo ngobrol sama gua apa lagi kalo berdua seringnya ngobrol yang aneh-aneh atau gak jelas. Gua malah pernah berantem Cuma gara-gara Episode terakhir Avatar Ang itu tayangnya hari sabtu sementara si Gadis ngotot tayangnya itu hari minggu. Gara-gara itu ritual bertelepon berhenti seketika.
***
Menjelang malam kita bertiga pergi ke EX XXI untuk nonton film. Lalu jam 8 malam setelah selesai nonton kita pergi ke daerah sarinah untuk makan di Burger King. Evan dan Gadis secara cepat langsung akrab. Mungkin Evan bisa cepat akrab karena si gadis beberapa kali bilang kalo si Evan itu ganteng banget. Ya jelas makin besar kepala si Evan dan makin akrablah dia dengan Gadis. Si Evan itu emang bisa dengan sangat cepat akrab sama orang yang senantiasa memuji dia.
Pulang dari makan kita bertiga malah ketawa-ketawa sambil jalan ke halte busway. Tawa dan canda kembali berlanjut setelah turun dari busway dan jalan menuju ke kosan. Haaaah, rasanya bahagia.
***
“Udah beloooom?” tanya gua dari luar kamar kos.
“Belooom, jangan pada ngintip ya!” teriak Gadis dari dalam kamar. Kita berdua menunggu didepan pintu sementara si gadis ganti baju didalam. Dia males ganti baju di kamar mandi karena bakalan ribet dan emang pada dasarnya nggak mau. Setelah pintu terbuka dan gadis keluar dengan celana dan kaos pinjeman gua. “Oke, sekarang kalian gih sana ganti baju didalem.”
Lantas kita berdua pun masuk dan mulai menanggalkan kaos, lalu celana jeans dan berganti dengan celana pendek dan kaos murahan. Lalu setelah itu memanggil Gadis masuk.
“Oh, yak ampun, hampir lupa.” Tiba-tiba gadis berkata seperti teringat sesuatu. “Untung aja gua inget. Kalo nggak bisa mubazir.”
“Emangnya kenapa, beb?”
“Ini looooh...” Gadis kemudian merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang terbungkus kertas cokelat. “Ini loooh, aku mau ngasih kalian ini.”
“Apaan nih, dis?” tanya Evan, semangat karena dia dapet kado, walaupun sebenarnya nih untuk berdua.
“Buka aja.”
Karena gadis ngasihnya ke gua maka gua yang membuka bungkusannya. Setelah membuka bungkusan dan terlihat isinya, gua sempat terdiam. Berbagai perasaan mendadak bergejolak dalam diri gua. Dan sepertinya hal yang sama dirasakan oleh Evan, atau mungkin dia lebih lagi. Dan tanpa sadar senyum tersimpul di bibir gua dan Evan, terutama gadis yang merasa puas dengan reaksi kita berdua. Bungkusan tersebut adalah foto berdua gua dan Evan yang diambil di dufan yang dengan baiknya gadis bingkai dengan penompang supaya bisa diletakan diatas meja.
“Yaaaa, aku ngerasa foto ini pastinya punya makna yang kuat banget buat kalian berdua. Di foto itu kalian bener-bener tampak sangat bahagia dan dekat satu sama lain. Aku jadi tersentuh untuk mencetak foto itu dan membingkainya supaya bisa dipajang disini.”
“Beb, kamu bikin aku terharu, huhuhu... makasih ya.” Gua kemudian memeluk dan mencium si gadis. “Kamu kok perhatian banget sih sama aku.”
“Sama kita berdua.” Evan mengoreksi.
“Iya, maksudnya sama kita berdua.”
“Enggak sih, Cuma kan, yaaaa... gitu deh... aku rasa kalian emang pantes aja dikasih foto.” Gadis memberikan alasan yang nggak intelek.
“Makasih ya Gadisku, huhuhu...” Evan secara otomatis memeluk si Gadis. Dan si Gadis, apa lagi, bersedia banget dipeluk si Evan. “Baru kenal aja udah baek gini, gimana entar.”
“Sama-sama Evaaaan, hehehe...”
“Kok gua gak dapet ciuman, dis. Si Raffa dapet.”
“Eh eh eh, enak aja lo. Gak ada!” gua langsung sewot. “Gua aja yang cium elu, mau?”
Si gadis Cuma ketawa aja sementar si Evan senyum-senyum gak jelas. Berikutnya gua dan Evan saling mengamati foto yang sudah dibingkai itu sambil cengar-cengir.
“Kalo dipikir-pikir emang bagus ya fotonya.” Kata gua.
“Iya, kita tampak keren banget.” Evan disebelah gua ikut berkomentar.
“Tapi gantengan gua, ya.”
“Enggak kali, disini keliatan banget gua yang ganteng.”
“Enggak kali, Van. Disini gua tampak manis dan mempesona.”
“Mata lo rabun berarti. Gua tuh disini gantengnya 100%. Kalo diperhatiin kita tuh di foto ini jomplang banget. Elu tuh jelek bukan main.”
“Enak aja lo, nyet. Gantengan gua kemana-mana. Buktinya si Gadis mau sama gua.” Masih sambil memandangi foto tersebut.
“Gua kasihan sama elu Raff, suka nolak kodrat jadi orang jelek.”
“Elu itu. Gua emang emang ganteng beneran.”
“Gua kali!”
“Gua!”
“Gua!”
“Eeeerghhh... gua kok jadi nyesel gini ya ngasih tuh foto ke kalian.” Si Gadis jadi gemes sendiri. “Sini-sini, biar gua taruh di meja. Udah ngantuk nih, mau tidur. Kalian masih ribut aja.”
Gadis pun meletakan foto tersebut diatas meja belajar kita kemudian dia mendarat di kasur gua.
“Okay, karena malam ini gua tidur disini. Jadi kamu, beb, tidur sama Evan disana.” Kata gadis.
“Laaaah, kenapa gak bareng kamu aja?”
“Hiih, enak aja. Ntar kamu curi-curi kesempatan lagi.”
“Laaah, bukannya udah biasa ya?”
“Enggak ah, udah ah, bawel amat. Kamu tidur sama Evan sana. Aku mau tidur dulu, tatah!” dan Gadis langsung memeluk guling dan menarik selimut. Maka kini gua terpaksa satu kasur sama di Evan. Biasa bisa tidur bebas, kini harus sempit-sempitan sama Evan. Gak enak banget dah.
“Raff, gua kasih tau ya,”
“Apaan?”
“Gua ini Evan, manusia, bukan bantal guling. Jadi jangan peluk-peluk gua. Mengerti!”
“Gua juga, ini nih Raffa, manusia, bukan bantal guling. Jadi elu jangan meluk-meluk gua!”
“Deal!”
Kita berdua pun mulai menutup mata. Namun tiba-tiba sebuah pemikiran mengganggu gua sehingga jadi sulit tidur. Sementara Evan sepertinya sudah mulai fokus untuk tidur, tapi gua gak peduli. Dia sering ganggu gua, maka gua juga boleh dong ganggu dia.
“Van!”
“Apaan?” hohoho, dia masih menjawab, artinya belum tidur pulas dia.
“Gua kepikiran sesuatu nih. Jadi gak bisa tidur.”
“Mikiran apaan lu?” si Evan bertanya setengah ngantuk.
“Kalo dipikir-pikir ya, antara elu ama gua, emang gantengan gua deh...”
“EEEAAARRRGHHHH...!!” Evan berteriak frustasi.
“Hahahahah...!!” Gua ketawa bahagia.
***
Jam 3 pagi mata gua mendadak terbuka. Terkadang emang gua suka kebangun sendiri kalo tidur. Butuh beberapa saat untuk mengumpulkan kesadaran lalu kemudian menoleh ke kanan dan melihat Evan tertidur pulas. Namun dengan posisi yang tidak biasa, begitupun gua. Lengan kanan gua ditiduri leher Evan seolah gua sedang merangkul pacar yang tidur bareng. Evan tidur dengan kepala menempel sisi tubuh gua dan dengan kedua tangan memeluk dada gua, seperti orang yang sedang memeluk pacarnya yang sedang tidur. Paha kanan gua ditindih oleh paha kanan Evan seolah paha gua adalah bantal guling.
Posisi yang tidak mengenakan, tidak menyenangkan, dan lebih ngeri lagi kalo sampai Gadis melihat ini. Gua dan Evan tidur dengan posisi layaknya orang pacaran.
Bersambung ke Chapter 5
mnunggu chap.5
Haaah? Mimisan? yak ampuuuun...
Chapter berikutnya rilis besok ya, hehehe...
Bikin Repot di Rumah Orang
Hari terakhir UAS sudah berakhir, nggak nyangka udah satu semester gua kuliah dan semester depan gua udah masuk ke semester 2. Ujian terakhir berjalan lancar karena gua udah belajar sebelumnya. Gua belajar karena sang dosen udah ngasih kisi-kisinya, dan kebetulan soal yang keluar ya yang ada di kisi-kisi.
Sorenya gua dan Evan seperti biasa beribadah di kuil Fitnes Center. Karena gua dan Evan udah hampir sama baik segi masa otot dan atletis tubuh maka akhir-akhir ini gua seringnya sparing bareng. Six pack gua udah muncul sekarang! Asiiiik! Manteb dah! Sebulan terakhir ini hobi gua lagi sering ngaca. Mandangin diri sendiri dan tubuh gua yang udah berubah sekarang, hahaha...
Namun ada sisi gak enaknya juga, terutama dari segi tempat fitnesnya. Ditempat fitnes gua ini emang banyak cowok yang cakep-cakep dan badannya udah pada bagus semua, tapi banyak dari mereka yang gay atau setidaknya bisa main sama cowok juga walaupun udah punya cewek.
Sepulang dari fitnes seperti biasa abis mandi adalah sesi penilaian. Evan yang baru saja mandi memasuki kamar dan langsung memerintahkan gua untuk menanggalkan pakaian. Gua yang Cuma make boxer sama kaos dalam lantas menurut dan melepaskannya. Evan hendak mulai menggerayangi badan gua ketika mendadak gua menghentikannya.
“Tunggu dulu!”
“Kenapa, Raff?” Evan bertanya agak heran. Karena biasanya pas sesi ini gua seringnya diem aja.
“Gua pengen elu buka baju juga.
Evan terdiam mendengar perkataan gua. Seolah-olah dia ngerasa kalo gua itu seperti menyuruh dia membuka kedoknya sendiri.
“Eeemmm, bukannya biasanya gua gak perlu buka baju juga ya?” kata Evan dengan nada sesantai mungkin.
“Yaaa, gua pengen ngerasa ada keadilan aja sekarang. Nggak ada salahnya kan?” gua tersenyum sambil mengangkat alis mata, seolah memerintahnya untuk telanjang adalah sebuah permintaan yang bisa mengundang canda dan tawa.
“eeem... oke.” Setelah berpikir sebentar si Evan akhirnya setuju. Dia pun menanggalkan pakaiannya dan setelah itu mulai meraba-raba tubuh gua yang sudah semakin seksi ini. Dan benar saja, secara perlahan gua sempat ngeliat pe.nis cokelat Evan yang tidak disunat itu perlahan-lahan membengkak. Namun tidak sampai tegang keras karena gak lama kemudian penisnya kembali lemas.
Setelah selesai kita kemudian kembali berpakaian. Evan dengan baik hati langsung menyiapkan makan malam. Entah kenapa kalo udah berhubungan sama makanan dia pasti langsung paling bersedia buat repot. Menu malam ini masih nasi dari warteg, ini masih bisa dibilang menu lumayan mewah, karena kalo lagi kere biasanya gua Cuma bisa berharap belas kasih kalo gak dari Evan atau Misca yang seneng nimbun indomie. Misca malah, karena di kamar kosnya ada kulkas, dia juga suka nimbun nugget.
“Raff, kayanya besok-besok gua udah gak perlu chek-chek badan lo lagi. Badan lo udah bagus kok. Kagum gua sama lo, 5 bulan aja progres elu udah bagus banget. Badan elo udah hampir sama kaya gua bagusnya.” Evan membuka pembicaraan.
“Wah bagus dong, jadinya gua gak perlu bugil didepan lo lagi.”
“Iya...” kata Evan. “Betewe, sabtu besok elu mau main ke apartermen abang gua gak? Yuk, ikut yuk.”
“Trus ntar disana gua mau ngapain?”
“Yaaa, temenin gua aja. Abis gua gak betah disana, Cuma karena emang gua harus aja buat tinggal disana.”
“Oh ya udah. Tapi minggu depannya elu ikut ke rumah gua ya.”
“Oke...” Evan menjawab sambil menunjukan jempolnya.
***
Maka tibalah harus sabtu siang yang secara ajaib mendung. Begitu keluar dari kosan dan udah gak jauh dari halte busway mendadak hujan dengan jahanamnya turun dan langsung bikin baju gua sama Evan basah. Padahal gua kira-kira Cuma satu menit aja kena hujan, tapi hasilnya baju gua langsung basah.
Setelah sampai gua dan Evan langsung membeli tiket yang dimana si mbak penjual tiketnya agak iba juga sama kita karena tampilan kita yang semi basah kuyup. Setelah itu lantas kita nunggu busway. Halte busway gak rame Cuma ada beberapa orang. Keadaan itu langsung dimanfaatkan sama Evan untuk ganti pakaian, dengan pedenya si Evan membuka tasnya dan mengambil kaos baru. Lantas ia dengan pedenya ditempat umum melepaskan kaosnya, memerkan badan seksinya dan berganti kaos baru. Gua aja yang deket dia agak-agak gimana gitu ngeliat tingkah dia, apa lagi orang-orang di halte itu. Namun seperti biasa, bukan Evan namanya kalo nggak cuek. Dia dengan tampang tak berdosanya berganti baju lalu memasukan baju basahnya kedalam tas lalu nyantai nungguin bus. Padahal pas dia ganti baju seluruh orang yang di halte pada diem ngeliat si Evan. Ckckckck... sahabat yang aneh. Hahaha...
Bis pun datang dan untungnya tidak ramai namun kita berdua harus berdiri. Perjalanan yang lumayan jauh dari daerah salemba menuju ke tomang, ditambah gua harus beberapa kalo ganti bus, selama berdiri gua kena angin AC mulu padahal baju gua basah. Semua itu sudah cukup untuk membuat gua dalam dua jam jadi gak enak badan.
Setibanya di apartermen abangnya, kebetulan abangnya lagi di rumah karena sabtu dia emang nggak kerja. Entah mungkin meliburkan diri. Abangnya lagi main PS 3, game Winning Eleven begitu gua dan Evan tiba.
“Van, udah nyampe lo?” Tanya abangnya setelah menengok sekilas.
“Iya. Gua bawa temen gua nih buat nginep disini. Gak apa-apa ya.”
“Baru nih?” abangnya bertanya yang gua nggak ngerti masuk dari pertanyaannya apaan.
“Ah berisik lo.”
“Hahaha... ya udah, ntar malem lo jangan kemana-mana ya. Gua ntar lagi mau pergi! Lo pada makan aja dulu sana, gua tadi beli makan siang banyak tuh.”
Gua dan Evan lantas menuju ke ruang makan dan makan. Cuma lauk-lauk dari restoran china, ya udah deh kita makan aja. Namun gua udah merasa gak enak sekarang. Makan aja gua udah males. Badan gua udah gak enak rasanya. Ditambah dari tadi si Evan makan sambil ngeliatin gua. Makin nggak enak dah makannya.
Sebelum kita selesai makan secara ajaib abangnya udah siap aja buat berangkat. Dia sih Cuma ganti kaos sama celana jeans doang, kayanya mandipun dia kagak. Abis cepet amat siapnya.
“Gua pergi dulu ya, ntar malem gua baru balik.” Kata abangnya sambil berjalan keluar dari apartemen.
“Yaaa.”
Semakin parah, kepala gua semakin berat, badan gua semakin gak enak dan begitu gua hendak berdiri semuanya jadi gelap. Sepertinya gua pingsan...
***
Mata gua terbuka ketika menjelang magrib. Perasaannya sih sedikit mendingan tapi rasa gak enak badan gua gak hilang semuanya. Malah gua sekarang kepala gua malah tambah sakit dan pusing. Gua udah ada di kamarnya Evan sekarang, di ranjangnya malah. Berikutnya gua menyadari kalo gua Cuma make boxer aja. Kaos dan celana jeans gua udah nggak tau entah kemana. Tubuhnya tertutup selimut yang cukup tebal namun itu nggak bisa ngilangin rasa kedingingan gua walaupun AC kamarnya udah mati.
“Elu tadi pingsan, raff. Ngeri banget dah, seumur-umur gua belum pernah ngeliat orang pingsan didepan mata gua sendiri.”Evan berkata agak lebay. Reaksinya ngeliat orang pingsan kok hampir serupa dengan reaksinya ngeliat orang mati. Sengeri itukah gua pingsan?
“Kepala gua kok pusing banget ya? Nih gua pegang-pegang kok perih sih?” gua bertanya sambil memijit perlahan bagian kepala gua yang perih itu.
“Hehehe...” si Evan nyengir, sesuatu yang buruk pasti udah terjadi sama gua. “Tadi pas elu pingsan kan gua panik gitu. Nah pas gua mau bawa elo ke kamar gua, gua jatuh juga, eeeennn, kepala elu kepentok meja deh, hehehe... maap ya.”
“Haaaah, pantesan agak perih-perih gini. Benjol nggak?”
“Dikit sih, tapi tenang aja kok, udah gua kasih salep, palingan tiga minggu lagi ilang.”
“Hahk? Tiga minggu? Salep apaan yang lu kasih ke jidat gua?”
“Hehehe... salep buat benjol kok, tenang aja. Udah, gimana keadaan lo sekarang, udah mendingan blom? Elu pasti sakit gara-gara abis ujan-ujanan kena AC lama banget.”
“Mendingan dari pada yang tadi, tapi masih aja badan gua gak enak. Betewe kok gua gak pake baju begini. Baju ama celana gua mana?”
“Lagi gua cuci, baju sama celana lo udah basah bau pula. Parah deh, sampah abis baunya.”
“Ah lebay lu, hahaha...”
“Hehehe... gitu dong, elu ceriaan dikit, dari tadi elu mukanya kaya orang hopeless aja. Laper gak? Biar gua siapin makanan, gua tadi beli solaria pas elu tidur. Udah mau malem nih.”
“Iya lumayan, tadi siang gua gak makan banyak. Keburu jackpot duluan tadi.” Kata gua.
“Ya udah kalo gitu.”
Evan kemudian keluar sebentar dan kembali sambil membawa sekotak nasi goreng. Ia kemudian duduk disebelah gua lalu memebenarkan posisi gua agar bisa duduk dengan menyender pada bantal. Kemudian si Evan mau nyuapin gua.
“Weits, apaan sih? Gua bisa makan sendiri kok.” Kata gua langsung menolak begitu Evan .
“Ah elu, orang sakit gak usah banyak tingkah. Sini gua suapin.” Evan kembali berusaha menyuapin gua. “Buka mulutnya, aaaaa...”
“Ah apaan sih, lo kira gua anak orok pake disuapin segala. Nggak usah, sini-sini biar gua makan sendiri.” Gua masih terus menolak diperlakukan kaya anak bayi. Lah iya lah, gua kan masih bisa makan sendiri. Sayangya Evan tidak berpikiran demikian.
“Daripada lo nggak gua kasih makan? Udah diam aja, gua suapin. Tugas lo sekarang Cuma mangap, kunyah, telan!”
Yah, gua mengalah aja dah kalo gitu. Daripada gua mati kelaparan, mendingan nurut aja deh. Evan dengan telatenya nyuapin gua dan gua dengan gelinya menerima suapan Evan. Karena sakit, mungkin nafsu makan gua berkurang jadi tuh nasi goreng sisanya dihabisin si Evan.
Setelah makan si Evan menemani gua ngobrol sebentar sampai gua tinggal dia tidur. Sebelum gua bener-bener tertidur pulas gua sempat merasakan selimut ditarik untuk menutupi badan sampai ke leher gua.
***
Gua kembali terbangun sekitar pukul 11 malam dan gua merasa mengigil kedinginan. Evan sepertinya masih di luar, entah nonton atau main game gua gak tau. Yang jelas gua masih sendirian di kamar. Gua berusaha untuk konsentrasi tidur namun sulit karena rasa gelisah dan tidak enak gua yang gua rasakan. Terus berusaha dan berusaha namun masih gagal juga.
Sayup-sayup gua mendengar suara orang berdebat. Gua mencoba konsentrasi walaupun sulit, untuk bisa mengedar. Sepertinya sih Evan sama abangnya yang lagi adu argumen. Cuma gua gak jelas mereka ngomongin apaan, karena suara mereka terdistorsi oleh suara hujan dan petir. Gua kembali tidur beberapa saat kemudian.
***
Rasa gelisah gua dan menggigilnya gua kembali membangunkan gua pada pukul 2 pagi. Gua nggak berani meluk bantal, gua hanya berdiam diri saja sambil agak gemeteran karena kedinginan. Rasanya begitu tidak enak dan begitu gelisah. Namun mendadak sesuatu terjadi. Sebuah pelukan datang dari belakang tubuh gua. Kedua tangan itu memeluk badan gua yang semi polos ini, dan gua juga merasakan kesemipolosan orang yang memeluk gua dari belakang ini. Dan gua tau orang itu Evan.
“Kenapa elo meluk gua, Van?” gua bertanya.
“Supaya elo merasa enakan.” Evan menjawab dengan santai.
“Eeee... Tapi gua bukan gay, Van.” Mendadak kata-kata itu muncul dan keluar saja dengan sendirian dari gua. Entah karena keceplosan atau karena yang gua alami ini sepertinya yang biasa para pasangan gay lakukan ketika tidur.
“Yeah, gua tau kok. Tau banget.” Kata Evan, namun ia masih saja memeluk gua.
“Terus kenapa elu meluk gua?” entah kenapa kalimat-kalimat bodoh ini terus keluar.
“Supaya elu bisa berbagi penyakit lo sama gua. Supaya elu bisa berbagi panas badan lo sama gua.”
Jawaban Evan itu hanya bisa membuat gua terdiam. Gua gak sanggup berbuat atau berkata apa-apa lagi selain membeku diam. Pelukan Evan semakin erat dan gua bisa mendengar hembusan nafasnya yang sepertinya dia mulai tidur. Gua terdiam didalam dekapan pelukannya yang kalo boleh jujur membuat gua merasa nyaman walaupun disatu sisi geli. Rasa dingin gua sedikit berubah menjadi hangat. Lagi-lagi gua dan Evan tidur dalam posisi seperti orang pacaran, Cuma kali jauh lebih mesra; berpelukan dengan hanya mengenakan celana dalam dan dibalik selimut.
***
Sinar matahari yang meresap masuk dari jendelan kamar Evan membangunkan gua. Gua merasa baikan pagi harinya. Gua mulai bisa guling-gulingan tanpa merasa kedinginan atau pusing-pusing. Tak lama kemudian Evan keluar dengan hanya mengenakan handuk, sepertinya dia baru aja mandi.
“Wooooh, udah sehatan ya lu sekarang, udah bisa guling-gulingan, hahahah... Udah bisa jungkir balik blom?” Katanya sambil berjalan ke lemari pakaiannya.
“Hahaha, sialan lu. Tapi iya sih, gua udah merasa lebih baik dan lebih enak aja sekarang.” Kata gua sambil cengar-cengir.
“Kalo gitu udah bisa mandi dong? Badan lu udah bau banget soalnya.” Kata Evan.
“Iya nih, gua juga pengen mandi, lengket-lengket badan gua. Semalem elu ngejilatin badan gua ya?”
“Wuakakakak, najis. Ngapain gua ngejilatin badan lu yang asem gitu, wuakakakak...” Evan sudah berpakaian, walaupun Cuma make celana pendek doang. Itu sudah dianggap berpakaian bagi Evan.
Gua mencoba untuk bangun, dan berhasil. Kemudian mencoba untuk berdiri, dan berhasil. Namun begitu gua mencoba untuk berjalan ternyata mendadak kepala gua pening.
“Aduuuh, ternyata gua emang belum sembuh bener.” Kata gua sambil duduk kembali dengan sedikit merasakan pening di kepala. “Padahal gua pengen banget mandi. Nggak enak banget badan gua ini.”
“Nggak usah dipaksain lah Raff kalo elu emang belum sanggup mandi.”
“Tapi badan gua gak enak banget nih, lengket, gatel-gatel, pengen mandi air hangat gua.” Kata gua sambil mencoba untuk bangkit berdiri kembali.
“Maksa banget sih lu. Ya udah, sini gua mandiin.”
“Hahk?” gua terdiam melongo.
“Lah elu pengen mandi tapi gak bisa, ya udah sini gua mendiin. Kurang baek apa lagi tuh gua.”
Gua masih diam bengong mendengar tawaran yang diberikan Evan. Sementara si Evan mulai mendekati gua.
“Ayo cepetan, sini gua bantu lo ke kamar mandi. Yeeee, malah bengong, cepetaaaan...!”
Kembali, gua Cuma bisa diam sementara Evan memapah gua memasuki kamar mandi. Setelah di kamar mandi Evan dengan otomatis menurunkan celana boxer gua sehingga gua telanjang dihadapannya.
“Elo diri aja, tangan lo pegangan sama tembok biar elu bisa seimbang.” Kata Evan, kemudian ia membuka keran shower yang sudah diatur agar mengeluarkan air hangat.
Kedua tanganya lalu menggosok-gosok badan gua. Kepala, leher, dada, perut, punggung... kemudian ke pantat gua, lalu selangkangan, paha gua, lutut, betis dan kaki gua.
Air dimatikan dan Evan mulai menyabuni badan gua. Dengan teliti dan baik Evan menyabuni seluruh tubuh gua. Bagian penis pun tidak luput disabuninya, dia mengobok-ngobok penis gua sampai seluruhnya kena sabun. Lalu keran air dinyalakan kembali dan ia kembali menggosok-gosok badan gua, seluruh badan gua. Kemudian ia menyampo rambut gua dengan sampo menthol biar segar. Dan setelah itu rambut gua dibilas. Terakhir sebelum selesai Evan kembali menggosok-gosok seluruh badan gua dalam siraman air hangat. Keran air dimatikan.
Ia mengambil handuk baru dan mengeringkan badan gua. Kemudian ia memapah gua ke washtaufel dan mengeluarkan sebuah odol serta sikat gigi yang baru. Ia menuangkan odolnya keatas sikat gigi dan memberikannya ke gua.
“Elo bisa sikat gigi sendiri kan? Kalo gua yang nyikatin ribet soalnya.” Kata Evan sambil memberikan sikat gigi tersebut.
“Ya, gua bisa...” kata gua menyanggupi. Maka Evan berdiri disamping gua selama gua menyikat gigi dalam keadaan telanjang tanpa dililit handuk. Gak tau dah si Evan itu sengaja apa kagak.
Setelah selesai Evan memapah gua menuju ke tempat tidur dan mendudukan gua disana sementara ia menuju lemari untuk mengambil celana pendek dan kaosnya. Ia kemudian memakaikan pakaian tersebut kebadan gua.
Setelah bersih dan wangi gua kembali tidur-tiduran sementara Evan keluar dari kamar. Namun tidak lama, karena ia kembali sambil membawa dua bungkus nasi uduk.
“Okay, waktunya kita sarapan.” Kata Evan sambil naik ketempat tidur dan mulai menyiapkan sarapan gua.
“Tapi gua jangan disuapin ya, gua udah bisa makan sendiri.” Kata gua mewanti-wanti Evan.
Evan hanya tersenyum manis sambil memberikan sepiring nasi uduk ke gua. “Iya gua tau, elu udah bisa makan sendiri. Nih punya lu.”
Kita berdua pun mulai menyantap nasi uduk tersebut.
“Abang lo mana?”
“Dia udah pergi, baliknya palingan ntar malem. Biasa mah itu.”
“Oh... abang lo kerjanya apaan?”
Evan mengunyah sebentar lalu menelannya sebelum menjawab, “Dia kerja di bank gitu deh, gua lupa posisinya jadi apaan. Yang jelas sih bukan Cleaning Service.”
“Hahahaha... parah lo.”
Dan kita tertawa berdua. Kita kemudian sempat diam sebentar dan serius makan, beberapa saat kemudian gua kembali berbicara.
“Van,”
“Apaan?” Evan menyahut sambil mengaduk-aduk makannya.
“Makasih ya elu udah ngurusin gua dari kemaren.”
“Hahaha... gak perlu terima kasih segala lah, biasa aja lagi.”
“Ya nggak lah, gua udah ngerepotin elu dari kemaren. Harusnya kita bisa gokil-gokilan bareng, malah elu jadi sibuk ngurusin gua. Gua jadi gak enak sama lo, Van.”
“Hahaha... lebay lo ah. Biasa aja. Gua ikhlas kok ngelakuannya buat elu, elu kan temen gua, best friend gua.”
“Hahaha... but serus, Van, Thanks bro. Thanks for everything.” Gua mengatakannya dengan sungguh-sungguh mengingat segala kebaikan yang udah Evan lakukan selama gua sakit ini. Serta mengingat segala hal yang dia lakukan semenjak kita pertama kali bertemu. Nggak pernah capek atau kapok bangunin gua pagi-pagi dan dengan sarapan yang udah dia beliin. Dengan sabar serta semangat ngajak gua buat ngegym bareng, dan sekarang dengan sukarela ngurus gua waktu sakit gini. “...Thanks, Van.”
“Yeah, okay... you’re wellcome.” Kata Evan. Sambil tersenyum.
Kita berdua pun sama-sama tersenyum. Mendadak rasanya pagi ini menyenangkan.
Bersambung ke Chapter 6