It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aduh ternyata Jakarta begitu riuh dan ramai. Aku sedikit menyesal menolak ajakan Marko untuk mengantarkanku ke rumah Daniel. Alhasil sekarang hanya berbekal selembar kertas bertuliskan alamat Daniel yang diberikan Marko, aku nekad ke Jakarta sendirian. Kota yang baru untuk kedua kalinya aku datangi seumur hidupku. Saat pertama kali aku ke kota ini pun sudah sekitar 10 tahun lalu ketika orang tuaku mengajak aku mengunjungi salah seorang kerabat di kota ini. Tapi tekadku sudah bulat, demi rasa yang aku miliki untuk Daniel aku tidak akan pernah menyerah apalagi menyerah pada kota metropolitan ini. Aku memang sengaja tidak menghubungi Daniel, karena aku ingin memberikan kejutan untuknya.
Ah setelah hampir 3 jam aku berkeliling-keliling akhirnya sampai juga aku di kompleks rumah Daniel di Kelapa Gading. Kompleks perumahan di sini nampak begitu mewah di mataku. Berbeda sekali dengan kompleks perumahanku di Jogjakarta. Aku jadi semakin penasaran untuk menemukan rumah Daniel. Nomor 34, sekarang aku berada di rumah nomor 20, berarti seharusnya tidak jauh lagi. Dengan perut yang keroncongan karena belum makan sejak tadi pagi aku terus menelusuri kompleks perumahan Daniel. Ah ini dia rumah dengan nomor 34. Wah ternyata rumah Daniel benar-benar bagus. Walaupun tidak terlalu besar, tapi rapi dan kesannya mewah.
Sejenak aku terdiam. Mendadak jantungku begitu berdebar-debar ketika aku sudah sampai di depan rumah Daniel. Aku bingung apa yang harus aku katakan pada Daniel ketika nanti aku bertemu dengannya. Pikiranku pun mulai melayang ke segala kemungkinan yang akan terjadi ketika aku bertemu dengan Daniel setelah satu bulan kami berpisah. Apa mungkin Daniel akan senang dengan kedatanganku atau malah kedatanganku tidak dia harapkan saat ini. Mengingat besok sore dia sudah harus berangkat ke Australia untuk melanjutkan studinya.
“Cari siapa mas?” Lamunanku buyar karena pertanyaan dari seorang wanita paruh baya yang saat ini sedang berdiri di depanku dibatasi oleh pagar rumah Daniel.
“Oh maaf bu, Danielnya ada?”
“Oh temennya mas Daniel ya?”
“Iya, saya temen kuliahnya Daniel, dari Bandung.”
“Mas Danielnya katanya tadi mau ke rumah temennya, mari masuk dulu mas ditunggu di dalam.”
“Oh iya bu terimakasih.” Wanita itupun membukakan pintu pagar rumah Daniel untukku. Sepertinya wanita ini adalah bibi asuh Daniel. Ya Daniel pernah menceritakan bahwa dia punya seorang pembantu rumah tangga yang sangat dekat dengannya. Sebab semasa kecilnya pembantunya tersebut yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Tapi bukan berarti ibunya tidak memberi kasih sayang, hanya saja karena kedua orang tuanya bekerja, keseharian Daniel semasa kecil banyak dihabiskan bersama pembantunya tersebut. Nama pembantunya tersebut Bi Asih.
“Ibu, bi Asih ya?”
“Loh kok tahu nama saya mas?”
“Iya si Daniel suka cerita bi soal bibi.”
“Oalah mas Daniel tu loh kok aku dicerita-ceritain segala.”
“Hahaha nggak apa kan malah terkenal bi.”
“Ahahaha, kaya artis aja terkenal...... Ya sudah duduk dulu mas bibi buatin minum dulu.”
“Wah ga usah repot-repot bi.”
“Udah nggak apa pasti haus kan, panas gini.”
“Hehe iya makasih bi.”
Dan bi Asih pun masuk ke dalam untuk membuatkan minum untukku. Akhirnya setelah perjalanan panjang aku bisa duduk juga. Sedikit merebahkan badanku di sofa hitam milik Daniel dan menikmati hembusan AC yang benar-benar seperti surga di tengah panasnya Jakarta di siang hari. Aku mulai memandangi foto-foto yang tergantung di rumah Daniel. Nampak foto-foto keluarga Daniel. Ayah dan Ibu Daniel sebelumnya aku pernah bertemu ketika mereka menjenguk Daniel di rumah sakit. Satu orang keluarga Daniel yang belum pernah aku temui yaitu adik perempuannya. Dari fotonya adiknya sangat cantik. Jika aku lelaki normal mungkin saja aku langsung meminta Daniel untuk mengenalkannya padaku. Ada juga foto Daniel ketika masih kecil. Lucu sekali ketika dia masih kecil, dan ternyata senyum manis Daniel itu sudah dia miliki sejak kecil.
“Ini mas diminum dulu.”
“Oh iya makasih bi.” .....” Bi memang Danielnya pergi udah lama?”
“Wah sudah sih mas dari tadi pagi perginya.”
“Oh.... kalo ke tempat temennya biasanya lama nggak bi?”
“Biasanya malah nggak pernah ke tempat temennya. Ini tadi malah tumben mas Daniel pamit pergi ke tempat temennya.”
“Oh gitu ya bi, Ya udah aku tunggu disini nggak apa ya bi.”
“Iya nggak apa mas, kalo cape sambil tiduran aja dulu.”
“Iya makasih bi.”
Aduh Daniel kamu dimana sih. Di saat semendesak ini kenapa malah pergi. Ah tapi yasudahah aku tunggu saja pasti sebentar lagi dia akan pulang. Lagipula aku jadi punya kesempatan untuk merebahkan badanku yang sudah begitu lelah.
....................................................................
Sayup-sayup terdengar olehku suara orang berbincang. Aku buka mataku ternyata di depanku sudah ada kedua orang tua Daniel yang sedang berbincang. Astaga ternyata aku ketiduran di sofa karena kelelahan.
“Eh Jo udah bangun.”
“Eh tante, aduh maaf tante ketiduran.” Malu sekali rasanya aku ketiduran di sofa ini. Ditambah lagi sekarang aku sedang berada di tengah keluarga Daniel.
“Ya nggak apa kecapean kan dari Bandung.”
“Hehe.”
“Iya ini si Danielnya kok belum pulang juga ya. Tadi tuh pamitnya cuma mau ke rumah temennya. Tapi kok jam segini belum pulang ya.”
“Udah ditelpon belom mah?”
“Udah tapi ngga bisa dihubungi hp nya.”
“Oh nggak apa tante aku tunggu aja.”
Aku pun melongok mencari-cari jam dinding untuk mengetahui sekarang jam berapa. Apa! Ternyata sekarang sudah jam 7 malam. Daniel pun belum juga pulang. Aku jadi mulai khawatir tidak bisa bertemu dengannya hari ini.
“Ya udah Jo, makan dulu aja yuk bareng-bareng.”
“Aduh nggak usah ngerepotin tante.”
“Ya nggak lah, kan kamu temennya Daniel jauh-jauh dari Bandung. Lagian ini dah malem loh pasti laper kan belum makan.” Sejujurnya aku memang lapar sekali karena sejak pagi aku hanya sempat makan sebungkus roti bekalku dari Bandung.
“Udah ayo Jo, nggak usah malu-malu.”
Akhirnya kami pun pergi ke ruang makan. Beberapa menit setelah kami duduk di meja makan adik Daniel pun turun untuk bergabung bersama kami.
“Ini kenalin Dina, adiknya Daniel yang paling manja.”
“Apaan sih mah, Halo kak.”
“Halo Dina, Daniel sering cerita lo soal kamu.”
“Kak Daniel emang gitu kak, semua kejelekan adiknya ini pasti dibeberin ke temen-temennya.”
“Hahaha, nggak kok dia malah ngomong yang baik-baik soal kamu.”
“Oh iya, tumben dia baik.”
“Hahhaha.”
Dan kami pun larut dalam pembicaraan santai di meja makan itu. Keluarga Daniel begitu ramah dan hangat. Bahkan aku yang orang asing disini pun bisa merasa nyaman bersama mereka bahkan hanya sekedar untuk mengobrol. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat ketika kami mengobrol. Sekarang sudah pukul 8.00 malam. Daniel tak juga kunjung datang. Sepertinya memang Tuhan belum merestui hubungan kami. Aku tidak tahu apa rencana Nya tapi aku percaya itu yang terbaik untuk kami berdua.
“Tante udah malem nih aku pamit pulang aja ya tante.”
“Loh udah malem loh, nginep aja di sini. Lagian kan belum ketemu Daniel.”
“Nggak usah tante aku pulang aja, nitip pesen aja ke Daniel. Tolong bilangin aku dateng.”
“Iya nanti disampein, pulangnya naik apa?”
“Travel tante yang jam 9.45.”
“Ya udah biar dianterin sama om ya soalnya kalo malem udah susah angkutan umum.”
“Oh boleh tante makasih.”
Kemudian setelah diantar ke pool travel oleh ayah Daniel, aku pun kembali ke Bandung dengan kekecewaan di hatiku. Daniel, sedih sekali rasanya di saat terakhir ini aku pun masih belum bisa menyampaikan perasaanku kepadanya. Memang benar kata orang, kadang kita kurang bisa menghargai sesuatu yang kita miliki. Satu tahun waktu kebersamaanku dengan Daniel, kenapa baru satu hari ini aku merasakannya begitu berharga dan sangat langka untukku. Berkali-kali aku mencoba menelpon Daniel tapi tidak bisa tersambung. Saat ini aku benar-benar sangat menyesali semua yang telah aku lewatkan. Akhirnya aku pun menulis SMS untuk Daniel, semoga suatu saat dia bisa membacanya. Aku menuliskan semua perasaanku untuk Daniel di pesanku itu, semoga jalan terakhirku ini paling tidak bisa membuat Daniel tahu hati yang selama ini aku simpan untuknya. Hati untuk sahabatku.
.............................................................................
Akhirnya sampai juga aku di depan pintu kosku. Sejenak aku terdiam mengingat kembali tadi pagi aku berangkat dengan penuh harapan dari pintu ini untuk bertemu dengan Daniel. Tapi setelah semua yang aku lalui hari ini aku kembali lagi ke titik dimana aku berada tadi pagi, tanpa ada yang berubah dalam hidupku. Ingin rasanya aku menangis tapi rasanya tenagaku sudah habis untuk menangis. Aku pun membuka pintu kosanku dengan tenaga yang tersisa. Pikiranku masih dibayang-bayangi kekecewaanku hari ini, dan mungkin kekecewaanku untuk selamanya. Kunaiki tangga kosanku dengan jiwa yang rasanya sudah terpisah dari ragaku. Hari yang sudah sangat larut membuat rasa lelah dan kantuk sangat mendominasi. Setelah sampai di anak tangga terakhir, aku melihat seseorang sedang tertidur di bangku depan kamarku. Apakah itu? Aku mendekat untuk mangamati wajahnya dari dekat. Itu... Daniel. Aku langsung berlari dan memeluk Daniel yang saat ini sedang tertidur. Aku sudah tidak peduli akan apapun yang ada di sekitarku yang aku inginkan hanyalah mendekap Daniel di saat aku bisa.
Aku pegang erat-erat tubuhnya dan menangis sejadinya. Ini memang sudah sangat larut tapi melihat wajah Daniel seakan mengirimkan energi yang luar biasa untukku. Terasa tubuh Daniel yang aku peluk bergerak seperti tersentak, mungkin Daniel yang sedang tertidur kaget karena aku langsung memeluknya. Ya Tuhan, Daniel yang aku cari begitu jauh ternyata ada di sini di depan kamarku. Semua ini seakan mengingatkanku tentang aku dan Daniel selama ini, yang terasa begitu jauh tetapi ternyata sangat dekat. Perasaan kami yang sebenernya sangat dekat.
“Jo.”
“Lo kenapa nggak bilang sih Dan kalo mau dateng, gw kan nyariin lo seharian di Jakarta. Lo tuh nggak .....”
Mendadak aku tidak bisa menggerakkan bibirku untuk berbicara. Bibir manis Daniel sekarang sedang mengecup bibirku, tidak, bukan hanya kecupan. Bibirnya mengulum bibirku, aku juga bisa merasakan lidahnya di bibirku. Aku yang terdiam karena kaget, sekarang mulai membalas ciuman Daniel. Rasanya seperti mimpi ciuman pertama yang aku daratkan setahun lalu di pipi Daniel dengan sembunyi-sembunyi. Tapi kini Daniel menciumku dengan penuh gairah, yang bahkan belum pernah aku rasakan sebelumnya dengan siapapun. Ciuman Daniel semakin menjadi-jadi, tangannya sekarang juga memeluk tubuhku. Kami bergerak masuk ke kamarku. Aku seperti bisa menebak ke arah mana semua ini akan dibawa. Sampai di kamarku dengan tidak menghentikan ciuman kami aku menutup pintu kamarku dan malam itupun benar-benar menjadi milikku dan Daniel.
...........................................................................................
Aku terbangun saat sinar mentari pagi masuk ke kamarku. Aku melihat Daniel sedang membenahi pakaiannya di dalam tas punggungnya. Nampaknya dia baru saja mandi.
“Dan.”
“Eh Jo, lo udah bangun.”
“Sorry ya semalam gw...”
“Apa lagi, sekarang gw dah nggak peduli apa yang ada di pikiran lo. Pokoknya gw seneng lo di sini semalem.” Daniel pun terdiam sejenak dan kemudian tersenyum melihatku. Dia bergerak mendekatiku dan memelukku. Aku pun membalas pelukannya.
“Lo kenapa nggak pernah bilang sih Dan.”
“Sorry ya Jo, gw emang pengecut yang ngga punya nyali.”
“Nggak kok, gw cuma nyesel aja kita udah melewatkan banyak hal tanpa saling jujur.”
“Iya makanya gw ke Bandung kemarin, buat mastiin perasaan lo ke gw.”
“Kenapa lo nggak bilang coba, jadi kan gw nggak perlu sampe ke Jakarta sambil desperate nyariin lo.”
“Lah lo juga kenapa ke Jakarta nggak ngabarin?”
“Kan surprise maksudnya.”
“Sama gw juga maksudnya mau ngasi kejutan buat lo. Makanya HP juga gw matiin. Kemarin gw ketemu Mario waktu dateng terus dia bilang lo ke Jakarta. Makanya gw nungguin lo sampe lo dateng.”......” Lo ngga jadian ya ama Mario?”
“Nggak lah, kalo gw jadian masa gw mau bermalam ama lo semalem.”
“Ah dasar serius gw nanya nya.”
“Iya kan udah gw bilang nggak. .. Sejak awal emang hati gw cuma buat lo Dan.”
“Masa sih, bukannya lo sempet mau nerima Mario ya.”
“Ya abis lo nya nggak memberi harapan sih.”
“Hahaha, iya deh sorry.”
“Ya udah lah, yang udah biarin aja jadi kenangan. Yang penting sekarang kan lo disini ama gw.”
.......
“Jo!”
“Iya?”
“Lo mau kan nunggu gw pulang dari Australia?”
“Pastilah Dan.”
“Kalo gitu biar gw titipin hati gw di lo ya.”
“Tapi hubungan kita kan bukan hubungan yang normal Dan, apa kita yakin?”
“Makanya gw titipin hati gw di lo. Biar waktu yang menjawab semuanya. Sekuat apa hati kita mempertahakannya.”
“Kalo gitu gw juga titipin hati gw di lo ya. Biar kemanapun lo pergi di Australia lo juga selalu inget gw.”
“Pasti deh gw jaga deh hati lo kaya anak gw sendiri.”
“Apaan sih becanda mulu. Ya udah buruan balik gih kan ntar sore dah berangkat. Belum nyiapin apa-apa lagi kan?”
“Iya sih, tapi gw masih pengen lebih lama di Bandung.”
Aku pun memeluk Daniel. Kali ini pelukanku jauh berbeda dengan pelukan yang pernah aku lakukan ke Daniel sebelumnya. Pelukan ini benar-benar pelukan dari seorang sahabat yang ingin memberikan semangat buat sahabatnya yang mesti pergi untuk masa depannya.
“Lo harus terus semangat ya Dan di Australi, ini kan mimpi lo selama ini. Lo mesti jadi fotografer terkenal setelah dari Australi nanti ya.”
“Iya thank ya Jo, lo memang sahabat terbaik gw.”
Dan setelah beberapa saat melepaskan rasa kangen kami akhirnya aku pun mengantarkan Daniel ke terminal. Saat perpisahan kami aku bener-bener bisa ikhlas melepaskan Daniel sekarang. Kalo pun ada sir mata yang mesti menetes itu adalah air mata kebahagiaan dariku untuk sukses sahabatku di negeri seberang. Sahabat yang kukasihi dan sahabat yang selalu menyayangiku.
END
Terharu dah bacanya...
Ditunggu next ceritanya ..
keren ceritanya, d tunggu ya cerita2 berikut’y (klo ad rencana untuk buat cerita lg).
#kasih 4 jempol