It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Chapter 1
Tahun 1890
Mendengar namanya dipanggil, Dean maju selangkah menghadap setelah sahabatnya, Castiel, yang berada di depannya keluar dari barisan.
"Nih upahmu, 50 sen. 5 sen-nya bonus untukmu," suara Singer tidak ada ramah-ramahnya saat memberikan kepingan tersebut.
Dean tersenyum berbinar senang dengan bonusnya, walau hanya satu sen.
"Terimakasih banyak, Tuan," dan segera keluar dari barisan.
Dean masih berbunga hati dengan upah yang ia terima hari ini. 50 sen cukup untuknya, setelah bekerja keras dan berat selama seminggu ini. Ia bisa membeli makanan untuk adiknya, lalu menyimpan 10 sen untuk ia tabung, dan sisanya ia berikan pada ayahnya. Ia bisa tersenyum lega. Tidak ada pukulan malam ini.
"Kerja yang bagus, Winchester!" seseorang menepuk pundaknya dengan semangat.
Dean tersenyum, "Lumayan," melihat kembali kepingan uang di tangannya. "Kamu dapat berapa?"
Castiel sedikit mencibir, "Dikit, cuma 35. Tapi emang aku sering nggak masuk, sih," dengan menyeringai kecil
"Mau kamu belikan apa buat Sam?" Castiel tahu, kawannya ini pasti menyisakan upahnya untuk adik laki-lakinya.
"Mungkin roti yang besar," dengan tersenyum, membayangkan Sam akan senang bila ia pulang dengan membawa roti untuknya.
Castiel langsung teringat, "O ya, hari ini McCullum menjual roti-rotinya dengan murah. Ke sana yuk, sebelum kehabisan!" dan menarik tangan Dean menuju toko roti.
Dean menarik nafas kelegaan dan senang dengan roti besar yang bisa ia beli dengan harga kurang dari 5 sen. Sam pasti senang sekali. Tapi mengingat adiknya, ia pun tidak dapat menahan perih hatinya.
"Cas, bisa nggak besok aku titip Sammy di rumahmu?" dengan wajah memelas.
Castiel terdiam. Ia tahu betapa inginnya kawannya ini membawa adiknya keluar dari rumah mereka. Tapi dengan empat adiknya yang masih kecil-kecil, ibunya sudah sangat kerepotan.
Dan dia harus menggeleng, "Maaf, Dean, kamu sendiri tahu gimana keadaan rumahku. Aku takut nggak ada yang merhatiin Sam."
"Dia nggak butuh diperhatiin, dia cuma harus keluar dari rumah, jauh dari 'dia'," masih dengan memohon. "Dia nggak akan nakal, dia nurut, kok. Dia mau melakukan apa saja."
"Aku tahu, Dean, tapi maaf, tetep nggak bisa. Ibuku nggak akan tahan dengan kehadiran satu anak kecil lagi," penuh penyesalan.
Dean menarik nafas menerima, dan mengangguk, "Yah, aku ngerti."
"Maaf banget. Aku pasti mau menerima Sam, tapi ma…," Castiel tidak enak. Ia tahu Dean punya alasan kuat kenapa ia harus mengeluarkan Sam dari rumah mereka.
"Ya, ya, aku ngerti. Maaf udah ngerepotin kamu."
Castiel masih memandang menyesal, tapi Dean memberinya senyuman hangat,
"Udah nggak pa-pa. Aku ngerti kok," masih terdengar nada perih di sana, membuat Castiel semakin tidak enak.
"Yuk, aku harus cepet pulang, tahulah dia…"
Castiel mengangguk. "Salam buat Sam, ya!"
"Oke!"
Dengan itu mereka berpisah.
Dean menarik nafas dalam-dalam, memikirkan adiknya. Sam harus secepatnya ia bawa pergi sebelum terlambat atau ia akan menyesal seumur hidup.
Dilihatnya langit yang sudah gelap. 'Waktunya pulang, Sam pasti sudah menunggu.'
Setibanya di rumah, ayahnya sudah menunggunya dengan tidak ramah.
"Kamu telat," ucapnya dengan suara berat. Nafas berbau busuk bercampur alkohol langsung tercium.
"Maaf, pa."
"Mana!"
Dengan jantung berdebar, Dean mengeluarkan semua upahnya setelah mengurangi dua keping yang ia sembunyikan di balik jas kumalnya.
"35 sen? Bukannya kamu dapat 70 sen?"
Dean menelan ludah, "Mereka memotongnya, pa. Aku sering melakukan kesalahan sehingga mereka harus memotong upahku."
Sesaat kemudian Dean merasakan panas di pipi juga telinganya setelah ayahnya memberi pukulan dengan keras. "Nggak becus!"
Dean tak menyahut, jantungnya masih berpacu kencang. Tapi ayahnya menerima juga uang itu.
"Apa yang kamu bawa?" John beralih pada kantung yang dibawa Dean.
"Roti buat Sam."
"Sini!" John merebut kantung itu dan mengeluarkannya.
"Besar sekali," kemudian menggigitnya. "Dan enak. Uang dari mana?" dengan menatap curiga
"McCullum menjual murah rotinya. Aku beruntung hari ini bisa dapat roti yang besar dengan harga murah."
"Bohong!" kembali dengan pukulan.
Dean terpaku, terlebih kini ayahnya memandangnya dengan penuh curiga.
Tiba-tiba ia menariknya dan melepas paksa jas yang Dean pakai, dan menggeledahnya.
Jantung Dean semakin tidak karuan. Hingga terdengar suara benda kecil berjatuhan membentur lantai. Dua keping 5 sen tergeletak di lantai. Dean berharap ia keluar dari sana.
John memungutnya. "Berani kamu menyembunyikannya, hah!" disertai dua tamparan keras di wajah Dean.
Mata marah ayahnya berkilat-kilat memandangnya yang sudah pucat ketakutan. Semakin ketakutan saat melihatnya melepas sabuknya.
"Lepas celanamu!"
Dean tidak dapat berbuat apa-apa. Ia menurunkan celananya dan memperlihatkan pantatnya yang kebiruan karena memar.
"Bungkuk!" John membungkukkan tubuh anaknya.
Dean hanya menahan nafas mempersiapkan diri.
Dean berusaha menahan untuk tidak bersuara saat sabuk ayahnya mengenai pantatnya dengan keras. Juga pukulan-pukulan lainnya yang tak terhitung karena ayahnya dalam keadaan mabuk.
Entah berapa kali, Dean tidak tahu, tapi ia merasakan bagian belakangnya panas membara dan sakit. Tidak hanya pantatnya tapi juga pinggangnya. Ia sampai tidak menyadari bahwa pukulan telah berhenti.
"Kamu akan belajar untuk tidak curang lagi sama aku!"
Sesaat Dean tidak dapat bergerak.
Dengan menahan sakit dia memakai kembali celananya.
"Mana Sammy?" ia memberanikan untuk bertanya setelah menyadari dia tidak melihat adiknya sejak ia pulang tadi.
"Di sana," ayahnya sudah meneguk botolnya tanpa menoleh.
Mata Dean langsung tertuju pada ruang sempit di bawah tangga, dan menujunya. Ia membukanya bersamaan dengan beberapa tikus besar keluar dari sana. Ia mendapati Sam terduduk dengan mata terpejam. Wajah dan tangannya bergores-gores mengeluarkan darah.
"Sammy" panggilnya hati hati, tapi Sam tidak bereaksi.
Dengan hati-hati ia mengeluarkan adiknya dari dalam sana. Kini ia dapat melihat dengan jelas, lehernya pun bergores-gores berdarah.
Melupakan sakit di pantatnya, ia menggendong tubuh kecil adiknya dan membawanya ke kamar mereka di atas.
Dengan hati-hati, ia membaringkan adiknya yang masih tertidur di dipan berkasur tipis.
Diperiksanya luka di wajah, leher dan tangan Sam, hasil karya tikus-tikus besar dan ganas itu.
'Tikus sialan!' rutuknya kesal dengan membersihkan darahnya. Tiba-tiba mata Sam membuka lirih.
"Hai, aku pulang," dengan tersenyum hangat.
Sam tidak menyahut, hanya memandangnya.
"Maaf aku telat. Kamu udah makan?"
Sam memberi gelengan kepala.
Dean menghela nafas. Ia tidak mungkin turun ke bawah meminta kembali rotinya untuk Sam.
Sam kembali menggelengkan kepala, membuat Dean perih.
"Sini, aku lihat belakangmu," seraya membalikkan tubuh adiknya.
Dean menyingkap baju Sam, dan hanya bisa menahan nafas perih melihatnya. Punggungnya tidak jauh beda dengan punggungnya sendiri, bahkan jauh lebih parah. Beberapa di antaranya mengeluarkan darah yang sebagian telah mengering namun sebagian masih segar dan baru. Dia sedikit menurunkan celananya dan menemukan beberapa luka sundutan rokok baru di pahanya menambah koleksi luka-luka sundutan sebelumnya yang diberikan ayahnya. Dean tidak perlu bertanya, kenakalan atau kesalahan apa yang Sam perbuat hingga ayahnya harus menghukumnya seperti ini, karena memang tidak ada kesalahan atau kenakalan yang Sam lakukan. Ayahnya tetap akan memukulnya tidak peduli ia baik atau tidak.
Hati-hati Dean menaikkan celana Sam dan menurunkan kembali baju lalu membuatnya berbalik ke arahnya.
"Masih sakit?"
Kali ini Sam mengangguk.
Dean naik ke atas dipan dan merebahkan tubuhnya di samping adiknya. "Sini," menarik lembut Sam ke pelukannya tanpa membuatnya kesakitan.
Sam segera meringkukkan tubuh kecilnya di pelukan kakaknya, satu-satunya tempat yang paling aman untuknya.
Dipeluknya hangat Sam. "Aku janji, Sam, kalau uang kita udah cukup, kita keluar dari sini. Kamu nggak perlu lagi tinggal sama dia. Kamu akan terbebas dari dia," dengan suara pelan.
Sam tidak menyahut, hanya menguatkan pelukannya, dan Dean semakin erat memeluknya, hingga Sam kembali tertidur.
.
To Be Cont.....
Sekian dulu Chapter 1nya, aku tunggu respon dari kalian. kalau banyak yang suka dan tertarik maka akan aku lanjutkan. kalau tidak ada yg suka, aku hentikan aja dech. hehehe
So, any comments?
memang insipired dari SuperNatural kok
tp lanjuuuutttt
Monggo lanjuuttt ;-)
Chapter 2
Sam langsung terbangun dengan teriakan ayahnya dan segera turun dari tempat tidurnya.
Dean pun mendengar teriakan ayahnya, tapi karena punggungnya masih terasa sakit, ia sulit untuk bangun dan tidak bisa mencegah Sam memenuhi panggilan ayahnya.
Sesaat Dean berusaha menahan sakit dan mencoba untuk bangun, tapi ia segera mendengar suara sabetan keras mengenai sesuatu.
'Sammy!'
Sekuat tenaga Dean segera bangun dan turun ke bawah. Benar, ia melihat ayahnya sedang memukul punggung terbuka Sam yang berdiri berpegangan pada tembok, dengan sabuk usangnya yang keras. Sam menerimanya tanpa bersuara.
"Hentikan!" Dean memekik panik. "Jangan pukul dia lagi, pa!"
Tapi ayahnya tidak mendengarnya dan terus memukulnya.
"Jangan…jangan pukul dia…," air matanya sudah mengalir. "Jangan…"
"DEAN! BANGUN, PEMALAS, KAMU TERLAMBAT KERJA!"
Suara ayahnya yang lantang dari bawah membangunkan Dean dan menghentikan pemandangan perih di matanya.
'Sam?' ia segera melihat sebelahnya, dan langsung bernafas lega. Sam masih di sampingnya, masih tertidur pulas.
SPN
"Biar aku ajak Sam ke pelabuhan," Dean meminta izin saat ia akan berangkat kerja.
John memandangnya heran, kemudian curiga, "Kenapa?"
"Tn. Singer ingin lihat Sam, mungkin dia sudah bisa diterima kerja di sana," Dean harus berbohong untuk ayahnya percaya, agar boleh membawa Sam keluar dari rumah.
John melirik Sam sinis, tubuhnya sangat kecil untuk seusianya, "Bisa apa dia?"
"Tn. Singer pasti punya pekerjaan yang cocok buat dia," penuh harap ayahnya akan percaya.
Sesaat John berpikir, tapi kemudian ia mengangguk, "Bawalah. Aku juga muak lihat dia seharian di rumah."
Dean bernafas lega dan tersenyum pada Sam. Ia segera menggandeng adiknya keluar dari rumah. 'Hari ini kamu akan bebas dari pukulan, Sam, aku janji.'
Setelah mereka jauh dari rumah,
"Nih, makan, kamu belum makan sejak tadi malam, kan?" Dean memberikan sepotong roti kecil yang sempat ia ambil dari meja makan tanpa sepengetahuan ayahnya.
Sam menerimanya dan langsung memakannya dengan lahap. Dean tersenyum melihatnya. 'Hari ini kamu bebas, Sam.'
"Yuk, aku telat, nih," dengan kembali menggandeng tangan Sam yang masih sibuk mengunyah.
"Dean!" seruan dari belakang membuat Dean berbalik. Dilihatnya Castiel belari kecil menujunya.
"Hi, Sam," Castiel tersenyum menyapa Sam yang sudah memegang kuat celana Dean, berlindung di belakang tubuh kakaknya..
Sam hanya tersenyum tipis.
"Kamu bawa dia?" Castiel terheran.
Dean mengangguk, "Dia bisa duduk di mana aja menungguku sampai aku selesai kerja, yang penting nggak di rumah sama 'dia'."
Castiel hanya mengangguk mengerti, kemudian tersenyum kembali pada Sam.
Sesampainya di pelabuhan, Dean menyuruh Sam duduk di tepi, tidak jauh darinya, sementara dia bekerja sebagai kuli pelabuhan di perusahaan jasa pengiriman barang Tn Singer. Sebuah pekerjaan yang berat. Tapi untuk anak 13 tahun, Dean cukup kuat untuk mengangkut kotak-kotak barang ke kapal. Tapi tidak untuk Sam, mustahil Sam bisa melakukannya. Tubuhnya sangat kecil bahkan untuk umur 9 tahun. Dia terlihat seperti anak umur 7 tahun ketimbang anak umur 9 tahun. Untunglah Sam anak yang penurut hingga Dean tidak terlalu khawatir ia akan berbuat sesuatu yang akan menyusahkan Dean ataupun dirinya sendiri.
"Siapa kamu! Sedang apa kamu di sini!"
Suara sangar Bobby Singer mengagetkan Dean, ia segera menoleh dan melihat Sam-lah yang dimaksud. Sam sudah menampakkan ketakutannya. Dean segera menghampiri mereka.
"Dia adik saya, Tuan."
Singer memperhatikan Sam yang sudah berlindung di belakang Dean. "Oh, ini adikmu yang nggak bisa bicara itu, ya?"
"Iya, Tuan."
"Siapa namanya?" ia sepertinya tertarik.
"Sam, Tuan."
"Umurnya?"
"9 tahun."
Singer masih memperhatikan Sam dengan seksama.
"Apa dia bisa bekerja?"
Dean menulan ludah. "Bisa, Tuan."
"Bagus. Kalau dia mau, dia bisa bekerja denganku."
Dean sedikit takut kalau Sam harus bekerja seperti dia. Sam belum bisa melakukannya.
"Dia akan jadi kurirku, sebagai pengantar surat-suratku ke pelanggan, juga orang yang bisa kupercaya untuk menyimpan rahasiaku. Dia nggak akan bicara, kan?"
"Dia nggak pernah bicara, Tuan."
"Bagus. Nah, kamu mau kerja denganku?" kembali pada Sam. "Kuberi 5 sen setiap satu surat yang kamu antarkan, dan kamu nggak perlu bekerja keras seperti itu," dengan tertuju pada buruh-buruh yang sedang bekerja. "Kamu mau?"
Sam bingung. Ia menoleh pada Dean meminta persetujuannya.
"Terserah kamu."
Akhirnya Sam malu-malu mengangguk menerima.
"Bagus," Singer tersenyum senang. "Kamu bisa bekerja mulai hari ini, karena ada beberapa surat yang harus kamu antarkan. Kamu bisa?"
Sam kembali menggangguk.
"Anak pintar. Ikut aku," Singer sudah berbalik lagi.
Tapi Sam belum beranjak dari berdirinya. Matanya masih menampakkan ketakutan.
Dean menggeleng, "Nggak pa-pa, ikut dia."
Dengan begitu, Sam mengikuti Tuan Singer berjalan di belakangnya.
Dean hanya bisa tercenung tidak percaya. Rekaan yang ia buat untuk ayahnya percaya tadi pagi, kini benar-benar terjadi. Tapi sungguh ini tidak direncanakan. Tapi syukurlah bila Tuan Singer menerima Sam bekerja. Dengan begitu, Sam tidak perlu lagi seharian berada di rumah bersama 'dia', dan mereka sama-sama dapat mengumpulkan uang untuk mereka pergi dari sana.
Sam bekerja dengan baik. Dia mengantarkan surat-surat Tuan Singer dengan tepat waktu. Dan Sam terlihat senang melakukannya. Mungkin dengan begini, Sam bisa melupakan sakit di tubuhnya, walau memang tidak pernah ia tunjukkan. Dean bernafas lega, dia tidak perlu mengkhawatirkan Sam lagi. Tidak ada yang menyakitinya lagi.
"Adikmu pintar sekali, Winchester, dan sopan," Singer memuji Sam saat mereka hendak pulang.
"Terimakasih, Tuan," Dean tersenyum bangga dengan melirik Sam yang berdiri di sebelahnya.
"Besok banyak surat yang harus kamu antar lagi. Kamu bisa, kan?" pada Sam.
Sam mengangguk tersenyum semangat.
"Bagus.
"Ya sudah, kalian boleh pulang."
"Terimakasih, Tuan," dan menggandeng Sam pulang.
Dean melirik adiknya, yang sejak tadi senyumnya tersungging di bibirnya. Ia tahu, Sam senang sekali hari ini. Tidak pernah ia melihat Sam tersenyum terus seperti ini.
"Kamu senang, ya?" dengan menggodanya.
Sam mengangguk pasti, melebarkan senyumnya.
"Kamu dapat berapa hari ini?"
Sam mengacungkan tiga jarinya, dan nol.
"30 sen!" Dean terbelalak takjub tidak percaya.
Sam mengangguk bangga, dan mengeluarkan semua uangnya dari saku bajunya.
Dean tersenyum ikut bangga. "Kamu mau beliin apa uang ini?"
Sam terdiam seketika, lalu menyerahkan semua uangnya pada kakaknya.
"Kok, dikasihin aku?" dengan terheran.
Sam menggeleng lirih, matanya terlihat sedih.
"Ini uang kamu, Sam. Kamu bisa pakai sesukamu."
Sam tetap menggeleng.
"Oke, aku yang simpen. Tapi kamu bisa ambil kapan pun kamu mau, ya."
Dean berharap mata Sam kembali ceria, tapi ia tetap bersedih.
"Oh, 'dia'," Dean mengerti sekarang. "Aku janji, Sam, dia nggak akan tahu uang ini. Lagi pula, kalau dia tahu kamu udah kerja, dia nggak akan menagih kamu setiap hari, dia kan hanya tahu Tuan Singer menggaji para pekerjanya setiap hari Senin. Dia nggak akan tahu kamu dapat upah setiap hari, dan kamu bisa menyimpannya dengan tenang. Ya kan?"
Sam terdiam sejenak, lalu menampakkan senyumnya dan mengangguk.
"Iya, uang ini aku simpan dulu," setelah Sam meminta Dean untuk tetap menyimpannya dulu dengan menggunakan matanya.
"Yuk, pulang," Dean menggandeng kembali adiknya dan berjalan bersama.
Saat melewati sebuah toko buku, tiba-tiba saja Sam berhenti dan menatap sebuah buku yang terpajang di etalase, dan tidak mau beranjak dari sana.
"Kamu mau buku itu?" Dean dengan hati-hati.
Sam menggeleng sedih.
"Sam, kamu bisa beli buku itu kalau kamu mau. Kamu punya uang, kan?"
Sam menoleh ragu.
"Nggak pa-pa, kamu bisa pakai uang itu. Besok kamu juga dapat lagi, ya kan?"
Sam masih ragu.
Tapi Dean harus tersenyum, "Yuk, kita lihat apa uang kamu cukup untuk beli buku itu," seraya mengajak adiknya masuk ke dalam toko.
"Halo, Ny. Tuck," Dean menyapa wanita setengah baya yang berada di balik meja kasir.
"Oh hai, Dean," Ny. Tuck menyambutnya dengan hangat. Ia beralih pada bocah di samping Dean dan tersenyum takjub, "Sam-kah ini?"
Dean mengangguk tersenyum.
"Tampan sekali dia, mirip dengan Mary," tanpa lepas matanya dari Sam.
Dean masih tersenyum. 'Ya, Sam memang mirip sekali dengan mom.'
"Dia masih belum mau bicara?" dengan wajah simpati.
Dean harus menggeleng.
Ny. Tuck tersenyum perih pada Sam.
Ia menghela nafas, "Nah, apa yang bisa saya bantu?" ia kembali pada Dean.
"Ng… buku yang dipajang itu…" Dean menunjuk etalase.
"Buku yang mana?" Ny. Tuck seraya keluar dari mejanya dan berjalan ke arah etalase.
"Yang itu," Dean menunjuk sebuah buku.
Ny. Tuck mengambilnya, dan memperhatikan buku tersebut, berjudul 'Oliver Twist'.
"Kau menyukainya?" tanyanya pada Dean.
"Sam menyukainya."
Ny. Tuck tersenyum pada Sam. "Kau bisa baca, sayang?"
Sam mengangguk malu.
Ny. Tuck tanpa ragu memberikan buku itu pada Sam. Sam menerimanya dengan senang hati.
"Berapa harganya?" tanya Dean malu.
"Itu buku bagus, Dean, tapi untuk kalian cukup 30 sen saja," dengan tersenyum.
Dean menoleh ragu pada Sam, tapi Sam mengangguk pasti. Dean mengeluarkan semua uang di dalam sakunya.
Ny. Tuck menerimanya, namun ia memberikan lima sen kembali, "Kau simpan saja," dengan tersenyum hangat.
"Terimakasih, Nyonya."
mengangguk.
"Kami permisi, Nyonya."
"Ya."
Dean menggandeng Sam keluar.
"Dean…"
"Ya, Nyonya?"
"Jaga Sam baik-baik,"
Dean mengangguk pasti, dan menggandeng tangan adiknya keluar dari toko.
Sam mendekap erat buku yang baru dibelinya dengan wajah tersenyum. Dean pun ikut tersenyum. Dia senang bila melihatnya bahagia, dan dia memang hanya ingin Sam bahagia, sesuai janjinya pada ibunya.
TBC
sudah dilanjut, bang
kali ini beda kok, pokoknya ikuti aja ceritanya
sudah diposting ya? waw aku belum sempat check ke blog itu, oke makasih ya