It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Gowes = Naik speda
Ada yg suka naik speda di seputaran UI Depok kah???
Ayank @jay kutunggu ya kirimanya
Hari ini km ketemu temen kan??,serius temenkan?? Bukan yg lain??
(Introgasi .com)
iya ma temen beneran!
ga bakalan ngelaba kok!
situ sndiri tuh yg kayaknya mo buka cabang. Nyari2 yg suka gowes di UI jg hayooh?!!!
Woi!! gw ga setua itu kalee! Panggil twako/koko aja deh! wkwkwkwkk. . . .
@congcong : hehehe. . . nggak kok! gw jawa asli!
@brownice: thanks jg ya?!
"Kamu yakin mau berangkat sendiri?" tanya Jeffry untuk kesekian kali. Aku kembali tersenyum mendengarnya mengatakan hal yang sama, entah untuk ke berapa kalinya.
"Iya Jeff," jawabku menenangkan. "Kamu gak usah ikut, kan ada syuting film? Masa ditinggal?" ujarku sembari mengisi koperku.
"Aku kan bisa mengambil libur beberapa hari," gerutunya lagi.
"Bukan ngambil, tapi maksa," ralatku dan meliriknya yang langsung mendengus keras.
"Tapi kamu mungkin butuh temen disana kan?"
"Jeff, aku pasti baik-baik saja. Disana kan ada Ummi. Juga keluarga yang lain. Abi yang harus dikhawatirkan, karena beliau yang ada di rumah sakit. Kamu nggak perlu khawatir kalau soal aku. Nanti aku kasih kabar ok?!" kataku menenangkannya.
"Masih belum tahu berapa lama kau akan disana?" tanya Jeffry lagi. Nadanya yang terdengar kesal membuatku menghentikan packingku yang belum selesai. Kulihat dia berdiri disebelah tempat tidur dengan bibir cemberut dan kepala yang sedikit tertunduk. Kakinya sesekali menendang bagian bawah ranjang. Jadi inget dengan anak kecil yang sedang merajuk.
Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu. Terlihat begitu imut dan lucu. Kudekati dia, dan langsung kulingkarkan tanganku di pinggangnya. "You're gonna miss me, aren't you?" tanyaku pelan.
Kembali dia mendengus pelan. "PeDe mu ketinggian," gerundengnya kesal dan memelukku.
Kembali aku tertawa kecil dan menyandarkan kepalaku dibahunya. "Kalo gitu, aku yang pasti bakalan kangen sendiri nih," ujarku.
Tak ada sahutan dari Jeffry. Dia mengetatkan pelukannya padaku, lalu kurasakan kecupan ringannya di kepalaku. "I've missed you already!" bisiknya pelan.
Dia memang paling tahu, kapan harus bersikap romantis. "Aku pasti balik cepat kok. Ada beberapa kontrakku yang belum selesai dan kudu diberesin sampai akhir bulan ini."
"Baik-baik aja disana. Telepon aku begitu sampai. Dan jangan mencari masa lalu yang sudah kau lupakan," pesan Jeffry cepat.
Kalimat itu memang terkesan sederhana. Tapi caranya mengucapkan membuatku menarik kepalaku dan melihatnya heran. "Maksudmu Rafly?" tanyaku penasaran. Aku memang sudah menceritakan semua masa laluku padanya. Tak ada hal yang kurahasiakan dari Jeffry.
"Kau kembali ketempat asalmu dimana kalian bisa bertemu dan mungkin . . ."
"Are you jealous?" tanyaku dengan alis terangkat satu, memotong ocehan tak jelasnya.
"No!" sahutnya, terlalu cepat membela diri. "Tapi kalian punya masa lalu yang boleh dibilang terkatung. Jadi ada kemungkinan kalau dia tahu kau kembali, kalian akan bertemu dan. ."
"Aku janji gak akan nyari atau temuin dia!" potongku. Jeffry sudah hendak protes lagi, tapi sepertinya tak tahu harus mengatakan apa hingga akhirnya memilih diam. Terlihat tak nyaman karena aku bisa tahu isi hatinya tanpa bertanya. Aku jadi makin geli karenanya. Aku tahu, mungkin dia lebih memilih disiksa sampai mati daripada diminta untuk mengaku kalau dia sedang cemburu. Jadi aku tak mau memaksanya.
Kuraih kepalanya dan kusatukan kening kami. "Hanya kamu," bisikku dan memejamkan mata saat Jeffry memiringkan kepalanya dan menciumku. Tentu saja aku tak mengatakan pada Jeffry kalau ada sedikit kekhawatiran tentang Rafly yang mungkin datang mencariku. Meski kemarin aku sudah meminta Ummi untuk merahasiakan kedatanganku.
"Sebaiknya memang begitu. Sampaikan salamku pada keluargamu. Terutama Abi mu."
Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Aku tiba pada pukul 4 sore. Ummi sendiri yang menjemputku di bandara. Mata beliau langsung berkaca-kaca saat aku mendekat. Aku segera memeluknya dan mengajaknya untuk langsung pergi sana. Beberapa orang tampak memperhatikan kami. Entah karena melihat Ummi yang menangis, atau karena mereka melihatku.
Sejak aku dekat dengan Jeffry, aku telah beberapa kali tampil sebagai bintang tamu dalam beberapa sinetron. Mulanya aku ingin menolak tawaran-tawaran itu. Apa lagi saat ada tawaran main film bareng Jeffry. Sekali lagi sebagai bintang tamu. Jeffry yang akhirnya mendorongku untuk menerimanya. Alasannya agar aku bisa mendalami karakter lain selain diriku sendiri. Dan dia bersedia jadi mentorku. Jadi. . . wajahku memang mulai dikenal dengan lebih luas. Tapi apapun penyebab ketertarikan mereka, aku ingin segera pergi dari sana.
"Kamu ingin istirahat dulu atau. . . ,"
"Kita langsung ke Rumah Sakit saja Mi. Bagaimana perkembangannya Abi?" tanyaku.
"Sudah lebih baik Maz. Tapi Ummi masih tetap cemas. Abimu adalah orang yang paling memperhatikan kesehatan. Dia juga jarang sakit. Tapi sekali sakit ya begini ini! Bikin kaget. Ummi belum bisa kalau. . . ," beliau tak bisa meneruskan kalimatnya. Aku yang mengerti kembali memeluknya erat.
"Sudah dong Mi! Kan Abi sudah mendingan! Ummi yang baik aja jagain Abi kalau sudah pulang nanti!" hiburku. Ummi mengangguk dan mengusap airmatanya.
"Ummi seneng kamu bisa pulang Nak," ujar beliau dengan kelegaan yang jelas terlihat.
Kalimat sederhana beliau langsung menohokku. Dari tadi sebenarnya aku sudah menahan diri agar tidak larut dalam kesedihan Ummi. Tapi melihat beliau yang terlihat begitu senang aku datang sungguh membuatku merasa bersalah. Aku tak pernah ada disampingnya, menjalankan kewajibanku sebagai seorang anak. Aku terlalu sibuk dengan karir dan pelarianku dari Rafly. Aku tak pernah meringankan bebannya. Tak pernah berbakti padanya.
Kuraih tangan Ummi dan kucium berulang kali. Dadaku sesak oleh penyesalan yang dalam. "Maafin Dimaz ya Mi?" pintaku dengan suara sedikit pecah. Aku tak bisa menahan airmataku lagi. "Dimaz gak pernah ada untuk Ummi dan Abi!"
"Sekarang kau sudah ada kan Nak?" balas Ummi dengan senyumnya. Beliau mengusap kepalaku dengan lembut. Kasih sayang seorang Ibu memang tak pernah surut. Bahkan saat anaknya sendiri selalu berbuat kesalahan. Hanya dengan sebuah permintaan maaf, seorang Ibu akan melupakan kealpaan buah hatinya. Seberapapun besar dosa yang telah dilakukan.
Maaf Ummi! Anakmu ini benar-benar tak pernah berbakti. Selalu sibuk dengan dunianya sendiri yang tak karuan. Tuhanku, aku tahu apa yang kulakukan salah. Timpakan semua dosa dan hukuman ke pundakku Tuhan. Jangan timpakan pada orang tuaku. Semua murni kesalahanku. Mereka sudah melakukan kewajiban mereka dengan sempurna.
Aku menarik nafas panjang agar air mataku tak kembali turun karena sebentar lagi, aku harus bertemu Abbi. Sejak kecil Abi sudah memberi didikan bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga yang harus kuat dan tahan banting. Tak ada istilah menangis dalam kamus Abi. Didikan yang terus kuingat hingga sekarang.
Aku berhenti sejenak didekat kamar Abi. Ummi yang paham kalau aku sedang mempersiapkan diri hanya tersenyum dan meremas bahuku pelan. Aku cuma membalas senyumnya tipis. Setelah menarik nafas panjang 2 kali, aku meraih handle pintu.
"Assalamu'alaikum. . . ," kataku pelan dan melongokkan wajah ke dalam. Kulihat Abi yang tadinya terpejam, membuka matanya. Senyum sumringah langsung merekah diwajah beliau saat tahu siapa yang datang.
"Kapan datang Nak?" sapa beliau sedikit serak.
Aku segera mendekati Abi dan meraih tangan beliau untuk menciumnya. Yang mengejutkanku, Abi tidak langsung melepaskanku. Beliau malah menarikku untuk lebih mendekat dan memelukku dengan tubuh sedikit bergetar. Baru beberapa saat kemudian aku sadar kalau beliau menangis.
"Sudah Bi! Dimaz kan sudah datang sekarang," hibur Ummi yang berdiri disisi lain pembaringan.
Aku masih terpaku kaget untuk bisa bereaksi. Tapi sesaat kemudian tanpa dapat kutahan airmataku kembali mengalir. Abi yang selalu menanam ajaran bahwa lelaki harus kuat, kini justru menangis didepanku. Saat beliau melepas pelukannya, aku bisa melihat dengan jelas. Beliau yang selalu tampak gagah dan kuat kini terlihat kurusan dan kuyu. Rasa bersalah kini kembali menderaku. Apa lagi saat beliau meremas tanganku yang sedari tadi digenggamnya. Aku makin tertunduk dalam tangisku.
"Maaf ya Maz! Abi malah gini. Tapi Abi lega kamu sudah datang. Abi sudah takut kalau Abi tak bisa melihatmu lagi."
"Abi. . . !" tegur Ummi pelan. "Dari kemarin kok ngomongnya ngawur gitu! Nggak boleh Bi. Ummi kan nggak tenang," protes Ummi dengan pipi yang kembali basah dalam hitungan detik.
"Ummi. . . ," Abi meraih tangan istrinya. "Iya Mi. Maaf! Abi benar-benar takut kemarin. Sekarang sudah nggak kok! Sudah ya Mi! Abi minta maaf!" pinta beliau.
Aku cuma mampu berdiri diam menyaksikan drama didepanku dengan kepala makin tertunduk dalam dan mata berair. Selama ini mereka memang selalu menunjukkan keharmonisan didepanku. Kasih sayang yang selalu mereka contohkan padaku tak pernah berubah. Hingga kadang sering aku berpikir keras, kenapa aku bisa menjadi gay sementara orang tuaku adalah contoh sempurna akan indahnya hubungan antara lelaki dan wanita. Aku tak pernah bisa menjawabnya. Hingga kini.
"Dimaz sudah makan?" tanya Abi memecahkan suasana haru yang menggantung.
"Sudah tadi sebelum berangkat Bi!" jawabku pelan tanpa mengangkat muka.
"Ya sudah. Kalau belum, kamu buka saja salah satu parcel yang ada itu. Ummi nanti bawa saja semuanya pulang ya? Itu tadi ada lagi 5 orang temen Abi yang kirim."
"Siapa Bi?"tanya Ummi dengan suara yang terdengar agak normal lagi. Aku sendiri segera permisi ke toilet untuk membersihkan mukaku. Saat keluar aku lihat Ummi yang mengumpulkan parcel yang lumayan jumlahnya ke meja tamu. Kamar VIP tempat Abi dirawat memang dilengkapi dengan seperangkat meja tamu dan 1 tempat tidur tambahan.
"Dimaz bantu Mi."
"Nggak perlu Nak. Kamu temani Abi mu saja dulu. Dia sudah ribut mau ketemu kamu dari kemarin. Biar Ummi sama Pak Rahmat yang bawa semuanya ke mobil ya?" kata Ummi.
"Iya, Dimaz disini saja. Gimana kuliah dan kerjaanmu Maz?" tanya Abi saat aku mendekat.
"Lancar Bi!" jawabku dan duduk dikursi yang ada di pinggir ranjang.
"Beberapa waktu kemarin Abi bareng Ummi mu sempet lihat film kamu yang main sama temenmu itu. Siapa namanya?"
"Jeffry Bi! Ada salam dari dia. Dia sebenernya mau ikut kesini. Tapi nggak bisa. Soalnya dia sedang menyelesaikan filmnya yang baru dan. . . ," Kalimatku terpotong oleh deringan ponselku. Aku segera mengambilnya dan melihat nama Jeffry muncul di screen. Aduh!! Aku lupa menghubunginya! Aku sedikit menjauh dari ranjang Abi. "Ha. . . ,"
"AKU SUDAH NUNGGU DARI TADI!!!!!" raung Jeffry dari seberang bahkan sebelum aku bisa mengeluarkan satu kata utuh.
Nah kan?! Orang satu ini emang kadang bisa kolokan habis kalo udah kumat. "Maaf Jeff."
"Aku nggak konsen dari tadi dan terpaksa break shooting!!" omelnya lagi dengan suara yang lebih pelan, meski tetap saja dengan marah.
"Aku langsung ke Rumah Sakit. Ini aku ada di kamar Abi dan. . . ," kembali kalimatku terpotong saat kulihat Abi melambai dan menadahkan tangannya padaku. "Abi ingin bicara denganmu," kataku dan dengan cepat memberikan ponselku pada beliau.
"APA?!! Hei, aku. . . ,"
"Assalamu'alaikum Jeffry. . . ," sapa Abi ramah pada Jeffry. Aku lebih memilih diam, sedikit menjauh meski aku bisa membayangkan ekspresi Jeffry saat mendengar suara Abi. "Sudah mendingan. Iya tadi Dimaz sudah bilang ke Oom kalau kamu sedang sibuk. Terima kasih ya sudah jagain Dimaz buat Oom. Suatu saat kau harus menyempatkan waktu kesini."
"Siapa?" bisik Ummi yang muncul dari belakangku bersama Pak Rahmat, sopir keluarga kami.
"Si Jeffry Mi!" jawabku.
Mendengar itu Ummi segera mendekati Abi yang langsung berkata, "Iya. Ini Tantemu mau ngomong!" dan langsung menyerahkan ponselku pada Ummi.
Aku benar-benar tak tahan membayangkan bagaimana wajah dan reaksi Jeffry. Pasti seru! Aku hampir-hampir tak tahan untuk tertawa. Karena itu kuputuskan membantu Pak Rahmat membawa parcel-parcel Abah ke mobil. Lucunya dipelataran parkir aku bertemu dengan seorang cewek yang juga memegang sebuah parcel besar. Mau tak mau aku melihatnya. Cewek itu berkerudung, berkulit putih dan benar-benar cantik. Dia memiliki kecantikan dan keanggunan gadis muslimah yang cukup mengagumkan. Bahkan saat mata kami bertemu, kulihat pipinya bersemu merah dan cepat-cepat menunduk. Reaksi yang cukup membuatku terkesan. Biasanya, saat ada seorang cewek yang kuperhatikan dengan intens, mereka justru akan pasang aksi norak. Tindakan konyol yang sering membuatku merasa geli.
Tapi cewek satu ini justru menunduk malu dan tampak salah tingkah. Tak sedikitpun berani mengangkat wajahnya. Mau tak mau aku jadi tertarik melihat keluguannya. Saat aku melewatinya dia semakin tertunduk dan berjalan mundur meski jarak diantara kami cukup lebar. Lalu kulihat seorang bapak-bapak berpakaian rapi dan bersongkok putih bersih menghampirinya.
Ayahnya? batinku.
"Sini Mas Dimaz," kata Pak Rahmat, membuatku sedikit kaget. Cepat kuserahkan parcel yang kubawa padanya. Begitu kembali aku menemukan Ummi yang sedang bicara ditelepon dengan Jeffry diluar kamar Abi.
"Iya Jeff. Terimakasih ya Nak? Ini Dimaz sudah balik. Assalamu'alaikum!" ujar Ummi dan menyerahkan ponselku.
"Halo Jeff?"
"SINTING!!" sembur Jeffry langsung. "Aku dari tadi sampe gelagapan terus tahu?!!"
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Habis Abi yang minta. Beliau tadi bilang kalo beliau dan Ummi pernah lihat film kita lho!"
Jeffry mendengus keras. "Sudahlah. Aku cuma ingin denger kamu saja. Oom sudah bilang kalau beliau mendingan. Kamu apa nggak sebaiknya pulang ke rumahmu dan istirahat dulu?" tanya Jeffry jauh lebih kalem dari tadi.
"Ntar lagi. Abi sepertinya masih belum puas liat anaknya yang cakep ini!"
"Dasar narsis edan!!" gerutu Jeffry membuatku kembali tertawa kecil. "Aku juga belum puas melihatmu tahu?" lanjutnya lagi lembut.
Aku tak mampu menahan cengiranku mendengarnya. "Jeffry kangen ya?" godaku.
"Ugh! Males ngomong ma kamu! Aku mau tidur! Cepet balik kalo semua sudah beres!" tukas Jeffry dan langsung menutup telepon. Aku tersenyum dengan reaksinya. Jeffry memang boleh dibilang pelit kalau diminta mengeluarkan pujian ataupun kalimat yang mengungkapkan tentang perasaan hatinya. Padahal dia gampang saja memanggil model cewek kenalannya dengan sebutan sayang atau cinta. Meski aku sudah menduga apa alasannya, pernah juga aku protes. Kenapa dia tak pernah mengatakan itu padaku. "Tak ada makna khusus meski aku mengatakan kata itu seribu kali pada mereka. Itu semua hanya basa-basi saja. Tapi denganmu berbeda. Karena apa yang aku katakan padamu, kata-kata itu memiliki makna yang sebenarnya," jelasnya waktu itu.
Karena itu, setiap kalimat yang ia keluarkan terasa sekali artinya. Dan Jeffry benar-benar tahu kapan harus mengatakan sayang, kangen atau yang lainnya. Dia punya cara dan waktu sendiri.
"Dimaz!" panggil Ummi dari dalam.
"Iya Mi!" sahutku dan cepat-cepat ke dalam. Aku cukup terkejut saat aku mendapati cewek cantik berkerudung itu duduk disebelah Abi. Sementara bapak-bapak yang bersamanya ada disisi lainnya.
"Sini Nak! Kenalkan ini Oom Ghani Al Juffry. Beliau rekan kerja Abi. Dan ini putrinya yang sudah sering ke rumah. Sarah," kata Abi memperkenalkan.
Aku segera mendekat dan menyalami orang yang disebut Abi tadi sebagai Oom Ghani. Tapi saat aku hendak menyalami Sarah, aku sedikit kecele. Karena cewek itu hanya menangkupkan tangannya dan mengangguk tanpa menolehku.
"Biasa Maz. Keluarga Oom Ghani ini masih memegang teguh ajaran leluhur yang dari Arab sana. Kalian bukan muhrim, jadi dilarang bersentuhan. Jangan tersinggung ya?" pinta Oom Ghani ramah.
"Ooh!! Nggak apa-apa Oom," sahutku cepat. Jadi dia masih memiliki darah Arab. Pantas kulitnya berbeda putihnya, pikirku.
"Tapi ngobrol nggak apa-apa toh Ghan? Kan ada kita disini," seloroh Abi.
Oom Ghani tertawa. "Tentu saja Han!" sahutnya.
"Kamu temani Sarah ngobrol dulu ya Maz. Ummi mau beli minuman dulu. Ayahmu sepertinya ingin ngobrol berdua dengan Oom Ghani," kata Ummi tersenyum. Aku hanya mengangguk dan menuju kursi tamu.
"Mari Sarah! Silahkan duduk," kataku mempersilahkannya. Sarah mengangguk dan mengikutiku duduk. "Sarah kuliah atau sudah bekerja?" tanyaku mencoba membuka obrolan.
"Masih kuliah Bang! Di *** (nama sebuah Universitas berbasis agama). Semester dua," jawab Sarah tanpa sekalipun menatapku.
Radit pasti menyukai gadis ini, pikirku. Aku sebenarnya sudah terbiasa menghadapi gadis seperti Sarah karena memang begini caraku dibesarkan. Tapi setelah 3 tahun lebih di Jakarta dan terbiasa dengan cewek agresif, jadi agak segan juga meghadapinya. Untungnya sebagai publik figur, sedikit banyak aku memiliki pengetahuan bagaimana berhadapan dengan berbagai karakter orang. Akupun mencoba menjalin percakapan santai dengan Sarah. Ummi yang baru datang menyajikan minuman camilan ringan untuk tamunya.
Yang mengejutkanku, Sarah ternyata mengikuti sekali perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan. Dia tahu banyak tentang situasi politik, perdagangan, bahkan tentang perkembangan dunia kesehatan yang mungkin hanya diketahui oleh orang-orang yang sering melahap surat kabar dan acara berita. Lucunya, dia tidak begitu paham akan dunia entertainment. Film yang kubintangi saja ia tonton karena ayahnya yang ngajak. Mungkin acara infotainment dianggapnya sebagai ghibah. Aku sendiri kadang cenderung berpikir seperti itu.
Baru beberapa saat kemudian, baru kusadari kalau dari arah pembaringan Abi tidak terdengar apapun. Saat aku menoleh, mereka semua justru sedang bengong memperhatikan kami.
"Kalian ini sedang ngomongin apa sih? Kok debatnya seru begitu?" celetuk Abi saat aku dan Sarah akhirnya diam begitu tahu kami sedang diperhatikan.
"Cuma hal umum saja kok Bi!" jawabku dan tersenyum, sedikit kikuk. Entah sudah berapa lama mereka memperhatikan kami.
"Anak muda! Kadang aku juga nggak ngerti apa yang mereka ributkan Han," sambung Oom Ghani. Mendengar beliau memanggil nama Abi yang Farhan menjadi Han saja, jelas mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat daripada yang kuperkirakan sebelumnya.
"Generasi tua memang cukup di garis belakang saja Ghan!" seloroh Abi dan tertawa kecil.
"Ya sudahlah! Sudah sore. Aku pamit dulu ya? Kau istirahat supaya kita bisa kumpul-kumpul lagi," pamit Oom Ghani dan menyalami Abi. Akupun segera bangkit untuk ikut menyalaminya. "Dimaz main-mainlah ke rumah Oom. Sesekali Oom pengen rumah Oom disambangi sama artis. Kan bisa buat pamer ke teman-teman."
Aku hanya tersenyum menanggapinya, "Insyaallah Oom." Kulihat Sarahpun bangkit mendekati Abi.
"Sarah pamit Oom Farhan. Cepat sembuh ya?" pamit Sarah dan meraih tangan Abi, menciumnya takzim. Lalu berganti pada Ummi.
"Terimakasih Nak! Semoga saja. Kamu juga sering-sering ke rumah Oom ya?" jawab Abi.
"Insyaallah Oom. Bang Dimaz," kata Sarah dan mengangguk padaku.
"Kalau begitu, mari. Assalamu'alaikum," kata Oom Ghani yang diikuti oleh Sarah. Aku dan Abi segera menjawabnya. Saat mereka lenyap dari pandangan, Abi mendesah pelan. Hal itu tentu saja membuat aku dan Ummi heran.
"Kenapa Bi?" tanya Ummi khawatir.
"Nggak papa Mi. Abi cuma salut sama si Ghani. Nggak banyak orang yang bisa tetap hidup dengan prinsip seperti mereka sekarang ini. Modernisasi kehidupan terkadang membuat kita jauh pada sang Khalik. Tapi liat Ghani dan anaknya! Mereka bisa bertahan, meski mereka termasuk orang-orang yang sukses."
"Oom Ghani nggak punya istri Bi?" tanyaku lagi.
"Sudah meninggal 2 tahun yang lalu Maz," jawab Ummi. "Sekarang dia tinggal sama Sarah dan dua orang adik kembarnya yang masih SMP."
"Ghani begitu menyayangi istrinya. Dia cukup terpukul saat istrinya meninggal. Dia bilang, dia tidak kesepian. Sudah merasa cukup dengan anak-anaknya dan tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Tapi Abi rasa, pada suatu titik, dia pasti akan kesepian juga. Seperti Abi dan Ummi mu ini Maz."
"Maksudnya Bi?"
Abi kembali mendesah. "Kapan kau akan membawa menantu buat kami?"
Aku sontan terdiam dengan kepala kembali tertunduk. Ya Tuhan! Tolong, jangan sekarang!
"Kau satu-satunya putra Abi. Penerus garis keturunan Abi. Dan kemarin, saat Abi sakit, Abi baru sadar. Kalau Abi masih punya satu tugas yang belum Abi selesaikan. Menikahkanmu," kata Abi. "Kemari Nak!" panggil Abi dan menepuk sisi tempat tidurnya.
Aku hanya mampu menurutinya dengan nafas yang mulai sesak.
"Kau tahu, Abi selalu mencoba mengalah dengan keinginanmu. Karena Abi tahu, kau juga ingin menikmati masa muda mu. Abi mengerti. Tapi. . . ,apakah masih belum cukup sekarang Nak?," tanya Abi memulai. "Kau pergi meninggalkan kami ke Jakarta sendiri dengan alasan ingin mandiri. Meski berat, kami berdua mengikhlaskanmu. Sudah berjalan hampir 5 tahun kau meninggalkan kami. Apa masih belum cukup?"
"Kau masih belum ingin kembali, Nak? Kami. . . , benar-benar kesepian disini," sambung Ummi membuatku semakin sesak.
"Ummi," desahku.
"Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada kami Maz?" lanjut Abi. "Kau mau, hanya mampu memegang mayat kami?"
"Abi!! Kok bicaranya ngelantur gitu?" protesku pelan.
"Karena kemarin Abi bisa saja mati Dimaz!" jawab Abi. "Kemarin, bisa saja Abi sudah meninggalkan Ummimu sendiri, sementara kau, satu-satunya putra Abi, tidak ada disini! Abi. . . ,benar-benar takut kalau Abi pergi tanpa bisa melihatmu lagi. Karena Abi masih punya tanggung jawab untuk menikahkanmu. Bawalah pacarmu ke rumah Nak! Katakan dia siapa dan dimana. Kami akan segera melamarnya agar secepatnya kau bisa membawanya kerumah, sebagai teman kami yang sudah tua."
"Apa lagi yang kau tunggu Nak? Harta kita sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupmu dan keturunanmu Maz," sambung Ummi.
"Kau sudah memiliki pilihan Nak?" tanya Abi pelan.
Aku terdiam. Bingung harus bagaimana menjelaskannya pada mereka. Tak mungkin aku mengatakan kalau aku gay dan sedang berhubungan dengan Jeffry. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi dengan Abi kalau dia tahu. Akhirnya aku hanya bisa menggeleng saja.
"Bagaimana kalau kami yang mencarikannya untukmu?" tanya Abi lagi.
"Dimaz. . . ,masih harus menyelesaikan kuliah Bi!" kataku mencoba mengelak.
"Apa harus di Jakarta nak? Apa begitu pentingnya pendidikanmu sehingga kau harus meninggalkan kami lebih lama lagi? Apa yang mau kau raih? Masih kurang apa yang kita miliki disini?" tanya Abi. "Teruskanlah pendidikanmu disini Nak! Bantu Abi mengurus semua usaha Abi yang nantinya toh akan jadi milikmu juga. Dan segeralah menikah! Abi akan mati dengan tenang kalau kau sudah berkeluarga. Setidaknya Ummi mu tak akan kesepian lagi kan?"
Hening!
Aku benar-benar merasa terdesak dengan permintaan Abi dan Ummi. Namun dalam hati, aku juga tak bisa menyangkal kalau apa yang mereka minta juga wajar dan sudah semestinya. Tapi. . . . ,
Suasana hanya dipecahkan oleh isak pelan Ummi. Beberapa saat kemudian, kurasakan tangan Ummi yang memegang bahuku dan meremasnya pelan. Aku sama sekali tak bisa mengangkat muka.
"Pikirkan saja dulu, ya Nak?!" pinta Ummi.
Aku hanya mengangguk.
Dilema banget si Dimaz itu...dan aku ngerti banget posisi seperti itu,tidak mengenakan....
Dan parahnya ternyata bukan dg rafly........
Aaaaaaaa...bakal sedih nih pasti :-S
*peluk jeffry*