It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@darkrealm: thanks ya Bro!
tp buat nebus, gue upload bbrp chapter langsung.
tetep gw tunggu komennya. ok?!
makasih buat yg udah mau komen or email gw.
ENJOY!!!
V
Esok harinya, aku sengaja mengacuhkan Rafly. Tak sekalipun aku bicara atau melihatnya. Beberapa orang teman memang menanyakan perubahan sikapku. Tapi aku hanya tersenyum tanpa memberi pejelasan.
Pada saat istirahat, Rafly mendapat panggilan oleh wali kelasku. Sepertinya beliau ingin memberitahu tentang beasiswa itu secara pribadi pada nya. Aku tetep pura-pura acuh tak peduli, hingga akhirnya bel pulang berdering.
"Aku mau bicara," kata Rafly singkat. Tiba-tiba saja dia sudah berada di sebelahku. Padahal aku sendiri masih mebereskan barang-barangku yang bertebaran di meja. Dua temanku yg tadinya mau kuajak pulang bareng tampak waspada. Mereka pasti berpikir kalau aku dalam bahaya.
"Kalian pulang aja dulu," kataku pada mereka dan tersenyum menenangkan. Meski masih terlihat cemas, akhirnya mereka pergi. "Ada apa?" tanyaku pada Rafly sembari kembali membereskan barang-barangku tanpa melihatnya.
"Kamu yang mengajukan beasiswa itu?" tanya Rafly langsung.
"Bukan!" jawabku langsung. "Aku cuma mengusulkan. Salah seorang anggota komite dan wali kelas kita yang mengajukan. Dan agar kau tak lagi merasa direndahkan," aku menekan kalimat terakhir tadi, ". .kau harus tahu. Bahwa sebelum bisa mendapatkan beasisiwa itu, pihak sekolah telah memeriksamu. Bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga prestasi akademis. Jadi jika komite sekolah sudah menyetujuinya, itu berarti kau layak mendapatkannya. Hal ini tak ada hubungannya dengan keputusan perorangan. Itu mutlak keputusan seluruh anggota komite." jelasku.
Tak ada reaksi dari Rafly.
"Ada lagi?" tanyaku tanpa melihatnya. Mejaku sudah bersih.
"Kamu nggak melihatku!" katanya,lebih ke arah menegur daripada bertanya.
"Kamu yang mengajariku," sahutku singkat dan menyampirkan tas ku. Aku bangkit untuk pergi, tapi Rafly menahan tanganku.
"Bisa melihatku sebentar?" pintanya.
Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi nada suaranya benar-benar serius. Pelan aku berbalik dan melihatnya. Aku menatap langsung ke matanya yang juga melihatku datar.
"Terimakasih!" katanya.
Selain kesungguhan, aku tak melihat yang lainnya lagi di sana. "Sama-sama!" sahutku singkat lalu mengibaskan pegangannya untuk segera pergi dari situ.
"Aku belum selesai!" tukas Rafly cepat dan kembali menahanku.
"Apa lagi?" tanyaku tak sabar tanpa berbalik.
"Maaf," pintanya lirih. Nadanya yang terdengar begitu aneh mengusikku. Aku berbalik perlahan dan kembali menatap langsung matanya. Dan akupun terperangah. Belum pernah seumur hidupku, seseorang memandangku seperti cara Rafly memandangku sekarang. Tatapannya begitu dalam dan penuh makna. Aku tak bisa menjabarkannya dalam kalimat, tapi yg jelas, aku tak bisa lari dari matanya. Semua yang ada disekelilingku jadi lenyap dan terasa tak berarti. Seakan-akan semuanya hanya suara latar dari sebuah film murahan tanpa makna.
"Dimaz ..?"
Tegurannya membuat kesadaranku kembali. Cepat aku megerjapkan mata dan berpaling. Untuk beberapa saat lamanya, aku harus berusaha untuk mengumpulkan lagi kepercayaan diri dan gengsiku yang tadi sedikit turun. Aku harus menarik nafas dalam-dalam agar tenang. "Sudahlah!" kataku akhirnya.
"Sepertinya kau sulit untuk memaafkanku," katanya pelan, "Apa yang bisa kulakukan agar kau mau?"
Kalimat terakhirnya itu memberiku ide. "Ada satu hal yang bisa kau lakukan agar aku bisa memaafkanmu," ujarku membuat kening Rafly berkerut heran.
"Katakan!"
Aku menatapnya serius agar dia tahu aku tak main-main. "Berhentilah bekerja di restoran itu! Berhenti kerja gila-gilaan hanya untuk mengumpulkan sebagai ganti biaya rumah sakit. Sudah cukup kau bekerja di Mas Arif. Konsentrasi saja pada studimu. Bisa?"
Rafly terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Menerima bantuan dari orang lain bukan berarti kamu turun derajat Raf. Hal itu cuma menunjukkan bahwa kau manusia biasa.Sama seperti yg lain. Yang juga membutuhkan orang lain dalam satu dan lain hal!" kataku lagi.
"Mas Arif yg cerita," gumamnya pelan.
"Ga penting siapa yang cerita. Itu syaratku untuk mau memaafkanmu! Terima atau nggak, terserah!" putusku dan kembali hendak pergi. Dan sekali lagi, langkahku terhenti karena dia menahanku.
Rafly tampak berpikir. Sesekali ia menggigit bibirnya dan menghela nafas. Sampai akhirnya dia mengusap wajahnya, kalah. "Baiklah! Aku akan berhenti," putusnya pelan.
Aku tersenyum mendengarnya. Sebuah rekor bisa mengalahkan Rafly. Aku yakin bukanlah hal mudah bagi dia untuk mau menurutiku. "Kalau begitu beres! Aku pulang dulu. Ada bimbingan belajar. Dan sore nanti aku mau main ke rumahmu. Itu syarat tambahan untukmu. Bisa kan?"
"Aku baru pulang dari Mas Arif jam 4."
"Baiklah! Aku kesana setelahnya. Aku pulang dulu," pamitku dan pergi dengan senyum senang.
VI
Sore itu aku ke rumah Rafly dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Kali ini dia sudah siap menerimaku. Wajahnya yang baru saja mandi tampak segar. Pakaian yang ia kenakan pun bersih dan rapih. Dia tampak santai dengan celana pendek dan t-shirtnya. Dan mau tak mau aku harus mengakui kalau dia anak yang menarik. Selama ini aku cuma melihatnya dalam keadaan sakit, coreng moreng oli, dan dalam balutan seragam. Tapi sekarang, saat dia santai, dalam keadaan bersih segar serta busana normal, dia benar-benar menarik untuk ukuran anak cowok. Tubuhnya tegap berisi dengan wajah yang terkesan jantan. Kuat dan bisa diandalkan adalah kesan pertama yang tertangkap darinya.
Bahkan rumahnya juga tampak lebih bersih dari sebelumnya.
"Kamu gak perlu bawa ginian kan?" gerutunya yang cuma ku jawab dengan geraman jengkel hingga membuatnya angkat tangan pasrah. "Kamu duduk dulu," katanya mempersilahkan ku lalu dia sendiri masuk ke dalam. Tak berapa lama aku mendengar suara dentingan logam sehingga sebelah alisku terangkat.
"Ngapain Raf?" tanyaku dari ruang tamu.
"Nggak ada. Kamu tunggu aja!" jawab Rafly. Tapi karena setelah menunggu beberapa saat dia belum muncul-muncul juga, aku jadi penasaran. Akupun memberanikan diri untuk nyelonong masuk Kutemukan dia sedang didapur dengan kompor gas menyala.
"Ngapain sih?" tanyaku sedikit mengagetkannya yang sedang mengupas mangga. Dan dia melakukannya dengan terampil.
"Eehhmmm. . . sedang bikin teh," jawabnya sedikit tersipu. Aku melongo mendengarnya.
"Teh? Emang kamu bisa?" tanyaku takjub.
"Kenapa nggak? Cuma teh aja," sahutnya heran.
Aku mengedarkan pandanganku ke dapur yang kecil namun toh rapi itu. "Kamu masak sendiri?"
Rafly mengangguk. "Boros kalo aku harus beli. Kalo masak sendiri, selain irit bisa puas makannya."
"Serius? Kamu bisa masak apa aja?" tanyaku antusias dan mendekatinya.
"Macam-macamlah. Tapi paling sering cuman tumisan doang. Simpel dan cepet. Jarang masak yg ribet-ribet. Kelamaan. Paling kalo lagi pengen aja baru bikin."
"Gila!!" decakku tak percaya.Dengan penampilan macho bin super sangar gitu dia masak? Rasa-rasanya gak mungkin banget. "Ajarin dong?" pintaku tertarik.
"Apa?" tanyanya sedikit kaget.
"Ajarin aku!" tegasku. "Serius! Boro-boro masak. Bikin kopi atau teh aja aku gak becus. Kalo gak kemanisan, pasti kepahitan."
"Kamu mau diajarin masak apa?"
"Apa aja deh.Sekarang bisa?" pintaku semangat.
"Tapi. . . gak ada apa-apa dirumah sekarang. Paling-paling kita cuman bisa bikin nasi goreng doang!"
"Aku suka kok! Ada bahan-bahan yang kurang gak? Telur? Bahannya apa aja? Biar aku beli di toko depan"
"Gak perlu!" cegah Rafly. "Kalo cuma buat bikin nasi goreng, semua ada kok."
"Siiip! Ngapain dulu nih?" tanyaku bersemangat dan menggulung lengan kemejaku keatas.
Butuh waktu satu jam bagi kami untuk selesai. Kalo kata Rafly sih, biasanya dia cuma butuh waktu 15 menit. Tapi karena aku yang bikin, waktunya jadi sejam. Belom lagi alat-alat dapur kotor yang bertebaran karena keteledoranku. Aku sih cuma nyengir. Namanya juga orang belajar, kilahku.
"Hmmmm. . . .," aku mendesah saat suapan pertama masuk ke mulutku. "Enak juga masakanku."
Rafly mendengus mendengarnya. "Nasi goreng ngaco gini kok dibilang enak. Keasinan nih!" gerutunya.
"Eh, enak lagi! Habisin ya?" cengirku. Emang sih agak keasinan. Tapi enak kok. Kayaknya dia juga suka, pikirku saat Rafly menyendok nasinya. Kami makan dalam diam. Sesekali dentingan alat-alat makan kami mengisi kekosongan suara.
"Aku sudah lupa," kata Rafly pelan setelah terdiam beberapa lama.
"Lupa apaan?" tanyaku heran sembari kembali menyendok nasi gorengku.
"Lupa gimana rasanya makan bareng satu meja di rumah sendiri," jelasnya pelan. Membuatku urung menelan makanan yang sudah kukunyah. Saat kami bertemu pandang, dia hanya tersenyum tipis lalu menunduk. "Orang tuaku meninggal hampir 2 tahun yg lalu karena kecelakaan. Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan mereka yg masih utuh. Juga sedikit uang di bank.Aku masih ingat. . . . . malam pertama aku sendiri di rumah ini. Beberapa hari setelah mereka pergi. Begitu. . . . .sepi. Benar-benar mencekam. Semaleman aku cuma duduk diam dikamarku. Sampai pagi. Berpikir. Aku harus bagaimana? Aku harus melakukan apa?
Tak ada saudara yg mau menampungku. Selain mereka telah memiliki keluarga dan beban sendiri, mereka juga tinggal diluar pulau."
Aku diam, membiarkan Rafly yang membuka dirinya padaku.
"Saat itulah aku sadar. Aku harus kuat,tegar, mandiri dan tak tergantung pada orang lain. Hal pertama yang kupikirkan adalah, aku harus kerja. Aku harus punya penghasilan. Karena seberapapun banyaknya uang yang ditinggalkan orang tuaku, suatu saat pasti akan habis. Karena itu aku mendatangi Mas Arif dan memintanya untuk menerimaku. Mulanya sih aku berniat berhenti sekolah dan kerja saja. Tapi aku tahu, untuk maju, aku memerlukan pendidikan. Jadi aku mencoba melakukan keduanya. Meski hasilnya tidak begitu baik."
"Tidak begitu baik?" aku mendengus keras. "Dengan kesibukanmu mencari nafkah, kau masih bisa masuk dalam daftar 10 besar kelas. Itu hebat! Padahal waktu dan tenagamu banyak tersita. Kalo kamu serius belajar, kamu bisa jadi juara kelas tahu?!!"
Rafly tertawa kecil. Tawa dan senyum nyata pertama yang kulihat darinya. Perubahan ekspresinya benar-benar mampu membuatku tertegun. Kesan dingin, acuh dan serem pada dirinya serta merta lenyap. Dia lebih terlihat sebagai orang yg ramah, hangat dan. . . . . . . . menawan?
Yang terakhir itu tentu saja membuatku heran luar biasa. Sejak kapan aku menganggap Rafly sebagai sosok yang menawan? Perasaan tadi aku cuma berpikir kalo dia menarik doang? Kenapa jadi naik derajat gini?
"Sebetulnya banyak kok soal-soal dalam pelajaran kita yg gak aku mengerti. Cuman. . . gak ada yang bisa atau mau ngejelasin padaku."
"Mereka takut Raf," selorohku. "Habis kamu serem sih! Makanya banyakin senyum biar mereka mau deket ma kamu. Taruhan! Bakalan banyak temen cewek kita yang naksir kalo kamu baik ma mereka."
Rafly tersenyum tipis. "Untuk saat ini, aku gak mau repot dengan urusan begitu."
"Eh kalo kamu mau, aku bisa bantu. Aku ikut bimbingan belajar. Jadi kalo ada soal yg rumit, aku bisa nanya ke pembimbingku."
"Kamu udah banyak bantu aku."
"Terus kenapa?" tanyaku balik. "Saling tolong menolong kan udah jadi keharusan kita. Siapa tahu ntar aku butuh bantuanmu. Kan bisa langsung nodong?" cengirku.
Untuk sejenak, dia cuma memandangku diam. "Terima kasih," katanya pelan.
Aku cuma mengibaskan tangan mendengarnya.
VII
Hubungan kami berkembang dengan cepat. Aku lumayan sering main ke rumahnya. Selain untuk belajar bersama, kami juga sering masak bersama. Kadang sengaja ku bawakan makanan agar dia tak perlu lagi memasak. Terkadang aku mampir ke bengkel Mas Arif, meski Rafly tak pernah suka kalau aku melakukannya. Dia selalu menggerutu kalo aku datang. Dia tak suka aku melihatnya dalam keadaan kacau begitu. Meski aku tak terlalu peduli, tapi aku mencoba untuk mengerti perasaannya. Jadi kuperjarang kunjunganku ke bengkel. Kecuali kalau kangen ku tak tertahan.
Kangen?!
Memang terdengar janggal. Tapi aku tak bisa menemukan kata lain untuk mewakili apa yang kurasakan. Aku suka berada di dekatnya, melihatnya tersenyum, mendengar suaranya dan berkomunikasi dengannya. Aku selalu merasa lebih damai dan nyaman bersamanya. Aneh rasanya kalau dalam 1 hari, aku tak melihat atau mendengarnya. Serasa hari itu belum lengkap. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Hingga hari itu tiba. . . . .
Hari minggu siang yg mendung, tiba-tiba saja aku begitu ingin menemuinya. Jadi tanpa berpikir lagi, aku melajukan mobilku ke bengkel Mas Arif. Seperti biasa, Rafly langsung cemberut dan menggerutu melihatku datang.
"Ngapain sih kesini segala?" gerundengnya tanpa melihatku lagi, lalu kembali memeriksa motor yg ia tangani.
"Kangen sama Mas Arif. Kenapa? Gak boleh?" balasku, membuatnya kembali menggerutu dan menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti sinting. Aku nyengir mendengarnya.
"Gak kok. Kangen sama masakanmu. Masak-masakan yuk?"
"Gak liat aku sibuk?" tanya dia balik.
"Pulang sajalah Wan. Bentar lagi aku mau tutup kok," kata Mas Arif yg tiba-tiba nongol dibelakang kami.
"Ada apa Mas?" tanya Rafly heran.
"Mertuaku sakit. Aku mau jenguk kesana bareng istri. Jadi kamu pulang saja kalo itu selesai."
"Sudah kok Mas."
"Ya sudah. Pulang aja bareng Dhek Dimaz. Mumpung bawa mobil. Takutnya ntar hujan Mendungnya pekat gini lho!" kata Mas Arif lagi dan memandang langit yang berwarna gelap.
"Nah kan? Harusnya kamu bersyukur aku dateng," kataku nyengir menang, "Nih, kamu yg bawa!" tukasku dan menyerahkan kunci mobil padanya.
"Kamu gak liat badanku kotor gini?"
Aku mendecak kesal mendengarnya. "Jangan mulai deh!" gerundengku dan melempar kunci itu padanya. Tanpa berbicara atau menunggunya, aku langsung masuk ke kursi penumpang didepan, membuat Rafly tak punya pilihan lain dan mengikuti mauku.
"Dasar orang aneh!" Rafly ngedumel pelan dan menghidupkan mobil.
Komentarnya yang singkat dan ringan itu justru membuatku tertegun. Aku tahu,dia tidak bermaksud menyinggungku dengan kalimat tadi. Tapi entah bagaimana, aku merasa rangkuman singkatnya itu mewakili apa yang kurasakan selama ini.
"Iya ya. . . . Aku memang merasa aneh," gumamku setengah melamun, "Kamu sendiri. . . . ngerasa aneh gak akhir-akhir ini?"
"Maksudnya?" tanya Rafly tak mengerti.
Aku tak menjawab, tapi malah melihat ke luar jendela dengan mata menerawang. Menimbang dalam hati. Rasanya janggal kalau aku harus menjelaskan apa yang saat ini kurasakan pada Rafly. Tapi ada keingintahuan dalam hatiku yang bertanya tanya, apakah Rafly juga merasakan yang sama? Meski juga ada kekhawatiran akan efek yang mungkin timbul kalau aku bicara jujur.
"Dimaz?" tegur Rafly.
Aku memandangnya kaget! Fakta yang akhirnya kusadari membuatku tertegun, dan untuk sejenak aku tak mampu memalingkan mukaku darinya. Wajah ini, yang tak bisa lepas dari benakku. Orang ini, yg dalam beberapa bulan kemarin telah memporak porandakan emosiku. Hariku yang jadi aneh jika tak melihatnya. Perasaanku yang begitu senang jika bersamanya. Belum lagi perubahan irama detak jantung yg kurasakan bila ada didekatnya, seperti sekarang ini. Kesimpulannya adalah aku telah jatuh. . . . .
"Ya Tuhan! Tak mungkin!!" desisku tercekat dan bersandar lemas dikursi.
"Apa?" tanya Rafly bingung.
Gak mungkin kan? pikirku panik. Pasti ada penjelasan lain yg lebih masuk akal dari ini! Aku bukan seorang homoseksual seperti yang pernah kubaca dalam beberapa buku agama itu. Aku tak pernah tertarik dalam artian romantis dengan sesama jenis. Semua itu bertentangan dengan budaya, adat serta kepercayaan yg ku anut. Lebih-lebih lagi, apa yang akan Rafly pikir kalau sampai tahu?!
"Dimaz?" Rafly mengguncang tubuhku sedikit keras. "Kenapa? Ada masalah apa?" tanyanya cemas.
Aku cuma bisa menatapnya bingung dengan mulut terbuka tanpa ada suara. Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh kilatan petir yg segera diikuti oleh gelegar guntur keras. Tak berapa lama, hujan deras mengguyur. Rafly menepikan mobil didekat gang yang menuju rumahnya.
"Ada apa?" tanya Rafly lagi. "Kamu paham kalau aku nggak serius waktu aku bilang kamu aneh tadi kan?"
"Tapi itu benar," gumamku pelan, membuar Rafly semakin bengong. "Pernah nggak dalam beberapa waktu, pikiranmu tersita hanya pada satu orang saja? Pernah nggak. . . . ,kamu merasa aneh kalo kamu gak melihat satu orang dalam sehari saja?" tanyaku dengan nada lemas. Aku tak mampu memandangnya sekarang. Mataku tertancap pada dashboard mobil.
Tak ada reaksi.Dia juga tertegun diam, sementara diluar mobil suara keras guyuran hujan terdengar semakin menggila.
"Kamu sebut itu apa? . . . . . jatuh cinta?" tanyaku lagi, pelan.
Kembali tak ada jawaban. Hanya keheningan yang canggung. Kuberanikan diri untuk meliriknya. Dia hanya memandangku dengan bingung dan sedikit panik. Aku tadinya berpikir kalau dia akan pucat pasi, pingsan, atau mungkin meledak. Tapi dia justru tertegun disana, membuatku sedikit bertanya-tanya.
"Kau pernah merasakannya?" tanyaku tak tahan untuk memastikan keingintahuanku. Sesaat kemudian, kulihat dia cuma menelan ludah. Membuatku jadi kasihan karenanya. Mungkin ini terlalu aneh bagi Rafly untuk bisa ia terima.
Aku tertawa gugup. "Sepertinya aku sudah error berat ya? Aku jadi benar-benar aneh kan?" Secara impulsif, aku keluar dari mobil. Dalam sekejap tubuhku basah kuyup dan menggigil oleh hujan. Tak kuacuhkan panggilan Rafly. Aku hanya ingin agar otakku yg terasa panas ini jadi sedikit dingin. Siapa tahu hujan bisa membersihkan otakku. Sepertinya ada kerak-kerak aneh yang melekat disana.
Rafly akhirnya keluar dari mobil juga.
"DIMAZ! JANGAN GILA!! CEPAT MASUK KE MOBIL LAGI!!"
Aku diam melihatnya yang berdiri didepanku, ikut-ikutan basah dan menggigil. Benarkah aku jatuh cinta pada orangn ini? Mustahil kan? Bukan saja aneh, tapi itu tak boleh terjadi. Tidak ada satu syariatpun yg membolehkan hal seperti itu terjadi antara 2 orang yg berjenis kelamin sama. Otakku benar-benar telah dihinggapi oleh pikiran-pikiran kotor yang harus segera kubersihkan. Tapi apa mungkin air hujan yg dingin ini bisa menghanyutkan pikiran-pikiran itu?
“Dimas, nanti kamu sakit,” bujuknya lagi dengan suara yg lebih pelan.
“AKU MAU MEMBERSIHKAN OTAKKU DULU!!” teriakku dengan bibir gemetar. Untuk sejenak dia memandangku. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia menarik tanganku untuk berlari. Ya Tuhan. Percayakah kau, bahwa hanya dengan begini hatiku sudah jumpalitan tak karuan? Hanya dengan genggaman tangan yang sebelumnya tak memiliki makna, kenapa sekarang terasa begitu lain? Kemana akal sehatku?
Aku benar-benar merasa kacau. Tanpa kusadari kami sudah sampai didepan rumah Rafly. Rafly langsung menarikku masuk begitu dia telah membuka gembok.
“Cepat buka bajumu! Kamu harus bilas air hujan ditubuhmu dg air bersih. Kau kedinginan!” katanya cepat. Aku bisa mendengar jelas apa yg ia katakan. Anehnya, responku benar-benar tumpul. Aku cuma berdiri bingung, masih dg pikiran hampa yg kabur. Akhirya karena tak sabar dia kembali menarik tanganku, terus kedalam menuju kamar mandi.
Aku sedikit terhenyak saat dia menyiramkan segayung air ketubuhku.
“Lepas sepatumu!” perintahnya singkat. Dg perlahan dan gemetaran aku menurutinya. Tapi kelambatanku semakin membuat Rafly tak sabar. Dg cepat dia membantu ku melepas sepatu dan kaos kakiku, lalu beralih ke bajuku. Dalam keadaan biasa, mungkin aku akan merasa risih atau mungkin terangsang dg yg dia lakukan. Tapi bahkan saat dia melepas lapisan terakhir pakaian yg kukenakan, aku tetap diam tanpa reaksi. Pikiranku benar-benar tumpul dan menolak bereaksi normal.
Kembali aku sedikit terpekik ketika dia menyiramkan air ke tubuh telanjangku. Setelah beberapa kali melakukannya, dia kembali menyeretku. Kali ini ke kamarnya. Sejenak dia meninggalkanku berdiri dipojokan, telanjang dan kebingungan, sementara dia mencari sesuatu dilemarinya. Sesaat kemudian dia menarik keluar sebuah selimut dan membungkus tubuhku.
“Kamu tiduran dulu. Hangatkan tubuhmu. Aku akan segera kembali,” pamitnya pelan. Setelah mendudukanku di ranjang, dia segera keluar. Aku benar-benar berrsyukur dg kesigapan dan kecakapannya dalam menghadapi situasi yg tak terduga. Dan entah berapa menit kemudian, dia kembali dg segelas minuman yg beraroma jahe.
“Minumlah, untuk menghangatkan tubuhmu!” katanya dan menyorongkan gelas itu padaku. Aku menerimanya tanpa berbicara dan mencoba meminumnya. Dia benar. Kehangatan yg mengalir ditenggorokanku sungguh terasa nyaman, hingga beberapa saat kemudian aku menyadari keadaan Rafly yg masih dalam balutan baju bengkelnya yg basah kuyup.
"Kamu jg cepet ganti bajumu yg basah. Jangan sampai kamu sakit," kataku pelan mengingatkannya. Rafly mengangguk dan segera bangkit menyambar handuknya.
"Aku mandi dulu," pamitnya dan meninggalkanku sendiri.
Suhu tubuhku berangsur-angsur membaik. Pikiranku pun perlahan pulih, sehingga aku sadar, bahwa dibalik selimut ini, aku telanjang bulat. Bagaimana tadi Rafly menelanjangiku, aku tak ingat persis.Yang jelas, wajahku terasa memanas sekarang mengingat ketololanku tadi. Hari yg hebat! Dalam hitungan menit aku sudah melakukan tindakan konyol lebih banyak dibandingkan 16 tahun hidupku sebelumnya.
Aku mengeluh lirih.
"Kenapa?"
Aku sedikit kaget dg kemunculan Rafly yg tiba-tiba. Dia berdiri didepanku dg tubuh bagian bawah tertutup handuk yg ia ikat sekedarnya. Perlahan dia bersimpuh dan meletakkan telapaknya didahiku. Mengecek suhu tubuhku. Aku hanya diam memperhatikannya. Bahunya yg lebar, dadanya yg bidang, tangan yg kokoh, serta perutnya yg kencang dan rata, menandakan bahwa dia seorang pemuda yg aktif dan pekerja berat.
Sebelumnya, aku tak pernah merasakan apapun melihat seorang cowok telanjang didepanku. Tp kini, saat Rafly didekatku dg tubuh polosnya, aku merasakan gelenyar aneh dibagian bawah perutku. Aliran darahku menambah kecepatannya. Dan aku hampir-hampir tak bisa menahan diriku untuk menyentuhnya.
Aku kembali mengeluh lirih. Bagaimana bisa? pikirku sedih, sekaligus ngeri.
"Apa yg sakit?" tanya Rafly terdengar khawatir.
Aku hanya tersenyum pahit tanpa mampu memandangnya. Kuangkat tanganku, dan kutempelkan telapakku di dadanya. "Ini salah kan? Seharusnya, aku tak bisa merasakan apapun saat melihatmu seperti ini. Tp kenapa. . . .," kalimatku terhenti.
Ada yg aneh!
Aku bisa merasakan perubahan suhu tubuh Rafly. Suara detakan jantungnya yg bisa kurasakan lewat telapakku jg jadi semakin cepat. Gerakan naik turun dadanya pun semakin bertambah. Rafly tertunduk dan menatap sesuatu disampingku saat kuangkat kepalaku, terperangah. Dan dia . . . . tersipu?
Ya Tuhan?!! desisku dalam hati terkesiap!
"Aku . . . . . . , juga tak mengerti," kata Rafly lirih tanpa mampu memandangku.
Debaran di dadaku makin menggila. Akal sehat dan pengendalian diriku perlahan sirna dan tak kuperdulikan lagi. Tanganku terulur mengusap lembut rahang dan lehernya. "Kalau begitu. . . . , kenapa tidak kita coba cari tahu?" kataku lembut membuatnya berpaling pdku. Untuk beberapa waktu lamanya, kami hanya saling menatap. Ada sesuatu dalam pandangan kami yg sulit dijabarkan dg kata-kata, tp kami saling memahami. Ku lingkarkan satu tanganku ke belakang lehernya dan pelan, kutarik wajahnya mendekat, untuk menyatukan bibir kami.
(Guys. . . . apa yang terjadi selanjutnya kalian bayangin sendiri ya? Maaf banget! Bener-bener gak bisa kalo kudu ceritain gimana mereka make out. . . . UGH!! Nyerah deh! hehehe. . . . Maklum aja ya? Gw kan masih polos soal beginian!! Jadi. . . biarkan imajinasi kalian aja yang melanjutkan!)
TOP deh buat bro jay
@darkrealm: thanks. insyaallah sampe khatam kok. ni udah nyicil memoirs III hehehe. . .
@fansnyaAdelle: kentang apaan sih Bro?hohoho ga gaul nih!
@zea.mays:wkwkwkk. . ntar deh. chapter bawahnya gw coba lagi. dikit aja ya?
@the_yanuars: eeeeeuuhh. . . . kmrn bnyk yg protez lho Bro! katanya lebih baek ga usah diterusin. gmn tuh?!
@Reffyy @andre_patiatama :thanks.
Ternyata orng yg dingin ky dia bisa tersipu juga.. Hahaha