It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ya kan semuanye terluka abi!
ah.... saya kangen sama keegoisan tokoh yang dibuat ma kang abi.... rasanya pengen jambak gituh...hihihihi...
lagi...lagi...lagiii...!!!!
Tapi Îγα™ kang ANTOLOGInya emang banyak yang bisa dibikin cerita panjang,, apalagi yang terakhir itu..
Kang, novelmu ȗϑαн αϑα yang terbit ya??
Mas kenapa gue gak dimention
@masdabudd : Sama kayak nick di BF, cari aja
@budhayutzz : Iya, blkgan emang gak tahu kenapa, aku jg sering gak dapet notifikasi kl ada yg komen gt
@andhi90 : Arrrrgh!!!! Jgn tanya ttg novel, hahahaha. Masih diusahakan
@Emtidi : Yah, kan udah dijelasin di depan, gak mungkin balik2 hal sebelumnya buat liat sapa aja yg mau dimention Maaf ya? Lain kali moga inget, hehehe
@ ALL : Kalau misalnya BEST MAN dibuat novel, ada yg mau beli nggak sih? Takutnya udah baca dan tahu kayak gimana, jadi pada gak mau beli gitu
Mau2 aja sih mas, tapi kalo lagi ada duit yak wkwk
setuju aja kalo dibuat novel!! asal taon depan masih ada yg jual
Begawan Abiyasha yaa??
“Be, lo jadi tuker shift nggak besok?”
“Jadi lah. Aku ada perlu,” balasku kepada Wike. Partner shiftku sore ini.
Tukar shift di Front Office memang bukan hal yang baru. Sekalipun aku termasuk orang yang tidak terlalu suka untuk diajak tukar shift, tapi besok, aku memang harus melakukannya. Ada yang harus aku kerjakan. Lebih tepatnya, ada orang yang harus aku temui.
Telepon di Front Desk berdering dan begitu melihat nomor ekstensi yang tertera di layar kecil disana, jantungku seperti tahu bahwa nomor itu selalu membuatku gelagapan.
“Good afternoon Front Desk, Abe’s speaking, may I assist you? … I’ll send someone right away to your room Mr. Ethan and your bill will be ready when you’re at the lobby.”
Aku berusaha terlihat tenang dan tanpa ekspresi, sekalipun di dalam hatiku, rasanya ingin merutuki apa yang baru aku dengar.
“Siapa Be?”
“Mr. Ethan mau check out hari ini. Katanya, dia harus segera balik ke London. Kamu siapin billnya, biar aku yang bantu bawain luggage dia.”
“Kenapa nggak manggil bellboy aja?”
“Kamu lihat Bellboy nggak?” tanyaku balik yang kemudian diikuti Wike dengan mengedarkan pandangannya ke seluruh lobi dan tidak melihat satupun Bellboy berkeliaran di lobi.
“Oke, gue siapin billnya.”
Aku segera keluar dari balik counter Front Desk tanpa membawa trolley, karena aku ingat, Ethan hanya membawa satu koper besar yang bisa dibawa tanpa menggunakan trolley. Sayup-sayup, aku mendengar Wike menginformasikan kepada Housekeeping bahwa kamar 537 akan check out sore ini. Sementara hatiku dengan lantang mengeluarkan semua sumpah serapah yang bisa terpikir olehku.
Sembari menunggu pintu lift terbuka, aku menggigit bibirku, berusaha untuk tidak terlihat gugup atau merasa marah atas apa yang aku dengar tadi. Soon, I’ll get the explanation. Short one.
Begitu aku masuk lift dan menekan tombol 5, pikiranku tidak mau berhenti memikirkan apa yang akan dikatakan Ethan nanti. Bahwa dia dengan mudahnya bilang akan pergi sore ini tanpa memberitahuku terlebih dulu. Apakah akhirnya dia sadar kalau aku hanya pria yang tidak memiliki kesempatan untuk bersamanya di masa depan? Atau dia memutuskan bahwa apa yang kami miliki selama empat bulan terakhir ini hanyalah bagian dari hiburan dia selama di Batam? Atau, dia bahkan terlalu pengecut untuk menunggu besok untuk memberitahuku bahwa ada pria lain yang menunggunya di London?
Ting!
Aku segera keluar dari lift dan kakiku melangkah seperti seorang polisi yang sedang mengejar buronan. Bukan karena aku meginginkannya, namun karena aku berkejaran dengan waktu. Aku mungkin akan meledak marah begitu melihatnya dan dia mungkin akan berusaha untuk membuatku terlihat seperti pria bodoh, yang percaya bahwa apa yang kami miliki selama ini bisa bertahan setelah kepergiannya.
Aku mengetuk kamarnya dan dalam hitungan detik, pintu itu sudah terbuka.
Ethan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang aku artikan sebagai permintaan maaf. Atau mungkin, tatapan itu seperti ingin mengatakan bahwa apapun yang kami miliki, berakhir sore ini.
“Masuk, Abe.”
Ethan segera menutup pintu di belakangnya ketika aku sudah berada di dalam kamar. Aku menelan ludah, berusaha untuk tidak menunjukkan kepadanya apa yang aku rasakan. Aku yakin, dia sudah mengetahui bahwa aku akan datang dan memperlihatkan emosiku dihadapannya.
“That’s it?”
Kalimat tanya itu meluncur ketika aku membalikkan tubuhku dan menatap Ethan. Dia sudah mengenakan kemeja putih lengan panjangnya dan celana denim hitam. Koper besarnya sudah teronggok di samping tempat tidurnya, sementara shoulder bag-nya masih tergeletak di atas tempat tidur. Mungkin, ada yang masih ingin diletakkannya disana karena aku melihat tas itu masih terbuka.
“I’m sorry.”
“Aku tahu ini akan berakhir but I didn’t expect it to be like this.”
Ethan berjalan mendekat. Aroma vetiver yang menjadi ciri khasnya, segera menguasai indera penciumanku. Bahkan, ketika kedua tangan itu mendarat di wajahku, kemarahan yang aku rasakan belum sepenuhnya reda. We supposed to have hours to spend tomorrow, not just minutes. And not while I’m working.
“Abe, this isn’t over yet. This is not the end.”
“To me, it sounds like it is.”
“Aku minta maaf karena harus pergi mendadak seperti ini. Kantor di London membutuhkanku segera. They can’t wait until tomorrow dan kamu tahu bahwa pekerjaanku, selalu menjadi prioritas utama. I hate to say goodbye to you like this, tapi, lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Apa yang akan kamu lakukan kalau misalnya aku nggak kerja sore ini? Aku kira kamu akan pergi begitu saja dan mengirimiku email setelah kamu sampai di London. Tell me I’m wrong.”
“Yes you are.”
Tanpa aku duga, lengan Ethan terulur untuk memelukku. Berada dalam pelukan pria Skotlandia ini membuatku tiba-tiba sadar, bahwa rasa marahku tidak cukup kuat mengalahkan keinginanku untuk berjuang melawan ketidakpastian setelah dia pergi. We will go into a war of uncertainty where life has its power to throw us into the deepest pit with no mercy. Or warning.
“When I said I love you many times before, I meant it, Abe. And I want to say it again. I love you and I mean it this time and in the future, I will say I still love you, Abe. This is not over yet. Aku hanya akan pulang dan aku akan kembali. We just have to wait. Bersabar. It’s hard for me to leave but I have things to do in London. Promise me you will wait for me, Abe.”
Aku menelan ludahku. Tidak tahu apa yang harus aku katakan sebagai balasan atas kalimat Ethan. Mampukah aku berjanji untuk menunggunya? Mampukah aku untuk mempercayainya selepas ini? Kuatkah aku untuk menahan diriku untuk menunggu dalam ketidakpastian?
Aku mengangguk. Pelan.
“I’ll try.”
Ethan melepaskan pelukannya sebelum menatapku dengan sepasang mata biru jernihnya itu.
“We’ll try, Abe. Kita berdua akan mencoba. Tapi, aku percaya kita akan bertahan. I’ll come back as soon as I can and when that time comes, I’ll make sure that nothing would ever come between us again. Not even an inch.”
Aku tahu, kalimat Ethan terdengar begitu manis. Ketakutan bahwa manisnya kalimat itu hanya akan berbuah pahit, membuatku hanya mampu diam. Memercayai sesuatu yang belum pasti sama halnya dengan berjudi. You’ll never know whether you will lose or win. Hanya saja, taruhannya disini adalah hati. Once it breaks, it takes time to fix it.
But, I agreed. Aku setuju untuk menunggu Ethan.
“Thanks for everything, Ethan.”
Ethan menggelengkan kepalanya. “Memang, apa yang sudah aku berikan sama kamu, Abe? I gave you nothing. My heart? It is something I didn’t give to you. My heart chose you. It’s different.”
Aku tersenyum tipis. Bahkan, di saat seperti ini, Ethan masih bisa bersikap tenang. Tapi, dia memang tidak pernah suka aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Untuk apapun.
“I’ll miss you, Abe.”
Aku hanya mengangguk sebelum kedua tangan Ethan meraih tengkukku dan mendekatkan wajahnya. Mataku hanya mampu terpejam ketika bibir kami bertemu. Biasanya, ciuman kami selalu berakhir di tempat tidur. Namun, kali ini, tubuh kami hanya akan mendapatkan ini.. Dua bibir yang saling bertemu untuk terakhir kalinya sebelum waktu memutuskan kapan akan membiarkan dua bibir ini kembali beradu.
Setelah Ethan meninggalkan hotel, akan butuh waktu untuk membiasakan diriku tanpa kehadirannya. Jika aku kebetulan masuk malam, Ethan akan meneleponku dari kamarnya dan kami akan mengobrol tentang apapaun semalaman. Jika aku masuk pagi, Ethan akan tersenyum kepadaku ketika dia menuju ke Front Desk untuk menitipkan kuncinya. Kalau aku masuk sore, Ethan akan menunggu hingga shiftku hampir berakhir sebelum dia menelepon Front Desk dan mengatakan sesuatu yang membuatku harus naik ke kamarnya, hanya sekedar untuk mengucapkan selamat malam. Empat bulan kami melakukan itu, dengan beberapa variasi agar siapapun yang bekerja di hotel ini tidak menyimpan kecurigaan tentang hubunganku dengannya.
Semua itu akan berakhir sekarang. Malam ini, aku akan langsung pulang ke dormitory dan tidur, tanpa mendapatkan kecupan selamat malam dari Ethan. Besok, aku tidak akan melihat senyum lebarnya ketika dia berangkat menuju ke galangan kapal tempat dia bekerja.
Aku akan merindukan itu semua.
Ketukan di pintu membuat kami segera melepaskan pelukan, namun, Ethan masih sempat mendaratkan kecupan singkat di keningku, sebelum berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Please come in, Abe will help me with my luggage. Thank you Kadek, for everything and all the Houskeeping staff for taking care of my room really well.”
Kadek cuma mengangguk dan aku segera meraih koper besar Ethan dan membawanya keluar terlebih dulu. Jarak dari kamar Ethan sampai ke lobi, akan cukup untuk menyiapkan mentalku melihatnya pergi.
Sepanjang perjalanan menuju ke lift, aku membiarkan pikiranku untuk memutar semua kenangan indahku bersama Ethan. Itu akan lebih membantuku menghadapi apa yang akan aku lihat di lobi nanti, daripada membayangkan apa yang baru saja aku alami. All those love making, those kisses, those arguments, those laughs, those jokes, those stories…Semuanya seperti bekerja sama untuk membantu menyiapkan diriku.
Ketika pintu lift akhirnya terbuka dan aku sudah berada di dalamnya, kenangan akan pertama kali aku bertemu dengan Ethan langsung menguasaiku. Aku ingat, waktu itu, aku yang mengantarnya ke kamar dan tiba-tiba saja, listrik padam hingga lampu di dalam lift juga ikut padam. Terjebak di dalam lift bukan sesuatu yang aku tunggu, apalagi dengan seorang tamu. Yang membuatku malu, aku spontan langsung mengeluarkan umpatan yang sangat tidak pantas didengar oleh siapapun, terlebih oleh tamu hotel. Namun, reaksi Ethan saat itu hanya tertawa dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. And he was right.
Ting!
Pintu lift terbuka dan aku berada di lantai dasar. Aku menarik napas dalam sebelum keluar dari lift dan meletakkan koper Ethan di dekat Front Desk.
“Lama banget sih lo, Be. Diapain aja ama Mr. Ethan?”
Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Dia masih packing waktu aku kesana. Masak juga mau disuruh cepet. Udah ngasih tahu Pak Dana?”
Wike mengangguk. “Semua petinggi udah gue kasih tahu, Mr. Lexy juga bentar lagi paling turun. Gue selalu ngerasa berat tiap kali ada long staying guest yang pergi. Butuh beberapa waktu buat biasain diri. Apalagi Mr. Ethan ini baiknya ampun-ampunan.”
Aku hanya memandang Wike dengan kerutan di keningku. “Kamu nggak jatuh cinta kan sama Mr. Ethan? Tumben kamu sampai segitunya.”
Wike hanya menjulurkan lidahnya.
Beberapa Head Of Department sudah mulai berkumpul di lobi, begitu juga dengan Mr. Lexy, General Manager hotel ini. Prosesi yang biasa untuk melepas long staying guest. Namun, kali ini, akan menjadi tidak biasa untukku. Berpura-pura dihadapan begitu banyak orang, terutama di depan Ethan, akan menjadi sesuatu yang membutuhkan keahlian. Aku berharap, aku akan mampu memiliki keahlian itu sebentar lagi.
Aku menundukkan wajahku, menatap layar komputer yang sama sekali tidak ada apa-apa disana selain homepage MYOH milikku. Semua bill sudah disiapkan Wike, Houskeeping juga sudah melaporkan bahwa semua lengkap di kamar Ethan. Aku hanya tidak mampu terlalu lama menyaksikan Ethan beramah tamah dengan semua HOD dan GM sementara aku tahu, bahwa Ethan, juga berusaha untuk menghindar dari basa-basi ini terlalu lama.
“Wike! My lovely lady!"
Ethan memang selalu menyebut Wike dengan sebutan itu dan mungkin, karena itu, Wike jadi berlebihan tadi.
“Don’t forget to come back here, Mr. Ethan. Nobody will call me lovely lady anymore.”
Ethan, aku, Pak Dana dan beberapa HOD mampu mendengar obrolan Wike dan Ehan, tertawa mendengar kalimat yang diucapkan Wike, sementara Ethan menandatangani bill-nya. Bagaimana rasanya menghabiskan enam bulan di hotel ini tanpa mengeluarkan sepeser uang pun? Pekerjaan Ethan memang menuntutnya untuk berada di satu tempat dalam jangka waktu yang cukup lama dan semua pengeluarannya ditanggung oleh perusahaan.
“I will, Wike.”
Setelah memebereskan billnya, Ethan menatapku. Aku tahu, dia ingin mengatakan sesuatu yang tidak mungkin dikatakannya di hadapan semua orang. Hal yang sama berlaku untukku. Ingin rasanya keluar dari balik counter ini dan memeluknya lagi. Namun, Ethan hanya tersenyum dan aku pun membalasnya dengan senyumanku.
“Thank you for everything, Abe. I’ll make sure Mr. Lexy will raise your salary.”
Aku hanya tertawa kecil disambut oleh Mr. Lexy sendiri dan juga Pak Dana. Aku paling benci dipuji di depan petinggi hotel, bukan apa-apa. I just don’t like the idea that people would label me as an ass-kisser.
“Well, it’s hard to leave but I’ll make sure that everytime I visit Batam, this is the only place I want to stay.”
“Thank you Mr. Ethan for staying with us. It’s a pleasure for having you here.”
Basa-basi busuk lainnya sebelum akhirnya Pak Dana membawa koper Ethan dan berniat mengantarnya langsung ke ferry terminal yang jaraknya hanya lima menit dari hotel.
Aku dan Ethan sempat bertatapan sebelum sosoknya menghilang di balik pintu masuk dan mobil yang membawanya pergi dari halaman parkir.
He’s officially gone. No more goodnight kiss from him tonight.
Aku menelan ludahku sementara mataku masih kosong menatap halaman parkir. Aku menarik napas dalam sebelum mengalihkan tatapanku kembali ke layar komputer, yang masih belum beranjak menampilkan halaman MYOH milikku.
“Lo keliatan berat gitu ngelepas Mr. Ethan.”
Aku hanya tersenyum tipis. Andai Wike tahu, dia mungkin tidak akan mengucapkan kalimat itu.
“Dia orang yang menyenangkan. Selalu berat ngelihat orang kayak gitu pergi kan?”
“Lo kenapa balikin kalmat gue?”
Kali ini, ganti aku yang menjulurkan lidahku ke Wike.
Jatuh cinta di tempat kerja, apalagi seorang hotelier sepertiku memang menyiksa. Apalagi jika kasusnya sepertiku. Jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan tamu. Jika HRD sampai mengetahui hal ini, maka tamatlah karirku di tempat ini.
Wahai cinta, kenapa yang berhubungan denganmu selalu rumit seperti ini?
Wah, saya absen sebulan ya? hahahaha. Kayaknya malah jadi kebiasaan sekarang, ANTOLOGI nya diupdate sebulan sekali
Bagaimana kabar kalian semua? kangen tidak sama diriku? #Halah
Cerita ini dulu pernah aku buat cerita panjangnya. Ya ide dasarnya sama. Nah setelah empat tahun, cerita panjang itu dirombak dan jadilah KETIKA LANGIT BERGANTI Ada rencana pengen jadiin ini cerita panjang sih. We'll see
Colek2 siapa ya? Semoga nggak ada yang kelewatan :
@yeltz @hwankyung69 @yuzz @masdabudd @rarasipau @tera9 @tialawliet @jakasembung @emtidi @zackattack @Adra_84 @kiki_h_n @Emtidi @Andhi90 @budhayutzzz @arieat @angelofgay @riohan @tyo_ary @Hangatkuku @boyout @Adam08 @Venussalacca
Buat yang nggak ke-mention, maaf ya?
Semoga suka ceritanya
Kang kayanya kalo yang ini dibikin cerbung bakal nguras aer mata deh,, baca segitu aja sakit hatinya udah kerasa, apalagi ngebayangin si Ethan kembali ke hotel bawa calonnya.. *nangis lagi *lebay ah plak..
Kang jangan lama2 dong apdetnya sakit hati tau nunggunya *eh