It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
haha, yg lain2 seh ngerti maksudnya biarpun ga tau ada typo ato ngga
ak lebih penasaran ke love arch daripada untitled
ntah knp kok ak ada feeling untitled bakal sama aja kyk cerita2 abi sebelumnya (style nya)
tapi ya tetep tertarik juga seh, cuman ga pake banget #haha
eh, tulisan abi ada yg di amazon itu critanya gmn?
mau nyaingin agnez go international ya? *ups
@firkhafie : Aku juga nggak ngecek loh, jadi nggak tahu ad atypo atau nggak, hihihihi. Sebenernya, yg Untitled project itu malah bakal beda banget loh sama cerita2 yg pernah aku buat. Akan sangat beda dengan semua cerita yg pernah aku tulis Mungkin akan tetap ada karakter bule dan Indonesia tapi, aku bisa bilang kalau untitled project ini bakal beda. Aku aja nggak sabar buat ngelarin project yg ini. Masalah amazon, itu kan BEST MAN yg aku publish di sana. Sebenernya sih maksudnya biar orang Indonesia, kali aja ada yg minat baca BEST MAN dan tinggal di luar, tetep bisa beli gitu. Itu aja sih. Toh, publish di sana juga nggak susah2 banget
,
ABI
tapi lebih suka cerita yg sad ending. haha
mksh yah wat cerita2nya.
Kang abi keep spirit ya semoga semua goalnya beneran goal !!! Amiiin..
Semangat (ง'̀⌣'́)ง
Btw manifestasi apaan ya? Kaga ngarti soalnya TK aja kaga lulus. Biar kelihatan keren ja. Wkwkwkwk
psti bkal mngaduk prasaan sprti biasa... lol
“Raka…”
Aku menelan ludah sebelum Lee merendahkan tubuhnya dan lengannya terulur untuk memelukku. Harapanku untuk bisa bertemu Lee lagi tidak pernah hilang sejak kami bertemu dua tahun lalu. Andrew masih ada dalam kehidupanku ketika kami bertemu dan aku membiarkan waktu, mematikan apa yang aku rasakan terhadap Andrew sementara Lee, semakin kuat menguasai hatiku.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku?”
Aku melebarkan senyum karena tidak ada keraguan bahwa Lee akan langsung terbang ke Bali jika tahu apa yang terjadi denganku. Aku tidak menginginkan siapapun terbang ke Bali hanya karena mereka merasa harus berada di sampingku. Aku bahkan melarang setiap orang yang mengunjungiku, untuk memberitahu siapapun yang aku kenal tentang kondisiku. Kedatangan Lee memang sebuah kejutan. Siapapun yang memberitahunya, berhak menerima makian serta terima kasih dariku.
“Aku nggak mau setiap orang punya kewajiban buat ada di sini.”
Lee melepaskan pelukannya sebelum akhirnya dia melepas kacamatanya dan memandangku. Kulitnya masih gelap untuk seseorang yang lahir dan besar di Hongkong, seperti ketika kami pertama kali bertemu. Bahkan, banyak orang menganggap dia sebagai orang Indonesia karenanya, hingga kami bisa menyusupkannya ke Kebun Raya di Bedugul tanpa harus membayar harga untuk turis. Orang baru sadar bahwa dia bukan orang Indonesia jika dia mulai berbicara. Tidak ada yang berubah dalam penampilan Lee. Hanya saja, tinggal di India selama satu tahun pasti membuat Lee banyak berubah. Paling tidak, dari perbincangan kami di Facebook, aku bisa merasakan perubahan dalam dirinya.
“Sepanjang penerbanganku dari India ke sini, aku tidak sabar ingin marah-marah sama kamu, bahkan sejak Tia memberitahuku. Kenapa kamu tidak ingin orang tahu, Raka?”
Aku hanya mampu menghela napas. Nada suara Lee menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak senang dengan keputusanku untuk tidak memberitahu siapapun, termasuk dirinya. Semua orang yang tahu entah dari mana, selalu menanyakan pertanyaan yang sama dengan Lee, hingga kemudian, aku memutuskan untuk menulis catatan dan menunjukkannuya setiap kali ada yang mengajukan pertanyaan itu.
Aku meraih sebuah notebook kecil yang tidak pernah beranjak dari sampingku dan mengulurkannya ke Lee.
“Aku selalu ngasih ini tiap kali ada yang tanya kenapa aku nggak mau oang tahu tentang kondisiku.”
Lee meraih kursi yang ada di sebelahnya sebelum duduk dan menerima notebook dariku. Dia langsung membukanya.
Aku hanya memperhatikan ekspresi wajah Lee yang berubah ketika membacanya. Rambut Lee dipotong pendek dan aku tidak bisa menyembunyikan senyumku melihat messenger bag yang tersampir di pundaknya. Lee mengirimiku tas yang sama beberapa bulan setelah dia tinggal di India karena dia ingat, ketika aku pertama kali bertemu dengannya, aku mengatakan kepadanya kalau aku menginginkan tas seperti miliknya. Warna coklatnya sedikit pudar dan aku yakin, Lee bisa mengganti tas itu kapan pun dia mau.
“Kenapa kamu masih pakai tas itu? Warnanya udah pudar.”
Lee mengabaikanku. Dia masih membiarkan tulisan tanganku menguasai pandangannya. Beberapa detik kemudian, dia menutup notebook itu dan suara berdebum yang cukup keras, terdengar ketika notebook itu mendarat di atas meja tempat aku menghabiskan hari-hariku dengan menulis. Aku tidak menyangka Lee akan bereaksi seperti itu.
Aku menatapnya.
“You know what, Raka? Those are bullshit! What do you mean that you don't wanna bother anyone? And that line “I don't want my friends pity me for my condition because I don't need it”, how COULD you think that way about your friends? I feel really offended by that, Raka.”
Aku menghela napas.
“Aku nggak mau ngerepotin banyak orang. I want to learn to be independent.”
“It really has nothing to do with that, Raka.”
Aku hanya diam.
“Those people, your friends, me…we care about you. Salahkah kalau orang lain ingin berbuat baik sama kamu karena kamu sudah berbuat baik ke mereka, tanpa kamu sadari?”
“Berbuat baik akan selalu berhubungan dengan balas budi.”
Lee menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Mungkin tidak percaya bahwa dia akan mendengarku mengucapkan kalimat itu.
“Is that what you think about your own friends? Me? Who have known you for years?”
“Aku nggak akan bisa membalas mereka dengan kondisiku.”
Lee dengan cepat berdiri dari kursi dan berjalan menuju ke jendela yang setiap pagi, selalu dibuka dengan lebar untuk membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi kamarku. Selama tiga bulan sejak kecelakaan yang membuatku lumpuh dari pinggang ke bawah, aku melarang siapapun membiarkan cahaya matahari masuk ke kamarku. Hidupku dipenuhi kegelapan dan aku menikmatinya.
“Apakah aku harus memberitahumu arti kata tulus, Raka? Aku percaya, mereka tidak akan meminta imbalan apapun sekalipun mereka membutuhkannya. Kamu harus segera menghapus pikiran itu karena alasanmu bukan hanya dangkal tapi juga tidak benar.”
Pandangan Lee terpaku pada taman di luar jendela yang membatasi ruanganku dengan dunia luar paling dekat dariku. Aku mendorong kursi rodaku menuju ke tempat tidur dan dengan usaha yang dulu sempat membuatku frustasi, aku berhasil mengangkat tubuhku dari kursi roda dan merebahkan diriku di atas tempat tidur. Lee, yang mengetahuinya, berusaha menolongku tapi aku sudah terlanjur berada di tempat tidur ketika dia menghampiriku.
“I don't need help! I do this every day.”
Lee terdiam. Mungkin tidak mengira aku bereaksi sekeras itu. Kami saling bertatapan sebelum akhirnya dia kembali duduk. Aku memilih untuk menjadikan langit-langit kamarku sebagai pusat perhatian. Kedatangan Lee yang tadi membuatku tersenyum, sekarang berubah menjadi sebuah keinginan untuk melihatnya beranjak dari sini. Aku tidak suka siapapun menolongku untuk hal-hal yang bisa aku lakukan sendiri. Aku benci mereka berpikir bahwa dengan kondisiku yang sudah tidak sempurna ini, aku membutuhkan bantuan untuk setiap hal yang aku kerjakan, terutama yang berhubungan dengan fisik. Mungkin, itu sebabnya aku lebih suka sendiri karena tidak akan ada siapa pun yang membuatku merasa tidak mampu.
“When did the last time you go out?”
“Two weeks ago when I went to hospital for some stupid therapies that they believe could help me walk again,” jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari lagit-langit.
“Akan ada yang keberatan kalau aku mengajakmu keluar sekarang?”
Pandanganku langsung beralih ke Lee, yang tersenyum ketika mata kami bertemu. Dia merasa bahwa jawaban yang aku berikan pantas mendapatkan senyuman itu.
“I don't want to go out.”
“I was flying all the way here from India and you didn't even think about my offer first?”
“Nggak ada yang minta kamu datang ke sini.”
Suasana hatiku masih belum berubah melihat Lee yang berusaha membantuku tadi. Aku mungkin akan diam jika melihat orang lain melakukannya. Tapi bukan Lee atau Andrew. Andrew, jelas akan tetap bersikeras membantuku, tidak peduli dengan ucapan kasar yang keluar dari mulutku. Lee, sepertinya juga akan bersikap sama.
“Apa yang kamu lakukan kalau ada orang yang memaksamu pergi?”
“Selama ini, mereka nggak pernah punya keberanian buat nentang apa yang aku bilang. Jadi, nggak pernah ada yang maksa kecuali Andrew.”
Mendengarku menyebut nama Andrew, raut muka Lee berubah. “I thought your relationship with him is over.”
“Hanya karena kami putus bukan berarti dia harus hilang juga dari kehidupanku kan? He helps me a lot and that's why I hate him for doing it. I don't want his new boyfriend be jealous of what he has done to me.”
“Dia masih datang ke sini?”
Aku mengangguk. “Hampir setiap hari.”
“Kenapa dia melakukannya kalau kalian sudah tidak ada hubungan lagi dan dia sudah memiliki orang lain?”
“I don't know. He always refuses to answer that particular question.”
Lee terdiam. “Aku harus minta izin sama siapa kalau mau mengajakmu keluar?”
“Aku nggak perlu izin dari siapa-siapa.”
Lee memandangku sebelum dia beranjak dari hadapanku dan melangkah keluar.
Tidak ada siapa-siapa di rumah kecuali pembantu dan sopir, karena aku memang menolak ketika Papa ―yang entah dari mana, tahu tentang kejadian yang menimpaku― bersikeras untuk mempekerjakan satu perawat di rumah untuk menjagaku. Sejak Mama meninggal dan Papa menikah lagi, aku lebih memilih untuk hidup sendiri, jauh dari Papa dan keluarga barunya. Aku tidak ingin menerima bantuan dari pria yang melupakan Mama dengan mudahnya dan memilih untuk pergi dari Bali untuk tinggal di Perth.
“Let's go, Raka!”
Aku tidak berusaha menyembunyikan rasa marahku karena dia memutuskan sesuatu tanpa persetujuanku. Lee seperti tidak melihatnya, karena kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ke lemari dan membukanya.
“Kamu mau pakai baju yang mana? Ini?”
“Kamu pikir kamu siapa berhak menentukan apa yang harus aku lakukan? Just because I can't walk doesn't mean I need help to decide what I should do!”
Aku sengaja meninggikan suaraku, berharap Lee akan menghentikan apa pun yang sedang dilakukannya sekarang. Dengan sekuat tenaga, aku mendorong kursi rodaku hingga menabrak dinding dengan suara berdentang yang keras. Lee kemudian menatapku, sebelum berjalan menghampiriku.
“We're going. If you hate me for this, do it. I'd rather you hate me than seeing you like this. I'm here and I will do everything I can to see the old Raka back. Everything.”
Suara Lee memang tidak keras. Namun, tatapan yang diberikannya padaku, seperti sebuah harga mati bahwa sekuat apa pun aku menolak pergi dengannya, dia akan tetap memaksaku. Aku tidak bisa memilih karena Lee tidak memberikan pilihan itu untukku.
“You have to change and I will wait outside,” ucap Lee sambil meletakkan satu kaus dan celana pendek di ujung tempat tidur.
Ketika dia berjalan menuju pintu, dia mendorong pelan kursi roda kembali di sisi tempat tidurku.
“Call me when you're ready.”
Begitu Lee keluar dari kamar dan menutup pintu, aku mengulurkan tangan untuk meraih kursi roda dan begitu jemariku memegang armrest, aku menarik napas panjang sebelum menggerakkan tubuhku untuk beralih ke kursi roda. Perasaan frustasi menguasaiku ketika awal-awal menggunakan kursi roda, karena untuk memindahkan tubuhku dari tempat tidur, aku memerlukan waktu yang cukup lama. Saat itu, aku melampiaskan frustasiku dengan membentak siapapun yang berusaha membantuku. Aku tidak bisa bergantung selamanya kepada orang lain dan aku memang tidak mau. Ketika akhirnya berhasil meletakkan tubuhku di kursi roda, aku mengembuskan napas dan melihat kaus yang diletakkan Lee tadi.
Senyumku mengembang diantara rasa marah, ketika melihat kaus yang dipilih Lee, adalah kaus yang aku pakai ketika kami pertama kali bertemu. Aku mengulurkan tanganku untuk meraihnya dan dengan perasaan marah bercampur dengan heran, aku melepaskan kaus yang aku pakai dan menggantinya dengan kaus yang dipilih Lee.
***
Perasaanku sudah tidak enak ketika tahu, mobil yang membawaku dan Lee, menuju ke arah selatan. Ingin rasanya tidak menduga ke mana Lee akan membawaku, tapi pikiranku tidak bisa diam. Bahkan, Pak Agus pun diam seribu bahasa ketika aku mendesaknya untuk mengatakan ke mana Lee akan membawaku. Baru ketika kami belok kiri di salah satu perempatan di Jalan Raya Uluwatu, aku menatap Lee. Aku tahu ke mana dia akan membawaku.
“If this is one of your jokes to see me suffer, you’re doing great, Lee.”
Lee hanya menggelengkan kepalanya. “Apakah kamu harus sesarkastis itu?”
Aku hanya diam.
“Aku memaksa kamu pergi karena tahu, kamu tidak akan pernah mengiyakan ajakan siapa pun yang mengajakmu pergi. Apakah karena kamu tidak bisa berjalan, hidupmu juga harus berubah?”
“Aku nggak punya alasan kenapa hidupku nggak harus berubah. The accident changed everything in my life. No exception.”
Lee bukan orang pertama yang mengatakan kepadaku kalau tidak semua hal dalam hidupku, harus berubah hanya karena aku tidak bisa lagi menggunakan kedua kakiku. Yang tidak mereka tahu, bahwa semuanya memang berubah. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa aku lakukan dengan kondisiku saat ini. Keinginan bodoh untuk memutar kembali waktu di malam kecelakaan itu, selalu mengisi pikiranku. Jika saja malam itu aku bisa mengontrol diriku untuk tidak minum alkohol…jika saja malam itu aku menerima tawaran Andrew untuk mengantarku pulang agar Igo, pacar barunya, yang membawa mobilku…Jika saja aku menuruti saran Angga untuk membawa mobilku ke bengkel karena memang sudah waktunya…Selalu ada 'jika saja' dalam pikiranku.
“I'll show you that in your life, not everything is changed, Raka. There are so many things that haven't changed at all.”
Aku kembali diam.
Mobil kami memasuki area Bali Cliff dan aku memejamkan mata, merasa belum siap melihat salah satu pantai favoritku lagi setelah lebih dari setengah tahun, aku sama sekali tidak ke sini. Mobil kami berhenti dan Lee menyentuh pundakku.
“Kita sudah sampai.”
Aku membuka mata dan menatap Lee. “Kenapa kamu membawaku ke sini? Kamu tahu―”
Lee mengangguk. “Aku mengajak kamu ke sini bukan tanpa tujuan, Raka.”
Tatapan kami diputus oleh Lee, yang kemudian beranjak dari sisiku untuk keluar dari mobil. Pak Agus, membuka pintu disampingku dan Lee, kemudian tanpa aku duga, mengangkat tubuhku dan meletakkanku di atas kursi roda.
Aku menelan ludah ketika mendengar Lee meminta Pak Agus mengikuti kami.
Pantai ini masih sama indahnya. Mataku bisa menatap warna biru kehijauan yang luar biasa luas. Selalu membuatku takjub melihat batas antara langit dan samudra begitu tipis. Sejak pertama kali datang ke sini dan setiap kunjunganku ke sini, aku tidak pernah merasa bosan. Bagaimana mungkin orang bisa bosan dengan pemandangan seperti ini?
Namun, dengan kondisiku sekarang, semua keindahan ini serasa punya batasan. Aku tidak akan mampu untuk melangkahkan kakiku menuruni tangga untuk sampai ke pantai, melihat keindahan yang sebenarnya. Aku hanya akan bisa duduk di atas kursi roda, di parkiran dan melihat Samudra Hindia dan birunya langit bersatu.
“This is one thing that hasn't changed at all. It's still beautiful.”
“Kamu tahu aku akan benci sekali hanya bisa diam di sini.”
Setelah itu, dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata, Lee meminta Pak Agus untuk menunggu di mobil serta membawa kursi rodaku. Aku hanya menatap Lee ketika dia merendahkan tubuhnya di hadapanku.
“Apa yang kamu lakukan?”
“I'm gonna carry you to the beach,” ucap Lee sambil menatapku.
Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku mendengar kalimat yang keluar dari mulut Lee. Dia akan menggendongku ke bawah?
“That's not funny, Lee.”
“I'm not trying to be funny, Raka. I meant what I said. Kamu mau turun tidak?”
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Lee, dia sudah mengangkat tubuhku sementara aku hanya bisa menyimpan protesku dalam hati. Apa yang dia lakukan, sudah cukup menarik perhatian orang-orang yang ada di sini, aku tidak ingin memberi mereka tontonan gratis lebih lama. Dadaku bergemuruh, dikuasai rasa marah karena sekali lagi, Lee melakukan sesuatu yang aku benci.
“Hold on to me, Raka, tight. Here we go!”
Aku hanya menuruti Lee dan melingkarkan lenganku di lehernya. Aku memang tidak menutupi orientasi seksualku, tapi bersikap romantis di hadapan banyak orang bukanlah sesuatu yang bisa aku lakukan. Buatku, keromantisan bukanlah sesuatu yang harus diperlihatkan ke khalayak ramai. Ketika Lee berhenti di ujung tangga, dia menatapku.
“I guess no one ever done this before to you, right?”
Aku menatapnya. Jarak kami begitu dekat hingga aku dengan jelas bisa mencium campuran aroma pala dan dupa dari tubuhnya. Sepertinya dia masih menggunakan parfum yang sama.
“Why are you doing this?”
Lee hanya tersenyum sebelum mulai melangkahkan kakinya untuk menuruni anak tangga pertama. Bau tanah dan daun basah, segera memenuhi hidungku. Suara orang-orang yang berada di tempat parkir, tenggelam oleh debur ombak yang menghantam karang.
Lee terlihat tidak terbebani dengan berat tubuhku. Tidak ada ekspresi yang memberitahuku bahwa dia kelelahan. Mataku menatap anak tangga yang sudah kami lewati, tapi membiarkan ujung mataku, memperhatikan Lee.
“Begitu Tia memberitahuku, aku menyesal kenapa tidak kembali ke Bali lebih cepat.”
Kali ini, aku memusatkan tatapanku ke Lee.
Lee hanya tersenyum ketika tahu aku memperhatikannya.
“Mungkin, kamu tidak harus jadi seperti ini kalau aku ada di Bali waktu itu.”
“You got nothing to do with that.”
“I'm afraid I have, Raka.”
“Ucapan kamu sama sekali nggak masuk akal.”
“Say whatever you want, Raka.”
Aku bisa merasakan dada Lee berdegup dengan kencang dan keringat yang mulai mengucur dari dahinya. Lenganku bahkan sudah mulai basah terkena keringat yang membasahi lehernya.
“Kalau kamu pingsan, nggak akan yang bisa nolongin kita, Lee. Jadi keras kepala itu ada batasannya.”
Lee hanya membalas kalimatku dengan senyum lebar, seperti dia mengabaikan keringat yang mulai membasahi tubuhnya.
“Look!”
Aku mengikuti arah pandangan Lee.
Beberapa monyet berloncatan dari satu pohon ke pohon yang lain, tapi begitu kami berhenti, mereka melakukan hal yang sama. Mereka mengamati kami seperti menduga siapa kami dan kenapa kami sampai ada di sini.
“Akan menyenangkan kalau tahu mereka adalah monyet yang sama yang kita lihat dua tahun lalu di tempat ini.”
“Kenapa?”
Lee menghela napasnya. “Berarti mereka menyambut kembali kedatangan kita.”
“Why don't you ask them, then?”
Lee manatapku dan jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan embusan napasnya.
“There's still a long way to go.”
Kami pun hanya diam.
Lee kembali melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dan monyet-monyet yang tadi memperhatikan kami, sudah menghilang dan melupakan kehadiran kami. Aku melihat dahan-dahan yang bergoyang dan hanya mampu menelan ludah mengetahui bahwa hanya kami berdua yang ada di sepanjang anak tangga ini.
Suara ombak yang menabrak karang semakin jelas dan angin yang membawa bau samudra, semakin menusuk hidung. Aku bisa melihat pasir berwarna putih memantulkan sinar matahari hingga aku harus melindungi mataku. Namun, begitu hamparan pasir itu melebar seiring dengan anak tangga yang semakin sedikit, aku membiarkan mataku menangkap semua yang aku rindukan sejak kecelakaan itu.
“Here we are!”
Kami akhirnya sampai di anak tangga terakhir. Sebelum Lee membenamkan kakinya ke pasir, dia menatapku. Dia benar-benar sudah mandi keringat. Aku tahu dia lelah, tapi dia hanya memberiku senyuman, seperti ingin meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja.
“Kamu lihat kan? Tempat ini masih sama seperti waktu kita ke sini dulu.”
Aku hanya diam.
Melihat pantai ini yang tidak berubah, membuatku semakin mengutuki apa yang terjadi denganku. Ini mungkin terakhir kalinya aku bisa sampai di sini. Siapa pula yang mau menggendongku dari atas dan menuruni anak tangga sebanyak itu? Rasa marah yang menggelayutiku sejak Lee memaksaku keluar, apalagi membawaku ke sini, seperti hanyut dibawa kembali ke samudra oleh ombak yang menyentuh kaki Lee. Aku begitu merindukan pantai ini dan kembali ke sini dengan keadaan yang sama sekali berbeda, membuat emosiku terusik.
“Will it be okay for you to lie down on the sand?”
Aku hanya mengangguk.
Lee mengarahkan kakinya menuju ke goa yang berada di sisi kanan pantai. Begitu kami terlindung dari matahari, dengan pelan, Lee merebahkan tubuhku. Wajah kami begitu dekat hingga aku hanya bisa menelan ludah sementara jantungku berdegup begitu kencang.
“Kamu baik-baik saja?”
Aku mengangguk. “I'm okay.”
Aku hanya bisa memejamkan mata ketika punggung dan lenganku bersentuhan dengan pasir. Rasa sejuk menjalari tubuhku. Tidak pernah terbayang olehku bahwa aku akan kembali ke sini, merasakan pasir ini dalam genggamanku. Aku membuka mata dan melihat Lee tersenyum.
“Aku tahu kamu akan suka ada di sini,” ucap Lee sambil melepaskan kausnya sebelum meletakkannya di samping tubuhnya.
Lee kemudian berbaring di sampingku dan aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menatapnya.
“Ada alasan lain kenapa aku ingin mengajak kamu ke sini, Raka.”
Aku hanya menunggu Lee melanjutkan kalimatnya.
“Kamu tahu aku tertarik sama kamu dua tahun lalu dan selama dua tahun, tidak ada laki-laki lain yang bisa menggantikan apa yang aku rasakan ke kamu. Meskipun waktu itu, kamu masih bersama Andrew. Orang boleh tidak percaya, kamu pun boleh tidak percaya dengan apa yang aku bilang. When I found out that you and Andrew broke up, the first thing that crossed my mind was how to win your heart.”
Aku masih diam menatap Lee.
Aku memang tahu kalau Lee menyimpan perasaan terhadapku. It was obvious. Namun, aku masih bersama Andrew waktu itu dan menghianati Andrew adalah hal terakhir yang terlintas di kepalaku. Namun, aku juga tidak bisa berbohong bahwa ada sedikit perasaan tertarik kepada Lee. Kami tetap menjadi teman, meskipun aku tahu ada yang berbeda dengan pertemanan kami. Hubunganku dan Andrew hanya bertahan setahun setelah aku bertemu dengan Lee. Aku tidak tahu apakah perasaan tertarik itu berubah menjadi sesuatu yang lebih besar atau perasaanku ke Andrew yang menguap, aku tidak bisa berbohong lagi. Hubunganku dengan Andrew kandas tapi nama Lee tidak pernah menyelinap dalam pembicaraanku dengan Andrew. Dia menemukan penggantiku dan aku masih berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa perasaanku ke Lee memang benar-benar ada. Kecelakaan yang aku alami membuatku melupakan Lee untuk sementara dan tenggelam dalam rasa putus asa dan marah yang setiap hari menggerogotiku. Dengan bertambahnya hari, aku semakin meruntuhkan sedikit demi sedikit perasaanku terhadap Lee.
Sampai hari ini.
“Aku pria cacat, Lee. I'm not perfect.”
Pria mana yang mau bersama dengan pria yang sudah tidak bisa menggunakan kakinya?
“And it has nothing to do with my feeling.”
“It will.”
Lee hanya diam.
“Tinggal di India selama satu tahun membuatku belajar banyak tentang kehidupan dan semua yang mendampinginya, Raka. Aku belajar untuk bisa menerima bahwa kamu bersama Andrew, bahwa aku tidak bisa bersama kamu dua tahun yang lalu. Aku belajar untuk merelakan kamu jadi milik Andrew, meskipun jauh sebelum aku datang, kalian sudah bersama. Perasaan itu tidak pernah hilang, Raka. The more I try to let you go, the more I want you to be with me. Aku marah ketika Tia memberitahuku. Menyalahkan diriku yang tidak datang ke Bali lebih cepat, menyalahkan kamu karena tidak ingin teman-teman kamu tahu keadaanmu. Mungkin, aku memang harus ditampar oleh kehidupan untuk bisa berada di sini. Bersama kamu.”
Aku menelan ludah.
“Aku masih belajar, Lee. Buat bisa hidup dengan keadaan seperti ini. Menerima adalah sesuatu yang sulit untuk aku akui karena aku nggak mau. You know how independent I was and I'm still trying to be one, without my ability to walk. Ini bukan hal yang mudah buatku. Akan jauh lebih mudah kalau orang nggak tahu atau mereka jadi males buat nawarin bantuan mereka karena aku selalu nolak. Then, I don't have to deal with them anymore. Itu caraku buat jadi mandiri lagi tanpa harus ngerepotin orang lain. It will help me a lot in the future.”
“Kamu salah, Raka.”
Aku hanya diam.
“I came all the way here because I need to tell you again how much I want to be by your side. It doesn't matter whether you can walk or not. Yang cacat hanya kaki kamu, Raka dan aku datang ke sini bukan untuk lihat kamu bisa jalan atau tidak. Aku ke sini karena aku ingin jadi milik kamu. Aku tidak mau kejadian dua tahun lalu, ketika aku tidak punya kesempatan untuk itu, terjadi lagi.”
“Apakah itu alasan lain kamu maksa aku buat ke sini?”
Lee mengangguk. “Aku tidak tahu reaksi kamu akan seperti apa dan di sini, kamu tidak akan punya alasan untuk menghindar dariku.”
Aku memalingkan wajahku dari Lee dan membiarkan warna biru di atasku menguasai mataku. Aku tidak mengharapkan siapa pun untuk mengatakan hal seperti itu, terlebih Lee. Rasa percaya diriku sudah benar-benar tak bersisa jika berhubungan dengan hati. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas apa yang Lee katakan. Kejadian ini terlalu cepat untuk terjadi dalam satu hari.
Aku merasakan sentuhan lembut di pipi kiriku, yang penuh dengan pasir. Warna biru di hadapanku, tiba-tiba digantikan oleh wajah Lee. Mata kami bertemu. Jantungku berdegup cepat ketika wajah Lee semakin dekat hingga akhirnya, bibirnya menyentuh bibirku.
Aku tidak pernah membayangkan seorang pria akan kembali mencium bibirku. Aku hanya diam, membiarkan Lee menguasai bibirku sebelum aku merasakan bibirnya tidak lagi menyentuh milikku.
“I need two damn years to have a courage to do that.”
Aku masih diam.
“Apa yang kamu mau Lee?”
“Aku ingin kamu memberiku izin untuk ada di sisi kamu. Itu saja.”
“Kamu punya kehidupan lain selain di sini. Your family in Hongkong. Your world trip. Your dream to teach yoga. Kamu nggak bisa ninggalin itu semua karena kamu mau di sini.”
Lee tersenyum.
“Sometimes, people need to change their direction of life because there are more important things than all the dreams they have before. In my case, it's you.”
“You will have regrets in the future.”
“Penyesalanku mungkin kalau aku tidak punya keberanian untuk mengatakan apa yang tadi aku katakan, Raka. That probably will be my biggest regret.”
“Ini semua datang terlalu cepat.”
“Aku ingin kamu menganggap ini sebagai sebuah kejutan, Raka. A love surprise.”
Aku terdiam.
“Kamu tidak harus menjawabnya sekarang, Raka. Aku akan seminggu di Bali jika memang aku tidak bisa mendapatkan izinmu. In case you want me to stay, I have nothing left in India. My family will understand my decision to be here, they won't protest. I will start my world trip if you…decided not to give me that privilege.”
“Give me time.”
Lee mengangguk. “Don’t make me wait too long. I've been waiting for two years.”
Lee kemudian memberikan senyum lebarnya sebelum berdiri dan berjalan meninggalkanku. Aku melihat pecahan ombak terakhir menyapu kakinya dan perlahan, kakinya terendam oleh air sebelum aku hanya melihat bagian atas tubuhnya saja. Dia melambai kepadaku tapi aku tidak membalasnya.
Aku menghela napas.
Ada terlalu banyak hal yang telah mengubah hidupku. Aku tidak yakin apakah bisa membiarkan apa yang aku rasakan terhadap Lee, memenangi pertarungan melawan semua rasa pesimis, tidak percaya diri, marah dan bahkan kecewa, yang sejak kecelakaan itu, menjadi bagian tidak terpisahkan. Dalam hitungan bulan, aku selalu diselimuti oleh berbagai perasaan itu tanpa ada harapan yang bisa menyelinap di antaranya. Sekarang, melihat ada sebuah harapan yang disodorkan kepadaku, rasa tidak percaya dan ragu menyusupiku. Apakah harapan ini akan kembali direnggut dariku nanti? Atau kali ini, aku harus melepaskan harapan ini sekarang juga, sebelum kehidupan kembali mempermainkanku dan mendorongku ke jurang kegelapan?
Sementara Lee masih membiarkan air Samudra Hindia membasahi tubuhnya, aku hanya bisa melihatnya. Melihat senyum lebarnya ketika melambaikan tangan ke arahku, hatiku seperti digedor dengan keras. Mengabaikan apa yang logikaku katakan, aku mengangkat lenganku dan membalas lambaian tangan Lee.
I hope, it really is, a love surprise for me.
Tepat lima bulan sejak aku terakhir kali posting cerita di ANTOLOGI maaf kalau pada nungu lama, hehehehe.
Cerita ini sebenernya mau diikutin lombanya Rendi dan udah kelar sebelum deadline tgl 30 bulan kemarin. Cuma, aku masih nyante karena berpikiran kalau lombanya pasti diundur, eh ternyata nggak, hahahaha. Jadilah cerita ini nganggur dari akhir April. Sebenernya juga, ada 1 cerpen lagi yang masih belum dipost karena awalnya juga buat project bareng2 ama Tito, tapi ternyata dibatalin, padahal research-nya udah capek, hahaha. Mungkin, akan dimasukin ke buku Antologi-ku nanti.
Cerpen ini inspired by someone yang heboh banget dirumorin sama aku, hahaha. Tokoh Lee memang ngambil dia banget
Jadi, semoga masih ada yg minat baca cerpenku Minta maaf buat yang ke-mention. Bukan karena sengaja, tapi lebih karena lupa dan nggak tahu musti mention siapa lagi
@timmysuryo @yeltz @kimo_chie @arieat @Adra_84
@adam25 @kiki_h_n @tyo_ary @Kim leonard @chandisch @christian9denny @Kanemuraben @jamesfernand084 @Adamx @yeniariani @gege_panda17 @ABI_Manyu @sascha @RezzaSty @DarrenHat @iansunda @firkhafie @tialawliet @arieat @masdabudd @tama_putra @BB3117 @zackattack @rarasipau @hwankyung69 @kyiskoiwai @WinteRose @Venussalacca @Zhar12 @Lonely_Guy @faghag @Emtidi @iboobb7 @chaliszz
,
ABI