It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehehe, makasih banyak. glad u like it dear
ni si will ska jga ma adnil, seru dong...kapten tim basket gitu lo
#peluk2 Rie-san
Ikkhh apaan tuh? William udah merenggut kesucian bibirnya Niel~~
>W<
Makin penasaran sama hubungan mereka. Chap ini kurang berasa niel Levi-nya. Lbh berasa berantemannya drpd mesranya hihi
Lanjut Rie-san
Ganbatte n apdet asap.
dari pada nyipok adniel, ama gw aja hahhay...kasian lepi, atau lepi yg buat gw...lanjut bang~
Apa2an sih c Darra,ngajuin the craziest idea,pls don't ever agreed..
Willi,don't ever stolen Adniel's lips from Leviandra..huuh.
william, hmm.. Kayaknya sekongkol lg deh sama dara supaya levi & niel putus..
Pake acara cium2 segala lg..
Levi liat gak yah..?? -__-"
oh really? ckck, ngeri bgt tuh. trus jadian dong kalian? yah, org emg ga bisa di prediksi pikirannya, apalagi cwe yg lbh ngeduluin prasaan. hehe.
wah makasih banyak
[#8 – Cheating]
Sebuah binder yang aku kenal, tiba-tiba tersimpan di atas meja, di hadapanku yang sedang asik menikmati semangkuk mie ayam. Aku dan Levi memang sedang berada di kantin, menunggu jam kuliah berikutnya.
Dara yang tadi menyimpan binder miliknya itu, kemudian duduk di kursi yang tepat ada di hadapanku dan Levi.
“Hey Ra” sapa Levi setelah minum jus jeruknya dan mengelap mulut dengan tissue.
“Hey Lev” sahut Dara, membalas senyuman Levi, lalu melihat ke arahku yang segera pura-pura kembali makan.
Aku bukan tak mau menyapanya, hanya… ya agak malas.
“Tenang aja Niel, gue udah gak akan maksa-maksa lagi buat minta lo pacarin gue. Kemarenan pikiran gue emang lagi kacau. Gue kayak gitu karena takut kehilangan lo. Gue takut banget udah gak ada yang mau peduli sama gue. Tapi… gue sadar, gue cuma bisa sebatas jadi temen lo, karena lo udah punya Leviandra”
Aku berhenti makan dan jadi memandang bekas teman dekatku itu. Dia tampak serius dengan kata-katanya dan tak membuatku berpikir kalau dia mungkin merencakan sesuatu lagi.
“Gue udah bosen minta maaf. Intinya, gue mau jadi temen kalian, boleh?” tambah Dara, masih sama datar dengan perkataan dia sebelumnya.
“Dari awal kuliah juga lo temen kita, Ra” sahut Levi dan melirikku sambil tersenyum.
Aku hanya membalas dengan agak mengernyitkan keningku.
“Iya, tapi… gue udah ngerasa jadi orang jahat kemaren-kemaren. Dan gue ngerasa gak pantes buat jadi temen kalian lagi”
“Kita kan udah janji mau lupain itu, Ra” Levi lagi yang menyahut, malah kali ini menambahi dengan senyuman malaikatnya.
Errr, aku tak tau apa yang sudah terjadi diantara mereka ketika waktu itu Levi bilang sudah membahas semuanya dengan Dara. Yang aku bayangkan, kalau Levi pasti menunjukkah kebaikan hatinya lagi hingga meluluhkan Dara dan membuat cewek itu malu… lalu mungkin jadi menyukai pacarku ini. Duh.
Well, yang penting Dara sudah sadar kalau aku tak mungkin mau membagi perasaanku, hatiku dan tubuhku dengan siapapun – karena aku sudah menjadi milik Levi. Menggelikan, tapi kenyataannya memang begitu.
“Levi bener, lo itu dari dulu juga temen kita” aku akhirnya membuka suara, setelah selesai dengan makananku, dan sekarang meminum soft drink yang aku pesan.
Aku memang sudah saatnya untuk tidak menunjukkan ketidaksukaanku terus. Dara mungkin sudah cukup mendapatkan balasannya atas kekecewaan yang dia beri padaku waktu itu. Hanya saja, aku pikir agar hubunganku dengannya bisa kembali seperti dulu, masih belum bisa semudah itu. Sudah terlanjur akan menjadi kaku.
“Gue, gak bisa jadi temen deket lo lagi… Niel?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada suara yang lebih terdengar suram.
Aku melihat padanya sekilas, lalu melihat pada Levi yang masih tersenyum.
“Gue gak yakin, Ra” jawabku akhirnya, memilih untuk jujur. “Yah, tapi sekarang kan kita tetep temen…” aku jadi bingung sendiri dengan kalimatku.
Dara mengangguk, tampak bisa menerima alasanku yang sebenarnya agak berantakan. Mungkin karena dia memang tak mau terus-terusan mendesakku.
“Lo sama Adniel udah duluan temenan, jauh sebelum Adniel deket sama gue, Ra. Jadi, lo gak perlu canggung sama gue, atau ngerasa gue bakal gak suka…” Levi menyela.
“Iya, tapi lo juga harus tau diri. Kedekatan kita cuma bakal sebatas temen, karena pacar gue cuma Levi” sambungku pula, mencoba mengatakannya dengan halus, meski kata-kata ku agak tajam.
“Gue paham” jawab Dara akhirnya, agak pelan.
“Eh Ra, ada proposal yang belum gue beresin, lo mau bantu dikit gak?” tanya Levi yang sepertinya mendadak ingat pada tugasnya di senat.
“Boleh Lev, sekarang?”
Levi melihat pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Masih ada waktu setengah jam, sekarang aja yuk!” ajaknya sambil bersiap beranjak dari tempat duduknya.
Aku cepat memegang tangannya dulu.
“Yang, bentar dong!” cegah ku pula, sok manja.
Aku bisa melihat dari ujung mata, kalau Dara langsung melirikku, mungkin karena panggilan sayang yang aku pakai untuk Levi.
“Kamu duluan aja ke kelas, Niel” kata Levi, seperti biasa tak begitu menggubris tingkah mesraku.
“Gue mau ngumpul sama anak basket dulu”
“Ok, tapi jangan sampe telat ke kelas”
Levi baru akan melepaskan tangannya yang aku pegang, tapi aku kembali menariknya sambil berdiri dan mendaratkan kecupan kilat di atas kepalanya.
Sekali lagi aku bisa melihat Dara melirikku, tapi aku tak begitu peduli. Aku juga tak mau tau kalau sekarang Levi sedang memelototiku. Dengan cuek, aku membawa tas ku dan berlalu lebih dulu dari sana.
- - - - -
Aura tidak enak mendadak menyergapku saat aku sudah mendekati ruang ganti. Jelas saja, aku teringat lagi kejadian tempo hari ketika tiba-tiba William sialan, menciumku. Ergh. Tubuhku jadi merinding seperti waktu itu dan terus terang, membuatku malas untuk masuk kesana. Tapi, mau tak mau ruangan itu adalah tempat yang sudah pasti harus aku datangi terus – apalagi sekarang aku bukan sekedar anggota, tapi wakil kapten juga. So suck.
BLAM
Aku membuka pintu ruang ganti. Nobody. Sepertinya aku telat datang, atau memang waktu berkumpulnya tidak jadi sekarang. Anak-anak lain pasti sedang kuliah. Bagus, aku lebih baik langsung ke kelas saja, menunggu Levi selesai dengan urusan senatnya disana. Lagipula, perasaanku masih tidak enak berada disini.
Duk!
“Anjrit…” desisku sambil mengusap-usapku keningku yang barusan ternyata malah menabrak sesuatu begitu aku berbalik untuk keluar dari ruangan ini.
“Kenapa sih buru-buru amat?!” suara seseorang di depanku.
Aku membuka mata, masih sambil meringis sekaligus berdoa di dalam hati kalau suara yang aku dengar itu bukanlah orang yang aku pikirkan.
But heck, that’s him! Orang yang sangat ingin aku hindari sekarang.
Mata ku pun agak melebar. William sedang mengusap-usap hidungnya disana. F-ck. Jangan bilang, tadi keningku menabrak hidungnya yang bangir itu.
“Kalo hidung gua kenapa-kenapa, lu mau tanggung jawab?!” ujarnya pula, agak ketus. Dia berjalan melewatiku, masih sambil mengusap hidungnya. Sebenarnya ini kesempatan untuk aku melarikan diri, tapi aku tidak melakukannya, malah jadi terpaku disana – takut juga kalau sampai memang dia kenapa-kenapa.
“Sa- sakit ya Will?” tanya ku, gugup dan bodoh.
“Iyalah!” sahutnya, masih ketus.
“Ji- jidat gue juga sakit, tau!” balasku, mencoba ketus juga namun masih gugup.
“Tapi jidat lu yang nabrak hidung gua!” katanya sambil berbalik padaku.
Dan aku pun bisa melihat dengan jelas, ada tetesan darah yang keluar dari salah satu lubang hidungnya. Damn. Mati gue.
William melihat pada jari tangannya yang tadi menyentuh hidungnya, tetesan-tetesan darahnya menempel juga disana.
“Tuh kan, berdarah” katanya pula, terkesan tenang meski tetap menyalahkanku.
“So- sori Will…” aku semakin gugup, dan mendadak tak tau harus melakukan apa.
William duduk di bangku, lalu mengeluarkan handuk kecil dari tasnya. Ia membersihkan tetesan darah di tangannya, sebelum kemudian menekan handuknya ke hidung.
Aku hanya bisa menggaruk-garuk rambutku yang tak gatal. Gimana ini?
“Mana, gua liat jidat lu” kata William sambil melihat padaku yang berdiri tak jauh darinya.
Aku menyentuh keningku lagi yang rasanya sudah tak begitu sakit. Aku jelas tidak apa-apa jika dibandingkan dengannya.
“Gu- gue gak apa-apa kok… itu, berdarah gitu… harus diobatin Will” sahutku.
“Ya makanya lu sini!” perintahnya tiba-tiba.
Aku yang diantara merasa tak enak dan enggan, akhirnya memutuskan untuk mendekat dengan terpaksa.
“Ambil kotak P3K” perintah William lagi, sambil menunjuk pada lemari di dekat locker. Padahal tanpa dia menunjuk juga, aku tau kalau kotak P3K disimpan disana.
Aku mengambilnya, lalu kembali ke dekat William, duduk di sebelahnya dengan kotak P3K yang berada diantara kami. Duh, posisi ini kenapa bisa sama seperti 2 hari yang lalu!? Aku jadi trauma dengan sendirinya.
“Lu kesini buat rapat kan?” tanya William, begitu aku mulai menempelkan kapas yang sudah diberi sedikit alcohol, ke hidungnya yang berdarah. Dia meringis pelan.
“Gue cuma dikasih tau kalo siang ini ada kumpulan, tapi kok gak ada orang…” jawabku apa adanya. Selesai dengan memberi alcohol, aku lalu mencari-cari obat luka.
“Emang kumpulannya kita berdua doang”
Aku tak jadi membuka tutup botol obat luka yang sudah ku temukan, begitu mendengar ucapannya. Aku jadi memandangnya dan dia sedang balas memandangku dengan lekat. Tubuhku merinding lagi.
“Ma-maksud lo?”
“Semalem yang sms lu itu, nomer gua”
Aku mengerjapkan mata, baru sadar kalau semalam aku memang mendapatkan informasi dari nomor yang tidak aku kenal. Aku pikir itu nomor salah satu temanku.
“Oh, jadi…”
“Iya, cuma rapat gua sama lu doang. Lu kan wakil gua, ada yang mau gua bahas”
“Oh” aku hanya bisa bergumam lagi, dan melanjutkan untuk membuka tutup botol obat luka tadi. Dalam hati sebenarnya aku mengutuk, mulai menuduh juga, jangan-jangan orang ini memang sengaja ingin menjadikan aku wakilnya – supaya bisa seenaknya berduaan denganku…
Hey, apa aku barusan berpikir seperti orang yang keGe-eRan? Sialan.
“Gak usah pake itu” kata William sambil memegang tanganku yang sudah akan meneteskan sedikit cairan obat luka ke kapas yang baru.
“Tapi itu—“
“Gak apa-apa, yang penting udah berhenti aja darahnya” potongnya, sambil mengusap-usap hidungnya yang sudah terlihat lebih baik.
Aku pun menurut dan menyimpan lagi obat luka dan kapasnya ke dalam kotak.
“Sori ya, gue gak sengaja” kata ku, mencoba meminta maaf lagi dengan lebih serius. Karena aku memang tidak enak sudah membuatnya sampai berdarah seperti itu.
“Kenapa lu buru-buru banget tadi?”
“Ya, soalnya gak ada orang. Gue pikir emang gak jadi…”
“Bukannya lu emang gak mau ketemu gua?”
Deg.
Dia bisa membaca gelagat bodohku ya? Am I too obvious?
“Ah nggak… gue biasa aja” aku cepat mengelak dan berusaha bersikap tenang. Aku mau menunjukkan kejadian waktu itu bukan apa-apa dan aku sama sekali tidak terganggu. Aku memang gengsian, selalu saja begini.
“Lu ngehindarin gua… gua tau kok, Niel”
Anjrit ah.
Aku mencoba melihat lagi padanya yang ternyata masih memandangku seperti tadi. Hidungnya sudah tidak berdarah, tapi mungkin masih perih. Lalu aku mengalihkan pandangan dan melihat pada tangannya yang sedang meremas-remas handuk kecil miliknya – beberapa detik saja, sebelum kemudian aku kembali melihat wajahnya.
“Perasaan lo doang, Will” ujarku akhirnya.
William tersenyum tipis dan agak kecut.
“Lu pasti benci karena gua cium lu waktu itu…”
Gah! Aku kan tidak mau membahas ini!
Dengan agak gugup, aku menghindari lagi tatapannya. Oh please, makes me looks cool!
“Ng- nggak, gue biasa aja” gumamku, tetap stay dengan kegengsianku.
William belum menyahut lagi, tapi aku malah merasakan tangannya yang meraba keningku. Duh, mulai ngapain nih dia!?
“Udah gak sakit?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Aku melirik dia dengan ujung mata ku. Dia begitu dekat dan sedang serius mengamati keningku yang tadi memang sempat sakit setelah tabrakan bodoh kami.
“Iya” jawabku pendek, mendadak, aku memang kehilangan banyak kata-kata. Rasanya nafasku jadi agak tercekat. Mungkin aku diantara takut akan terjadi hal yang tidak aku duga lagi, juga takut kalau aku tak bisa mengendalikan diri.
Entah nanti aku akan kalap dan melawan hingga membuat keadaan memburuk, atau aku akan diam saja dan menerima perlakuannya hingga membuat keadaan menjadi lebih buruk. Damn shit.
Perlahan William menyingkirkan kotak P3K yang membatasi duduk kami, dia beringsut dan makin mendekat padaku. Perasaanku sudah berteriak-teriak menyuruhku untuk tidak berada disana, tapi pikiranku, malah memintaku untuk diam. Aku diingatkan untuk tetap tenang, jangan dulu cepat panik dan tidak lekas berburuk sangka. Lagipula, kenyataannya aku sudah membuat William luka, dan aku harus punya sopan santun untuk tidak meninggalkannya begitu saja.
My logic told me so; dan sebagai cowok, aku sudah terbiasa lebih menuruti logika ku.
Jemari William yang tadi menyentuh keningku, menurun menyentuh pipi ku. Hell, apa sekarang aku masih harus berpikir? Ini mulai tak wajar!
Mata seksi William begitu asik mengamatiku, entah apa yang ada di pikirannya. Namun yang jelas, aku yakin kalau dia melakukan ini pada cewek-cewek, mereka akan dengan cepat menyerahkan diri padanya. But f-ck, aku bukan cewek, jadi harusnya ini sama sekali tidak mempengaruhiku!
“Will…” kata ku, nyaris berbisik. Aku memegang tangannya yang mulai mengelus pipiku. Dia memandangku ke mata.
Deg deg.
Apa ini!? Kenapa debaran yang biasanya aku suka karena selalu muncul saat Levi memandangku, bisa terasa di saat seperti ini!? It must be so dangerous!
“Gu- gue harus balik ke kelas” cetusku akhirnya, sambil mencoba menyingkirkan tangannya, tapi dia malah menggenggam balik tanganku.
Ahk tidak!
“Kita belum mulai rapatnya, Niel. Beneran ada yang mau gua bahas sama lu” cegahnya.
“Y-ya, kenapa gak cepet kita mulai…” aku mencoba tegas, meski masih gugup.
“Ini kan salah lu. Untung hidung gua gak kenapa-kenapa” dia menyalahkanku lagi. “Lagian, emangnya tadi gua udah maafin lu?”
Aku terdiam, baru sadar kalau dia memang belum menanggapi soal maaf ku.
“Terus, lo mau apa?” aku ingin sekali melepaskan genggaman tangannya, tapi ternyata cukup kuat dan tak mudah. Mungkin seperti ini rasanya kalau Levi tak bisa melepaskan diri dari genggamanku. Grrgh, aku malah teringat Levi. Rasanya aku bisa paham bagaimana waktu itu Levi dalam keadaan terdesak, saat orang ini mencoba mengerjainya.
“Cium gua dulu”
Mataku melebar demi mendengar permintaan gila nya.
“Lo… sarap ya Will?” tanyaku tak bisa menahan diri lagi. “Jangan macem-macem deh!” seru ku pula sambil berusaha melepaskan tangannya, tapi nihil. Aku sungguh tak menyangka William yang sebelumnya nampak anti-gay, sekarang malah bertingkah so gay! Aku rasa sebenarnya sejak lama dia memang begini tapi mati-matian menutupinya. WTF, so typical.
“Lu mau gua maafin atau nggak!?”
“Tapi gak gitu caranya! Lo bilang, pantang maen-maen sama orang yang udah punya pacar. Gue udah punya Levi!” kataku sedikit membentak.
“Siapa bilang, gua maen-maen!?” dia malah balas membentakku. “Gua serius, Niel”
Perkataan dia berikutnya malah membuatku membeku. Tatapanku semakin horror padanya. Sinyal berbahaya semakin berdengung di kepalaku. Ya Tuhan, selesai dengan Dara, kenapa ada lagi pengganggu macam ini?! Kenapa orang-orang tampak baru terlihat ingin dekat denganku setelah aku memiliki seseorang yang tak akan pernah mau aku ganti oleh siapapun!? Kenapa?!!!
“Gak mungkin. Gue tau lo gak kayak gini, Will. Dan asal lo tau juga, gue gak pernah tertarik sama cowok laen, selaen Levi. Gue bisa suka cowok, karena itu Levi. Gue gak sembarangan suka sama semua cowok. Apalagi coba-coba cuma buat menuhin penasaran, kayak lo gini” jelasku akhirnya, bisa menemukan kalimat demi kalimat yang aku harap bisa menampar dan menyadarkannya.
“Gua udah gak penasaran, tapi gua emang pengen lebih jujur…” katanya. “Gua mau deket sama lu, itu salah, Niel?”
Aku berdecak kalut.
“Gua yakin, lu juga awalnya pengen maen-maen aja sama Leviandra, iya kan? Pasti butuh waktu juga buat lu sampe bisa sadar kalo lu juga suka sama dia. Dan gua pun sama. Gua mikir selama 2 hari ini, lalu sadar kalo gua… suka sama lu”
F-ck.
F-ck.
F-ck.
Sumpahnya, aku malas kalau harus mengumpat seperti ini. Tapi perkataan William ini sungguh membuatku ingin mengutuk sebanyak mungkin. I’m a dead meat. Salahku apa sampai harus mengalami hal-hal seperti ini!? Aku hanya ingin melewati hari-hari dan menikmati hubunganku bersama Levi dengan tenang, CAN’T I?
“Lo udah berurusan sama orang yang salah, Will” gumamku, agak sarat dengan peringatan. Aku memang ingin memberitahunya, kalau ini salah dan dia akan menyesal. Tapi William tampak tak peduli dengan perkataanku, dia malah menarik tanganku, menyimpannya di lehernya seiring dengan badannya yang semakin merapat padaku.
Debaran kurang ajar tadi, malah kembali menyesaki dada ku. Help me. Levi… somebody, help me!
Aku pun tak berdaya begitu William menciumku. Sialnya, aku malah memejamkan mataku dan tanganku yang dia simpan di lehernya, malah bergerak ke arah belakang kepalanya. Jemariku menemukan rambut ikalnya.
Mampus. Aku sudah membiarkan cowok lain menciumku.
It’s a real f-cking cheat!
Bukankah beberapa saat lalu, aku masih menentangnya, tapi kenapa sekarang aku malah seperti tersihir dan menurut padanya?! It’s so damn crazy! I’m f-cking crazy! Dan parahnya lagi, sensasi gila ini malah direspon dengan positif oleh tubuhku. Biarpun otakku mengutuk, tapi tubuhku mengkhianati pikiranku. Pasti ini napsu.
Perasaan baru karena pertama kali aku dicium lagi oleh cowok lain, to be exact it's William. Kapten tim basket yang sudah cukup lama aku kenal, selalu menjadi incaran cewek-cewek juga objek yang membuat iri para cowok (termasuk aku). He's everyone wanted.
Ciuman William semakin mendesakku. Dia merasa tak cukup dengan hanya melumat bibirku. Sekarang, lidahnya mulai bergerak, memaksaku untuk membuka mulutku, tapi aku tak membiarkannya. Aku tak boleh melanjutkan ini!
Bruk!
Dengan sekuat tenaga, aku mendorong tubuh William yang memang lebih besar dariku. Dia kehilangan keseimbangan, dan terjatuh dari atas bangku. Aku lekas berdiri sambil menormalkan nafasku.
William menatap tajam padaku. Dia pasti sangat kesal.
“Gue gak mau ngeladenin kelakuan konyol lo!” kataku, sebelum dia sempat mengatakan apapun.
“Tapi barusan lu—“
“Ok, gue khilaf! Tapi itu gak akan jadi apa-apa. Lo jangan sekalipun berpikir, kalo gue bakal maen curang di belakang Levi”
“Lu udah maen curang, Niel”
Shit.
“Lu udah mengkhianati dia. Udah terlanjur, kenapa gak lu terusin? Ayolah, gak usah munafik. Gua juga tau kalo lu bisa suka sama gua. Lu suka sama ciuman gua…” lanjutnya, begitu percaya diri.
Hell no.
Ciuman dia emang lumayan, tapi buatku, masih ciuman Levi yang terbaik.
William berdiri dan masih menatap tajam padaku. “Sekarang, gua pengen tau berapa besar sayang lu sama Leviandra…”
Aku mengernyitkan kening, merasa akan ada hal berbahaya lainnya.
“Lu pilih gua gangguin Leviandra, atau lu yang nyerahin diri sama gua?”
Kerutan di keningku memudar. Tubuhku merinding lagi, dengan lebih tak nyaman. Wajahku terasa dingin, karena pasti sudah memucat.
Astaga. Dia mengajukan pilihan yang sama sekali tidak ada enaknya buatku. Demi Tuhan, apa salahku? Apa salahku?!
“Hm?” dia menaikkan kedua alisnya, meminta jawabanku.
Aku mencoba balik menatap tajam padanya.
“Jangan sekalipun lo nyentuh Levi” desis ku, agak mengancamnya.
William tersenyum puas. Dia paham kalau maksud perkataanku itu berarti adalah aku memilih menyerahkan diri padanya. Sial!
“Fine” katanya, tampak girang. Dia kemudian melingkarkan tangannya di badanku dan memelukku. Jemari tangannya mengusap-usap kepalaku. Aku hanya bisa berdiri pasrah dalam pelukannya.
Kenapa semuanya jadi begini? WHY ME?!
(
- - - - -
“Will…” panggilan Harlan, menghentikan kegiatan William yang sedang membereskan tas nya sambil bersiul-siul.
“Hey Lan…” sapa cowok ganteng itu.
Harlan mendekat sambil samar mengerutkan keningnya.
“Lu lagi seneng ya?” tanyanya, jadi ingin tau.
“Hm” William hanya menjawab dengan gumaman dan senyuman sumringah di wajahnya. Jelas sekali kalau dia sedang senang.
Harlan memandangnya beberapa detik, berpikir, apa dia harus mengatakan dengan jujur apa yang sudah dilihatnya di ruang ganti tadi siang – atau jangan.
“Lu udah beres? Kita pulang bareng sekarang, gua mau traktir makan” kata William lagi, benar-benar tampak sedang gembira.
“Ehm, Will, lu abis ngapain Adniel?” tanya Harlan akhirnya, karena penasaran. Dia pikir, tingkah kegirangan William ini mungkin ada hubungannya dengan apa yang sudah dia lihat.
William memudarkan senyumannya perlahan, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, beruntung tak ada teman mereka yang sedang memperhatikan.
“Maksud lu?” William pura-pura tak paham.
“Gue liat lu meluk dia di ruang ganti tadi siang” jawab Harlan, jujur.
William agak melebarkan matanya. Namun dalam hati dia bersyukur karena teman baiknya ini yang melihat.
“Itu—“
“Lu lagi ngerencanain apa?”
“Nggak kok. Gua cuma…”
Harlan memandang William lebih lekat, menunggu penjelasan dari sahabatnya itu.
William menghela nafas pelan, kemudian balas memandang Harlan. Tadinya dia berpikir mau sedikit mengelak, tapi rasanya lebih baik kalau dia jujur saja.
“Lama-lama, gua ngerasa dia mirip Gilang, Lan…” kata William.
“Hah?”
William mengangguk. Lalu agak mendekat pada Harlan untuk berbisik.
“Gua suka sama dia, dan gua mau nyoba nebus kesalahan gua ke Gilang melalui dia”
Kali ini Harlan yang melebarkan matanya.
“Lu gila? Dia udah punya pacar” desisnya.
William tersenyum.
“Gua tau, dan itu udah gua urus”
Harlan menggelengkan kepalanya, dia tak bisa melakukan apapun. William dan apa yang diinginkannya, tak pernah bisa Harlan tentang. Lagipula, it’s been a long time melihat lagi senyuman gembira William yang seperti itu.
= = = = =
“Heh, makan yang bener lu!” teguran Mbak Lidya, menghentikan aku yang sedang mengaduk-aduk nasi diatas piring sambil berpikir tak karuan.
Aku memandang pada kakak sepupu ku yang duduk di depanku sambil mengupas buah mangga. Dia memang jarang makan malam-malam dan biasa makan buah. Maklum perempuan, hobi sekali diet.
“Kenapa? Gak suka sama masakan gue?” tanyanya pula. “Lu mau makan apa terserah deh, asal jangan gak makan. Bisa didamprat emak lu entar gue”
“Ehm nggak kok Mbak…” sahutku cepat. “Gue suka masakan lo, cuma gue agak gak selera makan”
Mbak Lidya memandangku, lalu kemudian mengulurkan tangan kanannya yang tadi memegang pisau untuk mengecek suhu tubuh melalui keningku.
“Lu sakit? Agak panas euy” ujarnya, jadi memandang cemas ke arahku.
“Masa sih?” aku ikut-ikutan memegang keningku, tapi tak merasakan apapun.
“Gak akan kerasa kalo sama lu sendiri” kata Mbak Lidya. “Yaudah, cepet abisin makannya, terus minum obat”
Aku pun hanya bisa menurut. Sepertinya aku baru sadar kalau badanku memang sedikit tak enak. Situasi beberapa hari belakangan ini memang cukup menguras pikiran dan tenagaku, belum lagi, mungkin agak mengganggu bathin ku.
I think I’m stress. Gimana tidak? Aku menyembunyikan rahasia besar pada Levi, padahal aku sudah janji pada diriku sendiri, kalau aku tak akan pernah mau mempunyai sedikitpun rahasia darinya. Aku harus menceritakan semua. Tapi kondisi sangat tidak memungkinkan. Ini semua gara-gara William. Bagaimana aku akan menjadi pacar yang baik, kalau seperti ini caranya?! Rasanya aku mau mati saja.
~
“Hallo?” aku menjawab telepon dengan malas.
“Hey beib”
Aku memutarkan bola mata ku. Panggilan William itu, terus terang malah membuatku merinding dengan tak nyaman.
“Mau apa Will?” tanya ku akhirnya, datar saja.
“Gua kangen. Tadi sore kenapa lu gak latihan?”
“Gue gak enak badan”
“Lu sakit?”
“Hm”
“Rumah lu dimana sih, Niel? Gua mau nengok”
“Gak usah kali, Will” tolak ku tanpa basa-basi.
William tampak terdiam beberapa detik.
“Besok, gua boleh pulang bareng lu gak?” tanya nya tiba-tiba.
“Gue gak tau”
“Lu pasti harus pulang bareng Leviandra ya?”
Udah tau nanya, gerutuku dalam hati.
“Tapi lu bisa bilang sama dia kalo besok lu ada latihan sampe malem kan? Jadi gua bisa pulang bareng lu” kata William lagi.
Ck.
“Harus ya?”
“Iya. Atau lu mau gua gangguin dia?”
Anjrit. Dia mulai lagi dengan ancaman yang pasti tidak bisa aku abaikan.
“Iya, iya. Besok gue usahain” kata ku akhirnya.
“Jangan kepaksa gitu dong. Besok kita emang ada latihan, match nya bakalan seru ngelawan anak-anak kampus laen”
“Hm” lagi-lagi aku hanya menggumam.
William tampak tertawa pelan disana.
“Ya udah, istirahat sana. Sampe besok”
“Bye”
Klik.
Aku langsung mematikan handphone-ku lebih dulu. Kepala ku rasanya pusing dan badanku pegal-pegal tak jelas. Aku memang tidak meminum obat yang Mbak Lidya kasih, karena tak biasa minum obat kalau belum terasa parah. Mungkin kalau aku tidur cepat, besok pagi badanku akan kembali segar. Mana besok ada match. Aku cukup excited, hanya saja mengingat keberadaan William, membuat mood ku jadi drop.
Aku mengambil lagi handphone-ku dan mencari nama Levi. Mungkin setelah mendengar suaranya aku akan menjadi lebih baik dan bisa tidur nyenyak.
“Niel?”
“Sayang…”
Levi tertawa pelan.
“Iya, kenapa?” sahutnya. Kalau saat di situasi private dan hanya berduaan seperti ini, Levi memang tak akan segan untuk menanggapi panggilan sayang dan manja dariku.
“Kamu lagi apa?”
“Beresin proposal”
“Proposal lagi?”
“Iya Niel”
Aku menggumam pelan.
“Kamu kok belum tidur?” tanya Levi pula.
“Kangen kamu”
Levi tampak diam, tapi aku bisa menduga kalau dia sedang tersenyum.
“Gue serius” kata ku lagi.
“Emang siapa yang bilang kamu gak serius!?”
Aku tertawa pendek.
“Gue beneran kangen kamu, Lev”
“Kita kan baru ketemu tadi sore, dan besok juga pasti ketemu lagi”
“Gue pengen peluk kamu sekarang”
“Hm, anggap aja aku ada disitu lagi meluk kamu…”
Aku tersenyum. Seperti yang aku duga, kata-kata dan suara Levi pasti akan lebih menenangkanku. Mengingat besok aku terpaksa akan di dominasi oleh William, membuatku jadi merasa bersalah. Aku harus melakukan kebohongan yang kesekian.
It’s not a dirty little secret anymore… it’s a pure cheating. Oh God.
“Niel? Masih disitu?”
“Ehm iya… lagi bayangin kamu meluk gue”
“Haha, parah kamu. Ya udah, tidur sana. Besok kamu banyak kegiatan lagi, kan?”
“Ya, kamu juga, jangan maenin proposal terus” ujarku, sengaja memakai nada cemburu di suaraku.
Levi tertawa lagi.
“Gak usah cemburu sama kerjaan dong, Niel”
“Gue gak mau kamu kecapean, Lev”
“Iya, iya. Tidur gih—“
“Eh Lev…”
“Hm?”
Aku terdiam beberapa detik, mengumpulkan keberanianku.
“Aku…”
“Ya, Niel? Tumben pake aku” komentar Levi sambil tertawa lagi.
Aku tak menggubris tawanya. Menarik nafas dan menelan ludah perlahan, untuk menghilangkan gugup.
“Aku sayang kamu, Levi”
Tawa Levi menghilang dan sekarang aku hanya mendengar suara nafasnya. Dia pasti membeku gara-gara kalimat yang jarang aku sebutkan itu.
“Aku juga sayang kamu, Niel” tapi akhirnya dia bisa membalas juga, meski kami sempat terdiam selama beberapa saat.
Aku memejamkan mataku, merasakan suara dan kalimat yang dia ucapkan untukku, merasuk ke dalam benak dan perasaanku. This is all that I need. Aku cuma mau Levi dan aku tak butuh orang lain, cewek lain apalagi cowok lain. Keadaanku dengan William, semata-mata karena aku ingin melindungi Levi – itu jelas. Aku tidak mungkin menikmati kecurangan yang aku lakukan di belakangnya, bukan?
It’s not interesting, Niel. Berhenti berpikir kalau ini menarik.
Aku hanya harus bertahan, sampai William bosan dan berhenti bermain-main seperti ini. Yang penting dia tidak mengganggu Levi-ku. Karena Levi pernah bilang, dia tak akan suka kalau aku menduakannya dengan cowok lagi, mungkin lebih baik kalau aku tidak jujur.
Just for now, I’m cheating for good. Meski rasanya memang tidak ada berkhianat demi kebaikan. Argh, kepalaku serasa mau pecah.
“Aku sayang kamu Lev… sayang kamu, sayang banget…” gumamku akhirnya, masih sambil memejamkan mata ku.
Levi tertawa lembut disana.
“Aku tau Niel, aku juga sayang kamu” balasnya lagi.
Damn.
But exactly, he knows nothing… yet. I’m sorry, my dear Leviandra.
= = = = =
A/N : hehe, kerumitan lainnya bwt Adniel & Levi. thanks & see u
Bang @rieyo626 makasih ya udah nulis cerita sebagus ini buat kita.
ya...mpe dia sembuh aku brusaha nemenin dia.... bis itu ya aku tinggalin... aku cuma beralasan gk mau d jadiin kek hiasan ato manekin yg bs d miliki n d pajang.... aku cuma ingin d ngerti n d sayang.. trus ya aku pindah ja....(drpd tiap hari d teror kdatangan dia mulu).