Love Phobia adalah sebuah kumpulan cerita pendek yang bertemakan mengen
Selamat Menikmati
xoxo
Choco
**********************************************************************
Melepas
Tak pernah aku menyangka diriku yang kupikir memiliki banyak cinta namun sekarang terikat pada satu hati. Aku pikir aku adalah hanya penikmat cinta, bukan pelaku. Lihat diriku yang mengenaskan ini. Berdiri di sudut ruang, menatap lurus kepada dia yang telah mengikat hatiku. Yang lebih menakutkannya lagi, dia sama sekali tak menyadari dia telah mengikatku.
Aku tertawa perih. Hidup ini terlalu lucu, membalikkan keadaan semudah aku menghirup udara. Inikah yang dikatakan para pecinta sejati sebagai karma? Apakah aku pantas mendapatkannya? Mereka bilang karma datang karena kita telah menyakiti banyak orang. Di memoriku tak pernah kusakiti siapa pun. Sebelum aku mulai bercinta aku selalu memberikan peringatan aku tidak bisa diikat. Dan mereka menerimanya. Atau jangan-jangan mereka hanya sekedar berpura-pura agar aku tak berlari? Entahlah.
Kutatap lurus dia yang sedang duduk di singgasananya. Dia yang di elu-elukan. Dia yang menjadi tonggak bagi kaumnya. Dia yang pemimpin bagi hajat hidup orang banyak. Di tangannyalah hatiku di cengkeramnya kuat.
Kututup erat mata ini. Kutarik nafas perlahan, lalu kukeluarkan. Kupandangi gelas yang berada digenggamanku. ‘Merah sekali anggur ini’ pikirku. Kureguk sedikit dan manisnya membangunkan indra perasaku. Andai saja manisnya mampu membuat rasa getir ini lenyap.
“Saya Wisnu Hadipriambudi menghaturkan banyak terima kasih kepada para sesepuh keluarga besar Hadipriambudi dan warga desa Candi sekalian yang telah hadir dalam pertemuan ini dan memberikan suara dalam pemilihan kepala keluarga Hadipriambudi. Tampuk jabatan sebagai kepala keluarga besar Hadipriambudi akan saya pegang sebaik mungkin dan amanah dari para sesepuh akan saya jadikan pedoman dalam membuat keputusan baik bagi keluarga Hadipriambudi dan juga para bagi warga desa Candi ini. Dalam waktu kedepan semoga semua visi dan misi yang saya ajukan semoga terlaksana dan tercapai dalam waktu sesingkat-singkatnya.”
“Amin,” Gemuruh para undangan mengamini.
“Dan sebagai kata terakhir untuk mengakhiri pertemuan ini. Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabbarokatuh.”
“Wa’alaikum salam Warrahmatullahi Wabbarokatuh.”
Di salaminya para undangan satu persatu. Hingar bingar bangga para tetua dan sanak saudara kepada pengganti muda yang akhirnya menggantikan kepala rumah tangga keluarga Hadipriambudi sebelumnya yang menampuk jabatan hampir lebih 35 tahun. Tetapi, di raut wajah para warga Candi yang hanya segelintir saja yang hadir, terlihat jelas pesimisme yang teramat sangat.
Bukan tanpa alasan mereka terlihat seperti itu. Keluarga Hadipriambudi adalah keluarga ningrat satu-satunya di desa Candi ini dan bukan itu saja keluarga Hadipriambudi masih mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dengan Keraton Yogya. Tentu saja bagi warga Candi keluarga Hadipriambudi dianggap sebagai jembatan mereka, sebagai wakil suara mereka kepada para tetinggi dan pejabat daerah. Tapi seperti sudah menjadi rahasia umum peranan itu tidak dilakukan lagi secara murni. Karena itulah ada semacam perang tak tersirat antara warga Candi dan Keluarga Hadipriambudi.
Aku terkekeh pelan atas kenyataan ini. Bukan karena tidak berantipati terhadap warga, tapi lebih tepatnya di tengah era jaman globalisasi seperti sekarang ini sistem Monarki tua masih bercokol dengan eratnya di darah daging orang-orang ini. Benar-benar sebuah ironi. Apakah mereka tidak tahu di luar sana orang-orang sedang berteriak-teriak memperjuangkan kebebasan dan keadilan?
Tapi sudahlah ini bukan urusanku. Aku disini di bayar hanya untuk mengkalkulasi, menimang dan memberikan saran berapa banyak harta yang mereka miliki dan bisa mereka foya-foyakan.
Dia sudah melangkah keluar dari ruangan dan ini artinya juga bagiku untuk menghaturkan diri.
*****
Bulan sedang merekah rupanya malam ini. Bulat, besar dan bersinar dengan benderangnya. Sayup-sayup udara malam membelai kulitku dengan lembutnya. Andaikan saja kekasihku memperlakukanku seperti ini, sudah pasti aku akan bertekuk lutut di kakinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar, menghasilkan suara gebrakan yang cukup keras. Kumenoleh cepat. Dia datang. Dia tutup kembali pintu kamarku lagi dengan kasarnya dan menguncinya cepat. Dia hempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurku.
“Malang sekali nasibku harus berurusan dengan pria-pria tue renta bau tanah,” Sungutnya cepat.
Aku tak berkata apa-apa hanya diam mendengarkan dan berjalan perlahan mendekatinya.
“Dan astaga…, tidakkah orang-orang itu tahu cara berpakaian yang benar dan yang memuakkan kepulan asap bako yang mereka hisap. Kenapa tidak sekalian mereka hisap obat nyamuk biar mati langsung tanpa repot-repot,” Cercanya hingga membuat nafasnya terengal-sengal.
“Sudah selesai?” Tanyaku.
Dia diam.
Aku duduk di sebelahnya. Ku tatap kimono sutra yang di pakainya. Tak kusadari sebuah senyuman kecil tersungging di sudut bibirku. Bodoh sekali aku bisa sebahagia ini hanya karena dia mengenakan pakaian yang pernah kuberikan saat ulang tahunnya setahun lalu.
Jari-jemariku meraba-raba tubuhnya. Kucumbu hangat bibir merahnya. Tanpa perlu menunggu lama lagi dia segera memulai permainan memabukkan ini. Aku tertawa dalam hati karena mengingat orang-orang yang dia bicarakan sebelumnya. Orang-orang itu melihatnya sebagai pemimpin suci, tanpa noda, lugu, tak bercela.
Tapi lihatlah dia yang di hadapanku sekarang. Tak ubahnya pelacur dia bertekuk dan dibenamkan kepalanya di antara kedua kakiku. Tanpa tahu malu dia membuka dirinya. Menyuruhku untuk segera membuatnya terlena. Desahan dan erangan kepuasan terlempar dari bibir tipisnya. Inilah wajah aslinya yang tak diketahui semua orang. Wajah vulgar ini hanya milikku, milikku seorang meski hanya sesaat.
*****
Kuamati dirinya yang sedang terburu-buru berpakaian. Sebuah kebiasaan yang sangat kukenal. Setelah dia puas dengan pelayanan yang kuberikan, secepatnya dia pergi meninggalkanku sendirian di kamar dingin ini.
“Haruskah kamu pergi sesore ini?” Sebenarnya aku tidak ingin meminta, tapi aku sudah terlalu lelah untuk terdiam.
“Pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat ke Solo,” Aku tercekat. Jangan katakan?
“Ke Solo?”
“Aku sudah harus mempersiapkan lamaran untuk lusa,” Aku membeku.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan membuka laci di samping tempat tidur. Kuambil kawan lamaku. Kawan yang selalu setia menemaniku saat terpuruk. Satu batang rokok kulemparkan ke dalam mulutku. Kusulut, lalu kuhisap dalam-dalam. Kubiarkan racun-racun itu beronggok lama di dalam paru-paruku, membiarkannya membakar hatiku yang sedang lara.
“Lukas!” Teriak dia.
“Apa?” Tanyaku datar.
“Sudah kuperingatkan berapa kali untuk tidak merokok di hadapanku,” Ucapnya tajam.
“Hah, kau ini memang siapanya aku? Di siang hari aku memang pegawaimu, tapi di malam hari kau hanya pelangganku. Tak ada urusmu mengurusi apa yang boleh bagiku atau tidak seperti aku tidak mengurusimu yang tak mengatakan apa pun mengenai lamaranmu. Adilkan?” Aku kaget betapa kata-kata itu bisa lancar tertumpahkan dari bibirku.
Dia menatapku sinis, tapi aku tidak mempedulikannya. “Dasar lonte,” Cemoohnya kepadaku.
Tawaku menggelegar, “Aku memang lonte, kemana saja kau selama ini? Biarpun aku lonte setidaknya aku tidak pernah memakai topeng. Semua orang sudah tahu siapa aku sebenarnya dan tak ada satupun yang keberatan karena aku selalu jujur, mereka akan menghargai orang yang jujur. Tapi lihat kau,” Aku melihatnya dengan pandangan sinis dari kaki hingga kepalanya, “Kau itu badut.”
Seketika sebuah vas gelas melayang tepat di hadapanku. Refleks kututupi wajahku. Darah menetes dari tanganku. Hanya itu yang kulihat. Kuturunkan tanganku dan melihatnya bermaksud lari. Aku melesat mengejar dirinya sebelum terlambat. Kucengkeram lengannya dan kudorong dia ketembok.
Kuangkat dagunya agar mata kami saling bertemu. “Aku mencintaimu.”
Dia terperanjat. Matanya membesar.
“Saat kau kembali nanti, aku sudah pergi jauh.”
Dia menepis tanganku dan berlari meninggalkanku.
Selamat tinggal kekasihku.
THE END
**********************************************************************
Theme song : Just Like a Pill
Artist : Pink
I'm lyin' here on the floor where you left me
I think I took too much
I'm crying here, what have you done?
I thought it would be fun
I can't stay on your life support, there's a shortage in the switch,
I can't stay on your morphine, cuz it's making me itch
I said I tried to call the nurse again but she's being a little *****,
I think I'll get outta here, where I can
[Chorus]
Run just as fast as I can
To the middle of nowhere
To the middle of my frustrated fears
And I swear you're just like a pill
'Stead of makin' me better, you keep makin' me ill
You keep makin' me ill
I haven't moved from the spot where you left me
This must be a bad trip
Al
Comments
Bagus sis @xchoco_monsterx . That's it. No other word.
Kapan2 jg pengen nulis nih.
bhsanya keren ya..like it
klo trlalu pnjng nanti malah kebablasan eh trs jd cerbung...haduh dj cukup 2 anak eh salah 2 lapak yg bikin pusing...ini hanya selingan aja.
Jujur sebenarnya aku tak memperoleh apa-apa pada cerita ini, mungkin kamu menginginkan agar pembaca tahu jangan menjadi orang dalam kepura2an. Ya mungkin itu.
Lalu hindari kalimat panjang sekali. Ada beberapa aku nemu. Harusnya bisa jadi dua atau tiga kalimat. Lagi kayak komen di lapak sebelah, pengulangan2 kata dalam satu paragraf. Mungkin gak kerasa kali ya nggak salah sih, tp akan sedikit menimbulkan kesan bosan.
Iya, komen lagi tentang "monarki kuno". Sebenarnya sih yg ada monarki absolut dan monarki konstitusional. Nah yg jogja itu ada pada tipe kedua.
Mungkin beberapa kalimat yg boros kata padahal bisa disederhanakan.
Keep writing!
@gr3yboy gitu yah pak guru makash udh mau mampir n kasih kripik
:-*
Jangan kapok ya aku kritik. Bukan bermaksud menjelek2kan. Cuma membagi apa yg aku punya agar semuanya bisa menulis dengan baik..
wah..wah, ternyata neng bakat jadi penulis nih..
@ken89 makasih juga udh mau mampir