It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@oksenaar : bagus ini ceritanya, dan btw gw main biola juga. Berasa mirip ricky #dihardikMassaKemudian . Tapi ga suka berantem, sih.
@Cruiser79, istilah2 tsb gampang dicerna kok. nanti pasti akan ngerti juga dgn sendirinya. pd dasarnya aku jg nggak bermaksud membuat cerita yg rumit.
@nes16, woww.. pemain biola rupanya. aku nggak bs main biola, jd mungkin nggak akan terlalu detail soal elemen biola di cerita ini. tp yg pasti pemakaian biola di cerita ini ttp akan ada peranannya di kelanjutan ceritanya nanti.
@4ndh0, lanjutannya mungkin besok. ngelesein 2 chapter lanjutannya dulu. kalo cuma update 1 chapter kayaknya nanggung.
makasih semuaa...
Sampe tamat ya jangan digantung kelamaan kaya yang lain
tpi tetep bikin WOW....
#tereak2 geje
Suka sm bhsa ny, sntai nd gmpng dcerna^^
Oh tidaakk..
Aq seorg ELF, nd aq hruz saingan sm ank kcil soal siwon? Aplgi ank cwo.. Omaigod bunuh aja gw #jlebb nyes
#tereak2 geje
Suka sm bhsa ny, sntai nd gmpng dcerna^^
Oh tidaakk..
Aq seorg ELF, nd aq hruz saingan sm ank kcil soal siwon? Aplgi ank cwo.. Omaigod bunuh aja gw #jlebb nyes
MOS telah memasuki hari keempat di salah satu SMA yang ada di kota Solo itu. Meski masih terasa menyebalkan bagi sebagian besar murid kelas satu, tapi telah ada perubahan di hari itu. Para senior tidak segalak pada hari-hari sebelumnya. Kadar sikap sok mereka mulai berkurang. Ada dua kemungkinan yang menyebabkannya. Pertama, mungkin karena sudah memasuki hari keempat, sikap para senior telah lebih cair terhadap yunior-yuniornya. Mulai terbiasa, sehingga sikap jaim dan galak para senior itu akhirnya mulai luntur dengan sendirinya. Kemungkinan kedua, karena sehari sebelumnya telah ada perlawanan dari seorang murid kelas satu bernama Ricky. Sebuah pembuktian bahwa yunior tidak selalu bisa diremehkan! Mungkin banyak para senior yang akhirnya mulai berpikir-pikir. Dan tentu itu juga mendorong para guru untuk lebih getol mengarahkan para senior agar bersikap lebih baik terhadap yuniornya. Apapun yang telah mempengaruhi, yang pasti suasana MOS telah berubah menjadi lebih longgar dibanding hari-hari sebelumnya.
Di jam istirahat pertama, Siska rupanya memiliki suatu agenda. Cewek cantik yang tomboy dari kelas X-E itu mendatangi kelas X-A. Meski belum menemukan orang yang sedang dicarinya, tapi rupanya dia tetap beruntung! Dia sedikit kaget saat melihat seorang cowok berambut ikal dengan kacamata tebal tengah duduk di serambi di depan kelas X-A.
“Lho, Jen? Kamu kelas ini?” sapa Siska ke Jejen, teman sekelasnya waktu SMP yang rupanya sekarang menempati kelas X-A.
“Ih! Masih manggil pakai nama itu sih?” delik Jejen agak kesal. “Di sini aku dipanggil Zain!” cetus Jejen yang bernama asli Zainal itu.
“Halah, daripada aku manggil ‘Jendol’?!” tukas Siska. Lalu dia ikut duduk di serambi kelas X-A. Cewek tomboy itu berseloroh sok akrab, “Kelas kamu asyik nggak, Jen?”
“Ya asyik lah! Ada apa ke sini? Cari orang?” tanya Jejen, alias Zain.
Siska celingukan sesaat, melongok ke suasana di dalam kelas X-A yang dapat dilihat dari luar pintu. Dia tetap tak melihat orang yang dicarinya.
“Teman kamu ada yang namanya Ricky, kan?” bisik Siska ke Zain.
“Ada, dia yang habis berkelahi kemarin kan? Kenapa memangnya?” selidik Zain. Dia lalu tersenyum. “Naksir sama dia?”
“Enak aja!!! Nggak ya! Teman sekelasku yang naksir, bukan aku! Tapi dia nggak berani kenalan!” bantah Siska.
“Jadi kamu mau jadi comblangnya?”
“Nggak juga. Cuma penasaran aja, kok temanku sampai tergila-gila?!”
Zain cuma tertawa simpul. “Dia lagi ke kantin mungkin,” gumamnya.
Siska melenguh lesu. Di saat dia sudah berpikir hendak ke kantin, rupanya ada hal lain yang menarik perhatiannya dan membuatnya tak jadi beranjak dari duduknya. Siska mengamati Zain yang tampak sibuk dengan sesuatu. Ada yang dipegang di tangan Zain, selembar kertas agak besar berisi beberapa gambar. Semacam desain baju.
“Apa sih itu?” tanya Siska ingin tahu.
“Nanti kelasku ada rapat, buat nentuin desain kaos olah raga. Minggu depan kan pelajaran olah raga sudah dimulai,” jelas Zain acuh tak acuh, fokus ke kertas yang dipegangnya.
“Kaos olah raga? Coba pinjam!” Siska langsung merebut kertas di tangan Zain.
Mata Siska langsung terbelalak menatap gambar-gambar desain kaos itu!
“Ketua kelasmu siapa?” tanya Siska, tiba-tiba saja menjadi antusias.
Zain melongo. “Aku!” ucapnya.
Siska tertegun, lalu tampak berbinar-binar. “Cieeee!!! Waktu SMP cuma mentok jadi sekretaris, sekarang naik level nih jadi ketua???” candanya sumringah.
“Makanya, nama panggilan juga harus lebih level dong!” cetus Zain percaya diri.
“Weee… Nggak usah gitu! ‘Jejen’ tuh juga nama yang asyik buat panggilan, kesannya lebih akrab and humble gitu loh! Mentang-mentang sekarang jadi ketua kelas jadi songong nih?” seloroh Siska cablak, sambil meninju bahu Zain.
Zain cemberut, gengsi!
“Soal kaos olah raga, kayaknya kamu butuh masukan dari aku nih!” cerocos Siska dengan pedenya. “Dari tahun ke tahun, dari kelas ke kelas, yang kita lihat tuh model kaos olah raga ya gitu-gitu aja! Oblong, pakai lengan, ...”
“Memangnya yang bagus gimana?” Zain langsung memotong.
“Maksudku... kenapa nggak coba model yang beda???”
“Nha iya, yang beda tuh yang gimana?”
Siska tersenyum senang sekaligus nakal! Lalu dia menunjuk salah satu gambar desain kaos itu...
“Ini, yang nggak pakai lengan!” tunjuk Siska pede.
Zain tampak agak ragu. “Biarpun beda, tapi apa keren kalau nggak pakai lengan?” tanyanya.
“Ya keren lah! Kelasku sendiri juga rencananya mau pakai yang tanpa lengan! Akan terlihat lebih macho!” seru Siska penuh keyakinan.
“Terus yang cewek juga ikut macho gitu???”
Wajah Siska berubah seketika. Menelan ludah dan menatap gondok ke Zain.
“Kamu tuh udah naik level jadi ketua kelas masih oon aja sih?!” tukas Siska sambil menggablok Zain. “Kalau yang cewek ya jadi lebih seksi lah! Kecuali buat murid-murid yang pakai jilbab, nah khusus mereka baru dikasih yang model lengan panjang! Adilnya begitu! Masa ngatur gitu aja nggak bisa?”
Zain manggut-manggut.
“Gini gini aku ngikutin trend!” tandas Siska dengan gaya bangga.
“Oke deh, Sis, makasih sarannya. Aku akan sampaikan nanti di kelas. Tapi keputusannya sih tetap diambil bersama, aku nggak bisa maksa orang satu kelas!” ujar Zain.
“Kamu bilang aja, jaman sekarang tuh harus berani tampil beda! Asal masih positif! Betul kan? Biarpun keputusan diambil bersama, tapi sebagai ketua kelas pasti pendapatmu tetap lebih diperhatikan sama teman-temanmu! Jadi ketua kelas harus pede dong!” tandas Siska panjang lebar.
Zain manggut-manggut lagi.
“Minta nomor HP-mu!” pinta Siska kemudian.
“Buat apa?”
“Ya buat kontak lah! Kamu udah nggak nganggap aku teman?” balik Siska judes.
Zain nyengir. “Siapa tahu kamu malah mau lebih...” gumamnya.
Dalam hati Siska mengumpat. Andai dia sedang nggak butuh Zain, mungkin dia sudah menampar Ketua Kelas X-A itu!
Siska menyimpan nomor HP Zain. Setelah itu dia berdiri dari duduknya.
“Oke, Jen, aku cabut dulu ya!” ucap Siska sambil menggeloyor pergi, meninggalkan Zain yang masih duduk-duduk di serambi depan kelasnya.
Cewek tomboy itu melenggang dengan riangnya, seolah ada hal hebat yang telah berhasil dicapainya! Ya, sebuah agenda yang berubah dari rencana semula, tapi menghasilkan sesuatu yang lebih menggembirakan! Berkat beberapa kebohongan yang dibuatnya secara cerdik!
Masih di jam istirahat yang sama, di tempat lain yang masih berada di komplek sekolahan itu, seorang teman Siska yang lain sedang melewatkan waktu untuk mengisi perutnya. Di kantin sekolah!
Nera berdiri tampak bingung, sambil memegang mangkuk soto di tangan kanannya dan teh botol di tangan kirinya. Cewek manis berambut kriwil sebahu itu menengok ke beberapa sudut mencari tempat untuk menikmati sotonya. Kantin itu adalah sebuah ruang makan yang besar dengan deretan bangku dan meja panjang. Cukup ramai!
Akhirnya pandangan Nera berhenti di satu titik. Dia pun tersenyum lebar ketika membidik salah satu meja. Meski sebenarnya agak ragu, tapi dia memberanikan diri melangkah mendekati meja itu...
Meja di mana Ricky tampak sendirian menikmati sarapannya.
Dengan ragu dan malu-malu, Nera mengambil duduk berhadapan dengan Ricky. Ricky menatap gadis yang ada di hadapannya itu. Sesaat mengingat-ingat...
“Hai...” sapa Nera agak gugup.
“Hai,” balas Ricky sambil mengingat-ingat. “Kita... kemarin satu SMP ya?”
“Haha... Iya!” sahut Nera langsung berbinar-binar. “Kamu ingat ternyata!”
Ricky tersenyum simpul, cukup manis untuk wajahnya yang hari itu terlihat agak bengap. Lalu ia kembali meneruskan makannya dengan santai. Sebaliknya, Nera dalam hatinya berdegup-degup. Serasa sebuah pujian baginya, ternyata Ricky mampu mengingat bahwa mereka dulu satu SMP!
“Kok makan sendirian?” tanya Nera mencoba bersikap akrab. “Ramai begini, tapi nggak ada yang duduk sama kamu...?”
“Entahlah...” jawab Ricky singkat, sambil mengusap hidungnya yang agak basah.
Nera menduga-duga dalam hati. Apa mungkin karena kemarin Ricky habis berkelahi dengan senior, kemudian image-nya menjadi... mungkin dicap ‘anak nakal’, ‘anak bandel’, atau apalah image jelek yang lain...? Tapi bukankah lebih layak kalau Ricky disebut pahlawan? Memangnya ada yang tidak setuju jika para senior yang sok itu diberi pelajaran agar tahu rasa???
Di saat Nera masih sibuk menduga-duga...
“Mungkin aku memang kelihatan nggak asyik aja,” tiba-tiba keluar celetukan di bibir Ricky yang pendiam itu. Lalu dia juga tersenyum lagi, membuat sisa lebam di wajahnya seolah pudar untuk sesaat.
Dan ucapan Ricky itu segera membuat Nera jadi tersipu. “Masa sih kamu nggak asyik? Buktinya aku mau duduk sini...” gumam cewek berambut kriwil itu malu-malu.
“Soalnya kursi lain udah penuh!” timpal Ricky.
Ucapan Ricky yang terakhir itu membuat wajah Nera berbalik lagi secara drastis. Seperti kena tonjok!
“Nggak juga! Kursi lain masih ada!” gumam Nera seperti tertelan oleh mulutnya sendiri. Lalu dia segera mengalihkan topik. “Rumah kamu dimana sih, Rick?”
Ricky sedikit terhenyak. “Ohh... Kamu malah udah tahu namaku?” decaknya sedikit kikuk.
Nera sadar dan jadi salah tingkah. “Eehhh... Kita kan satu sekolah juga waktu SMP, biarpun nggak pernah sekelas tapi aku tahu namamu! Yaaahhh... Dari dengar-dengar aja!” kelitnya gugup mencari alasan.
“Tapi aku belum tahu namamu?”
Sekali lagi wajah Nera seperti terkena sesuatu. Seperti jus tomat baru saja menumpahi mukanya! Itu artinya, Ricky sangat terkenal baginya namun dia sama sekali tidak terkenal di telinga Ricky! Semacam sentilan terhadap harga diri!
“Namaku Nera!” sebut Nera dengan pede, meski dalam hati menyembunyikan malu!
“Ohh... Oke,” sahut Ricky simpul.
Nera mengamati Ricky yang kembali meneruskan sarapannya. Ricky yang cuek itu, yang hari itu mukanya tampak agak bengap tapi tetap saja membuat Nera merasa gemas dan geregetan! Sampai salah tingkah demi mendapatkan perhatian yang lebih dari anak cowok yang ‘baru saja’ dia ajak kenalan itu!
“Rumah kamu dimana?” Nera kembali mengulang pertanyaannya yang belum dijawab.
“Emhh... Aku tinggal di kost,” jawab Ricky tampak enggan.
“Kost? Dimana?” Nera kian penasaran dan tak menyerah bertanya.
Tapi lagi-lagi pertanyaan Nera kandas. Karena rupanya ada hal lain yang seketika itu langsung menyita perhatian Ricky!
Ada beberapa anak kelas satu lainnya yang baru masuk ke kantin. Tapi yang mencuri perhatian Ricky adalah salah satu dari kawanan itu, seorang murid laki-laki yang sepertinya berdarah blasteran, berkulit putih dengan rambut coklat kehitaman, yang di hari-hari kemarin tak pernah dilihatnya di sekolah itu!
Nera menyadari mata Ricky yang tersita oleh pemandangan lain. Ia segera mengikuti kemana arah mata Ricky memandang. Maka Nera pun ikut tersentak!
“Siswa baru ya?” bisik Nera yang matanya terpaku menatap murid berkulit bule tadi.
Murid baru itu memang cukup mencuri perhatian banyak orang, tak hanya Ricky dan Nera. Beberapa anak lainnya yang ada di kantin itu juga tampak ikut memperhatikan murid baru itu. Mungkin karena faktor blasteran dan belum pernah terlihat sebelumnya, murid baru itu tampak sedikit mencolok dibanding murid lainnya.
“Dia baru masuk hari ini???” cetus Nera bertanya-tanya. Dia kembali menoleh ke Ricky, dan lagi-lagi dia tertegun!
Nera melihat mata Ricky yang hampir tak berkedip! Ricky belum berhenti terpaku memandangi murid baru yang duduk di kursi agak jauh itu! Dan sorot mata Ricky saat memandang, seperti menyiratkan sesuatu yang misterius... Sesuatu yang dalam!
“Rick...?” bisik Nera.
Ricky terkejap matanya dan segera menyadari lagi posisinya. Tapi raut yang tak tertebak masih menempel di wajahnya.
“Kenapa, Rick?” tanya Nera, merasa ada yang aneh.
“Emhhh... Sorry, aku balik ke kelas dulu...!” balas Ricky agak kikuk, lagi-lagi tanpa menjawab pertanyaan Nera.
Nera terbengong-bengong melihat sikap Ricky yang aneh. Heran dan bingung karena secara terburu-buru Ricky beranjak pergi dari hadapannya, gelagat yang sepertinya menyembunyikan sesuatu!
Apa ada hubungannya dengan murid baru itu???
Nera kembali menengok ke murid baru tadi. Murid baru itu masih berada di tempatnya, sedang mengobrol sambil makan bersama teman-temannya. Murid baru itu memang tampak menarik. Tetapi di dalam hati, cuma satu hal yang membuat Nera tak habis pikir...!
Ada apa dengan Ricky???
:-?
Pada jam istirahat kedua di hari itu, keempat gadis itu berkumpul di tempat kesukaan mereka. Di belakang gedung laboratorium yang rimbun dan sepi. Ya, empat cewek yang mengaku diri mereka FUJOSHI, penggemar segala sesuatu yang berhubungan dengan relasi sesama cowok!
Nera, Vita, Nike dan Siska!
“Berita penting hari ini: ada murid baru!” Vita bersemangat membuka pertemuan. “Dia baru masuk hari ini!”
“Ihhh! Harusnya aku yang ngasih pengumuman dong! Kan dia teman sekelasku dan kamu tahunya juga dari aku, Vit?!!” Nike protes.
“Murid baru, baru masuk hari ini, kelas X-F, terus... apa istimewanya?” lontar Siska, apatis.
“Dia cowok blasteran kan?” Nera langsung menyahut. “Aku udah lihat waktu di kantin tadi!”
“Kamu udah lihat, Ra? Gimana, cakep kan???” Nike langsung antusias meminta pendapat Nera.
“Emhhh... Buat aku sih biasa aja...” gumam Nera sambil menopangkan dagunya.
“Biasa??? Kok bisaaa?!!” Nike protes lagi dengan mimik tidak rela.
“Yaahhh, gimana ya? Aku penggemar yang Asian sih, yang tampang bule gitu buat aku biasa aja. Jelek sih enggak, cuma kesannya nggak terlalu istimewa aja buat aku!” jelas Nera.
“Tapi tampang dia itu nggak terlalu bule juga! Aku udah lihat juga tadi!” Vita gantian angkat pendapat. “Kulitnya sih bule, tapi roman mukanya tuh masih ada kesan Asia. Rambutnya aja cenderung ke hitam, lensa matanya juga hitam...”
“Coklat! Lensa matanya tuh coklat, coklat tua! Aku sempat lihat lumayan dekat!” cetus Nike menyanggah Vita.
“Berarti cuma aku yang belum lihat!” dengus Siska datar. “Tapi sama dengan Nera sih, aku nggak terlalu excited sama yang bule. Aku lebih suka yang kulitnya masih berwarna, masih ada unsur sawonya gitu...”
“Pindahan dari mana sih dia?” lontar Nera.
“Aku dengar-dengar sih, katanya dari Jakarta. Tapi... katanya dulu dia juga udah pernah tinggal di Solo, soalnya keluarga ibunya asli dari Solo. Dia pindah ke Jakarta karena ayahnya waktu itu dapat kerjaan baru di Jakarta, jadi pengajar di sekolah internasional gitu katanya...” urai Nike penuh semangat.
“Buseeettt! Dapat banyak amat infonya, Nik??? Diam-diam kuping kamu peka juga ya dengerin obrolan orang? Nggak mungkin kan kamu sendiri yang ngobrol sama dia?” cerocos Siska menyindir Nike.
“Cieee...! Anak pemalu gini nggak mungkin lah langsung berani kenalan!” Vita ikut mencandai Nike sambil mencubit pipinya. “Apalagi kalau posisinya udah kesengsem gini!”
“Hahaha...! Terus gimana nasib idolamu yang mirip artis Jepang itu, Nik?!” sindir Siska lagi.
“Iiihhhh!!! Apaan sih?!! Aku tetap masih suka sama Kento! Tapi si Dikta itu juga cakep! Jujur kan aku?!!” seru Nike kesal, sekaligus memerah pipinya!
“Ricky, bukan Kento!” sahut Vita mengoreksi, sambil mencubit lagi pipi Nike dengan gemas.
“Oohhh... Jadi namanya Dikta???” gumam Nera masih datar-datar saja.
“Nah, namanya juga Indonesia banget kan?” cetus Vita.
“Lengkapnya siapa dulu? Nggak yakin kalau namanya pribumi seratus persen! Pasti buntutnya nama bule!” sergah Siska masih berlagak apatis.
“Dikta Febrian Tosca, itu nama lengkapnya!” sebut Nike.
“Nah, kan! TOSCA, itu bukan nama pribumi tuh!” tuding Siska.
“Ahhh! Ngapain juga ribut soal nama? Orang asli Indonesia aja banyak yang pakai nama bule! Jaman sekarang tuh nggak usah ngeributin soal nama! Buat aku si Dikta itu cakep, udah! Ngapain berbelit-belit?!” sentak Nike berapi-api. “Vit, menurut kamu sendiri gimana? Dia cakep apa nggak?”
Vita tersenyum simpul. “Iya, dia cakep kok. Tapi tampang dia itu cenderung ke tipe melankolis yang halus gitu. Agak kurang menantang aja sih...” urainya sambil memainkan kuncir kudanya.
Nike cemberut. Merasa cuma dia sendiri yang paling tertarik dengan murid baru yang mereka bicarakan itu.
“Nah, berarti hasil kalkulasi di antara kita berempat, kesimpulannya si Ricky masih nomor satu!” cetus Siska dengan senyum cerah.
Nera yang dari tadi paling kalem, sekarang tiba-tiba tampak antusias menyinggung sesuatu...
“Girls, hari ini aku merasa ada yang aneh sama Ricky...”
Vita, Siska, dan Nike kompak menatap Nera, dengan raut serius mereka.
“Dan ini masih ada hubungannya dengan anak baru, si Dikta itu...!” sambung Nera.
“Hahhh???” ketiga teman Nera kompak tertegun.
“Yaahhh... Ini cuma firasatku saja sih...” gumam Nera sedikit ragu. “Ceritanya, hari ini bisa dibilang mujur buat aku, karena tadi aku makan bareng sama Ricky di kantin...!”
“Kamu makan sama Ricky?!!” Siska paling duluan menyahut! Dengan mata terbelalak seperti merasa kecolongan. “Berdua gitu???”
“Ya enggak lah, Sis! Namanya aja di kantin, ya pastinya ada banyak orang! Tapi memang kebetulan yang makan di meja itu cuma aku sama Ricky. Aku yang nyamperin dia duluan...! Yaahhh, akhirnya aku sama dia ngobrol-ngobrol juga lah pastinya! Meski nggak terlalu banyak tapi tetap saja asyik! Dia itu so sweet...!” buncah Nera sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Kamu yang nyamperin dia??? Mental banget kamu, Ra?!!” timpal Vita heran, sekaligus tampak iri atas kemujuran sahabatnya itu.
“Kuncinya adalah keberanian!” cetus Nera bangga.
“Terus hubungannya sama Dikta apa?” desak Nike tampak penasaran sekali.
Nera berpikir sesaat, seolah juga membayangkan kembali apa yang dia lihat dan rasakan ketika di kantin tadi.
“Waktu si murid baru itu muncul di kantin, tiba-tiba saja... Ricky diam terpaku menatap anak itu...! Memandangi hampir tanpa berkedip dan cukup lama...! Dan wajah dia saat itu seperti... entahlah... Menurut firasatku, sepertinya Ricky itu nggak asing sama Dikta...!” cerita Nera dengan nada serius, meski juga terdengar masih ragu.
“Maksudmu, Ricky kenal sama Dikta?” kulik Nike.
“Aku nggak bisa memastikan. Cuma anehnya lagi, sehabis memandangi Dikta, Ricky langsung permisi pergi. Makanannya aja belum habis, dia langsung pamit! Aneh lah pokoknya!” urai Nera membeberkan kejadian itu.
“Hmm... Kalau dihubungkan sama cerita Nike tadi, yang katanya si Dikta dulu udah pernah tinggal di kota ini, mungkin saja si Ricky memang pernah kenal sama dia!” gumam Vita menganalisa.
“Tapi kenapa Ricky pilih pergi? Seolah ingin menghindar?” sela Nera.
“Kemungkinannya, kalau memang Ricky pernah kenal sama Dikta, bisa jadi hubungan mereka dulu nggak baik. Mungkin musuhan, pernah berkelahi, atau gimana... Yah, minimal kan udah ada bukti kalau si Ricky itu nggak segan-segan berkelahi!” sahut Siska, ikut mengemukakan analisanya.
“Masa sih, Ricky sama Dikta berkelahi?!!” gumam Nike dengan tampang kecut, seolah ada yang patah di dalam hatinya.
“Aku jagoin Ricky deh!!!” seru Siska cablak.
“Siska, jangan gitu dong!!!” Nike langsung ngambeg.
“Eeehhh...! Kenapa kita jadi rempong gini sih??? Nyadar nggak, kita baru saja ngomong negatif soal cowok favorit kita?!! Ingat dan cetak tebal: COWOK FAVORIT KITA!” Nera langsung berapi-api mengangkat kritik!
“Iya, Fujoshi itu bukan alasan buat jadi rempong! Setuju sama Nera!” cetus Vita mendukung Nera.
“Rempong buat orang yang kita benci itu sah, tapi jangan rempong sama idola kita sendiri dong!” sungut Nera menimpali.
“Bagian mana yang rempong?!” delik Siska tak mau disalahkan.
“Barusan kamu menuduh kalau Ricky pernah berkelahi sama Dikta! Malah pakai jago-jagoan segala! Catat ya, Ricky itu berkelahi karena seniornya belagu! Semua orang udah muak sama si Faris itu! Kalau Dikta, dia itu dari mukanya aja udah kelihatan kalau anaknya kalem dan nggak suka macam-macam, jadi nggak mungkin dia bikin gara-gara sampai harus berantem sama Ricky!” sanggah Vita berapi-api.
“Ahhh... Itu kan baru teorimu saja, dan itu karena kamu suka keduanya. Iya, kan?” balik Siska santai.
“Jujur aja ya, aku masih tetap lebih suka si Ricky! Tapi aku nggak berharap masa lalu Ricky dengan Dikta seperti yang kamu bilang itu! Biarpun bisa berkelahi, aku yakin Ricky nggak sebandel itu!” kilah Vita membela diri.
“Yup! Waktu aku makan sama dia tadi, kerasa kok kalau Ricky itu anak baik, biarpun cuek! Nggak mungkin lah dia itu asal berkelahi!” Nera merapat di kubu Vita.
“Dan itu tadi juga cuma teorimu, Sis! Karena kamu nggak suka sama Dikta terus kamu bashing dia pakai bawa-bawa Ricky!” Nike ikut membela Vita, meng-counter pernyataan Siska.
“Aku bukannya nggak suka sama teman sekelasmu yang bule itu, Nike...! Aku cuma nggak tertarik aja! Ngapain aku bashing dia?! Aku bukan Fujoshi alay!” kelit Siska enteng meski dikeroyok ketiga temannya.
“Ya udah, kalau gitu jangan pakai jagoin Ricky segala buat lawan Dikta! Ngomporin itu namanya! Dua-duanya tuh cakep!” debat Nike sengit.
“Udah, udah!!! Lama-lama jadi kebiasaan nih, kalau kita kumpul ujung-ujungnya kusut kayak gini! Nyesel aku cerita soal Ricky!” keluh Nera kesal.
“Oke, oke, stop berdebat! Udah, aku anggap Siska yang menang. Sekarang peace deh!” desah Vita yang juga sudah merasa capek.
“Oke, aku terima kekalahan kalian!” ucap Siska dengan senyum yang sengaja dibikin angkuh. “Sekarang ganti topik! Aku juga punya berita buat kalian!”
Nera, Vita, dan Nike menyimak Siska dengan wajah acuh tak acuh. Telanjur jengah!
“Tadi aku ketemu sama si Jejen, teman sekelasku waktu SMP. Dia sekarang jadi Ketua Kelas X-A. Menariknya, hari ini kelasnya membahas soal desain kaos olah raga...!” cerita Siska penuh semangat.
“Kaos olah raga? Apa menariknya?” sela Vita cuek.
“Menariknya adalah, aku berhasil mempengaruhi si Jejen untuk memilih desain kaos buat kelasnya itu!” cetus Siska penuh keyakinan.
“Hah? Aku nggak menemukan sisi menariknya tuh?!” cibir Nera.
“Yakin nggak tertarik???” sentil Siska sambil melirik satu persatu ketiga temannya dengan senyum nakal. “Yakin, nggak tertarik melihat si Ricky pakai kaos tanpa lengan???”
Ketiga teman Siska itu langsung terbelalak, bak diguyur air selagi tidur!
“Ya Tuhan!!! Ini soal bulu ketek lagi???” seru Nera terperanjat.
“Hahahahaha...!!!” Siska tertawa terbahak-bahak!
“Ahhh! Aneh ah! Aku nggak mau ikut-ikut!” Vita langsung bergidik.
“Aku juga!” Nike ikut Vita.
“Udahan, udahan!” Nera yang lebih dulu bangkit berdiri.
“Eh, kenapa sih? Natural kaleee...?!” seloroh Siska keheranan saat tak satupun teman ada di pihaknya.
“Natural sih natural, tapi aneh buat dibahas!” sungut Nike, ikut berdiri.
Vita akhirnya juga berdiri dari duduknya. “Bye, bye, Miss Bulket...!” cibirnya centil.
“Ahhh...! Nggak asyik ah kalian!” sungut Siska yang ditinggalkan teman-temannya.
Siska masih duduk di tempatnya, kini sendirian di kebun belakang laboratorium itu. Wajah dongkolnya tak bisa disembunyikan. Tapi sesaat kemudian senyumnya sudah kembali melebar menghiasi wajah cantiknya yang tomboy. Sambil menggegat bibirnya dengan centil, dia mengeluarkan handphone-nya...
“Jen, gmn soal kaos olah raga? Udh fix blm?” ketik Siska sambil tersenyum-senyum sendiri. Lalu ia mengirim pesan itu ke nomor Zain.
Pesan terkirim. Lalu tak lama kemudian balasan dari Zain diterimanya. Siska membukanya dengan penuh semangat!
Dibacanya...
“U td bilang kelas u jg mau pakai yg tnp lngan kan? Kelas q akhrnya pilih polo-shirt yg pkai lngan aja, biar gk sama dgn kelas u. Jd bnr2 tampil beda! Thnx buat saran2nya... Muachh!”
Senyum di bibir Siska mengendur seketika. Ceria di wajahnya padam.
Lalu...
“Jejen diampoeeettt!!!”
Nomor Jejen pun dihapusnya!
:ar!
Ricky duduk di bangkunya. Pikirannya tak tentu arah. Dia memang sempat agak terkejut hari ini, karena Robi yang kemarin duduk semeja dengannya kini memutuskan pindah tempat duduk. Temannya yang bertubuh kecil itu sekarang duduk di deret meja belakang. Kini Ricky duduk sendirian di tempatnya yang berada di deret nomor tiga dari depan, tepat di pinggir jendela. Jumlah anggota kelasnya memang ganjil, dan dialah yang menjadi penghuni angka ganjil itu di tempat duduknya.
Tapi, kenapa Robi memutuskan pindah tempat duduk bahkan lebih rela duduk di tempat belakang? Ada apa? Apakah ada hubungannya dengan ucapan Ricky kemarin sebelum mereka pulang? Itu memang sedikit menjadi masalah baginya.
Tapi sebenarnya bukan itu yang paling menyita pikiran Ricky saat ini!
Ada hal yang lain. Ya, tentang murid baru yang baru masuk hari ini. Cowok blasteran yang tadi muncul di kantin dan begitu membuat Ricky tercengang!
Ricky tak menggubris lagi ceramah senior yang sedang membahas materi OSIS di kelasnya. Pikirannya mulai menembus lorong-lorong ingatan di kepalanya!
Menuju ke masa lalu...
...
Di sebuah sekolah dasar, siang itu seorang murid kelas empat baru saja keluar dari toilet. Dia melangkah santai untuk kembali ke kelasnya. Tapi ketika melewati tempat parkir sepeda, anak itu terhenti. Dia mengamati sepeda sport berwarna hijau yang diparkir paling pinggir. Sepeda yang tampak mahal. Tapi ada yang aneh dengan sepeda itu...
Anak itu berpikir sejenak. Masih segar di ingatannya, bahwa beberapa hari sebelumnya ada yang menghebohkan di sekolahnya. Beberapa sepeda milik para murid digembosi ban-nya. Entah siapa pelakunya, tidak berhasil diketahui. Pastinya itu ulah murid yang jahil!
Dan sepeda sport warna hijau itu, tampaknya mengalami hal yang sama!
Anak itu sadar bahwa ban sepeda yang bagus itu tampak kempis. Tapi meski sudah tahu, sepertinya anak itu tetap merasa penasaran. Maka didekatinya sepeda warna hijau itu, lalu dia menekan bagian ban dengan jarinya...
Ya, ban sepeda itu memang kempis.
“Hei! Adrian, kamu ngapain?” tiba-tiba ada suara kecil yang lantang menghardiknya.
Anak tadi terkejut dan segera menarik tangannya dari ban sepeda. Dilihatnya tiga orang temannya telah berdiri tak jauh darinya.
“Ohhh! Jadi kamu yang gembosin sepeda?” gertak salah satu temannya.
“Bukan aku!” kelit anak bernama Adrian itu gugup.
“Nggak usah bohong! Kamu sudah ketahuan, aku lihat sendiri!” hardik salah satu teman Adrian memojokkan.
“Aku juga lihat!” temannya yang lain menimpali. “Kita laporkan saja ke Bu Guru!”
“Iya, ayo kita laporkan saja!”
“Tapi aku cuma megang, aku nggak...” Adrian makin gugup membela dirinya.
Tapi...
“Ketahuan! Ketahuan! Ketahuan!” ketiga temannya berlalu sambil mengolok berirama, tak menggubris sama sekali ucapannya.
Adrian berdiri lesu, diam terpaku menatap teman-temannya yang telah menuduhnya. Bahkan teman-temannya itu akan melaporkannya ke guru! Dalam hati Adrian ketakutan, gentar, ingin berontak tapi dia bingung bagaimana membela dirinya? Teman-temannya itu tak mau percaya padanya...!
Akhirnya yang ia takutkan menjadi kenyataan. Menjelang pulang sekolah, Wali Kelas memanggilnya bersama teman-temannya. Mereka disuruh menghadap di ruang guru. Bu Lastri, Wali Kelas mereka yang berwajah galak telah menunggu mereka dengan raut wajah yang dingin.
“Duduk!” suruh Bu Lastri pelan, tapi cukup membuat bergidik anak-anak itu.
Ada lima anak yang menghadap di ruangan itu. Adrian, ketiga teman yang melaporkannya, dan anak yang sepedanya kena masalah. Lima murid kelas empat SD itu tertunduk segan di hadapan Bu Lastri.
“Adrian, Ibu mendapat laporan dari ketiga temanmu ini. Mereka bilang kamu menggemboskan sepeda milik temanmu. Betul begitu?” Bu Lastri langsung menginterogasi Adrian dengan nada datar dan dingin.
Adrian tertunduk takut. Dia tahu bagaimana harus menjawab, tapi lidahnya seperti sulit bergerak di hadapan Wali Kelasnya yang dingin itu.
“Ibu sudah memeriksa sepeda milik Dikta, dan memang benar ban-nya kempis. Benar begitu, Dikta?” ujar Bu Lastri, gantian melemparkan pandangannya ke Dikta.
Dikta, anak bertubuh kurus dan berkulit putih itu hanya mengangguk. Dia melirik Adrian dengan kesal, karena merasa Adrian telah berbuat jahil dengan cara menggembosi sepedanya.
“Ada tiga temanmu yang melihat, Adrian! Apa kamu masih tidak mau mengaku?” dengan pelan Bu Lastri mulai memojokkan Adrian.
“Bukan saya, Bu...” jawab Adrian lirih.
“Lalu siapa? Bimo, Galang dan Agus melihat kamu sedang menggembosi sepeda Dikta!” tekan Bu Lastri. Lalu guru berkaca mata itu menegaskan ulang kepada ketiga murid yang melapor padanya. “Benar begitu?”
“Iya, Bu, kami melihat Adrian waktu kami mau ke toilet. Dia sedang menggembosi sepeda milik Dikta...” jawab Galang menandaskan laporannya.
Bu Lastri segera menatap kembali ke Adrian, lebih tajam. “Bagaimana, Adrian? Ibu harus percaya sama tiga orang, atau satu orang?” tekannya dingin.
Adrian menatap keempat temannya. Lalu menatap Bu Lastri. Merasa terpojok, tapi...
“Bukan saya pelakunya!” Adrian tetap tidak mau mengakui dirinya bersalah.
Bu Lastri menghela nafas tanpa mengalihkan pandangannya terhadap Adrian. Lalu guru itu mengangguk-angguk sambil tersenyum pedas.
“Ibu juga akan usut lebih jauh, apa kamu juga yang menggembosi sepeda-sepeda lainnya beberapa waktu kemarin. Tapi karena kamu tidak mau mengaku, Ibu akan bicara dengan orang tuamu saja!” ucap Bu Lastri tajam.
Adrian terkesiap. Dadanya gemetar dan tubuhnya makin lemas.
“Jangan, Bu...!” Adrian memohon. “Jangan bilang ke ayah sama ibu...”
“Bagaimana lagi? Ini masalah serius, Adrian! Kenakalan seperti ini sudah meresahkan! Ada saksi dan bukti bahwa kamu yang melakukan, tapi kalau kamu tetap tidak mau mengaku maka jalan satu-satunya Ibu harus bicara dengan orang tuamu!” tegas Bu Lastri, berusaha tetap tak terdengar membentak meski dia sudah sulit untuk bersabar.
Adrian tertunduk.
“Iya, Bu... Saya yang melakukan...” pengakuan itu akhirnya terucap lirih di mulut Adrian.
Bu Lastri setengah terbelalak. Menatap muridnya itu agak lama. Suasana di ruang itu hening. Keempat teman Adrian juga tak berani bersuara.
“Jadi benar kamu yang melakukan?” ulang Bu Lastri.
“Iya, Bu...” ucap Adrian tak berani mengangkat wajahnya.
“Berarti yang selama ini menggembosi banyak sepeda, itu juga kamu?”
Adrian mengangguk lesu.
Bu Lastri menghela nafas lagi, kali ini lebih panjang.
“Baiklah. Ibu menghargai kejujuranmu. Ibu tak akan menghukummu karena kamu sudah mau mengaku. Tapi cukup kali ini saja. Kalau kamu masih mengulangi perbuatanmu, Ibu akan menghukummu dan juga akan bicara dengan orang tuamu. Mengerti?” ujar Bu Lastri lebih halus. Meski tetap terasa tegas.
Adrian kembali hanya mengangguk.
“Sekarang kamu harus minta maaf ke Dikta!” suruh Bu Lastri.
Adrian ragu. Dia mengangkat wajanya, menatap ke Dikta dengan segan.
“Ayo, minta maaf!” desak Bu Lastri.
Adrian perlahan mengulurkan tangannya ke Dikta.
“Aku minta maaf...” ucap Adrian pelan.
Dikta menerima uluran tangan Adrian dengan enggan. Dia menjabatnya tanpa berucap apa-apa.
Bu Lastri akhirnya tersenyum lega.
“Ibu senang masalah selesai dengan baik-baik. Sudah, kalian semua boleh pulang!” ujar Bu Lastri lebih sejuk.
Kelima murid itu berdiri dari duduknya. Beranjak dari ruangan Bu Lastri.
“Dikta,” Bu Lastri memanggil salah satu muridnya lagi sebelum pulang. “Ban sepedamu bagaimana?”
“Sudah dipompa, Bu. Pak penjaga sekolah yang meminjami pompa...” jawab Dikta.
Bu Lastri tersenyum lepas. Kelima muridnya berlalu dari hadapannya.
Adrian, dengan pengakuannya tadi, kini merasa setidaknya beban hatinya menjadi lebih lega. Karena dia tidak akan bermasalah dengan orang tuanya. Meskipun, tetap saja ada pemberontakan tersendiri di dalam hatinya...
“Ah, setidaknya masalah sudah selesai!” begitu ucapnya dalam hati.
Tapi rupanya yang terjadi tidak sebaik harapannya!
Saat dia melangkah sendirian keluar dari gerbang sekolahnya, tiba-tiba teman-temannya menghampiri! Ada Bimo, Galang, Agus, dan beberapa temannya lagi yang mengerubunginya!
“Nggembos’ke ban! Nggembos’ke ban! Nggembos’ke ban!”
Teman-temannya itu bergerak mengelilinginya sambil mengolok-olok berirama! Riuh diiringi tawa yang mengejek!
Adrian terperanjat. Tapi dia hanya bisa diam tak bergeming, saat teman-temannya menari sambil mengolok-oloknya. Adrian cuma tertunduk. Tak membalas apapun terhadap ejekan teman-temannya. Dan teman-temannya tertawa makin riuh!
Di tempat yang tak jauh, Dikta melihat teman-temannya mengolok-olok Adrian. Dikta berdiri terpaku bersama sepedanya, ada kebingungan yang sulit diurainya saat melihat pemandangan itu. Bola matanya yang kecoklatan, perlahan tergerakkan oleh sesuatu...
Rasa kasihan.
“Hei, jangan diolok-olok! Dia sudah minta maaf!” tegur Dikta kepada teman-temannya.
“Biarpun sudah minta maaf, tetap saja dia anak jahat!” balas salah satu anak yang tak berhenti mengolok-olok.
“Sudah! Kasihan dia!” hardik Dikta lagi, meski dia tak berusaha melerai.
“Hei!!! Ada apa ini?!!” tiba-tiba Bu Lastri muncul, baru keluar dari dalam sekolahan.
Anak-anak yang mengolok-olok Adrian itu segera bubar dengan sendirinya begitu tahu Wali Kelas mereka muncul. Mereka meninggalkan Adrian yang masih berdiri tertunduk di tempatnya.
Bu Lastri terhenyak melihat Adrian. Hanya terpaku. Begitu juga Dikta.
Perlahan Adrian meneruskan langkahnya. Dia tak menoleh kemana pun. Dia hanya tertunduk sedih, berjalan sendirian meninggalkan Dikta dan Bu Lastri yang masih terpana.
“Adrian, kamu tidak apa-apa?” akhirnya baru terlontar pertanyaan dari mulut Bu Lastri.
Adrian cuma menggeleng tanpa menoleh.
Anak itu meneruskan langkah kaki kecilnya.
Membawa pulang kesedihannya...
...
“Ricky, kamu melamun?” tiba-tiba ada suara memecah.
Ricky terkejap. Dia sadar dari lamunannya. Dilihatnya wajah Kak Ferdi, seniornya, menyambangi di depan mukanya.
“Melamun atau mengantuk?” canda Kak Ferdi.
“Emhh...” Ricky tersenyum kikuk.
“Tampangmu agak bengap? Mau cuci muka dulu? ” lontar Kak Ferdi jenaka.
“Nggak usah, Kak...” jawab Ricky agak malu.
“Oke! Kita teruskan!” timpal Kak Ferdi sambil kembali menuju ke depan berhadapan dengan murid-murid kelas X-A yang dibimbingnya. “Besok hari Jumat adalah MOS hari terakhir, tapi penutupan resminya dilaksanakan hari Sabtu! Sudah menjadi tradisi di sekolah ini, akan ada pentas kecil-kecilan. Kalian bisa berpartisipasi, menampilkan bakat seni kalian di pentas nanti...”
Bla, bla, bla... Kata-kata murid senior itu menguap dengan cepat di pendengaran Ricky. Sisa-sisa lamunan di kepala Ricky masih tersisa. Ya, tak sekedar lamunan. Tapi untaian kenangan...
Ricky menatap namanya yang tertulis di sampul bukunya. Dia pun tersenyum semu mengeja namanya sendiri dalam hati...
“Adrian Ricky Satria...”
~O)