It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Monggo
Evan termenung di kursi taman kota yang riuh oleh anak-anak yang bermain. Perbincangan dengan ayahnya semalam membuatnya makin tidak tenang. Hatinya dilanda oleh rasa takut. Takut akan adanya kutukan pada dirinya. Bahkan ketakutan itu terus membayanginya hingga ia tidak dapat tidur.
‘apakah mungkin hal itu terjadi? Apa benar aku telah terkutuk? Tidak, tidak mungkin. Itu hanya kisah konyol. Aku tidak bisa begitu saja mempercayai hal itu. Tapi..’
Evan meremas rambutnya dengan kedua tangannya hingga rambutnya yang sebelumnya tampak rapi kini berantakan.
‘tapi kenapa..? kenapa aku selalu memikirkan dia? Apa ini hal yang wajar? Aku tidak bisa begini.. aku laki-laki..!!’
Sebuah tepukan halus mendarat di bahu evan, dan seketika evan kembali ke dunia nyata. Wajahnya menoleh ke arah pemilik tangan yang menurutnya tidak sopan itu.
“tuan sedang apa disini?”
“fi..fillan?”
Evan sempat tercengang sesaat melihat orang itu adalah orang yang saat ini sedang ia pikirkan.
“boleh saya duduk?”tanyanya yang membuat evan mengangguk canggung.
“tentu..”
“tuan sedang apa disini?”tanya fillan lagi saat ia duduk di samping evan.
“tidak ada apa-apa.. aku hanya.. hanya mencari udara segar.”kilah evan sambil membuang pandangannya kearah lain. Entah kenapa dia enggan menatap wajah fillan.
“ooh..” jawab fillan singkat, dan mereka pun kembali terperangkap dalam kebisuan untuk sesaat.
Tidak nyaman dengan keadaan yang canggung itu, evan pun menemukan pertanyaan yang pas untuk memulai pembicaraan.
“kau sendiri.. apa yang kau lakukan disini?”
Fillan sontak menoleh pada evan,”ya? Oh.. sekarang aku bekerja disini untuk membersihkan taman.”
“ooh..” evan mengangguk pelan.
Dia sedikit salut dengan fillan yang dapat segera mendapat pekerjaan di kota yang ramai ini. Dilain sisi juga ada sedikit kelegaan di hatinya.
Sayangnya percakapan lagi-lagi berhenti. Evan tidak bisa menemukan bahan yang pas untuk diperbincangkan, sehingga mereka berdua saling terdiam selama beberapa lama.
Tiba-tiba fillan mengangkat wajahnya seperti teringat akan sesuatu. Dirogohnya tas pinggang lusuh yang terus ia bawa selama ini, lalu ia keluarkan suatu bungkusan kain dari dalam tasnya.
Ia buka kain itu dan tampak sebuah apel yang mengkilat segar. Ia sodorkan apel itu pada evan yang menoleh dengan heran.
“apa ini?” tanya evan heran.
“apel.”jawab fillan singkat.
“Tentu aku tahu ini apel, maksudku untuk apa kau memberiku ini?” sahut evan sedikit kesal.
Fillan tersenyum sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. “erm.. tidak ada apa-apa sebenarnya. Aku lihat tuan disitu tidak melakukan apapun, mungkin lebih baik jika tuan mengunyah sesuatu. Setidaknya ini yang bisa aku berikan sebagai rasa terimakasihku untuk kebaikan tuan kemarin..”
Evan terhenyak sambil menatap fillan.
Fillan yang melihat reaksi evan yang diam saja hanya tersenyum canggung dan lagi-lagi menggaruk-garuk kepalanya. “yah.. aku tahu, ini mungkin tidak sebanding dengan uang yang tuan keluarkan untukku kemarin. Anggap saja aku mengangsur hutangku..”
Belum selesai fillan bicara, evan sudah merebut apel itu dari tangan fillan sekaligus kainnya. “ini tidak beracun bukan?” tanyanya ketus sambil mengelap apel itu dengan kain.
“Tentu saja tidak tuan! Itu saya beli tadi pagi di pasar.. “jawab fillan gugup.
Evan menyodorkan apel itu ke wajah fillan. Sontak fillan menatap apel itu dan evan secara bergantian dan dengan pandangan heran.
“kau coba dulu.” perintah evan dengan nada datar.
Akhirnya dengan ragu fillan meraih apel itu lalu menggigitnya. Untuk beberapa lama evan mengamati fillan yang mengunyah apelnya, lalu mengambil apel itu dari tangan fillan.
“baguslah kalau tidak beracun. Kenapa tidak kau berikan sejak tadi? Tenggorokanku kering.” Ujar evan santai sambil menggigit apel di tangannya, sementara fillan melongo melihat sikap evan.
Sejurus kemudian fillan tertawa kecil. Evan melirik ke arahnya. “kenapa? ada yang lucu?”
Fillan masih tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “tidak tuan, aku hanya merasa tuan adalah orang yang unik. Anda yang berkuasa di kota ini bisa makan dan duduk bersama seorang miskin seperti aku. Tidakkah itu kejadian yang langka saat ini?”
Evan memperlambat kunyahannya saat mendengar kata-kata fillan. “jangan terlalu berharap..” ujarnya datar lalu mengigit apelnya.
“lalu kenapa tuan bisa begitu baik padaku?”
Pertanyaan fillan sempat membuat evan hampir tersedak, beruntung saja dia bisa menyembunyikan rekasinya tersebut.
“menurutku biasa saja. Semua orang juga melakukan hal yang sama bukan?”
Mendengar kilahan evan, fillan terdiam lalu menerawang jauh ke langit.
“tidak tuan. Tidak semua orang bisa begitu baik, tuan.”
evan menoleh saat mendengar nada suara dan ekspresi fillan yang berubah.
“selama 19 tahun aku hidup bersama ibuku, dan selama itu kami hidup bagai orang buangan. Kami yahudi. Orang-orang di negeri ini tidak menyukai bangsa kami, entah mengapa. Sebaik apapun sikap kami, sekeras apapun usaha kami, mereka tidak pernah menganggap kami sebagai manusia yang sejajar. Seperti saat itu, Tuan Jacob selalu memarahiku dan menganggap apapun yang kulakukan selalu salah sebagai alasan untuk memotong habis uang gajiku. Begitu juga nasib ibuku yang bekerja sebagai buruh pabrik, gajinya lebih rendah dibandingkan pekerja yang lain..” fillan menghentikan kalimatnya sejenak untuk mengambil nafas dalam. Lalu tertawa kecil.
“aduh.. seharusnya aku tidak perlu menceritakan kehidupanku yang tidak penting seperti ini..”
Evan masih termenung menatapnya lalu kembali mengalihkan pandangannya dan menggigit apelnya seakan tidak terpengaruh dengan kisah sedih fillan.
“ya.. memang tidak perlu. Aku bukan tipe orang yang mudah bersimpati.”
Fillan tersenyum kecil,”lalu, kenapa tuang menolongku kemarin? Bukankah tuan bukan orang yang simpatik?”
“aku hanya tidak suka melihat orang yang berlaku sok berkuasa, padahal dia tahu ada orang statusnya lebih tinggi darinya, yaitu aku dan ayahku!” kilah evan.
Fillan tertawa kecil lalu menatap evan dalam-dalam dengan mata kelabunya. Evan yang merasa tidak nyaman dengan tatapan itu menjadi canggung.
“kenapa? kenapa kau menatapku seperti itu?”
“tidak tuan, aku hanya kagum dengan anda. Dari luar anda mungkin tampak seperti orang yang dingin dan ketus, namun saya tahu jika anda sebenarnya baik. Mungkin.. kita bisa bersahabat, tuan..” ujar fillan dengan senyum ragu.
Jantung evan tersentak sesaat, namun dia tetap berusaha menampakkan perasaan kagetnya pada raut wajahnya. “bersahabat? Jangan terlalu berharap..”
Fillan tersenyum getir mendengar jawaban evan. Ia pun mengalihkan pandangannya lalu berdiri dari kursi. “hmm.. haha.. iya.. maaf tuan, anda benar, mungkin aku terlalu berharap. Maaf aku harus kembali bekerja tuan.” Ujarnya sambil beranjak dari tempat itu.
“tunggu!” cegah evan saat fillan sudah melangkah beberapa meter dari tempat itu.
Fillan pun menoleh pada evan.
“mungkin berteman saja sudah cukup.” Ujar evan datar sambil membuang apel yang sudah hampir habis ia makan.
Mendengar itu fillan termenung sesaat lalu segera tersenyum lebar. “iya.. terimakasih tuan! Senang bisa berteman dengan anda..!”
“ya..ya.. sekarang pergilah bekerja, sebelum tuanmu yang baru mempunyai alasan untuk memecatmu.”
“iya.. selamat siang tuan.”
Fillan pun meninggalkan tempat itu dan menghilang dari pandangan evan yang terus memperhatikannya sejak fillan berbalik.
Dalam kebisuannya, evan hanya tersenyum getir.
‘aku bukan orang yang baik fillan. Entah kenapa aku bisa begitu ‘membedakan’mu dengan yang lain. Mungkinkah aku..?’
Evan termenung dan mencoba menimbang argumen hatinya tersebut lalu dengan cepat ia geleng-gelengkan kepalanya.
‘tidak..! mungkin ini hanya sebatas kecocokan sebagai teman. Ya teman.. atau mungkin sahabat.. ya.. apalah itu.. ini bukanlah hal yang berlebihan bukan?’
Evan pun berdiri dari kursi itu, untuk sesaat ia memandangi apel yang ia makan tadi. Lalu ia beranjak dari tempat itu.
‘ya.. sekedar teman.’ Ucapnya dalam hati. Sementara sebuah suara dari masa lalu menggaung redup dari dalam gelapnya dasar hati evan.
‘Jika setitik cinta mulai tumbuh, injak rasa itu keras-keras. Karena jika kau terlena, dan rasa suka tumbuh subur menjadi rasa cinta, kau tidak akan bisa lepas dari itu.’
***
Setelah pertemuan itu, evan dan fillan kian sering bertemu dan bercengkrama. Taman kota dan kedai minum menjadi tempat favorit mereka. Sedikit demi sedikit evan mulai mencairkan sifat dinginnya dan mulai terbuka pada fillan. Begitu juga fillan yang kini sudah mulai terbiasa memanggil evan dengan nama belakangnya, tanpa tambahan ‘tuan’ lagi. Evan tidak mempermasalahkan hal itu, justru dia sendiri yang menyuruh fillan untuk berhenti memanggilnya dengan sebutan ‘tuan’ lagi.
“haha.. baiklah evan, aku harus bekerja dulu. sampai jumpa esok hari..”pamit fillan sambil beranjak dari kedai minuman.
“baiklah. Sampai jumpa.”sahut evan yang kemudian menenggak minumannya.
Rasanya beban evan hilang tiap bertemu dengan fillan. Dia orang yang enak untuk diajak berbicara dan berdiskusi. Evan pun sering mengutarakan ketertarikannya pada dunia sastra dan mengajari fillan banyak hal yang selalu didengar dengan setia oleh fillan. Fillan pun tampak selalu senang ketika bertemu dengan evan, seakan ia juga ikut merasakan kebahagiaan yang evan rasakan dalam setiap ceritanya.
Tak jarang pula evan membantu keuangan fillan, membiayai perbaikan rumahnya dan membelikan tanah untuk fillan garap menjadi ladang. Hal ini membuat fillan semakin memuja evan. Dia tidak henti-hentinya berterimakasih. Sementara evan, hanya tersenyum kecil melihat orang yang ia anggap sahabat itu bahagia.
Sahabat barunya itu membuat evan melupakan semuanya.
“berapa semuanya?” tanya evan pada pemilik kedai.
Setelah ia melakukan pembayaran, ia pun berjalan meninggalkan kedai itu, namun matanya melebar saat melihat milady di depan pintu keretanya dengan raut yang kurang menyenangkan.
Evan pun dengan canggung mendekatinya dan menyapanya.
“hai sayang... bagaimana kabarmu?”
Mendengar ucapan evan yang tanpa berdosa, mata miladi memerah. “kabarku? Kau bertanya kabarku? Aku mati! Kau tahu?!” ucapnya lantang.
Evan terkejut dengan reaksi milady. Dilihatnya orang-orang menatap mereka dengan tatapan heran. Evan pun menarik tubuh milady ke dalam kereta. Tampak milady berusaha melepaskan genggaman tangan evan dan duduk dengan kesal di dalam kereta.
“ada apa milady? Kenapa kau bersikap seperti itu di depan orang-orang?” tanya evan dengan nada setengah memelas.
“ada apa? Oh evan.. bagaimana bisa kau begitu lugu? Kemana saja kau selama ini? Kau tidak pernah menghampiriku? Bahkan tidak untuk mengirim surat.. bahkan untuk sekedar menyampaikan salam melalui pelayan-pelayanmu.. apa kau lupa padaku? Apa kau marah padaku?” mata milady mulai berair dan bibirnya bergetar.
Evan menjadi bingung, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akui untuk beberapa waktu ini dia ‘sedikit’ melupakan kekasihnya itu dan justru asik bersenang-senang dengan sahabat barunya. Kini milady menangis di depannya dan evan merasa begitu bersalah.
“maafkan aku milady.. aku tidak bermaksud melupakanmu, apalagi marah padamu. Aku hanya terlalu sibuk hingga tidak sempat menemuimu.. “
Milady segera memotong kata-kata evan, “sibuk? Apa yang kau lakukan? Apa pekerjaanmu? Kau bahkan tidak bekerja! Kau hanya sibuk dengan buku-bukumu! Dan.. dan.. kau bahkan tidak pantas berkata sibuk setelah aku melihatmu keluar dari kedai minuman kesukaanmu! Kau.. kau begitu...” milady tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, suaranya seolah sudah terhenti dan berganti dengan air yang mengalir deras dari matanya. Sambil menangis ia keluar dari kereta evan sebelum evan sempat mencegahnya.
“milady!!” panggil evan sambil melompat turun dari kereta.
Namun milady tidak menghiraukannya dan berjalan dengan tergesa dan menghilang di kerumunan kota.
Evan terpaku di sana. Menatap kosong pada arah dimana milady menghilang.
***
Esoknya, evan termenung di ruang baca. Matanya menghitam karena kurang tidur. Kepergian milady membuatnya tersiksa. Dia benar-benar tidak menyangka jika hal ini akan terjadi. Dia sama sekali lupa padanya. Setiap hari yang ia pikirkan bukan lagi milady, bukan lagi buku-buku sastranya, bukan lagi kehidupannya, tapi fillan, fillan dan fillan. Bayangan wajah fillan selalu terpatri di benaknya dan membuat dadanya sesak jika mengingatnya. Seperti ingin terus bersama atau setidaknya melihat wajahnya sekali lagi.
Perasaan apa ini? Apakah ini perasaan sebagai sahabat? Namun kenapa rasa rindu ini terasa begitu hebatnya, hingga mampu mengalahkan segalanya? Lalu bagaimana dengan milady? Apa yang harus kulakukan?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berputar-putar dalam kepala evan.
Bagai tidak puas kegelisahan menghajar evan, sebuah suara keras terdengar dari arah belakang evan. Suara bantingan pintu.
Evan pun berdiri dan berbalik. Begitu ia berbalik, belum sempat ia melihat siapa orang yang membanting pintu, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya hingga ia terhuyung dan berpegangan pada lengan kursi.
Sambil menahan perih, ia coba dongakkan kepalanya dan melihat ayahnya yang memandangnya dengan nafas mendengus.
“apa yang kau pikirkan evan?!” bentak ayahnya.
“apa maksud ayah? Kenapa tiba-tiba memukulku seperti ini?!”
“kenapa? harusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa yang sudah kau perbuat pada milady? Sampai ia menangis sepanjang hari! Ayah merasa sangat malu saat ayah milady menemui ayah. Bagaimana bisa kau mencampakkannya?!”
Jantung evan berdegub keras, bahkan ayahnya kini ikut menyudutkannya.
“aku tidak mencampakkannya ayah! Aku hanya..”
“hanya apa? Hanya bersenang-senang dengan sahabat barumu itu!”
Jantung evan berdegub makin keras, bagaimana ayahnya bisa tahu tentang hal ini?
“apa saja yang kau lakukan dengan lelaki miskin itu?! Bagaimana bisa kau begitu dekat dengannya hingga melupakan kekasihmu sendiri!”
Evan entah mengapa tidak bisa menjawab, karena pertanyaan itulah yang selama ini menghantui dirinya.
“kenapa kau tidak menjawab? Jawab evan!” tanya ayah evan sambil mengguncang bahu evan. Dengan tajam ia memandang mata evan.
“ya Tuhan.. kumohon.. jangan katakan jika kau..”
‘deg’ jantung evan terasa ingin lepas sekarang.
“Apa? Apa maksud ayah?”
“kau mungkin sudah tidak menyukai milady lagi. Mungkin kau telah menyukai gadis lain. Tapi ayah tau semua hal yang kau lakukan. Ayah tau kemana saja kau pergi. Walter yang selama ini menjadi kusir keretamu selalu menceritakan kemana kau pergi dan siapa yang kau temui padaku. Harusnya kau mengunjungi wanita lain, tapi kenapa? yang kau temui selalu satu orang, lelaki itu.. tidak hanya mengobrol, kau juga memberinya uang, bahkan membelikan dia tanah! ada apa diantara kalian berdua?!” selidik ayah evan dengan suara setengah menggeram.
Tangan evan mengepal dan bergetar, matanya bergerak ragu dan menatap mata ayahnya. “ayah jangan berpikiran yang tidak-tidak! Ayah terlalu terpengaruh pada buku-buku konyol ayah! Aku tidak menyukai orang lain selain milady, hanya saja sikap milady akhir-akhir ini membuatku sedikit tidak nyaman. Itulah mengapa aku sering mengobrol dengan fillan dan meminta nasihat darinya karena dialah yang menurutku bisa aku ajak bicara dan bisa menjaga rahasia. Dan tentang uang dan tanah itu, aku merasa perlu memberikannya. Aku sudah sering melalukan amal pada rakyat, lalu apa salahnya jika aku membantu sahabatku sendiri? Hanya itu! Tidak ada hal lain!”
Ayah evan memicingkan matanya ke arah mata evan. Evan mencoba meyakinkan ayahnya bahwa ia tidak berbohong dengan menatap balik mata ayahnya dengan tegas. Hingga akhirnya ayah evan melepaskan cengkraman tangannya pada bahu evan, namun masih memicingkan matanya.
“baiklah, ayah mencoba percaya padamu, dan ayah sangat ingin percaya padamu. Tapi seandainya jika apa yang ayah khawatirkan benar.. “ ayah evan menghentikan kata-katanya sejenak dan jarinya menunjuk dengan tegas ke arah lemari penyimpanan. Evan menelan ludahnya saat melihat belati perak yang mengkilat di dalam lemari itu.
“lebih baik kau bunuh dia sekarang, atau ayah yang membunuh kalian berdua dengan belati itu.”
Suara ayah evan bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuh evan berulang kali.
Evan terdiam dan menatap mata ayahnya. Hingga akhirnya ayah evan memalingkan wajahnya dan pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, tubuh evan terasa lemas. Ia jatuhkan dirinya di kursi berlengan di dekatnya. Kata-kata ayahnya berhasil menusuk hatinya. Namun di lain sisi, kata-kata ayahnya membuatnya menyadari sesuatu.
Mengapa ia selalu terbayang pada wajah fillan, mengapa ia selalu rindu padanya dan selalu ingin didekatnya.. itu semua melebihi perasaan antara sesama sahabat, melainkan cinta.
Ya, evan telah terperangkap pada pesona fillan. Ia tidak sadar jika selama ini ia telah memupuk rasa cinta hingga tubuh subur menjerat hatinya. Evan tahu jika itu tidak mungkin dan itu salah, fillan adalah laki-laki! Sama seperti dirinya. Dia tidak mungkin mencintai sesama laki-laki. Namun kenyataan berkata lain, dia telah terlibat kontrak mematikan dengan fillan.
‘oh Tuhan.. bagaimana aku bisa begitu bodoh... bagaimana aku bisa begitu naif..? selama ini aku tahu jika aku tertarik padanya, dan aku justru membiarkannya dan terus memanjakan perasaanku sendiri. Harusnya aku tahu jika aku ‘terkutuk’. Aku terjebak.. aku menyukainya.. aku mencintai fillan.. dan aku tidak mungkin meninggalkannya apalagi membunuhnya dengan tanganku sendiri. Membayangkannya saja aku tak mampu. Bagaimana mungkin aku kuasa melukainya?? Lalu.. apa yang harus aku lakukan kini??’
Evan menenggelamkan kepalanya pada kedua lengannya, mencoba pasrah dalam kegelapan, hingga sebuah secercah cahaya menyinari benaknya.
‘tunggu.. ini merupakan kutukan hanya bagi orang yang menganggapnya sebagai kutukan. Aku bisa mengubah hal itu!’
Evan pun bangkit dari kursi berlengannya lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Di jalanan kota, tampak evan berjalan dengan tergesa menuju kedai minuman. Kemarin dia sudah berjanji dengan fillan untuk bertemu disana lagi. Kali ini dia memilih untuk berjalan kaki daripada menaiki kereta yang jelas-jelas dikendarai oleh mata-mata ayahnya.
‘ayah tidak boleh tahu. Aku hanya perlu menemui fillan. Aku harus menyatakan perasaanku padanya. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama denganku. Aku hanya perlu mengajaknya ikut pergi bersamaku, meninggalkan negeri ini dan hidup dengan menyamar sebagai saudara kandung. Kami bisa hidup bersama dan bahagia tanpa diketahui oleh orang lain.. ya.. kami bisa bahagia..’ gumam evan dengan riang di dalam hati.
Namun evan terlalu disibukkan dengan pikirannya sendiri hingga menabrak seorang wanita paruh baya.
“oh.. maaf nyonya..”ucap evan pada wanita itu.
“oh ya.. tidak apa-apa nak..” balas wanita itu sambil tersenyum.
Evan melihat sesuatu terjatuh dari keranjang belanja wanita itu, selembar kertas. Evan pun membungkuk dan memungut kertas itu. Seketika mata evan melebar saat melihat sebuah tulisan besar di permukaan kertas itu.
‘Fillan Fardinand and Maria Lorriety’
Tangan evan bergetar saat menyerahkan kertas itu pada wanita itu.
“ohya.. undangannya terjatuh, terimakasih nak..” ucap wanita itu sambil meraih kertas itu dari tangan evan.
“itu.. apa?”tanya evan dengan suara bergetar.
“oh.. ini undangan pernikahan putri bangsawan Lorriety dengan fillan.. tunggu.. anda.. tuan evan bukan? Bukankah anda sahabat fillan? Anda belum mendapat undangannya?”
Evan membisu. Kata-kata wanita itu telah menghancurkan kesadarannya hingga berkeping-keping. Jantungnya remuk, begitu juga seluruh tulang belulangnya seakan ikut remuk hingga membuatnya tak mampu berdiri.
Dengan sekuat tenaga evan berjalan meninggalkan wanita itu yang menoleh padanya dengan tatapan heran.
Langkah evan yang semula tak bertenaga kian lama kian kencang menerobos kerumunan kota.
‘Menikah..??!! fillan.. kenapa? aku kira kau sama denganku. Perbincangan kita selama ini.. ternyata tak lebih dari sekedar omong kosong.’
***
Evan kembali termenung di ruang baca. Kali ini kondisinya sungguh berbeda. Tatapannya kosong bagai tak bernyawa. Ya, kini evan memang sudah tak bernyawa lagi. Nyawanya telah pergi meninggalkan sakit hati yang mendalam di dadanya.
‘kenapa fillan.. teganya kau melakukan hal ini padaku. jadi selama ini,, arti senyumanmu padaku.. tatapan indahmu padaku.. semua hanya harapan palsu.’
Lalu tatapan evan beralih pada belati perak yang bertengger di lemari penyimpanan, dan sebuah kilau di mata belatinya seketika mengubah perasaan evan.
‘begitu rupanya.. betapa bodohnya aku!’ umpat evan dalam hati. Ia pun beranjak dari tempat itu. Dengan kasar dia membuka lemari penyimpanan dan mengambil belati perak yang selama ini mengejek dirinya.
Sementara itu, di kedai minuman, fillan tampak duduk dengan gelisah. Hari sudah beranjak senja, namun evan tidak kunjung datang. Hati fillan merasa tidak tenang. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada evan. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah surat. Untuk beberapa saat ia memandangi surat itu, lalu perhatiannya teralih ketika seorang pengemis menghampirinya.
Fillan pun mengembalikan surat itu kedalam sakunya dan merogoh saku yang lain untuk mengeluarkan recehan.
“tidak perlu, nak.. aku hanya ingin memberikan ini padamu.”ucap pengemis itu pada fillan.
Fillan pun dengan heran menyambut secarik kertas dari tangan pengemis.
“dari siapa ini?” tanya fillan saat melihat surat itu tidak tertulis nama pengirimnya.
“entahlah, tadi ada seorang pemuda dengan pakaian bagus menyuruhku untuk menyampaikan ini padamu, dia juga memberikan banyak uang padaku.”terang pengemis itu.
Mata fillan melebar, entah kenapa dia tahu siapa pengirim surat itu. Ia pun membuka surat itu dengan tergesa dan membaca isinya.
‘temui aku di kursi taman kota tengah malam ini.’
Fillan segera melipat kembali surat itu. Matanya menerawang kosong. Dia tahu jika evan yang mengirim surat itu. Dia mengenal tulisannya. Wajah fillan berubah menjadi getir. Ia pun membayar untuk minuman yang ia pesan dan meninggalkan tempat itu.
***
Lampu-lampu di taman kota bersinar temaram dan lirih. Seakan tak sebanding dengan cahaya purnama yang membasuh wajah fillan saat ini. Dia menghentikan langkah kakinya di sebuah kursi di taman kota. Di kursi itu, tampak seorang lelaki muda dan tampan sedang melamun menatap bulan.
“evan..” panggil fillan lirih.
Lelaki itu menurunkan wajahnya dan menatap fillan dengan tatapan sendu.
Dengan ragu fillan berjalan mendekat, hingga suara evan menghentikan langkahnya.
“batalkan pernikahanmu.”ujar evan datar.
Fillan tercengang. Tangannya gemetar.
“aku..tidak bisa evan..” ujarnya lirih.
“kenapa tidak bisa?!” teriak evan yang kini berdiri dan menatap wajah fillan dengan sorot kemarahan.
“evan.. kenapa kau?”tanya fillan yang kebingungan dengan sikap evan.
“kenapa denganku? Kenapa..? aku menyukaimu fillan!”
Kata-kata evan membuat mata fillan melebar. Tampak keterkejutan hebat terpancar dari matanya.
“ya, aku tahu.. ini tidak wajar.. tapi ini juga bukan salahku.. ini salahmu! Kau yang menggodaku, kau yang memikatku hingga aku hilang akal.. kau menyihirku supaya kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan!”
Fillan menggeleng pelan dan berjalan mendekati evan. “tidak evan.. aku..”
“berhenti! Menjauh dariku!”
Fillan sontak mundur beberapa langkah saat evan menghunuskan belati dari mantelnya. Belati itu tampak berpendar keperakan saat sinar bulan menerpa mata belatinya.
Mata fillan bergerak-gerak memandangi evan.
“kenapa fillan.. kenapa kau bisa begitu tega.. aku telah menyerahkan sebagian hartaku.. tidak. Itu tidak penting bagiku. Tapi.. aku juga telah menyerahkan seluruh hatiku padamu. Bahkan sebagian hatiku pada milady telah aku alihkan kepadamu. Tapi kenapa ini balasanmu? Kau bahkan tidak memberitahuku tentang pernikahanmu. Kau bahkan tidak memberiku kesempatan hanya untuk sekedar berkata, bahwa aku cinta padamu..” mata evan kini mulai basah.
Pandangannya mulai kabur karena air mata ia pun mengusap air mata yang menggenang di matanya dan..
Sebuah pelukan hangat mengalungi tubuhnya. Mata evan melebar. Dilihatnya fillan yang memeluknya erat. Sementara tangan evan bergetar saat suatu cairan hangat mengalir di antara jemarinya.
“kau tahu evan.. inilah yang aku inginkan sejak dulu.. sejak pertama bertemu denganmu..”bisik fillan dengan suara bergetar.
“fi..fillan..”isak evan.
“kau benar evan.. aku sudah mengambil terlalu banyak darimu.. bahkan hatimu.. aku tidak tahu bagaimana aku harus mengembalikan semuanya. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.. mungkin ini yang bisa ku berikan evan..”
Evan mengigil dan air matanya mulai jatuh membasahi bahu fillan ,sementara pelukan fillan kian melemah dan ia melepaskan pelukannya. Tubuhnya roboh ditanah. Sementara evan masih mengigil. Dengan belati yang masih terhunus kedepan, dan darah segar menetes dari mata belatinya.
Fillan sengaja menusukkan belati itu pada dirinya sendiri saat evan lengah, dan evan sendiri tidak bisa menghindari hal itu karena gerakan fillan yang begitu cepat dan tak terduga.
“fillan..”panggil evan lirih. Tangannya gemetar saat melihat darah di tangannya dan dengan gemetar ia membungkukkan badannya. Ia lempar belati itu ke tanah lalu Ia meraih tubuh fillan dan memandangi wajahnya yang mulai memucat. Sementara darah segar terus mengucur di lukanya.
“fillan..!!!” teriaknya. Ia pun mencoba mengangkat tubuh fillan. “kita harus mencari dokter..”ujar evan.
“tidak evan.. jangan.. kau bisa ditangkap nanti..”ujar fillan lirih.
“aku tidak peduli, yang penting kau harus selamat!”
“tidak evan.. kumohon..”
Evan hanya terdiam memandangi fillan, hingga akhirnya ia baringkan lagi tubuh fillan di tanah, dengan kepala fillan ia sandarkan di dadanya.
Fillan memandang wajah evan dengan tatapan sayu lalu tersenyum tipis.
“kenapa kau melakukan ini fillan..? aku tidak bermaksud untuk membunuhmu.. aku hanya menggertak.. aku tidak ingin kau..” evan terus menangis di hadapan fillan.
Fillan masih tersenyum, lalu ia angkat tangannya ke arah wajah evan. Dengan mata penuh air mata, evan masih bisa melihat secarik kertas di sela-sela jari fillan.
“bacalah..”bisik fillan.
Dengan ragu, evan pun mengambil kertas itu dan membacanya.
‘untuk evan.
Maafkan aku karena langsung berlari meninggalkanmu setelah menyerahkan surat ini. Aku tidak sanggup mengatakannya padamu secara langsung evan, dan aku terlalu pengecut untuk menunggumu membaca surat ini, jadi aku lebih baik berlari meninggalkanmu sebelum kau membenciku.
Aku tidak mengerti apa yang kurasakan selama ini, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku selalu terbayang wajahmu. Sejak pertemuan kita saat itu, saat aku menabrakmu, aku langsung merasa jika kau begitu mengesankan. Dan setelah itu, kita semakin sering bertemu, dan perasaan itu semakin kuat, hingga akhirnya aku sadar jika aku menyukaimu. Tidak, aku bahkan mencintaimu evan!
Aku tahu ini adalah hal yang tabu bagimu, namun aku juga tidak bisa menahan perasaanku dan rasa rinduku padamu. Kaulah satu-satunya orang yang baik padaku disaat semua orang memandang rendah aku. Hanya kaulah yang menganggap aku sederajat dengan yang lainnya. Dan kaulah yang membuat hari-hariku kian berarti.
Sebenarnya aku ingin sekali mengutarakan maksudku padamu, namun sayang, nasib berkata lain. Ibuku memaksaku untuk menikah dengan putri bangsawan Lorriety, pemilik tanah rumah kami. Putrinya sudah lama suka denganku dan bangsawan lorriety sendiri melihat kedekatanku denganmu, putra walikota, jadi dia ingin aku menikahi putrinya. Jika tidak, dia akan mengusirku dari tanah itu. Ultimatum itu begitu mendadak. Kau tahu, ibuku sudah renta dan ia begitu cinta dengan rumah itu karena itu peninggalan ayahku satu-satunya.
Aku tahu, kau mungkin akan berkata, “mengapa kau tidak minta saja padaku?”
Tidak, aku tidak bisa memerasmu lebih dari apa yang telah kau berikan selama ini.
Untuk itu, aku memilih menyetujui pernikahan ini. Aku ingin memendam perasaanku padamu ini sendiri, seumur hidupku. Dan setelah menikah aku ingin pergi dari kota ini sehingga tidak bertemu lagi denganmu yang mungkin akan jijik melihatku setelah membaca surat ini.
Aku memang tidak tahu diri. Aku telah berhutang banyak padamu. Aku tidak tahu bagaimana membalas semua kebaikanmu. Kuharap suatu saat aku bisa membalas kebaikanmu, aku pastikan itu.
Sekian suratku evan. Maafkan aku evan, dan juga terimakasih atas segala yang kau berikan padaku.
Fillan fardinand’
Tubuh evan menggigil dengan keras setelah membaca surat itu. Ia mengguncang tubuh fillan yang sudah lemas di tangannya.
“kenapa fillan? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku!? tahukah kau jika aku juga mencintaimu?! Tahukah kau, jika setiap malam dadaku terasa sesak saat teringat wajahmu? Tahukah kau..”
Evan menghentikan kata-katanya karena terhalang oleh isakan tangisnya.
“tahukah kau.. begitu cintanya aku padamu..”
Fillan mengusap pelan pipi evan yang basah. Lalu dengan lembut ia kecup bibir evan yang basah. Evan terhenyak. Bibir fillan yang pucat terasa masih menyisakan kehangatan yang mengalir ke sekujur tubuh evan yang mengigil. Fillan melepas kecupannya dan berkata lirih.
“maafkan aku evan.. maafkan karena aku yang bodoh dan pengecut ini.. aku bukannya tidak mau mengucapkan kata cinta evan.. tapi aku hanya takut.. jika kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku.. karena.. karena kita berdua laki-laki.. aku takut, kau akan meninggalkanku.. aku takut kau akan membenciku.. aku takut, karena kau begitu berharga bagiku.”
‘hentikan.. cukup..’ gumam evan dalam hati. Ia tidak sanggup mendengar lagi kata-kata fillan yang hanya menyisakan duka dan penyesalan mendalam di hati evan.
Akhirnya dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mengangkat tubuh fillan dan mulai berjalan meninggalkan tempat itu.
“jangan evan..”cegah fillan lirih. Ia tahu jika evan berusaha membawanya ke rumah sakit.
Namun evan diam saja, dia mulai berlari menyusuri jalan kota yang sunyi.
“bertahanlah fillan..”gumamnya.
“terlambat evan..”
“tidak! Kau masih bisa selamat.. aku tidak akan membiarkanmu pergi.. tidak akan..!” ujar evan, sementara fillan terdiam.
‘kumohon... bertahanlah..’batin evan saat melihat wajah fillan yang makin pucat. Darah yang mengucur terlalu banyak dan tidak ada tanda akan berhenti.
Evan pun mencoba mempercepat larinya, hingga ia melewati kedai minuman favoritnya.
“kau lihat itu fillan.. lihat.. kita baru saja melewati kedai minuman favorit kita.. disanalah kita pertama kali minum bersama.. dan disanalah aku mengenal namamu..”
Evan mencoba menarik perhatian fillan dan mengajaknya untuk tetap berbicara hingga sampai di rumah sakit.
“ya.. kau tahu evan.. saat itu aku sungguh senang bisa minum denganmu.. aku bahkan masih mengingat minuman yang kupesan dan bagaimana rasanya..”gumam fillan pelan.
Evan tersenyum mendengarnya, kini ia melewati toko Tuan Jacob. “ya.. dan disinilah aku melihatmu dibentak jacob.. dan disini juga aku pertama kali menolongmu. Kau ingat?”
Mata fillan yang semula terpejam kini terbuka samar dan bibirnya tersenyum tipis. “ya.. aku ingat.. saat itu kaulah satu-satunya orang yang menolongku.. aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu..”
Evan terus berlari melewati jalan yang hampir semuanya terjamah oleh kenangan mereka berdua selama ini. Evan terus berlari meski nafasnya terengah di dinginnya malam. Hingga akhirnya ia berhenti sejenak di sebuah persimpangan jalan untuk mengambil nafas.
“hah..hah.. fillan.. kita sudah hampir sampai.. bertahanlah..”ujar evan dengan nafas terengah-engah. Namun tidak ada jawaban dari fillan.
“fillan.. jawablah.. bicara padaku! “
Fillan masih tidak menjawab. Evan rasakan dengan jarinya jika nafasnya nyaris hilang. Evan pun kembali berlari hingga suara fillan menghentikan langkahnya.
“fillan..?” panggil evan.
Mata fillan terbuka samar dan bibirnya yang memutih tersenyum tipis.
“maafkan aku..”
Evan terdiam.
“fillan..”
Tidak ada jawaban.
“fillan..”
Fillan masih tidak menjawab. Matanya sudah benar-benar terpejam sekarang.
Dengan gontai evan menjatuhkan lututnya di jalan. Air mata yang tadi ia coba bendung, kini mengucur deras membasahi wajah fillan. Dipeluknya tubuh fillan dengan erat.
“maafkan aku..”balas evan.
Suara tangis itupun menggaung getir di jalan kota yang sunyi. Sebuah jalan yang dulunya merupakan tempat mereka berdua pertama kali bertemu. Tempat dimana fillan tidak sengaja menabrak bahu evan, dan kedua mata mereka saling bertemu, yang juga merupakan sebuah titik awal hubungan mereka.
***
Kini evan berdiri di tengah pandangan warga kota. Bedanya, dulu orang-orang memandang segan padanya kini ia dipandang dengan jijik dan dihujat.
Dilehernya terkalung sebuah tali tebal dan kasar yang tergantung pada sebuah tiang tinggi. Di samping evan tampak pendeta yang membacakan kitab suci untuk mengantar kepergian evan nanti. Sementara algojo sudah siap berdiri di sisi evan yang lain.
Evan menengadah ke langit, ia lihat langit tampak kelabu. Angin yang dingin menerbangkan dedaunan kering di antara kaki para warga yang menyaksikan eksekusi putra walikota.
Evan pun melayangkan pandangannya ke arah kerumunan warga. Tampak beberapa yang meneriakkan sumpah serapah, ada yang berbisik-bisik, ada yang menggumam iba, ada yang menangis.. dan diantara kerumunan itu tampak ayah fillan berdiri di belakang dengan tatapan sedih dan pasrah. Bahkan walikota pun tak bisa mengubah hasil pengadilan untuk anaknya yang anehnya, evan mengakui semua gugatan yang diajukan. Termasuk melakukan perbuatan bid’ah, mencintai sesama jenis. Rupanya surat dari fillan telah ditemukan dan dijadikan bagian dari barang bukti.
Kini ayah evan hanya bisa terisak pelan memandangi putra semata wayangnya menanti maut.
Tiba-tiba kerumunan menjadi ramai dan evan melihat seorang gadis mencoba menyibak kerumunan.
“minggir..minggir.. evann..!! kenapa kau bisa seperti ini..??”
Tampak milady yang segera ditahan oleh ayah evan sedang menangis meraung-raung.
Hati evan teriris. Semua orang yang ia kasihi, semuanya menderita. Bahkan milady, wanita yang sempat ia campakkan.
Evan menatap milady yang masih menangis dan memanggil-manggil namanya, dan bergumam dalam hati seolah milady dapat mendengar suaranya.
‘maafkan aku milady.. maafkan aku yang telah mencampakkanmu.. bukan maksud hatiku untuk meninggalkanmu, namun aku sendiri telah terjerat cinta yang gelap dan kuat. Aku tidak bisa palingkan diriku darinya. Aku harap kau bisa segera melupakan aku, lelaki yang jahat ini. Suatu saat pasti ada lelaki lain yang lebih baik dariku dan bisa mencintaimu sepenuh hati."
Lalu evan melayangkan pandangannya ke arah ayahnya. Mata mereka saling bertemu. Evan pun menggumam pada mata ayahnya yang sendu.
‘maafkan aku ayah. Ayah benar. Kutukan itu ada. Dan aku adalah orang yang mengoloknya dan sekaligus menjadi korban kutukan itu. Aku menyesal tidak mendengar nasihat ayah untuk menginjak rasa suka itu sebelum tumbuh menjadi cinta. Ayah lagi-lagi benar. Cinta itu begitu sulit dihapus, dan kini cinta itu telah dicabut paksa sehingga menimbulkan lubang yang dalam di hatiku. Kini yang tersisa dariku hanya penyesalan, ayah.. akibat keegoisanku, orang-orang yang kusayangi menderita. Sekali lagi maafkan aku ayah, semoga kau bisa bertahan meski tanpa aku di dekatmu. Jaga kesehatan ayah..’
Lalu evan melemparkan pandangannya pada seorang wanita tua yang menangis dan berteriak pilu,”kembalikan fillanku... kembalikan...”
Evan memejamkan matanya. Ia tidak sanggup melihatnya, melihat ibu fillan yang harus menanggung kesedihan seorang diri.
‘maafkan aku bu.. anakmu meninggal karena aku. Aku lah penyebabnya.. aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain kata maaf..’
Lalu evan menengadahkan wajahnya lagi ke langit, memandang matahari yang perlahan muncul mengintip di balik awan kelabu.
‘dan kau fillan.. maafkan aku yang telah memerangkapmu dalam cinta yang tidak wajar ini, kutukan ini. Kau juga harus meminta maaf padaku karena aku juga terpikat olehmu. Kini aku sadar, bahwa kutukan itu nyata, setidaknya bagiku. Yang jelas, semuanya berakhir disini. Semuanya berakhir di sebuah pemberhentian bernama kematian. Dan sebelum kematian ini menjemput, hanya kata ini yang bisa kuucapkan padamu..’
Pendeta itu mengakhiri bacaan ayat terakhir dan menutup kitabnya. Sang algojo pun berjalan mendekati evan.
“ada kata-kata terakhir?”
Evan menurunkan lagi wajahnya dan tersenyum tipis.
“aku mencintaimu hingga akhir.”
***
The Curse Part II, end.
tgl 1 part lagi, sabar ya.. :-)
dan rasa suka tumbuh subur menjadi rasa cinta, kau tidak akan bisa lepas dari
itu.’itu yg selalu kulakukan ketika mulai suka dgn co straight...curcol deh....
ya nyesek sih bacanya
but still...that was a great story dude,
ayoooo manaaaa part III nya nih.....can't wait
boleh loh saya di-mention