It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Makasih.keep writing ya
Aduh adegannya syur bgt
Hahahahaha
= = = = =
PART 3
Erangan seksi Ezra yang tak pernah Angky dengar sebelumnya, membuat dia tak bisa menahan dirinya juga. Tubuh mereka yang menyatu, nyaris bergetar bersamaan ketika klimaks menyerang keduanya.
Angky menggigit bibirnya dan menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, masih sambil memejamkan matanya. Disusul oleh Ezra yang kemudian ambruk di atas tubuhnya dengan nafas terengah yang jelas terdengar di dekat telinganya. Tangan Angky masih mendekap punggung bidang Ezra, mengusapkan jemari diatas kulit yang hangat dan sedikit lengket karena peluh itu.
Ezra membenamkan wajahnya di bahu Angky, dia juga masih berusaha memulihkan diri dan pikirannya, setelah selama beberapa saat tadi merasa berada di sebuah tempat yang sangat indah.
Belum ada yang bersuara diantara mereka, kecuali suara nafas mereka dan sedikit desahan yang memenuhi ruang tengah rumah Ezra. Perlahan, Angky membuka matanya, dia sebenarnya baru merasakan berat dengan adanya Ezra tepat diatas tubuhnya. Tapi dia juga belum ingin Ezra melepaskannya. Usapan tangannya semakin naik ke atas, ke belakang leher Ezra, hingga berakhir di rambut tebal pria itu. Angky tersenyum tipis, begitu dia menggerakan sedikit wajahnya dan mengenai sisi belakang kepala Ezra. Bau seks dan wangi maskulin dari peluh Ezra, menghampiri penciumannya.
Really not bad. It’s so damn sexy, instead makes him got a slight hard-on again.
Dammit.
Angky semakin merasa dia sudah tak seperti dirinya lagi, sejak mengenal Ezra – ditambah setelah sekarang, dia menyerahkan semuanya pada pria ini. Dia tak menyesali apapun. Rasa sakit yang beberapa saat lalu sempat dirasakannya, sudah benar-benar menghilang dari benaknya, mengingat kalau Ezra yang melakukan itu padanya – memang malah menenangkannya.
He loves this guy. So much.
And he wants him.
Kenyataan pun serasa baru kembali menghampiri Angky lagi. Dia ingat bagaimana keadaannya dengan Ezra. Masih cinta bertepuk sebelah tangan. Dia sangat naïf karena barusan berpikir kalau Ezra akan segera melupakan Kei setelah mereka tidur bersama seperti ini.
Lo terlalu percaya diri, Ky. Dia mungkin cuma manfaatin lo sekarang. Cuma pengen melepaskan rasa sakit hatinya. Cuma menganggap lo sedang bersimpati padanya dan pengen ngebikin dia tenang.
Bodoh.
Usapan di tangan Angky jadi sedikit melambat, dia agak terpengaruh oleh pikirannya sendiri. Akhirnya, setelah sejak tadi, dia tak pernah menggubris apa yang dikatakan benaknya, dan malah terus melakukan sebaliknya. Sekarang dia tak bisa mengabaikannya lagi.
Benar juga. Siapa dirinya setelah ini bagi Ezra? Masih orang yang sama ketika pertama kali mereka berkenalan? Hanya orang yang digoda Ezra secara acak?
Angky atau Angkasa?
That’s hurt.
Angky memejamkan matanya beberapa detik, lalu lebih mendekatkan wajahnya ke dekat kepala Ezra lagi. Dia menggerakkan bibirnya, agak ragu. Dia tak mau keadaan ini hanya menjadi hal yang sia-sia. Dia sungguh menginginkan Ezra. Meski Ezra mungkin tak memiliki perasaan yang sama dengannya saat ini, tapi dia ingin mencoba – membuat Ezra bisa melihatnya juga. Menyadari kalau perasaannya tidak main-main. Angky akan membuat Ezra bahagia daripada hanya menanti Kei yang mungkin tidak akan pernah membalas perasaannya.
Ok, he feels like pathetic right now.
Tapi cinta membuatnya keras kepala. Sungguh.
“I love you” bisik Angky akhirnya, di dekat telinga Ezra. “Gue suka lo, Ezra… please be with me”
Tak ada sahutan bahkan sedikit respon pun dari Ezra, entah pria itu juga mendengarkannya atau tidak.
- - - - -
Angky memasuki café yang biasa dia datangi, siang itu. Dia memang keluar lebih cepat dari kantor karena merasa tubuhnya kurang nyaman. Meski di kantor pun dia tak melakukan begitu banyak hal, tapi dia lebih baik tidak berada disana ketika keadaan tubuhnya sedang tidak fit seperti ini. Dia malah akan terlihat sedang bermalas-malasan.
Kak Tony mengernyitkan keningnya, mengamati Angky yang menghampiri meja dengan muka sedikit lesu dan cara berjalan yang tampak tak biasa. Senyum tipis tertarik di ujung bibir pria itu. He got it so well.
“Hey Kak…” sapa Angky datar sambil duduk di kursinya dan meringis pelan sebelum akhirnya menemukan posisi duduk yang menurutnya enak.
“Got a hard night, huh?” sahut Kak Tony, mengulas senyuman yang lebih mencurigakan lagi begitu Angky memandangnya, seperti terkejut.
“Not really” Angky berusaha tenang, dan hanya mengangkat kedua bahunya. Dia memang belum berpikir untuk bercerita sekarang. Dia sendiri pun masih bingung dengan situasinya bersama Ezra. Waktu itu, semuanya memang kembali seperti semula – bahkan Ezra bertingkah seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Persis seperti ketika mereka bertemu lagi setelah malam pertama mereka bermesraan di back room club.
“Rough sex?” Kak Tony belum menyerah juga.
Angky sampai agak melebarkan mata besarnya dan melihat ke sekeliling, untung tak ada yang memperhatikan mereka.
“Shut up, Kak” protesnya, setengah berbisik.
Kak Tony malah tertawa, kemudian agak mendekatkan badannya ke depan, hingga dada nya menyentuh ujung meja.
“Hey, gue gak tahu kalau akhirnya lo mau tidur dengan seseorang. Jangan bilang, dia maksa lo, Ky. Siapa dia, huh?” ujar Kak Tony tampak sangat penasaran.
“That’s none of your business” jawab Angky berusaha santai dan menyibukkan diri dengan menuangkan bir ke gelasnya.
“Damn you!” protes Kak Tony, mendadak kesal. Dia menekuk bibirnya dan kembali bersandar ke kursi sambil melipatkan kedua tangan di depan dada.
Angky hanya melirik dengan senyuman penuh kemenangan di wajahnya, sengaja dia mengejek teman baiknya itu.
“Ok, jadi lo pengen main rahasiaan sama gue sekarang!?”
“Gue gak ngerahasiain apapun, Kak. Gue cuma belum cerita sama lo” ujar Angky enteng.
“Halah” Kak Tony menggerutu, lalu meminum bir nya juga. Dia pun memutuskan untuk tak memaksa juniornya itu. “Denger, kalau gitu, gue juga gak akan cerita banyak sama lo” balasnya.
Angky hanya tersenyum. Dia pikir ini memang yang terbaik untuk saat ini. Dia tak mau membuat Kak Tony khawatir dan ikut memikirkan tentang dirinya lagi, padahal Kak Tony sudah memperingatkannya soal Ezra.
Jadi menurut Angky, dia harus menghadapi semuanya dulu sendiri.
~
Sore itu, Angky pulang ke rumahnya seperti biasa dengan ragu. Dia sebenarnya lebih baik menghabiskan waktu diluar sebelum malam, tapi hari ini dia sungguh lelah sekali, badannya tak nyaman. Masih karena efek yang dilakukan Ezra padanya malam kemarin. Mungkin seperti yang Kak Tony bilang, it was kind of rough sex. Ezra memang tidak begitu memperlakukannya dengan lembut, untuk ukuran dirinya yang baru pertama kali tidur dengan laki-laki.
That was rough, but damn he enjoyed it.
Angky menghela nafas. Dia baru tahu kalau dirinya adalah seorang masokis. Pasti gara-gara dia sudah terlanjur menambahkan perasaan. Dia terlalu bahagia berada dalam dekapan pria yang disukainya.
Kaki Angky terhenti setelah dia melepas sepatunya dan memakai sandal yang selalu ada di dekat pintu. Dia melihat si kecil Cilla, sedang bermain di dekat koridor menuju ruang depan rumahnya.
“Hey… keponakan om lagi ngapain…” sapa Angky, yang langsung menghampiri bayi cantik itu dan menyimpan jasnya di lantai begitu saja.
Cilla tersenyum senang melihat Angky, lalu merangkak ke arahnya. Bayi cantik itu memang sedang belajar berjalan, meski akhirnya masih harus merangkak.
Mereka pun seperti biasa langsung bermain. Cilla tertawa-tawa gembira setiap kali Angky melakukan hal yang menurut bayi itu lucu.
“Cilla— oh” Kinanti yang agak panik mencari puterinya, sedikit terkejut begitu melihat Angky sudah berbaring di lantai dengan Cilla yang sedang diangkat-angkat olehnya. “Ah, kamu disini rupanya…” gumam ibu muda itu juga, lega.
Angky cepat bangun, dan mendudukkan Cilla kembali di lantai. Dia teringat beberapa hari lalu, Kinanti langsung membawa pergi keponakannya. Dia lebih baik sedikit menjaga jarak kalau memang itu yang kakaknya inginkan, daripada suatu hari nanti, dia malah sama sekali tak bisa bertemu lagi dengan Cilla.
“A—aku…”
“Kamu udah pulang Ky… cepet mandi terus ganti baju” sela Kinanti, tak mau tahu dengan apapun yang Angky ingin katakan. Wanita cantik itu tersenyum pada adiknya, berbeda sekali dengan beberapa hari lalu, yang bahkan memandang Angky saja sepertinya dia tak mau.
“Mm” gumam Angky mengiyakan,masih canggung.
“Oh, sekalian kamu ajak Cilla mandi sama kamu ya? Mbak lagi sibuk di dapur, jadi gak sempet mandiin. Terus abis itu, tolong bantuin suapin ya?”
Angky malah terpana dan jadi tak sempat mengiyakan lagi. Tapi kakaknya itu sudah menghilang kembali ke dalam. Angky mengedipkan matanya, ada yang berubah. Kakaknya sudah baik lagi kepadanya? Mungkinkah?
Dia melirik Cilla yang sedang asik memainkan jas nya tadi. Bayi cantik itu malah menutupi kepalanya dengan jas dan kesulitan untuk menyingkirkannya lagi. Angky tertawa, kemudian cepat membantunya.
“Cilla… ayo kita mandi~”
Dengan perasaan riang, yang rasanya beberapa hari ini sudah menghilang darinya, dia menggendong Cilla dan segera menuju kamarnya.
Entah kenapa, tapi seketika perasaannya menjadi lebih tenang dan ringan. Sakit di badannya pun rasanya sudah dia bisa lupakan.
- - - - -
“Tadi malem semuanya tampak balik kayak semula, Kak” Angky masih asik menempelkan ponsel di telinganya setelah dia keluar dari lift yang sudah membawanya ke lantai 8, tempat ruangan dia berada. “Semuanya normal lagi… lo gak tau gimana sekarang gue harus ngungkapin betapa bahagianya gue”
Kak Tony terdengar tertawa pelan, di ujung telepon sana.
“Great. Gue ikut seneng, Ky. See? Gue udah bilang lo pasti bisa melewatinya. Akan selalu ada cahaya setelah gelap. Gue juga yakin kalau mereka selalu sayang sama lo”
Angky menghentikan langkahnya sebentar sebelum dia tiba di ruangannya. Dia merasa tersentuh oleh perkataan Kak Tony. Bagaimanapun, seniornya ini memang orang yang paling berperan penting untuk semua kehidupan yang dia miliki sekarang. Dia yang mau mengakui diri, kemudian mendapat keberanian untuk mengungkapkan semua pada keluarganya, dan sekarang – mendapat hasil dengan mereka yang mau menerima dirinya. Angky merasa sangat beruntung.
“Kak, thanks a lot. Tanpa lo, gue mungkin gak akan pernah ngerasain hidup yang lebih baik kayak sekarang…” kata Angky, serius.
Kak Tony tampak terdiam, tapi Angky bisa merasakan kalau pria itu tengah tersenyum.
“Anytime, bro. I’m your big brother, am i?” kata Kak Tony.
Angky tertawa pendek.
“Yea, you are my very best big brother!” sahut Angky yakin.
Mereka tertawa bersama beberapa saat. Sampai kemudian, Kak Tony mendadak harus menyudahi obrolan.
“Well, gue harus nutup teleponnya sekarang…”
Angky mengernyitkan kening, barusan dia memang mendengar suara seseorang seperti memanggil Kak Tony di belakang.
“Kak, ada orang di apartemen lo sepagi ini… apa dia, orang yang waktu itu—“ Angky mencoba menyelidiki, tapi Kak Tony tampak tak mau bercerita apapun padanya. Masih sepakat dengan pembicaraan mereka kemarin siang, tentang ‘bukan-merahasiakan, hanya-belum-bercerita’
Angky mendecak pelan, dia sudah terkena oleh pilihannya sendiri.
“Ok, see ya then” kata Kak Tony akhirnya. Angky pun hanya bisa menurut untuk menyudahi obrolan. Dia menghela nafas setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Dia kemudian melanjutkan berjalan menuju ruang kerjanya.
Seperti biasa, dia tahu tak akan begitu banyak pekerjaan. Tapi dia tetap harus berada disana. Dia harus menunjukkan pada ayahnya, kalau dia tak pernah berubah. Dia selalu memiliki kemampuan untuk melakukan dan menjaga tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya.
Sekali lagi, Angky menghentikan langkahnya ketika tanpa sengaja dia menengokkan wajah ke ruangan Galang – sepupunya. Dia melihat pria itu ada disana, seperti biasa terlihat sangat sibuk. Tentu saja, karena sudah beberapa minggu ini Galang adalah pengganti dirinya.
Angky pun jadi teringat sesuatu, dan membuatnya memutuskan untuk masuk ke ruangan orang yang sudah lama menjadi wakilnya itu.
Tok… tok
Galang agak tersentak mendengarkan bunyi ketukan di pintunya. Dia berbalik dan tampak lega begitu melihat Angky.
“Oh elu, Mas” ujarnya. “Masuk”
Angky pun masuk dan menutup kembali pintunya. Galang sudah kembali sibuk dengan benda-benda di atas mejanya.
“Gak biasanya lu kesini pagi banget…” kata Galang lagi sambil tersenyum.
Angky balas tersenyum, agak kaku. Dia mendekat pada Galang dan mengamati pekerjaan yang sedang Galang rapihkan.
“Hm, harusnya gue gak perlu rajin kayak gini, karena gue juga gak ada kerjaan disini” ujar Angky, tak begitu bermaksud untuk menyindir, meski memang sedikit mengungkapkan kepahitan yang dia rasa.
Galang melirik lagi pada kakak sepupunya itu, tiba-tiba jadi merasa tak enak.
“Mas, maaf, gue cuma—“
“Nggak, nggak. Lo gak perlu minta maaf, Lang. Gue ngerti. Ayah udah melakukan hal yang bener dengan milih lo” sela Angky cepat. Dia mengulas senyuman, merasa konyol karena sudah membuat sepupunya jadi merasa tak enak. Semua keadaan ini memang bukan salah Galang… bukan juga salah ayahnya, salah dirinya? Angky rasa, memang tak ada yang salah, hanya— yea.
“Ohya, gue ganggu gak? Ada yang pengen gue omongin” kata Angky lagi, cepat mengalihkan pembicaraan pada maksudnya kenapa dia berada disana.
“Ehm, nggak. Gue Cuma lagi beresin meja gue. Ada apa, Mas?”
Angky agak menyandarkan badannya pada sisi meja.
“Lo… kenal Kei?” tanyanya, tanpa memakai basa-basi lagi.
Galang benar-benar menghentikan kesibukannya, dan memandang Angky terkejut.
“Kei?” ulangnya, agak gugup.
“Ya, gue pernah liat kalian berdua keluar dari gedung tempat dia kerja…” jawab Angky cepat. Dia merasa Galang sedang bersiap untuk membuat penyangkalan.
“Ah…” gumam Galang, semakin terlihat gugup dan membuyarkan lagi kebohongan yang sudah dia buat di benaknya. Memang percuma untuk dia mengelak sekarang. Galang berdehem pelan. “Ya, kita udah temenan lama. Dan lo – Mas, kenal juga sama dia?”
“Gue pernah liat dia di club” jawab Angky, terus terang.
“Oh” Galang mengangguk, agak salah tingkah.
Angky lebih lekat memandang pria itu. “Gue rasa… lo masih sembunyi” katanya pula, setengah berbisik.
Galang tampak membeku, dan balas memandang Angky. Dia memang tahu persis masalah apa yang kemarin ini dialami Angky, hingga Pak Yoga melepaskan jabatan puteranya begitu saja – dan melimpahkan kepadanya. Sekarang, dia tentu tak bisa mengelak lagi, Angky sudah mendapatkan poin penting dari dirinya.
Perlahan, dia pun agak menganggukkan kepalanya.
“Gue emang gak pernah ngomong apa-apa…” gumamnya pula.
Angky menghela nafas, entah kenapa merasa lega. Ternyata, di keluarga mereka, dirinya bukan satu-satunya. Itu membuat dia seperti merasa lebih baik.
“Lu pasti benci gue sekarang, Mas ” tambah Galang, begitu Angky duduk di sebuah sofa yang ada disana. Terlihat lebih rileks daripada sebelumnya.
“Nggak, Lang”
“Gue sama sekali gak pantes dapet limpahan dari Om Yoga dengan megang jabatan lu selama beberapa minggu ini. Maafin gue, Mas. Ini beneran gak adil buat lu…”
Angky menggelengkan kepalanya.
“Gak usah mikir kayak gitu, Lang. Gue ngerti yang lo rasain”
Galang menghampiri Angky dan duduk di dekatnya. Dia mendesah pelan, sambil mengusap rambut pendeknya.
“Gue gak punya keberanian seperti lo, Mas” keluhnya.
“Lo punya, cuma lo belum nyoba…”
Galang menggelengkan kepala.
“Lo sama Kei--?” tanya Angky lagi.
“Kita temenan baik… ya, gue emang suka sama dia. Sejak lama gue suka dia” jawab Galang, mengakui. “Dulu dia yang ngajarin gue main piano. Tapi, dia udah suka sama orang lain” ceritanya pula, tanpa diminta.
Angky terdiam. Cerita Galang tak jauh berbeda dengan cerita Ezra. Mereka sama-sama memendam perasaan pada guru piano itu. Damn, Kei sangat beruntung karena diinginkan oleh dua orang pria mengagumkan seperti Ezra dan Galang. Mau tak mau ada sedikit iri di pikiran Angky.
“Dia suka sama Adrian, putera dari keluarga Wijaya yang akhir minggu ini akan mengadakan pesta pertunangannya dengan Melissa, puteri dari keluarga Sastro” lanjut Galang.
Mata Angky agak melebar. Jadi ini yang menyebabkan Kei tak bisa bersama dengan orang yang disukainya. Oh, dia tak pernah menyangka kalau ternyata semuanya berkaitan.
“Gue lagi mencoba supaya dia mau ngebiarin gue masuk ke dalam hatinya. Sejauh ini, dia merespon gue dengan cukup baik” Galang berkata lagi dan tersenyum sedikit pahit.
“Dia- suka sama lo juga?” tanya Angky akhirnya setelah hampir beberapa saat, dia hanya jadi pendengar.
Galang menoleh dan melebarkan senyumannya.
“Gue rasa begitu… tapi mungkin, masih harus pelan-pelan”
Angky membalas senyuman Galang, tipis. Pikirannya pun kembali pada Ezra.
Pria itu sungguh harus belajar untuk memahami kalau rasa peduli dan cinta yang dia miliki pada sahabatnya, bukanlah rasa cinta untuk menjadi seorang kekasih. Karena bagaimanapun, Kei tak akan pernah melihatnya sebagai seseorang yang lebih dari sekedar sahabat. Apalagi sekarang Kei sedang mencoba memulainya dengan Galang. Ezra harus bisa menerima itu.
Angky pun berpikir, disinilah saatnya dia harus berada di dekat Ezra.
“Ok, just keep fighting, Galang” kata Angky kemudian, memberi semangat. Dia beranjak dari sofa. Rasanya beban dia seperti berkurang lagi setelah pembicaraan ini. Dia merasa lebih ber-energi untuk semakin yakin mendapatkan Ezra.
Galang hanya memperhatikan Angky yang sudah akan mendekati pintu, sampai kemudian dia teringat sesuatu.
“Ohya Mas…”
Angky membalikkan lagi badannya.
“Sampe ketemu di meeting 2 jam lagi”
“Huh?” Angky mengernyitkan keningnya tak mengerti, tapi Galang hanya terus tersenyum.
~
“Selamat pagi, boss” Elena menyambut Angky, begitu direktur muda itu melewati meja sekretarisnya.
Angky balas menyapa meski agak heran dengan senyuman Elena yang terlihat lebih berbinar pagi ini. Dia masih merasa ada yang tak beres, sejak dia keluar dari ruangan Galang.
“El, tolong ke ruanganku sebentar”
“Siap boss!” Elena langsung beranjak dengan semangat dan menyusul Angky.
Pria tampan itu membuka pintu ruangannya, langsung menuju meja kerja, dan terpana mendapati semua berkas miliknya kembali menyesaki meja dan lemarinya. Dia mengernyitkan kening, apalagi ketika dilihatnya tag name yang sejak dulu selalu tersimpan di mejanya, ada lagi disana.
Tag name bertuliskan Angky D. Pranatya dengan tulisan Direktur Utama di bawahnya.
Dia menghela nafas panjang, kemudian melihat pada Elena yang masih tersenyum seperti tadi.
“Welcome back, boss” kata wanita cantik itu. Dia sungguh terlihat gembira. “Ohya, aku mau menunjukkan ini pada anda…” katanya pula ketika teringat kalau ada sesuatu yang harus dia berikan pada Angky. Dia mendekat dan mengambil sebuah undangan dari meja Angky. “Ini undangan pertunangan dari keluarga Wijaya dan Sastro, untuk akhir minggu ini”
Angky yang sebenarnya masih agak shock, hanya mengangguk pelan. Ah, jadi ini undangan dari pertunangan yang tadi diberitahukan oleh Galang.
“Dan 2 jam lagi kita akan meeting, boss… anda mungkin perlu menyiapkan sedikit pidato. Anda mau aku menyiapkannya untuk anda?” kata Elena lagi.
“Aku gak ngerti kenapa kita tiba-tiba harus meeting…” ujar Angky, yang sebenarnya sejak tadi ingin menanyakan itu pada sekretarisnya.
Elena tersenyum lagi, masih girang seperti tadi.
“Hanya meeting untuk menyapa semua pegawai anda, boss. Mereka pasti rindu pada boss mereka” jelasnya. “Pak Yoga yang minta. Anda harus memimpin sebuah meeting 2 jam lagi…” lanjutnya, dengan suara yang lebih lembut namun terdengar serius. Dia mengindikasikan kalau semua masalah tentang boss nya yang tidak begitu dia mengerti, sepertinya benar-benar sudah berakhir. Dia tak salah karena terus berusaha untuk mendukung boss kesayangannya ini,
“Oh” gumam Angky yang masih tak bisa percaya.
Jadi hidupnya memang benar-benar sudah kembali normal sekarang?
Tak ada lagi masalah dengan keluarga dan pekerjaannya, hanya saja… kisah asmaranya yang masih belum dia tahu.
Ezra.
Angky ingin sekali membawa pria itu memasuki kehidupannya yang terasa jauh lebih baik sekarang. Dan semuanya pun, pasti akan menjadi sempurna.
- - - - -
Lagu yang menghentak, kerlap-kerlip lampu, beberapa teriakan, orang-orang yang menari dengan semangat, suara tawa dan alcohol.
Malam itu Angky sungguh memanjakan dirinya dengan keadaan di club. Dia tak mau menyebutnya sebagai perayaan, tapi dia memang ingin berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya.
Kak Tony ada disana bersama laki-laki muda nya yg Angky ingat bernama James. Kemudian Galang, yang ternyata itu bukan pertama kalinya dia berada disana, lebih mengejutkan lagi – sepupunya itu dan Kak Tony ternyata saling mengenal. Angky benar-benar tak menyangka. Galang mungkin memang belum mengatakan apapun pada keluarganya, tapi kegiatan sepupunya itu bersama teman-teman di club ini, lebih aktif dibandingkan dirinya. Angky merasa sudah ‘tertipu’, meski dia sungguh tak menyesali. Dia justru senang.
“Dunia sungguh sempit” komentar Kak Tony, setelah tadi dia tertawa.
“Ya, terutama dunia kita ini…” sahut Galang.
Mereka tertawa. Kemudian Angky mengangkat gelas tequila-nya.
“Untuk kita?” katanya, mengajak bersulang.
“Untuk dunia kita!” sahut Kak Tony dan Galang nyaris bersamaan. Mereka pun bersulang dan meminum minuman masing-masing.
. . .
Waktu berlalu, pembicaraan mereka mulai tidak begitu banyak, apalagi alcohol sudah mulai menguasai otak. Mereka pun terdiam, memperhatikan dance floor atau apapun yang menarik mata mereka.
Kak Tony dan James sudah terhanyut dalam dunia mereka sendiri. Angky melirik mereka jengah. Entah kenapa melihat laki-laki muda itu, masih membuatnya tak nyaman. Angky tak habis pikir, bukankah kalau Kak Tony dan laki-laki itu sudah sering bersama… berarti James adalah orang yang special bagi Kak Tony? Dia tak suka kekasih teman baiknya sendiri, melihat padanya dengan tatapan seperti itu
“Mas, gak turun?” tanya Galang tiba-tiba sambil melirikkan matanya ke arah dance floor.
Angky menggelengkan kepalanya, cepat. Galang tersenyum.
“Kalau gitu, gue mau turun…” kata Galang sambil berdiri dan berjalan sendiri menuju dance floor. Angky tak heran Galang begitu percaya diri. Dia pasti sudah terbiasa dan dilihatnya juga beberapa orang menyapanya disana.
“Sssttt…” suara bisikan yang aneh terdengar di samping Angky. Pria itu menolehkan kepalanya, melihat lagi pada Kak Tony dan James. Ternyata laki-laki itu yang barusan memanggilnya. Dia sedang membiarkan Kak Tony menjelajahi tubuhnya dan dengan isyarat mata juga senyumannya, dia mengajak Angky untuk bergabung.
Angky memutarkan bola mata dan tak tahan lagi untuk menunjukkan kalau dia sungguh sangat iritasi. Dia mengambil bantal yang ada disana, kemudian melemparkannya tepat ke muka James. Kak Tony yang tadi tak tahu apa-apa, jadi terkejut.
“Ky?” tanyanya, bingung. Dia melihat juga pada James yang malah tetap tersenyum memuakkan.
Angky menggelengkan kepala saja sambil beranjak pergi dari sana. Kesal.
~
“Mereka bikin pesta akhir minggu ini” kata Kei sambil mengaduk-aduk sedotan di dalam cocktail nya. “Tuan dan Nyonya Wijaya yang minta langsung sama aku buat dateng dan main piano disana”
Ezra memandang nanar pada sahabatnya itu. Dia sama sekali belum mengatakan apapun dari sejak tadi Kei menceritakan tentang pesta pertunangan pria yang sangat disukainya.
“Gimana menurut kamu? Aku gak mungkin nolak, kan?” tanya Kei pula, sambil melirik Ezra untuk meminta pendapat.
Ezra mengedipkan matanya dan berusaha mengendalikan sikapnya. Dia tak boleh menunjukkan kalau sebenarnya dia sangat terganggu.
“Kenapa nggak? itu hak kamu apa kamu mau dateng atau nggak…” Ezra akhirnya mengeluarkan suara, datar saja.
Kei tersenyum.
“Bener. Tapi aku emang pengen ketemu sama dia” ujarnya, jujur.
“Walau dia bersama seorang perempuan di sisinya?” sahut Ezra, pahit. “Di sebuah acara yang membahagiakan buat dia dan keluarganya… emang kamu sanggup?”
Kei memudarkan sedikit senyumannya. Dia memang agak berat dengan hal itu.
“Aku mau nyoba”
Ezra menghela nafas berat.
“Kalau kamu emang pengen banget, harusnya kamu gak perlu minta pendapat aku” katanya, dingin.
Kei menoleh pada pria yang lebih tua beberapa bulan saja darinya itu. Dia menyentuh lengan Ezra, dan mengusapnya lembut.
“Maaf… aku bukan bermaksud kayak gitu”
Ezra tak pernah bisa benar-benar kesal pada Kei. Dia pun menyentuh balik tangan Kei di lengannya, dan menggenggamnya.
“Janji sama aku kalo kamu bakal baik-baik aja…” kata Ezra.
“Aku bakal baik-baik aja” jawab Kei yakin. “Lagian, Galang juga ada disana… dia mau nemenin aku”
Perlahan, Ezra melepaskan genggamannya di tangan Kei. Selalu seperti ini. Sekarang dirinya seolah bukan lagi sahabat yang biasa diperlukan oleh Kei. Sudah banyak hal berubah. Meski mereka bersahabat, tapi mungkin memang benar, sudah saatnya mereka menemukan hal yang berbeda. Tidak selamanya, Kei akan selalu ada di sisinya.
Demi tuhan mereka hanya bersahabat. Meski beberapa kali mereka pernah saling memberikan kenyamanan dengan intim, tapi Kei sepertinya tak pernah menumbuhkan perasaan yang lain padanya. Ezra seharusnya menyerah dan mulai mencari seseorang yang bisa dia sukai dan menyukainya juga.
Yeah.
Apakah ada seseorang itu?
. . .
Tanpa ragu dan mempedulikan sekelilingnya, Angky langsung menghampiri Ezra yang ketika dilihatnya sedang duduk di depan meja bar bersama Kei di sebelahnya. Angky tahu mereka tengah berpegangan tangan.
Kinda annoying.
“Hey, Ez…” sapa Angky, memanggil nama pria itu dengan akrab. Ezra dan Kei menoleh nyaris bersamaan.
Belum sempat Ezra menyahut, Angky sudah semakin mendekat, kemudian memberikan kecupan singkat di bibirnya.
Ezra terkejut, dia hanya bisa mengedipkan matanya, shock. Angky tak peduli dan malah melingkarkan lengannya di pundak pria tampan itu. Dia melihat pada Kei dengan penuh percaya diri. Sedikitnya dia merasa puas karena melihat wajah Kei yang juga tak kalah terkejut dengan Ezra.
“Hey, Kei” sapa Angky pula pada Kei.
“Ha- hallo” sahut Kei, agak tak yakin.
Ezra mendadak salah tingkah. Dia sungguh tak menyangka kalau Angky akan tiba-tiba muncul lalu bertingkah seperti ini. Ezra bisa mencium bau alcohol disela-sela wangi parfum dari tubuh pria itu. Dia pun beranjak dari stool nya, sambil memegang tangan Angky.
“Ikut gue bentar” pintanya. Dengan senang hati Angky hanya menganggukkan kepala. Ezra pun seperti meminta ijin pada Kei, dan sahabatnya itu juga hanya mengangguk meski terlihat bingung.
Ezra sebenarnya berharap kalau Kei akan menunjukkan ekspresi terganggu atau cemburu, tapi sahabatnya itu malah terlihat biasa saja, meski memang tampak kebingungan. Argh.
Sengaja Ezra mengambil resiko dengan membawa Angky ke back-room, masih berharap mungkin Kei akan memberikan tanda-tanda cemburu atau apapun di wajahnya, tapi sahabatnya itu ternyata tetap biasa saja. Malah dengan tenangnya mengedarkan pandangan ke dance floor, seperti tak peduli Ezra menghilang ke tempat itu dengan laki-laki lain. Dan tak lama, Ezra sempat melihat laki-laki bernama Galang yang sudah dia hapal, datang dari arah dance floor, menghampiri Kei. Mereka pun berdansa bersama.
Bagus sekali, gumam Ezra di dalam hati. Ironis.
~
BRUK
Ezra menghempaskan Angky pada sebuah dinding di back-room.
“Tempat ini…” gumam Angky, yang masih ingat tempat pertama kali mereka bermesraan. Dia melihat ke sekeliling dan menemukan banyak pasangan seperti biasa. Dia tersenyum nakal pada Ezra, kemudian menarik kemeja yang dipakai pria itu agar tubuhnya lebih merapat kepadanya.
Sungguh berbeda dengan pertemuan mereka yang pertama, dimana Angky masih gugup dan sedikit ketakutan – namun sialnya malah jatuh cinta pada pria yang waktu meninggalkan dia begitu saja setelah membuat tubuhnya memanas.
Angky merasa lucu mengingat lagi kejadian itu. Dia masih ingat bagaimana kecewanya dia waktu itu.
Itu seharusnya tidak pernah terulang lagi.
Angky pun melingkarkan lengannya di bahu Ezra, mendekatkan wajah mereka. Ujung hidung mereka sudah saling menyentuh, tapi Ezra cepat mengelak begitu Angky mencoba menciumnya.
Ezra mendorong dada Angky, membuat pria tampan itu lebih tertekan pada dinding di belakangnya.
“Lo mabok” kata Ezra.
Angky yang agak terluka oleh dorongan Ezra, langsung menggelengkan kepalanya.
“Gue gak mabok”
Ezra tersenyum kecut.
“Tadi itu lo ngapain? Pengen bikin gue kelihatan jelek di depan Kei?” tuduh Ezra tiba-tiba.
“Hah?” Angky jadi mengernyitkan keningnya. Dia memang tidak mabuk, tapi otaknya sekarang jelas menolak kalau harus berpikir yang berat-berat.
Ezra mendecakkan lidah. Dia juga sebenarnya tak mengerti dengan kegelisahannya. Bisa jadi dia sekarang hanya ingin menyalurkan kekesalan pada Angky, gara-gara pembicaraannya dengan Kei tadi dan karena sikap Kei yang seolah tak peduli padanya. Ah dia tak tahu.
“Lo sangat gak pengen liat gue bahagia sama Kei, huh?” Ezra melanjutkan tuduhannya. “Dia mungkin emang gak punya perasaan yang sama, tapi apa salahnya kalau gue terus berusaha—“
“Lo ngawur, Ezra. Gue rasa lo yang mabok” gumam Angky.
“Gue gak mabok!”
“Terus kenapa lo nuduh gue kayak gitu?! gue sama sekali gak bermaksud ngebuat lo merasa jelek di depan sahabat lo. Gue juga gak terpikir buat misahin kalian. Gue cuma—cuma pengen nunjukin kalau gue masih inget sama lo, dan gue gak ngelupain apa yang terjadi diantara kita…” sergah Angky yang mulai terpancing emosinya, dan mau tak mau mengatakan semua yang ada di pikirannya.
Ezra memandang mata besar Angky. Dia sangat menyukai sepasang mata itu. Tapi dia seperti tak mau mengakuinya sekarang.
“Jadi lo ngerasa udah jadi orang yang special buat gue cuma karena kita pernah tidur bareng? Lo anggap itu serius?!” sahut Ezra, dingin dan cukup menusuk bagi Angky. Menyakitkan.
Angky tercekat. Seperti yang dia takutkan waktu itu. Semuanya ternyata memang tak berkesan apapun bagi Ezra.
He’s nothing. Really?
Angky pun menarik nafasnya dalam-dalam. Dia harus tenang, jangan panik dan jangan lebih terpancing lagi. Dia harus bisa mengendalikan keadaan, lalu dia harus bisa mengendalikan Ezra.
Oh shit, kenapa dia harus jatuh cinta pada pria yang menyakitinya seperti ini?
“Gue cuma gak bisa ngelupain…” kata Angky lebih melunak. “Gue ngomong sesuatu sama lo waktu itu, lo—gak denger, hm?”
Ezra pun mulai memudarkan kekesalannya. Dia merasa luluh sendiri melihat mata besar Angky memandangnya dengan lembut.
Pria tampan sekaligus manis ini, sebenarnya cukup sering membuat dada Ezra berdegup aneh – tapi Ezra tak mau menggubrisnya.
Ezra pun menggelengkan kepala, agak kaku.
Sejujurnya, dia memang mendengar sesuatu. Dia sebenarnya sudah bangun tapi berpura-pura tidur lagi waktu itu. Karena dia tak bisa menjawabnya, dia masih terlalu kesulitan untuk membuka hatinya dengan serius lagi pada seseorang – seperti yang dia lakukan pada Kei.
Angky menghela nafas berat. Lagi-lagi seperti dugaannya. Dia sungguh menyedihkan. Pria itu menundukkan wajahnya sebentar, memejamkan mata, menahan matanya yang seperti akan memanas – ingin mengeluarkan air mata.
Oh tidak. Jangan sekarang. Dia tak mau menangis di depan pria yang sangat disukainya. Dia bukan perempuan. Dia tak mau terlihat rapuh.
“Gue gak ngerti sama lo, sebenernya apa yang lo mau dari gue? Apa lo nggak merasa cukup bisa kenal sama gue?” cetus Ezra pula.
Angky menarik nafas dan mengangkat lagi wajahnya, mencoba memandang Ezra.
“Gue mau lo, apa itu salah?” kata Angky, setelah beberapa detik, dia mengumpulkan keberanian.
Ezra terkejut, tapi dia tak begitu menunjukkannya. Dia tetap bertahan dengan wajah gantengnya yang dingin.
“Lo aneh, Angk—“ Ezra sedikit berpikir, mengingat nama Angky. Tapi gagal, hingga dia memenggalnya disana. “Sial. Lo liat? gue bahkan gak bisa inget nama lo dengan bener” aku nya.
Angky menenangkan diri, dengan terus menarik nafas dan menghembuskannya. Dia kemudian tak sengaja melihat pada salah satu jemari tangannya. Ada satu cincin dengan inisial namanya di dalam, terpasang di jari manisnya. Dia melepas cincin itu.
“Ambil ini” katanya, tanpa banyak berkata dulu, dia menjejalkan cincin emas putih itu, di telapak tangan Ezra yang dibuka dengan paksa.
Ezra mengerutkan keningnya, bingung.
“Apa maksud lo? Lo mau nunjukin kalo lo orang kaya—“
“Di situ ada tulisan nama gue. Angky” potong Angky, tak peduli dengan perkataan Ezra yang semakin aneh dan kembali tak enak dia dengar.
Dada Ezra sedikit naik turun menahan emosi yang tak jelas. Entah kenapa dia terus masih saja melampiaskan kekesalan pada Angky yang sebenarnya tak tahu apa-apa, dan sebenarnya tadi hanya muncul di waktu yang kurang tepat.
“Gue pengen lo pake itu kalo lo mau terima gue. Tapi kalo nggak, lo kembaliin sama gue waktu kita ketemu lagi – kapan aja” lanjut Angky, tiba-tiba membuat perjanjian. Dia memandang Ezra serius.
Ezra melihat pada Angky lebih serius lagi.
“Terima lo?” ulangnya.
Angky mengangguk. Dia sudah bisa mengendalikan air matanya yang tak jadi tumpah. Hanya sedikit memenuhi ujung mata. Dia mengusapnya, pelan.
He feels like gambling now. Tapi dia bersyukur, karena Ezra tak langsung menolak dengan melemparkan cincinnya, atau langsung mengembalikannya.
Berarti memang ada kesempatan.
Angky cepat menjauhkan tubuhnya dari dinding. Entah kenapa, dia malah jadi malu sekarang. Dia ingin segera menghilang dari hadapan Ezra.
“Hey!” panggilan Ezra tak Angky gubris lagi. “Ck” Ezra mendecak. Dia melihat cincin tadi di tangannya, mengecek tulisan di dalamnya.
Oh yea, Angky.
Bagaimana bisa dia melupakan nama unik dan manis yang sangat sesuai dengan pemiliknya itu? Senyuman pun mendadak menghiasi bibir Ezra begitu saja.
- - - - -
“Sayang sekali, padahal kita udah berharap Melissa akan menjadi menantu di rumah ini…” ujar Kinanti sambil memasangkan dasi kupu-kupu di leher Angky. Adiknya itu memutarkan bola mata entah untuk keberapa kali. Tadi dia sudah mendengar keluhan seperti ini juga dari Kirani dan kedua orang tuanya.
“Dia pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik seperti Adrian Wijaya, Mbak” sahut Angky, setelah dari tadi, dia tak mau menanggapi.
Kinanti menghentikan sebentar kegiatannya, lalu melihat pada Angky.
“Kamu juga laki-laki yang baik, Ky” katanya.
Angky jadi gugup dan merasa pembicaraan mereka jadi tak mengenakkan. Dia pun menghindari kakaknya dengan berjalan menghampiri cermin besar disana, untuk meneruskan merapikan dasi kupu-kupu nya.
Kinanti juga jadi merasa tak enak sendiri. Dia memainkan jemari tangannya, sambil ikut mengamati penampilan tampan adiknya dari cermin.
“Tapi, kita juga nunggu kamu akan bawa seseorang yang baik… buat dikenalin sama kita”
Angky menghentikan gerakan tangannya. Dia memandang kakaknya dari cermin, lalu tersenyum. Dia merasa hangat, meski memang masih terasa aneh membahas hal seperti ini. Angky pun mengalihkan pandangannya pada Cilla, yang sedang bermain diatas kasurnya.
Bayi cantik itu selalu membuatnya gemas.
“Mbak” kata Angky.
“Hm?”
“Apa Cilla bisa nemenin aku untuk dateng ke pesta?”
Kinanti melirik puterinya, kemudian tertawa.
“Mbak gak mau ya, anak Mbak dikira simpenan om-om” ujarnya, balas bercanda.
Angky langsung memasang muka datar dan menekuk bibirnya. Tawa Kinanti pun semakin menjadi, ditambahi oleh Cilla, yang ikut tertawa padahal tak mengerti dengan apa yang dibicarakan dua orang dewasa disana.
“Argh” gerutu Angky sambil mengacak rambut lurusnya yang tadi sudah dibentuk oleh Kirani.
“Hey, Angky Pranatya! jangan dirusak lagi rambutnya!” kebetulan pas saat Kirani kembali masuk kesana dan melihat semuanya.
Angky tak peduli dan terus mengacak rambutnya sendiri. Kirani tak terima, lalu mengejarnya. Kinanti dan Cilla, semakin melanjutkan tawa mereka.
Di ambang pintu Pak Yoga dan istrinya melihat kelakuan kekanakan putera-puteri mereka yang sudah dewasa itu.
Memang tak ada yang lebih membahagiakan melihat keluarga mereka tetap hangat seperti biasanya. Se-dewasa apapun anak-anaknya, mereka tetaplah seorang anak yang membutuhkan orang tua nya.
Sepasang orang tua itu terus mencoba untuk tak pernah menyesali keadaan putera mereka satu-satunya. Karena Angky tetaplah Angky, dan mereka mencintainya.
- - - - -
Alunan piano Kei membuat acara menjadi lebih indah malam itu. Semua undangan dibuatnya terkagum-kagum, termasuk Angky. Oh dia paham kenapa banyak sekali orang yang dibuat pria ini bertekuk lutut. Kei memang sangat menyilaukan. Jantung Angky pun dibuat berdesir nyaman, hanya karena memperhatikan pria itu sedang memainkan piano sambil menghayatinya.
“Mas” bisikan Galang, membuat Angky tersentak dari keterpanaannya. Dia mengambil segelas champagne yang dibawakan Galang untuknya. “Dia ganteng, kan?” bisik Galang lagi sambil melihat takjub pada pria yang disukainya itu.
“Mm” Angky hanya menggumam. Dia melihat ke arah pasangan yang bertunangan, dan tidak heran melihat Adrian yang tampak tak bisa melepaskan matanya dari stage. Angky merasa, sebenarnya pria ini pun menyukai Kei, tapi sayangnya perasaan mereka tak bisa saling tersampaikan.
Terlalu banyak sekali jenis percintaan yang bisa menyakiti orang yang merasakannya. Angky menghela nafas panjang, lalu meminum champagne nya. Dia mendadak begitu melankolis, pasti karena alunan piano ini. Kei tampak sepenuh hati memainkannya, yang Angky rasa – Kei memang ingin mempersembahkannya untuk Adrian. Dia mungkin ingin menunjukkan, kalau dirinya sudah merelakan, meski dengan perasaan yang sedih.
“Mas, gue mau nyapa ke sana dulu…” kata Galang yang tak sengaja melihat sekelompok kolega yang dikenalnya.
“Ok” sahut Angky. Dia tak masalah kalau harus sendirian. Dia sedang menikmati pikiran demi pikiran yang menyesaki benaknya hanya karena alunan piano dari Kei ini.
Dan selalu, tak bisa dipungkiri, dia jadi teringat Ezra.
Kapan mereka akan bertemu lagi?
Bagaimana nasib cincin yang sudah dia berikan waktu itu?
Ah.
~
Ezra masih teringat pembicaraannya dengan Kei sekitar satu jam yang lalu. Sahabatnya itu menemukan cincin milik Angky yang diberikan padanya, dan tiba-tiba saja, Kei memberinya sebuah undangan untuk datang ke pertunangan keluarga kaya yang menjadi kenalan Kei.
Sebenarnya Ezra ragu untuk datang, tapi Kei memberitahunya kalau Angky ada disana.
Ok, apa hubungan orang itu dengannya? Tentang cincin ini?
Ezra masih sangat ragu dan bingung, tapi Kei tampak sedang berusaha mendorongnya dan memberikan dia motivasi. Disana dia seperti disadarkan kalau Kei memang hanya seorang sahabat. Kei ingin melihatnya bahagia dengan keadaan yang semestinya… bersama orang lain.
Dan ketika dia memikirkan kebahagiaan, cincin dari Angky seolah memanggilnya. Beriringan dengan wajah manis pria itu di benaknya; mata besarnya yang menghipnotis, juga ciumannya… Ezra menggelengkan kepalanya. Dia merapikan pakaian formal yang hanya satu-satunya dia punya, lalu merapikan sedikit rambutnya juga. Setidaknya dia harus terlihat pantas di pesta orang kaya.
“Tuan, sudah sampai” suara supir taxi yang ditumpanginya, membuat Ezra terhenyak. Ezra menghela nafas panjang begitu dia melihat keluar dari jendela taxi. Dia melihat bangunan sebuah hotel berbintang, tempat pesta itu dilaksanakan.
Ini memang aneh. Dia tak pernah menyukai tempat orang kaya. Dia lebih suka mendatangi club. Tapi sekarang, dia berada disana karena demi sebuah kebahagiaan yang ingin dirasakannya.
. . .
Tepuk tangan terdengar ramai ketika Ezra memasuki tempat pesta. Di depan, dia melihat Kei yang sedang memberikan hormat sambil berterima kasih pada semuanya. Dia terdiam sebentar, mendengarkan Kei yang kemudian memberikan sedikit sambutan, sekaligus mengucapkan selamat pada pasangan yang bertunangan. Ezra tahu persis bagaimana perasaan Kei sekarang. Tapi Kei sudah memastikan padanya, kalau dia akan baik-baik saja.
Ezra langsung merasa tak nyaman, setelah beberapa saat dia melihat ke sekeliling dan semuanya adalah orang-orang kaya dengan pakaian bagus mereka. Akhirnya dia mengambil segelas cocktail, kemudian agak menjauh, sambil memperhatikan para undangan disana – mencari Angky.
“Ezra?” sebuah tepukan dan panggilan namanya, membuat pria itu lekas menengok.
Ah Tony Liem rupanya, dengan… kekasihnya? Entahlah.
“Angky ada di sana” kata Kak Tony tanpa banyak basi-basi, menunjuk ke tempat dimana Angky berada, di sebuah beranda samping, dekat kolam renang. Pria itu kemudian tersenyum pada Ezra, dan berlalu lagi.
Ezra hanya tertawa kecil, dia lalu cepat menyusul ke tempat dimana Angky berada. Pria itu rupanya sedang duduk di pinggir kolam renang, ditemani segelas minuman dan sebatang rokok yang menyelip di antara dua jarinya.
“Bosen?” tanya Ezra, begitu duduk disamping Angky. Dia menyapa tanpa basa-basi.
Angky yang sedang agak melamun, hampir menjatuhkan rokok nya.
“Mm” gumamnya, sambil melirik sekilas saja, tak begitu tertarik dengan siapapun yang mencoba berkenalan dengannya. Tapi kemudian dia menoleh sekali lagi begitu merasa mata nya tidak sedang menipunya. Disana ada orang yang sangat dia kenal… dan sedang dia pikirkan.
“Ezra?” Mata besar Angky melebar, tak percaya.
Ezra menoleh dengan tenang. Dia malah ikut menggulung celananya sampai lutut, kemudian memainkan kakinya di air.
Angky terdiam, berpikir, dari mana Ezra bisa tiba-tiba muncul disana. Oh, pasti karena dia teman baik Kei.
“L- lo dateng buat ngeliat Kei, kan? Tadi dia luar biasa” kata Angky lagi, mencoba untuk tenang.
“Ya, dia pemain piano terbaik yang gue tau” sahut Ezra. “Tapi gue kesini bukan cuma buat ngeliat dia…” tambah pria itu, sambil meminum minumannya.
Angky melirik Ezra lagi, ragu-ragu. Dan cepat mengalihkan lagi matanya ke kolam, ketika Ezra balas melihat ke arahnya.
“Gue cuma… memenuhi undangan yang dia kasih ke gue”
Angky mengangguk pelan. Jujur saja, barusan dia sudah begitu percaya diri, karena berharap Ezra muncul disana untuknya.
“… dan gue tau kalo lo juga ada disini” lanjutan perkataan Ezra, membuat Angky menghentikan sebentar gerakan kakinya di air. Debaran berbahaya yang biasa, kembali menguasai dadanya.
Angky hanya berdehem pelan, dan melihat Ezra dari ujung matanya.
“Yah… mungkin kita emang punya ikatan takdir yang cukup kuat, sampe harus selalu dipertemukan. Lo merasa gitu juga?” Ezra masih berkata. Pria itu menekankan kedua telapak tangan pada lantai di belakangnya, hingga dia bisa bersandar pada tangannya itu dan memandang jauh ke arah langit malam.
“Mungkin” jawab Angky pendek, mendadak sangat gugup. Dia memang sudah berharap banyak pada pria ini, terutama untuk memiliki perasaan yang sama dengannya – walau dia tahu pasti tak akan mudah, karena sudah sekian lama Ezra meyakinkan perasaannya untuk Kei.
Ini memang bagian yang cukup membuatnya depresi. Dia akan senang jika Ezra tiba-tiba mau membalas perasaannya, hanya saja – bagaimana kalau ternyata tidak pernah sepenuh hati? Seperti yang diingatkan oleh Kak Tony. Ah rasanya Angky sangat ingin tak peduli.
“Laki-laki yang tunangan di dalem itu—“
“Gue tahu, dia yang disukai sama Kei” sela Angky cepat, begitu dia menduga Ezra akan menjelaskan siapa Adrian Wijaya dan bagaimana hubungannya dengan Kei.
Ezra tersenyum, agak kecut.
“Ya, gue gak habis pikir sama Kei…” gumamnya.
“Kei cuma mencoba untuk melanjutkan hidup dia dengan lebih baik, dan menunjukkan pada laki-laki yang dia sukai, kalau dia baik-baik aja. Lagian, dia udah menemukan seseorang yang menyukai dia dengan tulus” jelas Angky, entah kenapa, dia mendadak ingin bicara banyak sekali soal itu. Sedikitnya, dia mungkin ingin menyadarkan Ezra.
Ezra terdiam, mencerna kalimat demi kalimat yang dikatakan Angky. Dia cukup memahami itu dan bisa menerimanya. Sepertinya memang benar, termasuk bagian tentang seseorang yang sekarang ada di dekat Kei, yang tulus menyukai sahabatnya itu.
Tidak, bukan dirinya – tapi Galang.
Helaan nafas Ezra, membuat Angky menoleh pada pria tampan itu. Ezra masih mengangkat sedikit wajahnya, melihat ke arah langit. Angky disuguhi lagi pemandangan wajah tampan Ezra dari samping, yang pernah menggugahnya dari sejak pertama kali mereka bertemu. Hidung yang ramping, dipadukan dengan dagu dan rahang yang seksi itu.
Angky mengedipkan matanya, lalu ikut memandang ke langit, sebelum dia merasa akan kehilangan akal sehat, kemudian menyerang pria itu.
Beberapa menit, mereka sama-sama terdiam, meresapi keheningan yang terasa hangat – hanya dengan duduk bersebelahan satu sama lain, entah kenapa rasanya sudah cukup. Perasaan baru yang menenangkan keduanya.
“Ehm…” Ezra akhirnya memecahkan keheningan yang nyaman itu. Dia duduk dengan benar, lalu mencoba mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. “Karena sekarang kita kebetulan ketemu… gue mau—“
Angky menoleh, tiba-tiba dia teringat dengan deal mereka ketika waktu itu. Cincin darinya yang akan menentukan nasib kisah cintanya. Oh shit, dia baru sadar kalau tidak ada satu pun jari di tangan Ezra yang memakai cincin itu. Ezra pasti akan mengembalikannya.
That means, he will get rejected. Ugh.
Angky menarik nafas dalam-dalam, karena mendadak terasa sesak. Dia harus menyiapkan dirinya. Dia memang tak boleh berharap terlalu banyak. Ezra mungkin tak pernah berpikir untuk bersamanya—
“Ini…” Ezra pun menunjukkan cincin milik Angky. Dengan tak enak hati, Angky melihat pada pria itu, sejujurnya dia ingin sekali memohon agar Ezra jangan mengembalikan cincin itu.
Please, don’t reject me…
“Pasangin di jari gue yang lo suka” lanjut Ezra tiba-tiba, sambil menunjukkan juga tangannya.
Angky tertegun. Dia yang sedang berusaha diam-diam untuk mengendalikan diri agar tak bertindak bodoh, dan mencoba untuk membesarkan hati – jadi terpaku.
Dia melihat pada tangan Ezra, kemudian pada wajah pria tampan di hadapannya, bergantian.
“Hu- huh?” gumam Angky akhirnya, bingung – dan tak ingin lekas mempercayai apa yang dia dengar. Bisa saja dia sedang berhalusinasi sekarang, saking dia begitu putus asa-nya.
Ezra menganggukkan kepala, raut wajahnya datar saja.
“Pasangin cincin lo di jari gue yang lo suka” ulang Ezra. Sebenarnya dia sengaja memasang raut datarnya, agar tak terlihat kalau sebenarnya dia sangat gugup.
Angky membuka sedikit bibirnya, tapi kemudian mengatupkannya lagi.
“Pa- pasangin?” tanya pria itu, akhirnya, tanpa nada suara memprotes.
“Iya” Ezra menganggukkan kepala lebih meyakinkan lagi. Dia menyimpan cincin Angky di tangan pria itu, kemudian menunjukkan lagi tangannya, menunggu Angky memasangkan cincin disana.
Dengan agak gemetar, Angky pun memasangkan cincin itu di jari manis tangan kiri Ezra, sedikit sempit – tapi ternyata cukup juga.
Angky menggigit bibirnya, masih tak percaya. Jadi ini artinya adalah--?
“Ini pertama kalinya ada cowok masangin cincin di jari gue” ujar Ezra sambil tertawa geli.
Angky ikut tertawa gugup. “Ini juga pertama kalinya gue masangin cincin di jari cowok”
Ezra tersenyum, kemudian melihat pada Angky dengan tatapan lembut yang serius di matanya.
“Lo juga orang pertama yang bikin gue pengen berpaling dari Kei” katanya.
Angky terpana.
“Y- ya, dan lo orang pertama yang udah ngehancurin prinsip-prinsip gue” sambung Angky.
“Lo orang pertama yang bikin gue merasakan sesuatu yang gak gue ngerti” Ezra menyahut lagi. “Orang pertama yang bikin gue pengen ngelupain Kei, dan gak hanya fokus sama sahabat gue itu”
Angky mengangguk kaku.
“Lo juga orang pertama yang udah mengganggu pikiran gue, bikin gue mau menyerahkan apapun, dan melakukan apapun…” dia menimpali.
Mereka terus saling menyambung kalimat dan semakin menyadari kalau tengah saling mengungkapkan perasaan.
Ezra tertawa pelan setelah menyudahi kalimatnya. Dia merasa sangat lucu. Tapi bagi Angky, ini jelas lebih membahagiakan lagi. Selama ini dia tak pernah terpikir kalau sebenarnya Ezra pun memperhatikannya dan merasakan hal yang pertama kali sudah membuat pria itu mau berhenti untuk tidak lagi hanya terfokus pada satu orang.
It is so damn great.
Khayalan dan harapannya ternyata menjadi kenyataan. Hidupnya pun semakin sempurna. Sekali lagi, Angky merasa sangat beruntung.
Ezra berhenti tersenyum-senyum, kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Angky. Dia mengecup pelan kening pria itu, sebelum kemudian menurunkannya ke hidung, pipi dan berakhir di bibir.
Angky memejamkan mata dengan reflek. Dia tak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang, Kalau dia ditanyai apa momen paling membahagiakan baginya yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya, maka inilah momen itu.
Tanpa sadar, Angky sudah menyimpan tangannya di belakang kepala Ezra dan menarik pria itu agar semakin menekan ke arahnya. Mereka memang sudah terlalu terbuai dengan ciuman, di dukung oleh suasana yang terlalu bagus di sekeliling mereka.
BYUR
“OH!”
Keduanya terkejut ketika menyadari sudah tercebur ke dalam kolam. Mereka saling melihat, kemudian tertawa bodoh. Pakaian, rambut dan badan mereka sudah basah kuyup.
“Astaga…” gumam Angky sambil mengusap rambutnya ke belakang agar tak menghalangi wajahnya. Dia melihat pada tux yang dipakainya, yang sudah tak bisa diselamatkan.
Ezra masih tertawa dan menghampiri pria itu, dia memeluk pinggang Angky hingga mereka kembali berhadapan – kemudian mendorongnya ke ujung tembok kolam renang. Angky agak terkejut, dia mengira mereka akan segera naik – tapi Ezra justru malah kembali menyatukan bibir mereka yang sudah basah dan sedikit bergetar karena dingin.
Angky tak menolak. Tubuh mereka yang merapat membuat keduanya menjadi hangat. Mereka sudah tak peduli dengan pesta di dalam, tak peduli dengan orang-orang disana. Dunia mereka sekarang ada disini.
Berdua saja.
- - - - -
Telapak tangan Ezra mendadak terasa sangat dingin daripada biasanya. Pria tampan itu mengusap-usapkannya untuk membuatnya terasa lebih hangat, sekaligus membuang gugupnya. Dia sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah keluarga Prajaya. Sebelum menekan bel yang ada disana, dia melihat dulu jam tangan di pergelangan tangannya – masih terlalu sore bagi Angky untuk berada di rumah. Lagipula, beberapa saat lalu dia sudah menelepon dan memastikan pacarnya itu memang masih berada di kantor.
Ezra menjalankan rencana yang dia pikirkan dengan mendadak. Dia ingin mengenal keluarga Angky. Kalau Angky memang masih merasa berat untuk melakukannya, kenapa tidak dia mengatasinya sendiri? dia bukan anak-anak. Dia sudah berani pacaran dengan Angky, akan lebih baik kalau dia bisa membuat keluarga pacarnya tahu tentang dirinya secara langsung.
Terserah bagaimana mereka akan menyambutnya.
TING TONG
Ezra menekan bel yang pertama. Dia menarik nafas dalam-dalam dan merapikan sedikit rambut juga jaket yang dipakainya. Untung tadi dia sempat mandi di studio setelah selesai mengajar, karena biasanya dia akan mandi di rumah.
KLIK
Ezra baru akan menekan bel untuk kedua kalinya, ketika gerbang itu terbuka. Otomatis.
“Silahkan masuk” Ezra juga mendengar suara dari intercom.
Pria tampan itu pun melangkah masuk, memasuki halaman rumah keluarga Prajaya. Sebenarnya tidak begitu luas, namun memang terlihat mewah. Dia tahu kalau keluarga ini memang cukup terpandang di Jakarta karena perusahaannya, tapi dia baru tahu kalau ternyata mereka tidak se-glamour yang dia duga. Harusnya Ezra juga sadar, begitu melihat Angky yang tak pernah tampil berlebihan, meski dia adalah seorang direktur muda. Keluarga ini sudah membuat orang-orang tahu betapa terpandang dan kaya raya nya mereka, tanpa harus menunjukkan.
“Ya?” seorang wanita cantik sudah membukakan pintu, begitu Ezra sampai di depannya. Wanita itu tersenyum ramah dan sekilas senyumannya mirip dengan Angky.
“Ehm, saya Ezra, teman Angky” Ezra langsung mengenalkan diri dengan sopan.
“Oh” Kirani agak terkejut tapi tak mengurangi senyum ramahnya. “Masuk!” ajak wanita itu tanpa banyak berbasa-basi lagi.
Ezra agak terkejut karena tak mengira akan langsung mendapat sambutan sebaik itu. Dia pikir, akan ditanyai dulu atau malah diberitahu kalau Angky tak ada dirumah.
“Saya Kirani, kakak kedua Angky. Kebetulan dia lagi di kantor, tapi kamu bisa nunggu dia” ujar Kirani, lebih ramah lagi, begitu Ezra mengikutinya masuk ke dalam.
Ezra yang masih merasa gugup, hanya bisa tersenyum.
Mereka langsung menuju ruang tengah. Disana cukup sepi dan sepertinya memang tidak banyak orang yang menghuni rumah besar ini.
Mata Ezra langsung tertuju pada seorang bayi perempuan cantik yang sedang bermain dengan boneka-bonekanya. Itu pasti keponakan Angky, pikir Ezra. Dia memang pernah mendengarkan ceritanya dari Angky. Ezra pun langsung mendekat kesana, padahal Kirani sudah menyuruhnya untuk duduk di sofa.
“Oh dia keponakan kita… namanya Cilla” Kirani langsung mengenalkan sebelum Ezra bertanya.
“Cilla cantiknya~” kata Ezra sambil mencubit pipi Cilla, pelan. Bayi cantik itu tersenyum kepadanya.
Kirani tertawa. “Dia lagi belajar jalan, jadi butuh perhatian ekstra”
“Saya dengar, dia mau ulang tahun…”
“Ya, akhir minggu ini”
Ezra dan Kirani saling melihat dan melempar senyum.
“Kamu datang aja ke pesta Cilla nanti, Ez- Ezra” tambah Kirani. Entah kenapa, dia cepat merasa bisa akrab dengan Ezra, padahal mereka baru saja saling mengenal. Kirani bisa menduga kalau pria ini bukan teman biasa, bagi adiknya.
Ezra merasa tersanjung karena langsung diundang seperti itu, dia pun hanya mengangguk dengan senyuman yang semakin lebar.
“Rani, siapa yang dateng?”
Pak Yoga dan istrinya muncul disana. Diikuti juga oleh Kinanti yang keluar dari kamarnya sambil membawa susu untuk Cilla.
Ezra pun lekas berdiri menghadap pada mereka. Ketegangannya yang tadi lumayan sempat mencair setelah mengobrol dengan Kirani, mulai terasa lagi. Dia meyakinkan dirinya, memandang mereka dengan mantap.
“Selamat sore semua, saya Ezra, teman dekat Angky…” dengan sopan, dia mengenalkan diri lagi. Kirani tersenyum-senyum, sementara kedua orang tua dan kakaknya masih tampak bingung. Mereka saling melirik penuh arti.
Ezra bisa merasakan kalau mereka akhirnya mengerti siapa dia sebenarnya. Dia harus memberikan kesan yang paling baik untuk mereka. Hingga mereka pun akan menerima dirinya dengan baik, membuatnya merasa pantas menjadi pacar Angky dan bisa berada di antara mereka.
- - - - -
“Aku udah bilang, kalau Angky pasti punya pacar” ujar Kirani masih tak berhenti tersenyum. Dia berbaring bersama Cilla di atas tempat tidur kakaknya.
“Yah, aku juga udah menduga…” sahut Kinanti, agak datar. Kakaknya itu tengah melipat pakaian Cilla.
“Dia ganteng, ya? Selera adik kita emang tinggi” Kirani tertawa pelan. Dia memainkan rambut Cilla yang mulai panjang, sementara keponakannya asik memainkan boneka macan nya.
Kinanti menghela nafas saja, lalu menyimpan pakaian yang sudah dilipatnya ke dalam lemari.
“Kenapa? Mbak gak suka dia, ya?” tanya Kirani, menebak sikap Kinanti yang tampak tidak enak. Padahal tadi dia melihat Kinanti pun sepertinya cepat akrab dengan Ezra.
“Nggak, Mbak juga suka dia kok. Dia laki-laki yang baik”
“Terus kenapa Mbak kayak keberatan…?”
“Bukan. Mbak cuma ngerasa sikap Ayah sedikit nggak enak…” Kinanti duduk di ujung tempat tidur. “Mbak takut aja kalau mereka harus ngelewatin hal yang nggak menyenangkan”
Kirani mendekat pada kakaknya, dan mengusap kedua bahu wanita itu.
“Tenang Mbak, mereka udah bukan anak kecil lagi. Ayah mungkin masih merasa risih, tapi Ayah gak menentang, kan? Dan Ibu, kayaknya Ibu juga suka sama Ezra” katanya, menenangkan Kinanti.
Kakaknya itu mengangguk pelan, dan memegang tangan Kirani yang berada di pundaknya.
“Kita harus dukung apapun yang dipilih Angky , selama itu bikin dia bahagia. Dan aku yakin, Ezra adalah salah satu hal yang akan membuat Angky bahagia. Adik kita gak akan memilih laki-laki yang salah” tambah Kirani.
Kinanti melirik adiknya dan mereka pun saling melempar senyum.
Yah, itu benar.
Mereka hanya menginginkan semua yang terbaik untuk Angky.
- - - - -
THE ENDING
Untuk kedua kalinya, Angky memeluk Kak Tony dan menepukkan tangan ke punggung pria itu. Dia sebenarnya masih tak bisa terima karena Kak Tony tiba-tiba saja memutuskan untuk tinggal di Amerika. Angky pikir, begitu Kak Tony berada di Indonesia, pria itu tak akan pernah ke luar negeri lagi. Tapi ternyata dia memilih untuk tinggal di California, bersama laki-laki mudanya – siapa lagi kalau bukan, James .
Angky sebenarnya lega karena akhirnya tak perlu lagi melihat laki-laki itu, tapi dia tak mau kalau Kak Tony pergi juga. Sayang sekali seniornya ini memang sudah terlanjur jatuh cinta pada James – seperti yang pernah dia duga. Dan demi bisa bersamanya, dia pun tak keberatan untuk tinggal di luar negeri – karena kenyataannya, keluarga James tak menyetujui hubungan mereka.
Angky tak bisa melakukan apapun. Dia hanya mendoakan yang terbaik untuk Kak Tony. Karena dia sendiri sadar, cinta sanggup membuat siapapun melakukan hal yang paling nekat.
“Take care, Bro” katanya.
Kak Tony mengangguk, “You too, please be happy with your Ezra” dia tersenyum menggoda seperti biasa.
Angky hanya tertawa pendek.
“Jangan lupa hubungin gue terus ya, Kak”
“Ok. Bye bye!”
Angky melambaikan tangannya juga, melihat Kak Tony sudah menjauh memasuki bandara, bersama James – yang bahkan di akhir pun masih berani mengerling genit ke arahnya. Namun kali ini Angky tak begitu ambil pusing,
Pria tampan itu menghela nafas panjang, kemudian melihat pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Tepat waktu menuju makan malam. Dia harus pulang. Malam ini Cilla berulang tahun ke satu tahun, dan mereka sekeluarga akan merayakannya. Dia ingin sekali membuat sesuatu yang istimewa untuk keponakannya itu.
Angky memasuki BMW hitamnya, tak langsung menyalakan mesin mobilnya ketika dia melihat ponselnya yang menyala di kursi penumpang di sebelahnya. Ternyata beberapa sms dari kakak-kakaknya.
Ah, tapi tidak ada sms atau telepon dari Ezra.
Sudah hampir satu minggu ini mereka tak bertemu, karena Ezra bilang sangat sibuk dan tak akan sempat terus-terusan bertemu dengannya. Mereka sudah bersama selama hampir 2 bulan terakhir, namun Angky belum sempat mengenalkan pria itu pada keluarganya, meski mereka seperti sudah bisa menerima dia dengan sepenuhnya – tapi Angky masih merasa jengah untuk membawa seorang laki-laki ke rumahnya, kemudian mengenalkan pada keluarganya sebagai kekasihnya.
Angky pernah mengutarakan hal itu pada Ezra, dan mungkin Ezra sedikit terluka. Seolah Angky tampak malu untuk mengakui kalau mereka memiliki hubungan yang special. Padahal Angky tak bermaksud seperti itu.
Yeah, kinda complicated.
Untuk pesta ulang tahun Cilla malam ini pun, sebenarnya dia ingin mengajak Ezra, tapi dia takut pria itu menolak. Serba salah sekali.
~
Angky memasuki rumahnya dan melihat sudah banyak hiasan dari depan pintu rumah hingga sepanjang koridor dan berakhir di ruang tengah rumah mereka.
Dia langsung melepas jaketnya dan melesat ke dapur, melihat kakak-kakak dan ibunya sedang sibuk membuat banyak sekali makanan.
“Hey semua…” sapa Angky.
“Oh, kamu baru pulang” sahut ibunya,
“Iya…” Angky memeluk wanita setengah baya itu, kemudian melihat pada kakak-kakaknya. “Dimana Cilla? Tidur?”
“Nggak, Cilla di kamar kamu” jawab Kinanti.
“Eh? Di kamar aku?” Angky mengernyitkan kening. Apa ayahnya membawa Cilla kesana? Tapi mana mungkin? Ayahnya lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam di ruang baca daripada harus bermain dengan cucu-nya. Apalagi sampai membawa Cilla ke kamar Angky. Aneh.
“Iya, kamu kesana aja” sambung Kirani pula, Angky melihat senyuman yang aneh di wajah kakaknya itu – tapi dia tak mau bertanya dulu dan segera menuju kamarnya.
“Cilla…” panggil Angky sambil membuka pintu kamarnya.
“OH astaga!” dia nyaris berseru kaget, ketika dilihatnya seseorang sedang berbaring bersama Cilla di kasurnya. Mata Angky melebar demi melihat orang yang tak pernah dia berani duga akan berada disana.
“Eh, om udah pulang, Cilla!” Ezra langsung berkata pada bayi cantik itu ketika melihat Angky disana dan tak mempedulikan wajah shock kekasihnya itu. Cilla juga melihat pada Angky dan memanggil-manggilnya dengan nama yang hanya dia mengerti.
“Apa-apaan ini Ezra…” gumam Angky agak mendesis tak percaya.
“Hm, apanya?” Ezra bangun dan duduk disebelah Cilla, yang kembali sibuk dengan mainannya.
“Kenapa lo bisa ada di kamar gue!?” seru Angky akhirnya, tak bisa membendung kekagetannya.
Ezra pun tertawa.
“Gue diundang sama keluarga lo untuk menghadiri ulang tahun Cilla nanti malem” jawabnya, enteng.
“Tapi—lo sama keluarga gue—gimana bisa…” Angky sampai tak bisa bertanya dengan benar.
Ezra beranjak dari tempat tidur Angky dan menghampiri pria itu. Dia berdiri di hadapannya.
“Keluarga lo sangat hangat… mereka nerima gue dengan baik” katanya. “Gue udah lama gak punya keluarga, dan ini sangat luar biasa buat gue”
“Yah, tapi—“
“Udahlah” sela Ezra sambil mendekap Angky. Dia memandang pria itu lembut. “Lo suka liat gue disini, kan?” bisiknya.
Angky tak bisa berkata-kata, tentu saja dia sangat senang. Dia pun hanya mengedip-ngedipkan mata besarnya. Ezra tersenyum gemas, lalu mengecupkan bibirnya ke salah satu mata besar itu. Mereka saling menatap, tak begitu puas, hingga Ezra bermaksud mencium bibir Angky – tapi jeritan Cilla menyentakkan keduanya.
Mereka melihat pada anak kecil itu bersamaan, Cilla ternyata sedang menutupi matanya sambil tertawa-tawa, seolah dia memang mengerti dengan apa yang dilakukan Angky dan Ezra.
“Aduh” gumam Angky pelan, jadi malu. Dia menepuk dada Ezra dan melepaskan dekapannya. Dia pun mendekati Cilla untuk bermain dengan anak kecil yang semakin menggemaskan itu.
Ezra tertawa dan menghampiri mereka juga.
“Ayo dong Cilla, Kakak pengen cium Om nya Cilla~” ujarnya malah bercanda.
“Heh!” Angky menepuk kepala Ezra pelan. “Jangan ngomong yang aneh-aneh ya! Lagian apanya yang Kakak? Lo juga om-om!” protesnya pula.
“Gue emang Kakak buat Cilla, gue masih kemudaan buat dipanggil Om” Ezra membela diri.
“Lo itu sebaya sama gue!" sergah Angky sebal.
Ezra menggeleng-gelengkan kepalanya, menggoda Angky.
Mereka jadi meneruskan berdebat sambil bercanda. Sementara Cilla ikut tertawa-tawa dengan mereka.
. . .
“Rame banget” gumam Ibu Angky sambil melihat ke langit-langit dapur, maksudnya menunjuk ke lantai dua, dimana kamar Angky berada.
Kirani tertawa pelan. “Cilla punya dua orang Om sekarang, dia pasti seneng banget…” katanya.
Kinanti ikut tertawa dan membenarkan.
“Iya, dan Ibu jadi punya dua anak laki-laki” sambung ibu mereka pula. Ketiganya saling melirik, lalu melempar senyum.
There is happiness when you can accept everything in the positive way.
- - - - -
FIN.
A/N: done. maap buat keanehan2 dan errornya. ini fiksi, pure of my imagination. makasih yg udh ada disini, smoga cukup menghibur. see ya!
hahaha silahkan cek di part brikutnya. trima kasih!
lol. thank you!
too much??? ahaa. trima kasih!
maybe yes, maybe no. but well ini cuma fiksi dan trkadang hal2 kaya gt justru menarik bwt disimak, right? hehe. trima kasih udah mampir bro!
hahaha really? trima kasih banyak udh mampir!
yah mohon diampuni. haha. trima kasih!
yep thanks a lot bro!
biarpun telat trus dateng2 dah kumplit lagi, tapi emang karya dirimu keren...
nama2nya gw suka bgt
Feelnya dapet bgt.. Dari judulnya udah mengira gak panjang tapi tetep puas. Trims
^_^
jadi tau FF, malah sempet nulis ff juga.
hihihi
ini YunJae yah awalnya?? tuh ada jaejoong juga. hehe
endingnya keren mas, suka.
next time bikin cerita lagi ya, tp model2 yng kuliahan gtu.
soalnya mas @rieyo626 itu pas bget bikin cerita anak muda bgtu.
hehe
Ditunggu cerita2 selanjutnya ya!