It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
(¬˛ ¬ ”)
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
Tp knpa di potong sih?? Buat pnasaran aja ...
Aku tunggu pas subuhnya yaaaa
hhaha.. cuma ganti nama doank..
Bar 15b. The Thrillig Duty
Mata Gigi sedikit tertegun saat melihat sosok pemuda yang terlihat di balik pintu, begitu juga dengan pemuda itu yang menatap wajah Gigi dengan tatapan kurang percaya.
“Gigi.. ada apa?” tanyanya dengan suara lemah.
Gigi masih tertegun untuk sementara waktu. Pemuda yang ada di depannya itu adalah Nue. Tapi penampilannya cukup berubah. Wajah putih Nue kini berubah menjadi putih pucat dan terlihat agak tirus. Matanya tampak cekung dan yang lebih mencolok lagi adalah dua lembar plester luka yang menempel di dahi dan dagu Nue. Hah? Apa yang terjadi dengan Nue?
"I.. ini.. aku denger kakak sakit, jadi aku dateng bawain makanan..” ujar Gigi sambil mengangkat dua bungkus plastik di tangan kanannya.
Nue mengangguk kikuk lalu ia membuka pintu lebih lebar seraya memepersilakan Gigi masuk. “oh.. ya, masuk dulu Gi..”
Gigi mengangguk kikuk lalu masuk ke dalam kamar Nue. Sudah lama ia tidak mampir ke kamar Nue sejak ‘malam itu’. Suasana kamar Nue tampak berbeda di mata Gigi. Dulu, kamar Nue agak berantakan dengan pakaian tergeletak sembarangan di atas kasur, sepatu yang tidak tertata rapi, meja belajar yang dipenuhi dengan buku dan kertas. Dulu Gigi lah yang membantu Nue membereskan kamarnya, tapi kini saat Gigi melihat kamar Nue yang rapi ini, pasti Grace yang merapikannya. ‘hmm.. kak Grace sering datang kesini rupanya..’ duga Gigi dalam hati sambil menggantungkan jaketnya di salah satu gantungan baju (hanger) di dinding kamar Nue.
Nue merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil salah satu punggung tangannya bersandar di dahinya.
Gigi mendekati Nue di kasurnya dan duduk di sampingnya. Dilihatnya wajah Nue yang pucat dan tampak lemah itu.
“kak.. kakak sakit apa sih?” tanya Gigi.
Nue membuka matanya tipis-tipis sambil tersenyum dengan sama tipisnya. “nggak Gi.. cuma panas doang..”
Gigi mengangguk pelan. Lalu saat mata Nue kembali terpejam, perlahan Gigi menjulurkan tangannya. Ia tempelkan punggung tangannya di dahi Nue. Nue perlahan membuka lagi matanya saat ia merasakan sebuah sentuhan di dahinya. Ia lihat Gigi yang buru-buru memalingkan fokus pandangnya sambil menempelkan punggung tangan yang lain di dahinya.
‘santai Gi.. ini cuma tugas.. ga ada salahnya pegang-pegang dikit..’ yakin Gigi dalam hati, meskipun ia sendiri tidak sadar jika wajahnya mulai bersemu.
“wuih... badan kakak panas banget..! kakak habis ujan-ujanan, apa?!” seru Gigi saat ia melepaskan sentuhan tangannya dari dahi Nue.
Nue memejamkan lagi matanya sambil tersenyum. “nggak Gi.. ya mungkin kecapean aja..”
Gigi tertegun. Dia setengah tidak percaya melihat kondisi Nue saat ini. Nue yang selama ini ia kenal begitu energik, bugar, kuat, keren, cool, ganteng..
#Gi.. cukup. Anda sudah keluar konteks.
...kini tergolek lemah di kasurnya. Gigi pun menyingkap sejenak keprihatinannya dan mengambil bungkusan makanan yang ia bawa.
“ya udah kak.. sekarang kakak makan dulu yuk.. kakak belum makan kan?”
Nue menggeleng pelan.
“ya udah, ayok makan dulu, terus minum obat.”
Nue masih diam dan mnegerjap-ngerjapkan matanya perlahan. Tampaknya dia enggan. Akhirnya Gigi harus memaksanya untuk bangun dan mendudukkannya di kasur itu.
“ayok..! biar ada tenaga.. kalo ga ada tenaga, gimana bisa sembuh?!” seru Gigi.
Ia membuka salah satu bungkusan dan mengeluarkan sebuah kotak dari sterofoam dan menyodorkannya pada Nue.
“apa nih?” tanya Nue sambil meraih kotak itu.
“bubur” jawab Gigi sambil membuka bungkusannya sendiri.
Nue melirik ke arah bungkusan yang Gigi buka. “punyamu apa? Kok beda?” tanya Nue saat Gigi mengeluarkan bungkusan dari kertas minyak.
“oh.. ini nasi goreng.” Jawabnya.
“lo.. kok aku dikasi bubur? Enakan nasi goreng..” protes Nue.
Gigi memanyunkan bibirnya sambil mengambil dua buah sendok dari rak kecil Nue. “dimana-mana kalo orang sakit juga makannya bubur, masa makan nasgor? Nggak so sweet dong..” jawab Gigi santai sambil membuka kotak bubur di tangan Nue dan menancapkan sendok di atas bubur itu.
“ayooo.. dimakan dong... ntar buburnya dingin nggak enak loh..” seru Gigi. ia pun kini tengah membuka bungkusan nasi gorengnya.
Nue memiringkan bibirnya lalu menyendok buburnya. Sebenarnya dia sedang tidak ada nafsu untuk makan saat ini. tapi melihat Gigi yang repot-repot membelikan bubur, ia jadi tidak tega untuk menolak memakan bubur itu. sedikit demi sedikit ia memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya.
‘ehmm.. enak juga’ (~_~)
Sekilas Gigi melihat ke arah Nue. Bibirnya tersenyum kecil saat melihat Nue yang makin lahap memakan bubur yang ia bawakan.
“laper kak?” tanya Gigi usil.
Nue hanya melirik ke arah Gigi sambil terus melanjutkan melahap buburnya. Gigi tertawa kecil melihat sikap Nue itu. ia pun dengan semangat menghabiskan nasi gorengnya sendok demi sendok. Agak lama keduanya khidmat dengan makanan masing-masing. Bahkan anak paling ramai akan diam jika sedang makan. Itulah keajaiaban dari makan.
Nue meletakkan kotak bubur yang sudah bersih. Mata Gigi menengok sekilas ke arah kotak itu lalu ia terkekeh pelan.
“wuih.. itu makan sekalian nyuci ya?”
“ck.. bawel kamu Gi..” tukas Nue sambil menyandarkan punggungnya di tembok.
“haha.. tadi aja belagak ogah-ogahan, taunya doyan juga..”cibir Gigi.
“ya.. namanya juga baru pertama kali makan bubur.. “kilah Nue.
Alis Gigi tampak mengangkat sebelah lalu berceletuk, “hah? Pertama kali? Masa’ sih? Terus dulu pas masih bayi makan apaan? Sate?”
Nue tersenyum kecil mendengarnya, “haish.. ya ga tau kalo itu..! yang jelas aku baru pertama makan bubur yang beginian.. Cuma kemarin aja aku nyuapin Grace pake bubur. Aku tapi aku sendiri ga ngicipin.”
“ooh..” ekspresi Gigi kontan berubah ketika Nue menyebut nama Grace. Ia pun melahap suapan terakhirnya.
“Gi.. emang sekarang kamu ga latihan ya?” tanya Nue.
Gigi melirik ke arah Nue sebentar sambil terus mengunyah nasi di mulutnya. “nggak, aku sudah diijinin ma Kak Grace.”
Nue mengangguk-angguk pelan. “hmm.. jadi Grace yang minta kamu kesini ya?”
Gigi mengangguk dengan malas. Ia memilih meremas-remas bungkusan kertas bungkusan nasi goreng tadi.
“sebenernya kamu ga perlu repot-repot gini Gi.. sampek ga latian segala..”
Gigi tersenyum sambil berdiri. Diambilnya kotak bubur Nue meski Nue sempat mencegahnya. “nggak apa-apa kok.. aku juga ga latihan biar ga ketemu sama di ulet..” ujarnya.
Mata Nue tampak heran dan bergerak mengikuti sosok Gigi yang berjalan melewati pintu kamarnya. Setelah Gigi membuang sampah-sampah pada tempatnya di luar kamar, ia berjalan kembali ke kamar Nue.
Ulet? Maksudnya?”
Gigi mendengus sesaat sambil duduk di sisi kasur Nue. “Itu.. si Adrian.. anaknya bikin hati gatel kayak ulet bulu!”
Nue termenung sambil mengalihkan fokus pandangangannya, sementara Gigi mengambil air dari galon air Nue (serasa rumah, eh, kos-kosan sendiri). Saat Gigi tengah menenggak airnya, Nue melihatnya dari belakang dan mengucapkan sesuatu yang membuat Gigi tersedak.
“Gi.. kalau anak itu gangguin kamu, bilang aja ke aku.. ntar aku ‘beresin’.”
Dengan gelagapan Gigi mengusap ceceran air di bibirnya lalu terbatuk-batuk sambil meletakkan gelas di meja.
“Kenapa Gi?” tanya Nue sedikit cemas melihat gelagat Gigi.
“Oh nggak... uhukk..uhukk... tersedak aja..” jawab Gigi sambil nyengir kuda. Setelah dia agak tenang, dia mengambil sebuah gelas lagi dan mengambil air dari galon lalu ia serahkan pada Nue.
“nih kak, minum..”
Setelah Nue meraih gelas itu dan meminum airnya, Gigi duduk di sisi kasur Nue dan menjawab tawaran Nue yang membuatnya tersedak tadi.
“Dia emang nyebelin sih.. tapi ga sampek mengganggu aku kok. Lebih dari itu, sebenernya dia baik dan asik. Jadi Kakak tenang aja..”
Mata nue tampak termenung pada gelas di tangannya. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat matanya melihat tetes-tetes air yang tersisa dalam dasar gelas yang ia pegang itu. Sekilas ia melihat ke arah Gigi yang menunduk sambil tersenyum-senyum sendiri seolah ia mengingat hal-hal lucu yang ia alami sebelumnya.
Nue memalingkan lagi pandangannya, kembali pada tetes air di gelasnya. “Kayaknya sekarang kamu deket sama dia ya?”
Gigi yang masih tersenyum geli menoleh ke arah Nue, lalu senyumnya memudar perlahan dan menyisakan sebuah senyum tipis di wajahnya. “Hmm.. nggak deket sih.. dia aja yang selalu nempel ke aku.. I dunno... kayakx dia suka ma aku.” ujarnya sambil terkekeh pelan.
Mata Nue melebar mendengar kata-kata Gigi. “maksud kamu? Ja..jangan bilang kalau kamu juga..”
Gigi buru-buru menoleh ke arah Nue. Dilihatnya ekspresi Nue yang makin pucat tengah menatapnya dengan mata melebar.
Dengan panik Gigi melambai-lambaikan tangannya. “Eh? Nggak..! aku ga ada perasaan sama dia?! Ah, emang kakak pikir aku apa?? aku..” Gigi mengalihkan pandangannya dan memanyunkan bibirnya sambil menundukkan kepalanya. “... masih normal tau..”
Mata Nue yang tadi melebar kini mulai sayu kembali. Bahunya kembali rileks bersandar di tembok yang ia jadikan sandaran. Gigi sekilas menangkap sikap Nue itu.
“oh iya, obat demamnya mana?” ucap Gigi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Segera saja ia berdiri dan tangannya mencari-cari di atas meja belajar Nue.
Nue tersenyum tipis. “Ga ada obat.. Udah nggak apa-apa Gi, aku tidur aja, ntar juga sembuh sendiri.” Ujarnya.
Gigi menoleh ke arah Nue dengan tatapan khawatir. Dia tidak yakin jika demam Nue bisa cepat reda hanya dengan tidur, mengingat suhu tubuhnya yang panas tadi. Gigi pun melihat ke arah kunci sepeda Nue yang tergeletak di atas meja.
“Hmm.. kalo gitu aku beliin di apotek ya..” ujarnya sambil meraih kunci kontak Nue.
“Hah? Ga perlu Gi.. “
“Perlu! Kakak harus cepet sembuh. Kalau kakak sakit, siapa yang ngajarin aku lagu pilihan buat lomba besok? Hari lombanya udah deket lo.. udah ya, aku pinjem sebentar motornya.”
Baru saja Nue membuka mulutnya untuk mencegah Gigi, Gigi sudah menghilang dari balik pintu, dan daun pintu pun berdebam pelan. Agak lama terdengar suara mesin sepeda motor Nue yang kemudian bergerak menjauh dan akhirnya suara itu menghilang. Suasana kembali sunyi, dan Nue pun kembali menundukkan kepalanya. Matanya bergerak-gerak menatap tangannya yang mengepal dan gemetar.
***
Gigi menghela napas dalam-dalam di tengah deru angin yang menerpa wajahnya. Dengan lincah ia melewati kendaraan-kendaraan yang merayap di jalan kota Jember. Sebuah kantung plastik berisi obat demam tampak bergelantungan di kait sepeda motor Nue.
Pikiran Gigi kini tidak hanya fokus pada jalanan kota yang gelap di depannya, tapi juga reaksi Nue tadi. Saat ia bilang Adrian menyukainya, Nue tampak begitu terkejut, padahal harusnya ia tahu kalau Gigi hanya bercanda. Apakah maksud reaksi itu? ekspresi wajah itu?
Gigi mencoba mengingat dengan persis kata-kata Nue.
“maksud kamu? Ja..jangan bilang kalau kamu juga..”
Gigi merenungkan kata-kata itu. dia merasa ada yang ganjil dengan rekasi Nue itu. Jika Gigi bilang kalau Adrian mungkin menyukainya, rekasi yang wajar harusnya Nue berkata. ‘ha? Jadi dia gay??’ atau mungkin ga jauh-jauh dari kalimat itu. Tapi dia justru menanyakan sikap Gigi, seolah memastikan apakah dia juga menyukai Adrian atau tidak. seolah dia tidak ingin Gigi juga memiliki perasaan dengan Adrian. Seolah Nue sedang cemburu......
Gigi mengerjapkan matanya sambil menggeleng pelan. ‘tuh kan..! Kenapa kamu selalu mikir ke arah sana Gi..? kenapa kamu selalu bersangka-sangka ga jelas..?? Kamu harus tenang Gi.. Abaikan saja.. Abaikan saja.. Yang penting sekarang kamu selesaikan tugas kamu ini dengan baik tanpa terpengaruh delusi-delusi kamu..!’ yakin Gigi pada hatinya sendiri. Ia tidak bisa membiarkan kedua sisi hatinya berdebat lebih panjang lagi. kali ini otaklah yang harus memegang kendali. Ya, Gigi harus tetap berkepala dingin. Activate, Stone sage mode! (naruto addict)
Gigi sampai dengan selamat di parkiran kos-kosan Nue. Kos-kosan Nue, entah kenapa, selalu tampak lengang. Kos-kosan Nue memang kebanyakan diisi oleh karyawan. Kebanyakan dari mereka pulang larut malam dan setibanya di kos juga mereka cenderung tenang dan beristirahat. Hanya Nue yang masih mahasiswa di sana. Kamarnya pun terpisah dari kamar-kamar lain. kamarnya ada tepat depan tempat parkir, sedangkan kamar yang lain ada di belakang. Gigi tidak tahu, kenapa Nue memilih kos-kosan seperti itu, tapi ada sisi baiknya juga. Suasana jadi tenang dan pas untuk belajar. Tentu Gigi tidak memerlukan suasana seperti ini karena ya.. ehemm.. dia buka buku saja sudah menjadi hal langka.
Gigi memutar-mutar kunci kontak Nue sambil berjalan menuju kamar Nue dengan santai. Dia lega karena sudah bisa ‘sedikit’ mengendalikan perasaannya. Pada akhirnya tugas ini tidak seberat yang ia pikirkan. Meskipun tugas sebenarnya belum sepenuhnya berakhir.
Baru saja Gigi menyentuh gagang pintu..
‘uuuggrhhhh..!!!’
‘Bruukk!!’
Gerakan tangan Gigi terhenti. Matanya tampak melebar setelah mendengar suara benturan dan erangan itu. erangan yang pernah ia dengar sebelumnya.
Bagai kesetanan, Gigi membanting pintu dan memasuki kamar Nue.
“Kak!!” seru Gigi setengah menjerit ketika melihat tubuh Nue yang meringkuk di kasur.
Kasur Nue sudah tidak jelas lagi rupanya. Sprei kasur itu terlepas dari bingkai kasur dan tubuh Nue yang kejang membuatnya makin berantakan menutupi sebagian tubuhnya. Gigi bergerak mendekati Nue, tapi tubuhnya terhenti. Ia bergerak kikuk di hadapan Nue yang tidak sadar. Tubuh Nue tampak menggelepar seperti ikan yang di geletakkan di darat.
Akhirnya Gigi bergegas menutup pintu dan kembali ke dekat Nue dengan kikuk. Ia bingung harus bagaimana. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya dan saat itu Gigi hanya bisa menonton dan menangis. Tapi, akankah kali ini dia diam saja dan menangis seperti dulu?
“kak Nue...” panggilnya parau pada Nue. Ia tahu suaranya tidak akan Nue dengar.
Tubuh Nue terus saja meronta dan sesekali mengerang cukup keras dan menyilet hati Gigi. Gigi tidak bisa menahan tubuhnya lagi, setelah melihat kepala Nue membentur tembok.
Tanpa pikir panjang, Gigi melompat ke kasur itu, dan didekapnya tubuh Nue sehingga tubuhnya terhindar dari tembok. Dia mendekap tubuh Nue erat. Ia tahu itu perbuatan bodoh dan berbahaya, tapi Gigi tidak tahu harus bagaimana lagi. Mendekap dan menahan tubuh Nue yang sedang kejang sangat sulit dan keras. Tubuhnya meronta sangat keras dan sesekali tangan dan kaki Nue memukul punggung dan perut Gigi. Dengan air mata bercucuran deras Gigi terus mendekap punggung dan kepala Nue. Ia terus bertahan meski hampir sekujur tubuhnya karena dihantam tangan dan kaki Nue.
‘bugg..’
Gigi meringis tertahan ketika siku Nue tanpa sengaja menghantam dadanya.
“uaaaggghhhhhh...” geram Nue, tapi Gigi tetap bertahan memeluknya.
“kak... tenang kak.. “ isak Gigi di telinga Nue.
Ini adalah pengalaman pertama Gigi memeluk Nue, dan harus ia awali dengan sesakit ini. tapi, Gigi tidak menghiraukan itu. ia membenci dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa di depan Nue. Selama ini dia hanya menunggu dan menangis. Dia tidak berani berbuat apa-apa untuk cintanya. Ya, Gigi lah yang selama ini membiarkan Nue pergi. Sama seperti saat Nue kejang , Gigi hanya bisa duduk menunggu dan menangis. Kini ia sadar, menangis saja tidak ada gunanya.
“maaf kak.. selama ini aku pengecut.. aku selalu takut untuk bertindak. Aku cuma menunggu dan menangis.. dan lagi-lagi menangis ketika kakak pergi.. tapi nggak kali ini kak.. aku ga akan lepasin kakak lagi... seperti saat ini, aku akan terus memelukmu kak, meski aku harus nahan sakit.. uughh....”
bisik Gigi.
Senyumnya melengkung tipis di balik derasnya air mata yang turun membasahi pipi dan jatuh di pundak Nue.
Seolah mendengar suara hati Gigi, perlahan kejang Nue mereda. Mata Gigi bergerak-gerak melihat tubuh Nue yang berhenti menggelepar. Dengan perlahan ia melepas dekapannya dan ia duduk bersandar di tembok sambil mengusap air matanya.
Perlahan mata Nue terbuka sayu. Dilihatnya sosok Gigi yang terduduk dan memandangnya dengan tatapan sendu.
“Gi.. kamu kenapa?” tanyanya dengan nada lemah.
“aku nggak apa-apa kok..” jawab Gigi sambil melengkungkan senyumnya, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Mata Nue bergerak-gerak kikuk. Ia melihat pakaian Gigi yang kusut, lalu melihat ke sekelilingnya. Kasurnya sudah berantakan, dan ia merasakan perih di dahinya. Dengan perlahan ia menyentuh dahinya yang sakit itu.
“dahi kakak lecet ya.. sebentar aku ambilin plester luka ya..” Gigi segera turun dari kasur Nue. Kini ia tahu arti plester luka di dahi dan dagu Nue.
Saat tangan Gigi tengah mencari-cari di atas meja belajar Nue, suara Nue membekukan gerakannya.
“aku.. baru aja kejang kan?”
Mata Gigi berubah getir. Dengan perlahan ia meraih plester yang terselip di bawah tumpukan buku di meja Nue.
“iya..” jawab Gigi singkat sambil membuka plester dan menempelkan di dahi Nue.
Nue tampak termenung. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya terasa sangat lemas. Agak lama barulah dia berkata dengan pelan dan lelah.
“maaf ya Gi.. aku selalu ngerepoti kamu dengan penyakitku ini.. “
Gigi menoleh ke arah Nue yang kini memejamkan matanya dengan tatapan getir. Ia pun duduk si sisi kasur Nue dan memandangi lantai di depannya. Dia memilih untuk tidak memandang mata Nue. Ia tidak mau Nue melihat bekas-bekas air mata dan kesedihannya.
“nggak kok.. aku ga merasa terbebani... “ ujarnya. Sebenarnya kata-katanya itu belum berakhir. Ia sangat ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini segel kuat-kuat dalam hatinya. Akhirnya dengan suara bergetar ia berkata dan menoleh ke arah Nue.
“sebenarnya aku..”
Bibir Gigi terhenti. Dilihatnya Nue sudah memejamkan matanya dengan pulasnya. Gigi melambai-lambaikan tangannya di depan mata nue dan tidak ada reaksi. Untuk sesaat bibir Gigi tersenyum tipis. nue sudah tertidur rupanya. Ia pun berdiri dan membenarkan posisi bantal di bawah kepala Nue, lalu merapikan sprei Nue, sehingga ia bisa tidur dengan lebih nyaman. Setelah itu, ia duduk di sisi kasur sambil menghela napas dalam.
Malam ini sungguh mendebarkan untuknya. Sesaat ia meringis saat sakit yang tajam terasa di perut dan dadanya. Gigi tidak akan kaget jika besok ia kan menemukan banyak luka memar dan lecet di tubuhnya. Harus Gigi akui, dia sangat bodoh, karena mencoba menahan bangkitan penderita epilepsi. Ya, dia sangat bodoh. Tapi Gigi meyakini satu hal, dia tidak pernah menyesali tindakannya itu. Ia lega, bisa berbagi rasa sakit dengan Nue, meskipun ia tahu, sakit yang Nue rasakan mungkin jauh lebih sakit daripada sakit yang Gigi terima.
Gigi menatap Nue yang terlelap di sampingnya.
Nue tampak tertidur dengan pulas. Ini wajar, bagi penderita epilepsi yang baru saja mengalami ‘bangkitan’ akan lemas dan tertidur. Gigi tidak tahu berapa lama Nue kejang sejak ia tinggal pergi ke apotek, tapi dari tubuh Nue yang benar-benar lemas kini, tampaknya ia kejang cukup lama. Untuk sesaat Gigi merasa prihatin pada nue. Pemuda tampan sepertinya harus mengidap penyakit semacam ini.
Lagi-lagi Gigi menghela napas dalam. Malam ini, Gigi sadar, kalau dia tidak bisa terlepas dari Nue. Dari kejadian tadi, Gigi bisa merasakan ikatan perasaan yang dalam pada dirinya terhadap Nue. Ikatan yang menjerat hati Gigi dan Gigi tidak bisa lepas dari ikatan itu. Gigi merasa sangat bodoh jika selama ini ia berusaha melupakan Nue. Ia harusnya tahu jika hal itu tidak ada gunanya dan takkan berhasil. Dia putus asa, karena Nue tidak kunjung menyatakan cinta padanya dan justru kembali pada Grace. Ya, Gigi hanya putus asa dan cemburu. Tapi Gigi juga menyadari jika hal itu terjadi ‘mungkin juga’ karena dirinya sendiri. Ia selalu menunggu dan menunggu tapi tidak mau mengungkapkan dan mengakui perasaannya. Ia masih saja takut pada anggapan bahwa dia adalah seorang gay. Kini Gigi mencoba membuang semua ketakutan itu. ia tidak bisa diam saja dan menunggu Nue dalam bayangan. Semua memori tentang Nue, seperti bagaimana Nue sangat memanjakannya, tatapan mata Nue padanya, sikap protektif Nue padanya, dan sikap aneh Nue terhadap Adrian.. semua itu cukup meyakinkan hati Gigi untuk berpikir ‘bahwa Nue memiliki perasaan’ terhadapnya.
Kini satu sisi hati yang pro Nue yang harus menang. Sisi hati anti Nue harus mengalah dan otak kini harus bekerja sama dengan sisi hati pro Nue. Sesekali sisi hati anti-Nue menyahut, ‘lalu gimana dengan Grace? Igat, ue sudah punya pacar!’
‘who cares?’ balas sisi hati pro Nue, ‘aku ga peduli apa dia sudah punya pacar atau nggak.. yang jelas aku harus ungkapin perasaaku. Entah ati ditolak atau diterima, yang jelas, aku ingi dia tahu gimana perasaanku ke dia.’
Mendegar itu, sisi hati anti Nue hanya menunduk lesu.
Kini yang Gigi perlu pikirkan adalah bagaimana untuk mengungkapkan perasaannya pada Nue. Meski Gigi sudah membulatkan tekad, tapi tetap saja mengungkapkan cinta ke seorang sesama cowok, sangatlah sulit dan taruhannya sangat besar! Menyatakan cinta secara langsung cukup mustahil bagi Gigi.
‘aaarrghh.. terus aku mesti gimana??’ jerit Gigi dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya. Hingga pandangannya jatuh pada gitar yang berdiri di sudut ruangan kamar Nue. Untuk beberapa lama Gigi termenung pada gitar itu, dan akhirnya ia tersenyum. sepertinya dia sudah mendapatkan ide dari gitar itu.
Segera ia ambil ponsel di sakunya dan ia aktifkan ponsel itu. loh, kenapa Gigi mengaktifkan lagi ponselnya? Bukankah ia ingin menghindari ‘gangguan’ dari Adrian? Tidak, ternyata Gigi punya rencana lain. begitu ponselnya aktif, benar saja, belasan sms menghujani inbox Gigi, tapi Gigi mengabaikannya dan menuliskan sebuah pesan pada nomor ‘ulet bulu’.
Ibu jarinya tampak mengambang di atas keypad ponselnya, tampak ia bimbang. Ia pun menoleh ke arah Nue. Seolah mendapatkan dukungan semangat, ia lalu ia tersenyum dan mengetikkan pesan itu dengan mantap.
‘oke, aku gabung.’