It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“PLAAAKKKKK...!!!”
“DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI, LEBIH BAIK AKU MATI DARIPADA HARUS PUNYA ANAK SEPERTIMU!” hardik Bapak kepada anaknya.
“Kenapa kamu seperti ini nak, apa salah Bapak dan Ibu kepadamu sampai kamu seperti ini?” rintihan Ibu yang menunduk sambil menangis sesenggukan.
“Ampuni Adi Bu, ampuni Adi” Adi menangis berlutut sambil memeluk kaki Ibunya.
“SEBELUM AKU KEHILANGAN AKAL SEHAT UNTUK MEMBUNUHMU, LEBIH BAIK KAMU PERGI DARI RUMAH INI, DAN JANGAN PERNAH MUNCUL DI DEPAN KAMI LAGI... KELUAR!!!” usir Bapak pada anaknya.
Akhirnya dengan tangisan yang menguras air mata, akhirnya Adi mengemasi seluruh barang-barangnya yang masih ada di rumah dan pergi meninggalkan rumah yang telah dia tempati sejak kecil bersama keluarganya. Dalam kepergiannya, Ibu, adik dan kakak iparnya yang menangisi kepergiannya, sedangkan Bapak dan kakaknya masih bergejolak api kemarahan dan kekecewaannya karena mengetahui jati diri anaknya yang mempunyai kelainan terlarang.
Beberapa jam kemudian Adi telah sampai di dalam kamar kostnya yang berbeda dengan kota tempat keluarganya bernaung. Setahun sudah dia menempati kamar itu yang bersamaan dengan dia mendapatkan pekerjaan barunya di kota itu, kota metropolitan di suatu Provinsi yang terkenal di Indonesia.
Sejak kedatangannya di dalam kamar kost, Adi hanya bisa duduk lemah tak ada semangat untuk melakukan apapun. Semua yang ditakutkan seumur hidupnya akhirnya terjadi sudah. Orang yang membenci terhadapnya memberitahukan jati dirinya kepada keluarganya bahwa Adi punya kelainan yang menyalahi kodrat.
Air mata yang selalu keluar tiada hentinya, Adi hanya bisa melamun karena merasa hidupnya telah hancur.
Adzan Shubuh berkumandang bersahut-sahutan dari masjid satu dengan yang lainnya, yang membuat Adi terbangun dari tidurnya, tepatnya tertidur di tengah malam karena seluruh raganya lelah atas kejadian yang memilukan tersebut, dan bahkan jiwanya juga sangat hancur.
Setelah mandi, wudlu, dan shalat Shubuh, Adi tidak sanggup untuk mengucap berdo’a, dia hanya bisa menengadahkan tangan, menunduk, dan menangis sejadi-jadinya. Tiada kata yang bisa ia ucapkan, apalagi ia tahu bahwa Tuhannya pasti tahu apa yang ada dalam hatinya dan apa yang diinginkannya saat ini.
“Hai, Di... Lho kamu kenapa kok pucat begitu, kamu sakit?” sapa teman kantornya saat ia tiba di kantornya.
“Hai juga, nggak kok, aku nggak apa-apa, hanya kurang istirahat saja.” Balas Adi menjawab sapaan temannya dengan senyum yang dipaksakan.
Tuuuttt...tuuuttt...
“Iya, Pak” jawab Adi menjawab panggilan telepon dari bossnya.
“Tolong ke ruangan saya sekarang ya, Di” jawab Pak Chandra yang telah menjadi bossnya selama hampir setahun ini.
“Baik, Pak”
“Adi, kamu sakit?” tanya bossnya saat Adi sudah duduk di depannya karena melihat wajah Adi yang pucat.
“Tidak, Pak. Saya sehat, mungkin kurang istirahat saja semalam” jawab Adi sambil tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Oiya, begini Di, berhubung kontribusi kamu yang sangat baik di kantor ini, saya berencana untuk menjadikan kamu manager di kantor cabang baru kita yang baru diresmikan awal bulan ini. Kamu bersedia kan?” kata Pak Chandra.
“Menjadi Manager? Maaf Pak. Bukannya di kantor cabang itu ada Pak Bonar yang akan memimpin?” tanya Adi.
“Iya rencananya begitu, tapi kemarin Pak Bonar bilang tidak bisa dengan alasan sudah tua dan keluarganya sudah menetap di sini, jadi beliau ingin tetap menghabiskan waktunya di sini bersama istri, anak, dan cucu-cucunya. Dan setelah saya pertimbangan, kamulah yang cocok menggantikan beliau untuk memajukan usaha kita di sana. Bagaimana, kamu bersedia kan? Kamu jangan khawatir, di sana disediakan tempat tinggal dan gaji kamu juga otomatis dinaikkan oleh perusahaan” penjelasan Pak Chandra dengan senyumnya yang memikat.
“Maaf Pak, bukan masalah tempat tinggal dan gaji, tapi apa saya sanggup memimpin di sana?” Adi menolak halus.
“Kamu tenang saja, saya tidak akan lepas tangan kok. Saya akan tetap memantau, dan membimbing kamu dari sini. Lagipula saya mengambil keputusan ini juga karena saya sudah kenal kamu sangat lama dan saya yakin kamu bisa” jawab bossnya.
“...” Adi berfikir keras atas keputusan apa yang diambil.
“Kamu boleh mempertimbangkannya kok, besok saya tunggu keputusan kamu, tapi saya berharap kamu bersedia” kata bossya.
“Baik Pak, saya bersedia untuk pindah ke sana. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengecewakan kepercayaan dari Bapak” kata Adi.
“Good boy, saya sudah yakin bahwa kamu bersedia. Baik, selamat ya Adi kamu jadi manajer baru di perusahaan kita. Semoga berhasil” kata Pak Chandra menjabat tanganku dengan menyunggingkan senyum manisnya.
“Terima kasih Pak, saya akan laksanakan amanat dari Bapak dengan baik. Jadi, saya berangkat kapan Pak?” tanya Adi.
“Besok lusa kamu berangkat, nanti saya sendiri yang mengantar kamu ke sana, sekalian saya mau lihat kondisi di sana, ini berkas-berkasnya kamu pelajari di kost, besok kamu tidak usah masuk kantor, kamu beberes saja di kost, besok lusa pagi saya jemput di kost kamu sekaligus ambil barang-barang kamu” jelas bossnya.
“Baik Pak. Terima kasih atas semuanya” kata Adi.
“Iya sama-sama, Di. Ya sudah, silahkan kamu lanjutkan tugas kamu untuk hari terakhir di kantor ini.” Kata Pak Chandra.
“Baik, Pak. Permisi” pamit Adi sambil berdiri.
“Iya” balas Pak Chandra tersenyum.
Setelah seharian beberes di kost, aku kembali duduk termenung di sisi kasur. Mengingat semua kenangan dalam kamar yang telah kuhuni selama setahun terakhir. Begitu banyak kenangan dalam kamar ini. Dari kegiatanku beribadah sampai perbuatanku bermaksiat. Aku hanya bisa tersenyum kecut dan tiba-tiba air mataku keluar saat ingat insiden pengusiran terhadapku dari rumah keluarga.
Mungkin sudah saatnya aku benar-benar harus hidup sebatang kara di dunia ini. Aku harus siap. Mungkin inilah awal dari perjalanan hidupku yang sebenarnya. Aku harus membuktikan pada semuanya, khususnya diriku sendiri kalau aku bisa mandiri dan sukses, serta meraih kebahagiaan kelak. Aku pasti bisa.
Setelah menjalani rutinitas pagiku, ada sms masuk dari bossku kalau beliau sudah di perjalanan menuju kostku. Aku sangat bersyukur punya boss seperti Pak Chandra. Seorang wirausahawan muda yang sangat cerdas dan baik hati. Bahkan dulu pernah aku minta resign 2 kali dan ditolak karena senang punya karyawan sepertiku, sampai aku malu kalau mengingat kejadian tersebut. Bahkan aku pernah diwanti-wanti untuk tetap kerja bersamanya sampai aku tak sanggup lagi untuk bekerja. Aku sendiri sampai bingung kenapa bisa ada boss yang sangat baik terhadapku itu dan aku sangat mensyukurinya.
Setelah Pak Chandra datang, semua barangku yang tidak banyak itu, aku masukkan kedalam bagasi mobil dan aku duduk manis di samping beliau yang ada di belakang kemudi.
“Bagaimana? Siap berangkat?” tanya Pak Chandra tersenyum sambil melihatku.
“Siap, Pak” balasku sambil tersenyum lebar.
Setelah menempuh beberapa jam di perjalanan, akhirnya sampai juga di sebuah kota yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Semalam aku sudah memantapkan hatiku untuk menjalani kehidupan baru di kota ini. Kota yang jauh dari kota kelahiranku dan kota metropolitan di Provinsiku. Aku juga sudah bertekad hanya fokus pada karierku. Aku yakin bahwa Tuhan itu tidak buta, setelah umat-Nya mengalami kepahitan hidup, Tuhan pasti memberikan manisnya seperti yang sedang aku alami sekarang ini.
Aku tersenyum saat melihat gapura besar yang bertuliskan SELAMAT DATANG.
“Silahkan masuk, Di. Ini adalah rumah saya. Di sini tidak ada siapa-siapa. Hanya disinggahi kalau ada yang menginap di kota ini. Jadi, daripada kosong terus, saya fikir bisa kamu tempati. Ya hitung-hitung rumah ini tidak kosong dan kamu juga tidak perlu mengeluarkan biaya kost. Lagipula jarak dari sini ke kantor sangat dekat, jadi dengan kaki saja sudah bisa. Di sini kamu tinggal menempatinya saja karena semua biaya listrik, air dan lain-lain sudah masuk tagihan di rekening saya. Tapi di sini tidak ada jaringan telepon, hehee. Nanti kalau saya atau yang lain mau menginap di sini, saya pasti hubungi kamu dulu.” Jelas Pak Chandra.
“Terima kasih atas semua kebaikan Bapak, saya tidak tahu bisa membalasnya dengan cara apa, semoga Bapak selalu dalam lindungan Tuhan” kataku.
“Sama-sama, Di. Amiin. Puji Tuhan kalau kamu senang. Semoga kamu betah di sini ya, and good luck boy” ucap bossku sambil menepuk-nepuk pelan pundakku.
Setelah menaruh semua barangku di rumah boss yang sekarang sebagai tumpangan tempat tinggalku, aku dan bossku menuju kantor cabang yang baru dibuka sebulan di kota ini.
Proses pengenalanku terhadap semua karyawan di sini belangsung tidak lama, hanya satu jam. Dan setelah berkeliling lokasi kantor, bossku pamit karena ada urusan lain. Bossku memang orang yang sangat sibuk, setiap hari selalu berpindah-pindah dari kota satu ke kota lain, belum lagi dari negara satu ke negara lain, sampai-sampai beliau sering sakit karena terlalu sibuk dengan aktifitasnya. Apakah wirausahawan seperti itu ya? Hehee.
Saat ini aku sedang duduk berdua di ruanganku bersama Pak Cokro yang kata bossku termasuk salah satu orang kepercayaan, jadi kalau aku butuh apa-apa aku disuruh meminta bantuan sama beliau. Penjelasan dari Pak Cokro tentang kantor ini menghabiskan waktu yang cukup lama, mulai dari keuangan, usaha, target marketing, dan lain sebagainya. Hari ini tugasku disini hanya mempelajari apa saja yang ada di sini dan besok baru mulai mengatasi semuanya.
Tanpa terasa, aku ada di kota ini sudah hampir genap satu bulan. Semua permasalahanku dengan keluargaku sudah lebih banyak terkikiskan karena kesibukanku yang begitu padat. Tapi saat aku sedang tidak ada aktifitas, aku langsung ingat dengan semua masalah itu, yang sukses membuatku termenung dan akhirnya jatuh air mata yang selalu aku usahakan untuk tidak keluar. Maka dari itu, aku selalu berusaha untuk selalu menyibukkan diri dengan aktifitas apapun untuk menghilangkan kesedihanku itu. Kalau menganggur di kantor, aku gunakan untuk berkeliling kantor hanya sekedar melihat rekan kerja atau untuk mengobrol pada karyawan yang sedang menganggur juga, kalau di rumah pasti aku gunakan untuk menonton tv, mencuci, atau membersihkan rumah dan halaman.
Pada suatu malam disaat tidak ada aktifitas, semua pekerjaan rumah dan tugas kantor sudah aku selesaikan, mau tidur juga belum ngantuk, akhirnya aku buka laptop dan membuka akun sosial facebook-ku yang sejak kejadian sebulan lalu belum pernah aku buka lagi. Disaat aku sudah sukses masuk akunku, banyak sekali pemberitahuan yang terjadi pada akunku. Mulai dari komentar status, komentar foto, teman yang berulangtahun, dan juga ada beberapa pesan di privasi message-ku. Setelah aku membalas semua komentar, aku buka pesan satu persatu, dan ada satu pesan dari kakak iparku yang isinya menanyakan kabarku, disaat aku masih mengetik, tiba-tiba kakar iparku mengirim pesan lagi berupa chat yang baru aku tahu kalau dia juga sedang online.
Kakak ipar: “Assalamu’alaikum dek, gimana kabarnya, maaf mbak nggak pernah telepon, takut ketahuan kakakmu, ini saja pas dia lagi kluar”
Aku: “Wa’alaikumsalam mbak, Alhamdulillah kabarku sehat mbak, iya mbak nggak apa-apa kok”
Kakak ipar: “trus kamu skrg dmn dek?”
Aku: “aku udh dpndh krja mbak”
Kakak ipar: “lho emg pndh kmn dek?”
Aku: “ke kota yg dlu prnh aku bilg, mbak”
Kakak ipar: “kapan dek pindahnya?”
Aku: “sekitar sebulan mbak, oiya mbak, gmn kbar ibu sama bapak?”
Kakak ipar: “ya gtulh dk, kl bpk msh suka emosi, kdg2 sk nglamun, kl ibu msh sring nangis”
Aku: “Mf y mbk, gr2 aku smua jd gni”
Kakak ipar: “gpp dk, biarlh toh udh trjd, smga smua mau ngrti”
Aku: “trus ada org lain yg tau gk mbk?”
Kakak ipar: “stau mbk sh gk ada dk, cma kluarga kita aja yg tau, km gk pulg dek?”
Aku: “sykurlh kl gtu,,,gk tau mbk, toh smua udh jijik sma aku”
Kakak ipar: “jgn gtu dk, smua sayang kok sma km, mreka cma bth wkt aja”
Aku: “smga mbk, tp aku gk mau trlalu brhrap, aku udh kotor”
Kakak ipar: “jgn gt dk, ttep smngat ya, kl ada apa2, ksh tau mbk ya?”
Aku: “InsyaAllah mbk, mksh y mbk udh gk jijik sma aku”
Kakak ipar: “iy sm2 dk, bgi mbk itu jln hdup km, mbk gk mau ikt cmpr. Oiya, km gk prnh ol y? Tiap mlm mbk ol tp gk liat km ol”
Aku: “iy mbk, sjk kjdian itu q gk prnh ol, ini aja td iseng ol lg”
Kakak ipar: “ohh gitu..oiya dk, ka2mu udh pulg, mbk off dl y, tkut kthuan, kita ngbrolx lwat pm aja y, biar bs dbca swktu2, Assalamu’alaikum”
Aku: “iya mbak, mkasih, wa’alaikumsalam”
Aku jadi semakin ingat dengan kekecewaan dan kemarahan orang tuaku, tapi ya sudahlah mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Aku harus bisa hidup lebih baik lagi. Aku harus bisa membuktikan bahwa orang sepertiku tidak seburuk yang dikira kebanyakan orang. Dan suatu saat, entah itu kapan, aku akan menemui orang tuaku untuk meminta maaf telah menjadi anak yang durhaka. Setelah aku yakin sudah lebih baik, aku akan mencoba memperbaiki hubunganku dengan keluargaku. Aku yang salah, aku adalah anak, maka aku yang harus meminta maaf, tapi setelah aku rasa kekecewaan mereka sedikit berkurang, yang tidak tahu kapan.
Dulu aku pernah jatuh yang akhirnya bisa bangkit, meskipun tidak seberat ini, dan ada orang tua. Saat ini, aku jatuh lebih dalam dan tanpa orang tua, aku harus bisa membuktikan pada dunia bahwa aku bisa berdiri lagi dengan senyum kebahagiaan. Meski dengan tertatih, meski dengan derai air mata, aku harus kuat, mungkin inilah saatnya aku menjalani kehidupan baruku yang lebih baik.
“Pagi, Pak” sapa salah satu karyawan.
“Pagi juga” jawabku sambil tersenyum.
“Pagi, Pak Adi. Nanti jam 10 ada meeting dengan Ibu Grace di kantornya tentang kontrak bersama perusahaan beliau” kata sekretarisku saat aku mau masuk ruanganku.
“Pagi juga, Mel. Baik, nanti saya kesana. Berkasnya sudah siap semua kan?” tanyaku.
“Sudah, Pak. Sudah saya letakkan di meja Bapak” kata Mely, sekretarisku.
“Terima kasih ya, Mel” ucapku dengan senyum.
“Sama-sama, Pak”
Tanpa terasa aku sudah 5 bulan berada di sini, hari-hariku benar disibukkan dengan segala macam pekerjaan, mulai dari meeting dengan karyawan/klien, laporan kepada boss, survey lokasi pembangunan yang dilakukan kantor, dan lain sebagainya. Aku benar-benar sangat lelah. Tapi aku sangat senang, karena dengan begitu, aku bisa sedikit melupakan kesedihanku yang hidup seorang diri sekarang. Yah sedikit, karena disaat aku sedang sendiri, aku pasti ingat kejadian malam itu. Kejadian yang membuat hidupku hancur berantakan. Keluarga yang sangat aku sayangi, menjadi membenciku, bahkan aku diusir dari rumah dan mereka tidak mau lagi menganggapku lagi sebagai anak karena merasa jijik dengan kondisiku.
Aku bingung dengan keadaanku ini, siapa yang salah sebenarnya, aku yang masuk ke dunia terlarang? ataukah keluargaku yang dulu sangat menginginkan anak perempuan saat aku dalam kandungan? ataukah Tuhan yang salah karena menciptakan aku dengan jiwa ganda seperti ini? Aku bingung dan pasrah. Sekuat apapun diriku menahan, tapi aku hanya manusia biasa, apalagi aku termasuk kategori orang yang berlibido tinggi jadi sangat mudah tergoyahkan dengan godaan dunia semata.
Yah, meskipun hidupku sudah kotor, tapi aku masih percaya akan Tuhan dan akan selalu berusaha bisa menjadi umat Tuhan yang baik. Selama aku masih bisa untuk beribadah, aku akan sebaik mungkin untuk bersujud kepada-Nya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan keadaanku yang seperti ini, apakah ini cobaan, ujian, ataukah ini adalah adzab atas dosa-dosa yang telah kulakukan? Aku percaya bahwa Tuhan akan mengampuniku jika aku bertaubat dengan sungguh-sungguh. Meskipun aku ragu apakah aku bisa kembali kejalan-Nya dengan benar ataukah aku akan tergoda lagi dengan kemolekan dunia ini?
Setelah mengecap bagaimana rasa pahitnya hidup yang aku alami, aku harus bisa kuat, setidaknya aku harus selalu tersenyum di depan semua orang meskipun hatiku masih sering menangis. Selalu mencoba untuk lebih sabar dan tabah. Bahkan pernah beberapa kali ada orang yang bilang bahwa aku adalah termasuk orang yang tidak punya sedih, tidak punya masalah, dan tidak punya kepenatan hidup karena aku sering tersenyum dan tertawa, mendengarnya aku hanya bisa tersenyum getir. Yah, getir, karena itu semua hanyalah topeng diriku.
Di sini, kusendiri tanpa siapapun yang menemani, jika pulang dari kantor, aku selalu bawa pekerjaan untuk aku kerjakan di rumah, yah, selalu lembur, itulah yang kulakukan untuk menghindari kesendirian. Setelah terlalu letih, baru aku bersiap untuk istirahat.
Hari demi hari kulalui dengan kerja dan kerja. Bahkan aku yang sekarang sungguh sangat berbeda dengan diriku yang dulu. Dulu aku paling suka dengan bersms ria, berfacebookan, sekarang tidak ada waktu untuk itu. Akun facebook hanya aku buka paling seminggu sekali, itupun jika benar-benar ingin membukanya. HP juga begitu, sms dari teman-temanku jarang yang aku balas, karena terlalu banyak pekerjaan yang menyita waktuku. Aku hanya bisa tersenyum saat teman-temanku bilang kalau aku sekarang sombong karena tidak mau berinteraksi dengan mereka, bukannya aku tidak mau, tapi aku terlalu sibuk.
Dulu aku yang merupakan anak dari orang yang bisa dibilang pas-pasan, sejak kecil sudah hidup sederhana, sekolah cari beasiswa, dan kuliah juga dari biaya sendiri karena orang tuaku tidak mampu untuk membiayai kuliahku. Aku yang tidak punya apa-apa, membeli barang kalau benar-benar sudah menjadi kebutuhan primer, itupun mencari harga yang sangat murah. Sekarang, aku sangat bersyukur dengan semua yang aku dapatkan, Tuhan memberikan begitu banyak materi kepadaku, apapun bisa aku beli.
Aku ingat dengan mimpiku saat aku kecil, jika aku sudah besar, aku ingin merenovasi rumah keluargaku di kampung menjadi lebih baik. Pundi-pundi yang aku dapatkan selalu aku kumpulkan, karena suatu hari nanti akan aku berikan kepada orang tuaku untuk memperbaiki rumah. Saat ini aku rasa sudah cukup untuk membuat rumah kelahiranku menjadi lebih baik, tapi aku belum punya cukup nyali untuk pulang. Aku malu jika melihat keluargaku. Dulu mereka bangga terhadapku, karena dengankulah mereka kali pertama melihat anaknya diwisuda dengan gelar sarjana, tapi setelah mereka tahu jati diriku yang sebenarnya, aku hanyalah seonggok kotoran yang menjijikan bagi mereka.
Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, suatu hari nanti aku akan pulang dan bersujud di kaki mereka untuk memohon ampun dan menerimaku lagi sebagai anak mereka. Sudah beberapa bulan ini aku tidak melihat wajah orang tuaku, tapi aku terus mencari tahu kabar tentang mereka dari kakak iparku. Yah, saat ini hanya kakak iparku itulah yang tahu tentang keadaanku, kami sering kirim pesan lewat jejaring sosial kami, meskipun lewat privasi message, telepon ataupun sms pasti dia yang lebih dulu menghubungiku, aku tidak bisa memulainya, karena takut ketahuan suaminya yang merupakan kakak kandungku. Kalau kakakku tahu, pasti aku tidak akan pernah bisa tahu kabar tentang keluargaku.
Ternyata benar apa kata sebagian orang, kebahagiaan bukanlah dari harta melainkan dari kasih sayang keluarga. Dulu meskipun hidupku pas-pasan, aku bahagia karena selalu dicurahi kasih sayang orang tua. Sekarang, meskipun harta berlimpah tapi aku selalu merasa kesepian karena tanpa kasih sayang dari orang tua, terlebih sekarang mereka membenciku.
Tapi aku yakin dengan suatu pepatah, “Habis gelap, Terbitlah terang”, dengan kepahitan ini, aku yakin bahwa hidupku akan indah pada waktunya.
Dari kota satu ke kota yang lain, itulah rutinitasku sekarang ini. Menjabat sebagai manager di salah satu perusahaan besar membuatku kewalahan mengatasinya. Tapi aku cukup senang karena di sini semua karyawan sangat baik, semua bekerja sama saling membantu sehingga semua pekerjaan setiap karyawan bisa cepat terselesaikan dengan baik. Apalagi belakangan ini bossku sering berkunjung ke sini untuk mengurus kantor atau hanya sekedar berkunjung.
Bossku memang tidak terlalu ikut campur masalah di kantor cabang ini, karena sudah sepenuhnya di berikan wewenang kepada Pak Cokro dan diriku. Bossku hanya kesini bila kami butuh bantuan boss, karena setiap akhir pekan, Pak Cokro selalu ke kantor pusat untuk laporan dan boss selalu mengawasi kami dari pusat.
Tetapi beberapa pekan ini bossku sering datang ke sini, yang katanya untuk melihat kondisi kantor atau sekedar berkunjung, aku cukup senang dan juga bingung karena tidak biasanya beliau seperti ini berhubung beliau yang juga merupakan orang yang sangat sibuk dengan pekerjaan. Dulu beliau kalau ke sini selalu dengan sopir pribadinya yang hanya beberapa jam di kantor dan langsung berpamitan, tetapi sekarang selalu sendiri dan menginap di rumahnya yang sekarang aku tempati.
Aku heran dengan perubahan bossku ini, aku sering berpikir apa yang sedang terjadi, tapi aku sangat senang karena aku sering ada teman mengobrol kalau sedang di rumah. Jadi, pikiran keherananku tersebut aku buang jauh-jauh.
“Bagaimana rasanya tinggal di sini, Di? Betah?” tanya bossku saat kami sedang menonton tv di ruang tengah saat bossku menginap di sini.
“Alhamdulillah, Pak. Sangat betah” jawabku sambil tersenyum.
“Syukurlah kalau begitu”
“Bagaimana kabar keluarga Bapak”
“Puji Tuhan, semua baik dan sehat, kalau keluarga kamu apa kabarnya”
“...”
“Di? Kenapa? Mereka baik-baik aja kan?”
“Oh..Eh...Tidak apa-apa Pak. Alhamdulillah mereka sehat juga”
“Oiya, by the way, kamu udah berapa lama nggak pulang? Soalnya setahu saya, kamu belum pernah pulang kampung?”
“Hmm...sejak saya pindah ke sini saya belum pernah pulang Pak”
“Lho kenapa? Itu kan lama sekali, hampir setengah tahun lho kamu di sini, Apa kamu nggak kangen sama mereka?”
“Kangen banget Pak”
“Terus kenapa nggak pulang?”
“Belum sempat saja Pak, masih sibuk di sini”
“Kan bisa pulang kalau weekend”
“Iya sih Pak, ya nanti saya pasti pulang kok Pak, belum tahu kapan, lagipula tempatnya juga jauh”
“Oh begitu”
“Iya Pak...Pak terima kasih ya atas semua kebaikan Bapak kepada saya selama ini, saya rasa saya tidak sanggup membalasnya, semoga Tuhan yang membalas dengan jauh lebih baik kepada Bapak”
“Amiin...Iya sama-sama ya, Di. Saya juga terima kasih banyak kamu sudah memajukan kantor di sini”
“Sama-sama, Pak. Lagipula di sini saya banyak dibantu Pak Cokro Pak, makanya bisa lancar, dan tentunya atas bantuan Bapak juga”
“Iya tapi Pak Cokro kan sudah berpengalaman, sedangkan kamu masih baru tapi sudah berhasil, itu tandanya kamu mampu sukses”
“Amiin. Terima kasih Pak”
“Adi...”
“Iya Pak”
“...”
“Kenapa Pak?”
“Saya suka sama kamu”
“...” deg.
“Saya tahu ini salah, saya juga nggak tahu kenapa rasa ini bisa tumbuh, awalnya saya simpati sama kamu, tapi kelamaan saya sayang sama kamu”
“Maaf Pak, bukannya Bapak mau menikah?”
“Belum Di. Yang ngedeketin saya emang banyak, tapi belum ada perempuan yang cocok buat saya. Apalagi semakin lama, saya semakin tergila-gila sama kamu. Kamu mau kan jadi pacar saya?”
“...”
“Kamu nggak perlu jawab sekarang, Di. Saya...”
“Apa kebaikan Bapak selama ini karena rasa Bapak itu?”
“Bukan, Di. Kebaikan saya selama ini murni karena kontribusi kamu yang baik buat perusahaan. Jadi nggak ada hubungannya dengan perasaan saya ke kamu. Kamu adalah lelaki pertama yang saya sukai, Di. Sejak kamu pindah ke sini saya selalu merindukan kamu. Dan baru belakangan ini saya sadar kalau saya sangat menyayangi kamu”
“...”
“Kamu nggak perlu menjawab sekarang, setidaknya saya lega sudah mengungkapkan isi hati saya ke kamu”
“Terima kasih banyak Pak atas semuanya, saya juga mengucapkan terima kasih karena Bapak menyukai saya. Tapi saya hanya orang biasa sedangkan Bapak orang yang kaya raya dan tampan, saya tidak pantas buat Bapak”
“Saya nggak peduli dengan materi dan fisik, Di. Yang terpenting adalah hati kamu yang baik. Saya harap kamu mau menerima saya, kalaupun tidak, saya harap kamu tidak menjauhi saya dan jangan meninggalkan perusahaan karena semua ini nggak ada hubungannya dengan pekerjaan, ini murni dari hati saya”
“...” aku mengangguk lemah.
“Ya sudah, sekarang sudah larut, mari istirahat. Kalau kamu sudah ada jawaban, kamu langsung hubungi saya ya, Di. Saya akan terima apapun keputusan kamu, asalkan kamu tidak menjauhi saya”
Tubuhku seperti mayat hidup karena memikirkan pernyataan bossku yang baik hati tersebut. Jujur dari dulu aku menyukainya dan ingin memilikinya, tapi setelah tahu bahwa dia juga menyukaiku, aku malah bingung menjawabnya seperti ada benteng besar yang menghalanginya. Setelah berfikir keras, tanpa terasa aku telah tertidur di kamarku, sedangkan bossku di kamar yang berbeda. Malam ini bossku telah sukses membuatku seperti orang linglung.
Sejak malam itu, aku seperti orang gila yang sering melamun. Seperti saat di rumah sering tertukar antara gula dan garam, antara shampoo dan sabun cair, susah tidur dan lain-lain. Begitupun juga di kantor, sering melamun saat meeting, pekerjaan terbengkalai, sehingga sekretarisku dan Pak Cokro sering menanyakan keadaanku yang tidak seperti biasanya.
“Kamu sakit, Di?” tanya Pak Cokro seusai meeting dengan karyawan.
“Saya tidak apa-apa kok, Pak. Mungkin hanya kelelahan karena sibuk dengan proyek kemarin”
“Ya sudah, kan proyeknya sudah selesai, sekarang masih perencanaan untuk membuat tender baru, lebih baik kamu waktu senggang ini kamu gunakan untuk istirahat di rumah dulu, saya sanggup atasi kok”
“Terima kasih, Pak. Bukannya tidak percaya dengan Bapak, tapi kan kita harus kerja tim, jadi tidak mungkin saya lepas tangan begitu saja”
“Ayolah, Di. Kalau kamu memaksakan diri seperti ini, saya khawatir nanti saat proyek berjalan, kondisi tubuh kamu malah drop. Yah paling tidak kamu cuti 3 hari untuk istirahat kan tidak apa-apa”
“Saya baik-baik aja kok, Pak. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya. InsyaAllah saya selalu sehat”
“Kalau itu keputusan kamu, ya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sebagai orang tua dan rekan kerja hanya bisa mengingatkan saja, kamu jaga kesehatan baik-baik, perbanyak istirahat, jangan terlalu banyak fikiran, kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, Bapak siap kok mendengarkan”
“Terima kasih banyak ya, Pak. Saya baik-baik saja kok”
“Ya sudah, kita makan siang dulu yuk, Bapak yang traktir”
“Wah jadi tidak enak nih. Ya sudah, ayo Pak. Rejeki tidak boleh ditolak”
“Hahahaha” kami tertawa bersamaan.
Rasanya nyaman sekali berada di pantai malam-malam begini. Yah, kalau lagi ingin menghirup udara malam, aku selalu datang ke tempat ini. Duduk di atas batu besar di pantai kota ini. Apalagi sejak pernyataan bossku di malam itu, aku jadi lebih sering ke sini antara jam 8 sampai jam 10 malam. Duduk sendiri menghadap laut lepas sambil mendengarkan lagu-lagunya boyband Super Junior asal Korea Selatan yang sangat aku gemari karena tertular teman kerjaku di desa. Yah, mungkin sangat negatif kata tertular, dulu saat masih kerja di desa, temanku suka lagu-lagu asal Korea dan aku selalu mengejeknya karena dia tidak mengerti arti dari liriknya. Tapi lama-kelamaan aku juga ikut suka dan bahkan hanya dalam hitungan bulan telah sukses membuatku mendownload lagu-lagu di semua albumnya, bahkan aku juga mencari tahu tentang profil personilnya. Sangat klise memang, saat ada yang bilang aku itu adalah ELF (Ever Lasting Forever) nama fans dari Suju, aku bilang tidak, aku hanya menyukainya. Aku sungguh aneh, sangat ketertarikanku itu, aku sampai mendownload juga lirik beserta artinya dalam Bahasa Indonesia. Aku yang aneh.
Oneuldo nae gieogeul ttarahemaeda I gil kkeuteseo seoseongineun na
Dasin bol sudo eomneun niga nareul butjaba Naneun tto I gireul mutneunda
Neol bogo sipdago Tto ango sipdago
Jeo haneulbomyeo gidohaneun nal
Niga animyeon andwae Neo eobsin nan andwae
Na ireoke haru handareul tto illyeoneul
Na apado joha Nae mam dachyeodo joha nan
Geurae nan neo hanaman saranghanikka
Na du beon dasineun Bonael su eopdago
Na neoreul itgo salsun eopdago
Niga animyeon andwae Neo eobsin nan andwae
Na ireoke haru handareul tto illyeoneul
Na apado joha Nae mam dachyeodo joha nan
Geurae nan neo hanaman saranghanikka
Nae meongdeun gaseumi Neol chajaorago
Sorichyeo bureunda, ooh
Neon eodinneungeoni
Naui moksori deulliji annni Naegeneun
Na dasi sarado Myeot beoneul taeeonado
Harudo niga eobsi sal su eomneun na, oooohh~
Naega jikyeojul saram Naega saranghal saram nan
Geurae nan neo hanamyeon chungbunhanikka, ooh
Neo hanaman saranghanikka
Oooh oooh~
Lagu It Has To Be You yang menjadi soundtrack salah satu drama Korea ini memang sungguh menghanyutkan jiwa jika benar-benar memaknai musik dan liriknya. Apalagi penyanyinya yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, suara yang menurutku sungguh suara seksi dari seorang pria. Yesung, Super Junior.
Menyanyikan lagu mellow di pinggir pantai sambil menghirup udara malam rasanya begitu tenang dan nyaman. Karena mataku yang tertutup dan keasyikanku bernyanyi sendiri dan telinga aku tutup dengan earphone, aku tidak mempedulikan apapun yang ada. Setelah lagu selesai, ku buka mata dan betapa terkejutnya aku saat kulihat ada seseorang yang duduk di sebelahku tanpa aku sadari kedatangannya.
“Maaf, aku nggak tahu kalau ada orang lain di sini” ucapku gugup merasa malu kepada pria di sebelahku.
“Suara kamu bagus” kata pria rupawan yang aku kira-kira usianya sekitar 2 tahun di atasku sambil tersenyum.
“Ma...makasih. Tapi aku nggak bisa nyanyi”
“Terus tadi ngapain dong? Nyuci?” dia berucap sambil melihatku dengan memperlihatkan tampang yang aneh tapi lucu.
“...?” aku mengernyit.
“Kamu lucu ya, hehee. Maaf tadi cuma bercanda” dia tersenyum lebar.
“...” aku masih bengong.
“Aku Beni...Beni Simanjuntak. Kamu?” tanyanya memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan.
“Aku...? Aku... Adi Permana” menyambut uluran tangannya dengan ragu.
Dia tersenyum dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya. Tiba-tiba dia langsung berdiri, dan...
“Kamu manis, sangat disayangkan kalau melamun terus tiap malam di sini” ucapnya yang langsung pergi meninggalkanku sendiri dan membuatku bengong dengan mulut yang terbuka lebar karena ulah aneh pria ini.
Tiap malam? Berarti dia sering ke sini juga dan melihatku? Ucapku dalam hati. Tapi orang itu kok aneh ya. tiba-tiba datang, mengajak kenalan terus pergi begitu saja. Apa maksudnya? Orang sinting!
Aku masih memikirkan orang di pantai tadi, yah, karena sekarang aku sudah berbaring kamarku. Siapa dia sebenarnya? Kalau dia sering melihatku di pantai berarti dia juga sering ke sana dong, tiba-tiba datang dan langsung pergi? Dan aku tadi kenapa ya, saat bersalaman dengannya, rasanya dia memberikan aura yang sangat nyaman padaku dan melihat senyumnya yang menawan itu, aku seperti melihat kebahagiaan yang tulus.
Aku harus bertemu dia lagi, aku mau menanyakan maksudnya tadi itu apa yang tiba-tiba datang dan langsung pergi, yang sebelumnya juga sering memperhatikanku di pantai. Dia sangat rupawan, tinggi, putih, hidung mancung badan tegap, waktu salaman genggaman tangannya juga kuat yang kata orang merupakan ciri orang yang berwatak tegas, matanya juga tegas tapi sangat menyejukkan, apalagi senyumnya, aku berani bertaruh kalau setiap orang yang melihat senyumnya pasti akan meleleh dibuatnya, bahkan dari pakaiannya, dia sepertinya orang kaya. Apakah dia menyukaiku? Tapi mana mungkin? Aku hanya pria berkulit coklat, pendek, dan biasa saja. Lagipula pasti banyak perempuan yang menyukainya, tidak mungkin kalau dia sepertiku yang mempunyai jiwa terlarang.
Belum selesai masalahku dengan pernyataan cinta bossku padaku, sekarang ditambah lagi dengan datangnya pria rupawan yang aneh. Galau tingkat dewa deh. Semoga aku tidak menjadi gila karena dua pria tampan itu.
Pagi ini aku masih mengantuk sekali, gara-gara orang sinting itu aku jadi susah tidur karena memikirkan sikap sangat anehnya semalam yang sekarang membuatku tak bersemangat menjalani aktifitas di kantor. bahkan aku sampai bolak-balik ke kamar mandi cuci muka hanya untuk menyegarkan muka dan mataku, tapi tetap saja aku masih mengantuk.
Rencananya jam 10 nanti, bossku akan datang ke sini karena akan ikut mensurvey lokasi proyek yang ada di kota tetangga bersamaku dan Pak Cokro. Itupun baru aku tahu saat datang tadi pagi dengan diberitahu oleh Pak Cokro secara langsung, sebenarnya kemarin aku dan Pak Cokro survey berdua tapi berhubungan boss semalam telepon Pak Cokro bahwa akan datang berkunjung ke sini pagi ini karena sedang menganggur yang aku tahu pasti karena merindukanku. Aku tidak ke-PD-an karena sejak boss menyatakan perasaannya malam itu, dia lebih sering sms maupun meneleponku tidak seperti dulu. Dan isinya hanya bilang sedang kangen dan ingin mengobrol saja karena memang sejak malam itu kami belum bertemu lagi sebab dia sangat sibuk jadi belum sempat datang ke sini.
Aku masih belum siap bertemu dengannya lagi. Karena aku masih bingung bagaimana cara untuk mengungkapkan jawaban atas cintanya waktu itu. Yah, aku memang sudah membuat keputusan setelah sukses mempertimbangkan dari segala aspek. Aku ingin bahagia dan aku juga ingin dia bahagia.
Baru saja boss sms kalau 10 menit lagi sampai kantor. Aku semakin keringat dingin memikirkan apa yang terjadi jika bertemu dengannya. Dan tiba-tiba...
“Pagi Adi, apa kabar? Lagi sibuk ya?” bossku yang mendadak masuk dan langsung duduk di depanku.
“Pagi juga Pak. Alhamdulillah saya sehat, saya tidak sibuk kok, hanya mengaudit laporan saja. Kabar Bapak bagaimana?” jawabku sambil berpura-pura ngecek laporan di laptop untuk menutupi kegugupanku.
“Puji Tuhan, saya sehat juga, seperti yang kamu lihat sekarang” ucap bossku sambil tersenyum lebar.
“Bagaimana Pak Chandra, kita berangkat sekarang atau nanti?” Pak Chandra yang tiba-tiba masuk dan menyelamatkanku dari kegugupanku.
“Lebih baik sekarang saja Pak, mumpung masih pagi, ayo Di?” jawab bossku.
“Baik Pak”
Kami bertiga ke lokasi proyek menggunakan mobil boss. Boss sendiri yang mengemudi, Pak Cokro di sampingnya, dan aku duduk sendiri di belakang. Tadi Pak Cokro menyuruhku duduk di depan tapi aku tolak dengan halus, karena aku tidak enak sama Pak Cokro yang lebih tua tidak mungkin di belakang sendiri, selain itu juga aku masih gugup jika dekat-dekat dengan boss.
“Asik bener mainin HP, Di. Sms-an sama siapa?” tanya boss.
“Oh tidak Pak. Lagi online saja, lihat update-an berita di internet” jawabku, karena aku sedang membaca update-an cerita di forum yang sudah aku buka beberapa tahun ini.
“Yang benar, Di? Saya fikir chatting dengan pacar kamu” ucap Pak Cokro dengan tersenyum jail.
“Benar itu Di?” tanya boss dengan melihatku lewat spion dalam dengan wajah kaget.
“Bukan kok Pak, Pak Cokro hanya bercanda, saya kan tidak punya pacar, ini benar hanya buka update di internet kok” ucapku dengan melihat boss dan Pak Cokro bersamaan, aku tidak mau gurauan Pak Cokro membuat boss salah faham karena pernyataan cintanya belum aku jawab.
“Kirain sudah punya, soalnya kemarin-kemarin suka melamun di kantor sih, hehee” kata Pak Cokro sambil tertawa.
“Tidak kok Pak, kemarin itu karena lagi ingin melamun saja, hehee” balasku dengan tertawa simpul.
Kulihat di spion kalau boss sering curi-curi pandang ke arahku, aku jadi makin gugup dan akhirnya aku lebih memilih untuk menunduk saja.
“Silahkan pesan saja yang disuka, saya yang traktir, sudah siang, jadi saya fikir lebih baik makan siang dulu baru ke lokasi, sekalian Adi shalat” ucap boss kepada kami.
“Baik Pak” ucapku dan Pak Cokro hampir bersamaan.
Saat ini kami sedang ada di sebuah rumah makan tradisional untuk makan siang. Lokasi proyek masih lumayan jauh, sekitar 30 menit lagi baru sampai. Kali ini lokasinya memang sangat jauh dari kantor.
Setelah selesai makan siang dan aku shalat di mushola yang ada di rumah makan tersebut, kami bertiga menuju lokasi proyek.
“Hasilnya bagus, tapi yang pojok sana juga diperhatikan ya Pak, lalu tamannya juga harus bagus karena merupakan nilai tambah perumahan ini, terus pengerjaannya juga diusahakan selesai tepat waktu, kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya atau kantor cabang, pokoknya saya serahkan semua yang ada di lokasi sama Bapak” kata boss kepada mandor yang merupakan orang kepercayaan kantor.
“Baik Pak” jawab mandor tersebut.
Semua lokasi kami cek satu-persatu, mulai dari taman, cat, bahan material, dan lain sebagainya, akhirnya setelah beberapa jam berkeliling, selesai juga ternyata, tinggal menunggu laporan dari mandor dan minggu depan kami survey lagi. Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan developer yang bergerak dalam pembangunan perumahan, renovasi, dan lain sebagainya. Jadi, pekerjaanku selain di dalam kantor, juga berkeliling ke lokasi proyek untuk survey hasil pekerjaan yang telah dilakukan tukang. Sangat melelahkan tapi juga menyenangkan karena bosan juga kalau setiap hari hanya berkutat dengan kertas dan komputer.
“Bapak nanti langsung pulang atau menginap, Pak?” tanya Pak Cokro pada boss saat masih di mobil dalam poerjalanan pulang ke kantor.
“Kayaknya menginap saja Pak, capek kalau langsung pulang” jawab bossku.
“Kenapa tidak bawa sopir saja, biasanya ke sini dengan sopir?” tanya Pak Cokro lagi.
“Lagi ingin nyetir sendiri saja Pak, lagipula kemarin sudah dari luar kota sama sopir, kasihan kalau disuruh nyetir lagi” ucap boss.
“Oh begitu, hati-saja ya Pak di jalan, daripada dipaksakan memang lebih baik istirahat dulu” kata Pak Cokro yang dibalas boss dengan senyuman.
Padahal aku tahu kalau sebenarnya itu hanya alasan saja boss ingin menginap bersamaku malam ini karena tadi di rumah makan saat Pak Cokro ke toilet, boss sudah memberitahukannya padaku kalau memang berniat ingin menginap.
“Saya kangen banget sama kamu, Di” ucap boss tiba-tiba di saat kami tengah makan malam berdua di rumah. Yah, aku memang tadi masak untuk makan malam kami di rumah, boss yang bminta ingin makan masakanku lagi. Menu sederhana dengan tumis kangkung, kecambah, dan kacang panjang, oseng bumbu campur ikan pindang, tempe goreng tepung, telur ceplok dan juga rempeyek.
Bossku ini suka sekali makan di cafe tapi kalau denganku lebih memilih yang tradisional, katanya itu karena aku suka yang tradisional yang tidak suka di cafe. Aku sendiri sampai bingung saat mendengar penjelasannya itu, apa iya karena menyukaiku sampai rela menyukai makanan kesukaanku padahal dia tidak pernah makan. Boss yang aneh. Hehee.
“Kamu kangen saya juga nggak, Di?” tanya bossku lagi.
“Saya...saya...”aku gugup untuk bilang karena kangen juga.
“Ya sudah, kita habiskan dulu makanannya, nanti kita ngobrol lagi” kata boss dengan tersenyum yang sangat manis sekali dan kujawab dengan anggukan kecil.
“Bapak ke sini karena ingin tahu jawaban yang waktu itu?” tanyaku dengan gugup saat sedang menonton tv di ruang tengah.
“Saya sudah bilang kalau saya tidak memaksa kamu menjawab, Di. Itu hak kamu, yang penting saya sudah bilang kalau saya menyukai kamu dengan tulus. Dan saya ke sini karena saya kangen banget sama kamu dan ingin melihat keadaan kamu” jawab boss yang selalu tersenyum dari tadi. Aku jadi ragu untuk memberikan jawaban padanya.
“Sebenarnya saya sudah mempunyai jawaban, Pak” ucapku dengan terbata.
“Oh ya? Apa itu, Di? Apapun jawaban kamu akan saya terima dengan lapang dada”
“...”
“...”
“Saya sebenarnya biseks dan seperti ini sudah dari kecil. Sejak saya melihat Bapak waktu interview dulu saya sudah mengagumi Bapak. Semakin lama saya semakin menyukai Bapak tapi saya tidak berani menunjukkannya pada Bapak. Waktu Bapak bilang Bapak suka sama saya malam itu, jujur saya sangat senang sekali mendengarnya. Tapi...” ucapku terpotong.
“Tapi apa, Di?” tanya boss ingin tahu.
“Tapi saya rasa, saya tidak bisa menerima Bapak. Bapak sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri. Saya sudah cukup lama masuk kedalam dunia terlarang dan saya juga sudah beberapa kali berpacaran dengan hubungan cinta terlarang, awalnya memang indah tapi akhirnya sangat menyakitkan, saya tidak mau hubungan kita yang sudah baik dan dekat ini menjadi renggang atau bahkan putus karena masalah yang akan timbul nantinya, bukannya saya menyamakan Bapak dengan yang lain, tapi saya lebih nyaman hubungan kita seperti ini, antara atasan dan bawahan atau antara kakak dan adik. Saya sangat menyayangi Bapak. Hidup di dunia terlarang sangat berat Pak, hidup saya hancur juga karena dunia terlarang. Karena Bapak yang belum masuk ke dunia itu, saya mohon Bapak kembali menjadi Bapak yang dulu, jangan seperti saya Pak, sangat berat konsekuensinya. Saya lebih senang melihat Bapak menjadi pria normal yang hidup berdampingan dengan perempuan. Seperti janji saya dulu, saya tidak akan pernah menjauhi atau meninggalkan Bapak apapun yang terjadi. Bapak sudah seperti kakak kandung saya. Maafkan saya Pak, saya mengambil keputusan ini karena saya sangat menyayangi Bapak” jelasku dengan menunduk.
“...”
“...”
“Baiklah, Di. Saya terima keputusan kamu. Meski berat, saya akan menuruti keinginan kamu. Saya nggak pernah menyesal mencintai kamu, saya janji akan kembali menjadi normal kembali meski susah karena hati saya sudah untuk kamu, tapi saya akan berusaha. Terima kasih kamu tidak menjauh atau meninggalkan saya. Tapi saya punya permintaan dan saya mohon kamu mengabulkannya”
“Apa itu Pak? Selama saya mampu, saya akan mengabulkannya” ucapku pelan melihatnya.
“Saya ingin cium kening kamu dan ingin memeluk kamu”
Tanpa kujawab, langsung aku peluk tubuh menggemaskan bossku ini, sejak dulu aku ingin sekali memeluknya, akhirnya sekarang aku bisa memeluknya. Tanpa terasa air mataku keluar dan aku terisak dalam tangis tanpa suara. Ku rasakan tubuh bossku juga bergetar karena dia juga sepertinya menangis. Kita menangis dalam pelukan. Tanpa kata. Semakin lama semakin erat pelukan kami. Yah, aku harap ini keputusan yang terbaik untukku dan juga bossku. Aku tak mau menjerumuskan bossku.
Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya boss melepas pelukan dan mencium keningku beberapa menit. Aku hanya bisa diam dan membiarkan ciumannya mendarat di keningku yang penuh dengan kasih sayang.
Semoga setelah ini, hubunganku dengan boss tidak merenggang dan boss menepati janjinya untuk tetap sering mengunjungiku di sini serta menginap bersamaku di rumahnya ini.
Malam semakin larut, kami akhirnya tidur berdua dalam kamarku dan tidur berpelukan karena aku yang meminta, awalnya boss menolak takut boss tidak bisa menahan diri. Tapi aku meyakinkan kalau tidak akan terjadi apa-apa. Akhirnya sampai aku bangun pagi saat akan melakukan shalat Shubuh, posisi kami masih sama seperti saat akan tidur semalam.
Kulihat wajah bossku yang susah digambarkan, sangat tenang, nyaman, tidur dengan tersenyum tapi ada guratan kesedihan dan kekecewaan. Aku hanya bisa berharap bahwa dia tidak seperti orang kebanyakan di dunia terlarang ini. Semoga dia tetap seperti bossku yang dulu.
“Maafkan aku boss, ini ku lakukan karena aku sangat menyayangimu. Sebelum kamu terjerumus di dunia terlarang yang kejam ini, kembalilah ke jalan yang benar” ucapku dengan pelan dan mencium kening serta bibirnya sekilas dengan penuh rasa sayangku kepadanya.
Waktunya menjalani rutinitas pagi dan semoga semua berjalan dengan baik. Amiin.
Dari awal aku kenal, aku sangat ingin menginginkan bisa hidup bersama bossku, tapi setelah sama-sama suka, aku malah menolaknya, padahal aku juga menyayanginya. Bodoh, yah aku memang sungguh bodoh, melepaskan sesuatu yang sangat berharga. Padahal aku tahu diluaran sana banyak sekali perempuan dan pria seperti menginginkannya dan rela menjadi budaknya. Keputusanku sudah bulat, hanya ingin menjadi adiknya saja, tidak lebih. Munafik, itu benar, tapi itu demi kebaikannya, aku menyayanginya tapi aku tak mau merusak hidupnya.
“Hmm sedap sekali baunya, bisa gemuk nih lama-lama, hehee” bossku terkekeh pelan saat ke dapur melihatku yang sedang masak untuk sarapan kami.
“Hanya masakan biasa kok Pak, Alhamdulillah kalau Bapak suka”
“Makasih ya, Di masih tetap baik sama saya, saya janji akan selalu ada buat kamu, kamu juga jangan sungkan kalau butuh apa-apa ya” ucapan tulus dari bossku setelah selesai menyantap makanan di piringnya.
“Sama-sama Pak. Saya juga minta maaf karena tidak bisa membalas perasaan Bapak” hanya bisa menunduk saat aku menjawabnya.
“Never mind, Di. Jadi adik yang baik ya, saya akan sering-sering main ke sini. Dan ingat, jangan panggil saya ‘Bapak’ lagi ya” dengan memasang wajah yang memelas hingga terlihat muka bossku imut sekali.
“Maaf sepertinya tidak bisa, Pak. Takut keceplosan kalau ada orang kantor, nanti disangkanya saya tidak sopan terhadap atasan” tolakku secara halus.
“Ya itu kan kalau di kantor, kalau di tempat lain jangan ya, seperti sekarang yang hanya kita berdua, apalagi kamu bilang akan menganggap saya kakak kamu, jadi saya nggak mau dipanggil ‘Bapak’ seperti itu” bossku masih memohon.
“Baik, Mas Chandra” senyum lebar ku berikan untuk boss yang jadi kakak angkatku sekarang.
“Lagi dong?”
“Mas Chandra”
Mendadak bossku langsung berdiri dan mencium keningku dengan lembut dan langsung memelukku.
“Makasih ya adikku sayang. Ya sudah, Mas antar kamu ke kantor sekarang yuk, soalnya Mas harus segera balik ke kantor pusat karena nanti siang ada meeting sama klien”
“Iya Mas”
Aku sangat bersyukur karena setelah malam itu, hubunganku dengan boss bukannya renggang tapi semakin akrab. Sesibuk apapun dia, dia selalu menghubungiku, entah itu sms maupun telepon. BBM? Hmm aku tidak punya BB jadinya tidak ada chatting. Katrok? Yah itulah diriku. Dari dulu aku hanya berfikir, buat apa uang banyak hnya untuk beli HP. Hehee.
Pertanyaan udah makan? lagi apa? Udah shalat? Jangan sibuk-sibuk! Jangan lupa istirahat, dan kalimat-kalimat singkat selalu dia kirimkan ke HPku, meskipun sederhana, alay, dan lucu, justru itu membuatku semakin menyukai akan perhatiannya padaku. Selain itu, dia juga kalau sedang ada waktu senggang, selalu digunakan untuk mengunjungiku di rumah, kadang-kadang waktu aku pulang kerja, dia sudah di rumah dan pagi-pagi pamitan, kadang-kadang kalau lewat, pasti disempatkan mampir ke kantor untuk menyapa karyawan dan melihatku tentunya. Sekarang hidupku menjadi jauh lebih baik.
Saat ini aku sedang duduk sendiri di tempat ini. Tempat yang sering aku kunjungi kalau malam. Duduk di atas batu besar di pinggir pantai. Aku termasuk orang yang suka mendramatisir peristiwa. Apalagi aku masih teringat obrolanku dengan kakak iparku semalam saat kami sedang ada kesempatan untuk chatting bersama.
Aku: “Mbak, aku boleh minta tlg gk?” ucapku setelah beberapa menit yang lalu kami mengobrol.
Mbak: “Boleh dek, apa itu?”
Aku: “aku titip uang untuk Bapak Ibu di rumah, jumlahnya gk bnyak tp smga bsa bntu untk merenovasi rumah di desa”
Mbak: “Iya dek, akan mbak smpaikan”
Aku: “Makasih y mbk, nanti mbk sms rekening mbk, bsk aku trnsfer uangx”
Mbak: “Baik dek, tp knpa gk km smpaikan lgsung, mreka psti snang. Km kpan pulg?”
Aku: “Aq blm brni pulg mbk, tp aq jnji, suatu hr nnti aq psti pulg”
Mbak: “Ya sdh kl bgtu. Km jaga diri baik2 ya dsna. Mrka smua sayang sma km Di. Cma mrka btuh wktu untk mnrima keadaan km”
Aku: “Iya mbk makasih dknganx, slm buat Zahrah y mbk”
Mbak: “Iya psti mbk smpaikan”
Aku: “Ya sdh y mbk, aq mau mlnjtkn prkjaanq dl. Assalamu’alaikum”
Mbak: “Iya, wa’alaikumsalam”
Akhirnya tadi siang setelah makan dan shalat, aku transfer semua uangku ke rekening kakak iparku yang telah dismskan semalam, sekaligus beberapa Rupiah untuk Zahrah ponakanku. Yah, memang semua ku kirim, aku hanya menyisakan beberapa saja yang sekiranya menjadi kebutuhanku. Ini memang sudah jadi kebiasaanku dari dulu, apalagi memang aku mencari uang itu untuk keluargaku, apalagi adikku masih di sekolah menengah.
Lagi-lagi di pantai ini aku menutup telingaku dengan earphone yang mengeluarkan lagu-lagunya Super Junior, boyband favoritku.
“Maaf ya Manis aku baru datang ke sini soalnya ada urusan mendadak dan aku sibuk sekali harus mengurus ini-itu kesana-kemari menyelesaikan pekerjaan yang menjemukan dan melelahkan. Aku sangat merindukanmu dan kamu juga pasti sangat merindukanku kan?” Tiba-tiba dia duduk, melepas earphone di telingaku dan berbicara tanpa titik koma, serta dengan percaya diri sekali bicara seperti itu padaku yang sama sekali tidak mengenalnya. Dan sikapnya itu lagi-lagi sukses membuatku bengong atas sikap anehnya tersebut.
“Kamu lagi kamu lagi. Mau kamu apa sih? Dan sikap kamu itu sungguh aneh. Kenal kamu juga nggak, jadi jangan berlaku aneh seperti itu” balasku yang langsung memalingkan wajahku melihat laut lagi.
“Nggak kenal? Jangan gitu dong Manis, kan tempo hari kita sudah kenalan kan?”
“Itu cuma nama kamu, dan aku nggak kenal kamu secara lebih. Mengerti?”
“Jadi kamu mau mengenalku lebih dalam lagi ya Manis, ok...”
“Bukan itu maksudku, dan lagi, jangan panggil aku dengan sebutan Manis, aku bukan binatang kucing piaraan”
“Ya jelas bukan dong Manis, karena kamu lebih manis dari apapun” cengirannya tak pernah musnah dari bibir merahnya.
“Terserah”
“Kamu pasti mencariku ya beberapa malam ini?”
“PD banget?” ucapku semakin jengah.
“Ya jelas dong, kan aku sebagai belahan jiwamu, hilang tanpa kabar beberapa malam, pasti kamu mencariku”
“Sinting! Sekarang kamu bilang, apa mau kamu dariku?” tanyaku menatapnya bengis.
“Mauku? Kamu itu sudah kujadikan bagian dari hidupku, jadi aku mau jadikan aku bagian dari hidupmu juga” senyumnya yang paling manis yang pernah ku lihat darinya.
“Maksudnya?”
“Jadilah pacarku”
Dalam sekejab aku ingat tentang semua kisah cintaku yang telah lalu. Setelah dia mengucapkan kalimat yang memintaku jadi pacarnya, aku langsung pergi meninggalkannya sendiri di batu pinggir pantai tersebut. Aku pulang. Ingin mendinginkan otakku yang tiba-tiba dikejutkan dengan ucapan pria sinting itu. Siapakah sebenarnya pria itu?
Pria misterius yang mengaku bernama Beni itu membuatku gelisah akhir-akhir ini. Sejak permintaannya malam itu, tiap malam dia masih saja menanyakan jawabanku. Aku yang memang setiap malam masih sering ke pantai tak pernah menghiraukannya meskipun aku sangat penasaran siapa dia sebenarnya. Tapi karena sikapnya yang aneh itu membuatku malas untuk menanggapinya.
Hari-hariku masih disibukkan dengan pekerjaan kantor, apalagi akan ada proyek baru dan aku yang harus menanganinya. Rencananya pagi ini aku bersama Pak Cokro akan bertemu dengan klien untuk menandatangani kontrak kerja sama serta membahas perencanaan pembangunan proyek tersebut. Pada saat pelelangan tendher hanya diurus sama Pak Cokro karena saat itu aku sedang mengurusi penyelesaian proyek yang lain. Jadi, sekarang saat penandatanganan kontrak dan pembicaraan detail proyeknya aku harus ikut secara langsung yang memang proyek sebelumnya sudah rampung.
“Pak, nanti jam 10 ada meeting dengan klien di cafe bersama Pak Cokro” sekretarisku mengingatkan saat aku baru datang.
“Iya, makasih sudah diingatkan. Berkasnya sudah siap kan?”
“Sudah, Pak. Ada di meja Bapak”
“Terima kasih ya, Mel”
PT. Tigaroda Jaya Abadi, nama perusahaan klien yang akan nantinya akan bekerja sama dengan kantorku. Kata Pak Cokro, perusahaan tersebut sudah beberapa kali menjadi klien kami, tapi karena tugasku dulu di bagian HRD, jadi aku tidak tahu mengenai ini.
“Ayo, Di. Kita berangkat” ajak Pak Cokro padaku.
“Baik, Pak. Ayo” balasku beranjak dari tempat duduk di ruanganku.
Pak Cokro memang orang yang baik hati. Meskipun beliau kepala kantor cabang tapi sangat baik terhadap semua karyawannya, orangnya juga sangat berwibawa, bahkan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri apalagi sejak tahu kalau aku di kota ini hidup sendirian.
“Pak Arya ini orangnya sangat baik, dia ramah. Dia teman kuliah Pak Chandra. Kerja sama dengan perusahaan kita juga sudah lama. Meskipun dia masih muda tapi sudah termasuk eksmud. Meskipun di perusahaannya banyak rekannya, tapi kalau yang memenangkan tendher itu kita, pasti Pak Arya sendiri yang megang” jelas Pak Cokro padaku saat di mobil perjalanan ke cafe tempat meeting.
“Oh begitu, apa itu bukan KKN Pak?”
“Ya bukan dong. Kan kita bersaing secara sehat dengan perusahaan lain”
“Oohhh” aku hanya ber-Oh panjang.
Setelah itu kami tidak berbincang lagi sampai kami memasuki cafe yang kami tuju.
“Selamat siang” sapa petugas cafe yang berjaga di pintu masuk.
“Siang mbak, reservasi atas nama Pak Arya” jawab Pak Cokro.
“Silahkan, saya antarkan” kami diantar petugas sampai ke meja yang telah di pesan, tapi kok hanya 1 orang ya? Katanya Pak Arya itu muda, kok ini sudah seperti usia 35?
“Selamat siang, Pak Bima” sapa Pak Cokro pada lelaki tersebut dengan mengulurkan tangan untuk salaman.
“Selamat siang juga, Pak Cokro. Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarnya?” orang yang bernama Pak Bima tersebut berdiri dan membalas uluran tangan salam dari Pak Cokro.
“Kabar saya ya begini Pak. Sudah tua. Tapi syukur masih bisa bermain dengan cucu. Hehee. Oiya ini kenalkan Pak Adi Manager di cabang kami yang akan menangani proyek kita nanti” Pak Cokro memperkenalkanku.
“Adi Wijaya” aku mengulurkan tangan.
“Bima Sanjaya” balas Pak Bima.
“Silahkan duduk, Pak Arya masih di luar, ada telepon” kata Pak Bima lagi.
“Oh iya tidak apa-apa” Pak Cokro menjawab dengan tersenyum tulus.
“Em... maaf saya permisi ke toilet dulu kalau begitu” pamitku karena tidak tahan dari tadi.
“Iya silahkan” ucap Pak Cokro dan Pak Bima hampir bersamaan.
Disaat aku sedang berjalan ke toilet, tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan di pundakku.
“Manis, kamu di sini? Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kayaknya kita memang jodoh ya selalu dipertemukan tanpa janjian. Kamu ngapain di sini? Em...pasti ngikutin aku ya? Iya kan? Hehee” ucapnya yang bikin aku badmood dadakan karena kehadirannya.
“Sembarangan aja kalau bicara, aku di sini ada urusan kerjaan kantor. hanya orang sinting aja yang mau ngikutin kamu. Lagipula jangan aku sudah bilang, jangan panggil aku ‘Manis’, paham?” sengitku dengan wajah kesal.
“Masih pagi jangan marah-marah dong Manis, nanti cepet tua lho, tapi meskipun kamu kesal, kamu tetap manis kok” senyum manisnya selalu dia tampilkan saat bicara denganku.
“Lho kamu mau ke mana Manis?” tanganku di tahannya saat aku berbalik badan hendak ke toilet.
“Mau ke toilet, berani ikut, akan aku kuliti tubuhmu” langsung aku pergi meninggalkannya. Saat aku hendak membuka pintu toilet, aku meliriknya, ternyata dia masih berdiri di tempat tadi dan melihatku dengan senyum manisnya yang selalu mengembang.
Uhh akhirnya lega juga setelah dikeluarkan. Gara-gara saking sibuknya tadi, ngecek laporan, tanda tangan, meeting dengan karyawan, dan langsung diajak ke sini dengan Pak Cokro, sampai aku tidak sempat ke toilet waktu di kantor. saat aku berjalan ke meja yang akan jadi tempat meeting, aku celingukan mencari prian sinting itu, untung aja dia tidak keliahatan. Jangan sampai mood-ku makin rusak hanya karena ulah dia. Dan saat aku akan tiba, aku melihat di depan Pak Cokro sudah ada 2 orang. Mungkin dia yang bernama Arya, tapi aku tidak melihat wajahnya karena posisinya sedang membelakangiku. Tapi kalau dilihat-lihat, sepertinya sangat familiar.
“Pak Adi, sudah kembali? Silahkan duduk, kenalkan, ini yang namanya Pak Arya” kata Pak Cokro yang menunjuk pria yang disebut Pak Arya itu dengan melihatnya.
Betapa terkejutnya aku setelah tahu siapa yang namanya Pak Arya itu.
“Kamu...?” “Manis...?” ucapku dan pria itu bersamaan dan sama-sama terkejut. Tapi, whaattt??? Dia memanggil aku ‘Manis’ di depan Pak Cokro dan juga bawahannya?? Benar-benar sinting pria ini. Apalgi sempat kudengar Pak Cokro menggumam kata ‘Manis’ dengan keningnya dikerutkan.
“Jadi Pak Arya sudah kenal Pak Adi?” tanya Pak Cokro dengan masih bingung.
“Iya, sudah pak. Kami pernah bertemu di suatu tempat” Pak Arya alias pria sinting itu menjawab pertanyaan Pak Cokro sambil tersenyum senang melihatku.
Aku benar-benar shock atas semua yang terjadi, aku lebih banyak diam karena masih bingung dengan semuanya. Setelah semua urusan kerja sama selesai dan tinggal mengobrol basa-basi, Pak Cokro mendapat telepon dari orang kantor dan berjalan ke tempat yang nyaman untuk menjawab telepon.
“Pak, kita masih ada meeting dengan karyawan setengah jam lagi di kantor” Pak Bima mengingatkan atasannya yang bernama Arya tersebut.
“Bapak tunggu di mobil saja dulu ya, nanti saya menyusul” Arya menjawab sambil tersenyum.
“Baik, Pak” Pak Bima pamit dan pergi.
Di meja yang tinggal kami berdua, kulihat dari ujung mataku kalau pria sinting itu selalu tersenyum melihatku. Karena perasaanku yang masih bertanya-tanya, aku putuskan untuk angkat bicara.
“Jadi ini semua rencana kamu? Setelah ini, renana apalagi yang masih kamu sembunyikan? Apa tujuanmu melakukan semua ini?” kutatap matanya dengan kesal.
“Maksud kamu apa Manis?” tanyanya dengan raut wajah yang bingung.
“Tanpa ba-bi-bu tiba-tiba kamu datang bilang sayang, bersikap seola-olah kita akrab, padahal aku sama sekali tidak mengenalmu, dan sekarang kamu menjadi klienku, dengan mengatasnamakan Arya sedangkan aku masih ingat kalau malam itu kamu bilang kalau namamu itu Beni. Apa maksud dari semua ini, huh?” ucapku dengan suara tertahan karena takut didengar banyak orang.
“Manis...”
“Jangan panggil aku Manis!” sorot mata tajam kuperlihatkan padanya bahwa aku benar-benar kesal sekarang.
“OK. Adi, aku bener-bener sayang sama kamu, aku nggak bohong. Pertama kali aku melihatmu ya di pantai itu, setelah melihatmu beberapa minggu, aku baru berani menyapamu malam itu. Aku nggak tau kalau kamu itu partnerku. Aku kenal Chandra, atasan kamu, itu sudah lama, kami teman sejak kami kuliah. Kami kerja sama dalam pekerjaan itu sudah lama, jadi soal kontrak ini nggak ada hubungannya dengan perasaanku ke kamu. Dan lagi, namaku Arya Beni Simanjuntak. Teman dan keluargaku memanggilku Beni, tapi dilingkungan pekerjaan, orang-orang lebih banyak yang memanggilku Arya. Jadi, aku nggak ada rencana jahat sama kamu, Di. Aku sayang sama kamu” pria sinting itu menjelaskannya dengan suara yang lembut dan tatapan yang memohon dengan tulus.
“Baik. Tapi sebelumnya aku sudah pernah bilang kan, kalau aku muak melihat tingkah anehmu. Maka aku menyatakan membatalkan kontrak ini” ucapku dengan memalingkan wajah darinya.
“Apa? Tolong jangan gitu, Di. Kontrak sudah kita tandatangani, nggak bisa di batalkan begitu saja. Aku mohon”
“OK. Aku akan mundur. Proyek akan diteruskan Pak Cokro dan yang lain” aku benar-benar emosi.
“Aku mohon, Di. Jangan. Karena proyek itu bisa memberikan nama baik buatmu. Aku yang akan mundur, Di. Kamu lanjutkan proyek ini dengan sesuai rencana. Adi... aku betul-betul sayang sama kamu. Aku ingin melihatmu tersenyum bahagia. Aku janji, aku akan mundur, tapi kamu tangani proyek ini. Aku permisi” setelah mengucapkan itu, dia langsung berdiri dan pergi. Saat dia akan melewati pintu keluar, aku melihat dia berhenti dan melihatku, seketika aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Aku sebenarnya tidak tega, kalau dia benar-benar mundur, itu akan menjatuhkan namanya dalam pekerjaan, tapi aku sudah terlalu muak dengan ulahnya yang aneh itu.
Setelah pertemuan penandatanganan kontrak itu, aku tidak bertemu lagi dengannya. Saat proyek berlangsung, aku kaget, dia tidak berbohong dengan ucapannya, dia betul-betul mundur dari tugas yang harus diselesaikannya. Kenapa dia melakukan ini? Sebenarnya saat itu aku hanya lepas kontrol dan tidak bisa menahan amarah. Lalu bagaimana kariernya sekarang?. Saat aku tanya kepada Pak Bima yang manggantikannya, beliau hanya bilang, bahwa dia sedang mengambil cuti karena menemani ibunya yang sakit dan berada di luar kota.
Aku menjadi merasa semakin bersalah dengan semua itu, dia mundur apakah karena memang ibunya sakit atau karena permintaanku? Aku ingin sekali bertemu dan menanyakannya langsung, tapi aku tidak tahu dimana dia tinggal, aku tidak tahu berapa nomor teleponnya, aku tidak berani bertanya pada Pak Bima atau Pak Cokro, apalagi Mas Chandra, bossku, pasti mereka akan kaget dan akan bertanya ada apa, aku harus menjawab apa. Jadi aku putuskan untuk pergi kepantai di mana aku bertemu dengannya, meskipun aku sibuk hinggan harus lembur, pasti aku sempatkan tiap malam ke sana hanya untuk melihatnya.
Seminggu berlalu tapi tidak melihatnya di pantai itu, semakin lama aku semakin mengkhawatirkan keadaannya. Apa dia baik-baik saja? Aku merindukannya. Rindu? Mungkin, dan bahkan mungkin aku telah mencintainya. Dulu aku sangat kesal dengan tingkah anehnya, tapi setelah dia benar-benar menghilang tiada kabar, aku rindu tingkah sintingnya, senyum manisnya, dan wajah rupawannya, juga membuatku lebih kurus karena tak ada selera makan.
Semua orang mengkhawatirkanku, terlebih Mas Chandra, sejak dia tahu aku semakin kurus, dia tiap waktunya makan pasti meneleponku untuk mengingatkan makan, minum vitamin, beristirahat cukup, dan lain-lain.
Saat malam minggu, aku sangat jenuh di rumah, mas Chandra juga tidak bisa datang karena sedang ada urusan di luar kota, maka setelah sholat Isya’ aku putuskan ke pantai, tapi kali ini aku tidak menutup telingaku dengan earphone yang mendendangkan lagu favoritku, aku hanya ingin menghirup angin laut malam, mendinginkan perasaanku yang sedang sedih karena merasa kehilangan pria sinting itu.
“Kok duduk sendirian malem-malem gini? Gak takut diculik orang? Gak malem mingguan? Atau sedang menunggu seseorang?“ seketika aku menoleh ke sebelah kiriku karena suaranya. Yah, dia datang. Aku sudah yakin kalau dia pasti datang. Dan lagi-lagi, dia selalu datang seperti ini. Datang tiba-tiba dan mengejutkan. Dia masih berdiri dan melihatku dengan senyum manisnya yang selalu membuatku ingin menggigit bibir merahnya.
“Kok diem...?” dia bertanya lagi dengan kening berkerut karena aku belum menjawab pertanyaan pertamanya.
Tanpa bicara aku langsung berdiri dan langsung menampar pipi kanannya. Aku betul-betul capek dengan tingkahnya yang selalu mendadak. Dia melihatku lagi, dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Sebelum dia berucap, aku memegang erat kedua rahangnya dan aku cium bibir merahnya. Dengan mataku yang terpejam, aku lumat bibir seksinya. Dia masih terdiam, tetapi dia akhirnya ikut aktif dengan membuka mulutnya dan menerima lidahku yang telah masuk untuk menjelajahi seluruh isi mulutnya.
Dengan ditemani angin laut malam yang dingin, akhirnya aku menjauhkan bibirku dari bibirnya setelah beberapa menit kami menyatukannya.
“Kenapa kamu lakuin semua ini, huh? Tiba-tiba kamu datang dan bertingkah aneh seperti orang sinting, bilang sayang dan sebagainya, lalu kamu pergi ninggalin aku sendiri di sini tanpa siapapun. Kamu pikir aku ini apa? Kamu bilang akan membahagiakanku, mana janjimu? Mana?” lengsung ku pelak erat tubuh kekarnya, ku lekatkan kepalaku di dada atasnya karena tinggi kami yang terpaut lumayan jauh.
“Jangan tinggalin aku lagi, Beni. Jangan pergi. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Maafin sikapku yang jahat sama kamu selama ini. Sekarang aku sadar kalau aku menyayangimu. Aku rindu tingkah konyolmu itu. Buat aku tertawa. Buat aku bahagia. Jangan pergi lagi, sayang” semakin kueratkan pelukanku, aku menumpahkan semua uneg-uneg dalam perasaanku dengan terisak di dadanya yang sudah pasti membasahi kemeja yang sedang dipakainya. Kurasakan tangan kirinya memegang pinggangku dan tangan kanannya mengelus kepala belakangku, dia juga terus menciumi kening serta ubun-ubun kepalaku. Rasanya aku sangat damai dipeluk olehnya, lebih nyaman dibandingkan dengan pelukan mantan-mantanku terdahulu.
Sekarang aku baru sadar kalau juga mencintainya, entah perasaanku itu datang dari mana, yang jelas aku tidak ingin kehilangan dia lagi, aku ingin selalu melihat senyum manisnya, wajah konyolnya, dan tingkah sintingnya. Aku memang seperti mejilat ludahku sendiri sendiri. Aku tidak peduli. Aku mencintainya sekarang, aku akan menjaga cinta ini, aku tahu cinta ini terlarang, tapi aku mencintainya tulus dari hati. Setelah cintaku mati 2 tahun yang lalu, aku menutup hatiku untuk siapapun, tapi sekarang aku jatuh cinta lagi. Dalam pelukannya pikiranku masih bertanya-tanya, apakah cinta ini adalah wujud dari do’aku selama ini? Ataukah ini ujian dari Sang Pencipta? Aku tak tahu, yang jelas, sebagai manusia biasa, aku hanya ingin hidup bahagia, mencintai dan dicintai dengan tulus. Aku akan menjaga hubungan ini dengan baik. Tidak akan mengotori dengan sex semata, meskipun aku tidak mengingkari kalau itu akan terjadi. Aku mencintainya. Pria sinting yang menyebalkan. Membuatku kesal dan tergila-gila.
“Aku juga mencintaimu, Sayang” setelah sekian lama kami terdiam dalam pelukan, ucapannya itu membuatku melayang dan bahagia. Lalu dia mengecup keningku beberapa detik dan memelukku kembali di atas batu besar di tepi pentai yang mempertemukan kami, langit yang cerah dengan bintang-bintang yang kerlap-kerlip serta bulan sabitnya yang indah menawan.
Mungkinkah ini cinta terakhirku?
Aku masih senyum-senyum sendiri jika mengingat kejadian malam itu, aku sungguh aneh, aku yang dulu sangat kesal terhadapnya, sekarang aku mencintainya. Oh cinta, apa lagi kejutan yang akan kau berikan padaku?
Malam itu, kami menjadi sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Sepanjang malam aku duduk di atas batu besar yang menjadi saksi mati hubungan kami, dan Beni, pria sintingku itu memelukku dari belakang dengan duduk juga, dan meletakkan jaketnya didepan dadaku agar aku tidak masuk angin terkenak angin laut malam yang begitu dingin. Kusandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang. Kami selalu menyungginkan senyum bahagia kami masing-masing.
Senyumnya yang menyejukkan itu, senyum yang tulus akan kasih sayang. Ku harap senyuman kami selalu mengambang dan tak kan pernah digantikan dengan tangis kesedihan.
Sekitar pukul 11 malam kami beranjak dari tempat bersejarah bagi kami tersebut dan menuju tempat makan karena aku belum makan sejak siang, dan kebetulan dia, kekasih baruku itu juga kelaparan karena belum makan malam juga. Kami makan di warung pinggiran jalan dekat pantai. Yah, warung pinggir jalan, tidak romantis. Aku yang meminta, karena aku lebih suka makan di warung daripada di cafe atau restoran. Entah karena dia juga suka, lapar, ataukah karena tidak ingin membantahku, dia menurut saja tanpa komentar. Di sana kita makan ikan bakar ukuran jumbo karena kita sama-sama kelaparan dan ekstra pedas, sehingga bibir merahnya terlihat semakin merah merona. Dia terus meniup-niupkan nafas karena kepedesan dan membuatku selalu tertawa melihat wajahnya yang lucu. Dan di saat sudah diluar warung, tempat yang agak gelap dan sepi, aku langsung memegang tengkuknya, menariknya untuk menunduk dan kulumat bibirnya tanpa permisi. Kuresapi lidah dan bibirnya yang kepedesan, aku ingin mengurangi rasa panas mulutnya serta aku juga ingin menikmati bibirnya yang menggairahkan tersebut.
Beberapa menit berlalu, pergulatan mulut kami untuk kadua kalinya, akhirnya selesai. Aku tersenyum melihatnya, dia tersenyum melihatku, akhirnya kita sama-sama tertawa.
“Katanya kesal sama orang sinting, kok nyosor terus sih?” tersenyum jahil dan terus mengedipkan mata saat mengucapkan itu.
“Itu kan dulu, sekarang tidak” balasku menirukan kalimat dan gaya bicara model iklan shampoo di tv.
“Ihh pacar abang genit deh, tapi abang suka, hehee. Muach” mengecup bibirku sekilas dengan lembut dan tersenyum senang.
“Abang...? kok Abang sih manggilnya?”
“Tadi katanya gak mau manggil ‘Sayang’? kebetulan abang orang batak, ya udah manggil ‘Abang’ aja”
“Kan takut keceplosan kalau ada orang lain, kan malu. Hehee. Iya deh abang sayang ganteng”
Hari-hariku diliputi kebahagiaan besar setelah aku resmi berpacaran dengan bang Beni. Dia sangat perhatian terhadapku. Termasuk ulah sintingnya yang selalu tiba-tiba itu, tidak pernah absen. Dia selalu melakukan apapun asalkan aku bahagia padahal aku tidak pernah memintanya. Sangat memanjakanku. Aku pernah mewanti-wantinya untuk jangan berlebihan terhadapku, terutama dalam hal materi. Aku mencintainya tulus. Tapi dia bilang hartanya itu hartaku, miliknya adalah milikku. Aku menegaskannya kalau aku paling tidak suka dimanjakan dengan kemewahan.
Bahkan aku pernah marah dengan sikapnya. Waktu itu dia membelikanku motor baru tanpa persetujuanku. Itu sangat berlebihan buatku. Apalagi aku sudah penya motor sendiri. Dia bilang motorku harus diganti dengan model yang terbaru. Saat itu aku marah besar, aku mendiamkannya biar dia sadar akan sikapnya. Tapi setelah 3 hari, aku tidak tega mendiamkannya terus-terusan. Akhirnya aku mengalah, aku jual motorku dan aku gunakan motor pemberiannya, dengan satu syarat hasil penjualan motorku, aku berikan padanya. Dia menolak, tapi setelah aku ancam tidak mau bertemu dia untuk selamanya, dia yang mengalah. Tapi dasar pacarku orang sinting, dia gunakan uang itu untuk semua keperluan saat kita sedang bersama karena dia tidak mau menggunakannya sendiri. Aku menolak tapi aku tidak bisa apa-apa karena sebelumnya aku hanya bilang satu syarat, dan syaratku telah diturutinya.
Hubungan kami hanya kami berdua dan keluarga bang Beni yang tahu, karena sebelum kami berpacaran, bang Beni sudah memberitahukan kepada keluarganya kalau dia sangat mencintaiku dan akan menjadikanku bagian dari dari hidupnya. Dia selalu mengajakku untuk bertemu keluarganya tapi aku selalu menolak karena aku belum siap. Apalagi kondisi fisik dan materiku dan bang Beni sungguh berbeda, dia pria gagah, tampan dan kaya, sedangkan aku hanya pemuda kampung biasa dan miskin, tapi alasan ini tidak aku sampaikan ke bang Beni, karena dia pasti akan marah mendengarnya, jadi aku hanya bilang belum siap bertemu keluarganya.
Di suatu malam saat kami sedang makan berdua di rumahnya, masakan buatan kami berdua, dia memintaku untuk pindah dan tinggal bersamanya.
“Mau ya, Sayang. Please” rengek bang Beni seperti anak kecil yang minta uang jajan pada ibunya.
“Buat apa bang? Toh aku sering nginap sini kan? Lagipula aku nggak enak sama mas Chandra, aku takut dia berfikir yang tidak-tidak” tolakku halus karena tidak enak dengan mas Chandra.
Aku ingat saat mas Chandra tahu tentang hubunganku dengan bang Beni. Aku sangat merasa bersalah padanya, karena dulu aku menolak cintanya dan sekarang aku menjalin kasih dengan sahabatnya. Tapi untung saja, dia tidak marah, dia bilang ikhlas, apalagi dia tahu kalau bang Beni sangat cocok untukku. Dia mengucapkan dengan tulus meski kulihat ada sedikit kekecewaan dimatanya.
Tapi beberapa hari kemudian, aku setuju untuk pindah, selain tidak tega menghadapi rengekannya setiap saat, aku sebenarnya juga ingin sekali tinggal satu atap dengan kekasih sintingku ini. Dengan berbagai macam cara memelas dan rayuan, aku kerahkan usahaku, akhirnya mas Chandra mengijinkanku untuk pindah asalkan dia boleh menginap di tempat kami kalau dia sedang ke kota ini, padahal selama dia ke tempat kami, dia tak pernah menginap, entah kenapa dia selalu saja ada alasan saat kami paksa untuk menginap.
Kebahagiaan tiada tara kurasakan sejak memutuskan untuk menjadi kekasihnya bang Beni, tanpa terasa 5 bulan telah berlalu hubungan kami. Percekcokan pasti ada, tapi tidak pernah menimbulkan masalah besar. Wajar, dan kami anggap sebagai bumbu pelengkap hubungan kami.
Aku juga sudah beberapa kali bertemu dengan keluarganya bang Beni, beberapa kali kesana dan beberapa kali ke sini saat Hendra, adiknya, ada sela libur sekolah beberapa hari. Aku sendiri juga masih sering berchatting ria dengan kakak iparku, memberitahukan kabar tentangku dan menanyakan kabar keluarga di desa. Mbak juga rutin mengirimkan foto-foto keluarga dan ponakanku, Zahrah. Aku juga rutin setiap bulan mengirimkan seluruh uangku ke keluargaku yang kutitipkan kakak iparku. Bang Beni juga tahu tentang semua itu dan sangat setuju, bahkan beberapa kali menambahkan uangnya juga untuk keluargaku meskipun sudah kularang. Pernah suatu ketika, aku dan kakak sedang video chat karena suaminya sedang lembur kerja, aku mengenalkan bang Beni pada kakak iparku. Yang akhirnya sukses bang Beni diberi wejangan segudang oleh mbakku untuk selalu menjaga dan melindungiku, aku hanya bisa-senyum melihatnya.
Masa laluku, kisah cinta lamaku, keburukanku, dan hubunganku dengan keluargaku juga sudah aku ceritakan semuanya kepada mas Beni. Aku tidak mau menutupi apapun darinya, dia menangis saat tahu semuanya. Dia selalu menguatkanku untuk selalu sabar, dia selalu bilang kalau suatu saat pasti mereka akan menerimaku. Dia juga menceritakan semua kisah hidupnya kepadaku, keluarganya yang dulu sempat menjauhinya dan akhirnya menerima kekurangannya, dan juga termasuk cinta pertamanya kepada mas Chandra yang akhirnya ditolak karena mas Chandra yang saat itu pure straight. Kami tertawa bersama-sama saat membandingkan bang Beni yang rupawan ditolak sedangkan aku yang jelek menolak cintanya mas Chandra. Sungguh ironis.
Kami sama-sama bahagia menjalani hubungan kami. Semua yang terjadi diantara kami, kami ceritakan secara transparan. Selalu diskusi terhadap hal yang kami lihat dan kami lalui, berita di tv, pekerjaan, dan sebagainya. Aku bahagia mendapatkan cintanya. Orang yang dulu sangat aku dambakan yang aku pikir hanya mimpi, sekarang benar-benar aku memilikinya. Aku berharap kami tidak terpisahkan kecuali kematian. Dan aku juga kadang merasa bersalah karena aku sudah kotor saat menjadi miliknya, sedangkan dia, aku adalah orang pertama yang tahu tentang seluruh lekuk tubuhnya dan aku jugalah orang pertama yang menjamahnya.
Kami mencurahkan cinta dan kasih sayang kami dengan tulus. Tanpa ada permintaan dan paksaan. Kami hanya akan saling memberi. Bahkan setelah hampir setahun kami tinggal serumah, belum pernah sekalipun kami melakukan hubungan anal. Karena bagi kami, cinta adalah segalanya, saling menyalurkan gairah dan klimaks, itu sudah cukup buat kami. Alasan kami tidak melakukan anal adalah selain demi kesehatan, kami juga tidak ingin menyakiti, dia tidak ingin melihatku kesakitan, apalagi dia yang belum pernah menjadi ratu, aku selalu menolak jika dia ingin menjadi ratu dalam gairah kami, karena aku ingat bagaimana sakitnya saat dulu aku pertama kali menjadi ratu dalam ranjang. Akhirnya kami bersepakat untuk bersama-sama menjadi raja. Dan cara kami untuk memuaskan pasangan saat ingin melakukan anal adalah mem-blowjob sampai sama-sama terpuaskan. Sungguh aneh, tapi inilah kami. Munafik? Mungkin. Tapi bagi kami, cintalah yang utama.
Selain itu, kami juga sama-sama bahagia karena bisa sama-sama membuktikan bahwa cinta sejenis tidak harus didasarkan pada sex semata. Dan melakukan hubungan sex tidak harus melakukan anal. Kami juga tidak tahu sampai kapan kami bisa untuk tidak melakukan anal. Kami hanya akan menjalani hidup kami berdua dengan sehat, baik, dan bahagia. Setidaknya, kami telah berusaha sekuat tenaga untuk tidak kalah dengan nafsu belaka.
“Aku mencintaimu” itulah kalimat yang selalu kami ucapkan disetiap waktu.
Sejak kecil jika aku merasakan kebahagiaan pasti hanya sekilas, disaat sedang menikmati kebahagiaan pasti terjatuh. Tapi, kebahagiaan yang kurasakan sekarang adalah kebahagiaan paling lama yang aku rasakan seumur hidupku. Dan aku selalu meminta kepada Tuhan semoga kebahagiaan ini takkan berakhir.
Beberapa jam yang lalu, aku baru saja mengantarkan kekasihku ke bandara. Dia sedang ada urusan pekerjaan di negeri seberang selama seminggu kedepan. Dia tidak ingin meninggalkanku sendiri di sini, tapi dia harus berangkat. Dan aku menolak ikut saat diminta ikut bersamanya karena aku juga sedang sibuk dengan pekerjaanku, jadi aku tidak mau menelantarkan tanggung jawabku, lagipula dia pergi hanya seminggu.
Ini adalah perpisahan kami yang paling lama setelah kami menjadi sepasang kekasih. Biasanya paling lama hanya 3 hari, itupun karena hal yang sangat penting. Setiap ada waktu senggang, dia selalu meneleponku, atau saling mengirimkan sms untuk mengurangi rasa rindu kami.
Biasanya aku rajin memasak jika di rumah, tapi beberapa hari ini sangat malas karena tidak ada bang Beni. Aku jarang makan dan sempat tensi darahku turun, penyakit yang sudah kuderita sejak masih sekolah. Selama beberapa hari masih saja terasa sakit padahal sudah makan makanan untuk menaikkan tensi darah dan minum vitamin.
Karena khawatir, tepat hari keenam sejak bang Beni pergi, aku memutuskan untuk memeriksakan kesehatanku ke sebuah klinik yang dekat dengan rumah. Setelah menunggu satu jam, dokter bilang aku harus rongent untuk memastikan apa penyakitku yang sebenarnya. Awalnya aku tidak percaya karena selama ini aku tidak pernah menderita penyakit serius, tapi karena sudah berhari-hari tidak kunjung sembuh, maka sore harinya sepulang kerja aku berangkat ke rumah sakit untuk melakukan anjuran dokter tersebut.
Antrian panjang membuatku jenuh menunggu panggilan pemeriksaan. Disaat kantuk sudah mendatangiku, akhirnya aku dipanggil juga ke ruangan dokter. Dengan hati yang penasaran, saat membuka pintu ruangan dokter, aku hanya bisa berdo’a semoga aku baik-baik saja.
“Permisi, Dok”
“Iya, silahkan duduk”
“Bagaimana hasil pemeriksaannya, Dok. Saya baik-baik saja kan?” tanyaku secara langsung karena khawatir. Kulihat Dokter sedang melihat lembaran hasil rongent yang diamplopnya atas namaku.
“Kamu sudah pernah periksa sebelumnya? keluhan apa saja yang kamu rasakan selama ini?” bukannya menjawab tapi malah tanya balik, bikin aku semakin penasaran.
“Sejak masih sekolah saya sering merasa sakit bagian perut, tapi saya tidak pernah periksa ataupun minum obat, karena selalu sembuh sendiri setelah saya diamkan beberapa saat, Dok. Tapi beberapa hari kemarin saya merasakan sakit yang luar biasa di bagian yang sama, baru saya putuskan untuk periksa ke klinik. Dokternya tidak bilang penyakit saya, dan saya dianjurkan melakukan rongent untuk memastikan penyakit yang saya derita. Sebenarnya saya sakit apa, Dok?”
“Kamu...menderita kanker”
“...” seperti dihujam Gunung Merapi mendengar vonis dari dokter.
“Kanker yang ada di perut kamu sudah mulai menjalar di bagian orang vital dalam tubuh kamu. Tapi masih dalam stadium 2, dan penyakitnya masih bisa dioperasi dan perawatan secara intensif”
“Berapa persen kemungkinannya saya sembuh, Dok?”
“Dari hasil pemeriksaan, 50% kamu masih bisa sembuh. Jika kamu bersedia, saya akan memberikan surat rujukan untuk kamu operasi di rumah sakit yang peralatannya lengkap, karena di sini masih kurang lengkap”
“Berapa biayanya, Dok?” sekilas itulah yang terpikirkan dalam otakku, karena aku yakin biayanya tidak sedikit, sedangkan setiap bulan, uangku selalu aku kirimkan untuk keluargaku di desa.
“Sekitar 30 juta, itu belum termasuk biaya perawatan dan check up 2 minggu sekali”
“...” bingung, karena seingatku hanya sekitar 6 juta yang aku punya sekarang. Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu, kalau bang Beni dan mas Chandra tahu, pasti mereka dengan suka rela memberikannya demi kesembuhanku, tapi aku sudah terlalu menjadi beban mereka.
“Apa tidak ada cara lain, Dok?” kuharap ada cara lain yang biayanya lebih murah.
“Ada, dengan kemotherapy. Seimnggu sekali harus melakukannya, dan biaya 1 juta sekali kemo” menurutku sama mahalnya menurutku.
“Terima kasih banyak, Dok. Saya tidak punya uang sebanyak itu” ucapku lemah.
“Uang bisa dicari, kesehatan kamu lebih penting”
“Dokter benar, tapi saya tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang itu. Kalau begitu, saya permisi, Dok. Kalau saya sudah mendapatkan uang itu, saya akan menghubungi Dokter kembali” pamitku dan langsung berdiri.
“Baiklah. Tapi kalau bisa secepatnya, sebelum racunnya semakin menyebar”
“Baik, Dok. Permisi”
Bagai disambar petir, itulah yang aku rasakan sekarang. Kenapa harus seperti ini, lagi-lagi aku terjatuh disaat sedang merasakan kebahagiaan dalam hidupku. Sejak pulang dari rumah sakit, aku semakin kehilangan semangat hidupku. Tapi aku harus kuat, aku harus tetap tersenyum. Besok bang Beni akan pulang dari luar negeri, dia tidak boleh tahu kalau aku sedang sekarat.
Amplop dari rumah sakit yang merupakan hasil dari pemeriksaan kemarin aku masukkan dalam baju yang sudah tidak dipakai, bajunya aku lipat sesuai lebar amplop tersebut agar tidak rusak, dan aku taruh dilemari posisi paling bawah. Aku yakin dengan cara ini, bang Beni tidak akan menemukannya.
Besoknya, saat jam istirahat, aku ijin pada Pak Cokro untuk ke bandara yang ada di kota lain, sekitar 2 jam perjalan jika ditempuh dari kota ini. Menggunakan mobilnya bang Beni yang aku kemudikan sendiri. Yah, aku sudah belajar mengemudi, karena aku tidak tega jika bang Beni selalu nyetir sendiri jika kami sedang bepergian. Beberapa jam berlalu, aku sampai ke bandara, setelah mengalami kemacetan di beberapa jalan tadi.
Sesuai jadwal, sekitar setengah jam lagi pesawat yang ditumpangi bang Beni akan mendarat. Aku menunggunya dengan duduk di kursi ruang tunggu, rasanya sudah tidak sabar melihat bang Beni lagi setelah seminggu tidak bertemu. Tapi meskipun ragakku di sini, jiwaku entah ada di mana, aku masih memikirkan tentang ucapan dokter kemarin sore. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menemani bang Beni sampai ajal menjemput. Apakah aku benar-benar akan berpisah dengannya karena kematianku? Aku hanya bisa berdo’a kepada Tuhan, semoga aku diberi umur yang lebih panjang, karena aku masih ingin menikmati kebahagiaan bersama bang Beni.
Aku juga tidak sanggup membayangkan betapa sedihnya bang Beni kalau sampai aku benar-benar meninggal. Apalagi sampai saat ini aku belum punya keberanian menemui orang tuaku untuk memohon ampun. Tanpa terasa, bulir-bulir air bening menetes dari mata ke pipiku di tempat yang ramai ini.
Aku adalah manusia kotor yang berlumur dosa, menyalahi kodrat sebagai seorang lelaki. Apakah penyakitku ini sebuah cobaan dari Tuhan agar aku lebih kuat menjalani hidup yang keras ini, ataukah karma karena aku mempunyai cinta terlarang dan mendurhakai orang tuaku? Hanya Tuhan yang tahu.
Dasar memang bang Beni, sudah kubilang berkali-kali jangan boros, tapi dia masih saja bandel, banyak sekali berbagai macam barang dia beli. Dia bilang karena aku tidak ikut ke sana, jadi apapun yang menurutnya bagus, dibelikannya untukku. Jujur aku menyukainya karena kualitasnya bagus dan dibeli langsung dari luar negeri, tapi melihat harganya yang selangit membuatku jengah. Di hanya senyam-senyum kalau aku mengomelinya. Dia bilanng percuma aku mengomel, toh barang sudah dibeli, dan tidak mungkin dikembalikan. Aku hanya bisa membuang nafas panjang saat mendengar jawabannya. Dia kekasihku, dia pujaan hatiku, ya sudahlah, toh dari awal aku sudah menduga kalau ini akan terjadi. Aku tidak mau mengomelinya lebih lanjut karena dia membelinya juga untukku, orang yang dicintainya.
Dua purnama telah berlalu, aku masih menjaga rahasia penyakitku dari siapapun. Semakin lama perutku sering sakit, aku tidak pernah memeriksa kondisiku lagi setelah dokter memvonis penyakitku, karena aku fikir dokter pasti akan bilang yang sama, operasi.
Disaat aku sedang merasakan sakit, aku memilih untuk menghindar dari kerumunan orang, agar tidak ada yang curiga, karena rasa sakitnya semakin tak bisa kutahan. Kalau di rumah, aku selalu berusaha menyibukkan diri, agar saat sakitku kambuh, bang Beni tidak ada di sampingku. Karena aku tahu, kalau bang Beni melihatku kesakitan, dia pasti langsung membawaku ke rumah sakit.
Tepat hari Rabu, saat aku sedang memimpin rapat di kantor, tiba-tiba penyakitku kambuh, aku merasa semua gelap, tubuhku seperti melayang dan aku tahu apa yang terjadi.
Putih, itulah yang kulihat saat aku membuka mataku. Aku melihat bang Beni di sebelah kananku dengan berderai air mata. Sebelum aku bicara, dia langsung memelukku. Dia menangis sejadi-jadinya. Di sebelah kiriku, kulihat Pak Cokro juga menangis melihat kami. Tiba-tiba pintu terbuka dan kulihat dokter masuk, ternyata dokter yang sama dengan dokter yang memvonis penyakitku. Sekarang aku yakin kalau bang Beni pasti sudah tahu penyakit yang kuderita.
Tanpa bisa melawan, aku menuruti semua yang dilakukan bang Beni. Setelah dari rumah sakit di kota ini, besoknya aku dibawa ke rumah sakit yang dulu dianjurkan oleh dokter untuk aku melakukan operasi. Sampai di sana, mas Chandra sudah menunggu di depan pintu rumah sakit. Dia langsung memelukku sambil menangis saat aku sudah didepannya.
Proses administrasi selesai, aku dimasukkan dalam ruangan yang disediakan suster, dan dia bilang bahwa besok malam aku akan dioperasi. Semua biaya ditanggung oleh bang Beni.
Sejak aku bangun dari pingsan sampai saat ini, bang Beni lebih banyak diam, tidak ceria seperti biasanya, aku merasa bersalah sekali telah menutupi semua ini darinya.
“Maafkan aku ya, Bang” hanya itulah yang bisa aku ucapkan saat akan memasuki ruang operasi.
“Abang sayang banget sama kamu. Abang yakin kamu pasti sembuh, Sayang” mengecup keningku dan tanpa terasa air matanya menetes di pipiku saat melepaskan bibirnya dari keningku.
Aku hanya berdo’a kepada Tuhan, semoga operasiku lancar, aku sembuh, dan diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, aku masih ingin membahagiakan bang Beni.
Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri akibat obat penenang yang diberikan oleh dokter saat aku akan operasi, akhirnya aku membuka mataku. Silau, putih, dan agak sulit melihat sekitar karena semuanya terlihat cerah di mataku. Aku mendengar bang Beni sedang membaca ayat-ayat dari kitab yang selalu dia baca kalau di rumah. Sambil tangan kirinya menggenggam erat tangan kananku.
Begitu tahu aku sudah sadar, dia langsung mencium keningku. Rasanya nyaman sekali. Dia tersenyum manis sekali.
“Kamu sudah sadar, Sayang. Puji Tuhan. Semoga lekas sembuh ya, Sayang” ucapnya lembut.
Menginap beberapa hari di rumah sakit membuatku jenuh, aku ingin pulang tapi tidak dibolehkan bang Beni karena dokter belum mengijinkan. Seminggu berlalu, akhirnya aku bisa menikmati udara segar. Aku pulang ke kota ini diantar mas Chandra, dan tentunya bersama bang Beni juga. Aku benar-benar dirawat dengan baik di rumah. Semua pekerjaan di ambil alih sama bang Beni. Aku tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan apapun demi kesembuhanku. Aku hanya bisa menuruti perkataannya.
Setiap dua minggu sekali, bang Beni mengantarkanku ke rumah sakit tempatku operasi yang juga berada di kota yang sama dengan kantor pusat perusahaannya mas Chandra, untuk melakukan check up. Dokter menyatakan kondisiku semakin membaik.
Selesai melakukan check up untuk ketiga kalinya, yang ditemani bang Beni dan mas Chandra. Saat kami berjalan di koridor rumah sakit, secara tidak sengaja kami berpapasan dengan kakakku dan kakak iparku. Kami semua kaget.
“Mas...?” sapaku pada kakakku.
“...” tanpa menjawab sapaanku, dia langsung menarik istrinya untuk pergi meninggalkanku.
“Mas, jangan pergi. Aku minta maaf” aku mengerjarnya dan memegang tangannya.
“Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, karena kamu bukan siapa-siapaku lagi, mengerti?!” dia melepaskan tanganku. Kalau saja bang Beni dan mas Chandra tidak memegangiku dari belakang, pasti aku sudah terjatuh ke lantai.
“Aku minta maaf, Mas” rengekku sambil berlutut di kakinya.
Tanpa aku duga, kakakku langsung menarik kerah bajuku dengan tangan kirinya untuk aku berdiri, dan secara spontan memukul perutku beberapa kali dengan tangan kanannya. Seketika aku lemas, sakit menjalar di sekujur tubuhku, rasanya jahitan pada perutku terbuka kembali dan mengeluarkan darah. Setengah sadar, kurasakan bang Beni dan mas Chandra membawaku ke tempat aku bisa mendapatkan pertolongan.
Kesadaran membawaku kembali ke dunia nyata. Kulihat kakakku hanya diam dan istrinya yang sedang menggendong anaknya, keponakanku, berdiri tak jauh dariku sambil menangis tersedu.
“Bang, aku boleh minta satu permintaan sama, Abang?” pintaku pada kekasihku yang menangis di sebelahku.
“Apa, Sayang,? Pasti Abang kabulkan” balasnya sambil mencium tanganku dengan tetap menangis.
“Aku ingin bertemu Bapak dan Ibu di desa. Bawa aku ke sana, Bang”
“Tapi kondisi kamu masih lemah, Sayang. Besok saja ya?” pintanya dengan memelas.
“Nggak, Bang. Aku mau sekarang. Aku mohon”
“Tapi...”
“Bang” aku memelas.
“Baiklah, tapi Abang tanya dokter dulu ya?”
Setelah aku memelas pada dokter, akhirnya aku diijinkan untuk pergi tapi dengan sangat hati-hati, karena khawatir jahitan pada perutku lepas lagi. Kami semua berangkat menggunakan mobil bang Beni, mas Chandra menjadi sopir dan kakakku duduk di sebelahnya. Bang Beni duduk di belakang mas Chandra, aku di sebelahnya, dan kakak iparku di sebelah kiriku.
“Bang, maukah Abang berjanji satu hal padaku” pintaku saat kami masil dalam perjalanan.
“Apa itu, Sayang. Abang akan kabulkan semua permintaan kamu” jawab bang Beni dengan memelukku.
“Jika aku sudah tiada, carilah perempuan yang baik untuk dijadikan sebagai penggantiku” kutatap matanya lekat dengan permohonan.
“Kamu bicara apa sih? Abang nggak suka kamu bicara begitu. Kamu pasti sembuh. Kamu pasti sehat kembali, Sayang. Percayalah”
“Umur nggak ada yang tahu, Bang. Aku merasa aku sudah nggak kuat lagi. Aku nggak kuat, Bang” kupeluk tubuhnya dengan erat dengan menahan rasa sakit di perutku, tapi rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit jika aku harus berpisah dengannya.
“Udah jangan bicara ngawur gitu. Kamu pasti baik-baik aja. Kamu kecapekan. Kamu istirahat saja ya, Sayang” kurasakan tetesan air mata bang Beni yang jatuh membasahi pipiku, karena posisi kepalaku di depan dadanya.
Karena kondisiku yang lemah, mas Chandra mengemudikan mobil dengan sangat lambat. Jarak yang bisa ditempuh dalam 2 jam secara normal, menjadi berkali-kali lipat karena sangat pelan.
Sakit di perutku semakin terasa tak tertahankan. Saat ini kami sudah masuk jalan desaku, desa yang sudah hampir 2 tahun tidak aku datangi. Saat tiba di depan rumah, dengan dituntun bang Beni, aku memasuki rumah dan kebetulan ibuku yang sudah lama tidak kulihat, sedang menonton tv bersama adikku.
“Ibu, ampuni aku bu, ampuni aku” ku bersimpuh di kakinya, kucium kakinya. Ibuku terlihat kaget dengan kehadiran kami yang tiba-tiba.
“Aku sudah tidak kuat bu, ampuni aku, agar aku bisa ikhlas pergi, bu”
“Ibu sayang kamu nak, ibu sudah lama memaafkanmu. Kamu jangan menangis lagi, nak” kedua bahuku ditarik pelan oleh ibuku agar aku bangkit, kulihat bapakku berdiri di samping ibu.
“Ampuni aku, Pak. Aku anak yang durhaka. Aku minta maaf, Pak” kucium kakinya seperti kulakukan pada ibuku tadi.
“Bapak memaafkanku, nak. Bangkitlah”
“Terima kasih, Bu, Pak. Aku bukan anak yang baik buat kalian. Ampuni aku” Kupeluk lagi ibuku, dan aku bersimpuh di kakinya seperti yang telah kulakukan saat aku datang.
“Iya kami memaafkan kamu, nak”
“Terima kasih, Bu. Aku sudah tidak kuat, aku tidak sanggup lagi” rintihku menahan sakit yang begitu dahsyat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Setelah mengucapkan kalimat takbir, pelan, karena aku tidak sanggup bicara keras, perlahan-lahan seluruh tubuhku lemas dan jiwaku terasa melayang. Kulihat semua mata melihatku, semua menjadi gelap, aku merasa tenang sekarang. Sekarang aku bisa tersenyum karena mendapatkan maaf dari keluargaku, meskipun air mataku mengalir tidak bisa berkumpul dengan mereka lagi. Ku terima semua dengan ikhlas. Inilah takdirku. Tuhan, aku bersyukur atas semua yang telah Engkau berikan padaku. Selamat tinggal semuanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa saat melihat orang yang sangat aku sayangi, orang yang telah menemani hidup 2 tahun terakhir ini, orang yang telah membuatku gila akan rasa cintaku padanya, orang yang telah membuatku merasakan kebahagiaan begitu besar, orang yang telah menjadikanku menjadi orang yang jauh lebih baik dari sebelumnya, tergeletak tak berdaya bersimpuh di kaki ibunya, kulihat bibirnya yang tersenyum, bibir yang merah kehitaman selalu kuciumi setiap waktu. Dia telah pergi, dia telah berpulang, dia telah meinggalkan kami semua. Aku tidak bisa menangis, aku tidak ada semangat untuk bergerak saat kulihat semua orang bergerak atas kejadian itu. Aku hanya bisa diam melihatnya.
Sekarang aku masih di samping gundukan tanah yang menutupi raga orang yang kucintai. Aku masih tidak bisa menangis, apalagi dulu dia sering bilang padaku kalau dalam agama yang dianutnya, makam tidak boleh terkena air mata, karena setiap tetesan air mata itu akan menyiksa bagi orang yang dikubur.
Beberapa saat aku duduk berdiam, kemudian berdo’a kepada Tuhan semoga dia diterima di sisi-Nya, diampuni segala dosanya, dan diterima amal baiknya.
Hari semakin gelap, Chandra, sahabatku, mengajakku untuk kembali ke rumah Adi, yang telah menjadi almarhum. Aku memutuskan untuk tetap berada di sini sampai acara 7 harinya. Aku sudah meminta Chandra untuk kembali dengan mobilku, tapi dia bilang dia juga akan di sini sampai 7 harinya Adi.
Acara pengajian 7 harinya Adi telah selesai semalam, dan pagi ini kami, aku dan Chandra berpamitan untuk pulang. Kakak dan kakak iparnya Adi ku ajak bersama, tapi mereka menolak karena masih ingin di sini. Setelah berpamitan dan memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan acara pengajian Adi di hari-hari berikutnya, kami berdua kembali ke kota di mana Chandra tinggal. Aku diminta menginap karena khawatir jika aku mengemudi sendirian.
Besoknya aku telah memutuskan untuk pindah ke Jakarta, di orang tuaku tinggal. Aku tidak sanggutp jika masih menempati rumah yang telah menjadi berteduhku bersama Adi 2 tahun terakhir.
Lima tahun telah berlalu Adi meninggalkanku, meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Orang tuaku, adikku, dan Chandra selalu menghiburku. Dua atau tiga bulan sekali aku masih rutin mengunjungi makam Adi, dan itu selalu ditemani Chandra, karena dia juga ingin mengunjungi makam adik angkatnya tersebut, Adi. di samping itu, juga aku sekaligus mengunjungi batu besar tempat aku melihat Adi untuk pertama kalinya. Dan rumahku yang ada di kota itu masih menjadi milikku. Bagaimanapun juga rumah itu terdapat banyak kenangan antara kami berdua, sampai kapanpun akan tetap kurawat.
Malam ini adalah malam terakhir aku menyandang status ‘belum kawin’ di KTP ku, karena besok malam aku akan menikah dengan perempuan yang dipilihkan oleh orang tuaku. Selain untuk memenuhi janjiku terhadap permintaan terakhir Adi sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya, ini juga sekaligus untuk membahagiakan harapan kedua orang tuaku yang ingin segera memiliki menantu dan cucu. Apalagi perempuan yang dijodohkan denganku adalah perempuan yang sangat baik, dan senyumnya yang selalu mengingatkanku pada senyum Adi.
Hubunganku dengan keluarganya Adi semakin lama semakin akrab. Mereka menganggapku sudah seperti anaknya sendiri. Aku juga telah menceritakan apa saja yang terjadi antara aku dan Adi dari pertama aku melihatnya sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku juga tanpa ragu mengatakan kalau aku tidak pernah melakukan hubungan intim yang berlebih (anal) kepada Adi selama kami berhubungan.
Saat pernikahanku besok, semua keluarganya Adi aku undang untuk datang memberikan restu. Semua kebutuhan mereka aku menanggungnya. Orang tuaku juga menerima baik kedatangan keluarganya Adi. Aku sangat bahagia melihatnya. Aku yakin, di sana, Adi pasti bahagia melihat semua ini, melihat kami semua akrab dan saling berbagi.
Selamat jalan kekasihku, sampai kapanpun kamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Cintaku padamu tidak akan pernah pupus oleh apapun, kapanpun, dan siapapun. Meskipun hari ini aku akan menikah dengan perempuan yang juga aku cintai, rasa cintaku padamu tetap kekal.
Aku tidak mengira kalau ucapan kita dulu menjadi nyata, kalau kita hanya akan bisa dipisahkan oleh kematian, dan aku juga akan menjadikan nyata ucapan kita yang lain, bahwa cinta kita akan tetap kekal di hati kita masing-masing.
Cinta memang boleh terlarang, tapi jika dijalani dengan hati yang tulus. Pasti bisa menjadi tetap baik. Seperti yang telah aku buktikan bersama Adi, kekasihku tersayang.
Selamat jalan. Aku mencintaimu.
dank u...