It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku ingat saat pertama kali dua bola
mataku menatap sosok dirimu. Kau
berjalan dengan indah bak pangeran
berjubah. Seketika, terasa aliran listrik
menyengat lembut relung didalam
dadaku. Dan aliran itu semakin deras
kurasakan ketika mata kita bertemu dalam
satu pandangan. Apakah aku menyukaimu
pada pandangan pertama? Tentu saja.
Siapa yang tak kan terpesona pada sosok
dan parasmu. Bertubuh jangkung ramping
namun kokoh. Kau tidak mempunyai sorot
mata elang yang mampu membuatku
bertekuk lutut padamu. Namun teduh
tatapanmu tak pernah membuatku bosan
memandangnya. Bibir tipis yang
menggoda. Kulit halus tanpa noda.
Menurut pendapat orang. Ketampanan
adalah suatu hal yang relatif. Namun
bagiku, sempurna adalah nilai yang
kuberikan untuk rupamu.
Dan akhirnya, tangan kita berjabat. Jemari
kita saling bertaut. Disusul oleh suara
lembut yang terucap melalui bibir
tipismu. Mengungkap jati dirimu. Dwi.
Raddy Dwi Putra. Itulah namamu. Lagi,
sengatan itu mengalir dalam setiap saraf
dan otot dalam tubuhku. Dan ketika
sosokmu menghilang dibalik keramaian.
Nama dan rupamu semakin jelas terekam
dalam memoriku.
Satu tahun sudah kita lewati dari pertama
mata ini memujamu. Waktu yang lebih
dari cukup untuk membuat dirimu dan
diriku menjadi sepasang karib. Dirimu
yang dewasa mampu menjadi sandaran
untukku yang manja. Satu tahun bersama
sebagai sahabat membuat banyak hal yang
telah kita lewati bersama. Canda tawa,
tangis duka, dan getirnya asam kehidupan
telah kita bagi bersama.
Namun apakah kau tahu, benih benih yang
satu tahun yang lalu tertanam dihatiku
kini telah tumbuh. Berakar dan bercabang.
Seringkali aku mencoba untuk
menebangnya, namun semakin panjangnya
pula jalarnya merambat. Terkadang
dedaunannya menggelitik hatiku untuk
mengungkap keberadaan inangnya. Agar
ia mampu tumbuh bebas. Namun logikaku
terus menimbang akan kemungkinan
layunya ia sebelum berbuah. Maka aku
tetap menyimpannya dalam ladang sempit dihatiku.
Suatu malam kita duduk bersama.
Mencoba membunuh gulita dengan canda
dan tawa. Seperti biasa. Ditemani kilau
bintang dan remang purnama. Namun
tiba-tiba kau terdiam ditengah tawa yang
sedang menggema. Ketika aku menatapmu,
ternyata matamu telah mengunci diriku
terlebih dahulu. Tak dapat aku
terjemahkan arti dari tatapanmu. Dan
bibirmu juga tak kunjung bersuara.
Perlahan wajahmu semakin mendekat.
Membuat detak jantungku semakin
menggila. Tubuhku pun membeku, ketuka
bibir tipismu menyentuh lembut bibirku.
Aku hanya terdiam tanpa mampu
membalas. Akhirnya kau menarik lagi
tubuhmu. Dan kembali menatap lekat bola
mataku. Bibirmu akhirnya bergerak,
bersuara, berucap “aku mencintaimu!”.
Jangan tanya tentang apa yang aku
rasakan. Bahagia? Lebih dari sekedar
kebahagiaan yang aku rasakan. Cinta yang
selama ini terpendam terbalas sudah.
Lading cintaku kini bersemi. Dihiasi
dengan warna-warna indah.
Selanjutnya hari demi hari kita lewati.
Kembali mencoba menaklukan dunia.
Meski kini sedikit berbeda. Kau bukanlah
sahabat karibku lagi, melainkan
kekasihku. Kini aku bebas mencium bibir
tipismu atau hanya sekedar memeluk
tubuh rampingmu. Terasa begitu indah
duniaku kini.
Namun tiada tawa tanpa duka. Dan
kebahagian tanpa kepedihan. Roda
kehidupan selalu berputar. Menaikan
mereka yang dibawah. Dan menurunkan ia
yang tengah berada diatas. Masalah selalu
menjadi teman kehidupan. Termasuk
untuk hidupku. Aku jatuh tersungkur.
Tatkala seorang dari masa lalu
mengungkap jati diriku pada keluargaku.
Tak terelakan lagi, murka kedua orang tua
menanti didepan mata. Namun dirimu
tetap setia berdiri disampingku. Menjadi
penguat atas lemahnya diriku.
Tertatih aku bangkit dari keterpurukan.
Dengan dirimu sebagai sandaran. Dan saat
itu aku tahu, tiada satu hal apapun yang
mampu menjatuhkan ku bila dirimu
disisiku. Dan bahagia berhasil kurengkuh
kembali bersamamu.
Bertahun sudah kita bersama. Merajut cita.
Meraih mimpi. Mengukir cerita. Memang,
cerita cinta kita tak selalu berisi narasi
kata bahagia. Karena tak jarang pula
masalah hadir memicu amarah. Namun
kita selalu berhasil menaklukan ego, meski
tak jarang kita harus berpisah untuk
menciptakan kata damai.
Ah… terasa begitu indah cerita cinta kita.
Meski tak seindah kata-kata sang pujangga.
Namun mampu membuat iri beribu
pasang mata. Sempurna. Tak berlebihan
bila aku menganggap dirimu sempurna.
Kesempurnaan dengan cara dan jalan yang
kau miliki. Namun kesempurnaan yang
kau miliki seketika luntur. Lenyap tak
berbekas. Tatkala aku melihat dirimu
tengah bemain cinta dengan seorang entah
siapa. Ditempat yang menjadi saksi untuk
indahnya malam yang telah kita lewati
bersama.
Seketika terasa berpuluh kilo beban jatuh
menghantam ubun-ubun kepalaku. Segala
daya lenyap tak berbekas. Badanku
bergetar hebat, menahan segala rasa dan
tanya yang semakin kencang berputar
mengitari pusat kendali tubuhku. Namun
kau hanya mampu terdiam. Membeku
dalam fikiranmu. Tak berucap. Tak
bersuara.
Perputaran roda kehidupan kembali
menghapiri takdirku. Menjatuhkan diriku
yang tengah melambung tinggi. Sakit tak
terkira kurasakan didalam jiwa. Mengusir
segala rasa yang hendak menghampiri
sukma. Mega senja kini telah berganti
gulita malam. Menyesakan setiapa rongga
dalam dada.
Padang cinta berhias bunga kini telah
tiada. Direnggut paksa oleh badai penuh
nista. Jangankan benih yang telah
tertanam, kelopaknya pun sudah tak dapat
kutemukan. Yang ada hanyalah kerikil
tajam yang semakin membuat perih setiap
jejak yang menapak.
Dan kini kau berada dihadapanku.
Berlutut dengan tunduk kepalamu.
Menucap beribu kata maaf. Dan
mengulang beratus penyesalan.
Mengharap cinta yang akarnya telah kau
cabut dengan paksa. Meminta hati yang
telah kau hancurkan hingga berkeping.
Diriku bertanya, bagaimana aku bias
memberikan kembali hatiku padamu, bila
hingga kini serpihannya pun tak mampu
aku satukan. Andai saja kau mengerti.
Mengobati hati yang tersakiti tak semudah
memberi maaf untuk kata yang salah terucap.
@adam08 @lockerA @freakymonster58 @zhan
@danze @kiki_h_n @gr3yboy @difer
@chocolate010185 @abiyasha @chi_lung mohon komentar saran dan kritiknya ya...
cerita yg kemarin kok gak ada kabarnya?
Kalau menurutku, ini bukan cerpen sih. Lebih ke prosa karena nggak ada dialognya. Tapi, ada sih cerpen yang nggak ada dialognya. Cuma, kalau buatku, aku mengategorikan ini sebagai prosa. Sebuah curahan hati kah?
Bahasanya indah, itu yg aku tangkap pas pertama kali baca. Apa lagi ya? Itu aja sih, hehehehe.
Keep writing!
senangnya kang @abiyasha mo mampir...hihi
cerita yg kmaren msh tahap penggarapan...aga susah lanjutinnya soalnya mo di rombak total...hoho
ini bukan curhat kok, justru cerita kemarin yg curhat beneran #eh
sekali lg...thx for u akang... *hug XD
yaa, jangan sedih donk Obay, di critain aja di sini
Cintaku hidupku matiku hanya untukmu
Terima kasih atas cinta yang telah kau beri
Cintamu adalah anugerah bagiku
Nafas untuk hidupku dan nyawa untuk ragaku
Keadaanmu takkan membuatku ragu untuk memberikan hidupku untukmu
Karena cintaku tak hanya mencintai segala yang ada pada dirimu
Cintaku untuk hatimu
Cintaku untuk hidupmu
Berbahagialah dengan sisa hidupmu walau ragaku tak dapat memelukmu
Berbahagialah dengan sisa hidupmu walau bibir ini tak kan pernah kembali menciummu
Berbahagialah dengan cintaku untukmu
Kembali aku menatap batu yang mengukir indah namamu. Batu yang tertancap pada gundukan tanah merah. Batu yang
menjadi penanda rumah barumu. Tidurlah dengan tenang di kasur tanahmu, tunggu aku menjemputmu ke alam
keabadian, bersabarlah sayang. Cinta ini akan mempersatukan kita kembali. Cintaku hanya untukmu.
#flashback
Langit tak urung berganti warna hingga sore menjelang,tetap pekat dengan gumpalan kapas hitam. Nampaknya langit
pun mengerti akan perasaanku saat ini. Hitam kelam seperti langit malam.
Aku terdiam, menangis, meratapi masa depanku yang telah lebur. Mengasihi diriku yang telah hancur. Dan memaki
segala yang telah terjadi. Semangatku sirna, dayaku hilang, dan tenagaku menguap entah kemana. Tak ada lagi mimpi
dan harapan. Semua seolah lenyap tak berbekas. Meninggalkan raga tanpa jiwa. Menyisakan fikir tanpa logika.
Maka disinilah aku sekarang. Duduk meringkuk memeluk lutut. Di dalam ruangan tanpa penerangan. Kenyataan ini
benar-benar meluluh lantahkan semangatku untuk menjalani hidup. Sudah beberapa hari ini aku bolos kerja,
pekerjaanku kini hanyalah meratap dan menangis. Kini temanku hanyalah gelas-gelas kopi dan puntung rokok.
DEPRESI dan STRES, dua kata itulah yang mungkin sedang aku alami.” Hmmm… malang benar nasib ini Tuhan.” keluhku
dalam hati.
Tok…tok…tok…
“Ki, kamu didalam, Ki?” samar pintu itu bersuara diiringi seseorang memanggilku di luar sana. Ku angkat lemah kaki
ini, perlahan aku membuka pintu itu, cahaya terang sedikit meyilaukan. Mungkin karena beberapa hari ini lampu
kamar memang sengaja aku matikan, jadi mataku kaget menerima cahaya matahari. Samar mulai terlihat sosok
yang membangunkanku dari ratapan, perlahan semakin jelas, badannya tegap, dengan rambut sedikit gondrong tapi
masih tetap rapih, bibirnya tipis menggoda. Aku mengenali sosok ini, yah dia adalah Satya, kekasihku.
“Are you ok?” dengan raut wajah cemas segera ia menerjangku dengan pertanyaan dan pelukan.
“Yeah, I’m fine,” jawabku lemas.
“Trus kemana aja kamu beberapa hari ini? Ga ada satu hal pun yang masuk ke telingaku tentang kabarmu,” nada
suaranya kini lebih tinggi, menandakan dia marah dengan sikap ku beberapa hari ini.
“Ga kemana-mana, cuma lagi pengen sendiri aja”.
“And what’s going on here??!!” pertanyaan selanjutnya yang ia lontarkan setelah melihat kamar ku yang tak
beraturan. “Kamu tuh kenapa sih? Kenapa kamu tiba-tiba berubah gini? Lihat tuh rupa kamu, ga jauh beda sama orang
gila yang suka mangkal di lampu merah tau ga.”
“Yeah…I know. Udah 2 hari ku ga mandi,” jawab ku santai, seraya kembali ke posisi dudukku semula sembari membakar
ujung rokok yang telah kusematkan di bibir ku. Sementara itu Satya mulai membenahi kamarku yang abstrak. Merapikan
gelas-gelas bekas kopi. Memungut pakaian yang berhamburan. Membersihkan lantai yang berserakan. Lihatlah, tak ada
lagi bantahan untuk alasan kenapa aku begitu mencintainya. Tampan rupanya, baik budinya, lembut tuturnya.
Sempurna dirinya dimataku, dengan cinta yang tak kalah sempurna pula yang ia miliki untukku. Lagi, genangan itu
mengalir di pipiku. Membasahi bola mataku. Perih rasanya membayangkan tentang kehilangan dirinya. Namun, bulat
sudah tekad yang ku buat. Segera, keputusan ini akan harus ku ambil. Karena cepat atau lamba, semua akan terjadi. Tak
ada satu laki-laki pun yang mampu menerima keadaanku. Begitu pula dengan Satya. Segara aku menghapus raut
menyedihkan dari mukaku. Tak ingin ada rasa iba yang datang untukku. Yah… Aku tak ingin dikasihani untuk ganjaran
atas semua salah dan khilafku.
“Aku ingin putus” tiba-tiba kalimat itu lancar terlontar. Menyentakan Satya yang sibuk dengan plastik berisi sampah.
“Apa?!”
“Aku ingin kita putus”
“Kenapa? Salahku apa? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus?”
“Ga… kamu ga salah apa-apa, cuma udah bosen aja aku sama kamu.”
“Bosen?! Segampang itu kamu bilang bosen?”
“Yah, mau gimana lagi, gitu keadaannya”
BBBUUUKKKKK
Kurasakan kepalan tangan mendarat di mukaku, disusul dengan darah yang mengalir dari hidungku.
Tanpa berkata apa-apa Satya pergi meninggalkanku setelah memberikan sebuah pukulan yang ku anggap sebagai kado
perpisahan kami. Tak dapat ku bendung lagi, air mata ini menetes juga. Maafkan aku Satya, aku terpaksa melakukan ini
padamu, lebih baik kamu meninggalkanku karena sikapku, dibanding karena keadaanku sekarang yang aku yakin tak
kan sanggup kamu terima dan akhirnya kamu akan meninggalkan aku juga.
HANCUR!!!!
Yah… Hancur, kata itulah yang dapat mewakilkan perasaanku sekarang. Dunia terasa berhenti berputar, langit jingga
beralih kelabu dan impianku lebur menjadi abu. Hanya
pahit yang dapat ku rasakan, kelu batinku tuk dapat menerima semua kenyataan. Vonis yang ku dapatkan telah membuat
semua impian indah akan masa depan sirna seketika.
Vonis yang ku dapatkan dari perbuatan masa laluku. Ingin rasanya kuberteriak pada langit bahwa aku menyesal atas
perbuatan masa lalu, namun apa daya, semua tak berguna,
semuanya telah terjadi dan tak mungkin kembali. Dan kini aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai.
Aku menangis sejadinya, merasakan sakit karena harus kehilangan, kehilangan asa dan harapan, dan tentu kehilangan
cinta yang telah ku nanti sekian lama. Kumenangis meratapi nasib yang kurasa sangat tidak adil padaku, takdir yang
telah merenggut
kebahagiaanku yang ku rasa begitu singkat, takdir yang telah menghancurkan semua impianku. Lama ku terisak dalam
tangis, membuat mataku perih, dan pusing bertengger di kepalaku. Ku angkat lemah badan ini, ku gerakan kaki menuju
kamar mandi hanya untuk
membasuh muka, agar pusing dapat sedikit pudar. Lama ku terdiam, kembali memikirkan hal-hal yang terjadi padaku
saat ini, dan aku hanya dapat menghela nafas panjang, engingat ini semua sudah terjadi.
Belum sampai kakiku menginjak di kamarku, namun pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu, segera ku bergegas masuk,
disana sudah berdiri pria yang ku kenal, Satya, dia kembali lagi. Dia berdiri mematung memegang sebuah kertas,
wajahnya pucat, ekspresinya lebih parah dibanding saat aku putuskan tadi.
“Mau apa balik lagi? Masih belum puas memukulku?”
Dia hanya terdiam menatap tajam wajahku, tangannya masih memegang kertas itu. Jangan-jangan. Seketika dia
menghampiriku, dan belum sempat kuberkata dia sudah memeluk tubuhku, memelukku dengan erat, nafasnya
tersenggal, pertanda ia sedang menangis.
“Apa karena ini sikap kamu berubah beberapa hari ini? Apa karena ini pula kamu tiba-tiba membuang aku dari
hidupmu,” tanyanya berbisik di sela tangisannya.
Aku tak dapat berkata apa-apa, ini di luar dugaanku.
“Kalau kamu berpikir aku akan meninggalkan mu karena ini, kamu salah, Ki. Kamu tahu cintaku ini teramat sangat
besar untukmu, tak ada satu hal pun yang dapat membuatku membencimu apalagi sampai meninggalkanmu.”
Kalimat terakhir yang Satya ucapkan berhasil murubuhkan dindingku, dinding yang sengaja kubangun agar aku sanggup
meninggalkannya. Sekarang giliran aku yang memeluknya dengan erat, sekuat tenanga aku mencengkram tubuhnya.
Tangisku kembali pecah, kali ini lebih hebat, ku menangis sejadinya di pundak pangeranku ini.
“I love you,” bisikku di telinganya.
“ A lot of love for you sweetheart,” jawabnya.
“Aku mencintaimu lebih dari apapun, aku ga akan ninggalin kamu, ga akan pernah…” lanjutnya.
“Tapi, Sat, aku sakit”
“Denger yah, aku ga perduli dengan apa yang terjadi sama kamu sekarang, aku telah berjuang untuk mendapatkan cinta
kamu, aku ga akan ngelepasin kamu dengan alasan
apapun…TITIK.”
“Tapi aku ga bisa bahagiain kamu Sat, kamu tahu resikonya kan, aku ga mau bikin kamu tersiksa.”
“Aku mencintai mu, mencintai hatimu, mencintai tingkah lakumu, mencintai segala bagian tubuhmu, cintaku bukan
hanya pada pantat atau batang kemaluanmu saja, aku mencintai hidupmu.”
“Tapi, Sat…” belum sempat kalimatku selesai, bibirnya telah menyentuh bibirku.
“Aku ga mau denger kata tapi lagi, cintaku ini sungguh untukmu, begitu pula hidupku.”
Mendengar kalimat terakhir yang terucap dari bibir indah itu aku tak sanggup berka-kata lagi. Perasaan ini tak dapat ku
ucapakan, bahkan tak dapat ku lukiskan. Yang aku tahu lorong gelap ini perlahan mendekati pintu terang, pintu yang
akan membawaku pada gerbang kebahagiaan.
Hari demi hari kulalui dengan kebahagiaan bersama pangeranku, semua terasa indah, tak ada lagi kabut gelap
menyelimuti batinku, hanya cahaya terang yang senantiasa menyinari relung jiwaku. Semuanya begitu sempurna.
Namun bukanlah hidup bila semuanya terjadi sesuai kehendak manusia. Tuhan selalu mempunyai rencana lain disetiap
rencananya, kebahagian dibalik kepedihan dan begitu pula sebaiknya.
“Satya pasti suka dengan kadoku ini” yah, hari ini adalah hari jadi cinta kami. Sengaja aku menjauhinya selama
seminggu untuk memberikan sedikit kejutan. Untuk hadiah aku membeli sebuah jaket dengan merek favoritnya,
tentunya dengan design yang pasti dia sukai. Aku hafal betul apa yang dia suka dan tidak Kebetulan hari ini dia libur
pasti dia ada di kosan, dan sengaja pula aku izin bolos untuk mempersiapkan ini semua. Setelah semua kejutan
selesai dipersiapkan segera aku menuju kosannya, tak butuh waktu lama untuk tiba di sebuah rumah yang dirubah
menjadi kost-kostan oleh pemiliknya karena tidak terpakai. Segera aku menuju kamar Satya, pintunya sedikit terbuka, ah
benar saja fikirku pasti dia ada di kosan. Namun belum sempat aku membuka pintu, sepintas dapat kulihat ada orang
lain di kamar itu, lemas seluruh badanku melihat tamu itu tanpa baju dan celana, begitu juga dengan Satya. Darah panas
segera mengalir ke otakku, amarahku meledak sektika, aku banting pintu kamar itu. Kaget mereka dengan kedatanganku.
“Oh… Jadi ini perbuatanmu di belakangku. Tega banget kamu ngelakuin ini semua sama aku !!!” caci maki mulai muntah
dari mulutku. Satya hanya bisa terdiam, berusaha mengumpulkan nyawa yang telah kabur saat kukagetkan tadi. ”Dan
kamu! Sebaiknya kamu segera pergi sebelum aku hancurkan batok kepalamu!” karena ketakutan anak itupun segera
pergi setelah memakai pakaian seadanya.
Rupanya nyawa Satya telah berkumpul, masih dalam keadaan tanpa busana dengan batang yang mengelantung dia
coba menenangkanku. ”Tenang Ki, semuanya bisa aku jelasin.”
“Jelasin?! Ga perlu! Mataku sudah cukup mendapat penjelasan dari semua ini. Aku emang bodoh, udah percaya sama
kamu. Seharusnya aku tahu ga ada satu pun lelaki yang bisa tahan tanpa sex. Aku emang kotor, tapi bukan berarti kamu
bisa seenaknya kaya gini. Udah cukup penderitaanku dengan status ODHA menempel di badanku. Ga perlu lagi
kamu tambah dengan penghianatan hina ini.”
Tanpa menunggu Satya membalas ucapanku, segera aku berlari menjauh dari setan itu, namun belum sampai kaki ini
melewati pintu, dia sudah meraih tanganku, ditariknya badan ini ke dalam pelukannya. Aku berusaha berontak, aku
mendorong tubuhnya dengan sisa tenaga yang aku miliki, tubuhnya menjauh, terpental menubruk dinding. Sesaat
kemudian dia tidak beranjak, wajahnya meringis seperti kesakitan, matanya memerah.
Perlahan aku melihat cairan menetes di balik telinganya, cairan itu berwarna merah, cairan itu darah. Tuhan apa yang
telah terjadi, ada apa ini, kenapa darah mengucur dari kepalanya, apa dia terbentur begitu keras hinggga berdarah…
ASTAGA… ada apa ini Tuhan. Sibuk dengan pertanyaan di dalam kagetku, tak kusadari mata Satya telah tertutup untuk
selamanya, dia telah menghirup nafas terakhirnya. Pangeranku kini telah tiada.
#end flashback
“AKU MENCINTAIMU DENGAN SELURUH HIDUPKU.”
Itulah kalimat terakhir yang Satya ucapkan sebelum malaikat selesai memberikan siksaan sakaratul maut. Masih jelas
terekam dalam ingatanku, tatkala wajahnya berubah pucat di hadapanku. Memang, tak ada satupun yang mampu
menyangka dan menerka maut. Maut yang menjemput Satya setelah badan yang kudorong kala itu menubruk dinding,
dan naas, tepat dibelakang kepala Satya tertancap paku yang menjadi jalan kematiaannya.
“Ayo. Waktu kamu sudah hampir habis,” suara berat milik lelaki paruh baya membuyarkan lamunanku. Lelaki itu
memakai seragam kepolisian, dia adalah petugas yang diberi mandat untuk mengawalku ke makan ini.
Setelah kejadian itu aku masuk penjara. Aku dilimpahi hukuman 2.5 tahun kurungan. Tahun ini aku mendapat remisi,
tapi remisi itu tidak aku pakai untuk mengurangi masa tahanan, tapi aku tukar dengan waktu agar aku dapat berziarah
ke makam Satya. Benciku hilang setelah anak yang waktu itu kepergok sedang main badan dengan Satya meminta
maaf. Dia meminta maaf karena telah memaksa Satya untuk bercinta, walaupun Satya tidak pernah ingin melakukannya.
Ah sayang, andai saja waktu itu aku lebih mempercayainya, mendengar penjelasannya, mungkin ini semua tidak akan
terjadi. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Dan tak mungkin kembali.
“Baik, Pak,” aku menjawab lemas. Aku akan kembali kerumah penebusan dosaku di dunia, sembari menunggu waktu
penebusan dosa di akhirat tiba.
Tunggulah aku sayang.
AKU SELALU MENCINTAIMU.