It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lanjutttttt
“Sialan… Ini sakit sekali…”
“Tahanlah Goldstein.”
“Aku tidak tahan lagi!!”
Aku mencengkram lengan Damien. Menancapkan kuku ku di kulitnya. Dia sama sekali tidak protes, menyerngitpun tidak.
“Kau bisa Goldstein.”
“Hah hah hah…” aku kehabisan nafas “talk is cheap! Kau tahu rasanya? Sangat sakit!”
“Jangan dirasakan kalau begitu!” dia masih saja menyemangati. Jangan dirasakan? Bagaimana aku bisa mati rasa kalau rasanya sesakit ini???
“Brengsek kau Damien!!!” teriakku, ketika Damien menempelkan kompres air hangat dan obat luka di beberapa lebam. Khususnya beberapa luka berdarah yang hampir mengering.
“Manja sekali.” Damien meletakkan lapnya “katanya Ibumu sering memukulmu, lalu kenapa kau teriak-teriak seperti itu?”
“Ini luka keroyokan, Ibuku tidak mengeroyokku. Dia hanya mampu menampar dan memukul dengan tongkat. Rasanya tidak pernah sesakit dipukul beramai-ramai.” ujarku.
“Kau pernah berdarah saat dianiyaya Ibumu?”
“Seingatku empat kali. Tapi yang sakit bukan fisik, lebih ke arah perasaanku.” Aku tercengung dengan kalimatku sendiri. Benar, aku tidak pernah merasakan sakit secara fisik saat dipukuli Ibu. Hanya saja perasaanku terluka. Apalagi ketika dipukuli seperti itu aku selalu teringat iklan-iklan di televisi yang menayangkan produk dengan tema ‘kasih ibu.’
Kenapa Ibuku tidak seperti di iklan-iklan tersebut?
“Untunglah aku punya Ibu yang pengertian walau tidak bisa berbuat banyak untukku.” ujar Damien “tapi dia melakukan semuanya untukku. Itulah sebabnya dia menikah dengan orang kaya.” Damien mengangkat bahunya.
“Jika kalian sudah selesai, tolong minum obat anti nyeri.” Mrs. Rita melongok ke arah kamarku “dan setelah itu kau harus istirahat Jun.” ia mendelik galak kearah Damien “dan jangan kemana-mana.”
“Yeah, blame me for what I’ve done or not. Aku tidak sepenuhnya salah disini.” Damien menggumam kesal setelah Mrs. Rita, perawat klinik, pergi. Damien mengantarku ke klinik dengan selamat, tetapi kami tidak selamat dari dampratan pihak klinik karena berhasil membuat mereka kebingungan atas hilangnya diriku. Lalu mereka memaksa Damien mengompres luka-luka ku dan bertanggung jawab atas diriku.
“Seharusnya kau senang, kan?” tanyaku kepada Damien “kau jadi kaya.”
“Itu tidak seperti yang kau pikirkan Goldstein.” ujar Damien serius “dan lagipula tidak ada yang bisa menggantikan ayahku.”
Aku terdiam. Aku tahu. Sama saja, tidak ada yang bisa menggantikan Ayahku. James Goldstein adalah satu-satunya ayahku dan akan selalu begitu.
“Baiklah, tahan sekali lagi. Aku hanya tinggal memberimu gel.” Damien mengusap gel ke luka-lukaku. Sentuhan tangannya terasa dingin menyentuh kulitku yang lebam.
Ada perasaan gelenyar yang aneh. Membuatku menggigit bibir.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Damien.
“Tidak, tidak… teruskan saja.” aku jujur, aku ingin Damien meneruskannya saja. Entah kenapa rasanya sangat…. mendebarkan.
Aku harap waktu berhenti.
Tapi aku tahu waktu tidak akan pernah berhenti. Jadi belum ada tiga menit Damien sudah selesai memberiku gel. Rasanya dingin walau agak perih.
“Oke sebaiknya kau minum obatmu sebelum perawat tadi kembali memarahiku. Ah aku harus pergi. Kalau besok sore kau sudah baikan, mau ikut aku ke tempat tadi?” Damien berdiri dan sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi.
“Hah? Secepat itu? Kau mau aku jadi sasak tinju Tom lagi? Maksudku aku senang dengan Tom tetapi untuk latihan…”
“Tidak, hanya melihat saja sebagai permulaan latihanmu. Jika luka-lukamu sudah sembuh kita bisa teruskan dengan latihan dasar. Tidak usah terburu-buru, setiap kemajuan membutuhkan proses panjang.” potong Damien cepat.
Aku tidak tahu kenapa aku mengiyakan. Apa karena aku sudah jatuh cinta pada sosok kecil Tom (maksudku, jatuh cinta sebagai adik), atau merasakan empati yang besar kepada Tom, atau semangat belajar bela diri jika suatu saat Orlando berniat mengerjaiku lagi, atau…
Atau ingin lebih akrab dengan Damien.
Aku tidak tahu yang mana. Yang jelas menantikan esok sore sangat mendebarkan saat ini. Semoga saja aku bisa lebih baik esok.
Damien’s:
Hari ini sungguh melelahkan.
Akan tambah melelahkan beberapa hari kedepan, untuk melatih si lemah itu. Akhirnya dia mau berubah. Kuharap dia akan mendapat perubahan yang berarti karena aku sendiri muak dengan orang lemah.
Ya, aku muak dengan Jun Goldstein itu, sekaligus merasa iba padanya.
Mungkin aku tertarik padanya juga—dan aku jamin bukan ke arah romantis— Dia adalah tipikal kontradiksi yang kuat; lemah tapi berani di saat yang bersamaan, keras kepala namun bisa berubah pikiran jika diperlukan.
Ya, dia menarik seperti itu.
Aku masuk kamarku dan mendapati Ben yang berperilaku tidak seperti biasanya; mengerjakan sesuatu dengan serius di macbooknya.
“Ngapain kau?” tanyaku geli.
“Tugasku, sial sekali professor satu itu! Memberi tugas seperti memberi permen kepada anak-anak saat Hallowen. Sangat murah hati.” jawab Ben menggerutu. Murah hati, kuasumsikan bahwa dosen Ben memberinya banyak sekali tugas.
“Mungkin ada baiknya begitu. Kau bisa libur dari kegiatan melelahkan lainnya.” ujarku.
“Maksudmu?”
“Pergi ke pesta dan mengencani banyak gadis. Itu melelahkan.”
“Itu melelahkan yang menyenangkan.” kini Ben tertawa, lalu berhenti seketika seakan menyadari sesuatu “Sialan kau mengingatkanku! Arrgh gara-gara tugas ini aku harus membatalkan janji dengan Jennifer.”
Aku tertawa, itu bukan salahku kan? Salahnya sendiri terlalu ‘ramah’ terhadap wanita.
“Oh sebelum aku dilupakan lagi oleh tugas sialan ini, ada paket untukmu tadi.” ujar Ben.
“Paket?” tanyaku tetapi Ben kembali serius di dunia tugasnya sehingga mengacuhkan pertanyaanku. Aku melihatnya, kotak kecil dengan bungkusan putih di atas kasurku. Tumben sekali ada yang berbaik hati mengirimiku sesuatu. Kubuka paksa kotak tersebut dengan pisau cutter. Masih ada kain pembungkus sesuatu yang dililit tali.
Tapi entah kenapa aku menjadi ketakutan, takut menebak isinya benar sesuai pikiranku.
Aku membuka buntalan kain itu dengan perasaan tidak karuan.
FN Five SeveN. Buatan Belgia dengan peluru 5,7mm.
Dan tulisan rapi dan sedikit konvesional
“Terimalah hadiah ulang tahunmu yang lebih awal ini, Rock. Aku tidak melupakannya. Dan bersiaplah atas hadiah yang lain. Semoga kau masih menikmatinya”
AL
Armando Louis. Siapa lagi orang yang memberiku senjata ini selain orang itu? Benar-benar baik hati sekali orang ini. Ulang tahunku besok lusa dan aku cukup terkejut karena dia tahu dan mengingatnya. Aku tidak menduga kalau bos mafia seperti dia punya jiwa sentimentil juga.
Dan jiwa sentimentilnya menyeramkan.
Aku segera mencampakan kotak itu beserta isinya ke kotak buku-buku semester lalu yang sudah pasti tidak akan aku buka lagi.
“Kau dapat kiriman apa?” tanya Ben masih sambil berkutat dengan macbooknya tanpa menoleh ke arahku.
“Barangku yang ketinggalan.” jawabku seadanya. Aku tidak bohong, itu memang barangku yang sengaja kutinggalkan.
Barang yang sudah membuatku akan menanggung rasa bersalah dan dosa seumur hidup.
Aku menuju lemari es kecil dan mengambil satu botol bir. Ini yang aku butuhkan saat ini. Ben menggerutu karena dia tidak bisa meminum jatahnya karena harus tetap sadar selama mungkin untuk mengerjakan tugasnya.
Mulai hari ini aku dipaksa untuk waspada. FN Five SeveN itu baru ‘hadiah awal’, dan aku yakin Armando tidak akan tinggal diam dengan hadiah-hadiah lainnya yang mungkin saja bisa menyiksaku seumur hidup.
Aku teringat Matt, benar kata-katanya dulu. Armando tidak suka kehilangan, dan dia sepertinya tidak mau kehilanganku. Atau dia ingin kehilanganku dengan tangannya sendiri.
Aku menghela nafas, merasakan rasa asam pahit menelusuri tenggorokanku.
Aku sudah terlibat masalah.
Kuperhatikan Tom sangat bersemangat bersama Goldstein. Mereka seperti teman sepermainan saja. Di sela-sela latihan Tom hari ini mereka malah bermain Uno dengan beberapa anak seusia Tom yang ikut beberapa klub olahraga seperti aikido, atletik atau bahkan karate. Goldstein sangat alami dengan anak-anak itu, mungkin karena dia masih bermental anak kecil?
“Kalian benar-benar tidak niat latihan.” gumamku.
“Tidak Damien, ini namanya istirahat.” sahut si Goldstein disambut teriakan setuju yang lain. Selanjutnya mereka mulai ribut lagi soal kartu-kartu aneka warna dan angka itu.
“Anak kecil memang hanya cocok dengan anak kecil.” lalu aku meninggalkan mereka bermain. Gabriel sibuk melatih petinju amatir untuk kejuaraan bulan depan sehingga Tom dibiarkan begitu saja bermain dengan Goldstein dan beberapa anak lainnya. Paling juga dia merasa bisa menemukan ‘baby sitter’ dadakan untuk Tom. Walau baby sitternya satu ini bisa kapan saja terkena uppercut atau hook.
Aku mendengar nada panggil dari handphone ku, dan aku segera mengambilnya.
Nomer asing. Tiba-tiba radar waspadaku bekerja.
“Hallo. Who’s speak?” tanyaku. Siap menghadapi siapapun pemilik suara itu.
“Hallo Rock, ini Matt”
Matt. Setidaknya dia bukan masalah.
“Kau, Matt. Ada apa?” tanyaku sambil mengelap keringatku. Sedari tadi aku mencoba melatih lagi otot-ototku dengan olahraga yang lumayan berat dan melatih Goldstein beberapa gerakan dasar.
“Dengar, aku tidak bisa bicara banyak tapi sepertinya Armando sedang mencarimu.” ujar Matt, dengan nada yang serius. Aku menghela nafas. Aku sudah tahu. Dia sudah menemukanku.
“Lalu?” tanyaku tenang.
“Mungkin dia menyuruh beberapa orang untuk mencarimu, yang jelas dia tidak melibatkanku. Kurasa dia menyadari bahwa kita masih dekat. Karena alasan itu juga aku memperingatkanmu.”
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya aku berkata dengan tenang “dia kemarin mengembalikan senjataku.”
“Oh, shit. Dia menemukanmu.”
“Dia yang membiayai sekolah dan kuliahku kan? Tidak heran kalau dia tahu secepat itu.”
“Kau tenang sekali.” Matt ngedumel. Tampak kesal dan khawatir sekaligus.
“Aku harus bagaimana? Cepat atau lambat aku harus menemuinya. Aku akan menemuinya sebelum dia membuat segalanya lebih buruk.” ujarku sambil membenamkan wajahku di handuk.
“Kau benar.” Matt terdengar menghela nafas sejenak lalu dia melanjutkan “jika ada sesuatu lagi akan aku kabari.”
“Terimakasih, kau baik sekali.” aku tersenyum tulus, yang aku sadari Matt tidak akan melihatnya.
“Tenanglah, kita kan’ teman. Aku pernah berhutang nyawa padamu dan bagiku ini belum cukup. Sudah ya, aku ada urusan. Akan kukabari lagi.”
Lalu sambungan terhenti.
Berhutang nyawa.
Aku jadi teringat peristiwa yang disebut Matt sebagai ‘hutang nyawa’ baginya. Saat itu aku baru saja sadar kereta malam membawaku ke Arizona saat aku berusia sekitar duabelas tahun saat aku kabur dari rumah. Selanjutnya aku mengais rejeki dengan menjadi pengamen dengan gitar rusak yang kutemukan di tempat sampah di dekat toko musik dan aku bermalam di beberapa stasiun kereta Arizona. berjuang untuk tidur, aku menyelimuti tubuh dinginku dengan kain sisa pabrik konveksi.
Saat sedang mengamen seperti biasa di stasiun tempat aku tidur, aku melihat Matt, dikeroyok beberapa pemuda tanggung. Beberapa gelandangan dan orang-orang yang masih ada disana tampak tidak peduli, maka aku yang entah kenapa memiliki sifat ‘suka ikut campur’ ini segera menolong Matt, memukulkan sebuah botol minuman keras milik seorang gelandangan dan gitar rusakku –yang akhirnya rusak sangat parah— lalu membawa lari Matt.
“Kau menyelamatkanku.” Matt mengatur nafasnya saat kami sudah aman seetelah dikejar berkeliling beberapa blok “Terimakasih.”
“Sama-sama.” Aku merasakan nyeri dalam perutku. Belum terisi apapun tetapi sudah berlari hebat. Aku hampir limbung dan Matt segera membawaku ke suatu tempat yang mirip ruang basement di suatu kompleks.
“Ini rumahku,” jawabnya sebelum aku sempat bertanya, lalu dia membuka lemari esnya “pilihlah. Hanya ini yang kupunya.”
Aku menganggap dua buah apel, roti gandum murah, beberapa botol air dan burger McDonnald adalah isi yang mewah untuk perut kelaparanku. Aku lalu meminta cheese burger milik Matt.
“Kau sendirian?” tanyaku.
“Iya. Aku tidak punya orang tua, sudah lama aku lari dari dinas sosial.” jawabnya sambil memakan sisa masakan restoran Cina yang dibungkus karton di meja yang juga berfungsi sebagai tempat baju “kau sendiri?”
“Aku kabur dari rumah. Di California.” jawabku sambil menikmati cheese burger dengan lahap seakan ini adalah cheese burger pertamaku.
“Woow, itu hebat sekali! Kau melintasi antar negara bagian.”
“Begitulah. Lalu siapa orang-orang tadi?”
“Dia hanya beberapa anak geng blok sebelah yang sedikit berselisih denganku.” jawabnya santai.
“Kau ikut geng?” ganti aku yang takjub. Matt mengangguk sambil menghabiskan sisa ayam kung pao nya.
“Apa nanti akan ada perang geng? Aku tadi memukul mereka.”
“Ini masalah pribadi, tidak akan ada pengaruhnya dengan seluruh kelompok. Tapi yang jelas mereka sekarang akan menganggapmu musuh mereka juga. Lebih baik kau tidak kembali ke tempat tadi.”
Aku memandang burgerku dengan gamang “tapi aku tidur di sana.”
“Kau tinggal di sini saja denganku. Dan soal keselamatanmu, aku tahu siapa yang bisa menyelamatkanmu.” ujar Matt menghampiriku, lalu menepuk pundakku “kau ikut aku bertemu dengannya.”
“Kapan?” aku masih belum yakin.
“Besok. Kau pasti menyukainya, namanya Armando.”
Aku memang menyukai Armando awalnya. Tapi tidak untuk sekarang.
Aku menghela nafas lagi. Masa lalu yang memiliki kenangannya sendiri. Kalau dipikir, akulah yang berhutang nyawa kepada Matt; dia yang memberiku makan sekaligus memberikanku perlindungan.
Seharusnya aku yang berhutang padanya.
“Kau tampak kelelahan” aku merasakan ada seseorang di sampingku. Goldstein.
“Sudah selesai main Uno-nya?” tanyaku. Goldstein tertawa kecil.
“Sudah dan tebak aku kalah berapa kali?”
“Lima?” jawabku sekenanya.
“Tujuh. Hebat sekali anak-anak itu.” ujarnya.
“Kau yang payah kalau begitu.” Aku menyeka rambutku dengan handuk. Lalu tiba-tiba kurasakan ada tangan halus menyentuh rambutku. Tangan Goldstein.
“Hei, apa yang—“
“Tenanglah.” Dia menyatukan rambut-rambutku ke belakang dan mengikatnya dengan sebuah karet. Lalu tebentuklah sebuah kuciran. Goldstein tersenyum lalu menunjuk rambutnya yang juga dikucir amat kecil “lihat aku juga mengucir rambutku jika olahraga. Keringat di rambut bisa membuat kulit lehermu iritasi.”
Oh baiklah. Aku memang butuh itu.
“Thanks.” jawabku. Goldstein lalu menyandar di tembok. Tampak kelelahan namun tenang.
Dan dia sungguh menggoda dengan wajah biasnya yang
sedikit lembab berkeringat itu.
Oh sialan, ada apa ini… Kenapa aku…
Persetan.
Aku mendekatkan wajahku ke arah Goldstein.
Jun’s:
Aku meminum air mineral yang tersedia di cool box. Beberapa tetesnya mengenai kaos hitamku. Lalu pandanganku menatap lagi green house yang sudah tinggal seperempat belum jadi.
“Hei Jun, kau menginjak paperku.” Viviane meneguru dan astaga, sejak kapan ada paper hitungan di bawah kakiku?
Gosh, memang akulah yang salah jalan.
“Maaf Vi, aku benar-benar menyesal.” aku segera mengambil paper itu dan membersihkannya.
“Sudahlah. Konsentrasilah Jun. Apa kau sedang sakit?
Aku tidak sakit. Pikiranku masih terbagi saat ini.
Aku lebih banyak melamun sekarang.Ini semua gara-gara Damien.
Semua berawal saat kemarin sore saat kami latihan awal untuk tinju kami –latihan dengan Tom ber’upercut’ itu tidak masuk hitungan— aku hanya bermaksud merapikan rambutnya yang agak panjang untuk ukuran laki-laki dan berantakan itu. Tapi yang kudapat lebih dari sekedar ucapan terima kasih.
AKu tidak tahu apa maksudnya mendekatkan wajahnya ke wajahku saat itu, yang jelas sebelum kami berbenturan atau saling membenturkan wajah, dia langsung menahan dirinya dengan lengannya bertumpu pada tembok.
Lalu setelah menatapku lama dan aku menelan ludah karena bingung dengan kelakuannya, dia berbisik lirih.
“Mandilah sebersih yang kau bisa. Aku tidak ingin rambutku di pegang oleh orang kotor.”
Orang kotor apa maksudnya???
“Kotor bagaimana maksudmu?” tanyaku, berhasil menelan ludah.
Damien tersenyum simpul lalu menatapku tajam “kau tahu maksudku.”
Oke, aku tidak tahu apakah Damien homophobia atau tidak yang jelas itu sudah kelewatan. AKu langsung mengemasi barangku dan menyetop taksi menuju kampus.
Aku ingin manghajarnya saat itu dan sekarang juga.
Aku mendesah pelan. Terduduk di salah satu box berisi semen. Aku sudah lelah, lelah karena seharian bekerja giat mengerjakan apapun untuk melupakan kalimat Damien dan lelah karena sikapnya yang antara baik dan kejam terhadapku.
Aku berpikir lagi, aku masih ingin berlatih tinju dengan Tom dengan atau tanpa Damien. Tapi jelas itu akan membuatku bertemu dengannya di sana. Untuk saat ini hal tersebut membuatku muak. Bagaimanapun dia tidak berperikemanusiaan.
“Kau tampaknya butuh kopi.”
Aku melihat tumbler di depanku, aroma almond latte yang kental dan tampak nikmat.
Dan aku tidak asing dengan suara barusan.
“Sam?” aku terkesiap melihat sosoknya di depanku. Rambutnya yang selama ini ditata berdiri sudah lemas dan ternyata sedikit berombak.
Dan membuatnya semakin tampan.
“Apa kabar?” tanyanya, lalu dia meneguk tumbler yang lain yang kurasa berisi ekspresso “kau tampak kacau.”
Memang terlihat sekali ya? Hei, bukan saatnya untuk itu.
“Kau…” aku menerima lattenya dan menelan ludah “Kau kemana saja?”
Sam terbelalak “James tidak memberitahumu?”
James? James… Astaga James Scott. Professor James Scott. Sempat aku kaget karena Sam menyebut nama ayahku. Tapi nama James memang sungguh pasaran.
“Tidak, dia seminar seminggu ini.” jawabku.
“Ah pantas. Salahku juga tidak memberitahumu lebih awal atau meminta nomor handphonemu. Aku sudah beberapa hari ini berada di Kanada. Apa aku sudah bilang kalau aku berasal dari sana? Kurasa belum.” Sam meneguk kopinya lagi.
“Lalu?” tanyaku.
“Kakakku menikah, aku harus jadi bestman nya. Lalu yah karena sudah lama aku tidak pulang maka aku gunakan kesempatan untuk liburan.” Sam menatap sekitarnya “tampaknya semua lancar tanpa diriku.”
Sam lalu membalas beberapa sapaan anak-anak yang menyapa dan menanyakan kabarnya.
Aku memandang pria di depanku.
Apa aku terlalu berpikir macam-macam? Kurasa saat itu aku terlalu berpikir jauh. Sam tidak menjauhiku atau jijik kepadaku. Ada perasaan lega.
dan perasaan lega itu justru membuatku meneteskan beberapa air mata.
“Hei, hei.. kau kenapa? Astaga, apa aku salah bicara?” Sam kelimpungan, dan langsung berjongkok di depanku “kudengar kau habis dipukuli. Apa itu masih sakit sampai sekarang? Istirahatlah. Jangan memaksakan diri.”
Aku menggeleng. Lalu Sam menyentuh pipiku yang terkena air mata.
“Lalu?” tanyanya. Aku terdiam. Tidak mampu menjawab. Tidak mampu menjawab karena aku sendiri tidak tahu kenapa.
“Baiklah. Mungkin kau kelelahan.” Sam menarikku berdiri, lalu dia mengajakku ke kursi panjang di koridor menuju kapel yang terlindungi pohon pinus besar.
“Tidurlah.” Sam menyuruhku berbaring. Aku menurut sambil menutup mataku dengan lengan. Masih sesenggukan. Kudengar langkah kaki Sam meninggalkanku. Mungkin dia pikir aku butuh sendirian.
Aku memang butuh sendirian. Aku tidak tahu kenapa aku jadi kacau karena kalimat Damien dan kehadiran Sam secara hampir bersamaan.
Dan beberapa menit kemudian aku merasakan lenganku di tarik. Sam sudah kembali. Lalu dia menutup wajahku dengan handuk basah.
Aku hanya mampu diam.
Perhatian kecil seperti ini kadang yang kubutuhkan.
“Tenang dan cobalah tidur. Kau akan baik-baik saja.” Sam memberiku beberapa perintah dan dia duduk di dekat kepalaku. Dan kudengar dia mendendangkan beberapa lagu. Lagu Bon Jovi.
Semilir angin musim gugur, kesunyian, dan suara gumaman lagu dari Sam membuatku tenang, membuatku merasa menemukan diriku lagi.
Diam-diam aku bersyukur bahwa ada Sam saat ini.
Procyon's:sudah chapter berapa sih?
maaf ya saya kelamaan... sedang banyak tugas -_-
sementara saya hanya bisa bilang akan semakin jarang update tp minimal seminggu sekali ya...hahahaha maaf. Salahkan tugas dan paket internet :P
@leo90 @masdabudd @obay @YuuReichi @Duna @Adhi48 @yubdi @Silverrain @arieat @andhi90 @4ndh0 @Venussalacca @Ricky_stepen @ackbar204 @androfox @Ryuzhaki @brownice @Adam08
@greenbubles @apple_love @AjiSeta
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara @gue3 @Zhar12 @ardi_cukup @Chachan @FendyAdjie_ @rezadrians @hades3004 @tamagokill @meong_meong
@WYATB @lian25 @Damian_Lee_Adam @piocaprio @Denny1_haenseom @kikyo @aicasukakonde