It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
jun salah paham deh ma damien, damien ga mau ngaku nih kalo dia itu sebenarnya suka ma jun ..
salah tulis kek nya dia..hahaha
“Mari bersulang atas kembalinya hidup normalku –eh maksudku untuk ulang tahun Damien!”
Ben bersorak gembira. Aku tahu kegembiraannya bukan karena merayakan ulang tahunku, tapi karena tugasnya sudah selesai dengan nilai yang katanya hampir mendekati B. Dia tidak akan masalah sama nilainya, yang penting dia bisa bersenang-senang lagi.
Bersenang-senang dengan para gadis.
Ngomong-ngomong soal bersenang-senang, tampaknya tidak hanya Ben yang menikmatinya.
Jun Goldstein pun demikian.
Duduk dipinggir bersama Sam. Tampak mereka punya dunia mereka sendiri. Aku tidak menyangka anak itu masih mau berbaur denganku walau aku sudah mengatakan hal yang kejam padanya.
Aku tahu pasti Sam yang mengajak bocah Goldstein itu. Tidak mungkin anak itu memiliki inisiatif datang atas kemauan sendiri. Dia cukup akrab dengan Sam.
Tunggu? Apakah…
Apakah anak itu dan Sam punya hubungan yang lebih dari akrab?
Aku selalu lupa Sam itu penyuka sesama seperti halnya Goldstein. Karena kami dulu dekat seperti saudara, aku bahkan tidak menganggap hal seperti itu masalah dalam kehidupan kami. Aku tahu Sam tidak pernah menyukaiku—dalam artian yang romantis – saat itu aku masih primary school dan Sam sudah menginjak usia empat belas tahun. Aku ingat dulu Fred—kakak tiri Sam— menggoda Hannah, seorang cewek tetangga yang sudah memiliki bentuk tubuh yang bisa membuatmu memimpikannya dengan basah.
Tapi Sam berkata padaku bahwa ia tidak seperti Fred, dan mengatakan bahwa dia mungkin cukup menyukai Ricky Martin. Dan dia menyebutkan sesuatu tentang bahwa dia gay dan berbeda dengan Fred atau mungkin denganku. Lalu aku tahu artinya saat menginjak senior school. Aku tahu gay itu apa.
Aku ingat saat percakapan kami beberapa hari lalu, sesaat setelah dia pulang dari Kanada. Aku, karena terus-terusan kepikiran dengan perkataanku kepada Jun, menanyakan kepada Sam.
“Kau masih gay?”
Sam yang saat itu minum jus kalengan tertawa hampir tersedak.
“Kau... Apa yang membuatmu yakin aku gay?”
“Sudahlah Sam, kau dulu lebih memilih tubuh macho Ricky Martin ketimbang tubuh sexy Hannah. Kau juga bilang kau berbeda dan kau gay.”
“Kau masih ingat akan hal itu?”
“Itu yang kutanyakan sekarang.”
Sam tersenyum dengan muka geli “Iya. Itu tidak akan hilang dengan mudah Damien. Kenapa? Kau memusuhi gay?”
“Tidak, tidak. Aku tidak memusuhi gay yang tidak cari masalah denganku.” aku nyengir “aku hanya ingin tahu… apakah aku terlihat sebagai orang yang memusuhi gay?”
Sam menyerngit, tanda ia bingung.
“Ah sudah. Lupakan.” ujarku.
“Tidak penting apa yang terlihat Damien. Kau yang merasakan. Apakah kau merasa muak atau kau biasa saja dekat denganku?”
Aku mengedikkan bahu “aku biasa saja. Mungkin karena kita sejak kecil berteman.”
“Lalu dengan Goldstein?”
Pertanyaan Sam membuatku kebingungan untuk beberapa saat. Apa yang kurasakan kepadanya? AKu muak, iya. Muak karena dia lemah bukan karena dia gay. Coba aku buang bagian ‘lemah’nya.
“Aku biasa saja.” jawabku. Mungkin aku sedikit tertarik. Agh sial! Semoga rasa tertarikku kepadanya tetap seperti dulu, bukan ke arah romantis.
“Berarti kau tidak memusuhi kami. Beres kan?”
Aku tahu itu memang benar.
Sebastian mengambil potongan cake coklat lemon dan melahapnya dalam satu suapan “kau tahu, dua kali perayaan ulang tahun dua hari berturut-turut membuktikan seberapa populernya dirimu. Kau dapat berapa kado dari cewek-cewek?”
“Dua puluh dua! Itu pun belum termasuk kado dari Victoria!” Ben yang menyahut. Dasar anak itu bisa-bisanya dia tahu.
“Hebaaat… So, Victoria memberimu apa?” Sebatian lalu mendekatkan wajahnya “jangan bilang dia mau melilitkan tubuhnya dengan pita, dan dia sendirilah kadonya…”
“Ngaco!” aku mendorong tubuhnya menjauh, Sebastian cekikikan.
Aku melihat Goldstein memandang ke arah kami. Tepatnya Goldstein dan Sam.
“Eer ngomong-ngomong soal Victoria, aku tidak melihatnya.” aku celingukan lalu aku memandang Sam “kau mengundang Victoria juga kan?”
“Iya. Tadi aku mengirimkan pesan singkat dan dia membalas bisa datang.” jawab Sam.
“Biar aku yang menghubunginya.” Sebastian mencoba menghubungi Victoria, lalu beberapa saat dia berujar pelan “selularnya dimatikan.”
“Apa dia dalam perjalanan? Mungkin saja dia sekarang di flatnya.”
“Tidak, dia tadi ada di asrama putri ketika kuhubungi.”
Aku ganti mencoba menghubunginya. Tidak aktif.
“Sudahlah anggap saja ini boy’s party. Victoria pasti akan kemari kalau dia ingin.” Ben meraup beberapa tortilla dan mulai bernyanyi dengan kepercayaan diri yang susah didapat orang awam. Sam tertawa mendengar suara sumbang Ben yang tidak bisa mengikuti nada dari ipod.
Aku memandang Goldstein yang kini duduk sendirian sambil menyendoki dan memainkan cake coklat lemonnya.
Aku ingin meminta maaf.
“Kalau tidak suka cake nya sebaiknya kau tidak memainkan makanan seperti itu.” ujarku.
Itu tadi bisa masuk kalimat minta maaf tidak?
Goldstein mendongak, lalu menyerngit tersinggung. Selanjutnya dia hanya melengos sambil mencampakan cakenya.
Aku yakin aku harus minta maaf dua kali.
“Kau tidak tahu apa sebagian orang di Ethiopia sedang kelaparan hebat? Kau malah membuangnya.”
“Maumu apa Damien?”
Ah, aku salah kalimat lagi.
“Tidak ada.” jawabku. Setengah merasa salah; salah tingkah maupun salah ‘bersalah’.
“Baguslah, jadi diamlah.” ujar Goldstein kesal.
“Ooh , ini pestaku bocah. Akulah rajanya.” aku menjawab dengan percaya diri. Goldstein tertawa seakan menertawakan kelakuan anak junior high school yang sok berani.
“Kau mungkin objek pestanya, si raja pesta mungkin si Ben atau Sam.”
Aku berjengit. Anak ini… sejak kapan ia berani berbicara seperti itu?
“Oh aku tahu. Kau menyukai Sam? Tapi kusarankan, walaupun Sam gay, kau tidak masuk hitungannya.”
Goldstein menatap mataku dengan tajam. Lalu dia berdiri dan aku merasakan dadaku basah dan lengket. Limun. Dari gelas Goldstein.
Sam, Sebastian, dan Ben masih sibuk bergoyang. Tidak sadar akan pertengkaran kecil ini.
“Seperti aku peduli saja akan hal itu.” gumaman amarah Goldstein terdengar serak. Aku mengibaskan beberapa air limun di tanganku.
“Lalu kenapa kau menyiramku, Goldstein? Apa itu mengena di hatimu?” tantangku.
“Yang benar saja! Do your own business. Take off your nose from everyone’s!”
Goldstein akan menyingkir tapi aku segera mencengkram tangannya, dia meronta seperti perempuan.
“Kau ini kenapa?! Kenapa kau membenciku hah? Aku bahkan tidak melakukan apapun padamu!”
Aku benci dia? Iya entah kenapa aku merasa membenci Goldstein, tapi aku tidak tahu aku benci dia karena apa.
“Karena eksistensimu menyebalkan.” jawabku. Entah kenapa kehadiran Jun Goldstein ini membuatku tidak karuan sekaligus tidak tenang. Aku diantara ingin mengabaikan dirinya sekaligus…. Astaga, aku peduli pada Goldstein.
“Oh kalau begitu kau mau apa? Membunuhku?” tantang Goldstein.
Keparat. Tidak bisakah dia tidak menyinggung kata itu? Semakin kesal aku malah mencengkram lengannya keras.
“Auch!… Itu sakit Damien!” ia mengerang. Aku segera membawa Goldstein menjauh, masuk ke dalam kapel belakang. Lalu ketika aku yakin kami menjauh dari Sam dan yang lainnya, aku segera mendorong tubuh kecilnya sampai terjelembab jatuh.
“Kau beneran mau membunuhku, hah?!” dia berteriak.
“Aku bukan pembunuh, Bajingan kau!”
“Lalu apa ini namanya? Sam tol—“ belum sempat dia berteriak segera aku menindihnya dan membekap mulutnya. Aku bisa merasakan dia meronta-ronta tetapi tenaganya tidak akan bisa menandingi kekuatanku.
Goldstein terus meronta, tampak megap-megap dan kehabisan nafas. Memukulku dan menjambakku. Dan aku sama sekali tidak berniat melepaskannya. Bahkan ia sampai menangis aku juga tidak melepaskannya.
Lalu tiba-tiba aku seperti tersentak ketika matanya menatapku dengan terluka.
Aku segera melepaskannya.
Goldstein terbatuk, membungkuk seraya mengambil nafas. Aku terduduk terpaku, mencoba mengambil rasa sadar yang bertebangan di sekitarku.
Hening, hanya ada suara nafas berat dan isakan Goldstein.
“Goldstein, aku…”
“Ternyata kau sangat membenciku. Kukira kau hanya tidak suka.” dia akhirnya bersuara, pelan.
Aku menelan ludah.
Astaga, kemana hilangnya kesadaranku tadi? Aku seperti bergerak sendiri ketika dia menyebutku ‘pembunuh’ dan kata-kata ‘membunuh’.
Sialan, aku juga sangat menyukai wajah tersiksanya seperti tadi. Apa aku ini psiko? Tidak, aku menyukainya seperti…
Seperti fetisisme.
Aku segera keluar meninggalkan Goldstein. Berlari menuju ke sumber air dimanapun aku bisa menemukannya, dan menemukan kran. Aku segera membasuh wajahku.
Tidak, ini salah. Tidak mungkin kan? Aku normal. Kalaupun tidak pasti daridulu aku menyukai Sam.
Ini salah, ini salah. AKu normal, aku normal… Dan terus kurapalkan bagai mantra. Jika itu berhasil aku akan terus merapalkannya.
Aku kembali ke kapel, ingin tahu keadaan Goldstein.Tetapi ketika aku disana sudah ada Sam. Memeluk Goldstein yang menangis.
Sam menatapku. Pandangannya marah dan kecewa. Lalu Sam membawa Goldstein keluar.
“Aku akan meminta penjelasanmu nanti.” gumam Sam dingin. AKu menelan ludah. Aku tidak takut kepada Sam, tetapi Sam tipikal orang yang sabar dan menyenangkan. Ia tidak pernah marah. Ia selalu bisa melihat masalah dari dua sisi, itulah sebabnya dia tidak menghajarku walau aku membuat Goldstein menangis.
Tapi yang kutakutkan adalah apa yang akan kujelaskan pada Sam? Aku menyiksa Goldstein karena dorongan seksual?
AKu bukan gay. Aku masih tertarik pada tubuh wanita. Setidaknya begitu.
Ini pasti karena wajah bias Goldstein.
Aku kembali ke koridor tempat Sebastian dan Ben. Tetapi ada seorang lagi.
Matthew Willson. Matt. Memandangku serius
Ben dan Sebastian menatap Matt dan diriku bingung.
“Ada apa ini? Matt, kapan kau ke California?” tanyaku. Perasaanku tidak enak.
“Aku perlu bicara.” Matt tampak terburu-buru “empat mata.”
Sebastian tampak mengerti lalu menyeret Ben “Oke, pestanya sudah selesai. Ben, mau minum-minum?” Sebastian mengajak Ben pergi. Ben tampak ingin kejelasan tapi dia menurut ketika Matt memandangnya dengan tatapan ‘pergi—atau—kupatahkan—hidungmu’
Lalu tinggal kami berdua dan beberapa kekacauan seperti sampah.
“Kau harus bergegas menemui Armando sekarang.” nada bicara Matt menakutkan.
“Ada apa?”
Matt mengeluarkan beberapa lembar foto. Foto-foto Victoria, sepertinya diambil secara diam-diam. Lalu foto saat pesta kemarin sore, saat aku menyeka mulutnya dan mencium pipinya dan foto saat kami tertawa bersama.
“Apa maksudnya?” aku mendongak, mulai ketakutan sekarang.
“Itu dikirim padaku kemarin malam lewat email dari salah seorang anak buahku di geng di Arizona dan aku langsung terbang kemari. Kurasa cewek itu pacarmu, kau harus hati-hati. Dia mengincar cewek itu.”
Aku buru-buru mengeluarkan handphoneku dan tetap tidak ada jawaban dari nomor Victoria. Lalu tiba-tiba nomorku berdering.
Nomor asing. Masalah.
Aku menerimanya, tidak menyahut. Lalu terdengar suara serak yang berat itu. Suara serak yang karena pita suaranya dioperasi.
“Kau kehilangan sesuatu Rock?”
Armando Louis.
“Kau apakan Victoria?” aku berteriak menerima teleponnya. Keparat, kuharap mereka tidak berbuat sesuatu kepadanya.
“Tenang, dia tertidur dengan pulas di apartemenku di LA. Aku tidak melakukan apapun terhadapnya. Hanya saja kita harus buat beberapa kesepakatan.”
Aku menelan ludah “Apa?”
“Kau datang ke Arizona, temui aku. Aku sudah siapkan tiketnya. Besok kau harus langsung terbang. Kau setuju, gadismu akan kubawa pulang. Dengan selamat.”
Aku tidak mau mengambil resiko atas keselamatan Victoria “Oke. Sekarang kembalikan dia!”
“Dengan senang hati. Setengah jam lagi dia akan sampai di Hotel DeLoque nomor 4176. Kau bisa menjemputnya disana. Tapi kau harus mengerjakan kewajibanmu. Temui aku besok. Penerbangan jam tujuh pagi. Jika tidak, kau tidak akan pernah tahu apa rencanaku terhadap Vicky-mu tersayang.” Armando berkata dengan nada yang bisa membuat keadaan semakin dingin.
“Baik. Aku tidak pernah mengingkari janji.”
“Oh, kau pernah Rock, tapi aku tetap yakin kau berjiwa ksatria. Baiklah, see you soon.”
Sambungan terputus. Aku memandang Matt.
“Dia sudah berbuat jauh, Matt.”
Matt mengumpat lalu dia memelukku dengan erat “kau harus menyelesaikan ini. Jika kau perlu aku, aku akan membantu sebisaku.”
Aku harus menghadapi Armando sendirian. Matt atau siapapun lainnya tidak perlu lagi terlibat lagi dengan masalah ini.
Jun’s:
Sam membaringkanku di kamar flatnya. Ternyata tempatnya cukup jauh. Lalu dia memeriksa pipiku. Memar kemerahan.
“AKu tidak tahu apa yang merasuki Damien. Tapi Damien tidak pernah berbuat jahat kepada orang.”
Oh seandainya dia tahu apa yang Damien lakukan padaku.
“Tapi aku tidak akan membelanya kali ini Jun, kurasa dia sudah kelewatan.”
“Aku tidak bermaksud memperburuk hubungan kalian.” ujarku lemah. Aku masih bisa merasakan bekapan tangan Damien di rahangku.
“Tenanglah. Kami sering bertengkar tetapi semua akan baik-baik saja.” Sam lalu memberikanku kompres. Lalu dia keluar kamar dan membiarkan pintunya terbuka. Dia lantas melihat isi lemari esnya “kau mau omelet? AKu jago masak, for your information.”
“Boleh.” jawabku. Aku menghampiri Sam yang memasak omelet di dapur. Dua telur, merica, keju, garam, dan potongan daging asap. Lalu bau mentega cair menyeruak memenuhi ruangan.
Sepuluh menit kemudian omeletpun jadi, aku memakan omeletku ditemani Sam yang meminum kopinya “Kau sebenarnya ada masalah apa dengan Damien?”
Aku mengunyah omelet yang—ya Tuhan, enak sekali. Aku mengedikan bahu “aku tidak ingat pernah membuat masalah dengannya. Bahkan dibeberapa kesempatan dia bisa dibilang menyelamatkan nyawaku. Tapi dia saja yang berubah gila ketika bertemu denganku.”
“Untunglah aku tadi melihat kalian.” Sam meneguk kopinya. Lalu kami diam. Aku cukup bersyukur karena tadi saat Damien menindihku di belakang kapel ternyata Sam mengetahuinya. Dia lalu menyelamatkanku yang masih syok kehabisan nafas.
“Apa dia berkata sesuatu kenapa dia membencimu?” tanya Sam lagi.
“Dia hanya bilang dia membenci eksistensiku.”
“Aku tidak percaya ini.” Sam mendengus kesal. Lalu dia memasukan sedikit amaretto di kopinya.
“Kau yakin dia tidak membenci gay?” tanyaku tidak yakin.
“Tidak Jun. Dia sendiri yang bilang dia tidak membenci kita.”
“Oh ya? Kapan?”
“Beberapa waktu yang lalu. Dia bertanya apa aku masih gay seperti yang dulu. Lalu yah, percakapan kami mengalir. Dia tidak membenci kita; aku maupun kau.”
“Lalu apa maksud semua perbuatannya padaku?” aku menggumam kesal.
“Apakah dia pernah berbuat baik padamu?” tanya Sam “walau sedikit?”
Apa perbuatannya seperti menyelamatku dari Orlando, mengobati lukaku, mengobati mabukku, dan membawaku ke tempat si kecil Tom termasuk perbuatan ‘baik hati’?
“Ya… sering dia berbuat baik. Tapi setelahnya dia akan berbuat kejam.”
Sam tampak berpikir lalu ia setengah tertawa “aku tidak tahu pasti, tapi tampaknya kau baru saja membuat seseorang menjadi seperti kita.”
Aku menjatuhkan potongan omelet ke lantai dan aku tidak peduli “Apa?”
“Gampangnya, mungkin Damien menyukaimu Jun.” Sam tertawa.
“Itu tidak mungkin. Kau konyol sekali.” aku kembali menyendok omelet dan tidak lupa mengambil yang jatuh ke lantai “dia dekat dengan Victoria.”
“Dekat bukan berarti romantis Jun.”
“Kesimpulanmu terlalu mengada-ada.”
“Tidak. Damien adalah tipikal orang yang sulit mengungkapkan perasaan. Mungkin berbuat kasar padamu adalah salah satu penyangkalan bahwa dia menyukaimu.”
“Dia bilang dia membenciku.’’ aku menekankan kalimat terakhir.
“Oh kau tahu? Cinta dan benci itu bertetangga. Mereka
memiliki pagar batas yang tipis sehingga kau sendiri tidak yakin kau berada di halaman benci atau cinta.”
“Hah, itu lucu sekali.” aku masih menganggap omongan Sam melantur. Sam mengedikkan bahu, masih tersenyum.
“Terserah sih. Aku sendiri juga belum yakin jika belum menginterograsi si Damien itu.”
Lalu keadaan kembali hening. Sam mengambilkan jus jeruk kental untukku.
“Lalu…” aku meletakan garpuku, hal ini sudah ingin kutanyakan pada Sam “Apa kau menyukai seseorang?”
Sam melihatku lalu dia tersenyum “saat ini aku belum tertarik kepada siapapun Jun. Aku belum ingin menjalin hubungan dengan siapapun secara romantis. Aku ini bebas soal cinta. Jadi aku tipikal orang yang akan menjalin hubungan singkat
tanpa kelanjutan berarti. Aku benci keterikatan.”
Aku lantas meneguk jus ku dengan gamang. Sam bukan tipe orang seperti Robert atau sepertiku yang menganggap hubungan adalah sesuatu yang sakral. Sam justru menggambarkan hubungan adalah sesuatu yang sederhana dan menurutku sembarangan.
Entah kenapa aku sedikit kecewa mengetahuinya.
“Kenapa Jun?” Sam bertanya.
Aku mendesah pelan “Yah mungkin daripada disukai oleh Damien, aku lebih tertarik menyukaimu.”
Lalu keadaan hening. Aku segera mebelalakan mata. Oh shit, apa yang baru saja kukatakan??? Aku baru saja mengakui sesuatu diluar keinginanku! Syaraf-syarafku mengkhianatiku!!! Kenapa mulutku selalu tidak bisa kukontrol dengan baik. Aku memandang Sam perlahan. Dia bersandar pada meja dapur dan mengamatiku, dengan dalam.
Apa yang dipikirkannya?
Menolakku adalah kemungkinan besar.
Tapi kemungkinan kecil diterima juga bisa dibilang peluang kan?
Sam lalu memegang perutnya. Lalu tertawa terbahak. Ia menepuk pundakku keras-keras.
“Tidak kusangka kau memiliki sense of humour yang bagus Jun. Aku suka humor sarkasme seperti itu.”
Aku ikut tertawa, dengan hambar.
Sam menolakku. Tidak secara gamblang, tapi dia menolakku.
Procyon says: Whahahahaha...banyak komen yang mendoakan saya ...saya terharu *soobbb...
Saya gak bisa balas komen satu2, tapi saya baca semua, beberapa malah ada yang bikin ketawa senyum-senyum karena menghibur hahahaha. Maafkan saya karena saya ni gak bakat nngomentar *sight.... buat @masdabudd dan @yuzz saya mau majang foto mereka, ini juga udah bikin yg Sam tp gak bisa di uplod disini..jadi kalian lah yg bisa liat. HANYA KALIAN nyahahahahaha oh lupa @totalfreak juga nding -____-"
terimakasih atas perhatiannya om-om sekalian terhadap T.R.O.U.B.L.E (sempat ingin ganti judul tapi sudahlah.... pakai ini saja.)
kata bang Ariel 'KALIAN LUAR BIASA' *apa pula ini -____-
tetep review, baca dan ganteng selalu ya
betewe... ini sudah chapter berapa ya?*te esnya agak bloon
@leo90 @masdabudd @obay @YuuReichi @Duna @Adhi48 @yubdi @Silverrain @arieat @andhi90 @4ndh0 @Venussalacca @Ricky_stepen @ackbar204 @androfox @Ryuzhaki @brownice @Adam08
@greenbubles @apple_love @AjiSeta
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara @gue3 @Zhar12 @ardi_cukup @Chachan @FendyAdjie_ @rezadrians @hades3004 @tamagokill @meong_meong
@WYATB @lian25 @Damian_Lee_Adam @piocaprio @Denny1_haenseom @kikyo @aicasukakonde @adilope @boyzfath @White_Xmas @DM_0607
Sempet kepikiran ke arah situ hahahahaha..tapi Sam kan baik hati...sebagai te es saya suka Sam *eh
yang seperti itu memang sulit di kultur kita...
typo typo typo -_____- :-B