It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bubur gandum itu tidak enak.
Tapi hanya itu yang bisa kumakan saat ini. Victoria menyuapiku dengan telaten. Beberapa kali ia menungguku sampai aku selesai menelan makananku.
Aku masih sedikit pusing. Aku tidak ingat apapun selain ketika bangun hari sudah hampir siang. Lalu aku melihat Gabriel yang selesai mandi, Victoria dan Sam yang berbincang-bincang di sofa. Mereka lantas gembira dan panik di saat yang bersamaan dan segera memanggil dokter. Untuk beberapa saat aku seperti tidak mengenal Victoria, Sam, maupun Gabriel. Mereka seperti orang asing, tapi setelah dokter datang dan untuk beberapa waktu berikutnya, baru aku mengenal mereka dan samar-samar teringat apa yang terjadi padaku kemarin.
Kata dokter, itu sudah biasa jika ada penderita gagar otak. Untung saja aku hanya gagar otak ringan. Tapi perban dikepala sungguh mengganggu.
“Kau harus makan pelan-pelan.” Victoria masih bersabar “kau mau tambah sesuatu?”
Aku menggeleng, “tidak terima kasih.”
Hanya ada aku, Victoria dan Sam yang ada di kamar ini. Gabriel sudah pulang sepuluh menit yang lalu karena harus menjemput Tom dari sekolah.
“Kau harus makan sesuatu selain bubur nggak enak ini. Kau mau buah anggur?”
“Aku masih mual Vic. Makanan apapun akan terasa sama nggak enaknya dengan bubur.”
“Haaah….” Victoria berpura-pura kesal “makanya, kalau di tempat licin kau harus hati-hati.”
“Hei, bukan salahku. Itu kecelakaan.” protesku.
Sam yang sedari tadi duduk di dekat kami, bertopang dagu memperhatikan, lalu dia tersenyum “Lihatlah, kalian bahkan seperti kakak beradik. Kalian anak tunggal, kan?”
“Iya.” jawabku. Yah setidaknya yang aku tahu begitu. Tidak mungkin Ibu punya anak lagi mengingat mempunyai anak satu—yaitu aku— saja dia sudah mau membunuhku.
Victoria meletakan sendok, terdiam. Memandang makananku dengan gamang.
“Kenapa Vic?” Aku bertanya. Ekspresi Victoria berubah aneh.
Victoria menghela nafas “aku dulu punya adik laki-laki.” ia lalu memandangku, tersenyum. Dengan perih “dia mirip sepertimu, Jun. Kecil dan penakut. Aku tidak bermaksud mengataimu demikian, tapi kalian mirip. Itulah mengapa aku cepat akrab denganmu, kurasa.”
Dulu. Kata untuk masa lalu. Berarti adik Victoria…
“Oh maaf Vic. Aku tidak bermaksud menyinggungnya. Aku tidak tahu, sungguh.” Sam menegakkan tubuhnya. Ia menyadari apa yang kusadari. Ia bersimpati dan merasa bersalah. Vic lalu mendorongnya pelan sambil tertawa, agak hambar.
“Sudahlah. Itu sudah lama. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, kurasa.” Victoria lalu menghela nafas lagi “saat itu aku baru saja masuk junior high school dan adikku baru berusia empat tahun. Aku menyayanginya karena dia begitu cengeng. “
“Lalu? Apa… Apa yang terjadi?” Sam bertanya lambat-lambat. Victoria menunduk, masih menatap buburku. Lalu dia menghela nafas.
“Suatu hari dia bermain sendirian sementara ibuku sibuk mengurusi bisnis propertinya di ruang kerja. Biasanya aku menemaninya bermain, tetapi saat itu aku ikut kemah musim panas. Ibu tidak mendengar suaranya sama sekali. Hal sekecil apapun yang mengganggu adikku pasti bisa membuatnya menangis. Tapi hari itu sangat tenang, tidak ada suara tangisan.
Ibuku hanya merasa senang akhirnya tidak perlu bolak-balik mengurusi adikku. Jadi dia masih berkutat dengan pekerjaannya. Tapi lama kelamaan perasaan ibu tidak tenang. Ibu mencari adikku biasa bermain, di ruang keluarga. Tidak ada siapapun. Hanya beberapa mainan berserakan. Ibu mulai mencari di seluruh rumah. Tidak ditemukan. Lalu Ibuku mulai panik. Ia lantas menelepon Ayahku yang masih ada di kantornya. Tapi dia tidak meneleponku.”
Aku menelan ludah. Sam memandang Victoria dengan perasaan ingin tahu.
“Lalu, adikku tidak ditemukan. Polisi sudah mencari selama empat hari. Dugaan sementara adalah penculikan. Pengumuman radio, selebaran, bahkan televisi lokal sudah Ibu dan ayah lakukan. Aku yang akhirnya pulang, hanya bisa syok mengetahui adikku hilang. Berhari-hari, minggu, bulan dan tahun. Tidak ada kabar apapun. Aku hanya bisa menangis berhari-hari bersama Ibu yang terus menyalahkan diri sendiri.” nada suara Victoria berubah. Dari tegar hingga gemetaran. Aku segera menggengam jemarinya.
“Aku berdoa setiap hari tetapi Tuhan tidak pernah memberi petunjuk dimana adikku berada. Aku akhirnya menyerah ketika aku sudah tingkat tiga senior high school. Ibuku bahkan sudah menyerah pada dirinya sendiri, dia bergantung pada obat penenang karena sampai sekarang dia terus dihantui rasa bersalah. Polisi pun sudah menutup kasus ini. Aku hanya berharap adikku hidup sebagai orang lain saat ini. Aku tidak mau membayangkan penculiknya melakukan apapun seperti penculik pada umumnya. Aku berharap dia hidup, walau sebagai orang lain.”
Victoria lalu sekuat tenaga menelan ludahnya “Seandainya saja aku tidak ikut kemah itu…. Aku mungkin masih melihatnya bersekolah saat ini… Seandainya aku bermain dengannya seperti biasa… Bukan melakukan kegiatan memasak di alam liar…” Akhirnya tangis Victoria pecah. Aku segera memeluknya. Astaga wanita ini ternyata begitu kuat. Tidak hanya penampilannya saja. Tapi kali ini dia tidak harus kuat. Dia harus sadar kapasitasnya.
Sam mengelus punggungnya. Aku dapat merasakan tubuh Victoria naik turun dan gemetaran. Ia berusaha agar suaranya tidak pecah.
“Siapa namanya?” tanyaku sembari mengelus rambut Victoria.
“Z—Zach.”
“Tenanglah, kalau kau ingin membayangkan adikmu seperti itu, maka bayangkan seperti itu. Zach hidup. Maka ia hidup.” aku berusaha menguatkan Victoria. Aku jadi tahu kenapa Victoria bisa sangat kuat dan keibuan disaat yang bersamaan. Ia kuat karena bentuk balas dendam akan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga adiknya, dan keibuan karena dia masih berharap adiknya masih hidup dan ia bisa menjadi kakak yang mengasihinya lagi.
Kalau aku bisa meminta, aku ingin menjadi saudaranya.
“Hei sudahlah. Cewek pengendara Ducati dan feminis tidak seharusnya cengeng.” aku segera mengangkat wajah Victoria, mengusapnya lembut dengan jari-jariku.
“Motorku Suzuki, Jun…” kali ini ada sela tawa kecil di tangisnya.
“Apa bedanya?” aku bertanya masa bodoh. Victoria cemberut tapi kemudian dia memelukku lagi. Aku lalu mencium pipinya lembut.
“Kau gadis yang hebat. Kau tidak seperti gadis kebanyakan. Kau seperti… Angelina Jolie mungkin. Atau Hepbrun—atau siapapun itu.” aku memandang mata Victoria yang kehijauan saat dia bangkit “Aku rasa Zach pasti bangga memiliki kakak sepertimu.”
“Kuharap begitu.” dia mengedikkan bahu “dan kau Jun, kau adalah orang yang bisa mengerti kesedihan orang lain. Walau awalnya kau tampak apatis, tapi kau sensitif terhadap orang lain. Mungkin kau sering dilukai, tapi kau bisa bangkit lagi. Kau kelihatan lemah tapi kau berani. Jika kau menyukai wanita, mungkin aku akan mencoba mendekatimu.”
Kini Victoria mengedipkan matanya, genit.
Sam menahan tawanya. Aku merah padam, malu. Aku tidak pernah menyangka akan digoda seorang gadis. Jika aku menyukai wanita? Ugh aku rasa ‘junior’ku akan bangkit saat Victoria mengedipkan matanya. Tapi dia tetap tidur. Jadi yah, itu tidak mempan.
“Oh kau kan’ menyukai Damien, dan kurasa kalian cocok.” aku menegurnya.
“Tidak. Aku bertepuk sebelah tangan. Kurasa Damien menyukai orang lain.” Victoria lalu melihat ke arah kamar mandi lalu ke arah jam tangannya “aku numpang mandi, ya? Aku harus kembali ke kampus segera.” Tanpa menunggu persetujuanku, Victoria lantas melesat masuk.
Sam lalu berdiri, menggantikan tempat Victoria “kau mau makan lagi?” tanyanya.
“Tidak. Itu tidak enak.” aku memasang wajah ingin muntah. Sam lalu menghela nafas.
“Kurasa aku baru saja membuka masa lalu Victoria yang kelam.” Sam berujar pelan “aku merasa bersalah.”
“Sudahlah.” aku menepuk bahunya “jika Victoria bercerita kepada kita, itu artinya dia memang ingin bercerita kan? Kalau dia tidak ingin membuka lukanya, dia pasti sok tegar dan tidak berkata apa-apa.”
“Kata-katamu cukup menenangkan.” Sam tersenyum. Lalu meraih tanganku yang ada di bahunya “benar kata Vic, kau orang yang tahu penderitaan orang lain.”
Aku menelan ludah, lagi. Aku sensitif dengan penderitaan orang lain karena aku tahu apa itu ‘penderitaan’. Aku sudah mengalaminya berkali-kali.
“Oh ya, kau harus berterima kasih kepada Damien. Kurasa dia tidak membencimu. Benar dugaanku.” ujar Sam. Aku menyerngit bingung.
“Dia meneleponku untuk menjagamu sementara ia ada keperluan. Saat itu aku sedang ngopi bareng Victoria di Sugarglider. Aku ingin tahu kenapa dia tidak muncul saat ultah Damien. Katanya dia ada keperluan mendadak.“ Sam menjelaskan “Yang menolongmu kemarin dan membawamu kemari adalah Damien dan Gabriel. Tapi yang memberikanmu pertolongan pertama adalah Damien.”
Aku terbelalak. Astaga… Apa yang samar-samar kurasakan kemarin??
“Kenapa wajahmu jadi menakutkan begitu? Kau tidak suka?” Sam nyengir.
“A..apa maksudmu?” tanyaku gelagapan. Apa maksud Sam? Aku jelas syok. Aku ingat samar-samar. Aroma nutmeg dan cendana. Nafas yang hangat. Ugh TIDAK!
“Yah.. Damien itu tampan. Wanita normal dan pria ‘tidak normal’ akan menyukainya. Aku, jika tidak mengenalnya dari kecil, pasti tidak akan kebal dengan pesonanya.” ujar Sam.
“Aku rasa aku bukan termasuk diantaranya. Dan pembicaraan kita melenceng dari topik awal.” ujarku dingin. Sam memandangku.
“Yakin?” tanyanya. Aku memandang Sam tajam. Memberikan keyakinanku.
“Baiklah… Mungkin Damien bukan tipemu.” Sam lalu menggengam tanganku yang ada dibahunya, membawanya ke dekat wajahnya “lalu seperti apa yang kau inginkan?”
Aku membuka mulutku, terpana. Sekaligus getaran aneh menjalar seperti sengatan listrik menjalar di kulitku. Tatapan Sam dibalik kacamatanya sungguh tidak dapat dipalingkan begitu saja.
Astaga… Tipeku seperti Robert. Tetapi aku tidak bisa menolak yang seperti Sam saat ini.
“Ap— Apa?”
“Hmm?”
Sam lalu melihat tanganku, tersenyum hangat “tanganmu mungil dan halus. Walau agak sedikit memar disana- sini.” Sam menggengamnya lagi, lalu menggigit ujung-ujung jariku lembut.
Apa yang dia lakukan??? Tidakkah dia sadar ada yang dia lakukan membuat sesuatu ‘bangun’ di bawah sana????
“Apa yang sepertiku—yang tidak mau berkomitmen ini, ada harapan?”
Aku terdiam. Kata-kata Sam membuatku membeku. Apa artinya jika kami bersama nanti kalau seandainya suatu saat Sam meminta lepas karena tidak mau terikat? Aku yang akan kehilangan. Aku yang tidak akan bisa bangkit, bukan Sam.
Saking membekunya, aku bahkan sudah tidak sadar Sam sudah memegang daguku lembut. Aku menelan ludah. Secara logika, aku ingin mendorongnya sambil berteriak “kau tidak seperti Robert! Orang sepertimu malah akan membuatku menderita!” tapi di sisi hasrat… Astaga…
Aku menginginkan Sam. Walau sebentar.
“Ku..Kurasa kau ini plin plan. Bukannya kau sudah menolakku?” tanyaku ketika aku mendapati diriku sadar dari pesona Sam.
Aku merasakan aroma musk dan vanilla dari Sam dan nafasnya yang bau peppermint. Sam tersenyum kecil. Lalu dia mundur, menatapku lagi dengan dalam.
“Sam…”
Astaga, apa aku sudah membuatnya sakit hati? Tapi pertanyaanku benar kan?
Sam tersenyum “Istirahatlah. Aku akan mencari kopi.”
Sam bangkit. Meninggalkanku dalam kebekuan. Aku memandangnya keluar. Memandang siluetnya dari kaca buram pintu.
Ada siluet lainnya, berdiri di dekat Sam.
Aku terlalu tegang untuk penasaran. Aku berbaring, mencoba mengingat lagi yang barusan.
Aku memang tidak ingin membuat Sam sakit hati tetapi aku juga ingin bahagia. Jika itu Robert, dia akan melakukan apapun untuk kebahagianku.
Aku mengingat Robert yang selalu menenangkanku jika aku sedang hilang kendali dan saat aku terpuruk. Menciumku lembut dengan kalimat akan membawaku pergi bersamanya. Menikah di Eropa.
Menikah. Tidak ada dalam kamus Sam.
Jadi aku berharap getaran aneh kepada Sam akan hilang dengan sendirinya.
Damien’s:
Sudah kuduga.
Aku tahu mereka pasti punya keakraban lain. Akrab yang lebih intim
Bocah Goldstein dan Sam itu maksudku.
Kuputuskan untuk melihat Goldstein setelah perang batin apakah aku harus bersikap masa bodoh karena tugasku menolongnya sudah selesai atau menjenguknya. Ternyata aku tidak tahan. Aku ingin melihatnya.
Kurasa aku masuk di saat yang salah. Aku mendengar cerita Victoria sampai dia menangis dipelukan Goldstein. Aku gamang, tidak jadi masuk. Ikut merasakan perasaanku tersayat mendengar cerita Victoria. Aku ingin masuk, menghambur dan ikut menenangkan Victoria. Tapi kurasa Victoria tidak butuh seorang lagi untuk tahu kesedihannya. Jadi aku hanya mampu menguping dan menunggu.
Sampai akhirnya Victoria ke kamar mandi, aku masih belum bisa beranjak masuk. Aku tidak mau langsung menampakan diri setelah euphoria haru biru Victoria.
Lalu aku melihatnya. Sam dan Goldstein, saling berpegangan tangan dan mendekatkan wajah satu dengan yang lain. Aku urung masuk. Ada perasaan jengah.
Aku tidak jengan melihat pria dan pria terlihat intim seperti itu. Yang membuatku jengah… Astaga! Kenapa aku ini?!
Aku marah melihat mereka berdua.
“Kau tidak mau masuk?”
Aku menoleh. Terkejut melihat Sam sudah bersedekap santai di sampingku. Aku salah tingkah. Keparat, aku terpegok. Ini sangat eer… memalukan. Seperti kepergok melihat orangtuamu yang baru saja berciuman panas di kamar.
“Kalian tampak tidak bisa diganggu.” ujarku menjaga suaraku tenang.
“Oh ya? Kami tidak seserius itu.” jawab Sam tersenyum geli. Mengerlingku seakan dia tahu bahwa dari tadi aku mengintip mereka.
Aku mengangkat sebelah alis “Lalu? Yang kulihat tadi? Apakah kalian hanya saling melihat kotoran hidung, begitu? Kau kira aku naïf?” nada suaraku tinggi. Oh Keparat. Aku tidak bisa mengontrolnya.
Sam tersenyum, tetap tenang “Lalu kalau misal kami melakukan sesuatu, lantas kenapa?”
“Ya…” aku mencari-cari kalimat “Itu urusan kalian.”
“Suaramu mengisyaratkan kau marah.Kau marah kenapa?”
Aku gelagapan “Siapa? I’m not getting mad! Jangan bikin lelucon!”
Sam mengedikkan bahu “ yang baru saja itu terlihat ‘getting mad’ bagiku.”
“Oh, come on. Itu urusan kalian. Kalian mau berciuman, berpacaran, atau membina rumah tangga itu urusan kalian.”
“Aku tidak akan menikah dengan Jun.” ujar Sam tenang. Ia berjalan mendahuluiku.
Aku terpekur, agak kaget juga mendengar Sam berkata demikian “Kenapa? Karena negara kita masih belum mengeluarkan undang-undang untuk itu? Ayolah, banyak gereja yang merestui kalian.” Aku tampak berusaha mendukung. Oh, shit. Seharusnya aku masa bodoh akan hal itu.
“Tidak, aku tidak menganut paham untuk berkomitmen. Jika aku tertarik memulai hubungan dengan Jun, itu hanya hubungan yang bebas. Aku tidak suka terikat. Karena suatu saat perasaan manusia bisa berubah kan? Maka dari itu aku tidak mau membuat pasanganku menderita jika dia sudah bosan dengan ikatan semacam ‘suami-suami’. Jika ia ingin pergi, yeah, I’ll let him go.”
Aku menyerngit. Itu prinsip macam apa?
“Lalu jika kau memang tertarik pada Goldstein, apakah hal tersebut akan berlaku kepadanya?”
“Jelas.” Sam lalu berhenti di mesin penjual kopi. Menekan frappucino.
“Kau akan membuat hidupnya semakin sial.” aku menggumam. “Dia tipikal yang menjaga miliknya terlalu posesif. Bahkan dia rela berlagak seperti perempuan hanya untuk menyelamatkan ikan mas miliknya.” aku menekan black coffee. Teringat pertama kali bertemu Goldstein.
Lemah, pengecut, dan gampang sekali ditindas. Tapi di sisi lain dia menampakan sosok yang aneh…
Rupawan, berani, dan menggoda.
Oh sialan… Ada apa denganku ini?!!
“Kau peduli padanya? Pada Jun?” tanya Sam. Aku tidak menjawab.
“Kau peduli.” Sam akhirnya membuat spekulasinya sendiri.
“Aku tidak peduli padanya. Aku kasihan. Jadi aku hanya minta jika kau memang tidak tertarik, jangan pernah memberinya harapan atau dia akan mengejarmu sampai ke ujung benua. Anak itu sangat possesif.” aku memberikan argument terbaikku.
“Selain peduli kau juga perhatian.”
“Hei!” aku memprotes, berusaha untuk mengelak. Tapi wajah Sam sangat tenang dan dingin. Biasanya dia selalu berwajah santai dan periang.
Sam menatapku “aku hanya ingin tahu, kenapa kau menyiksa Goldstein di kapel malam itu?”
Aku terhenyak. Sam masih ingat insiden itu.
“Kau berusaha menasihatiku agar tidak menyakiti Jun tetapi kau pernah membuatnya hampir mati, kan? Apa kau sangat membencinya?” tanya Sam “apa yang dilakukannya kepadamu?”
Tuhan, jika kau memang mendengarku kali ini, berilah aku jawaban….
“Itu—“
“Apa kau ingin bilang bahwa kau berhak membully Jun? Dan kau tidak ingin dia menjadi mainan milik orang lain?”
“Aku tidak seperti itu Sam!” aku tidak tahan. Sekasar-kasarnya diriku, aku tidak akan menindas orang yang lebih lemah dariku! Aku bukan pengecut seperti Orlando.
“Aku—“ aku menghela nafas “aku hanya berniat minta maaf sebelumnya atas kata-kata kasarku. Tapi kenyataannya… Aku justru menyakitinya.”
Sam menatapku dengan tatapan poker face. Lalu dia menghela nafas dan bersandar santai. Di bibirnya lalu merekah senyuman “Aku tidak akan bertanya ada salah apa kau kepada Jun. Tapi aku tahu kau tetap Damien yang akan mengaku bersalah. Kau tidak akan merasa kesulitan untuk mengaku salah kan?”
“Hanya saja aku tiba-tiba beku ketika meminta maaf kepada Goldstein.”
Sam tertawa “kau seperti anak kecil saja.”
Aku melengos kesal “terserah kau saja. Kenyataan memang seperti itu.”
“Kau hanya perlu datang padanya, bersikap sangat ksatria seperti apa adanya dirimu, lalu minta maaf. Jun bukan orang yang pendendam. Jika kau memperlakukan dia dengan kasar hanya karena kau tidak bisa mengutarakan isi hatimu, itu malah akan membuat masalah semakin besar.”
‘”Aku tahu—“ ujarku gusar “hanya saja aku selalu kehilangan kontrol akan hal itu.”
Sam mendekatkan dirinya ke arahku “Kalau boleh menebak, kau pasti ada rasa kepada Jun.”
Aku terbelalak kaget “Hei, kesimpulanmu itu sudah kelewatan!” bisa-bisanya dia menyamakanku dengan Goldstein—dan juga dirinya. Sam tertawa lepas. Aku segera mengepung lehernya dengan lenganku, membuatnya terbatuk-batuk.
“Hei, hentikan itu Damien!” Sam tetap berusaha tertawa.
“Tarik ucapanmu!”
“Oke, oke.” Sam megadahkan tangan, menyerah. Aku melepaskannya. Lalu dia memandang dengan tatapan iblis “ Kau tidak ada rasa sama Jun. Untuk saat ini. Kita lihat beberapa hari kedepan.” lalu Sam melempar kopinya ke arahku dan aku menghindar dengan gesit. Sam berlari sambil terbahak-bahak di lorong. Aku segera mengejarnya. Kami bahkan tidak menghiraukan teriakan marah dan gusar dokter jaga.
“Hei, hentikan itu! Act your age! Atau akan kupanggil security!”
Teriakan itu tidak menggangguku. Yang menggangguku justru kata-kata Sam.
Keparat, apa aku memang telah menyebrang ke sisi Sam dan Goldstein??
Jun’s:
Dokter sudah memberikanku suntikan.
Syukurlah, sore nanti aku akan pulang. Victoria menelepon ia akan membantu beres-beres jam empat. Sekarang Tom dan Gabriel sedang menungguku.
“AKu harus membayar semua administrasi.” aku mencari-cari dompetku di antara baju-baju yang sudah tertumpuk rapi.
“Oh kau tak perlu melakukannya.” ujar Gabriel sambil lalu. Tom membaca buku komik di dekatku. Dia membacanya dengan serius lalu menunjukanku beberapa karakter kesukaannya. Aku tidak menanggapinya. Aku menyerngit, apa rumah sakit ini gratis?
“Jangan katakan kau yang bayar! Kau harus berhemat kan?” protesku.
“Tidak.” Gabriel tersenyum “Damien yang membayar sebagian kemarin. Selebihnya asuransi.”
Aku terbelalak “Damien?”
“Iya. Berterima kasihlah kepadanya nanti.”ujar Gabriel .
Tom menyahut “Kau tidak usah mandi lagi di gym, Jun.” ujarnya nyaring “tampaknya kakimu terlalu kecil untuk lantainya sehingga kau bisa jatuh.”
Aku tertawa. Apa hubungannya? Sudahlah. Aku menghela nafas.
Kenapa Damien harus repot-repot membayar ini semua? Aku tidak mengerti dengan orang itu. Sekali waktu dia sangat baik kepadaku. Lalu kemudian dia akan berubah kejam.
Aku jadi kepikiran, dia kembar atau kepribadian ganda?
Semakin dipikirkan aku semakin ngantuk. Tidak kuat, kupejamkan mata.
Dan aku terbangun ketika pukul tiga. ruangan sepi.
Gabriel dan Tom mungkin ke kafetaria atau pulang. Tempat ini jadi sepi. Infus sudah lama di cabut. Ruangan ini jadi senyap dan luas. Aku memandang sekeliling, masih berusaha mengumpulkan kesadaran akibat pengaruh suntikan yang membuatku tertidur pulas.
Tapi aku jadi sadar aku tidak sepenuhnya sendirian. Ada orang di balkon kamar ku. Membelakangiku. Hei, siapa itu? Sam? Gabriel?
Aku turun dari tempat tidur dan menghampirinya. Bau nutmeg dan cendana.
Aku tidak terkejut.
“Sejak kapan kau disini?” aku menyapa pria itu. Bagaimanapun aku harus berterimakasih kepadanya, jadi keinginan untuk membentak-bentak harus kuurungkan.
Damien menoleh, menatapku lama lalu memandang gedung-gedung lagi “sejak kau tidur.”
Aku mendekatinya, berdiri di dekatnya dengan jarak yang kukira tidak terlalu dekat. Aku ikut memandang apa yang dipandangnya.
“Tidakkah kau merasa bebas melihat ini semua?” tanyaku. Aku seakan memandang kaki langit California. Luas dan tak terbatas. Tapi dipenuhi gedung-gedung bertingkat. Horizon yang indah.
“Apa kau lantas ingin berteriak “I’m the king of the world?” balas Damien setengah tertawa. Hei, aku kan serius, dia malah bercanda. Aku menatapnya kesal, tapi Damien menatapku lembut.
Lalu Damien mengalihkan perhatiannya, ia memanjat balkon. Aku terbelalak.
“Hei hentikan itu! Kau bisa jatuh!” aku panik, astaga… Apa dia berniat mengakhiri hidupnya???
Damien tidak menggubrisku, lalu dia merentangkan tangannya “Akulah Raja Duniaa!!!” dia berteriak riang. Aku ternganga. Ada apa ini? AKu yang gegar otak tapi dia yang gila. Dasar maniak Titanic.
“Cobalah, ini mengasyikan.” dia menunduk, mangajakku.
“Hentikan! Kau gila apa?!”
“Ayolah!”
“Tidak!Turunlah! Nanti dikira kau ingin bunuh diri disini.” aku panik lagi. Aku khawatir Damien membuat kekacauan dengan ulahnya ini. Aku segera menariknya.
“Pantas saja kau suram. Kau tidak tahu rasanya kebebasan…” ujar Damien.
“Please, bersikaplah sewajarnya!Kau membuatku takut!”
“Hei, kau tidak asyik!”
“Aku tidak peduli!” aku segera menarik jaketnya.
“HEI!”
“HYAAA!!”
Tapi aku mungkin menariknya terlalu kasar sehingga Damien malah terpeleset. Aku segera menariknya hingga kami membantur lantai.
Astaga…dimana jantungku….
Aku merasakan kekagetan luar biasa. Untung saja dia jatuh di sisi dalam balkon. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia jatuh di bawah sana…
Aku memandang mata itu. Tepat di atasku. Menatap tajam dan menusuk.
“Kau hampir saja membunuhku.” ujarnya tenang.
“Maaf, aku—“
“Kita impas, Goldstein.”
Kami tetap dalam posisi seperti ini; dia diatas dan aku terperangkap diantara lantai dan tubuhnya.
“Aku hanya ingin minta maaf.” ujarnya ketika kami diam saja “aku tidak bermaksud melukaimu dalam hal apapun.”
aku menelan ludah. Sam benar. Damien hanya tidak mampu mengutarakan apa yang ia pikirkan.
“Oke, kumaafkan…” akhirnya hanya itu yang dapat aku katakan. Aku tidak tahu lagi harus bilang apa. Posisi kami sangat berbahaya dan tidak ada satupun yang berinisiatif untuk berdiri.
“Apa kau tidak sakit?” tanyaku, memastikan dia baik-baik saja jatuh dari balkon.
“Kau harusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri kan?”
“Eer…bukan begitu… mau berapa lama kau akan berada dalam posisi seperti ini? Ini akan menimbulkan salah paham dan ketidak nyamanan.” aku akhirnya memberanikan diri untuk membuatnya menyingkir.
Tetapi Damien tidak bergeming. Ia masih menatapku.
Oke, aku takut.
“Damien?”
“Tidakkah kau merasa nyaman seperti ini?” Damien masih bertanya.
Nyaman? Apa dia baik-baik saja???
“Ini… Ini membuat resah.” ujarku gelagapan. Matilah aku, apa maksud Damien? Kenapa dia jadi seperti ini???
“Kau lebih menyukai Sam?”
Aku terbelalak. Pertanyaan macam apa itu?
“Kulihat demikian.” ujarnya. Lalu terdengar nada geli dan sarkastik dalam suaranya.
“La… Lalu apa maksudmu? Itu bukan urusanmu kan?” aku mencoba mendorongnya. Tapi dia justru menangkap tanganku.
Dan hal yang membuatku kalut berikutnya adalah, dia membenamkan wajahnya di bahuku.
Damien???? Apa dia benar-benar Damien????
“Please, jangan menolakku. Aku hanya ingin seperti ini sebentar.” ujarnya. Aku mengatur nafasku. Ada ritme yang aneh antara detak jantungku dan detak jantungnya.
“Ada apa dengan dirimu?” tanyaku bingung tapi pasrah.
Damien tidak menjawab.
“Damien?”
“Aku lelah dengan hidup ini. Aku tidak pernah menyangka kehadiranmu yang memuakkan itu membuatku nyaman. Jadi tolong, diamlah.”
Ya Tuhan. Ada apa dengannya? Oke aku juga pernah mengalami fase dimana aku memang bosan hidup. Saat dimana aku kehilangan Robert. Bukan bosan sih, lebih tepatnya tidak mau hidup.
Aku jadi ingat pernah meminum penenang dengan jumlah banyak tetapi justru aku memuntahkannya lagi. Aku juga pernah berusaha jatuh dari atap gedung sekolah, tapi berhasil diselamatkan sebelum aku lompat. AKu pernah ingin gantung diri tetapi talinya putus begitu saja.
Lalu aku hanya yakin satu hal, Robert masih ingin melindungiku.
Aku merindukannya. Ya Tuhan, bisakah dia ada disini?
“Kau menangis?” Damien mengangkat wajahnya “apa kau begitu membenciku?”
“Tidak—“ aku mengusap air mataku “aku hanya rindu Robert.”
“Robert?”
“Kekasihku.” aku menjawab wajah bertanya Damien “dulu. Dia sudah meninggal.”
Damien tertegun “kau memang sial sekali.”
“Bajingan kau!”
Damien tertawa, lalu dia berdiri. Menarikku untuk berdiri bersamanya “jangan cengeng. Kau sungguh keterlaluan. Aku yang kalut, tetapi kau yang menangis.” Damien lalu memandang barang-barangku “sudah kau rapikan?”
“Ya.” aku mengangguk “terimakasih sudah membayar administrasinya.”
Damien mengangkat bahu “Aku hanya membantu Gabriel. Dia mengelola tempat itu bersama teman-temannya. Kurasa akan sangat memberatkan Gabriel jika dia harus membayar punyamu sekaligus menghadapi protes beberapa pihak karena insiden ini. Jadi aku mengambil tanggung jawab atas dirimu dan biar Gabriel merenovasi tempat showernya. Lantainya memang perlu diganti. Asuransi akan mengatasi sisanya.”
Aku mengangguk mengerti. Semakin jelas dan masuk akal. Ternyata ini demi Gabriel. Aku bersyukur tidak harus berhutang budi terlalu banyak kepada Damien.
Lalu terdengar pintu diketuk, dan muncullah wajah manis Victoria.
“Hai Jun, loh ada kau Damien.” Victoria lalu meletakan tasnya “akan kubantu kau merapikan sisa barangmu. Kita akan naik mobil Seb.”
“Seb dimana?” Damien segera menghampiri Victoria.
“Dia sedang mengobrol dengan temannya yang kebetulan bekerja di sini.”
Aku membiarkan Damien dan Victoria saling ngobrol. Aku segera mengambil baju dan mengganti piyama rumah sakit dengan kaus dan kemeja.
Sejam kemudian, kami sudah selesai. Dibantu Seb dan Damien barang-barangku masuk ke bagasi.
“Ayo anak-anak, kita kembali ke asrama!” Sebastian menepuk tangannya, seolah-olah kami adalah anak-anak yang mengunjungi kebun binatang dan sudah waktunya pulang.
Victoria dan Sebastian duduk di depan. Aku dan Damien duduk di kursi penumpang. Bangku depan tampak ramai karena Seb dan Victoria mengobrol seru sedangkan bangku belakang senyap. Aku tidak tahu harus memulai obrolan apa dengan Damien. Yang jelas tampaknya Damien pun lagi malas bicara.
Menghabiskan waktu, setengah jam aku bermain di smartphone ku dan memandangi bangunan dan orang-orang yang lalu lalang. Daerah ini adalah distrik pertokoan yang sering aku kunjungi. Jadi beberapa menit lagi pasti sudah sampai area kampus kami. Aku mencuri-curi pandang ke arah Damien. Bertopang dagu sambil memandangi gedung-gedung.
Lalu tiba-tiba dia menoleh. Tatapan kami bertemu.
Dan aku tidak sempat berpaling. Ugh… apa yang harus kukatakan?
“Pernah makan sushi di Sushi Fold?” aku bertanya, asal.
Maafkan otakku yang aneh.
Damien tampak berpikir “yang ada di ujung blok disana?”
“I..Iya…” jawabku.
“Belum. Aku belum pernah makan masakan Jepang selain bulgogi.” ujarnya. Aku ingin sekali mengoreksi kalimatnya; bulgogi bukan masakan Jepang tetapi Korea. Tapi ah sudahlah. Itu tidak penting sama sekali. Lalu hening untuk beberapa saat.
“Apakah enak?” Damien memecah kesunyian.
“Jika kau suka ikan mentah.” ujarku.
“Sebenarnya aku tidak begitu pilih-pilih makanan. Kau ingin mentraktirku?”
Mentraktirnya? Eer… oke. Sebagai bentuk terimakasih. Nggak masalah.
“O.. Oke. Kapan?”
“Lusa? Aku harap aku bisa santai sejenak.” Damien lalu mendekatkan dirinya ke arahku.
“I.. Itu oke juga.”
“Kau tahu Goldstein,” Damien mulai berbicara “kurasa kita ini tidak bisa menjadi orang asing. Banyak faktor yang membuat kita dekat. Kurasa sebaiknya kita berteman saja. Kita mulai dari awal. Aku ingin kita memulai hubungan kita secara baik-baik. Anggap saja kejadian buruk selama ini diantara kita hanya nasib sial. Aku bukan pembenci kaum gay—asal kau tahu— jadi, apakah bisa kita memulai pertemanan? Seperti halnya aku dengan Sam?”
Aku memandang Damien yang menatapku dengan tatapan bersahabat dan tulus. Aku tersenyum. Mengulurkan tanganku ke arahnya.
“Teman?”
Damien membalas uluranku sambil tersenyum hangat. Pegangannya mantap “teman.”
CIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIT
“Shit!!!”
“Awaaaas!”
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya merasakan mobil tiba-tiba oleng dan aku mendengar umpatan Seb dan pekikan Victoria.
Aku tahu ada yang nggak beres. Ketika aku sadar, aku sudah berada di ujung kursi dan Damien di atasku. Melindungi kepalaku dengan lengannya.
Aku merasakan mobil berhenti. Dan aku merasakan waktu berhenti.
“Kau nggak apa-apa?” tanya Damien, nafasnya memburu saking kagetnya.
“I— Iya…”
“Oh sialan sekali!” Seb mengumpat . Aku dan Damien segera bangkit, Sebastian melempar stir hingga mobil masuk jalur pejalan kaki dan hampir menabrak sebuah toko. Beberapa orang berlarian dan sebagian langsung menolong mobil kami. Tapi kemudian perhatian orang-orang itu teralihkan ke sesuatu.
Keributan. Beberapa orang berlarian bagaikan mengejar sesuatu. Oh bukan, mengejar seseorang. Damien segera keluar dari mobil dan melihat apa yang terjadi.
“Aku menghindari pria yang di kejar itu. Sialan, ini lagi bikin film apa?! Membahayakan nyawa orang.” gumam Seb, aku melongok. Pria Asia seperti gelandangan berlari dengan tangan terborgol. Diikuti oleh beberapa polisi sambil menembakan beberapa tembakan di udara, menimbulkan pekikan dan teriakan beberapa orang. Beberapa lagi segera mengabadikan dengan video dari kamera mereka.
Ini benar-benar seperti adegan film. Tahanan lari dari penangkapan.
Walaupun ini California, tapi yang seperti ini tidak lah bisa dilihat setiap hari.
“Lihatlah, tidak hanya kita yang mengalami musibah.” ujar Damien tersenyum geli, sebuah mobil melenceng dari jalurnya. Menabrak hydrant dan untung saja tidak menimbulkan hujan buatan.
“Sudahlah, kita langsung pergi saja!” Victoria segera memaksa semuanya kembali. Tetapi tiba-tiba ada yang menarik Seb.
“Halo kami dari New Day News Channel, Saya Sarah Derryl, bisa Anda ceritakan apa yang terjadi tadi? Tampaknya mobil Anda mengalami sedikit masalah…”
Wanita cantik semampai yang biasa kulihat di acara berita sore menghampiri kami. Aku tidak menyangka akan di datangi reporter yang bahkan hanya bisa kulihat dari TV. Ternyata orang TV memang gerak cepat, ada kejadian mereka langsung melesat bagai petir. Aku kagum dengan sensitivitas mereka akan kejadian tak lazim.
“Ah, Eh… Itu…” Seb langsung kagok, tampak sekali dia ini pemalu. Kurasa kalau itu Ben dia akan langsung pasang gaya New Born Star, dan sedikit flirt ke arah Sarah Derryl. Sempat berimajinasi ke arah situ. Untunglah Ben tidak ada di sini dan mempermalukan kami.
“Apakah Anda melihat kejadiannya?”
Mic itu malah mengarah ke arahku. Astaga, apa yang harus aku lakukan dengan todongan ini??? Aku memandang Seb. Dia nyengir. Victoria melongok dari dalam, nyengir juga. Aku memandang Damien. Dia tanpa ekspresi.
“Kami… Kami tidak tahu…”
“Tapi Anda melihat buronan tadi lari kan?” dia terus mencerca.
“Aku tidak begitu…”
“Apakah Anda sempat mengamati bagaimana Taka bisa lari dari tangkapan polisi?”
“Maaf, kami sama sekali tidak melihat. Kejadiannya begitu cepat, dan kuharap kami bisa mengatasi masalah kami dengan kendaraan kami.” Damien segera meringsek maju dan mendorongku masuk ke dalam mobil. Lalu dia memandang Sarah dengan tatapannya yang bisa menaklukan siapa saja itu “Kalau Anda tidak keberatan.”
“O—Oh.. O..Oke…” Sarah gelagapan untuk beberapa saat. Ia lalu tersadar dan mencari mangsa baru untuk diberondong pertanyaan. Sesekali memandang ke arah Damien yang membantu Seb mengeluarkan mobilnya dari jalur pejalan kaki dengan aba-abanya.
Benar kata Sam. Damien memiliki pesona yang disadari atau tidak, membuat wanita dan lelaki sepertiku terjerat.
Aku harus waspada.
Damien kembali ke bangkunya setelah mobil kembali ke jalan. Damien tampak tegang. Ia memandang lurus tanpa bicara. Seakan dia bisa mengeluarkan api dari tatapannya.
Aku menggigit bibir. Kurasa tidak mungkin kan si Sarah reporter cantik itu membuatnya marah seperti itu?
Damien’s:
“Taka. Artinya Elang. Itu bahasa Jepang.” Goldstein mengoceh dengan Victoria.
“Ha! Aneh sekali kalian ini, menamai anak-anak kalian dengan nama hewan?” Seb menyahut, sedikit mencemooh.
“Biasanya itu hanya singkatan dari nama aslinya. Bisa saja namanya Takagi atau Takamura.” Goldstein membela diri. Aku diam saja. Taka. Aku tahu itu bukan nama aslinya. Aku bahkan tidak tahu nama aslinya. Apakah dia asli Jepang, keturunan, atau orang Asia Timur lainnya aku tidak peduli.
Yang aku pedulikan, kenapa pria itu sampai ke California?
Taka adalah anggota geng di Arizona. Dia adalah anak buah Edison Han, warga keturunan China yang menjadi mafia di Phoenix sekaligus memiliki jaringan dengan Triad China.
Taka bukan anggota rendahan. Kalau di perusahaan, dia menempati ekselon tinggi. Kaki tangan langsung Edison atau yang dikenal sebagai Eddy the Han. Kelompok Armando dan Han bukanlah musuh; mereka bersaing dengan batas yang mereka buat sendiri. Armando dan Han juga bukan kelompok geng yang saling berafiliasi (setiap geng memiliki sekutu geng lain). Mungkin ada sedikit gesekan tapi mereka bukan musuh utama kami. Katakan saja kami ini rival.
Tapi Taka adalah penyebab tragedi pembunuhan yang aku lakukan terhadap pria tidak bersalah. Dosa seumur hidupku.
Aku ingat, Taka hampir saja membunuh seorang pemuda yang tidak sengaja menyenggolnya di mini market saat aku datang membeli kacang pistachio untuk menonton acara Superbowl. Aku tidak tahu masalahnya tapi Taka mengganggu hariku dengan menganiyaya si pemuda di mini market itu dan aku malas mencari mini market lainnya. Tidak ada yang menolongnya, lebih tepatnya tidak ada yang berani menolongnya. Maka aku, yang entah kenapa suka sekali terlibat dalam masalah orang lain segera menghentikan Taka, karena aku tahu Taka sedang mabuk berat. Tapi upayaku menghentikan kelakuan Taka malah membuat kami berkelahi.
Taka dan aku sama-sama kuat sebenarnya, tanpa senjata. Aku tahu masalah pribadi seperti ini jarang sekali menjadi masalah geng.
Secara mengejutkan Taka mengeluarkan Five Nine ku, ‘mencuri’nya dari pinggangku dan ingin menembak diriku. Aku segera merintanginya.Kami bergelut, berusaha agar peluru itu itu tidak mengenai bagian tubuh manapun dari kami. Peluruku tidak pernah kukeluarkan untuk sesuatu yang sepele seperti ini. Kalaupun harus, akan kutembuskan ke seseorang yang pantas menerimanya.
Namun malam itu peluru itu menembus dada seseorang yang salah.
Seorang penjaga mini market lain berusaha melerai kami setelah memanggil 911. Dia membentengiku dan mencengkram tangan Taka. Tapi kemudian terdengar ledakan yang memilukan. Penjaga itu terdiam dan kemudian kulihat ada yang aneh di dadanya. Darah.
Karena berasal dari senjata apiku, maka akulah yang menjadi tersangka.
Aku tidak menyesal pernah membunuh orang, yang kusesali adalah kenapa aku membunuh orang yang tidak bersalah.
Sejak kejadian itu hubungan Armando dan Eddy the Han juga sedikit memanas walau akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan perang lainnya. Ini hanya menjadi seteru antara aku dan Taka.
Walau begitu, tidak akan merubah jalan takdirku. Aku terbebani rasa bersalah.
KEPARAT! Apa yang dilakukan bajingan itu di California???
“Damien?”
“Hah?”
Goldstein menggoncangkan bahuku. AKu tersadar “kau nggak apa-apa?”
“Tidak, aku hanya demam kamera.” kilahku, sambil tertawa getir.
“Tapi tampaknya si reporter cantik itu bersedia mewawancaraimu secara eksklusif tadi.” Victoria menimpali dari kursi depan.
“Yeah, dia terjerat pesonamu, Casanova.” Seb menyahut sambil tertawa.
“Itu urusan dia.” aku berkata masa bodoh.
“Kuharap kita tidak ketemu kejadian seperti tadi.” Victoria bergumam dengan nada lega. Lalu dia membahas topik lain bersama Sebastian.
“Kau yakin?” Goldstein masih menatapku “kau tampak aneh… Seperti ingin menelan Empire State bulat-bulat.”
Aku tersenyum kecut, lalu menyentuh puncak kepala Goldstein “daripada memakan Empire State aku lebih suka memakanmu. Haaaaarrgh” aku segera menampakan gigi-gigiku. Goldstein langsung menunjukan wajah horror yang lucu. Seperti wajah kebingungan yang absurb. Astaga, cowok ini… aku ingin tertawa dengan ekspresinya itu.
“Sudahlah! Aku tidak benar-benar akan memakanmu.”
“Dasar aneh.” gumamnya. Lalu dia melihat keluar “Gosh, tidak pernah selama hidupku begitu gembira memandang kampus kita.”
Aku melihatnya, gerbang kampus dan bangunan oranye bata. Aku tersenyum “welcome home, then.”
Kami segera memarkir mobil di parkiran kampus. Sebastian mengantar Victoria ke asrmanya, sedangkan aku ingin membantu Goldstein membawakan barang-barangnya.
“Sebaiknya kau antar sampai depan halaman saja.” Goldstein berkata, pelan.
“Tidak, barang-barangmu banyak. Sebaiknya sampai kamarmu.”
Dia menggigit bibirnya dengan gamang “sebaiknya tidak usah…”
Aku nyengir, “kau seperti cewek saja. Perlu berpikir dua kali untuk mengajak seorang cowok ke kamarmu.”
“Eeer.. aku tidak akan keberatan jika kau mengantarnya, hanya saja kau tahu kan..” Goldstein mengedikan bahu “ke kamarku akan membuat image mu tidak bagus.”
Aku mengangkat alis bingung. Lalu tersadar “Ah…”
“Lebih baik aku sendiri saja…”
“Sudahlah Goldstein. Kita teman. Kenapa kau peduli pandangan orang?”
“Bukan untukku. Tapi pandangan orang terhadapmu.” Goldstein bersikukuh.
“Hei kalian! Sudah selesai pertengkaran suami istrinya? Kalian tampak konyol berdebat di dekat mobil bagusku.” Seb berteriak. Aku segera melempar batu di sekitarku ke arahnya. Dia hanya terkikik sambil memeluk bahu Victoria, mengajaknya berlari.
Aku memandang Goldstein lagi. Kali ini dia tampak tertarik melihat sepatunya sendiri. Anak ini memang lucu sekali jika kebingungan.
“AKu tidak butuh pandangan mereka terhadapku.” AKu segera mengangkat tas-tasnya dan berjalan mendahuluinya. Membuat dia tidak protes lagi “Tapi kau tetap harus mentraktirku sushi.”
Aku tahu aku akan di cap sebagai homo jika bersama Jun bahkan berkunjung ke kamarnya. Tapi entah kenapa hal itu tidak membuatku terganggu. AKu hidup dalam hidupku, aku tidak butuh pendapat atau pandangan orang lain.
Jadi, jika suatu saat nanti ada gossip tentangku dan Goldstein, aku sudah siap untuk tidak peduli.
Jun’s :
Untunglah Damien berhasil kubujuk mengantarkanku sampai depan pintu kamar. Pandangan orang-orang tadi sepanjang koridor sudah membuatku khawatir akan reputasi Damien tapi tampaknya Damien terlalu tidak peduli seperti yang dikatakannya. Beberapa orang memang cuek akan keberadaan Damien, tapi sebagian aku tahu mempunyai jiwa usil.
Jesse salah satunya.
“Jadi,” Jesse menyunggingkan senyum mengejeknya ke arahku “sekarang kau bersama Damien? Tak kusangka dia yang sangat manly itu menyimpang.”
“Dia tidak seperti itu.” ujarku dingin.
“Lalu? Dia berteman denganmu? Kasihan sekali dia… Pamornya yang tampak tak terjangkau itu akan jatuh ke tanah.”
“Lalu kenapa kau peduli? Damien saja tidak peduli.” ujarku.
“Yah.. cuma sayang saja… Hidupnya akan menjadi bahan tertawaan. Kurasa Damien memang aslinya bermasalah.” Jesse tergelak. Cukup anak ini. Aku segera menerjangnya tanpa dia sempat menyadari, ketika ia menyadarinya dia terlambat. Aku menghujaminya dengan pukulan yang kurasa semakin keras saja akibat latihan.
Jesse mengerang, berusaha melindungi dirinya atau berusaha membalasku. Tapi sia-sia. Entah kekuatan dari mana aku berhasil membuat Jesse tumbang. Ia berdarah di hidung. Memar di pipi.
Dan aku menikmatinya.
“Aku selalu diam saja saat kau mulai menjelek-jelekanku, tapi aku tidak akan terima jika kau mulai mengusik teman-temanku.” aku mencengkram kerah Jesse, mendesis ke wajahnya dengan tatapan yang kurasa membuatnya ketakutan.
“K… Kau sungguh kelainan…”
“Aku tidak peduli. AKu tidak butuh kata-kata yang keluar dari mulut sampah sepertimu. Aku akan senang jika bisa membuat mulutmu tertutup selamanya.”
“Lepaskan aku Goldstein. Kau gila…”
“Minta maaf atas perkataanmu, atau kau akan membuatmu tidak mampu makan berhari-hari.”
Jesse tampak terhina, tapi kemudian berujar putus asa “Baiklah! Aku minta maaf mengatai-ngataimu dan teman-teman brengsekmu!”
“Bagus.” aku segera menghempaskan tubuh Jesse ke tembok. Dia mengerang.
Aku berbaring di kasur, sedikit merasa pening. Entah pening karena pengaruh obat atau kesenangan karena berhasil membalas si menyebalkan ini.
Jesse keluar kamar, dan tidak kembali sampai malam.
Aku menguasai kamar ini sendirian. Dan aku merasa baru. Apakah karena aku sudah memiliki teman bernama Damien dan Sam sehingga membuatku lebih berani dari dulu? Rasanya aku seperti menemukan kekuatan layaknya menemukan uang sepuluh dollar di jalan.
Rasanya menakjubkan.
Aku memandang kepalan tanganku. Seharusnya aku tidak senang karena baru saja menganiyaya, membuatku merasa seperti Orlando. Tapi kalau yang dianiyaya seperti Jesse? Nah, itu sangat masa bodoh.
Aku merasakan kasurku bergetar,ada pesan. Aku segera membukanya.
“Kau sudah kembali? Mau ngopi? Aku yang traktir. Sam”
Aneh. Aku tidak bereaksi berlebihan.
Aku mengetuk-etuk layar. Berusaha berpikir. Tapi aku tidak merasa gugup. Ada apa ini?
“Right. Kapan kau akan traktir?:D Jun.”
Aku membalasnya. Mengirim dan menunggu balasan lagi.
“Lusa kalau kau sudah baikan. Gimana? Sam’
Lusa. Oke tidak apa-apa. Aku longgar sih, paling juga besok sudah baikan.
Wait, Lusa?? Oh aku lupa kalau aku akan mentraktir Damien. Oh sialan, bagaimana ini? Tapi Sam akan bertanya-tanya juga kan?
“Aku tidak bisa. Maaf. Jun”
“Ada acara? Sam” belum satu menit dari pesanku terkirim, jawabannya datang.
Aku menggigit bibir. Bagaimana ini?
“Aku ada janji dengan Damien. Makan sushi.”
Lalu tidak ada balasan. Sudah lima belas menit berlalu. Sam marah? Mana mungkin makan malam biasa (apa makan sushi bisa disebut makan malam?)bisa membuatnya marah. Apa dia merasa tidak perlu membalas? Yah itu mungkin saja.
Tapi kenapa dia tidak membalas saja supaya perasaan heranku lenyap?
Lalu kurasakan getaran lagi. Aku segera membuka pesanku.
“May I join ya?”
Tatapanku dan pikiranku belum bisa mencerna. Sam ingin ikut? Tapi itu… itu akan aneh kan? Aku mentraktir Damien. Lalu akan aneh jika tiba-tiba ada Sam kan?
Oh, brengsek kau Jun. Kau kan bukannya kencan dengan Damien! Lalu kenapa menambah satu orang dalam acara makan malammu membuatmu salah tingkah? Bukankah itu wajar?
Yang nggak wajar adalah jika kau dan Damien berpacaran, DAN kau dengan Damien bukan sepasang kekasih. It’s really obvious. Ini hanya makan malam biasa kan? Kau jangan berpikir atau ugh—berharap macam-macam.
Hei, lagian siapa yang berharap macam-macam?
Aku segera mengetik dengan cepat. Lalu aku memutuskan tidur.
saya sampe lupa sudah chap berapa... maaf ya
@leo90 @masdabudd @obay @YuuReichi @Duna @Adhi48 @yubdi @Silverrain @arieat @andhi90 @4ndh0 @Venussalacca @Ricky_stepen @ackbar204 @androfox @Ryuzhaki @brownice @Adam08
@greenbubles @apple_love @AjiSeta
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara @gue3 @Zhar12 @ardi_cukup @Chachan @FendyAdjie_ @rezadrians @hades3004 @tamagokill @meong_meong
@WYATB @lian25 @Damian_Lee_Adam @piocaprio @Denny1_haenseom @kikyo @aicasukakonde @adilope @boyzfath @White_Xmas @DM_0607 @Different @ularuskasurius @el_crush @_Putra16 @adzhar @chessydark
keep Writing bro
ga pertamax
om te-es jahat!! ga' kabar2 dulu ( (
terima kasih msh mentions
di tunggu update selanjut nyaa
jgn ngilang lagi yaa