It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
thanks dah mo mampir
menurutnv, cup cup
Wajah Damar tepat dibawah ketiak kananku yang terbuka lebar sedangkan tangannya memeluk tubuhku. Bukan ding. Tepatnya lengan kanannya tepat dijendolan yuniorku. Kakinya mengapit dan sekrupnya menekan betisku. Sekrupnya benar benar benar menekan erat dan lengannya menindih hingga terasa sekal dan menimbulkan sensasi yang takkan mungki aku tolak.
Aku yakin kalianpun akan berlaku sama, atau malah beringas mencaplok wajah manis dan melumurinya dengan gairah pagi. Tapi aku tak bisa lebih tepatnya aku takut bergerak. Jika itu terjadi akan lenyap segalanya.
Kalian tau kan aku takut dia tahu aku menikmati posisi ini.
Aku berharap dia akan tenggelam dalam mimpinya dan tak bangun agar posisi ini tak berubah. Aku berusaha mengatur nafas sedemikian pelan hingga anginpun seakan tak bergerak. Desir itu. Hasrat ini kian merejamku dalam diam.
Hembusan napasnya mengirimkan ion ion gairah menempel tepat disisi luar puting kemerahanku. Reflek putingku jadi kaku oleh sebulir romansa nafasnya yang hangat.
Getar suara diatas meja belajar mengingatkanku akan alarm yang aku pasang semalam. Hapeku sebentar lagi akan berteriak. Sebelum tanganku meraihnya suaranya menakuti hantu hantu yang semenjak tadi ngintip.
Aku reflek menutup mata saat merasakan tubuh Damar bergerak. Dia tersentak bangun. Mungkin merasa aneh dengan posisi tidurnya yang menindihku sedemikian rupa. Aku pura pura baru menggeliat.
Tuhan belum memberikan waktuku untuk bergelut birahi? Entahlah aku belum enam belas tahun
Saat baru tiga putaran kami keliling Gor dia datang dan bergabung.
"hai bray, lo pada joging sini juga?" Lebaiy ucapku dalam hati. Setelah putaran keempat Arga mengajak kami istrahat dan menuju warung pojok dekat Dinsos d jalan pahlawan. Rujak Cingur yang begitu enak dilidah.
Memang aku akui kalau wajahnya manis bahkan cenderung cantik bagi ukuran cowok. kulitnya putih bersih tanpa noda sedikitpun seperi kulit putri keraton tapi versi cowok wajah tirusnya menambah kesan lembut yang dia miliki. tapi jangan berpikir dia akan ka;lem seperti rupanya.
Dia sungguh sungguh menyebalakn buatku. sifat sok akrab dan logat lo gue yang sangat menggelitik. sorot mata yang sangat kontras dengan wajah manisnya. dia memiliki sorot yang sangat tajam jika memandang sesuatu. jika kalian bertemu cobalah menilai matanya. kalian seakan berhadapan dengan anaconda yang akan menelanmu hidup hidup. itupun jika kalian punya sifat yang sama denganku.
"Dev, lo besok pulang bareng gue ya?" katanya sambil mengusap bibirnya sehabis makan rujak cingur. aku harus kembali bersibrokan dengan mata ularnya.
"mo nagapain?" ucapku penasaran.
"gue mo tunjukin sesuatu" jawabnya.
" gak lah besok pak sukri yang akan menjemputku.
"c'mon Dev,napa sih lo gak pernah mo dekat ma gue?"
Damar hanya terdiam ditempatnya. mengapa dia gak pernah mau membantuku jika berhubungan dengan Arga.
Jika orang lain yang memaksaku dia akan menjadi tameng untukku. tapi tiadak jika Arga yang meminta.
"cemburu padaku? Maksudmu" Aku pura pura tak tahu. Aku mencari kebenaran dimata lentik Lusi. Mata yang sanggup meruntuhkan hati cowok, tentu saja aku tidak, karna aku tak menyukai sejenis Lusi. Dan aku tak menemukan kebohongan disana.
"aku rasa kalian bukan sebagai sahabat..." Lusi menarik napasnya agak berat
"feelingku lebih dari itu" dugh. Aku digodam tepat dijantung. Bukan aku namanya jika tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku menarik napas pelan.
"maksudmu?" aku terlalu idiot jika gak tau maksudnya.
"lupakan" dia mengibaskan tangannya. Udara Taman dekat sekolah yang asri tiba tiba panasnya menyengat. Ya panasnya dari dalam otakku. Lusi menjelaskan lebih lanjut tentang hubungannya selama ini hanya mengikuti tantangan teman temannya. Itu pada awalnya, semakin kesini semakin dia mencintai Damar. Lusi belum berani mengunci hatinya pada seseorang walau dia cinta. Karna dia telah berjanji pada orang tuanya agar fokus dengan sekolah sampai tamat SMA. Kemarin tidak termasuk karena dia hanya cinta kontrak yang dibuatnya bersama teman temannya.
Aku memandang pinggul gadis idola sekolahku itu. Dengan bodi langsing dengan tinggi bak model catwalk. Sungguh sempurna ciptaanya. Hadeeh kenapa aku berpikir gitu? Aku kan tidak tertarik pada cewek.
Angin dingin menusuk. Aku rekatkan jaket yang tak mampu banyak mengusir dinginnya malam. Ini hari ketiga liburan sekolah. Saat kak Devon minta buat brlibur ke Brisbane karna ada acara ma temannya di Manchester lake. Sungguh tawaran yang menarik tapi aku tak mau meninggalkan Surabaya kalau ada tawaran yang lebih menarik hatiku. Ya kami akan berkemah dengan kelompokku. Aku Damar, Rifai, Ryan dan ternyata ada Arga yang ikut nimbrung. Aneh anak ini. Akhir akhir ini selalu ada dan merusak suasana. Tentu saja hanya aku yang merasa seperti itu.
Udara Prigen dimalam hari terasa menggigit. Dari jauh terdengar suara gitar yang mengiringi suara anak anak. Sayup sayup suara gemericik air terjun kake Bodo terdengar bagaikan harmony alam yang melengkapi suara serangga yang menyulam pekat malam menjadi satu dengan hati yang kian lusuh. Desau angin mengirimkan uap butir butir embun yang menempel didedaunan termasuk pakaian yang aku kenakan. Aku tak peduli, yang pasti aku mendinginkan bara api yang muncul dihati.
Terngiang sikap Arga yang menempel padaku bagaikan ulat bulu yang membuat tubuhku panas dan gatal. Aku tak yakin dengan feelingku, tapi dengan keadaan yang begini membuat keyakinanku pada Arga kian kuat. Arga sama sepertiku menyukai sejenis. Tapi aku risih, walau aku akui suka dengan cowok yang bernama Damar. Bukan yang lain. Apa Arga menyukaiku? Aku tak mau gede rasa dan ingin pikiran menjadi sesuatu yang benar. Aku masih meraba. Biarkan waktu akan mengarahkan sendiri.
Aku terpaku menatap dikejauhan. Kerlip lampu diarea yang kurasa daerah pabrik pasura yang brlokasi di sebelah timur Bangil. Entah sudah berapa lama aku seperti ini. Disini. Diatas batu yang berada diarea padang rumput yang tak begitu luas namun cukup membuat mata leluasa melepas diri dari cangkangnya mengembara ditempat tempat yang jauh menembus kegelapan malam. Aku merasa damai. Tenang dan menyatu dengan alam.
"dah lengkap semuanya?" ucap mami dua hari yang lalu. Seperti biasa mama selalu senewen jika aku berpergian apalagi sampai nginap. Mati matian mama melarangku untuk berkemah. Papa juga ikut ikutan mama melarangku. Aku jengkel, dongkol karna aku masih diperlakukan kayak anak kecil.
"aku sudah besar, mam!!" teriakku setelah panjang lebar memberi alasan agar aku bisa diberi kepercayaan untuk melakukan tanpa pengawasan.
"bagi mama kau masih bayi mama yang suka ngelendot nak" mama berusaha meraih kepalaku. Aku melengos. Hatiku terasa kecewa, mengapa aku masih diperlakukan seperti ini. Tidak seperti Damar yang bisa brtindak sendiri. Aku selalu iri dengan cara orang tuanya memperlakukan
Damar begitu.
Aku meninggalkan ruang keluarga dengan rasa kecewa menggumpal dalam dada. Aku hampir enambelas tahun tapi kedua orang tuaku memperlakukan bocah enam tahun. Aku mau hidup seperti yang aku mau, bukan berarti aku ingin bertindak bodoh. Aku hanya mau orang tuaku percaya padaku terutama mama. Seperti Damar diperlakukan oleh orang tuanya. Hal pertama yang aku rasa berbeda ketika kami kelas empat SD. Damar dengan tegas menjawab pertanyaan guru tentang kesiapan pergi bertanding ke THR karna dia yakin orang tuanya akan mendukung apapun aktifitas Damar yang berhubungan dengan sekolah. Sementara aku, harus selalu meminta ijin sama mama dan papa. Kadang tak jarang kekecewaan yang aku dapatkan. Mungkin sejak itu aku suka bergaul lebih dekat dan tambah kagum pada Damar. Hanya sekedar kagum pada sahabat semata. Sampai akhirnya aku rasa kekaguman yang berbeda setelah usia ke tiga belas lewat beberapa bulan. Muncul dan tak aku sadari...
Samar samar aku mendengar suara yang menyebut namaku. Kian lama kian jelas. Bukan hanya satu suara tapi ada beberapa orang yang bersahutan. Tadi yang terdengar makin dekat sekarang kian jauh dan kembali sayup sayup lalu menghilang diketiadaan.
Aku merasa sedang berada dibibir jurang yang dalam. Ada semacam kekuatan yang saling tarik menarik. Daya magis yang ditimbulkan oleh sebuah bayangan hitam dibawah sana dan sosok putih bersayap yang sedang melayang diatas sana. Aku menoleh keatas dan menemukan keteduhan yang hangat. Memberikan kenyamanan dan ketika aku melihat bayangan hitam sekarang terlihat jelas dengan sorot matanya yang tajam mengiris jiwaku menjadi serpihan serpihan. Anehnya aku suka dan menikmati ceceran yang menggumpal disetiap sudut hati. Kekuatan yang saling tarik menarik membuat tanah tempatku berpijak menjadi goyang. Tebing akan runtuh aku ingin menjadi bagian dari erupsi alam. Biarkan alam yang menentukan aku jatuh dipelukan bayangan itu atau lelap dalam rengkuhan putih bersayap.
"Dev,
"Dev, masya Allah..." Seseorang mengguncangkan tubuhku. Aku berusaha mengumpulkan nyawaku yang tercecer. Tubuhku bagai batang kayu yang tergeletak tak berdaya. Aku bergetar. Jiwaku masih belum menemukan ragaku kembali. Seseorang siapapun itu mendekapku.
"bangunlah Dev" hai dia menangis? Tetesan hangat menyentuh kulit wajahku. Mataku masih tertindih ribuan tawon yang menggantung. Tubuhku masih dalam posisi yang sama, kaku dan keropos.
"jangan biarkan aku mati ketakutan begini" Kembali suara itu menggaung entah dimana aku menemukan sumbernya. Ya disini diatas tubuhku. Dengusan napasnya jelas terasa.
"Dev..." Aku berusaha melawan susuatu yang tidak aku tahu itu apa. Yang aku tahu, aku harus kembali menemukan pintu masuk keragaku yang berada dipelukannya. Ya Tuhanku Yesus jangan biarkan gembalamu ini tersesat dilorong yang belum saatnya aku berada. Bapa di surga aku belum mau berada ditempatmu. Setidaknya biarkan aku menyapa. Yes. Aku tahu celah aku masuk. Ciuman itu. Rasa itu. Kehangatan merembet lewat pori pori wajahku. Hembusan napas yang membangkitkanku dalam beku waktu yang membelenggu jiwaku. Ada gerakan reflek berawal dari jari tengah.
Aku mengumpulkan kembali memoriku yang tersimpan. Menyeruak tanpa bisa aku tekan. Aroma ini. Tiap kali aku memeluknya. Wangi parfum ini mengingatkanku pada sebuah nama.
"Da.. Damar" Dengan susah payah aku menggerakkan lipsku yang terpasung beku. Pelukan itu merenggang.
"Alhamdulillah ya Allah..." kemudian Damar kembali memelukku dengan erat. Seakan tak mau kehilangan barang yang berharga. Akh terlalu berlebihan aku menilai itu pikirku.
"hei, kau menangis?" Kataku lalu menekan punggungnya yang dari tadi memelukku. Damar terdiam.
"mana?" aku tahu dia berusaha mengelak.
"ngaco, masa aku begitu?" dia mendengus dan menyesap hidungnya yang berair.
"iya juga gapapa kalee..." aku menggodanya.
"adaowww..." Teriaku kesakitan karna punggungku terbentur batu tempatku duduk.
"sakit, cuk" sengitku.
"biarin..." Damar berdiri dan menjauhiku. Dasar cowok tengil kataku dalam hati. Aku senang ternyata Damar mengkhawatirkanku. Ujung bibirku melengkung keatas. Kami kembali ke tenda. Setelah ada deal tak boleh memberitahun yang lain insiden yang baru terjadi. Iyalah, Damar apapun itu akan aku lakukan untukmu. Ada bunga bunga mekar didalam hatiku.
"oi bro, pacaran aja..." Teriak Ryan. Semua mata tertuju pada kami berdua.
"maaf membuat kalian khawatir" aku berusaha menjernihkan suasana.
"tadi aku gak bawa hape..."
"wess, sing penting kau selamat Rik.." Dia selalu memanggilku Rik atau Erik. Nama yang terlalu berat aku sandang. Karna nama yang terlalu jantan menurutku. ...
Hari ini kami pindah ke Pacet. Damar meyakinkan kami semuanya. Karna dia tak ingin aku bermacam macam lagi. Apakah dia tahu jika masih ada simanis (menurut Damar) selalu saja berhasil merubah sesuatu yang manis menjadi kecut? Damar memang laki laki yang tak memiliki radar untuk gay sepertiku (termasuk Arga?). Tapi hati ini tak bisa aku kesampingkan.
Berhubung kamar vila 3 masing masing . Selama di Pacet kami mendatangi lokasi lokasi wisata yang eksotik. Kalau pemandian air panas itu sudah sering kami datangi. Karna Villa keluargaku tak jauh dari tempat itu. Bahkan tak begitu menarik lagi kecuali jika datang bareng keluarga. Seperti ditenda Prigen Arga lagi lagi memilih sekamar denganku dan Damar. Lama lama anak ini benar benar menjadi ulat bulu bagiku. Damar sih gak masalah karna Arga selalu berhasil membuat Damar mengikuti kemauannya yang bermanis manis. Jijik melihat tingkahnya yang kayak cewek manja. Dan lagi aku menuruti semuanya. Aku juga tak mau menukar tempat dengan orang lain dan juga gak ingin damar terpisah kamar denganku. Waktu yang seharusnya santai mengapa menjadi ribet begini ya! Kita tanya galileo. Aku mengambil selimut dan membungkus diri. Biarin mereka kedinginan, Rutukku.
"Dev, kok tega..."
"biarin za" itu suara Damar memotong ucapan Arga. Ada suara badan menghempas disampingku. Itu pasti Arga. Lagi lagi simanis ulat bulu tidur diposi tengah. Tau gak betapa aku ingin menggebuknya lalu mencincang dan menyebarkan diarus sungai biar disantap ikan ikan. Sadis. Biarin, aku benar benar jengkel dibuatnya.
"awas, jangan peluk!" tegasku saat Arga bergerak. Terdengar dengus suara kecewa.
"peluk aku saja"
"apa?" Itu tidak boleh terjadi. Aku tak akan membiarkan orang lain memeluk Damar. Apaglagi Arga.
Dev ingin ngademkan dulu biar biasa lebih teredit lagi...
Di mention dong kalo ada lanjutan...