It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pokoknya Sat, kamu harus jaga hati, Lukas always!!! >_<
kangen lukas, kapan nih pov nya lukas ??
Gelo, ketinggalan banyak amat nih. Sampe ngos-ngosan karena bacanya marathon. Dari siang pelototin laptop buat ngejar ketinggalan, walhasil mata panas dan hati juga.
Aaaarrrgggggggg.............
Maap Abi baru muncul, mention yang dulu kelupaan baca n komen, jadinya gak masuk daftar mention lagi deh. Hiks hiks!!!
sekali baca tadi, duh bikin suasana rada panas. huft, tapi ya mau gimana terkadang kejadian yang dialami Satya, Lucas dan Rena memang ada. Cinta segitiga, dibohongi orang yang kita percaya, egois... ck ck ck, [-( itulah manusia..
*efek baca marathon
Khas Abi, selalu mengangkat cerita yang terkesan real bukan imajinasi yang bisa menumbuhkan harapan pada pembaca..
*masih, efek baca marathon )
RENA : EXPLANATION
“Sekarang, rencana lo apa?”
Gue sama Satya lagi di Warung Malang, nggak tahu juga kenapa dia ngajak ketemuan disini. Sejak gue ketemu Satya di RETRO sama Joddi pas tribute night itu, gue belum sekalipun ngobrol panjang lebar sama dia. Hell! Bahkan sejak obrolan di kamar kos gue itu, kami belum ngobrol banyak. Gue sebenernya pengen cerita ke Satya soal Joddi, karena gue tahu, Satya pasti udah mikir yang macem-macem ngeliat gue sama Joddi. The truth is, gue memang pengen cerita ke Satya semuanya. Not that Lukas thing. Tapi, pas gue mau ketemu Satya begitu dia selesai perform malam itu, Satya bilang kalau dia mau langsung pulang karena capek. Dari ekspresi mukanya, gue tahu something happened. Tapi, butuh dua minggu sebelum akhirnya Satya minta kami ketemuan dan cerita semuanya. Gue, antara kaget dan nggak. Like, part of me wanted to make joke about it but another part of me yelled to me to shut up. I chose the latter.
“Aku masih belum tahu harus gimana, Rena. Udah dua minggu tapi aku masih….shock.”
“Jangan bilang ke gue kalau cuman gara-gara itu lo mau berhenti dari RETRO.”
Satya nyeruput jus jambu merahnya sebelum gelengin kepala. “Gaji di RETRO jauh lebih besar dari kafe atau restoran manapun. Tapi, hubunganku sama Pak Stefan jadi canggung banget. Pak Stefan mungkin nggak pernah nyangka kalau aku akan tahu kalau dia…just like me. Dia bahkan mungkin nggak mau seorang pun tahu. Aku nggak mau dia berpikir kalau aku itu homophobic atau semacamnya. I just…don’t know what to do.”
Gue ngehela napas. Gue nggak pernah ada di posisi Satya, jadi, sekuat apapun gue berusaha buat ngerti posisi Satya, gue tetep nggak bisa. Ini masalah yang lumayan rumit. Terlalu banyak kemungkinan. Dan karena gue nggak kenal sama si Stefan ini, gue jadi nggak tahu dia bakal bereaksi kayak apa tentang hal ini.
“Sat, udah dua minggu kan sejak malam itu?” Satya mengangguk. “Kalau menurut gue, Stefan ini justru nggak keberatan lo tahu tentang rahasia dia. Kalau dia keberatan, dia pasti udah manggil lo ke ruangan dia dan mungkin aja, dia bakal mecat lo dengan alasan yang dibuat-buat. But he didn’t! Bahkan dia bilang mau ngejelasin semuanya ke lo kan? Mungkin, dia cuman ngasih lo waktu karena dia tahu lo pasti kaget. Sometimes, people do that, you know. Instead of giving explanation right away, they wait. Gue rasa, Stefan ini memang cuman nunggu lo tenang.”
Satya natap gue dengan pandangan kosong. No expression. Gue juga nggak tahu kenapa dia mandang gue kayak gitu. Mungkin Satya lagi mikirin kalimat yang baru gue bilang. Who knows?
“Do you think so?”
Gue cuman ngedikkin bahu. “Ya nggak tahu, Sat. Tapi, alasan apa lagi coba yang masuk akal kalau bukan apa yang gue bilang tadi? Atau, kalau lo mau denger alasan yang jauh lebih absurd, well, mungkin nggak absurd juga sih, tapi, alasan yang bakal bikin lo kaget, mungkin aja bos lo itu suka sama lo.”
“Kamu ngaco, Rena!”
“Coba denger dan analisa kalimat gue ini. Oke, gue ngerti alasan dia nyimpen rahasianya disini, with our close-minded people and everything, fine. Yang nggak gue ngerti, satu, lo bilang sendiri kalau gaji di RETRO jauh lebih gede dari kafe atau restoran manapun di Bali. Itu bisa berarti kalau lo memang jago banget dan dia ngehargain bakat lo, atau dia memang punya rasa sama lo. Lagian, ada jarak beberapa bulan kan sejak lo kerja disana sampai bos lo nawarin lo buat jadi full time di RETRO? Dua, dia ngejar lo sampai ke toilet dan bilang kalau dia mau ngejelasin semuanya. Buat apa dia ngelakuin itu kalau bukan karena dia suka sama lo? Dia pasti nggak mau lo berpikiran yang macem-macem atau lo salah persepsi soal dia sama Jake. Dia itu bos lo, Sat! Ngapain coba dia begging buat ngejelasin ke lo kalau dia nggak ada rasa sama lo?”
Gue liat Satya cuman diem. Analisa gue bener kan? Menurut gue, aneh aja seorang bos ngemis ngejelasin sesuatu sama bawahannya. Dari itu aja udah nggak make sense banget. Jadi, Satya musti tahu kemungkinan kalau bosnya itu ada rasa sama dia. Kalau bukan gue, siapa lagi yang bisa bilang ke Satya? Gue bukannya bisa mengaruhin Satya buat ngambil keputusan ya, tapi, he always listens to me. Paling nggak, ucapan gue tadi itu bakal bikin Satya tahu kalau ada kemungkinan yang sebelumnya nggak dia pikirin.
“Terdengar terlalu absurd, Rena.”
Gue cuman gelengin kepala. Ini nih Satya yang gue nggak suka. Dia nggak mau ngeliat kemungkinan yang sebenernya ada. Gue sadar, bakal butuh waktu buat ngeyakinin dia tentang hal ini, kalau memang dugaan gue bener.
“Gue tahu lo bakal bilang kayak gitu. Tapi, lo coba pikirin deh kalimat gue, bener-bener lo pikirin. Kalau memang beneran kayak gitu, at least, nanti lo nggak kaget karena gue udah ngomong ke lo duluan.”
Gue ngeliat Satya cuman nganggukkin kepala. Tapi, gue yakin itu karena dia sendiri nggak tahu atau nggak yakin sama apapun yang mau dia bilang. Kalau gue bisa, pengen rasanya bikin dugaan gue itu jadi kenyataan. Stefan looks like a very nice guy and he’s so mature. Patrick kind of guy. Tapi, gue berharap, Stefan nggak bajingan kayak Patrick. Satya butuh cowok kayak Stefan. Tapi, yang paling gue pengen adalah Satya bisa ngelupain Lukas. Gue masih dan akan terus ngerasa bersalah, tapi, paling nggak, kalau Satya punya cowok, rasa bersalah gue jadi makin berkurang. Apalagi kalau Lukas juga udah punya pasangan. In life, some things better left unsaid kan?
“Kamu gimana sama Joddi?”
Joddi.
“Maksud lo gimana itu apa?”
“Rena…”
Kalau Satya udah ngasih gue tatapan kayak gitu, berarti dia lagi nggak mood buat go around the bush. He needs my explanation about Joddi and how we ended up at RETRO that night together. Gue yakin, Satya pasti juga pengen tahu ceritanya.
“Gue sama dia masih baik-baik aja. Belum ada status apa-apa. Lagian, lo kan tahu sendiri kalau gue paling males kalau LDRan. Joddi masih di Jakarta dan gue masih disini. Gue nggak mau balik Jakarta dan Joddi juga belum bisa pindah kesini. Jadi, daripada ribet dengan status yang macem-macem, gue sama Joddi lagi have fun aja. With whatever relationship we have at the moment.”
“He adores you.”
Kali ini, gue naikin alis sambil napat Satya. Did I misheard his last words?
“Maksud lo?”
“Aku belum kenal jauh ya sama Joddi, tapi, dari apa yang aku lihat pas kalian ke RETRO, the way he looked at you…Mungkin memang dia berniat untuk serius atau mungkin karena perasaanku aja yang udah desperate pengen lihat kamu punya pacar lagi.”
“Lo itu ya?” balas gue sambil ketawa, yang ternyata bikin Satya ketawa juga.
“Seriously, Rena, Joddi kelihatan kayak cowok baik-baik. Aku nggak bilang kalau cowok-cowok kamu sebelumnya nggak baik ya, tapi, aku bisa ngerasain kalau Joddi itu bukan tipe player. Aku bisa aja salah tapi he has that aura. Dan aku nggak akan kaget kalau one day, kalian akan jadi pasangan. Entah pacaran atau malah jadi suami istri.”
“Eh, Sat, kalau lo mau ngaco, jangan bawa-bawa gue kenapa? Ucapan lo itu bukan cuman ngawur tapi ngawur pakai banget banget. Lo kan tahu sendiri gue masih belum mikirin nikah. I still want to have fun. Jadi, simpen aja deh pikiran lo tentang gue sama Joddi jadi suami istri.”
Satya ketawa lagi.
“Tapi, kamu tertarik kan sama dia?”
“Who isn’t? Kalau soal fisik, dia memang keren, Sat. Cuman, lo tahu sendiri cowok keren kayak gimana. Either player atau sex maniac or mata keranjang. Gue kenal Joddi juga baru beberapa bulan dan sering ketemu juga nggak. Cuman kadang telpon, BBMan dan kalau dia ke Bali, juga nggak nemenin dia tiap hari seharian juga. Jadi, kalau lo bilang gue tertarik sama fisik dia, itu bener. Tapi, kalau buat attach perasaan gue ke dia…” Gue gelengin kepala. “Belum dulu, Sat.”
“Kamu sampai kapan mau ngejomblo, Rena?”
“Lo sendiri?”
Kami berdua saling pandang dan nggak lama kemudian, gue sama Satya ketawa bareng. How pathetic our love story is. Rumit ya kalau udah ngomongin hati? Gue nggak yakin Satya bakal tetep bisa ketawa kayak gini kalau dia tahu gue udah bohongin dia soal Lukas. Kadang, gue berpikir apa yang bakal Lukas atau Satya lakuin kalau mereka tahu gue bohongin mereka. Will they hate me? Will they forgive me?
Gue orang yang percaya kalau time heals everything. Nggak cuman patah hati dan kecewa, tapi juga cinta. Paling nggak, dalam kasus Satya sama Lukas ini. Semakin lama gue nyimpen ini dari mereka, gue yakin, perasaan mereka bakal makin berkurang or completely gone. Dan saat itu tiba, gue yakin, kalaupun gue jujur, mereka akan ketawa dan nanya balik kenapa gue ngelakuin itu. Things will be different. It won’t be a big deal for them anymore. Kenapa? Karena ini akan jadi masa lalu dan mereka udah punya masa depan. Kenapa harus ngeributin hal yang udah kejadian?
Pikiran semacam itu yang bikin gue tetep nyimpen rahasia ini sampai entah kapan. Gue sendiri juga nggak tahu.
“Balik yuk, Sat? Temenin gue beli baju.”
“Buat apaan lagi sih Rena? Baju kamu itu udah se lemari penuh, belum cukup juga?”
Cowok ya, kalau disuruh nemenin cewek belanja, nggak pacar nggak temen, sekalipun temen itu gay, tetep ngeluh kalau cewek itu udah punya banyak baju. Hellowww???? Yang namanya cewek, itu nggak pernah cukup kalau urusan baju.
“Udah, ikut aja. Lo itu pacar nggak, suruh nemenin belanja aja masih bilang baju gue udah banyak. Selama masih ada cewek di dunia ini Satya, yang namanya baju se lemari itu nggak akan pernah cukup.”
“Ya ya ya ya. Mau kemana?”
“Ke Centro yuk? Sekalian ntar sunsetan disana.”
“Ya udah.”
Satya langsung bangkit dari hadapan gue dan jalan ke kasir. Sementara itu, gue mikirin lagi obrolan gue sama Satya tadi. Tentang Stefan, tentang Joddi dan gimana kalau semuanya itu ajdi kenyataan, bukan cuman obrolan dan dugaan gue sama Satya.
Would we look at this time in the future and laugh about it?
SATYA : STORIES
Early November 2011…
“Terima kasih kamu sudah satang, Satya.”
Aku hanya menganggukkan kepala sambil berusaha bersikap tenang dan wajar. Dua hal yang tidak bisa aku lakukan sejak aku melangkah masuk ke vila Pak Stefan. Bahkan, jauh sebelum itu. Tiga hari lalu, begitu aku selesai tampil di RETRO, Pak Stefan memintaku untuk ke kantornya dan disana, dia memintaku untuk datang ke vilanya Minggu ini. Aku tidak menjanjikan Pak Stefan bahwa aku akan datang dan Pak Stefan hanya menganggukkan kepalanya.
But…here I am.
Sudah sebulan berlalu sejak kejadian yang membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Satu bulan yang membuatku merasa begitu canggung di hadapan Pak Stefan. Aku bahkan memang sempat terpikir untuk berhenti dari RETRO sekalipun aku bilang ke Rena kalau aku tidak akan berhenti. Semuanya masih terlalu mengejutkan untukku. Ketika aku mendapatkan undangan ini, aku langsung menghubungi Rena dan seperti biasa, dia langsung memintaku untuk datang. Aku menyiapkan mentalku ketika akhirnya aku memutuskan untuk datang.
“Sudah sebulan Pak, dan saya tidak mau hubungan kita jadi semakin canggung di RETRO. Bagaimanapun juga, Pak Stefan atasan saya dan saya bekerja untuk bapak. Saya harusnya minta maaf karena tanpa sengaja mendengar obrolan Pak Stefan hingga Pak Stefan merasa berutang penjelasan ke saya. Saya minta maaf, Pak. Untuk sikap saya selama sebulan ini.”
Aku sudah menyiapkan kalimat itu dan melatihnya, berharap aku memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Ketika aku selesai mengucapkannya, Pak Stefan hanya menatapku dan menganggukkan kepalanya, sebelum tersenyum. Seolah dia sudah menduga bahwa aku akan mengatakan kalimat itu. Aku meraih cangkir teh yang sudah aku abaikan selama lebih dari lima belas menit dan menyesapnya. Hanya sebagai pengalih, agar aku tidak perlu menatap Pak Stefan dan menduga apa yang sedang dipikirkannya.
“Kamu berhak bersikap seperti itu, Satya. Kalau saya ada di posisi kamu, saya mungkin sudah berhenti dari RETRO. Saya bersyukur karena kamu nggak melakukannya. Terima kasih untuk tetap di RETRO.”
Aku mengangguk. “Saya memang punya pikiran untuk keluar, Pak. Tapi, akan sangat tidak adil dan kekanak-kanakan kalau saya keluar dari RETRO karena apa yang saya dengar. Pekerjaan saya dan apa yang saya dengar adalah dua hal yang berbeda, yang tidak seharusnya saja campur adukkan.”
Kami saling bertatapan, sebelum Pak Stefan menghela napas panjang. This could be the moment I’ve been waiting for.
“Saya memang seorang homoseksual, Satya. Jake adalah mantan tunangan saya. Kami memang berencana untuk menikah, namun, dua bulan sebelum kami menikah, saya melihat Jake bersama pria lain. Mantan pacarnya. Salah satu sahabat saya, menguatkan cerita saya ketika dia juga melihat Jake bersama pria yang sama ketika dia ada di Brussel. Jake akhirnya mengakui bahwa dia kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya enam bulan setelah kami bertunangan. Kembali ke Indonesia dan RETRO adalah cara saya untuk sembuh dari luka itu. Saya juga nggak menyangka kalau Jake ada di Bali dan datang ke RETRO. Apa yang kamu dengar adalah apa yang selalu dia bilang ke saya, Satya. Bahwa dia masih mencintai saya dan meminta kesempatan kedua. Saya yakin, kamu pasti akan mengatakan hal yang sama kalau kamu mengalami apa yang saya alami.”
Pak Stefan tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya, seolah apa yang dia ceritakan, berhak atas senyuman itu.
Aku hanya mampu membasahi tenggorokanku dengan teh yang sudah mulai dingin. Siapa yang menyangka bahwa Pak Stefan mengalami apa yang aku alami dulu bersama Patrick? Apakah ini sebuah kebetulan atau memang takdir, dengan parodinya, membiarkan aku dan Pak Stefan berbagi kenyataan yang sama?
“Apakah cincin yang Pak Stefan pakai itu…”
Pak Stefan segera menggelengkan kepalanya. “Bukan, Satya. Bagaimana mugkin saya masih mengenakan cincin dari pria yang sudah mengkhianati saya?”
Betapa bodohnya aku menanyakan pertanyaan seperti itu. Aku tidak melihat cincin itu di jari Pak Stefan sekarang. Mungkin, di rumah, Pak Stefan memang sengaja melepaskannya.
“Maafkan saya sudah bertanya seperti itu, Pak.”
“It’s Okay, Satya. Wajar kalau kamu bertanya seperti itu.”
Kembali, aku hanya bisa tersenyum tipis.
“Saya takut kalau kamu orang yang homophobia, Satya. Seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya. Ada ketakutan dari saya kalau suatu saat, ketika saya kembali ke Indonesia, orang akan mengetahui hal itu. Sejauh ini, memang belum ada yang tahu selain kamu. Beberapa teman dekat yang sudah puluhan tahun mengenal saya, mereka tidak pernah keberatan dengan orientasi saya. Boleh saya bilang, kalau saya beruntung kamu yang tahu hal ini?”
“Saya aktif di traveling community, Pak, jadi bisa dibilang, hal seperti itu bukanlah hal yang baru buat saya. Gay atau bukan, selama orang itu bahagia dengan hidup mereka dan tidak mengganggu orang lain, kenapa saya harus takut dan menghindarinya?”
Karena saya juga salah satu dari mereka, Pak Stefan.
Ingin rasanya mengucapkan kalimat itu agar Pak Stefan tahu, bahwa tidak mungkin aku seorang homophobic. Tapi, aku hanya diam. Apa pentingnya Pak Stefan tahu aku gay atau tidak? Akan lebih baik seperti ini. Jika Pak Stefan tahu aku gay, akan sulit bagiku untuk mengendalikan apa yang bisa terjadi diantara kami. Pikiran yang sangat bodoh dan sangat dangkal tentu saja. Tidak mungkin Pak Stefan tertarik dengan orang sepertiku. Yang ada justru sebaliknya.
Aku belum melupakan perasaanku terhadap Lukas, aku masih menyimpannya. Tapi, dengan berjalannya waktu, dengan aku mengetahui Pak Stefan adalah pria sepertiku, apakah ada jaminan yang pasti bahwa perasaan lain tidak akan tumbuh di hatiku terhadap Pak Stefan? Aku tidak mau membayangkannya. Memikirkannya saja sudah menjadi hal yang mustahil.
“Kamu mau saya tunjukkan koleksi piringan hitam saya, Satya?”
Pertanyaan Pak Stefan itu membuyarkan pikiranku. Aku kemudian tersenyum tipis.
“Boleh, Pak. Saya yakin, setelah ini, saya akan semakin jatuh cinta sama lagu-lagu lama.”
“Ayo!”
Kami kemudian beranjak dari taman belakang, tempat kami menghabiskan waktu selama hampir dua jam ini. Vila yang disewa Pak Stefan ini memang luas karena hanya ditempati Pak Stefan. Taman belakang langsung berhadapan dengan kolam renang dan ada dua pohon besar yang berada di pojok membuat taman belakang ini semakin rindang. Kami berjalan melewati dapur, ruang makan dan bar, yang memang terpisah dari bangunan utama, yang dihubungkan dengan pergola. Begitu sampai ke teras belakang, ada pintu kaca yang langsung menuju ke ruang tengah dan menyambung ke ruang tamu. Ada satu kamar di lantai dasar dan kesanalah kami menuju.
“Ini ruang koleksi saya, Satya. Semua benda peninggalan dari kakek sampai Papa, ada disini,” ucap Pak Stefan begitu kami memasuki ruangan yang aku yakin, ditujukan sebagai kamar tidur oleh pemilik vila, namun diubah Pak Stefan menjadi ruang koleksi.
“Saya tidak berani membayangkan ada berapa banyak lagi koleksi kuno yang Pak Stefan punya.”
Ruang ini dilapisi wallpaper berwarna coklat kayu dengan berbagai bingkai menghiasi dindingnya. Aku melihat beberapa foto keluarga, namun, ada beberapa foto musisi legendaris dipasang disana. Another The Everly Brothers picture dan Nat King Cole, ada gramofon yang berdiri di dekat rak yang berisi puluhan, bahkan mungkin ratusan piringan hitam. Beberapa benda yang aku lihat benar-benar membuatku serasa kembali ke masa lalu. Ada cermin berukuran cukup besar yang penuh dengan ukiran dan satu Grandfather Clock yang mengisi sebagian besar ruangan ini. Pak Stefan membiarkan lantai kayu yang ada, menambah kesan kuno pada ruang koleksi ini. Aku bahkan sempat melihat beberapa artikel yang dibingkai, yang jelas sekali, artikel itu berasal dari koran atau majalah lama.
“Kamu mau dengar apa, Satya? Koleksi piringan hitam saya memang nggak begitu lengkap, karena ada banyak yang masih saya tinggal di Belanda dan sebagian saya taruh di RETRO. Tapi, masih banyak juga yang saya simpan disini. Kamu mau dengar Nat King Cole?”
“Apa saja, Pak, saya yakin, saya pasti suka,”jawabku sambil menatap Pak Stefan yang tersenyum mendengar jawabanku.
Aku mengamati satu persatu foto yang ada di meja yang letaknya tidak jauh dari Grandfather clock. Ada begitu banyak foto hitam putih dan aku hanya menemukan beberapa foto berwarna. Pak Stefan memang menarik. Aku tidak bilang tampan karena kata itu hanya untuk menjelaskan kondisi fisik seseorang. Pak Stefan menarik. Aku melihat salah satu foto Pak Stefan, yang aku yakin, bersama kedua orang tuanya.
“Itu orang tua saya, Satya. Diambil sewaktu ulang tahun saya yang ke-30. Salah satu momen terbaik dalam hidup saya.”
Di foto itu, Pak Stefan tertawa sementara kedua lengannya merangkul seorang pria dan wanita berusia paruh baya, yang aku yakin adalah orang tua Pak Stefan. Aku tidak heran dari mana Pak Stefan mewarisi fisiknya. Ayah Pak Stefan, jelas adalah pria yang sangat tampan. Dengan rambut putih dan mata yang sangat biru dan garis wajah yang menurun ke Pak Stefan, tidak heran jika Pak Stefan menjadi pria yang menarik. Belum lagi, Ibu Pak Stefan, dengan wajah oval yang sangat Indonesia dan rambut sebahu serta senyum yang sangat kharismatik. Tidak mengherankan kalau mereka berhasil memiliki putra seperti Pak Stefan.
“Ini adik perempuan dan laki-laki saya, Satya. Mereka tinggal di Toronto dan Lyon sekarang. Sudah berkali-kali saya mengundang mereka untuk datang ke Bali, tapi mereka masih belum punya waktu.”
Aku hanya mengangguk melihat dua foto yang ditunjukkan Pak Stefan. Adik-adik Pak Stefan sama menariknya. Meski harus aku akui, adik laki-laki Pak Stefan jauh lebih tampan daripada Pak Stefan. Namun, bagiku, Pak Stefan tetap jauh lebih menarik.
“Orang tua Pak Stefan pasti bangga karena Pak Stefan begitu menghargai peninggalan dan kenangan-kenangan mereka.”
“Saya harap begitu, Satya. Itu kakek dan nenek saya, Satya. Lalu, itu foto Papa dan Mama sewaktu muda.”
Intro Unforgettable milik Nat King Cole membuatku tertegun, hingga Pak Stefan menatapku.
“Ada apa, Satya?”
“Saya suka lagu ini, Pak.”
“Everybody loves this song, Satya. Such a classic.”
Aku mengangguk. Pak Stefan kemudian menceritakan setiap benda yang ada di ruangan ini, bagaimana Kakeknya dulu, suka mengoleksi artikel-artikel dari koran tentang musik dan menurun ke Papanya. Aku merasa, setiap cerita yang aku dengar dari Pak Stefan, membuatku semakin mengenal pribadi Pak Stefan, meskipun tidak sekalipun kami membahasnya. Namun, dari cerita-cerita tentang keluarganya, aku semakin kagum dengan Pak Stefan, yang begitu menyayangi keluarganya dan menghargai sejarah keluarganya, sekalipun hanya benda-benda kecil seperti artikel-artikel koran itu. Beberapa kali, aku mengamati Pak Stefan ketika sedang bercerita dan rasa kagum itu menjadi semakin besar. Tidak banyak pria seperti Pak Stefan tersisa di dunia ini.
“Saya harap, kamu nggak bosan dengar cerita saya, Satya,” ucap Pak Stefan ketika menceritakan tentang bagaimana Kakek dan nenek Pak Stefan bertemu.
“Oh, saya justru senang mendengar cerita Pak Stefan dan saya sangat kagum dengan Pak Stefan yang begitu menjaga dan menghargai sejarah keluarga Pak Stefan.”
Pak Stefan tersenyum. “Dari dulu, saya memang tertarik dengan sejarah, Satya. Menjaga dan merawat benda-benda ini membuat saya bahagia.”
Kami kemudian duduk di sofa yang terletak tepat di samping gramofon, sementara Nat King Cole masih mengalunkan lagu yang tidak aku tahu judulnya. Suasana di ruangan ini begitu hangat. Mungkin karena semua benda-benda bersejarah serta cinta yang dimiliki Pak Stefan untuk sejarah keluarganya, yang membuat ruang ini memiliki atmosfir yang berbeda.
“Terima kasih untuk cerita-ceritanya, Pak Stefan. Ruangan ini benar-benar indah dan hangat.”
“Kamu tahu, Satya? Dari tamu-tamu yang pernah kesini, mereka nggak pernah bisa ada di ruangan ini lebih dari lima menit. Kamu orang pertama yang bisa bertahan disini lebih dari setengah jam dengan cerita-cerita saya. Orang lain mungkin akan mati bosan. Tapi, saya juga jarang menunjukkan ruangan ini ke setiap tamu yang datang.”
Aku menatap Pak Stefan dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin orang tidak tertarik dengan ruangan ini?
“Saya jadi merasa terhormat.”
Pak Stefan tertawa. “You’re different, Satya. Dan kamu dipersilakan untuk kapan saja datang kesini kalau kamu mau. Pintu rumah saya akan selalu terbuka untuk kamu. Ruangan ini selalu jadi tempat saya merenung. My mood booster.”
Tawaran yang baru aku dengar, membuatku tertegun. Apakah Pak Stefan berpikir aku akan dengan mudah datang kesini tanpa mengingat fakta bahwa kami tetaplah atasan dan bawahan? Sekalipun aku ingin, aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di rumah ini lagi tanpa undangan dari Pak Stefan.
“Saya akan ingat itu, Pak.”
Pak Stefan menepuk lututku dan sentuhan singkat itu, membuatku menahan napas.
“Kamu ada rencana apa, Satya? Keberatan kalau kamu tinggal untuk makan malam?”
Semuanya, ceritanya udah kelar ditulis nih Jadi, mulai sekarang, aku postingnya sesuka hatiku ya? hihihihi. Tinggal post ini doang. Ada sih re-writing, tapi dikit jadi, bulan depan kemungkinan udah kelar nih cerita dipost disini. After that, I want to take a long long long long break. Mungkin, aku nggak bakal post cerita panjang ampe tahun depan, maybe just once in a while ANTOLOGI nya diupdate
@masdabudd : Udah dibaca belooom????
@chandisch : kangen ya? Tunggu ya, aku coba panggilin Lukas dulu #eh
@Klanting801 : Ada apa dengan Lukas emangnya?
@yeltz : kan kayaknya dr pertama kamu gak (jarang) komen, jd, mana tahu aku mau dimention atau nggak? Aku kan nggak tahu kamu mau ngikutin cerita ini atau nggak
@Kim_kei : Ditunggu ampe kelar aja yah?
@kiki_h_n : Hahaha. gak sih, lagi pengen berbaik hati aja #eh. Pengen nggak punya tanggungan aja sih
@Adam08 : Hehehehe
@tialawliet : masak sih nambah? kamu tamabh-tambahin kali #eh #lho
@AhmadJegeg : Thank you
@nakashima : udah dimention kan?
@andhi90 : Idih, maunya kamu, hahahaha
@hwankyung69 : kenapa jebret?? lagi main ketapel yak? hihihihihi. Justru bayanganku jauh dari George Clooney
@Adra_84 : Since you brought that up, I feel the same way as you *dang!* Well, I believe, by the time this story is finished, readers will know what kind of person Satya is I hope so, ahahaha
@caetsith : Hahahaha. Kenapa gak rela?
@LordNike : WOW! Seriously? Beneran??? :-O
@arieat : Kit lihat saja nanti ya?
@Emtidi : Emang, imajinasi kamu kayak apa? Boleh dong dishare
@somewhereouthere : Bad feeling kenapa? hahahaha
@obay : Memang tujuannya itu sih dr awal, hahahaha
@yubdi : Kan dari percakapan Jake sama Stefan ketahuan kan? hehehe
@adam25 : good!
@RifqiAdinagoro : Wakakakakakak *terus jedot2in kepala ke tembok*
@DarrenHat : Exactly!
@kyiskoiwai : We'll see ya? We'll see...
@WinteRose : kenapa sih kok nggak suka sama Stefan? hihihihi
@DM_0607 : Ditunggu ya POV nya Lukas? Pasti ada kok. Dia akan muncul di saat yang tepat
@Venussalacca : Hahahahaha. Sebenernya ide cerita ini kan simple banget kan ya? And yes, apa yang Rena lakuin itu manusiawi banget
Colek2 siapa ya?
@the_angel_of_hell @rarasipau @steve_hendra @Klanting801 @honest @alvian_reimond @bebong @fenan_d @totalfreak @sky_borriello @chaliszz @bponkh @zackattack @st34dy @pokemon @iboobb7 @adzhar @yuzz @Adra_84 @cmedcmed @Zhar12 @marobmar @DiFer @YuuReichi @faghag
lukas nya mana bang abi ??
eh, bang abi jangan break kelamaan dong, kalo aku kangen ma ceritanya bang abi gimana ??
pnasaran, kok satya ga jujur sama stefan ya?