It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Mengapa kita selalu melakukan hal bodoh seperti ini?” tanya Luis, cowok dengan mata hijau zambrud dan berbadan tegap itu. “Kemarin kita berlima baru saja melakukan hal bodoh yang ditulis kertas itu!” Luis berjalan cepat di samping sahabatnya.
Sahabatnya menoleh cepat. “Karena kita memang sudah menyepakati hal ini. Kau tahu kan, permainan ini sudah dimainkan selama hampir tujuh tahun oleh siapapun yang pernah mengabdi di asrama ini. Kalau tidak ada permainan ini juga hidup kita sangat membosankan di asrama yang bodoh ini!” Andy meracau cepat.
Luis terkekeh. “Ya, aku sangat tahu hal itu,” ujar Luis sambil mendesah. “Hanya saja permainan ini konyol.”
“Tapi kan kita melakukan permainan ini hanya tiga kali saja. Setelah itu, permainan ini akan diserahkan pada junior kita.” Andy merapatkan jaketnya ketika angin semilir tiba-tiba berhembus.
“Aku mengerti!” seru Luis ikut merapatkan jaket kulitnya. “Tetapi ingatkah kau saat kertas yang pertama kali itu muncul dan dia menyuruh kita apa?”
Andy tersenyum lebar pada Luis. “Tentu saja aku ingat!” tutur Andy heboh. “Hal pertama yang kertas itu perintahkan adalah kita harus membuat tiga guru tidak tahan mengajar di kelas kita. Lalu hal kedua adalah kita harus membuat 5 grafiti disetiap sudut sekolah dengan tulisan ‘kepala sekolah brengsek, kuharap kau mati di neraka!’” Andy tertawa keras-keras ketika mengingat kedua hal itu.
“Dan, ketika kita mau membuat grafiti yang terakhir kita hampir saja ditangkap!” sergah Luis cepat. “Kau tidak akan mungkin tertawa sebesar ini jika kita tertangkap malam itu dungu!”
Tawa itu akhirnya berhenti. Wajah Andy mengernyit tidak senang. “Jangan panggil aku dungu!” seru Andy, mukanya berubah merah, marah. “Meskipun begitu, kita tidak tertangkap. Jadi kita bisa tertawa sebesar yang kita mau kan!”
Luis memutar bola matanya. “Lebih baik kita cepat!” ucap Luis, langkah kakinya makin cepat. “Kita akan di maki habis-habisan jika kita telat datang.”
“Ya. Aku setuju deganmu.” Andy juga ikut mempercepat langkahya.
Mereka berdua berjalan cepat ke arah auditorium sekolah mereka yang sudah tidak digunakan. Mereka menuju ke sana untuk berkumpul dengan teman-teman mereka lainnya dan untuk melaksanakan tatangan dari kertas uji keberanian yang mereka sudah mainkan sejak setengah tahun yang lalu. Permainan yang bisa dibilang permainan gila. Namun permainan itu cukup mengasyikan apabila yang memainkannya adalah anak-anak nakal seperti mereka.
Sayangnya, anak-anak nakal itu tidak tahu bagaimana permainan itu akan bekerja pada mereka. Karena permainan itu tidak mempunyai jalan kembali. Setelah diri sendiri setuju untuk mengikuti permainan itu, apapun permainan itu perintahkan. Siap-siap untuk dilaksanakan. Karena apabila tidak, pasti kesialan akan terus menghantui diri mereka masing-masing.
Andy mengetuk pintu auditorium dan mengucapkan cepat kata sandi agar bisa masuk kedalam.
Pintu itu tiba-tiba terbuka sedikit. Lengan Andy ditarik cepat. Begitu pula dengan lengan Luis. Setelah kedua anak itu sudah ada di dalam auditorium itu, mata mereka menangkap tiga sosok temannya. Yang sedang menatap mereka dengan tatapan mencela.
Cowok dengan rambut ke-emasan dan bermata biru pekat nan murni yang seperti air tertimpa sinar bulan itu menatap Andy dan Luis bergantian. Wajah persolennya menunjukan ke aroganan. “Mengapa kalian berdua telat?” tanyanya sedikit tajam, mata biru itu menyipit waspada. Mengamati wajah Andy dan Luis lekat-lekat.
Luis mendengus. “Karena kita biasanya kumpul pada jam sebelas malam. Sekarang masih jam sembilan. Kalau jam segini aku masih minum-minum di cafetaria sekolah.”
“Kalau aku pasti sedang bersiap-siap mengerjai seseorang,” cetus Andy cepat. “Sudahlah!” kata Andy sembari mengibaskan kedua tangannya, “santai saja Revie!”
Revie maju kehadapan Luis dan Andy masih sambil menyipitkan kedua matanya. “Aku sadar kok kalau kalian sering telat!” gerutu Revie sinis.
Andy dan Luis tertawa. Kedua orang yang berdiri di belakang Revie juga ikut tertawa. Mereka berlima lalu berjalan pelan ke arah ruangan kecil yang hanya diterangi oleh tiga lilin kecil. Ruangan yang cukup redup itu terlihat minimalis walaupun pencahayaannya sangat buruk. Sebagai ketua kawanannya, Revie mengambil kotak berwarna walnut itu di ujung rak lemari. Matanya yang biru melirik teman-temannya dengan semangat.
“Siap untuk tantangan baru?” tanya Revie tersenyum lebar.
Salah satu cowok berambut shaggy berwarna cokelat gelap dan menggunakan sweter yang bertuliskan ‘I ♥ SYDNEY’ berseru lantang. “Aku bahkan sudah tidak sabar lagi!”
“Shhhttttt!” pukul cowok yang berdiri tepat di belakang cowok berambut shaggy itu. “Kau bisa membuat kita ketahuan akibat seruanmu itu Tivo!”
Tivo tersenyum sinis. “Mereka tidak akan tahu kalau kita berlima sedang berkumpul di sini, idiot. Paling-paling yang membuat kita ketahuan adalah bau badanmu itu, Zink!” seru Tivo sengit.
Luis, Andy dan Revie tertawa pelan. Zink melirik tajam ke arah Tivo, “kau pikir itu lucu?” Zink menaruh kedua tangannya di pinggangnya. “Lebih baik bau badan daripada aku harus menjilat seseorang untuk melakukan hal rendahan!”
Gigi Tivo menggeretak. “Aku curiga apa maksud dari perkataanmu itu!” geram Tivo, matanya menyipit tajam.
Zink hanya menaikan pundaknya. “Pikir saja sendiri!”
“Oh, hentikan kalian berdua!” ujar Revie tajam, namun bibirnya tersenyum lebar. Karena melihat kedua sahabatnya bertengkar. Tivo dan Zink memang sangat sering bertengkar. Kapan pun dan dimana pun mereka pasti menyempatkan untuk berkelahi. Yah, atau bercek-cok. Apapun kalimatnya. “Kita di sini bukan untuk mendengarkan kalian berdua berkelahi!”
Andy mengambil kotak yang diapit oleh Revie. “Malam ini kita akan melihat tantangan apalagi yang akan kita dapat!” Andy mengocok kotak itu kuat-kuat. Suara kertas saling bergosokan terdengar dari dalamnya.
“Ayo, duduk melingkar!” suruh Revie pelan.
Mereka berlima lalu duduk melingkar. Menatap kotak yang sedang dipegang oleh Andy. Malam ini adalah malam penentuan permainan apalagi yang akan disuruh oleh kertas itu. Mereka berlima saling melirik. Andy menaruh kotak itu di tengah-tengah lingkaran. Tangan mereka berlima terangkat ke udara. Bersiap-siap untuk melakukan pengundian, siapa yang akan mengocok dan mengeluarkan kertas itu dari dalam kotak tersebut.
Setelah melakukan pengundian dengan cara mencabut nama mereka dari salah satu kertas yang sudah mereka siapkan dari sejak mereka pertama kali bermain. Hanya ada tiga kertas yang berisi nama. Dua nama sudah keluar sebelumnya. Zink dan Tivo. Dan malam ini nama yang keluar adalah… Luis. Berarti malam ini yang akan mengocok dan mengeluarkan kertas dari dalam kotak itu adalah Luis.
Revie mengangguk ke arah Luis. Dengan sigap Luis mengambil kotak tersebut dan mengocoknya kencang. Luis terus mengocoknya selama dua menit, sesuai tradisi dari permainan itu. Sambil menarik nafas panjang, Luis membalikan kotak itu dan menunggu satu kertas terjatuh dari dalamnya. Hampir satu menit Luis mengocok kotak itu. Tak satu kertas pun ada yang keluar dari dalamnya.
Saat hampir ke menit kedua, sebuah kertas berwarna perak jatuh dengan lugas ke lantai. Luis berhenti mengocok kotak itu. Mereka berlima menatap kertas itu dengan pandangan antara was-was dan berminat. Luis ragu-ragu untuk mengambil dan membuka kertas itu. Luis masih tidak ingin bermain permainan konyol ini. Ia mempunyai perasaan kalau tantangan dari kertas itu pasti sangat berbahaya. Luis tahu kalau tantangan yang diperintahkan kertas itu pasti bukan hal yang bagus. Karena Luis memang sangat jarang beruntung. Dalam segala hal.
Revie berdeham dan menatap Luis dengan tatapan bertanya. Luis tahu Revie bingung mengapa ia belum juga mengambil kertas itu. Biasanya setelah satu kertas telah keluar dan jatuh dari kotak itu, pasti yang mengocoknya akan langsung mengambilnya. Tidak seperti yang Luis lakukan sekarang. Hanya menatap kertas itu dan menunjukan wajah bimbang.
“Kau tidak akan membaca isinya?” seru Revie kemudian. “Kita tidak punya waktu semalaman di sini!” kata Revie sembari menatap Luis dengan tajam.
“Aku punya perasaan buruk tentang hal ini!” ujar Luis, nafasnya tak beraturan.
Revie memutar bola matanya. “Memangnya pernah ada hal bagus dari tantangan yang tertulis di kertas itu?” Revie berucap sinis. “Ayolah! Kita sudah melakukan dua hal bodoh tapi seru dari perintah kertas itu! Sekarang adalah malam terakhir kita untuk melakukan permainan ini!”
Luis mengangguk. “Baiklah!” sungutnya.
Pelan-pelan Luis mengambil kertas yang tergeletak itu dengan tangan kirinya. Suara nafasnya dan sahabat-sahabatnya terdengar dengan jelas. Kali ini tangan Luis bergetar sedikit. Beberapa selang lagi kertas perak itu akan diraih oleh Luis. Dua senti… satu senti… setengah senti… dan akhirnya kertas itu ada di tangan Luis. Jantungnya berdegup kencang sekali. Sampai-sampai yang bisa ia dengar hanyalah suara jantungnya yang mulai tidak berirama. Luis memejamkan matanya dan memandang semua sahabat-sahabatnya dengan khwatir.
“Bukalah!” perintah Revie.
Luis merobek kertas bagian atasnya yang di lem. Lalu dibukanya kertas itu sedikit-demi-sedikit. Ia tidak memandang kertas itu, melainkan ia hanya memandang sahabat-sahabatnya. Luis menyentakkan kertas itu dan akhirnya kertas itu terbuka sepenuhnya. Tetapi Luis masih belum punya kesiapan untuk membaca tugas yang surat itu perintahkan padanya dan ke-empat sahabatnya. Ia benar-benar belum siap menghadapi perintah dari kertas konyol serta tolol itu. Siapa sih yang membuat permainan seperti ini! Rutuk Luis dalam hati.
“Bacalah!” perintah Revie kembali.
Akhirnya Luis berani menundukan kepalanya. Ia menyipitkan matanya untuk membaca apa perintah kertas itu. Luis berdeham sebentar sebelum mengumumkan perintah dari kertas itu. “Selamat malam!” baca Luis dari kertas itu. “Salam hangat dari kami, komplotan geng anak nakal sedunia. Hari ini, kau sudah membuka satu kertas tantangan yang harus kau hadapi!” Luis kembali berdeham sebelum melanjutkan. “Dan tantangan heboh apa yang menantimu? Oh, aku yakin tantangan ini akan sangat seru. Karena kau mendapatkan tantangan yang harus kau lakukan, tantangannya yaitu…” Luis membelalakan matanya. Menatap hati-hati bacaan pada kertas itu. Mencoba mencari apa tulisan yang ditulis di kertas itu salah. Kepalanya menggeleng tidak percaya dengan apa kelanjutan dari perintah kertas itu. Ternyata tulisannya memang benar seperti itu adanya. Tantangan paling gila yang pernah ada.
“Apa kelanjutnya?” tanya Revie gusar, saat Luis tak kunjung bicara.
Luis mendongakkan kepalanya dan menatap sahabat-sahabatnya dengan raut wajah risau. “Aku yakin kalian tidak mau tantangan ini!” Luis berseru lantang.
“Sayangnya kita tidak bisa mengocok kertas yang lain! Itu peraturan dari permainan ini! Nanti apabila kita melanggar kita pasti akan sering mendapatkan kesialan!” cerocos Tivo cepat.
Andy berjalan jongkok ke arahnya. “baca sajalah!” perintah Andy pelan. “Permainan apa saja tidak penting! Yang penting keseruannya!”
“Aku yakin kalian tidak akan senang dan merasa seru dengan tantangan yang satu ini!” kata Luis dengan nada gusar. “Kuyakinkan kalian!” cetus Luis pasti.
“Baca sajalah!” teriak Zink, kesabarannya sudah habis.
Sambil menatap ke arah Zink dengan tatapan kelam, Luis akhirnya melanjutkan perintah dari kertas itu. “Tantangannya yaitu… tetapi tunggu dulu! Siapapun kau dan gelar apapun yang kau punya, kau harus menuruti permainan ini. Dan tantangan yang harus kalian hadapi adalah… berkencan dengan seorang lelaki dan melakukan hubungan seks dengannya!” Luis mendesah pasrah dan getir. “Terima kasih atas perhatiannya! PS. Semoga beruntung!” akhir dari kertas itu telah dibaca oleh Luis dengan nada miris.
Reaksi dari ke-empat cowok itu berbeda-beda. Ada yang menganga tak percaya. Ada yang tiba-tiba berhenti bernafas. Ada yang melotot sampai matanya ingin keluar dari tempatnya. Dan ada yang lupa bagaimana cara menggerakan dan membuat fungsi sarafnya berfungsi.
Luis menatap sahabat-sahabatnya dengan tatapan keras. “Kan sudah kubilang!” seru Luis.
Tidak ada yang berbicara. Ke-empat sahabatnya masih saja menunjukan semua reaksi-reaksi itu. Luis bangkit berdiri dan mengambil kotak itu. ditaruhnya kotak itu ditempat pertama kali Revie ambil. Lalu Luis membalikan badannya dan kembali menatap sahabat-sahabatnya dengan tatapan kerasnya.
“Tantangan apa itu!” Zink akhirnya berhenti menganga. Sekarang dia menangkupkan mulutnya. Tetapi matanya masih saja terlihat tak fokus.
“Tantangan gila!” seru Revie kencang.
Tivo berdiri tegap. “Aku tidak mau melakukannya! Tentu saja aku tidak akan mau melakukannya!” teriak Tivo sarkastis.
“Kau tidak bisa melakukan itu!” seru Andy. Membuat ke-empat cowok itu makin terkejut. “Kita sudah berjanji akan melakukan semua tantangan yang kertas itu perintahkan pada kita! Dan kita juga sudah menaruh darah kita di sepucuk surat perjanjian itu. Apabila kita melanggar janji itu kita akan mendapatkan kesialan! Aku yakin kesialan itu pasti sangat buruk!”
Zink berjalan mendekat ke arah Andy. “Kau benar!” setuju Zink. “Kita sudah melakukan perjanjian.”
“Aku tidak akan mau melakukannya!” seru Tivo makin keras. “Peduli setan dengan perjanjian yang telah kita buat! Itu paling-paling hanya omong kosong belaka!”
Revie menggeleng keras. “Itu bukan perjanjian omong kosong belaka!” pekik Revie dengan nada tajam. “Aku pernah dengar tiga tahun yang lalu, empat orang di sekolah ini meninggal karena kecelakaan mobil. Aku dengar rumor dari pemain tantangan ini sebelumnya bahwa mereka ber-empat mati karena tidak melakukan tantangan yang diperintahkan kertas itu!” Revie berdiri dengan susah payah. Dilapnya keringatnya dengan menggunakan lengan bajunya. “Mereka menolak melakukan tarian telanjang tepat di depan teman satu kelas mereka!”
“Tentu saja mereka menolak!” tutur Tivo cepat. “Orang bodoh mana yang mau melakukannya!” Tivo berjalan cepat ke tempat Luis berdiri. Berdiam diri di sana.
“Kita harus melakukan tantangan itu kalau begitu!” Zink bergumam pasrah.
Tivo memutar badannya cepat ke arah Zink. “Kalau begitu kau saja yang melakukan tantangan ini! Kau kan memang gay brengsek!” maki Tivo tanpa berpikir panjang. Dan karena makian itulah suasana makin mencekam. Sangat-sangat mencekam dan sangat kelabu. Tidak ada yang menghembuskan nafas sama sekali kecuali hembusan nafas Tivo yang kalut.
Zink berjalan garang ke arah Tivo. Andy menangkup Zink sebelum bisa meraih Tivo dalam gapaiannya. “Jaga bicaramu Fred!” seru Revie dengan nada mengancam.
“Maafkan aku Zink!” ucap Tivo sambil berjalan ke arah Zink. “Aku sedang kacau!” Tivo menyerahkan salah satu tangannya untuk dijabat oleh Zink.
Dengan cepat Zink menyambut jabatan tangan Tivo. “Ya, aku tahu. Kau memang selalu kacau setiap hari!” ucapan itu akhirnya membuat suasana di ruangan itu sedikit lebih menyenangkan. Mereka berlima tertawa dengan sangat lepas.
Revie mengambil kertas itu dari tangan Luis. Menatap kawanannya dengan mulut terkatup rapat. Mungkin permainan inilah yang akhirnya mempermainkan mereka. Revie sadar mereka telah dikerjai dengan permainan bodoh yang telah mereka mainkan ini. Ia seharusnya tidak perlu memainkan hal ini. Kalau mereka pingin membuat asrama ini dalam kekacauan, ia bisa melakukannya sendiri tanpa harus mengikuti permainan yang aneh ini.
Perasaan Revie memang sangat jengkel karena permainan gila ini. Tetapi hatinya yang lain merasa kalau tantangan yang kali ini dia hadapi cukup menantang. Bukan. Malah sangat menantang. Revie tahu permainan ini sedang mempermainkannya. Tapi Revie pasti akan menghadapi tantangan yang satu ini. Dan melihat siapa yang akan menang. Revie adalah seorang ambius dan tidak mudah menyerah pada hal-hal yang menantangnya. Ia yakin ia pasti bisa memenangi permainan ini. Ia yakin bisa mengencani seorang lelaki. Hanya saja ia ragu bagaimana cara melakukan hubungan seksnya.
Ia akhirnya memutuskan. “Kita akan menghadapi tantangan ini!” Revie akhirnya memutuskan. Menatap kawanannya dengan sorot mata yang tidak bisa dibantah. “Aku yakin ini tantangan yang memang sangat menantang. Kita mengikuti saja alur dari permainan ini. Aku yakin kita akan baik-baik saja!” Revie menarik nafas panjang. “Kita tidak perlu menyerah! Kalau kita memang tidak bisa melakukan permainan ini, aku yakin keadaan akan baik-baik saja. Tetapi kita jangan juga mundur!”
“Benar!” Andy menyetujui. “Aku ikut!”
Luis berjalan gontai ke arah Revie. “Aku juga ikut! Memangnya apa lagi yang harus aku lakukan. Akulah yang mengocok kotak itu!”
Zink menatap Andy, Luis dan Revie secara bergatian. Lalu ia menatap Tivo. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan aku perbuat!” ujarnya pelan-pelan. “Apabila orang tuaku sampai tahu aku melakukan hal gila seperti ini, aku yakin mereka akan membunuhku!” Zink membayangkan ketika orang tuanya mengetahui permainannya ini. Ia menggeleng keras. “Tetapi, aku ikut!”
Sambil menggeleng keras-keras, Tivo menatap sahabat-sahabatnya. “Aku sering menghina para gay!” akunya. “Sekarang akulah yang melakukan tindakan itu.” Tivo mendesah kasar. “Baiklah! Aku ikut!”
Akhirnya mereka berlima saling menatap was-was satu sama lain. Senyum masygul tertampil di wajah mereka masing-masing. Jantung mereka berdegup sangat kencang. Ruangan kecil itu bahkan semakin redup pencahayaannya. Tidak akan ada yang tahu bahaya atau mungkin hal indah yang akan mereka berlima hadapi. Hanya saja untuk saat ini, mereka berlima yakin hidup mereka akan baik-baik saja. Apakah benar begitu?
Karena mereka berlima tidak tahu tantangan apa yang akan mereka hadapi. Mungkin bicara memang sangat mudah untuk dilakukan. Namun tindakan tidak segampang omongan belaka. Mereka berlima tidak sadar, semakin tidak sadar, bahwa yang menanti mereka di depan sangat janggal dan sedikit aneh. Seharusnya mereka berlima tidak memulai permainan itu dari awal. Tetapi mungkin mereka memang patut untuk memulai permainan ini. Karena ada sebuah kebaikan dalam permainan konyol yang sedang mereka mainkan itu. Ada sebuah kisah dibalik permainan yang sedang mereka mainkan itu. Apakah itu? Kita lihat saja nanti!
Asrama Putra.
Bathevelion Senior High School, Sydney, Australia.
Pembaca yang budiman, cerita ini akan kita buka dari sang lelaki yang pertama kali muncul dalam cerita ini. Lelaki itu yaitu: Luis Lermen.
Pagi harinya, Luis bangun dengan kepala yang mulai berdenyut-denyut menjengkelkan. Untuk membuka kedua matanya saja sangat sulit. Apalagi untuk bangkit dan bersiap pergi ke kelasnya yang ada di jadwalnya hari ini. Ia sungguh tidak sanggup. Tetapi ia sadar, ia tidak mungkin tidak menghadiri kelasnya hari ini. Sudah dua pelajaran dia ketinggalan jauh. Trigonometri dan Astronomi. Hari ini kedua pelajaran itu ada di jadwalnya.
Dengan susah payah Luis memperintahkan otaknya untuk membangunkan saraf-saraf dalam dirinya yang masih enggan untuk bekerja. Sambil mendesah panjang Luis menggerakan badannya dan tangannya secara perlahan-lahan. Akhirnya dengan usaha yang keras, saraf-saraf dalam dirinya mau juga disuruh untuk bergerak. Luis membuka kedua matanya dan mendapati cahaya matahari menembus dari jendela yang ada di hadapannya.
Tadi malam adalah malam yang paling mengerikan yang pernah ia dapat. Apalagi kenyataan yang harus dia hadapi sekarang. Entah apa bisa Luis melaksanakan tantangan konyol yang sangat brengsek itu! Luis tidak yakin bisa melaksanakan tugas itu dengan baik. Luis cowok normal. Ia menyukai lawan jenisnya. Ia tidak bisa mengencani seorang cowok. Bagaimana mungkin ia bisa berhubungan dengan seorang cowok. Memikirkan hal itu saja sudah membuat Luis bergidik geli.
Luis Lermen. Cowok sehat dan bugar. Mempunyai satu kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Hidup di keluarga yang cukup menyenangkan. Pernah mempunyai pacar cewek sebelumnya. Tidak pernah berpengalaman sama sekali dengan dunia penyuka sesama jenis. Tidak pernah melanggar peraturan sekolah—maksudnya tidak pernah ketahuan kalau ia melanggar peraturan sekolah. Luis juga orang yang sangat cerdik. Ia ikut di klub Kriket. Ia bahkan kaptennya. Tidak mungkinkan ia merendahkan dirinya dengan mencari pasangan kencan seorang cowok. Pamornya pasti akan jatuh jika ia sampai ketahuan berkencan dengan seorang cowok. Luis bahkan tidak pernah membayangkan dirinya berkencan dengan cowok.
Setelah selesai mandi, Luis bersiap-siap pergi ke kelas yang ada di jadwalnya hari ini. Dengan rambut yang masih sedikit berantakan Luis pergi meninggalkan kamarnya dan melangkah cepat ke kelasnya. Jarak dari asrama cowok sampai ke sekolah adalah sekitar tiga ratus meter. Luis sudah dua tahun setengah tinggal di asrama ini. Pertama kali ia datang adalah saat ia memasuki tingkat pertama senior high school. Hanya setiap musim panas dan musim dingin saja ia pulang ke rumahnya dan berkumpul dengan keluarganya.
Ketika Luis sudah berada di luar asramanya, ia sudah dihadang oleh Zink. Wajah cowok itu memerah karena kedinginan. Ini musim gugur. Beberapa minggu lagi akan hadir musim dingin. Jadi, cuaca diluar sangat dingin. Angin berhembus. Kadang hanya semilir biasa. Namun kadang juga angin yang lumayan kencang. Daun-daun yang berguguran jatuh disetiap jalanan. Membuat pemandangan sedikit tidak enak dipandang.
“Aku hampir mati kedinginan menungguimu” tutur Zink, merapatkan jaket sekolah khusus yang diberikan pada setiap murid yang masuk ke Bathevelion. “Andy, Revie dan Fred, mereka pergi duluan. Hari ini mereka ada kelas pagi.”
Luis melirik sekilas ke Zink. “Maafkan aku membuatmu menunggu phral!” ujar Luis pelan. “Seharusnya kau berangkat duluan saja dengan yang lain!”
Mata Zink yang amber itu menyipit ke arah Luis. “Apakah kau lupa bahwa kau menyuruhku untuk menungguimu agar kita bisa sama-sama pergi ke kelas Astronomi?” tanya Zink kemudian. Jari-jari tangannya makin merapatkan jaket sekolah itu ke seluruh badannya. Angin yang cukup keras berhembus. Membuat beberapa daun berguguran.
“Benarkah?” kernyit Luis bingung.
“He-eh!” terdengar Zink mengiyakan.
Setelah itu perbincangan di antara mereka berdua terhenti sementara. Luis mengapit tas ranselnya dan terus menetap ke depan sambil memikirkan hal yang terjadi tadi malam. Seberapa pun Luis ingin menghilangkan pikiran tentang hal itu, semakin kental juga ingatan itu di dalam sisi terbaik memorinya. Luis sudah berkali-kali untuk mencoba melupakan tantangan yang diberikan kertas itu sedari ia meninggalkan auditorium. Sayangnya tantangan itu malah terus tumbuh didalam otaknya. Seberapa pun usahanya mengenyahkan hal itu dari kepalanya.
Beberapa langkah lagi Luis sampai di kelas Astronominya. Menurut Luis pelajaran itu adalah pelajaran yang paling membosankan yang pernah ia pelajari di sekolah elit ini. Bayangkan saja! Apa gunanya melihat bintang di langit dan membaca perhitungannya. Opini Luis, lebih baik bintang itu dibiarkan saja di sana. Siapa juga yang peduli dengan rasi bintang dan omong kosong lainnya itu. Toh, tidak ada untungnya juga membaca arti dari rasi-rasi bintang itu. Yah, walaupun Mrs. Vernon—guru Astronomi Luis—berpikir sebaliknya.
Luis membuka pintu kelas itu dengan wajah muram. Zink berjalan mengikuti di belakangnya. Menyolek pundak Luis pelan. Dengan susah payah, Luis membalikan badannya dan menatap wajah Zink dengan salah satu alis yang terangkat.
“Lihat seisi kelas ini!” perintah Zink ringan. “Apa dari mereka semua tidak ada yang kau incar?” Luis menatap Zink tidak percaya. “Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Zink mengenyitkan wajahnya.
“Kau bercandakan?” tanya Luis sembari melangkah cepat ke tempat duduk yang sering ia tempati. Perlahan, Luis menarik kursi itu dan menjatuhkan bokongnya. Mendesah keras dan kembali menatap Zink dengan mata yang disipitkan.
Zink duduk disebelah Luis. Menaruh tas ranselnya di atas meja dan mengeluarkan buku catatannya. “Tidak!” ucap Zink kemudian. “Tidak ada salahnya kan kita menimbang-nimbang orang-orang yang ada di kelas ini?”
“Zink!” tegur Luis skeptis. “Kau tidak benar-benar akan melakukan tantangan itukan? Kumohon, katakan tidak!” Luis menatap Zink intens.
Zink menaikan pundaknya. “Aku tidak tahu. Seperti kata Revie, aku hanya mengikuti alur tantangan dari permainan yang ternyata menjebak kita ini!” Setelah berkata seperti itu, Zink mendelik ke cowok yang duduk disebelah kanannya. “Hai, Jacob!” panggil Zink dengan suara yang dibuat merdu. “Apa kabarmu hari ini?” Zink tersenyum sok manis pada cowok bernama Jacob itu. Sehingga cowok yang bernama Jacob itu menatapnya.
Luis melirik Jacob dan Zink bergantian. Bibirnya tersenyum geli melihat tingkah Zink yang konyol. Cowok yang bernama Jacob itu membalas senyuman Zink. Luis mengerutkan keningnya, bengong melihat tingkah laku Zink dan Jacob yang aneh. “Aku baik-baik saja!” jawab Jacob masih tersenyum ke arah Zink. “Terima kasih sudah bertanya. Kalau kau, bagaimana?”
“Seperti yang kau lihat! Aku baik-baik saja.” Zink menjulurkan kepalanya ke dekat Jacob. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
Jacob melontarkan tatapan ingin tahu. “Apa itu?”
Entah apa yang merasuki Zink, tetapi Luis yakin Zink mengucapkan kalimat mengerikan itu. “Maukah kau berkencan denganku?” tanya Zink ke Jacob sembari tersenyum lebar. Luis memutar cepat badannya dan menatap Zink tak percaya. Lalu Luis mengalihkan tatapannya ke arah Jacob. Semoga cowok itu tidak berpikir yang macam-macam. Meskipun Luis yakin cowok itu pasti berpikir yang macam-macam. Cowok normal mana yang tidak akan berpikir seperti itu jika diajak kencan oleh sesama cowok.
Namun yang makin membuat Luis tak percaya adalah jawaban Jacob yang sangat mengejutkan. “Tentu saja!” Luis menatap Jacob dengan mata melotot. “Bagaimana kalau kita pergi makan malam ke Blue Mountain?”
“Wow!” seru Zink dengan nada dibuat senang. “Baiklah. Jam tujuh malam!”
Jacob hanya mengangguk dan kembali melanjutkan membaca buku yang dipegangnya. Luis menatap Jacob dengan pandangan antara tak percaya dan tercengang. Luis memajukan badannya dan bergumam cepat pada Jacob. “Apakah kau gay?” tanya Luis pada Jacob sambil menaikan sebelah alisnya.
Yang ditanya menoleh dan tersenyum lazim. “Tidak!” ujar Jacob, “Memangnya kenapa kau bertanya?”
Luis tersenyum sinis. “Karena kau mau berkencan dengan Zink. Kau sadarkan dia itu seorang cowok.”
Jawaban yang diberikan oleh Jacob hanya sebuah anggukan kepala.
“Lalu kenapa kau mau?”
“Aku tidak pernah berkencan dengan siapun sebelumnya” ucap Jacob hangat. “Mungkin ini bisa jadi salah satu kesempatanku untuk mempunyai pengalaman tentang hal berkencan. Jadi, untuk kencanku yang selanjutnya, aku tidak akan kikuk.” Jacob kembali membuka bukunya dan kembali membaca dengan serius.
Luis mengalihkan perhatiannya pada Zink. Menatapnya Zink dengan pandangan bertanya-tanya. Luis sangat bingung dengan jalan pikiran Zink. Bisa-bisanya ia mengajak seseorang berkencan tanpa memikirkan dulu apa akibat yang akan ia dapat jika sampai ketahuan oleh orang-orang yang sekolah di sini. Apalagi jika sampai didengar oleh kepala sekolah. Ia pasti akan dikeluarkan dari sekolah ini. Bahkan akan ditendang dari asrama tempat kami tinggal. Selain itu pasti ia akan dibunuh oleh orang tuanya jika sampai ia ditahu kalau ia diusir dari sekolah karena berkencan dengan laki-laki. Bukankah tadi malam ia bilang begitu saat setuju akan ikut dalam tantangan konyol itu?
Zink baru saja ingin membuka mulutnya ketika Mrs. Vernon memasuki kelas. Dengan berat hati Luis menerima kenyataan bahwa ia harus menunda mendengar pernyataan Zink. Luis sangat penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh Zink nanti. Kenapa Zink mau mengikuti perintah dari tantangan kertas itu. Luis tahu sih mereka berlima sudah berjanji akan menepati semua tantangan yang kertas itu akan berikan. Mereka berlima juga sudah setuju akan mengikuti alur dari permainan itu. Hanya saja Luis tidak bisa seblak-blakkan Zink. Luis tidak yakin ia bisa menghadapi permainan ini. Ia sangat tidak yakin.
***
“Kalau aku sih sudah berusaha untuk mengikuti alur permainan ini!” ungkap Andy saat mereka berlima berkumpul di cafetaria sekolah yang setiap menitnya makin dipenuhi murid yang lain. “Sayangnya aku masih tidak bisa. Tak satupun dari semua cowok yang ada disekolah ini membuatku terpesona! Bahkan aku tidak berminat dengan mereka sama sekali!”
“Karena memang sangat sulit untuk melakukan tantangan brengsek itu!” seru Tivo dengan wajah cemberut. “Aku bahkan tidak bisa membayangkan berkencan dengan salah satu dari cowok-cowok yang ada di sini!” Tivo mengambil kentang goreng yang ada di nampan Luis dan memakannya dengan cepat. Luis yakin Tivo pasti sangat frustasi.
Revie mengelus punggung Tivo perlahan. “Ayolah, dude! Permainan ini memang sedang mempermainkan kita!”
“Tapi tidak sebrengsek ini!” cerca Tivo.
Luis menatap Tivo dengan tatapan bingung. “Kalau kau se-frustasi itu, mengapa kau mau ikut dalam permainan ini?”
“Karena aku sudah berjanji dan menyetujui permainan ini dengan kalian!”
Luis tertawa. “Sudahlah! Santai saja!”
“Aku sudah mencobanya dan gagal!” Tivo kembali memakan kentang goreng dengan sangat lahap. Luis dan yang lainnya hanya tertawa kecil melihat tingkah Tivo yang konyol itu. Luis tahu kalau Tivo paling tidak bisa melaksanakan perintah dari permainan ini. Tivo adalah cowok kasar yang sangat suka menghina para gay. Ia sudah berkali-kali membuat masalah dengan para gay. Ia tidak pernah jera meluncurkan aksi ‘anti gay’nya itu.
Tivo menggadah ke arah Revie. “Bagaimana denganmu Revie?” tanyanya dengan masih menampilkan wajah frustasinya itu.
Revie mendesah kasar. “Aku tidak tahu. Memangnya apa yang harus aku lakukan?”
“Apakah kau bisa mengemban tantangan permainan konyol ini?”
“Aku akan mencobanya. Semoga saja tuhan memberikan jalan yang terbaik buatku!” Revie mengambil minumannya dan menyendotnya dengan tatapan yang masih menyangkut di wajah Tivo. “Aku tahu ini mungkin berat buatmu Fred. Tetapi ingat perjanjian yang telah kita buat! Kita sudah tidak bisa mundur sekarang. Sebagaimanapun caramu menghindari permainan ini, dia akan terus menghantuimu. Dia bahkan menanamkan sifat buruk pada kita!”
Luis menjatuhkan biskuitnya. “Kurasa kau benar Revie!”
“Memangya kapan sih aku salah dalam menghipotesis sesuatu?” tanya Revie sembari tersenyum bercanda pada Luis dan yang lainnya.
“Tidak pernah!” ujar Luis dengan suara serak.
Mata Revie yang biru itu menatap Luis hati-hati. “Memangnya kau begitu?” Revie menopang dagunya di tangannya. “Apakah permainan ini sudah membuatmu gila? Atau dia sudah menanamkan sifat aneh ke otakmu?”
Luis menggeleng menjawabnya. “Bukan aku. Tapi dia!” tunjuk Luis ke arah Zink yang sedaritadi tidak membuka mulutnya sama sekali.
Yang ditunjuk hanya menaikan sebelah alisnya dan menatap ke-empat sahabatnya dengan tatapan, ‘memangnya apa yang telah kuperbuat?’. Yah, semacam itulah. Zink memang orang yang sedikit santai dalam menghadapi dunia. Meskipun ia hidup di keluarga yang sangat alim dan ia sering dikekang melakukan apapun. Zink tetap tenang menghadapi dunia yang ada di hadapannya. Ia bahkan paling senang dengan hal-hal gila yang akan terjadi. Seperti itulah cowok yang satu itu.
“Memangnya kenapa dengan Zink?” tanya Revie kepada Luis.
“Tanyakan langsung saja padanya?” tutur Luis.
Tivo, Revie dan Andy memutar badan mereka untuk berhadapan langsung dengan Zink. Yang ditatap hanya mengenyit bingung. Zink masih belum juga membuka mulutnya ketika ketiga sahabatnya menatapnya begitu tajam. Zink memang paling bisa kalau menyimpan sebuah rahasia. Ia paling tahan kalau ditatap sebigitu intensnya. Zink adalah cowok cerdik namun indolen yang pernah Luis tahu. Serta Zink adalah sahabat yang paling setia yang pernah Luis kenal. Hanya saja sifat paling tidak Luis senang dari Zink adalah sifat yang terbukanya itu. Membuat ia jadi sedikit agak tidak mempunyai karisma.
Luis tahu yang paling sinis di antara mereka berlima adalah Revie. Cowok itu kalau sudah berbicara, pasti akan bisa membuat orang sakit hati. Meskipun begitu Revie orang yang kuat. Tidak pantang menyerah dan suka membantu sahabatnya kalau sedang dalam masalah. Sifatnya yang seperti pemimpin itulah yang membuat ia menjadi ketua di kawanan mereka. Luis tidak pernah tahu kapan mereka berlima mengutuskan untuk menjadikan Revie ketua. Semuanya berjalan seperti adanya. Mereka berlima menjadi sebuah kawanan juga karena sebuah kebetulan. Saat pertama kali Luis bersekolah dan tinggal di asrama khusus cowok tersebut, Luis mendapatkan kamar dengan Andy, Tivo, Zink dan Revie. Setelah itu mereka sering berjalan bersama. Dan semua orang yang tinggal di asrama dan disekolah itu menganggap mereka adalah geng. Jadi, terbentuklah mereka.
“Ugh!” erang Tivo. “Ayolah, Zink! Bicara!”
Zink menatap Luis dengan sorotan tajam. “Kau saja yang beritahu mereka!” perintah Zink. “Mengapa harus aku yang menjelaskannya? Kan kau yang memberitahu mereka!”
“Baiklah!” Luis akhirnya membuka mulutnya. “Begini, setan kecil satu ini ternyata memang orang paling blak-blakkan yang pernah aku tahu!”
“Kau kok baru menyadarinya ya?” potong Tivo.
Luis tidak menghiraukan Tivo. “Tadi,” lanjut Luis, “saat kami berada di kelas Astronomi—kalian kenal dengan Jacob kan?” tanya Luis pada ketiga sahabatnya. Setelah melihat ketiga sahabatnya mengenyit bingung, Luis menjelaskan. “Cowok yang pernah membuat Mrs. Dreak hampir keluar dari sekolah ini!” akhirnya ketiga sahabatnya mengangguk tahu. “Nah, saat aku dan Zink masuk kelas Astronomi. Dia ada di sana. Duduk tepat disebelah kanan Zink. Dan, si setan ini dengan santainya mengajak Jacob berkencan dengannya!” semua raut wajah disitu tercengang tak percaya. “Yang paling gilanya lagi, si Jacob ini mau berkencan dengannya,” tunjuk Luis ke arah Zink, yang ditunjuk malah hanya menaikkan pundaknya tak peduli.
Yang pertama kali sadar adalah Andy. “Kalian akan berkencan?” tanya Andy ke Zink.
“Makan malam di Blue Mountain, jam tujuh malam” jelas Zink.
Revie melempar Zink dengan kentang goreng. “Kau itu gila!”
Zink tersenyum sinis. “Aku tahu! Tapi akukan mengikuti alur dari permainan ini!” Zink membela dirinya. “Lapipula, ini hanya kencan. Aku bisa kok menganggapnya kalau aku tidak sedang berkencan nanti malam. Melainkan hanya jalan-jalan dengan teman kelas Astronomiku.”
Tivo mulai menggelengkan kepalanya. “Aku tidak percaya kau akan melaksanakan permainan ini!” Tivo berbicara secara hati-hati. “Kau adalah orang yang paling sering berpikir rasional di kawanan ini. Kenapa kau yang malah memulai hal tidak masuk akal itu?”
“Karena aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan Fred. Aku hanya mengikuti alur dari permainan ini. Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal-hal aneh dengan Jacob. Aku yakinkan kalian juga aku tidak akan membuat kekacauan. Aku janji.”
Luis dan yang lainnya hanya mengangguk setuju. Tidak tahu apa lagi yang harus mereka perbuat. Permainan ini memang membuat mereka menjadi sedikit agak gila. Dan sulit untuk berpikir masuk akal. Mereka berlima sadar. Seharusnya dari awal mereka tahu kalau mengikuti permainan konyol ini akan berbahaya untuk diri mereka sendiri. Sayangnya, mereka tidak berpikir seperti itu saat pertama kali membuat perjanjian dengan permainan ini. Karena saat itu mereka semua hanyalah anak-anak bodoh. Yang tak pernah berpikir dulu sebelum bertindak.
Saat suasana di antara mereka tak kunjung membaik. Luis mengangkat badannya dan meraih tas ranselnya dengan cepat. “Aku mau ke klubku dulu, guys!” seru Luis, memecahkan keheningan yang sedaritadi terjadi.
Sahabat-sahabatnya hanya mengangguk. Luis berjalan cepat menuju ke ruangan klubnya. Hari ini adalah hari yang paling aneh yang pernah Luis alami. Sahabatnya yang bernama Zink itu akan kencan dengan cowok. Astaga! Ia tidak akan pernah tahu kalau kawanannya akan menjadi seperti ini. Nanti giliran siapa lagi yang akan kencan dengan cowok. Luis berharap bukan ia yang selanjutnya.
Apapun yang terjadi Luis tidak akan pernah mau mengencani seorang lelaki. Memikirkan hal itu saja ia tidak sanggup. Sepertinya Luis sudah pernah berpikir hal itu. Tetapi ia suka memikirkan hal itu terus menerus. Agar jalan pikirannya tetap waras dan rasional. Benarkah itu? Seperti kata mereka. Ikuti saja alur dari permainan ini.
Setelah sampai di ruangan klubnya. Luis mengganti seragam sekolahnya dengan seragam khusus pemain Kriket. Ia menggantinya dengan sangat lamban. Ia tidak bernafsu untuk latihan Kriket hari ini. Meskipun tim mereka dua minggu lagi akan bertanding di kejuaraan nasional. Luis benar-benar sedang tidak dalam kondisi untuk melatih dirinya saat ini. Pikirannya hanya dipenuhi dengan tantangan dari permainan itu. Sudah hampir sembilan jam ia mencoba mengenyahkan pikiran tentang tantangan itu, sayangnya ia tidak bisa sama sekali. Tantangan itu selalu terngiang di telinganya.
Suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Luis berpaling pelan dan menatap hati-hati ke arah pintu. Suara langkah kaki itu makin mendekat. Luis tidak pernah bereaksi seperti ini sebelumnya. Luis yang dulu pasti tidak peduli jika ada yang datang ke ruangannya. Namun Luis yang sekarang sedikit beda. Karena ia selalu waswas dengan siapa saja yang datang menghampirinya. Mungkin itu karena ia takut untuk mendekat ke cowok lain, takut kalau ia akan berubah seblak-blakan Zink. Ia tidak mau mengajak seorang cowok kencan. Ayolah! Bentuknya pasti sangat mengerikan.
Pintu dobel itu terbuka lebar. Luis menyipitkan matanya dan melihat Jamie—teman satu klubnya serta wakil kapten Kriket menatapnya dengan alis terangkat tinggi. “Kita disuruh berkumpul di ruang depan! Ada rapat di sana!” beritahu Jamie dengan nada sinisnya.
Respon Luis hanya sebuah anggukan. Ia sedang tidak ingin menyahuti perkataan Jamie yang sarat dengan nada sinis itu. Luis sangat tahu kalau Jamie membenci dirinya. Karena Luis menempati jabatan kapten Kriket. Jamie sangat ingin jabatan itu. Sayangnya ketika pemilihan kapten, Jamie gagal karena kebodohannya sendiri. Jadi yang menempati jabatan itu sekarang adalah Luis. Tetapi, sebenarnya, ini adalah pertandingan terakhir yang akan Luis lakukan. Karena ia sudah berada di tingkat akhir senior high school. Kebijakan sekolah apabila sudah berada di tingkat akhir, semua kegiatan yang di ikuti harus diberhentikan agar bisa konsentrasi pada pelajarannya. Supaya bisa lulus dengan nilai yang baik. Meskipun enggan berhenti dari kegiatan Kriket, Luis tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan langkah cepat, Luis meninggalkan ruangannya. Masih dengan raut wajah yang sedang dalam kondisi buruk serta pikiran yang melayang kemana-mana. Dari ruangannya sampai ruang depan—atau yang bisa disebut ruang utama klub Kriket—mempunyai jarak sekitar enam puluh meter. Luis sudah sering bolak-balik dari ruangannya ke ruangan depan. Celakanya, entah kenapa Luis sudah merasa lelah. Padahal ia baru setengah perjalanan.
Luis membuka pintu ruang depan itu dengan perlahan. Setelah ia memasuki ruangan itu, ia melihat satu timnya sedang duduk rapi di hadapan pelatih mereka. Mr. Swan.
Mr. Swan mengalihkan tatapannya dari para anak didiknya ke Luis. Mr. Swan berdeham pelan dan tangannya yang besar itu terayun pelan. Menyuruhnya untuk mendekat. Dengan berat hati Luis menuruti perintah Mr. Swan. Teman-teman satu klubnya menatapnya dengan tatapan yang bermacam-macam. Ada yang merendahkan. Ada yang tidak suka. Ada yang mengaguminya.
Namun Luis tidak peduli dengan semua tatapan itu, Luis hanya terus berjalan menuju ke arah pelatihnya. Setelah ia sampai di samping pelatihnya. Sang pelatih bergumam cepat, “Hari ini kita akan kedatangan pelatih baru untuk kalian!”
Luis membelalakan matanya dan menatap Mr. Swan. “Apa kau akan berhenti jadi pelatih kami?” tanya Luis kemudian.
Mr. Swan menggeleng. “Tidak!” tuturnya, matanya menatap tajam ke Luis. “Pelatih ini khusus datang hanya untuk mengajari kalian beberapa tekhnik-tekhnik sulit yang tidak pernah kuajari ke kalian. Dia hanya kita gunakan sampai kalian selesai bertanding di kejuaraan nasional saja!”
“Kalau boleh tahu, apakah orangnya sudah datang ke sini, sir?” tanya salah satu tim Kriket.
“Iya” sahut Mr. Swan cepat. “Dia adalah alumni pemain Kriket terbaik tahun 2009. Aku yakin kalian kenal dia. Namanya dipajang di pemain terbaik sepanjang tahun.”
Jamie mendongakkan kepalanya dari buku catatannya dan berucap pelan, “Austin Stodell?”
Mr. Swan mengangguk. “Benar sekali. Dia sekarang berada di Universitas yang tepat disebelah sekolah kita. Walaupun dia mengambil jurusan hukum di Universitas itu, tenang saja, dia masih aktif di kegiatan Kriket.” Mr. Swan menepuk pundak Luis pelan. “Selain itu, aku juga ingin memberitahu kalian bahwa setelah pertandingan nasional nanti, kita akan mencari kandidat baru untuk menempati jabatan kapten.”
Semua anggota tim itu bersorak kencang. Luis memutar bola matanya, malas. Ia tahu teman-teman satu timnya tidak terlalu senang dengan cara Luis memimpin. Menurut teman-teman satu timnya, Luis itu adalah kapten yang paling tegas dan teliti. Memangnya hal seperti itu salah. Tidak. Luis rasa tidak. Hanya saja teman-teman satu timnya tidak berpikir seperti itu. Karena Luis yakin, sifat manja teman-teman satu timnya masih tertumbuk di dalam diri mereka semua. Luis sudah berusaha membuat timnya menjadi lebih baik, namun hasilnya nihil. Untung saja pertandingan nasional tahun kemarin mereka tetap meraih juara.
“Namun sebelum itu,” Mr. Swan mengalihkan tatapannya ke arah Luis, “apakah kapten kita ingin mengucapkan beberapa kata perpisahan?”
Luis kembali memutar bola matanya. “Aku masih dua minggu lagi menjabat jabatan ini, sir” tutur Luis sabar. “Aku akan mengucapkan kata perpisahan apabila waktunya sudah tiba.” Luis tersenyum sinis pada pelatihnya. Lalu menatap teman-teman satu timnya dengan sorot mata tajam. Luis cukup jengkel dengan sifat teman-teman satu timnya yang sangat senang ketika mereka mendengar pengumuman bahwa ia tidak akan lama lagi menyandang gelar kapten. Luis sudah menyiapkan hukuman yang tepat untuk teman-teman satu timnya.
“Ya, kau benar. Maafkan aku!” ujar Mr. Swan tulus.
Lalu suasana ruangan itu cukup ramai. Sampai suara langkah kaki tegas terdengar dari balik pintu. Semua mata menuju ke arah pintu itu. Tak seberapa lama kemudian, seorang cowok tinggi yang masih cukup muda—sangat muda malahan, dengan badan atletis yang memang mencerminkan seorang pemain Kriket, muncul di hadapan tim Kriket yang akan ia latih. Wajah cowok itu sangat mencerminkan ketegasan. Matanya juga terlihat waspada dan awas. Semua tim Kriket itu langsung terdiam begitu mata cowok itu menatap tajam ke arah mereka semua. Hanya Luis yang menatap malas ke arah cowok yang akan jadi pelatihnya nanti.
Mr. Swan merangkul pundak calon pelatih mereka itu. “Ini dia orang yang akan melatih kalian selama dua minggu ke depan!” teriak Mr. Swan lantang. “Jadi, aku akan memberikannya waktu untuk mengenalkan dirinya pada kalian.”
Cowok itu berdeham sebentar lalu berucap dengan nada tegas yang sangat kental. “Selamat sore, untuk kalian. Kuharap kalian dalam keadaan yang baik. Namaku Austin Stodell. Dan aku akan menjadi pelatih kalian sampai dua minggu ke depan. Apakah ada yang ingin bertanya sesuatu padaku?”
Jamie mengangkat tangannya. Austin mengangguk pada Jamie sebagai tanda mengiyakan. “Hari apa saja kami harus latihan?”
Tersenyum samar, Austin maju selangkah dan menatap tim itu dengan pandangan merendahkan. “Menurut kalian, hari apa saja kita akan latihan?” Austin menatap tajam semua tim Kriket itu. Jeda panjang terbentang di antara Austin dan para tim Kriket itu. “Tidak ada yang ingin menjawabnya?” tanya Austin masam.
Akhirnya Luis mengangkat tangannya. Austin mengangguk pada Luis, mengiyakan. “Hanya hari selasa, rabu dan jum’at” tutur Luis skeptis.
Seketika itu juga Austin menatap Luis dengan tatapan tidak suka. “Siapa namamu?”
“Luis Lermen. Dia kapten tim Kriket ini.” Yang menjawab adalah Mr. Swan.
Austin melirik Mr. Swan runcing. Hanya sebentar saja, tetapi. “Mr. Lermen, kenapa kau berpikir kita latihan hanya ketiga hari itu saja?”
Luis menjawab pertanyaan itu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Karena kami butuh istirahat dan merilekskan otot-otot kami, sir.”
“Kau tidak membutuhkan itu!” seru Austin perseptif. “Jika kalian ingin menang kalian harus berlatih setiap hari!”
“Kami mempunyai kehidupan diluar sana, sir” debat Luis tak mau kalah. “Sebagai kapten dari tim ini, aku merasa keberatan dengan apa yang barusan kau katakan. Mungkin kau tidak mempunyai kehidupan sosial diluar sana. Namun kami punya,” semua orang yang ada di ruangan itu terbelalak kaget. Menatap Luis dan Austin secara bergantian.
Berjalan pelan ke arah Luis, Austin mencoba mempertahankan kesabaran dirinya. “Tetapi aku adalah pelatihmu!”
“Belum resmi!” sanggah Luis cepat. Tersenyum lebar.
“Oh, aku sudah mentanda tangani surat persetujuannya. Jadi, aku yakin aku sudah menjadi pelatih kalian!” Austin menjelaskan. Sayangnya Luis tak mau mengalah dari perdebatan yang sedang mereka berdua ributkan. “Kau!” tunjuk Austin ke arah Luis dengan geram. “Akan ikut pelatihan khusus denganku setiap hari pada pukul jam delapan malam!” Luis tahu cowok yang ada di hadapannya ini mulai kehabisan kesabarannya.
Tetapi bukan Luis jika tidak melawan. “Tidak!” ujar Luis ikut geram. “Aku tidak mau!”
“Sayangnya, kau harus mau!” perkataan itu penuh dengan nada yang sangat sulit untuk dibantah.
Baru saja Luis ingin menanggapi, Mr. Swan sudah menengahi duluan. “Kau harus menuruti apa yang dia perintahkan Luis!”
Luis menatap pelatihnya dengan raut wajah tidak percaya. “Apa?” teriak Luis.
“Aku yakin kau mendengar apa yang barusan aku katakan tadi!” ujar Mr. Swan. Tangannya mengayun kedepan. Menyuruh Luis untuk jangan bertingkah bodoh. “Aku tahu kau memang mendebatkan hal tentang jadwal latihan ini demi timmu. Tetapi aku setuju dengan Austin. Kalian akan bertanding dua minggu lagi. Jadi kalian harus berlatih ekstra!”
Luis menggeleng jengkel pada pelatihnya. Austin tersenyum menang. “Sepertinya aku akan menikmati waktuku bersamamu, dude!” tutur Austin licik pada Luis.
Perlahan tapi pasti, Luis berjalan ke arah Austin. Matanya berkilat-kilat marah. Setelah Luis sudah berada di hadapan Austin, ia langsung mengucapkan balasan sinis yang ingin ia beritahu pada pelatih barunya itu. Malangnya, baru saja Luis ingin membuka mulutnya, mata Austin yang hitam kehijauan itu terbelalak. Sehingga Luis juga ikut membelalakan matanya. Secara naluriah juga, nafas Luis tiba-tiba tersekat. Sekujur tubuhnya merinding. Jantungnya berdegup kencang. Otaknya tiba-tiba tidak bisa berpikir jernih. Itu semua terjadi karena bola mata hitam kehijauan itu membuat Luis yakin kalau ia pasti akan tenggelam didalamnya. Akan terhipnotis karenanya. Akan dicintai olehnya. Akan dipuja dengannya.
Austin berdeham kecil. Membuat Luis sadar dari pikiran sintingnya. “Apa ada yang ingin kau katakan?” tanya Austin. Suaranya berubah sedikit lembut.
“Aku juga pasti akan menikmati waktuku bersamamu!” akhirnya perkataan itu terucap, setelah perjuangngan panjang Luis mencari kembali bagaimana caranya berbicara.
***
Untung saja saat latihan tadi Luis bisa berkonsentrasi. Kalau sampai ia buat malu pada latihan tadi, tidak bisa dipungkiri bahwa Austin pasti akan menginjak-nginjak harga dirinya. Berkali-kali Luis mengucapkan rasa syukur atas apa yang diberikan tuhan padanya tadi. Luis tidak mau terlihat lemah di hadapan cowok sombong itu. Luis tidak mau direndahkan oleh orang yang bahkan masih sangat muda. Orang yang menurut Luis juga masih perlu diajarkan sopan santun dalam hal berbicara.
Sekarang ini Luis sedang berganti baju. Bersiap-siap pulang ke asramanya dan beristirahat. Atau berbincang-bincang dengan kawanannya. Kedua hal itu sangat menggelitik keinginan Luis saat ini. Luis sudah tidak tahan lagi dengan aroma ruangan klubnya itu. Yang baunya seperti keringat busuk. Serta bau dari pelatih barunya itu. Luis juga tidak tahu bau apa. Hanya saja, Luis selalu digerayangi dengan mata pelatih barunya itu.
Luis bergidik jijik. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin ia tertarik dengan cowok itu. Luis adalah lelaki normal. Pasti akibat permainan itu Luis menjadi seperti ini. Permainan itu pasti sudah menanamkan sifat buruk pada dirinya. Luis menggeleng keras-keras. Kembali mengenyahkan pikiran sinting itu.
Dengan langkah cepat, Luis meninggalkan ruangannya. Terus berjalan ke pintu belakang. Luis tidak menggunakan pintu depan. Karena Luis yakin kalau pelatih barunya itu pasti sedang ada di sana saat ini. Sedang berbincang-bincang dengan Mr. Swan. Daripada Luis kembali berdebat dan terpesona olehnya, lebih baik ia mencari jalan aman. Menghindari cowok itu pasti adalah jalan aman yang menguntungkan untuknya dan juga untuk cowok itu.
Ketika Luis dengan kasar membuka pintu belakang itu, seseorang terkejut dibaliknya. Luis juga ikut terkejut. Luis mundur selangkah dan menyipitkan matanya, untuk melihat dengan jelas siapa orang yang tiba-tiba mengejutkannya.
Tiba-tiba badan Luis kembali kaku. Nafasnya kembali tersekat. Matanya kembali terbelalak. Cowok itu berdiri di sana. Posturnya yang tegap itu tertimpa cahaya matahari yang hampir terbenam. Warna rambut cowok itu yang semula cokelat kehitaman berubah warna menjadi cokelat madu akibat tertimpa cahaya matahari yang mulai terbenam itu. Luis sendiri juga mempunyai warna rambut yang persis sama dengan cowok itu. Tetapi bedanya adalah warna rambut Luis tidak akan berubah menjadi cokelat madu apabila tertimpa cahaya matahari yang terbenam. Warna rambutnya hanya akan terus-terusan seperti itu. Cokelat pekat.
Austin maju selangkah. Menatap Luis curiga. “Kenapa kau kesini?” tanya Austin, dahinya mengerut tidak suka.
Kekeh pelan terlontar dari mulut Luis. “Karena hanya jalan ini yang akan membawaku cepat pulang ke asramaku!”
“Benarkah?”
“Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itukan?” cetus Luis cepat.
Austin menaikan pundaknya. “Entahlah! Mungkin harus kau jawab.”
“Aku tidak akan mau menjawabnya!” lalu Luis mulai melangkahkan kakinya cepat. Meninggalkan Austin yang masih menatapnya dengan tatapan khas cowok itu. Sayangnya cowok itu memang orang yang tidak suka menyerah ditambah gila dan keras kepala serta sangat suka sekali berdebat dengan Luis. Austin mencengkram lengan Luis kuat namun tak menyakitkan. Luis berbalik cepat dan berdesis, “lepaskan aku!”
“Tidak sampai kau menghormati pelatihmu ini!” sindir Austin.
Luis meronta-ronta, mencoba melepaskan cengkraman Austin yang kuat itu. “Tidak akan! Pergilah ke neraka, dasar kau orang brengsek!” umpat Luis.
“Oh, aku akan pergi ke neraka jika kau menunjukan sedikit saja kesopanan serta tingkah yang baik padaku!” ujar Austin, masih mencengkram lengan Luis. Tanpa tahu kapan akan ia melepaskan tangan itu. Austin cukup menikmati kejadian yang saat ini berlangsung. Tadi, saat di dalam, Luis sangat bersikap kurang ajar padanya. Austin akan menunjukan siapa sekarang yang berkuasa.
“Mengapa aku harus melakukan hal itu?” pekik Luis. Sekarang ia sudah tidak meronta-ronta. Melainkan berusaha kerasa menarik lengannya dari cengkraman cowok gila itu.
Austin tersenyum getir. “Tidak ada alasan yang penting. Melihatmu menedrita seperti ini, cukup membuatku terhibur!”
Luis memutar kedua bola matanya. Sepertinya hal itu akan menjadi kebiasaan untuknya. “Aku tahu kau orang paling brengsek yang pernah kutemui!”
Hinaan itu malah membuat Austin makin tertawa keras. “Benarkah?” tanyanya pura-pura bodoh. “Teman-temanku bilang aku orangnya cukup mengasyikan dan cukup rendah hati!” Austin menatap Luis lekat-lekat. Untuk ukuran laki-laki, menurut Austin; Luis cukup lucu. Matanya yang berwarna hijau zamrud itu begitu menggoda. Senyuman sinis yang sering dilontarkan cowok itu juga sangat melipur. Austin tidak pernah tertarik untuk mengganggu cowok sebelumnya. Malah ia tidak pernah punya ketertarikan dengan cowok manapun.
“Dasar orang menjijikan!” teriak Luis, darahnya makin naik ke ubun-ubunnya. “Lepaskan aku! Demi tuhan, apa sih yang kau mau dariku?” sebenarnya Luis tak perlu bertanya lagi. Ia sudah tahu kalau yang di inginkan oleh Austin adalah sikap hormatnya pada cowok itu. Bermimpi saja terus! Luis tidak akan mau melakukan apa yang di inginkan cowok mengerikan itu.
“Bertingkah sopanlah padaku!” Luis sudah menduganya. Ternyata cowok itu memang belum menyerah juga menyuruhnya untuk menghormatinya.
“Lepaskan aku dulu!” perintah Luis kasar.
Dengan licik Austin menatap Luis penuh perhitungan. “Kau tahukan, jika kau mencoba lari, aku pasti akan menangkapmu dengan mudah!”
“Aku bahkan tak bermimpi untuk melakukannya!” lalu setelah itu cengkraman Austin sedikit mengendur. Dengan sigap, Luis menyentakan tangannya dan mulai melangkahkan kakinya untuk berlari. Baru beberapa meter Luis berlari, lengannya sudah ditarik kembali oleh cowok gila itu. Luis mendesah kaget saat ia jatuh pada pelukan cowok gila itu. “Lepaskan aku!” teriak Luis garang. Luis sudah sekuat mungkin untuk mencoba melepaskan dirinya dari cowok itu. Sayangnya, karena badannya yang letih sehabis latihan tadi membuatnya sangat sulit untuk membebaskan diri.
“Diamlah, aku tak akan melukaimu, bodoh!” gerutu Austin ketika Luis mengeliat-geliat di pelukannya. “Diamlah!” perintah Austin kembali.
Luis meronta-ronta di pelukan Austin. “Lepaskan aku dasar kau orang breng—“ seruan Luis tiba-tiba terhenti ketika bibir cowok itu mendarat di bibirnya. Luis makin menggila meronta dalam pelukan Austin. Namun ketika cowok itu menarik lembut bibir atas Luis, lalu bibir bawahnya, mengunci bibir mereka bersama. Luis langsung berhenti meronta ketika merasakan sensasi baru yang menerjang indranya serta gairahnya.
Austin melepaskan lengan Luis. Sebagai gantinya ia malah memeluk pinggang Luis. Austin makin merapatkan ciuman mereka. Lalu Austin menyentuhkan lidahnya pada lidah Luis yang juga terlihat sama laparnya. Setelah itu, satu ciuman dimulai sebelum yang lain selesai, rangkaian dambaan yang tak terputus belaian, usapan bibir mereka yang semakin lama semakin membuat mereka berdua makin tenggelam dalam ciuman itu, dan sentuhan erotis. Kenikmatannya merasuki seluruh tubuh Austin, bergema di setiap saraf dan nadinya.
Tiba-tiba suara anjing menyalak menggema begitu keras disekitar mereka. Mereka berdua langsung saling menarik diri. Masih terengah-engah, Luis menunduk dan berjalan cepat meninggalkan Austin yang tidak sanggup untuk menggerakan badannya.
Luis tidak berani menghadap ke belakang. Ia telah melakukan hal yang menjijikan serta hal yang bodoh. Apa yang sudah ia lakukan. Astaga! Pasti kawanannya akan mentertawainya tentang hal ini. Bahkan mungkin lebih buruk, kawanannya tidak akan mau berteman dengannya lagi. Luis tidak bisa memikirkan hal itu. Hidupnya pasti tidak akan ada gunanya.
Ketika Luis sudah hampir sampai di pagar pembatas antara asramanya dan tempat klubnya. Luis mendengar Austin memberitahu sesuatu padanya. “Ingat jam delapan nanti kau ada latihan khusus denganku!” Luis berusaha keras untuk tidak mengubris ucapan Austin. Luis hanya terus berjalan ke asramanya tanpa menoleh ke belakang. Ia takut dengan apa yang mungkin akan terjadi apabila ia menatap mata yang bisa membuatnya tenggelam itu. Luis tidak pernah tahu kalau alur dari kehidupannya akan menjadi seperti ini!
Ciuman itu masih terus menghantui Austin. Sebelum ini ia belum pernah tertarik dengan seorang cowok. Austin adalah cowok normal yang pernah mempunyai mantan-mantan pacar berjenis kelamin seorang wanita. Bahkan ia pernah berhubungan seks dengan beberapa mantannya. Dan ia sangat menikmati melakukan hal itu. Selain itu Austin pernah mempunyai mimipi untuk membangun hidupnya dengan seorang wanita. Mempunyai bayi dan membangun hidup yang sederhana.
Tetapi cowok yang bernama Luis itu membuatnya menjadi gila. Membuatnya penasaran. Membuatnya menjadi lebih bersemangat. Membuatnya ingin melakukan hal-hal buruk. Membuatnya bergairah. Membuatnya terpesona akibat mata berwarna hijau zamrud yang seperti dewa kuno Yunani itu. Jika ingin dibuat daftar, mungkin akan sangat banyak.
Rasa penasaran menghantui Austin. Ia ingin tahu siapa sebenarnya Luis. Dari yang bisa dinilai oleh Austin, Luis adalah cowok yang tak gampang menyerah dan ingin selalu menang dalam setiap hal. Semangatnya yang mengebu-ngebu itu membuat Austin tercengang. Cowok itu bahkan tidak mau menghormati dirinya. Meskipun cowok itu tahu kalau yang menjadi pelatihnya adalah Austin. Mungkin sifat bodoh dan nekat tidak terlalu jauh. Austin yakin, Luis menanamkan kedua sifat itu di dalam dirinya dengan sangat baik.
Sebenarnya Austin tidak berniat mencium cowok itu. Ayolah! Bahkan Austin tidak pernah membayangkan berciuman dengan seorang cowok. Tetapi Austin harus membuat cowok itu diam dalam pelukannya. Dan hanya cara itulah yang Austin tahu. Tetapi malah itu menjadi serangan balik untuknya. Ia, menyukai ciuman itu. Malah lebih buruk lagi. Ia, menginginkan lebih. Karena ciuman itulah gairah Austin tersetrum bangkit. Ia tidak pernah merasakan gairah sebesar ini dengan para mantan-mantannya.
Perlahan Austin mendorong pintu kamarnya. Mengintip sebentar jam tangannya. Ternyata masih jam enam sore. Masih dua jam lagi ia akan kembali bertemu dengan Luis. Dan ia sudah tidak sabar untuk melakukan pertemuan itu. Meskipun Austin agak sedikit ragu-ragu cowok itu mau datang menemuinya untuk latihan khusus mereka.
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar apartemennya. Austin mengernyitkan keningnya. Ia menimbang-nimbang siapakah yang datang. Biasanya kalau jam segini, pasti yang datang adalah sahabatnya, Arthur. Tetapi Arthur sedang berlibur ke Karibia. Masih tiga minggu lagi sahabatnya itu pulang. Jadi, kemungkinan yang mengetuk pintu apartemennya itu pasti Gerry. Tetangganya yang menyebalkan. Yang selalu memarahinya karena Austin suka menaruh sampah di depan lift.
Enggan bangkit dari kursi berlengannya, Austin tetap mendengarkan ketukan pintu yang mengganggu itu. Yang ada di pikiran Austin saat ini adalah cowok itu. Luis Lermen. Cowok yang selalu bisa mengundang senyum di bibirnya walau hanya dengan mengingat namanya saja.
Ketukan di pintu makin keras. Mengerang marah, Austin bangkit dari kursi berlengannya dan berjalan cepat ke arah pintu dengan langkah menghentak. Setelah berada di depan pintu itu, Austin mengintip ke lubang khusus yang ada di pintunya.
Benar saja, itu Gerry. Badannya yang besar serta kepalanya yang bulat itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Austin memperhatikan Gerry lekat-lekat sebelum membuka pintu apartemennya untuk orang menyebalkan yang ada di depan pintunya saat ini. Setelah tahu kalau Gerry datanag bukan untuk memarah-marahinya, Austin membuka grendel kunci yang menyangkut di pintunya lalu ia hanya membuka pintunya sedikit.
“Ada apa?” mulai Austin.
Gerry memindahkan wajah bulatnya itu ke depan Austin. “Oh, hei!” sapa Gerry dengan senyuman kecil. “Aku hanya ingin memberitahumu kalau tadi kakak laki-lakimu menyuruhku untuk memberikanmu ini.”
Gerry menyodorkan bungkusan kecil berwarna cokelat yang dipegangnya sedari tadi. “Apa itu?” tanya Austin, membuka pintu apartemennya seutuhnya.
“Tidak tahu!” ujar Gerry, menaikan pundaknya. “Baiklah, aku hanya ingin memberimu itu!”
“Terima kasih.”
Lalu Gerry berjalan cepat ke arah apartemennya. Austin menutup pintunya dan menatap bingkisan itu sambil bertanya-tanya. Keluarganya jarang sekali peduli dengannya. Apalagi kakak cowoknya. Mereka berdua tidak terlalu akrab. Mereka berdua hanya terlibat dalam pembicaraan jika hal itu memang diperlukan.
Austin membuka bingkisan itu. Sebuah undangan dengan ornamen sedehana meluncur jatuh dari dalam kotak kecil yang ada di dalam bingkisan itu. Austin mengamati sebentar undangan itu, selanjutnya Austin membuka undangan itu pelan. Mencerna isi undangan itu beberapa saat dan terkaget saat mendapati isi undangan itu adalah pernikahan kakaknya. Yang akan diadakan satu minggu lagi.
Austin cepat-cepat meraih ponselnya dan menekan nomor telpon kakaknya. Pada nada ketiga, kakaknya sudah mengangkat telpon Austin. “Halo, Jack!” sapa Austin lembut.
“Hei, phral!” kata kakaknya agak sedikit senang mendapati adiknya mau menelponnya. “Sudah menerima undangan pernikahanku?”
“Sudah,” Austin terus-menerus memandangi undangan itu. “Aku agak sedikit terkejut!”
Jack tertawa di ujung sana. “Apakah kenyataan aku menikah cukup membuatmu terkejut?”
“Tidak. Bukan hal itu!” tutur Austin, merapatkan telpon itu ke telinganya. “Aku terkejut kau akan menikahi salah satu dari mantan pacarku!”
Jack tersedak tawanya sendiri. “Sungguh?” tanya Jack tak percaya.
“Ya,” Austin memberitahu. “Helena Hyers adalah mantan pacarku.” Mantan pacar yang paling aku cintai, seru Austin dalam hati.
“Aku yakinkan kau ini bukan Helena Hyers mantan pacarmu itu!” seru Jack keras.
Austin terkekeh. “Itu memang Helena Hyers mantanku. Aku melihat fotonya denganmu di depan undangan yang sedang kugenggam saat ini. Aku yakinkan kau itu memang Helena yang aku maksud.”
Jack tidak menggubris omongan Austin cukup lama. Desahan keras terdengar di ujung sana. “Aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku!” Suara Jack penuh penyesalan.
“Oh, tidak apa-apa, bro!” ucap Austin berusaha menjaga nada suaranya tetap datar, walau hatinya sangat sakit saat ini. “Dia juga hanya mantanku. Aku juga tidak pernah melakukan hubungan seks dengannya!”
“Benarkah?” tanya Jack agak sedikit terkejut. “Aku sedikit merasa bersalah padamu. Tetapi aku senang kau belum pernah melakukan hubungan seks dengannya. Aku sangat menghargai itu. Dan aku makin menghargaimu jika kau mau datang ke pernikahanku!”
“Ya, aku pasti datang. Tenang saja!”
Jack mendesah lega. “Baguslah. Namun kau tidak dibolehkan datang sendiri. Kau harus membawa pacarmu ke pernikahanku! Mengerti?”
Austin menggeleng tak percaya. Tetapi ia malah menyetujui hal itu. “Baiklah!”
“Oke. Sampai ketemu minggu depan!”
Malas menjawab ucapan perpisahan itu, Austin menekan tombol reject berkali-kali. Kesal dengan kakaknya. Bagaimana mungkin mantan yang paling dicintai Austin malah akan menikah dengan kakaknya. Austin sangat terkejut ketika mendapati foto mantannya itu sedang memeluk kakaknya dengan menggunakan gaun pengantin.
Austin tahu kakaknya tidak mengetahui kalau yang akan menjadi istrinya itu adalah mantan pacarnya. Tetapi tidak ada cewek yang lainkah yang bisa kakaknya nikahi. Kenapa harus Helena? Kenapa harus mantan yang paling Austin cintai? Sudah habiskah populasi cewek di dunia ini? Austin melempar undangan itu ke luar jendela. Tidak mau melihat foto kakaknya yang sedang memeluk mantannya itu. Rasa cemburu menggerayangi hatinya.
***
“Kau kenapa diam saja daritadi?” tegur Andy ke Luis, saat mereka berlima sedang berkumpul di kamar Zink. “Apa kau sakit?” tanya Andy, menaruh tangannya di kening Luis. “Tidak panas kok.”
Luis menepis tangan Andy. “Aku tidak apa-apa!” seru Luis, memutar badannya agar menghadap ke jendela.
Cowok yang duduk disamping Luis mengenyit bingung. “Apa kau yakin?” tanya Revie. “Kau seperti orang yang baru saja menelan tikus hidup-hidup!”
Akibat ucapan Revie yang sinis itu, Luis tertawa pelan. “Aku tidak apa-apa!” ulang Luis.
“Kau tidak bisa membohongiku, kau tahu!” sungut Revie, memutar bola matanya.
Tidak ada keinginan untuk berdebat dengan Revie, Luis hanya terus menatap langit diluar jendela yang kini mulai menggelap. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi dengan ciuman erotis gila yang dialaminya satu jam yang lalu. Luis mengerutkan dahinya ketika ia ingat saat cowok itu memasuki mulutnya dengan begitu lahap. Luis makin mengerutkan dahinya ketika ia ingat bahwa ia juga membalas ciuman cowok itu. Bahkan ia mendambakan lebih.
Astaga! Luis menggelengkan kepalanya. Mencoba menghilangkan pikiran menjijikan itu. Namun sayangnya pikiran itu terus kukuh tertanam di otaknya. Luis mendesah keras. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi dengannya. Apakah ini semua karena tantangan dari permainan itu? Apakah permainan itu malah menjadi kutukan untuk dirinya? Apakah sekarang ia akan menjadi seorang yang bakalan menyukai sesama jenisnya?
Tidak! Luis akan menolak godaan itu sekuat yang ia bisa. Pokoknya menurut Luis cowok itu adalah cowok brengsek yang suka mengganggunya karena Luis tidak menghormatinya. Luis tidak akan mau menyerah menghadapi cowok itu. Mau selama apa pun cowok itu merecokinya, Luis yakin ia pasti akan bisa melaluinya. Coba saja kalau tadi Luis tidak dalam kondisi badan yang lemah, pasti Luis sudah menghajar cowok brengsek itu habis-habisan. Atau mungkin akan membunuh cowok itu.
Atau mungkin juga tidak. Sisi lain dari diri Luis mendambakan ciuman itu. Ketika bibir lembut cowok itu menyapu bibirnya dengan halus. Ketika cowok itu melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan penuh kasih. Saat cowok itu menyatukan lidah mereka. Luis serasa ia sedang tidak memijak bumi saat itu. Sampai ia dikagetkan oleh suara anjing menyalak yang membangunkan sarafnya untuk berpikir rasional. Meskipun Luis juga cukup kesal dengan anjing itu karena membuatnya sadar diri.
Luis menjerit dalam hati. Ia tidak pernah merasakan perasaan yang seperti ini. Menyiksa batinnya dan pikirannya. Ia benar-benar merasa seperti sedang ada di neraka. Luis selalu menanamkan dalam otak dan hatinya bahwa yang dilakukan cowok itu hanyalah bagian dari gangguan serta kampanyenya untuk membuat Luis menghormatinya. Tetapi rasanya tidak seperti gangguan. Rasanya seperti kenikmatan.
Ia, seorang Luis, orang yang paling sering berpikir tajam mengapa menjadi gila seperti ini? Mengapa ia memikirkan cowok itu terus-menerus? Mengapa sangat sulit melupakan cowok itu? Atau mungkin, mengapa sangat sulit melupakan ciuman itu?
“Kau tidak bisa menyimpannya terus, kau tahu itu!” bisik Revie pelan ke Luis.
Memutar badannya ke kanan, Luis mendapati kalau Revie sedang melihatnya dengan raut wajah penasaran. “Tentu saja aku bisa!” seru Luis tak mau kalah. “Bahkan aku bisa menyimpannya dengan sebegitu apiknya.”
Revie mendekatkan kepalanya ke Luis. “Kalau dugaanku tak salah, hmm, mungkin saat ini kau sedang memikirkan sesuatu yang penting,” tebak Revie. Dan tebakan itu memang benar adanya. Yang Luis pikirkan saat ini memang sedikit agak penting.
Agar tidak terlibat perbincangan dengan Revie, Luis kembali mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Menatap langit yang kini sudah gelap sepenuhnya.
“Kau harus cerita!” cetus Revie, tak mau menyerah. “Kan kita ini kawanan. Tak boleh menyimpan rahasia.”
Luis kembali memutar badannya ke arah Revie. “Meskipun yang paling rahasia?” Sebagai jawaban Revie hanya mengangguk dengan pasti. “Situasinya rumit!” kata Luis gusar.
“Aku sering mendengar hal-hal yang rumit!” sanggah Revie, nada suaranya sarat kebenaran.
“Hal-hal rumit apa?” seru Zink dari balik pintu kamar mandi. Cowok itu hanya menyampirkan handuk di pinggangnya. Memandang Luis dan Revie secara bergantian. “Sepertinya kalian sedang membicarakan hal yang menarik?”
Tiba-tiba Andy duduk disebelah kiri Luis. Menatap Luis dengan penuh minat. “Hal-hal menarik jarang terjadi padamu, dude! Dan ketika itu terjadi, aku yakin itu pasti benar-benar menarik.” Andy tersenyum lebar pada Luis, menampakan giginya yang putih dan rata sempurna.
Kawanannya yang satu lagi ikut menimbrung. “Hal menarik ya? Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya!” Tivo berdiri sebentar dan duduk di depan Luis dengan wajah yang sama tertariknya dengan kawanannya yang lain.
Luis langsung berdiri cepat dan melangkahi Tivo. “Apakah kalian selalu menyebalkan seperti ini?” tanya Luis saat ia sudah dalam jarak yang aman dari gangguan kawanannya.
“Kalau hal itu diperlukan!” sambar Revie sarkastis.
Luis memutar bola matanya. “Kuberitahu kalian! Tak ada kejadian yang penting ataupun menarik padaku saat ini!” seru Luis lirih. “Kalian hanya suka melebih-lebihkan sesuatu, kalian tahu itukan!” Luis duduk di tempat tidur Zink. Menatap ke-empat sahabatnya dengan pandangan malas.
“Kami tidak melebih-lebihkan!” sambar Revie lagi, “Kami hanya suka membuka sesuatu yang kami belum tahu.”
“Kalian menyebalkan!” seru Luis parau.
Ke-empat sahabatnya tertawa keras. “Kami tahu!” cetus ke-empat sahabatnya disela-sela gelak tawa.
“Aku senang kalian menganggap kemarahanku itu adalah hal yang lucu!” ketika berkata begitu, Luis juga ikut tertawa dengan ke-empat sahabatnya yang konyol itu. “Aku tidak tahu akan bagaimana kehidupanku tanpa orang-orang brengsek seperti kalian!”
“Kesepian. Merana. Menderita. Akan cepat mati.” Luis tertawa ketika mendengar Revie mengucapkan kata-kata sindiran itu semua. “Bahkan kau mungkin tak akan ikut dalam permainan konyol yang sedang kita alami saat ini!”
Hening sesaat di ruangan itu. Luis melangkah cepat ke tempat duduk yang ia duduki sebelumnya tadi. “Mungkin” ujar Luis serak.
Sebenarnya kelima cowok itu sangat bimbang dengan tantangan yang diberikan oleh permainan itu ke mereka. Tidak ada satu pun di antara mereka yang benar-benar niat untuk mengencani cowok. Memikirkan hal itu saja sudah membuat mereka menjadi orang yang sangat tidak masuk akal. Semua kejadian aneh terjadi pada mereka semua hari ini. Semua kejadian itu sama sekali sangat sulit untuk diceritakan. Tetapi dari semua kejadian yang mereka berlima alami, yang paling menarik adalah Luis. Di samping itu cerita Luis lah yang paling mendekati dari tantangan permainan itu.
“Apa kau masih tidak mau menceritakan hal menarikmu pada kami?” suasana yang sebelumnya hening itu berubah sedikit menghibur ketika Tivo bertanya hal itu ke Luis.
Alis tebal Luis bergegas turun saat ia memandang Tivo. “Apakah kalian masih mengungkit hal yang sama sekali tidak ada?”
“Aku yakin pasti ada!” seru Zink, yang kini sudah mengenakan setelan kemeja santai namun sopan yang berwarna biru dan hitam. Rambutnya yang biasanya bergaya shaggy kini berubah menjadi sedikit agak rapi. “Jadi, ceritakan pada kami, atau tepatnya padaku, sekarang juga! Sebelum aku pergi berkencan!”
“Kan sudah aku bilang tidak ada!” gerutu Luis jengkel. “Kenapa kalian memaksaku untuk memberitahukan kalian hal menarik yang memang sedang tidak ada di diriku saat ini?”
Zink melipat kedua tangannya di dada. “Karena kau daritadi murung! Aku tahu tanda itu. Itu artinya kau sedang menyimpan sesuatu. Dan sesuatu itu yang harus kau ceritakan pada kami. Khususnya padaku!”
“Baiklah!” seru Luis, lelah menghadapi ke-empat sahabatnya. “Kalian ingin aku menceritakan hal menarik yang terjadi padaku?” ke-empat sahabatnya mengangguk pasti. “Setelah kalian mendengar hal yang menurut kalian menarik ini, aku minta kalian berjanji padaku kalau kalian tetap akan menjadi temanku!”
Ke-empat cowok itu menatap Luis dengan bingung. “Tentu saja. Kami janji!” seru ke-empat cowok itu bersamaan.
“Bagus.” Luis menatap ke-empat kawanannya dengan ragu-ragu. Tetapi setelah itu ia meyakinkan dirinya kalau menceritakan hal ini pada kawanannya tidak akan menimbulkan hal yang buruk. “Begini, hal ini sedikit agak rumit dan sedikit agak aneh. Jadi, kuharap kalian memahaminya!” Luis kembali menatap ke-empat kawanannya dengan ragu-ragu. Reaksi yang ditimbulkan oleh ke-empat kawanannya hanya kerutan dahi mereka. “Kalian tahu Austin Stodell? Pemain Kriket terbaik yang pernah bersekolah di sekolah ini?” Luis melihat ke-empat kawanannya mengangguk. “Hari ini dia menjadi pelatih baruku.” Ke-empat kawanannya tidak tertarik sama sekali dengan informasi itu.
Revie mengangkat tangannya. Menyuruh Luis berhenti. “Langsung ke intinya, kumohon!”
“Aku dan dia terlibat dalam hal… intinya aku dan dia… kami berciuman!” Luis mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Tidak berani menatap kawanannya.
Suasana di ruangan itu kini berubah kembali seperti beberapa saat yang lalu. Sangat hening. Malah mencekam. Luis hanya bisa mendengar suara hembusan nafas kawanannya. Tetapi setelah satu menit berlalu, suara tawa bergema di kamar itu. Luis membalikan badannya dan melihat ke-empat kawanannya sedang tertawa terpingkal-pingkal yang terlalu berlebihan. Luis hanya bisa bengong melihat tingkah ke-empat kawanannya.
“Kalian tidak terkejut?” tanya Luis sembari menatap ke-empat kawanannya dengan lekat.
Yang pertama kali berhenti tertawa adalah Revie. “Tentu saja tidak!” Revie lalu melanjutkan tertawanya. Ketika Luis ingin bertanya kenapa, Revie sudah menjawab duluan alasannya. “Karena kaulah orang yang membuat kita dalam permainan konyol ini. Saat kau tadi pergi ke klub Kriketmu, kami ber-empat membahas tentang permainan ini. Dan, lihat! Permainan itu yang mempermainkanmu pertama kali. Jadi, kami tak terlalu terkejut jika kau sudah mendapatkan mangsa di perburuan konyol yang sedang kita gencarkan ini!”
“Benarkah kalian berpikir seperti itu?” Luis bertanya pelan. “Dan, dia bukan mangsaku!”
“Oh, ya. Tentu saja!” jawab Tivo, lalu menambahkan. “Kami yakin dia akan jadi mangsamu!” Tivo tersenyum datar. Senyuman paling sulit untuk dipahami oleh Luis.
Luis menatap kawanannya malas. “Kalian tahu! Kalian itu adalah orang-orang yang aneh serta orang-orang yang paling menyebalkan yang pernah aku tahu! Aku tidak tahu bagaimana cara otak kalian bekerja! Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa terjebak dengan kalian. Namun apa boleh buat, kalian sudah terlanjur kuanggap sahabat!” comel Luis pasrah.
Luis tidak mengerti kenapa ia melangkahkan kakinya untuk menuju ke pelatihan khususnya dengan cowok yang sudah menciumnya dengan se-enak hati. Luis juga makin tidak megerti ketika ia mendapati kalau cowok gila itu sudah menunggunya di sana. Di lapangan itu. Luis makin-makin tidak mengerti ketika mendapati cowok itu menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit untuk ditebak. Tetapi dalam artian yang baik. Apalagi ketika cowok itu membentukan bibirnya menjadi sebuah senyuman yang sangat menawan. Luis makin-makin-makin tidak mengerti mengapa ia membalas senyuman itu. Padahal rencana Luis, apabila ia bertemu dengan cowok gila itu lagi, Luis akan bersikap sinis dan dingin.
Cowok itu berjalan mendekat ke arahnya. Luis seketika memberhentikan langkahnya. Tertegun karena cowok itulah yang mau menghampirinya. Bukan sebaliknya. Luis mengerutkan dahinya, ia bertanya-tanya. Mana sifat arogan yang cowok itu tunjukan padanya tadi? Mana sifat kurang ajar yang cowok itu selalu lakukan ke pada diri Luis? Tidak ada orang yang bisa merubah sifatnya dengan hanya beberapa jam saja.
Austin berhenti melangkahkan kakinya ketika sudah berdiri berhadapan dengan Luis. Senyuman simpul terambang di bibir Austin. “Kupikir kau tidak akan datang!” Austin memperhatikan wajah Luis yang datar dengan baik-baik. Malam ini Austin sudah tidak ingin lagi membuat masalah dengan cowok yang ada di hadapannya. Austin takut apabila mereka mulai kembali bercek-cok, nanti akhirnya malah menjadi sebuah ciuman mencengangkan yang bakalan merambat ke tingkat yang Austin tidak ingin bayangkan sama sekali. Di sisi lain, cowok yang ada di hadapannya juga sedang tidak ingin mencari masalah.
“Kenapa aku harus tidak datang?” akhirnya Luis bersuara.
Austin hanya menaikan pundaknya. “Takut denganku, mungkin.”
Mata hijau zambrud itu terbelalak kecil. “Kenapa aku harus takut denganmu?” suara itu sarat dengan kesinisan. Meskipun tidak terlalu sinis seperti yang sering Luis lakukan.
“Akibat ciuman itu!” tebak Austin, dengan senyuman mengejek terpampang di wajahnya.
“Bisa kita lupakan saja hal itu!” cetus Luis cepat. “Aku lebih senang jika kita tidak mengungkit-ungkit hal yang sangat menjijikan itu!”
Dahi Austin mengerut. “Kau pikir hal itu menjijikan?”
Luis terkekeh sinis. Matanya menatap mata Austin dalam-dalam. Luis ingin mencoba apakah kali ini ia akan tahan dengan tatapan mata cowok itu. Sayangnya, keberuntungan memang selalu menjauhinya. Kali ini Luis benar-benar yakin ia sangat menyukai tatapan mata cowok itu. Mata yang bisa mencerahkan seluruh indra Luis. Membuat Luis tahu kalau hidupnya tidak akan pernah berarti lagi tanpa tatapan mata itu. “Semacam itulah!” ujar Luis setelah tiga puluh detik yang panjang.
“Kalau begitu, mengapa kau sangat menikmati ciuman itu?” tanya Austin blak-blakan.
Luis menganga tidak percaya. “Aku tidak—“
“Oh, ya, kau membalas ciumanku!” potong Luis cepat.
“Tidak!” sergah Luis, tidak mau kalah. “Aku tidak membalas ciumanmu! Aku mencoba melepaskan diri dari ciuman itu!” dusta Luis. “Kau seharusnya bisa membedakan kedua hal itu!” Luis tidak berani menatap mata cowok itu. Karena Luis takut cowok itu malah akan menemukan binar kebohongan di matanya.
“Kurasa tidak begitu!” seru Austin, tidak mau mengalah juga. “Bahkan perkiraanku—kalau tidak salah—kau menyukai ciuman itu.” Austin menatap lekat-lekat wajah Luis. Ingin melihat apakah cowok yang ada di hadapannya ini ingin mengalah atau tidak.
Mulut Luis ternganga lebar ketika mendengar perkataan yang baru saja dilontarkan Austin. “Aku tidak—“
“Sudahlah!” potong Austin cepat. Luis langsung terdiam dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. “Jadi, apakah kau lapar?” tanya Austin. Membelokan perdebatan mereka berdua. Agar tidak terjadi hal yang tidak mereka berdua inginkan.
Luis mengangkat kedua alisnya. “Tidak juga.”
Austin menarik pelan tangan Luis. Tanpa disadari Austin sudah membawanya untuk pergi menjauhi lapangan. “Aku lapar! Aku akan membawamu ke kedai langgananku!” Luis hanya bisa diam dan menutup kembali mulutnya rapat-rapat. Sentuhan tangan pria itu menghipnotisnya. Mungkin ini dampak dari permainan itu. Luis selalu bertutur hal itu di dalam hatinya.
Sudah lima meter mereka berdua meninggalkan lapangan. Namun Austin belum juga melepaskan tangan Luis. Mereka berdua bergandengan tangan menuju sebuah mobil Chevy hitam yang tidak jauh dari gerbang asrama Luis. Mereka berdua masih dalam keadaan hening ketika beberapa meter lagi akan sampai ke mobil Austin. Tangan Austin yang lumayan lebar dan panjang itu makin erat menggenggam tangan Luis. Yang membuat makin membingungkan adalah ketika Luis juga bereaksi persis sama seperti yang Austin baru lakukan padanya.
Ketika mereka berdua sudah sampai di depan mobil Chevy hitam itu, Austin melepaskan genggaman tangan itu. Hati Luis langsung mencelos. Tanpa genggaman tangan itu, menurut Luis seperti ada yang kurang di hidupnya. Seperti ada yang hilang. Gelengan kasar Luis lakukan untuk menghilangkan pikiran yang baru saja ia pikirkan.
Austin membukakan Luis pintu mobilnya. Menyuruh Luis untuk masuk ke dalamnya. Dengan nafas yang tertatih-tatih dan pikiran yang semerawut, Luis menuruti perintah Austin. Ia memasuki mobil cowok yang sudah mencium paksa dirinya itu. Matanya yang hijau itu hanya bisa menatap ke depan dan tidak mampu untuk meng-observasi mobil cowok yang sudah mencuri ciuman darinya.
Luis mendengar pintu yang sebelah lagi dibuka. Austin duduk dengan nyaman dan mencoba menyalakan mobil Chevy hitamnya. Setelah dua kali dicoba, akhirnya mobil itu menghasilkan hal yang di inginkan oleh Austin. Pelan, Austin mengendarai mobil Chevy hitamnya itu menuju ke jalan raya. Mereka berdua masih dalam keadaan yang hening. Luis bingung apa yang harus ia katakan pada cowok yang ada di sebelahnya itu.
“Apakah peraturan asrama sudah berubah kali ini?” Luis mendengar Austin bertanya lembut padanya.
Perlahan Luis mengalihkan tatapannya dan melihat cowok itu yang sedang berkonsentrasi mengendarai mobil Chevy hitamnya itu. “Sedikit. Kami dibolehkan keluar malam. Namun hanya sampai pukul setengah sebelas.” Luis memuaskan dirinya menatap cowok yang sedang berkonsentrasi penuh itu. Tidak mungkin bagi Luis untuk bisa menatap cowok itu dengan cara yang sedang ia lakukan sekarang. “Memangnya, ketika kau berasrama di sana, peraturan asramanya seperti apa?”
“Kami tidak boleh keluar malam” ujar Austin, bibirnya tersenyum. “Kami juga tidak boleh mengunyah permen karet.”
“Banarkah?” tanya Luis tidak percaya.
“He-eh!” jawab Austin mantap. “Karena kata Mr. Drew permen karet sulit untuk dibersihkan. Serta permen karet itu lengket dan menjijikan.”
Luis mengernyit bingung. “Siapa itu Mr. Drew?”
“Kepala asrama saat aku tinggal di asrama itu.”
“Oh!” mulut Luis berbentuk O besar. “Kepala asrama kami kali ini bukan dia. Melainkan Mr. Klein. Dan bisa kukatakan dia adalah kepala asrama yang paling menyebalkan yang pernah ada. Dia selalu memperintahkan kami untuk membersihkan tiap lorong yang ada di lantai bawah. Padahal di lantai bawah itu tidak pernah ada orang yang menggunakannya. Namun lorong-lorong di lantai bawah itu selalu kotor!”
Austin tersenyum lagi. “Itu karena setiap kalian berjalan dilantai yang kalian pijak, dasar bawah lantai itu akan sedikit mengelupas dan membuat beberapa semen terjatuh kebawahnya. Sehingga lorong-lorong di lantai bawah kembali kotor!” jelas Austin cepat.
Reaksi Luis dengan penjelasan yang baru saja Austin ucapkan padanya hanyalah anggukan. Namun ketika Austin memutar kepalanya dan menatap Luis dengan tatapan yang lembut, Luis langsung berujar cepat untuk menghilangkan kegugupannya. “Kurasa memang begitu!” Luis langsung cepat-cepat mengalihkan tatapannya. Tidak mau menatap mata cowok itu. Takut kalau ia nanti malah akan memikirkan hal-hal yang sinting.
Setelah itu Luis memperhatikan jalan yang dilalui oleh Austin. Mereka melewati Surry Hills. Beberapa turis dan pejalan kaki menghalangi jalan raya. Surry Hills memang tempat terkenal, dimana setiap jajanan dan kedai-kedai yang berada di sana menyediakan makanan yang terbilang murah serta terjangkau. Namun kesan menarik serta indahnya tidak membuat Surry Hills menjadi tempat yang murahan. Malah mencerminkan kemewahan yang sederhana. Di tempat itulah mereka berdua akan menikmati makan malam mereka.
Luis memperhatikan turis-turis dan orang-orang yang sedang menikmati berbelanja makanan murah yang ada di setiap trotoar jalan. Jajanan yang disuguhkan memang makanan-makanan berkelas yang tidak kalah di restoran mahal.
Mobil Chevy hitam itu berbelok ke ujung jalan Surry Hills. Berhenti sebentar karena ada antrian yang sedang berlangsung di hadapan mobil Chevy itu. Namun beberapa saat kemudian mobil Chevy hitam itu kembali berjalan. Luis melihat tulisan besar yang terpampang di depan kedai yang mempunyai struktur gaya Elizabeth itu: Last Night. Nama kedai yang Austin singgahi adalah Last Night.
Setelah beberapa saat Austin mencari tempat untuk memperakir mobilnya, cowok itu memberitahu sesuatu pada Luis. “Ini kedai yang sering aku datangi jika perutku sudah berteriak ingin minta di isi.”
Luis terkekeh pelan ketika mendengar kalimat akhir yang Austin ucapkan. “Memangnya yang ada di perutmu itu apa? Sampai-sampai dia berteriak ingin minta di isi.”
Jawaban yang Austin berikan hanyalah tawa pelan. “Tunggu di sini!” perintah Austin. “Aku yang akan membukakan kau pintu.”
“Tidak perlu!” seru Luis cepat. “Aku bisa membukanya sendiri. Disisi lain juga aku ini cowok. Tidak perlu minta bantuan untuk dibukakan pintu. Selebih lagi, ini bukan kencan!”
“Menurutku ini kencan!” sambar Austin, matanya yang cemerlang itu menatap Luis intens.
Yang bisa Luis reaksikan hanyalah senyuman simpul andalannya. “Baiklah! Terserah kau saja.”
Cepat dan sigap, Austin langsung keluar dari mobilnya dan langsung berjalan cepat ke arah pintu mobil yang satunya. Untuk membukakan Luis pintu. Setelah pintu itu terbuka, Luis mengeluarkan kepalanya dan tersenyum simpul ke Austin sebagai tanda terima kasih. Mata mereka bertemu sesaat. Namun sesaat itulah yang memberikan efek yang dramatis. Jantung ke dua cowok itu berdegup cepat. Berdegup kuat dan iramanya tidak teratur sama sekali.
“Bagaimana kalau kita masuk sekarang?” ujar Luis dengan suara yang cukup nyaring. Hal itu ia lakukan untuk menyembunyikan bunyi jantungnya yang begitu keras. Takut kalau Austin akan mendengar bunyi jantungnya.
Austin membentukan bibirnya menjadi sebuah senyuman yang menawan. “Tentu saja. Ayo masuk kalau begitu!” ajak Austin.
Luis membuntuti Austin dari belakang. Luis kembali memuaskan dirinya menatap punggung Austin yang bidang. Yang kokoh. Pundak cowok itu sangat lebar. Rambut bagian belakangnya juga terlihat sangat indah dari sudut pandang Luis sekarang. Entah apa yang merasuki Luis saat ini. Karena sekarang ia yakin kalau ia sudah benar-benar menginginkan cowok itu. Tidak peduli permainan itu sudah mempermainkannya apa tidak.
Ketika Luis sudah berada di dalam kedai itu, matanya menyipit sedikit dan memperhatikan sekitar. Kedai ini begitu ramai pengunjung. Hampir setiap meja sudah di isi dengan para pelanggan. Kedai ini juga terlihat begitu sangat menarik. Di langit-langitnya digantungi dengan bintang-bintang yang bersinar hanya dengan pantulan cahaya. Meja-mejanya juga terlihat begitu anggun. Baru kali ini Luis masuk ke tempat yang begitu keren seperti ini. Untung saja Luis menggunakan setelan baju yang lumayan rapi malam ini.
Seorang pelayan dengan kumis lancip mendatangi mereka berdua. “Tidak kusangka kau akan datang malam ini Mr. Stodell” tutur pelayan itu ramah. Dari nada suara pelayan itu saja Luis yakin kalau si pelayan mengenal Austin.
“Bonjour, sir!” salam Austin hangat. “Ya. Aku sedang ingin menikmati menu spesialmu malam ini. Bukankah kau mengatakan padaku dua hari yang lalu kalau malam ini kau mempunyai menu spesial untukku?”
Sang pelayan mengangguk dengan bangga. “Tentu saja.”
“Aku penasaran menu apakah itu?” tanya Austin dengan senyum khasnya.
“Lasagna spesial yang dicampur dengan ubi. Yang membuat menu ini spesial adalah karena ubi yang kami taruh dalam lasagna tersebut adalah ubi impor dari tanah Indonesia yang terkenal dengan tanahnya yang subur” jelas si pelayan. Kumisnya yang lancip tertekuk sedikit.
“Kalau begitu aku ingin mencicipinya!” seru Austin.
Buku catatan kecil langsung keluar dari saku atas baju si pelayan. “Berapa porsi yang Mr. Stodell inginkan?” tanya si pelayan. Tangannya sudah bersiap-siap di atas buku catatan kecil itu. Telinganya juga terlihat sangat waspada. Takut kalau nanti ia tidak bisa mendengar pesanan Austin.
“Dua. Kau lihatkan! Aku sedang kencan dengan kekasih baruku” Austin merangkul pundak Luis dengan lembut. Senyum menawan terpampang jelas di wajah Austin. Sedangkan Luis hanya bisa mengeluarkan ekspresi malu. Wajahnya yang putih kini berubah menjadi merah padam. Mana ada orang yang tidak malu juga dikenalkan dengan orang lain sebagai teman kencannya. Bahkan kekasihnya. Apalagi mereka berdua mempunyai jenis kelamin yang sama. “Soal minuman dan makanan penutupnya, aku serahkan saja padamu.”
Si pelayan tidak memberikan reaksi terkejut atau heboh. Si pelayan malah tertawa dan mengangguk cepat. “Mejamu sudah kami siapkan! Meja seperti biasa bukan?”
Austin mengangguk cepat.
Setelah itu Luis ditarik pelan oleh Austin menuju meja yang berada di pojok ruangan kedai itu. Dengan muka yang masih bersemu merah, Luis hanya bisa menuruti ajakan dari Austin. Luis sudah tidak mempunyai keinginan untuk melawan Austin lagi. Kali ini ia sadar kalau ia sudah benar-benar jatuh di tangan cowok itu. Hanya saja Luis tidak akan menampakan hal itu kepada Austin. Ia bisa mati malu apabila Austin tahu apa yang ada di hati Luis.
Lagi pula mereka berdua baru bertemu beberapa jam. Luis yakin ia tidak benar-benar menyukai Austin. Luis memperkirakan kalau ia hanya menyukai fakta bahwa Austin mempunyai senyum menawan dan mata yang memikat. Itu saja. Tidak lebih dari itu. Luis tidak mau menjadi orang bodoh. Apa yang akan dikatakan kedua orang tuanya jika ia ditahu mempunyai teman dekat—yang sangat dekat dengan seorang laki-laki. Orang tuanya akan mati berdiri. Tetapi tidak benar-benar mati.
Di sisi lain ia pasti akan menerima cercaan dari kedua saudaranya. Kakak ceweknya mungkin tidak akan mempermasalahkannya tetapi pasti akan sedikit mencercanya. Namun kalau kakaknya yang kedua pasti akan mempermasalahkannya. Kakak keduanya bisa dibilang sangat taat dengan agama. Bisa-bisa Luis akan disuruh ikut misa setiap hari. Membayangkannya saja sudah membuat Luis mengernyit tidak senang.
Mereka berdua duduk di kursi tanpa lengan itu dengan canggung. Luis mengeluarkan gadget-nya dari kantong celananya. Pura-pura memainkannya. Bahwa yang sebenarnya ia memencet tombol dengan sembarangan. Sedangkan Austin menatapinya dengan tatapan terhibur. Melihat Luis salah tingkah seperti itu membuatnya sedikit agak senang.
“Kau tahu kan tadi itu aku hanya bercanda?” tanya Austin kemudian.
Luis menggadahkan kepalanya dan menatap Austin dengan tatapan pura-pura tidak peduli. Padahal hatinya sedikit agak tergores. “Ya. Aku tahu. Makanya pelayan tadi tertawa.”
“Pelayan itu punya nama” tutur Austin.
“Aku yakin begitu,” ucap Luis kalem.
“Namanya Andreas. Dia berasal dari Perancis.”
“Aku tahu. Kau mengucapkan salam dalam bahasa Perancis tadi.”
“Aku hanya ingin memberitahumu itu.”
Luis hanya tersenyum. Setelah itu ia langsung melanjutkan kembali memainkan gadget-nya. Luis tidak tahu kenapa hatinya sedikit tergores saat mendengar perkataan Austin tadi. Luis tidak keberatan kalau Austin memang menganggap mereka sepasang kekasih. Toh, Luis juga tidak mengenal pelayan itu. Maaf, maksudnya adalah pelayan yang mempunyai nama Andreas itu.
Akhirnya makanan mereka datang. Mereka berdua langsung berbincang-bincang ringan. Tidak mengungkit-ungkit tentang ciuman mereka tadi sore. Tentang candaan yang dikatakan oleh Austin tadi. Tidak tentang kedua hati mereka yang sama-sama mempunyai rasa yang sama. Tidak tentang pelatihan khusus mereka. Mereka hanya berbincang-bincang secara basa-basi dan hal-hal yang tidak penting.
“Jadi kau tinggal dengan siapa di sini?” tanya Luis. Mulutnya penuh dengan pancake selai cokelat.
Austin mengambil serbet dan membersihkan selai cokelat yang menempel di sudut bibir Luis. Tindakan kecil itu membuat jantung Luis berdegup kencang. “Sendiri,” ujar Austin setelah selai cokelat yang ada di ujung bibir Luis sudah hilang dari pandangan.
“Kau pasti kesepian?” ucap Luis, lalu melakukan tindakan yang dilakukan oleh Austin tadi. Bedanya kali ini bukan selai cokelat yang menempel di ujung bibir Austin. Melainkan rempah dari cookies kacang yang sedang dimakan cowok itu.
Tindakan itu juga membuat jantung Austin berdegup kencang. “Bisa dibilang begitu.” Austin memandang Luis dengan siaratan lembut. “Boleh aku mengatakan hal yang janggal padamu?” tanya Austin pelan. Jantungnya kembali berdegup.
Luis mengangguk. “Tentu saja. Aku sudah mendengar hal-hal janggal darimu sedari tadi. Satu kejanggalan lagi menurutku bukan masalah.”
Austin terkekeh laun. “Aku… hmmm, bagaimana kalau aku mencabut kembali perkataanku yang sebelumnya?”
“Yang mana?” tanya Luis, dengan pandangan bertanya-tanya.
Austin mengerak-gerakan bahunya, gugup karena ingin mengutarakan sesuatu. “Aku ingin mencabut perkataanku yang sebelumnya. Aku tidak bercanda tentang hal yang kukatakan pada Andreas. Aku benar-benar serius saat mengutarakan hal itu.”
Luis tidak perlu bertanya lagi candaan Austin yang mana. Luis tahu apa yang dimaksud oleh ucapan Austin barusan. Luis berdiri cepat dan meninnggalkan Austin dengan jengkel.
“Apakah kau marah?” seru Austin sambil mengejar Luis yang sedang berjalan cepat ke arah kerumunan manusia yang ada di jalanan Surry Hills tersebut. Pejalan kaki atau turis-turis kadang membuat Austin sulit untuk mengimbangi langkah-langkah Luis yang panjang-panjang serta cepat. “Aku minta maaf jika membuatmu tidak merasa enak dengan perkataanku!”
Luis langsung berhenti saat ia mendengar ucapan terakhir Austin. Ia membalikan badannya dan berujar lirih. “Aku tidak marah padamu! Aku hanya jengkel dengan sifat bodohmu!” Lalu Luis kembali melangkahkan kakinya. Ingin meninnggalkan Austin. Tidak ingin melihat rupa cowok itu lagi.
“Bagaimana bisa aku membuatmu jengkel?” sahut Austin masih sambil mengejar Luis.
“Karena aku tidak senang kau membuat hal-hal yang penting menjadi bahan candaan. Harusnya kau tahu waktu yang tepat untuk membuat lelucon!” gerutu Luis, membelakangi Austin.
Mereka berdua tiba-tiba sudah jauh dari kerumunan orang-orang. Jalanan setapak yang ditapaki oleh Luis dan Austin benar-benar kosong melompong. Tidak ada orang yang berkeliaran di jalan setapak itu sama sekali. “Baiklah, aku tadi tidak benar-benar serius ingin mencabut candaanku tentang hal itu. Aku hanya bercanda. Aku hanya ingin membuat suasana disekitar kita agar bisa lebih hidup lagi.”
Luis langsung memberhentikan langkahnya dan membalikan badannya. Wajahnya bersemu merah karena marah. Tangannya terkepal dan ia meluncurkan tinju pelan ke bahu Austin. Cowok itu merintih kesakitan, namun hanya sebentar. Austin menatap Luis dengan tatapan bingung serta sedikit jengkel.
“Kenapa kau memukulku?” seru Austin tajam.
“Tinggalkan aku sendiri!” teriak Luis marah. “Kau manusia brengsek!” umpat Luis berang.
Baru saja Luis membalikan badannya, tangannya sudah diraih oleh Austin. Luis mencoba menghentakan genggaman tangan cowok itu dari tangannya. Namun Austin memang sangat bertekad untuk meminta penjelasan dari Luis. “Kenapa kau begitu marah padaku?” tanya Austin lembut. Lelah ber-agumen dengan Luis.
Masih tidak ingin memalingkan wajahnya, Luis berkata pelan. “Karena aku tidak suka ketika kau menganggap hal yang kusenangi menjadi bahan candaan!”
Austin mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
“Bagiku, tidak masalah apabila kau menganggap aku kekasihmu atau bukan. Atau kita sedang berkencan saat ini. Aku senang kau bilang begitu. Namun ketika aku memang benar-benar berharap kau berkata hal lain lagi, ternyata yang keluar dari mulutmu hanya perkataan yang tidak ingin kudengar. Kau bilang kau hanya bercanda. Padahal bukan masalah jika kau memang benar-benar menganggapku dengan jalan itu.”
Austin mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tidak bisa berkata apa-apa. “Aku… aku…” gagap Austin. Masih tidak tahu ingin berkata apa.
Luis menyentakan tangannya dari genggaman Austin. Lalu ia mulai melangkahkan kakinya pelan. “Hanya saja aku tidak berpikir masuk akal. Tentu saja kau tidak benar-benar bermaksud ingin mengatakan hal itu. Karena aku tahu bahwa kau membenciku. Kita berdua juga baru berkenalan dan bertemu. Bagaimana mungkin kau bisa menyimpan sedikit rasa sukamu padaku. Selebihnya lagi kau itu seorang laki-laki.”
“Aku tidak membencimu!” teriak Austin. Luis memberhentikan langkah kakinya. “Iya, aku memang tidak menyukaimu. Namun itu awalanya. Sekarang aku sudah tidak menyimpan perasaan tidak sukaku padamu lagi.” Austin berjalan cepat menuju ke arah tempat Luis berdiri. “Aku juga tahu kita baru bertemu beberapa jam yang lalu. Tetapi apakah kau tahu, aku mengatakan aku bercanda tentang hal tadi karena aku takut kau jijik padaku. Aku mengatakan kau kekasihku pada Andreas karena aku memang merasa kau adalah kekasihku. Aku tidak peduli apakah aku malu atau tidak. Yang aku pedulikan adalah bahwa kau akan risih dengan perkataanku. Makanya aku mengatakan kalau aku hanya bercanda. Dan ya, aku memang laki-laki. Kau laki-laki. Memangnya kenapa?”
Luis berbalik menghadap Austin. “Apakah tadi kau lihat aku risih dengan kata-katamu?” Luis menambahkan dengan nada gusar. “Bagus kalau kau tahu aku laki-laki. Karena kita berdua tidak mungkin menjalankan sebuah hubungan. Aku akan terus menganggapmu pelatihku.”
“Tidak. Tetapi kau seperti orang yang salah tingkah!” Austin diam sejenak dan menarik nafas panjang. “Ya, aku memang pelatihmu. Kau dan aku tidak bisa mengabaikan hal itu. Apakah sekarang kita sedang melakukan adegan dramatis kisah romantis?” seru Austin jengkel.
“Itu karena… aku gugup.” Luis berujar serak, “aku tidak menganggap ini adegan dramatis kisah romantis! Aku bahkan tidak mengerti apa yang kau maksud.”
“Kau sedang ngambek seperti cewek yang ada di film-film saat ini, aku sebagai cowok yang jantan terpaksa mengejarmu dan meminta maaf. Apakah hal itu bukan adegan dramatis?”
“Tidak. Ini bukan adegan dramatis. Bahkan ini tidak romantis sama sekali. Saat ini aku sedang berang padamu, keparat!”
Austin mendesah lelah. “Ayolah! Apakah kita kembali cek-cok sekarang?”
“Jika kau mau, mengapa tidak!” tantang Luis, suaranya sarat penuh kejengkelan.
“Dan berakhir dengan ciuman!” ujar Austin tajam, cengiran licik terpampang di wajahnya.
Luis mengerinyit tidak senang. “Aku yakinkan kau, itu tidak akan terjadi lagi!” seru Luis cepat, bibirnya berkedut marah. “Yang terjadi tadi sore hanya sebuah kesalahan. Aku yakin kau juga berpikir seperti itu. Namun, apabila kau tidak berpikir seperti itu, bukan masalah besar bagiku. Toh, aku juga tak terlalu menyukaimu!”
“Benarkah?” ujar Austin, suaranya penuh kesinisan. “Aku yakin kau cukup menyukai ciumanku!” Kaki Austin yang panjang itu melangkah cepat ke arah Luis. Hanya beberapa langkah saja untuk Austin bisa berada di hadapan Luis.
Refleks, Luis melangkah mundur. Menghindari tangkapan tangan Austin yang cengkramannya sangat kuat tersebut. Mereka berdua saling menatap tajam. Tidak ada satupun yang membuka mulut. Tidak tahu apalagi yang harus mereka berdua argumentasikan. Semua yang mereka ingin lontarkan telah keluar semua. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mereka lontarkan untuk kali ini. Baru saja Luis ingin membuka mulutnya, Austin juga ikut membuka mulutnya. Luis mengatupkan mulutnya, Austin juga ikut mengatupkan mulutnya. Akhirnya, hening paling panjang dan paling bersuasana mecekam mengerogoti mereka berdua,
“Bagaimana kalau kita hentikan pertikaian bodoh ini?” saran Austin, setelah lima belas menit mereka saling bertatapan. “Kau dan aku, pasti sangat lelah hari ini! Aku belum makan apapun daritadi pagi—kecuali cookies kacang tadi—dan aku juga letih untuk terus berdiri di sini!”
Entah apa yang harus Luis ucapkan. Ia juga sama lapar dan letihnya. “Baiklah!” kata Luis, merajuk malas. “Namun ini bukan berarti aku menyerah, kau dengar!”
Austin hanya menaikan sebelah pundaknya. Lalu setelah itu mereka berdua berjalan cepat untuk kembali ke kedai yang sempat mereka tinggalkan tadi. Dua puluh menit kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam kedai itu lagi. Luis langsung duduk dan mendesah lega. Makanan ringan yang tadi ada di meja mereka masih tertata rapi. Roti selai cokelat yang Luis baru makan setengah itu juga masih utuh di atas meja. Tidak ada satupun yang membersihkannya. Begitu juga dengan punya Austin. Makanan ringan Austin masih tertata rapi dan masih terlihat lezat untuk dimakan.
Mereka berdua kembali tidak berbincang-bincang. Austin sibuk berbicara dengan Andreas—si pelayan yang berasal dari Prancis itu. Luis tidak terlalu bisa mendengar ucapan Austin. Karena kadang-kadang ucapan yang Austin dan Andreas lakukan kadang ada yang berunsur Prancis. Kadang bahasa Austin dan Andreas berubah-ubah. Yang semula dari bahasa Inggris berubah menjadi Prancis. Bahkan Austin sangat cekatan dalam bahasa itu. Membuat Luis agak kagum. Walaupun Luis membenci ia menyukai bagian itu.
Mata abu-abu Andreas menatap Luis penuh minat. “Apakah Anda ingin memakan sesuatu?” suara Andreas yang besar namun lembut itu membuat Luis terlonjak kaget.
Masih dengan otak yang tidak bisa mencerna dengan baik, Luis hanya mengangguk cepat dan langsung berujar lirih. “Hot Pancake with Rice” pesan Luis. Makanan itu adalah makanan yang paling Luis suka. Biasanya Momnya akan membuatkan makanan itu jika Luis pulang ke rumahnya di Victoria saat liburan musim panas.
“Pilihan yang bagus!” Andreas berujar bersemangat, aksen Prancisnya terdengar jelas. “Kau mau saus apa yang kami siram di Pancake-nya?”
“Blueberry, please!” tutur Luis dengan senyuman lugu terukir di bibirnya.
Andreas berjalan cepat ke arah dapur. Baju pelayannya melambai-lambai tertiup angin ketika berjalan cepat. Luis memperhatikan Andreas terus, sampai pelayan itu menghilang dibalik pintu dobel kontainer dapur. Luis mengalihkan tatapannya ke arah sepasang suami-istri yang berada di dekat aquarium besar yang didalamnya berisi banyak ikan hias. Sepasang suami-istri itu sibuk membuat satu sama lain tertawa. Jika melihat adegan yang sedang dilihatnya kali ini, Luis teringat akan kedua orang tuanya yang knyol tapi sangat beribawa. Tiba-tiba Luis benar-benar rindu dengan kedua orang tuanya.
“Apa yang sedang kau lihat?” tanya Austin, membuat Luis cepat-cepat memindahkan tatapannya ke arah cowok yang ada di hadapannya kali ini. “Kedua pasangan tua itu?” tanya Austin, menunjuk sepasang suami-istri yang tadi dipandangi Luis dengan dagunya yang lancip dan agak terbelah.
Untuk beberapa saat, Luis hanya menatap Austin. Lalu, “Aku jadi teringat kedua orang tuaku jika melihat tindakan-tindakan yang kedua orang itu lakukan. Kini aku sangat rindu dengan kedua orang tuaku.”
“Apa kau dekat dengan kedua orang tuamu?” tanya Austin pelan.
“Bisa dibilang begitu.” Luis mengambil sisa roti selai cokelatnya dan memakannya sedikit-demi-sedikit. “Aku hanya mempunyai dua saudara. Yang pertama kakak cowokku dan yang kedua kakak cewekku. Kakakku yang cowok tinggal di Selandia Baru sekarang. Sedangkan kakakku yang cewek sedang bekerja di London dengan Paman Harold. Jadi, bisa dibilang aku cukup banyak dapat perhatian dari kedua orang tuaku. Bagaimana denganmu?” tanya Luis, menatap mata Austin yang cemerlang itu.
Sebelum bisa menjawab pertanyaan dari Luis, Austin terkekeh sebentar. “Aku dengan kedua orang tuaku?” kata Austin lambat untuk setiap kalimat yang ia lontarkan. “Tidak juga. Aku tidak dekat dengan mereka. Kami hanya dekat apabila sedang makan malam. Selebihnya tidak akan. Semacam ada dinding di antara kami.”
“Tidak ada hal yang seperti itu,” sahut Luis buru-buru. “Tidak ada yang namanya dinding antara anak dan orang tua.”
“Oh, ya, ada” kata Austin malas. “Contohnya aku dan kedua orang tuaku.”
Luis memutar kedua bola matanya. “Hal semacam itu tidak ada. Kau saja yang merasa seperti itu” tukas Luis dengan nada suara sengit. “Jika kau bisa lebih santai dengan mereka, aku yakin kalau kedua orang tuamu pasti aka—“
“Aku sudah santai menghadapi mereka berdua, hanya saja, mereka berdualah yang tak pernah mencoba santai denganku” potong Austin, wajahnya merah padam, lelah. “Kau juga tidak tahu bagaimana keadaan keluargaku. Kau tidak bisa langsung menilainya seakan hal itu hal yang mudah di atasi!”
Luis terbelalak kaget. Mendengar semua ucapan panjang dari Austin. “Maafkan aku!” ujar Luis tulus. “Maaf kalau terlalu sok tahu tentang keluargamu. Tentu saja aku tidak tahu apa-apa tentang mereka.”
Austin mendesah lamban. Dahinya membentuk kerinyitan lelah. “Yah, tidak ada gunanya membahas tentang keluargaku. Bisa dikatakan tidak ada sama sekali yang menarik dalam kehidupan keluargaku. Yang penting untuk kedua orang tuaku hanyalah pekerjaan mereka.”
“Mom dan Dadku juga seperti itu. Tetapi mereka tahu kapan harus membagi waktu mereka dengan pekerjaan yang mereka lakoni dan untuk keluarga.”
“Andai saja kedua orang tuaku juga bisa berpikir seperti kedua orang tuamu,” Austin meneguk kopinya. Matanya yang hijau kehitaman itu menatap Luis waspada. “Boleh aku berujar sesuatu? Sebelum kita salah paham lagi!”
Luis mencibir pelan. “Walaupun aku mengatakan tidak boleh juga, kau pasti tetap akan mengatakannya. Jadi, apapun hal yang ingin kau katakan, yah, katakan saja!”
“Kali ini aku benar-benar memberitahu Andreas bahwa kau memang kekasihku.” Austin langsung mengangkat tangannya, menyuruh Luis untuk tidak menyahut dulu perkataannya. “Aku tidak peduli kita baru bertemu beberapa jam yang lalu. Aku tidak peduli tentang fakta bahwa kita berdua sangat suka sekali cek-cok. Aku juga tidak peduli bahwa kau seorang laki-laki. Aku sudah terlanjur nyaman denganmu. Walaupun kau adalah orang paling menyebalkan yang pernah aku temui di hidupku.”
Mulut Luis terbuka sedikit, lalu ia menutupnya kembali. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Mendengar kenyataan kalau Austin mengucapkan kata-kata yang baru saja dilontarkan cowok itu, Luis merasa benci namun gembira. Ia menyukai keadaannya yang sekarang. Entah apa yang sudah merasuki diri Luis. Ia tidak pernah merasa seperti ini terhadap cowok lain. Bahkan ia tidak pernah memimpikan akan berkencan ataupun dianggap sebagai seorang kekasih dari seorang cowok. Fakta bahwa baru saja ia cukup senang dengan kenyataan kalau Austin menganggapnya seorang kekasih—meskipun belum tentu benar—Luis merasa tidak ada gunanya ia merasa jijik dengan hal itu saat ini.
“Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?” tanya Austin laun. “Kali ini aku benar-benar berharap kau mengatakan sesuatu.”
Luis terkekeh malas, berpura-pura agar rasa gugupnya tidak terlalu kentara. “Tidak ada. Memangnya kau berharap aku mengatakan apa?”
Austin berlagak memikirkan sesuatu. “Bahwa kau senang karena baru saja aku tidak bercanda tentang hal itu.”
“Well, aku senang, kalau begitu. Kau gembira sekarang?”
“Yah, lumayanlah. Daripada kau tidak mengatakan sesuatu.”
Setelah itu makanan mereka berdua datang. Luis tidak berminat untuk berbincang-bincang dengan Austin saat ini. Karena apabila ia membuka mulutnya, jantungnya akan berdegup kencang dan ia merasa sangat gugup. Untuk melihat cowok itu saja rasanya sulit. Padahal beberapa saat sebelumnya Luis tidak ada masalah menatap cowok yang ada di hadapannya. Mungkin karena perkataan cowok itulah yang membuatnya seperti itu. Baiklah, Luis memang akui ia gugup karena perkataan cowok itu. Cowok manapun pasti akan gugup apabila mendengar perkataan itu terlontar dengan santainya dari mulut seorang cowok lain.
Andreas kembali datang dengan sebuah minuman bersoda yang terlihat lezat di atas nampan pelayannya. Wajah Prancisnya yang berbentuk oval itu memancarkan sebuah kebaikan. Andreas menarik sebuah kursi berlengan dari balik badan Luis. Mulutnya yang tipis itu terbuka sedikit ketika berbicara. “Bagaimana makanannya?”
Luis tahu kalau ia yang diajak bicara. Karena mata Andreas sedang menatapnya dengan penuh minat. “Sangat lezat.” Luis tersenyum simpul ke Andreas. Mencoba menjaga sikap kepada orang yang ada di hadapannya.
Kumis lancip Andreas tertekuk sedikit ketika ia tersenyum. “Chef Mario memang sangat handal dalam membuat makanan” tutur Andreas lembut. “Kami tidak akan tahu bagaimana bentuk kedai ini jika ia tidak ada.”
“Oh, memangnya ia sangat hebat ya?” tanya Luis, matanya memancarkan ke ingin tahuan.
“Sangat. Dobel sangat.” Andreas memajukan sedikit kursinya. “Ia bisa memasak apa saja. Dan semua makanan yang ia buat pasti sangat lezat. Di umurnya yang masih semuda itu, ia sangat cekatan dalam urusan memasak.”
“Memangnya umurnya berapa?” Luis bertanya cepat.
Andreas berpikir sejenak. “Dua puluh dua tahun.” Yang menjawab adalah Austin.
Luis mengernyit. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Austin tertawa kecil. “Ia adalah teman sekamarku saat aku masih sekolah di Bathevelion Senior High School.” Luis hanya mengangguk untuk menanggapi jawaban dari Austin. “Bagaimana kalau kita pulang sekarang?” ujar Austin sambil berdiri. Membersihkan dirinya dari rempah-rempah bekas makanannya. “Sudah hampir larut.”
“Oke!” Luis ikut bangkit. Lalu ia mengucapkan terima kasih pada Andreas dan berjalan cepat untuk menyusul Austin yang saat ini sudah hampir sampai di pintu keluar. Dalam beberapa detik kemudian, Luis langsung menaiki mobil Chevy hitam Austin.
Perjalanan pulang mereka sangat lancar. Para pejalan kaki dan turis-turis sudah hampir habis di Surry Hills. Sehingga jalanan cukup luas untuk bisa mobil lewati. Hanya menempuh waktu dua puluh menit untuk Austin capai asrama Luis. Dalam dua puluh menit itu, tidak ada satupun yang angkat bicara. Karena suasana dalam mobil itu agak sedikit mencekam.
“Jangan terlalu dekat dengan Andreas, oke!” seru Austin ketika mereka sudah sampai di depan gerbang asrama Luis. “Umurnya sudah tiga puluh satu tahun, kau tahu.”
“Oke. Memangnya kenapa jika aku dekat dengan Andreas? Toh, kami hanya mencoba bersikap sopan satu sama lain” ujar Luis sengit.
Austin mendesah mengejek. “Yah, kuharap hanya sampai batas itu saja. Aku tidak senang ketika mendapati kau tersenyum dengan manis terhadapanya, se-akan-akan kau menyukainya. Aku agak sedikit risih dengan keadaan itu.”
Luis tahu kalau sedang ada masalah dengan Austin saat ini. Luis mengerti kalau—mungkin saja, kalau tebakan Luis benar—Austin cemburu terhadap Andreas. Namun Luis tidak berani mengatakan hal itu, sebagai gantinya ia hanya berkata, “tenang saja, aku tidak akan macam-macam dengan Andreas.”
“Bagus,” Luis mendengar Austin berseru lantang.
Yang bisa Luis reaaksikan hanya anggukan. “Aku kembali ke asramaku kalau begitu!” Namun baru saja Luis ingin membuka pintu mobil itu, Austin sudah menarik kepalanya dan mencium bibirnya singkat. Hanya saja ciuman singkat itu sangat berarti penuh untuk Luis. Reaksi Luis untuk ciuman itu hanya senyuman simpulnya.
“Selamat malam!” ujar Austin, bibirnya mengukirkan sebuah senyuman manis. “Mimpi indah!” Austin mengacak rambut Luis lembut. “Sampai ketemu besok!”
Luis mencoba mencari suaranya. “Selamat malam juga. Dan semoga kau mimpi indah juga.” Luis menambahkan beberapa kata sebelum ia keluar dari mobil Austin. “Ya, sampai ketemu besok.” Lalu Luis membuka pintu mobil itu dan berlari kecil ke arah asramanya dengan perasaan senang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Senyuman terus terukir di bibirnya sampai esok pagi. Sampai matahari merekah sempurna di atas langit.
“Kenapa sih daritadi kau senyum-senyum terus seperti orang bodoh?” tanya Revie ketus ke Luis, ketika mereka berlima sedang berada di kelas Biologi. “Dan kenapa kau tidak mengkritik ceritaku? Biasanya kau saja yang melakukan hal itu!”
Yang ditanya hanya tersenyum kecil dan menggeleng kasar. Wajah Luis yang biasanya suram, berubah menjadi sedikit menyenangkan. Ia tak bisa berhenti tersenyum. Setiap kali ia mencoba menghilangkan senyuman dari bibirnya, wajah Austin muncul di ingatannya dan membuatnya kembali tersenyum. Luis sudah berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri kalau hal yang ia lakukan semalam itu bukan apa-apa. Ia tidak ingin menganggap serius hal yang terjadi tadi malam. Ia takut kalau Austin hanya mempermainkannya. Namun, ketika Luis mengingat ciuman singkat yang diberikan Austin untuknya, hati Luis langsung mencelos senang. Sehingga ia tidak bisa berkonsentrasi dengan apa-apa lagi sejak dari pagi tadi. Luis saja tidak sadar bagaimana ia bisa berada di kelas Biologi.
Suara berat Tivo bergema nyaring. “Zink, hentikan itu!” Baru hal ini saja yang bisa membuat perhatian Luis teralihkan dari Austin. Luis mengangkat kepalanya dan melihat Zink sedang mencoret-coret buku gambar Tivo. “Kau tahu, buku ini persediaannya terbatas!” Tivo menyentakan buku gambarnya dari tangan Zink. “Jika kau sedang kesal, jangan lampiaskan ke buku gambarku!”
Zink hanya mengangkat pundaknya, tidak peduli. Wajahnya letih dan sorot matanya sedang tidak berminat pada apapun. Dan yang tadi malam rambutnya tertata rapi kini sekarang sangat berantakan. Ujung-ujung rambutnya mencuat kemana-mana. Di mata Zink juga terdapat kantung berwarna hitam yang sangat kentara. Bibirnya berkedut malas. Zink mengangkat tangannya dan mengacak-ngacak kembali rambutnya dengan begitu keras.
“Kau kenapa sih?” tanya Andy yang sedang menggosok-gosok jam dinding kelas dengan tisu kamar mandi. Hari ini adalah jadwal Andy untuk piket kelas. “Kau bisa menceritakan hal yang sedang mengganggumu itu kepada kami!”
Luis mengalihkan tatapannya dan kembali menatap Zink yang seperti orang depresi. “Ya, kau bisa menceritakannya pada kami.”
“Lihat siapa yang akhirnya bicara!” seru Revie sarkastis. Wajah persolennya mengkilap ketika tertimpa sinar matahari. “Kupikir kau tidak tahu bagaimana caranya berbicara!” Revie menatap Luis tajam.
Reaksi Luis untuk cibiran dari Revie hanya senyuman bodohnya. Revie memutar bola matanya lalu beralih menatap Zink. Yang ditatap hanya terus mengacak rambutnya dan tidak memperdulikan tatapan sahabat-sahabatnya. Luis yang ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi pada Zink, langsung menyikut rusuk Zink keras dengan ujung lengannya. Mata Luis yang berwarna hijau itu melotot sedikit dan meminta Zink untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.
Akhirnya Zink membuka mulutnya. Suaranya serak serta parau. “Jacob menciumku!” seru Zink, lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
--Sorry, nge-gantung. Mungkin bakalan gue lanjutin kalo ada tanggapan positif dari pembaca. Maaf ya kalo selalu ngasih cerita menggantung.--
Lagi sibuk berat nih. Cerita ini untuk menuhin waktu luang kalian aja sih (para pembaca)
Yang mau baca silahkan, yang nggak mau juga nggak apa-apa
@callme_DIAZ
@kutu22
@Dltyadrew2
@Monic
@0003xing
@Beepe
@Bintang96
@Rikky_kun
@Dimz
@Snowii_
@Gabriel_Valiant
@indoG
@n0e_n0et
@Cheesydark
@Venussalacca
@jokerz
@bponkh
@laikha
@foursquare
@Ian_McLaughlin
@alexwhite
@Archiez
@dionville
@mahardhyka
@sandy.buruan
@DiFer
@obay
@egalite
@Jhoshan26
@adinu
@tyo_ary
@ananda1
@adilope
@dannyfilipe1
@exxe87
@cassieYJS
@bi_men
@lintang1381
@aldi_arif
@hikaru
@harya_kei
@YuuReichi
@Tsu_no_YanYan
@No_07021997
@yubdi
@wisas
@bladex
@tohartoharto
@cmedcmed
@CoffeePrince
@wandi_aja
@faradika
@adre_patiatama
@hwankyung69
@Adam08
@haikal24
@bebong
@DM_0607
@raka_okta
@arifinselalusial
@sky_borriello
@tamagokill
@Rizal_M2
@angelofgay
@pokemon
@FauziNIC
--Jangan demo gue gara2 Overcast Day bulem gue lanjut yaa --
Gw pikir ini emang udh karakteristik crita lu. Angkuh dan sarkastik, tp kerennya lu bsa mengemasnya dengan lucu, simpel, tp juga sarat emosi (ya emosi2 remaja gt dhe). KEEP IT UP DUDE !
@hwankyung69 : thanks yaaa. kritiknya udah gue ikutin tuh