It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
[ Me and Endy Pov ]
Aku menghentikan semua ketikanku disaat Endy menjeda ceritanya. Ku baca kembali segala ketikanku, kemudian ku arahkan tatapanku pada Endy,
“ada apa?” tanya Endy
“tak ada”
“yakin?”
Aku terdiam, aku menghela nafas sejenak,
“aku belajar mengerti tentang dirimu melalui tulisanku sendiri”
Endy tertawa kecil, kemudian ia meraih sebungkus rokoknya, di keluarkannya sebatang, ia bakar, kemudian ia hisap dan ia hembuskan asapnya hingga mengepul ke udara,
“apa yang kau tangkap tentangku melalui tulisan mu sendiri?”
Aku awalnya ragu, karena itu aku menggelengkan kepala,
“entahlah, aku tak begitu mengerti”
****
Sore itu, Endy mengajak Revan untuk berjalan-jalan, makan, dan pada akhirnya mereka bersantai di tepi sebuah pantai, tempat di mana untuk pertama kalinya, Endy mengajak Revan untuk menikmati suasana pantai di kala malam hari.
Endy tampak berlari-lari mengejar ombak yang kembali ke perairan, kemudian ia juga berlari-lari ke arah Revan ketika ombak tampak seolah mengejarnya, di wajahnya terpancar sebuah senyuman, senyuman yang juga di layangkan untuk Revan.
Revan hanya terduduk manis dengan kedua kaki terlipat dan kedua tangan memeluk lipatan kaki tersebut,
“ayo kesini” ajak Endy, Revan menggeleng pelan, ia hanya duduk disana, tempat semula ia duduk dan hanya ingin menatapi Endy. Ada yang berbeda ketika ia melihat Endy dari tempat ia duduk,
Endy mendekati Revan, kemudian ia merubuhkan dirinya diatas pasir tepat di samping Revan, Revan menolehkan sejenak kepalanya ke arah Endy, kemudian ia kembali menatapi lauatan lepas,
“sering aku perhatikan, jika sedang bersamaku, kamu seperti memikirkan sesuatu” ujar Endy dengan tiba-tiba yang wajahnya sudah berada di depan Revan, membuat pria muda itu sedikit terkejut,
Dilihatnya kedua mata Endy menatapnya dalam-dalam. Endy menatapi wajah Revan yang sangat manis, ditatapnya kedua mata yang cerah nan bening tersebut, hidung kecil yang mencuat tinggi, serta bibir tipis yang sangat mengikat hasrat. Endy menelan ludahnya berulang kali. Jantung keduanya terasa berdetak cukup kencang.
Revan tak berani menatapi mata Endy dengan secara langsung, karena ia tahu, Endy masih menatapi dirinya bagaikan seekor harimau buas yang siap menerkam dirinya kapan saja. Revan juga merasakan, dengusan nafas dari lubang hidung Endy yang sebentar lagi mendekat padanya.
Pada saat-saat seperti itu, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, apa ia harus menolak, atau ia harus menerima semua yang akan dilakukan oleh Endy terhadapnya.
Secepat kilat Endy hengkang dari hadapan Revan.
“sori, aku tidak berniat melakukan apapun terhadapmu” jelas
Endy sedikit salah tingkah, Revan terdiam,
“ya..tak apa”
****
Di dalam kamarnya, Endy mengumpat dirinya sendiri, segala kata kasar ia layangkan untuk dirinya sendiri. Bagaiman seorang pria sejati seperti dirinya dapat berbuat hal aneh seperti yang ia lakukan tadi ketika di pantai terhadap Revan yang nyatanya juga seorang laki-laki. Sungguh sangat memalukan pikir Endy. Perempuan masih enak untuk dinikmati.
Ia terus menerus mengumpat dalam hati tiada henti.
Revan terbaring diatas ranjang tidurnya. Matanya menatapi langit-langit didalam kamar. Jantungnya masih belum berhenti berdetak, masih dengan detakan irama yang cepat, dilangit-langit kamar, terbayang sebuah wajah, sebuah wajah yang tak asing baginya, wajah yang baru saja beberapa jam lalu berada tepat didepan wajahnya. Wajah Endy.
Sedikit merasa malu pada dirinya sendiri. Revan meraih bantal dan menutupi wajahnya. Kemudian ia hempaskan bantal yang menutupi wajahnya itu, lagi-lagi wajah Endy masih saja belum hilang dari benaknya. Ia pusing. Entah bagaimana harus menghilangkan bayangan wajah Endy, ia juga bingung dengan apa yang ia rasakan pada saat itu.
Perlahan-lahan. Wajah Endy yang masih saja terbayangkan olehnya memudar seiring lelapnya Revan dalam tidur.
****
Revan terbangun ketika langit diluar jendela sudah tampak gelap, dirasakan kepalanya cukup berat dan agak sedikit pusing, efek terlalu lama tidur. Revan memandangi sekeliling, gelap.
Telinga sengaja ia tajamkan, tak ada suara aktivitas apapun di bawah sana, sepertinya mami tercintanya itu belum pulang, Vino juga sedang berada dirumah papinya.
Dengan malas-malasan, Revan menyalakan lampu meja yang berada di sisi tempat tidur. Bunyi pesan singkat dari ponsel menyambangi Revan.
1 New Message
From : Endy
lagi apa?
Revan menggenggam erat-erat ponselnya, timbul sedikit keraguan untuk membalas pesan tersebut, ditatapi ponsel yang berada di dalam genggamannya. Seolah ada sebuah bisikan dari dalam hatinya, Revan pun mengarahkan jemarinya untuk mengetik setiap huruf yang telah tersusun rapi di dalam hati,
Reply
To : Endy
Baru bangun tidur, ada apa?
Send
Delivery Success
Revan tak langsung meletakkan ponsel. Ponsel masih berada dalam genggamannya. Tak berharap banyak jika mendapat balasan, di satu sisi, ia mengharapkan balasan dari Endy. Selang tak berapa lama,
1 New Message
From : Endy
nggak ada apa-apa, Cuma mau ngasih tau
aku ada di bawah rumah
Revan terbelalak sejenak menatapi huruf-huruf yang tertera pada layar ponselnya, diarahkan tubuhnya untuk turun dari atas ranjang serta pandangannya mengarah keluar jendela kamar.
Tampak Endy sedang duduk diatas motor yang diparkirkan di depan pintu gerbang pagar rumahnya. Revan pun beranjak keluar dari dalam kamar menuju lantai bawah.
“hai” sapa Endy,
“hai” jawab Revan seadanya sambil membukakan pintu pagar.
Endy menggiring motornya untuk masuk kedalam pekarangan, dan diletakkan dengan sempurna di koridor garasi, setelah mengunci pagar kembali, keduanya pun masuk ke dalam rumah.
Dengan sopan Endy duduk di sofa didalam ruang tamu, tatapannya ia arahkan ke sekeliling rumah,
“Vino mana Van?” tanya Endy,
“Vino nginep di rumah papi”
“oh...” Endy mengangguk-angguk, Revan tak langsung duduk menemani Endy, ia beranjak ke dalam dapur dan keluar dengan sebuah nampan berisi air dingin dari dalam kulkas, nampan itu kemudian ia letakkan diatas meja,
“makasih” ujar Endy
Revan hanya tersenyum kecil. Endy mengambil gelas berisi air dingin itu dan di tenggaknya, sudut matanya sesekali menatapi Revan yang duduk disampingnya,
“kok diem aja?” ujar Endy setelah menenggak air minum,
“hah? Oh..efek bangun tidur”
Keduanya terdiam.
“tumben main kesini?” tanya Revan,
“iya, bosen di kost sendirian, jadinya datengin kamu deh, nggak apa-apa kan??”
“nggak apa-apa kok”
“besok mau jalan?”
“kemana?”
“terserah kamu aja Van, aku ikut aja”
“lho, kan kamu yang ngajakin”
“iya sih, tapi aku ikut aja sama kamu”
“aku nggak punya tujuan”
Keduanya kembali terdiam sejenak, “gimana kalau kita nonton, mau?”
“nonton?”
“iya, nonton”
****
Antrian pengunjung yang panjang bak ular di counter penjualan ticket terlihat dari arah pintu masuk ketika keduanya sampai.
Dari informasi yang di dapat Endy dari teman-temannya,film yang akan mereka tonton pada hari itu, adalah film horror hollywood yang kabarnya menjadi film horror terbaik tahun itu. Sehingga, tak heran jika anak muda, bahkan orang-orang dewasa berbondong-bondong mengantri untuk mendapatkan ticket, demi menonton film tersebut.
“antriannya panjang juga ya” gumam Revan,
“iya nih, yaudah kamu tunggu disini ya, aku beli ticket dulu”
Revan mengangguk, Endy pun maju untuk memasuki barisan. Lama berada di dalam antrian yang cukup panjang, Endy berhasil mendapatkan dua buah ticket. Tak mengecewakan, mengingat orang yang tadi berada di berada di belakangnya kehabisan ticket.
Sambil menunggu jam pemutaran dimulai, keduanya memilih untuk bersantai sejenak di sebuah cafe yang berada didalam bioskop
Endy memilih duduk diluar ruangan cafe, karena ia merokok.
“kamu ngerokok?”tanya Revan
“iya, kamu nggak boleh ikutan ya”
Revan tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Seorang pelayan datang menghampiri mereka sambil membawakan sebuah buku menu, usai memesan, pelayan itu pun berlalu dan meninggalkan keduanya.
“ini pertama kalinya kita nonton bareng ya Van” tukas Endy,
Revan terdiam sambil menatapi pencahayaan remang diatas meja,
“biasanya, kalau weekend, kamu jalan sama siapa aja Van?”
“paling jalan sama temen-temen aja”
“kemana?”
“nggak tentu, tergantung temen-temen, aku sih ikut aja”
“oh gitu”
“iya”
“yaudah, nanti kedepannya, aku aja yang ngajakin kamu jalan, gimana? Mau nggak?”
Revan menolehkan kepala, ditatapnya Endy untuk sejenak, di lihatnya Endy sedang menghembuskan asap rokok ke udara dengan kedua mata terarah kepadanya,
“kamu nggak kerja?”
“nggak masalah kalo soal kerjaan”
Si pelayan kembali membawakan pesanan keduanya, dan kembali berlalu. Keduanya pun mengobrol panjang lebar, banyak hal yang dibicarakan oleh keduanya, tanpa memperdulikan sekitar mereka.
Di depan Revan, Endy dapat bebas menunjukkan jati diri Endy yang sebenarnya tanpa harus berpura-pura mejadi orang lain. Ia merasa nyaman ketika berbicara dengan pria muda tersebut. Muda tak menjamin seseorang tidak memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
“Pintu theater 1 telah dibuka, para penonton yang memiliki karcis diharapkan untuk segera masuk kedalam theater, karena pertunjukan film akan segera dimulai”
Pengeras suara di dalam bioskop sudah terdegar berulang kali. keduanya dengan segera masuk kedalam gedung bioskop. Film dibuka dengan musik yang membuat bulu kuduk siapapun pun merinding.
Seiring dengan berjalannya film, semua penonton termasuk Revan dikejutkan dengan adegan-adegan mengerikan dan musik yang memang membuat sesiapapun dapat terperanjat.
Tanpa disadari sepenuhnya oleh Revan. Revan menggenggam erat tangan Endy ketika film menampilkan adengan mengerikan dan musik yang mendebarkan jantung. Revan mulai menyadari itu semua, ketika ia merasakan Endy membalas genggaman erat tangannya.
Revan sangat malu dan takut jika ada orang lain di sekitar mereka yang melihat kejadian tersebut, ia pun berusaha sekuat tenaga melepaskan genggaman Endy.
Tapi Endy, ia semakin memperat genggamannya dan tak mau melepaskan tangan Revan begitu saja, ia malah tampak santai dan berharap film tersebut semakin banyak menampilkan adegan-adegan menyeramkan. Revan pun merasakan mukanya menjadi merah padam.
Selama dua jam lebih keduanya berada di dalam gedung theater dengan tangan yang saling berpegangan. Revan yang awalnya merasa malu mulai terbiasa, karena memang film yang mereka nonton cukup menegangkan. Penonton pun tampak keluar dari bangku mereka masing-masing dan berjalan menuju pintu keluar.
Sekeluar keduanya dari dalam gedung, Endy segera menuju toilet, Revan menunggui Endy di luar toilet sambil melihati poster-poster film yang akan datang yang terpajang di kiri kanan dinding,
Seorang pria tak di kenal, menerobos kerumunan orang, berjalan menghampiri tempat Revan berdiri,
“hai”
“ah.. hai” balas Revan dengan kedua alis mengerut, karena ia merasa asing dan merasa tak pernah mengenal pria di depannya itu sebelumnya,
“namaku Eza” ujar pria tersebut sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Revan untuk berbisik dikarenakan tempat dimana Revan berdiri cukup ramai oleh pengunjung, “boleh kenalan?”
Revan tampak canggung, belum sempat Revan menjawab ucapan pria itu, Endy yang telah keluar dari dalam toilet, melihat dan mendengar kejadian itu, dengan cepat memotong,
“boleh aja, asal kamu juga kenalan sama aku” jawab Endy dengan tiba-tiba
“hmm... sori, kamu siapa ya?”
Endy menjulurkan tangannya pada pria tersebut, “aku pacarnya cowok ini” ujar Endy pelan dan dengan gaya yang sangat percaya diri,
“Endy”
Eza menjabat tangan Endy dengan kedua alis yang mengerut,
Revan membelalakan kedua matanya yang bulat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Endy. Dirasakan oleh Revan, tangan Endy merangkul pundaknya, mengelusnya sejenak, kemudian Endy segera membawanya meninggalkan tempat itu.
Sempat Revan lihat, pria yang mengajaknya kenalan itu terus menerus menatapinya yang semakin menjauh.
Diluar gedung, tepatnya di parkiran motor, Endy melepaskan rangkulannya,
“Van, maaf ya, aku tadi itu sengaja berbuat kayak gitu, soalnya aku takut kalau kamu diajak kenalan sama dan
diapa-apain sama orang asing”
Revan menghela nafas sejenak, ia mencoba tersenyum dan mencoba untuk menghilangkan rasa shocknya yang masih belum hilang semua,
“nggak apa-apa kok, makasih ya”
“tapi kalo tadi omonganku itu beneran, kira-kira Revan mau nggak ya, jadi pacarku” ungkap Endy,
“hah?”
“hahahahaha.... nggak kok Van, aku Cuma bercanda aja”
****
@hikaru : ok boss
“selamat siang, selamat da...” Endy menghentikan ucapan salamnya seketika, matanya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam coffee shop tempat dimana ia bekerja.
Wanita itu juga membalas tatapan Endy, diarahkan matanya untuk menatapi Endy, dari ujung rambut hingga kaki.
****
“silahkan diminum ma” ujar Endy yang kemudian duduk di depan Sitta, wanita yang 25 tahun lalu melahirkannya. Sitta menatapi wajah putra sulungnya dalam-dalam.
Sinar matanya memancarkan perasaan iba terhadap kondisi putranya itu,
“kau masih mengingatku sebagai mamamu?”
Endy terdiam, ia menundukkan wajah, tak berani menatapi wajah ibunya secara keseluruhan. Tangannya tampak canggung dan memain-mainkan celemek yang dikenakan. Sitta menatapi wajah putranya dalam-dalam. Diulurukan tangannya untuk meraba wajah Endy,
“apa pola makanmu tidak teratur?” tanya Sitta dengan suara tertahan, “kau tampak kurus dari sebelumnya”
“mama tak perlu mengkhawatirkan aku, aku disini baik-baik saja”
“orang tua mana yang tak mengkhawatirkan anaknya”
Endy kembali terdiam,
“apa kau tahu, semenjak kau meninggalkan rumah, mama dan
Maya sangat kesepian, terlebih-lebih papamu nak” mata Sitta tampak berkaca-kaca,
“aku tak butuh papa seperti dia”
“jaga ucapanmu Endy” tegas Sitta, “bagaimanapun juga, dia adalah papamu, kau tidak boleh berbicara seperti itu” sambungnya.
Endy membuang pandangannya keluar jendela.
“bagaimanapun juga, papamu mau kau menjadi yang terbaik”
“tapi bukan dengan cara seperti itu jika ingin membuatku menjadi semakin baik, itu sama saja menyiksaku secara pelan-pelan”
“nak, setiap orang tua, memiliki cara masing-masing dala mendidik anak-anak mereka, begitu juga papamu” Sitta menenggak sejenak Camomile tea di hadapannya, kemudian melanjutkan pembicaraanya,
“maksud papamu adalah baik, hanya saja, cara yang ia gunakan, tidak pantas”
Di saat yang bersamaan, Revan mendatangi coffee shop tempat Endy bekerja dan tempat favorit bagi dirinya untuk bersantai. Ia segera mengitarkan sekeliling, tak bisa dipungkiri, ia mencari sosok Endy.
Sosok Endy yang ia cari, di dapati sedang duduk di pojok, tempat favoritnya bersama dengan seorang wanita paruh baya, Revan pun mengurungkan niatnya untuk mendatangi Endy.
Revan berjalan ke arah counter untuk memesan minuman kesukaannya, dan mengambil tempat duduk sembarang dengan mata tak lepas dari Endy. Hatinya bertanya-tanya, siapa wanita yang bersama-sama dengan Endy? Ia pun menunggu.
****
“eh, Revan...baru dateng?” tanya Endy yang mendampingi Sitta dan berniat untuk mengantar Sitta hingga pintu coffee shop,
“oh, iya...”ujar Revan sambil bangkit dari duduknya. Sitta melihati Revan, kemudian tersenyum pada pria muda itu,
“ini...siapa End?” tanya Sitta pada Endy,
“oh iya aku lupa, ini Revan ma, teman Endy”
“oh...” Sitta mengangguk-anggukkan kepala, kemudian dengan ramah ia menjulurkan tangannya dengan anggun ke arah Revan, dengan sigap Revan membalas uluran tangan Sitta,
“Revan, ini mamaku”
“Revan tante”
“Sitta”, keduanya pun melepaskan jabatan tangan. Mata Sitta memandangi Revan dari atas hingga bawah, kedua bibirnya menyimpulkan sebuah senyuman kecil, entah apa yang berada di benak Sitta pikir Revan kala itu. Revan tampak canggung dilihati seperti itu.
“sudah lama kenal sama Endy?” tanya Sitta,
“o.. itu..e..” Revan terbata,
“belum ma, kira-kira dua bulanan ini aja”
“oh...” Sitta kembali mengangguk-anggukkan kepala,
Revan mencoba untuk tersenyum seadanya. Sebenarnya ingin bertanya-tanya lagi pada Revan, tapi ia rasa tak perlu dan belum tepat pada waktunya, dari itu, ia pun berpamit diri, kemudian beranjak meninggalkan coffee shop.
“itu mama kamu ya?”tanya Revan,
“iya”
“kok kamu nggak pernah cerita ke aku?”
Endy tersenyum kecil, “kalau waktunya sudah pas, pasti aku ceritain”
“eh...? ok...”
Endy menatapi Revan dengan senyuman, “panas-panas gini kenapa kesini? Kalaupun mau kesini, kenapa nggak bilang sama aku, kan bisa ku jemput”
“bosen di rumah, kamu kan lagi kerja, nggak mau ganggu”
Revan menyeruput minumannya
Endy menyipitkan matanya sambil menatapi Revan,
“kenapa?” tanya Revan,
“apa gara-gara kemaren aku rangkul kamu, kamu sekarang
jadi kangen ya sama aku, makanya panas-panasan gini, dibela-belain dateng”
Tanpa basa-basi, wajah Revan seketika menjadi merah padam.
“nggak kok”
“ayo ngaku”
“beneran nggak kok”
“nggak mau ngaku?”
“beneran bosen di rumah”
“hmm... yang bener?”
“beneran”
****
Sebagai seorang single parent, Litta disibukkan dengan urusan kerjaan yang benar-benar tak dapat ia tinggal, harap dimaklumi, di perusahaan tempat dirinya bekerja, Litta menjabat sebagai general manager.
Di saat semua orang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya, Litta merasa ponselnya yang berada di dalam tas bergetar, ia pun mengeluarkan ponsel tersebut dari dalam tas,
1 New Message
From : Andri
Jam makan siang ini, aku tunggu kamu di cafe
tempat kita sering bertemu dulu
Litta termenung sejenak memandangi barisan huruf yang tertera di layar ponsel, Ia meletakkan ponselnya dan tak menghiraukan pesan singkat dari mantan suaminya itu. Litta melanjutkan pekerjaannya kembali.
****
Jarum jam di dinding telah menunjukkan pukul 11:55, jam makan siang untuk semua pekerja telah tiba. Beberapa orang karyawan bawahan Litta mengajak Litta untuk makan siang bersama, tapi Litta menolak ajakan mereka, mereka pun berlalu, meninggalkan Litta yang masih tampak berkutat dengan pekerjaannya.
Selesai mengerjakan beberapa dokumen, Litta pun beranjak meninggalkan ruangan kerjanya untuk makan siang. Pada saat berada di dalam mobil, ia tiba-tiba teringat akan pesan singkat yang dikirim oleh Andri.
Hatinya berkecamuk, antara pergi menemui Andri atau tidak. Litta mulai menghidupkan mesin, mengendarai mobilnya meninggalkan area parkir. Selama berada di atas jalan raya, ia merasa dirinya seperti dikendalikan oleh mobil yang ia kendarai sendiri, ia membiarkan mobil yang ia kendarai itu membawanya ke sebuah tempat makan yang banyak menyimpan kenangan bersama mantan suaminya itu.
Sesampainya Litta di tempat yang dimaksud, ia memandangi gedung yang dibangun dengan nuansa klasik itu. Beberapa mobil tampak terjejer rapi di sekitar tempat parkir, dan ada satu buah mobil yang sangat ia kenali betul. Ya...itu adalah mobil Andri. Litta menghela nafas sejenak sebelum pada akhirnya ia melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam gedung cafe.
“selamat siang, selamat datang” sapa pelayan dengan ramah,
“berapa orang ibu?”
“saya mencari seseorang”
“silahkan ibu”
Dengan anggun, Litta melangkah masuk ke tengah ruangan, matanya mengitari setiap sudut ruangan,
“Litta”
Litta segera menoleh ke arah datangnya suara. Dilihatnya Andri sedang berdiri, tampak menyambutnya dengan senyuman khas yang disukai oleh Litta dari dulu. Litta pun beranjak mendekati Andri.
Andri segera menarik kursi yang berada di depannya,
“ayo duduk”
“terima kasih” ucap Litta, Andri pun kembali ke tempat duduknya, ia segera memanggil pelayan yang berdiri tak jauh dari mereka, memesankan makanan dan minuman yang menjadi favorit Litta semenjak dulu jika keduanya mengunjungi cafe tersebut. Pelayan berlalu selesai mencatat pesanan Andri.
“apa kabar?” tanya Andri,
“baik” jawab Litta singkat, “bagaimana denganmu?” sambungnya
“seperti yang kau lihat, lumayan”
“oh... baguslah”
Keduanya terdiam. Bagaikan orang asing yang pertama kali bertemu. Andri merogoh saku celananya, dari dalam celananya ia keluarkan sebuah kotak berbentuk hati dan berwarna merah, kotak itu kemudian ia sodorkan pada Litta. Litta menatapi kota berbentuk hati itu dan juga Andri secara bergantian,
“apa ini?” tanya Litta
“buka saja”
Tangan lembut Litta beranjak untuk membuka kotak tersebut, meskiupun ia sudah dapat menerka-nerka isi dari kota kecil itu,
Sedikit rasa haru menyambangi hati Litta ketika melihat sebuah cincin bertahta permata diatasnya,
“hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita”ujar Andri, “mungkin, perpisahan kita ini membuat kamu melupakan hari ini, tapi...aku tidak mungkin lupa”sambung Andri,
Litta berusaha mengingat-ingat hari itu, ia melihat tanggal di arloji yang melingkar dipergelangan tangannya, Ya... benar, hari itu adalah hari ulang tahun mereka.
Jujur saja, semenjak keduanya memutuskan untuk bercerai dan masing-masing untuk memilih jalan sendiri-sendiri, Litta berusaha melupakan semua kenangannya ketika masih menjabat sebagai istri sah Andri. Ia melipat kembali tangannya, membiarkan Andri masih memegangi kotak berisi cincin itu didepannya,
“aku rasa, kau tak perlu repot-repot menyiapkan ini semua”ucap Litta dingin,
“kau masih marah padaku?”
Litta terdiam,
“aku tahu, aku sangat bersalah padamu, aku bukanlah seorang suami yang baik bagimu, maupun anak-anak kita, tapi...” ucapan Andri terpotong,
“permisi” pelayan yang tadi melayani mereka berdua diawal kedatangan, datang dengan sebuah nampan berisi pesanan keduanya, “silahkan dinikmati” ucapnya seraya berlalu,
“anggap saja ini sebagai rasa minta maafku padamu atas kesalahanku yang lalu”sesal Andri, Litta membuang pandangannya ke segala arah didalam ruangan, ia tahu, ia adalah orang yang mudah luluh, ia gengsi, ia takut airmatanya menetes dan dilihat oleh Andri.
Tapi tak dapat ia pungkiri bahwa ia merasakan matanya sedikit berkaca-kaca.
Andri menutup kembali kota kecil berwarna merah itu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku, ia memilih menu telepon dan memperdengarkan pada Litta suara rekaman percakapan antara dirinya dengan Vino,
“Vino”
“ya pi”
“Vino setuju nggak kalau papi sama mami sama-sama lagi”
“setujuuuuuuu...!!”
“tapi kalau mami nggak mau gimana?”
“Vino bakal marahin mami, Vino nggak mau ngomong sama mami, huft”
Dibalik tetesan airmata Litta, Litta tersenyum geli mendengar ucapan putra kecilnya itu, ia berusaha mengusap airmatanya yang belum menetes terlalu banyak,
“kapan papi ajak mami buat jalan-jalan sama-sama?”
“maunya Vino kapan?”
“sekaraaaanggggg!!!!”
“hmmm... yaudah, papi sms mami ya sekarang”
“iya pi, horeee horeee horeee”
****
Revan segera berhambur keluar dari dalam kamar mandi ketika mendengar bunyi tanda pesan masuk dari ponselnya. Ponsel itu segera diraihnya, dengan wajah yang sumringah, ia membuka pesan masuk itu,
1 New Message
From : Eva
Van, temenin aku belanja yuk...
Udah lama juga kita nggak keluar jalan-jalan bareng
Senyuman sumringah di wajah Revan, seketika memudar kala mengetahui isi pesan singkat yang dibaca adalah kiriman dari Eva, bukan orang yang di tunggu.
****
Menemani Eva untuk membeli baju, adalah hal yang sangat menjemukan bagi Revan. Revan selalu dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan Eva mengenai baju-baju yang ia pilih. Revan menganggap Eva terlalu berlebihan.
Dirinya dan Eva bukanlah sepasang kekasih, apakah Eva terlalu bodoh untuk mengetahui baju mana yang mana pantas untuk dirinya sendiri dan mana yang tak pantas, haruskah bertanya setiap dia memilih setiap baju. Egois memang, tapi begitulah Revan.
Selesai membeli beberapa potong pakaian yang menghabiskan waktu berjam-jam, Eva mengajak Revan untuk mengisi perut di sebuah restoran jepang di sebuah mall. Lagi-lagi Eva bertanya apa yang mau Revan makan, apa yang Revan inginkan, berlebihan, pikir Revan.
Revan bukan lagi anak kecil yang harus ditanya apa yang mau ia makan, ia dapat memilih sendiri makanan yang ia inginkan, tak perlu Eva yang repot-repot untuk bertanya.
“kita duduk di pojok sana ya” ajak Eva, Revan pun mengikuti Eva sambil membawa nampan berisi makanan.
Eva meletakkan kantong belanjaan disampingnya, kemudian ia membantu Revan untuk meletakkan nampan di atas meja.
“sepertinya kau tak begitu senang menemaniku berbelanja” ucap Eva ditengah makan,
“itu hanya perasaanmu saja” jawab Revan sambil fokus pada makanan yang ia makan, tak sedikitpun ia menatapi Eva, sedangkan Eva, sesekali ia menatapi Revan,
“jangan terus menerus melihatku seperti itu, apa yang kau dapat jika kau terus menerus menatapku” ujar Revan ketus,
Eva pun menundukkan kepala dan melanjutkan makannya. Selesai makan, keduanya berjalan-jalan mengelilingi mall tersebut. Keduanya bersikap tak pernah mengenal satu sama lain.
Revan tak begitu memperdulikan Eva yang berjalan dengan tergopoh-gopoh akibat kantong belanjaan yang cukup banyak di kiri dan kanan tangannya.
Sesekali Eva meringis nyeri, karena beberapa tali dari kantong belanjaan melilit di telapak tangannya, tapi ia tak mau memperlihatkan wajah kenyeriannya itu di depan Revan. Revan sendiri baru menyadari hal itu ketika ada salah satu kantong belanjaan Eva yang terjatuh dan disana ia baru melihat jemari Eva tampak kemerahan dan bergetar.
“sini” ujar Revan ketus sambil mengambil beberapa kantong belanjaan dari tangan Eva dengan sedikit kasar.
Eva membiarkan Revan melakukan itu.
Ketika Revan berjalan mendahuluinya, Eva mengibas-ngibaskan tangan dan meniupnya secara berulang-ulang.
“lama banget sih jalannya” Revan tampak gusar melihati Eva yang berdiri dibelakangnya dan fokus pada telapak tangannya, pemuda itu pun berjalan mendekati Eva dengan wajah bak kertas yang terbuntal di genggaman.
Eva menjadi salah tingkah ketika Revan berada pas didepan dirinya, disembunyikannya telapak tangan dibalik punggung. Revan meletakkan kantong belanjaan yang dipegang diatas lantai mall, lalu ia menarik tangan Eva, dilihati sesaat, kemudian jemarinya mulai menekan-nekan telapak tangan Eva, memberikan pijatan lembut agar telapak tangan terasa tidak terlalu kaku.
Selagi Revan memijat-mijat pelan telapak tangannya, Eva memberanikan diri untuk mencuri-curi menatapi wajah Revan.
Tak Eva sangka, Revan yang begitu dingin, ternyata memiliki rasa perhatian terhadapnya. Meskipun tak banyak, setidaknya pijatan lembut jemari Revan atas telapak tangannya itu, sudah dapat membuktikan bahwa Revan peduli padanya. Hati Eva terenyuh, sampai-sampai ia tak sadar jika Revan memanggilnya berulang kali,
“apa yang direnungin?”
“hah? Oh..itu, anu...”
“sudahlah, ayo jalan, capek”
“iya” jawab Eva lirih sembari mengikuti langkah Revan dari arah belakang,
****
Coffee shop tempat Endy bekerja tampak ramai. Terlihat dari Endy dan beberapa karyawan lainnya sibuk berjalan kesana kemari melayani dan mengantarkan pesana dari pengunjung. Endy yang terlahir dengan wajah sempurna, tak jarang menjadi bahan godaan wanita-wanita genit yang haus akan belaian laki-laki.
“mas, boleh kenalan nggak??”
Endy tersenyum kecil sambil meletakkan satu per satu pesanan diatas meja salah seorang tamu di dalam coffee shop,
“boleh aja tante”
“aduh, masa panggil tante sih, panggil mbak aja” ujar Nelly,
“ngomong-ngomong, udah punya pacar belom mas?” lanjut Nelly
“eh iya...mbak”
“boleh minta nomor handphonenya nggak?” pinta Nelly dengan tingkah gaya bicara yang cukup genit,
“buat apa mbak?”
“ya...buat sekedar kenal-kenalan aja” ucap Nelly, “oh iya, ngomong-ngomong, udah punya pacar belom mas?”
Endy terdiam sejenak, pikirannya tiba-tiba tertuju pada Revan, ia sendiri tak tahu, mengapa pada saat Nelly bertanya soal pacar, dengan cepat terpikir sosok Revan. Tak mungkin juga jika ia berterus terang pada Nelly bahwa diam-diam ia memiliki perasaan aneh terhadap seorang pria. Ia sama sekali tak tertarik behubungan dengan sesama pria.
Endy hanya mengagumi, tidak lebih. Baginya Revan adalah seorang anak muda yang sangat menawan. Menawan tak berarti harus menyukai, dan menjalin hubungan, maka dari itu, ia menjawab,
“belum mbak”
“kalau gitu, boleh dong mbak daftar jadi pacarnya”
Endy tertawa kecil, “mbak bisa aja”
“beneran lho ini, abis kamu cakep sih di banding yang lain” Nelly tak malu-malu untuk berucap,
“nanti suami mbak marah lho”
“aduh... suami mbak udah tua, nggak bisa diandalin lagi perkakasnya, mending sama kamu, masih muda, masih kuat, ganteng lagi”
Lagi-lagi pemuda itu tertawa mendengar perempuan yang usianya hampir memasuki usia empat puluhan,
“gimana? Boleh kan mbak minta nomor handphonenya”
Endy menatapi sejenak perempuan paruh baya didepannya. Nelly masih nampak cantik diusianya yang terbilang senior, tubuhnya masih indah, montok, menggoda, serta buah dada yang tampak menggairahkan jika dinikmati, tanpa berpikir panjang,
Endy menuliskan nomor ponselnya pada Nelly di atas selembar tissue, kemudian ia pun berlalu dari tempat Nelly berada.
“namanya siapa mas?”
“Endy”
****
Motor Endy berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berdiri dengan megah di sebuah kawasan perumahan elit Jakarta Selatan. Ia merogoh saku jaket yang di kenakan dan mengeluarkan ponselnya, karena sedaritadi ia merasa ponselnya terus menerus bergetar. Endy pun melihat ponselnya, terdapat beberapa pesan, salah satunya adalah dari Revan,
1 New Message
From : Revan
Endy lagi dimana?
Kala itu, Endy benar-benar tertegun menatapi barisan tulisan dari Revan yang dikirim melalui pesan singkat, tak mengerti dengan perasaannya sendiri pada saat itu. Kemudian ia menolehkan kepalanya pada rumah megah didepannya. Di dalam rumah itu, terdapat seorang wanita cantik nan menggoda yang sedang menunggunya, yang baru saja ia kenal hari ini.
Sebelumnya, Endy sudah menyanggupi permintaan Nelly untuk datang ke rumahnya karena mereka berdua akan melakukan pertempuran basah yang sudah lama Nelly tidak bisa dapatkan dari suaminya.
Dimasukkan kembali oleh Endy ponsel yang berada di genggamannya dengan gesit lalu ia turun dari atas motornya berjalan mendekati pagar dan memencet bel. Ia tak lagi memperdulikan pesan singkat dari Revan, karena menurutnya, ia masih lelaki normal, wanita masih enak untuk dinikmati.
Tak berapa lama, tampak seorang bapak tua yang sopan membukakan pintu pagar,
“selamat malam pak”
“selamat malam, mau cari siapa ya?”
“aku Endy, aku diminta mbak Nelly untuk kesini”
“oh mas Endy, ayo silahkan masuk, nyonya sudah menunggu daritadi”
“makasih”
Usai berpamit, Endy segera menuntun motornya untuk masuk kedalam pekarangan rumah yang cukup besar itu. Ternyata, Nelly sudah menunggu di depan pintu utama bangunan megah tersebut dengan pakaian tipis yang sengaja ia pilih untuk membalut tubuhnya. Endy yang melihat itu, bagaikan seekor serigala buas yang sedang lapar dan siap menerkam,
“hai” sapa Nelly manja,
“hai”
“lama banget sih, udah nggak tahan nih” lanjut Nelly dengan nada suara yang dibuat-buat, yang membuat keperkasaan Endy perlahan-lahan bangkit mengeras,
“maklum aja, tadi jalanan sedikit macet” ucap Endy dengan pandangan yang tak lepas dari kedua buah daging yang padat yang menggantung dibalik pakaian Nelly,
“kok bengong aja sih, ayo donk masuk”
“oh.. iya”
Endy pun masuk kedalam rumah, bagai kerbau yang tercocok hidungnya yang siap ditarik menuju singgsana cinta. Pada saat Nelly akan menutup pintu utama, Endy sengaja berdiri di belakang Nelly, dan secara sengaja pula bokong Nelly diangkat hingga menyentuh barang pribadi milik Endy.
Tanpa malu-malu lagi, Endy segera menggerayangi tubuh Nelly dari arah belakang, kedua tangannya mendekap tubuh wanita itu dan memainkan kedua buah payudara yang amat merangsang dirinya tersebut.
Nelly pun tak mau tinggal diam, tangannya yang nakal ia susupkan pada permukaan celana Endy yang sudah tampak mengeras,
“eh... udah keras nih” goda Nelly,
“iya, udah nggak tahan” bisik Endy,
Keduanya pun masuk kedalam kamar dan memulai aksi liar mereka diatas ranjang.
****
Revan terduduk di sofa ruang tamu dengan wajah yang bosan. Tak ada satupun acara di televisi yang menurutnya menarik dan sedikitnya dapat menghibur. Helaan nafas berulang kali terdengar dari mulut Revan.
Sesekali, matanya menatapi ponsel yang tergeletak diatas meja didepannya. Ia sedang menunggu. Menunggu pesan dari seseorang yang sangat ia harap-harapkan. Selang beberapa saat, tampak Litta muncul di balik pintu. Melihat putra sulungnya berada di ruang tamu, wanita paruh baya itu pun berjalan mendekat,
“hai sayang” sapa Litta sembari melayangkan sebuah kecupan di pipi halus milik Revan,
“hai Mi”
“kok keliatannya kamu bosen gitu sayang??”
“nggak apa-apa kok Mi”
“yakin?”
Revan mengangguk-anggukan kepalanya, Litta pun berlalu, ia tahu suasana hati putranya tak begitu bagus, ia pun tak mau mengganggu lagi, ia segera masuk kedalam kamar. Revan kembali menyendiri.
“kira-kira, dia lagi ngapain ya?” gumam Revan,
****