Part 1
Author: Janneth A
“Kau tau apa arti sebuah pertemuan? Perpisahan. Ya, ketika kau bertemu dengan seseorang itu juga berarti kau akan berpisah dengannya… HEY! Tunggu! Kau melupakan sesuatu! Ketika ada seseorang yang hilang dari hidupmu, maka akan datang seseorang lain yang akan membuat pipimu merona merah ketika dia tersenyum padamu.”
*Deon POV*
Aku terbangun karena mimpiku yang sangat aneh. Aku mimpi seakan ada gempa bumi kemudian semua alien turun dan ingin menangkapku. Yang benar saja? Aku sempat kalang kabut tak bisa bernafas. Entah mengapa akhir-akhir ini aku selalu mendapatkan mimpi buruk. Padahal biasanya aku selalu tidur dengan nyenyak dan ketika bangun, seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, sudah beberapa minggu terakhir aku selalu mendapatkan mimpi yang….. aneh. Melihat jam antikku yang terpampang di tembok kamar, ah, ternyata masih pukul 2 dini hari, sebaiknya aku melanjutkan tidurku yang sempat tertunda karena mimpiku yang aneh. Kini aku sudah bersiap untuk tidur di tempat tidurku, tadinya aku tidur di kursi belajarku, aku tertidur ketika sedang membaca komik-komik favoritku. Aku memang memiliki hobi yang cukup bersahaja yaitu, membaca. Entah mengapa aku suka sekali membaca. Sayangnya aku tidak suka membaca materi kuliah.
Aku berguling ke kanan, berguling ke kiri, ah! Kenapa sih aku ini? Kenapa sekarang jadi tidak bisa tidur begini? Entah mengapa, sepertinya rasa kantuk tiba-tiba hilang saja dari kepalaku. Oh tidak, aku harus tidur! Kini aku hanya memandang kamarku dengan pandangan yang entahlah apa itu namanya. Masih terpampang foto-fotoku bersama temanku waktu SMA dulu di dinding kamarku. Di ujung kamar, terdapat lemari yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil, yah cukup lah untuk menyimpan pakaian-pakaianku. Tepat di samping kanan tempat tidurku terdapat meja belajar lengkap dengan kursi dan peralatan lainnya. Meja belajar ini sengaja aku desain sendiri. Aku meminta ayahku untuk membuatkan meja belajar ini, karena aku sangat senang membaca jadi meja belajar ini tersambung dengan rak buku yang langsung menempel dengan dinding. Rak buku ini berbentuk lingkaran dengan sekat-sekat di tengahnya. Sekat-sekat yang berbentuk tidak beraturan dan saling menumpu satu sama lain membuat rak buku ini sangat artistik! Dulu aku mencari referensinya di google. Kapan-kapan kalau kalian main kerumahku, akan aku perlihatkan rak buku ini pada kalian, ok? Di ujung kiri kamar terdapat dua rak sepatu besar yang terbuat dari kayu mahoni. Hobi keduaku yang sangat amazing adalah mengoleksi sepatu hehehe. Aku merasa sepatu adalah “pride” tersendiri bagiku.
Aku kembali melihat ke arah jam di dindingku. Sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Ah yang benar saja, aku harus tidur, bisa-bisa aku terlambat bangun besok pagi kalau aku sekarang belum tidur juga. Akkkkkkhhhh!!! Aku mengacak-acak rambutku sendiri dan kembali berguling ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba aku teringat pada sesuatu, tidak! Bukan sesuatu, tapi….. seseorang.
#######
“Kaaaak! Kak Deonnnn! Bangun kak!” Samar-samar aku mendengar suara Jean yang berteriak dari balik pintu kamarku.
“KAK DEON! BANGUN KAKAK! Kakak nggak kuliah apa?” Kini aku benar-benar mendengar suaranya yang sangat nyaring di telingaku. Hah? Jam berapa ini? Aku langsung tersentak kaget dan refleks melihat ke arah jam di dinding kamarku. Ya Tuhan! Sudah jam 7 dan fine! Sudah dipastikan aku terlambat masuk kuliah. Akhhhh!!! Ini pasti gara-gara semalam aku tidak bisa tidur.
“Kakak, kok malah bengong gitu sih? Kak Deon kuliah nggak? Jean mau berangkat nih barengan aja yuk, Jean lagi males nyetir sendiri.” Ah iya! Aku baru tersadar bahwa Jean masih berdiri di sebelah tempat tidurku. Jean, adikku satu-satunya. Adik termanis di dunia. Dia mempunyai perawakan yang kecil. Badannya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu kurus. Sangat pas untuk ukuran remaja yang baru saja menginjakkan kakinya di perguruan tinggi. Rambutnya panjang se-bahu, sangat halus, dan teratur. Belum lagi dia mengecat rambutnya itu menjadi warna coklat keunguan. Menjadikannya terlihat semakin lucu dengan warna rambutnya itu. Sangat cocok dengan kulitnya yang kuning bersih seperti kulit wanita keraton. Jean sangat manja denganku. Mungkin karena kini hanya akulah satu-satunya yang dia punya di dunia ini. Dia suka sekali dengan coklat dan eskrim. Dan yang terpenting, dia sangat cerewet.
“Eh, i… iya, Jean. Kakak kuliah kok. Kan harusnya kakak kuliah jam 7 pagi, kok kamu baru bangunin kakak sih, Je?” Tanyaku pada Jean.
“Haaaaa? Yaampun kakaaaaak. Kakak bolos dong berarti? Aduh kak yah mana Jean tau kalo kakak ada jadwal kuliah jam 7, lagian tadi malem kan kakak nggak nyuruh Jean bangunin kakak.” Jean menjawab pertanyaanku dengan ekspresi terkejut sehingga matanya terlihat seperti hampir keluar. Dasar ikan louhan hahaha. Lucu sekali mukanya jika dia sedang berekspresi seperti ini.
“Ya udah nggakpapa deh. Kakak juga baru sekali ini kok nggak masuknya. Bentar kakak mandi dulu abis itu kita berangkat bareng. Kamu udah makan, Jean?”
“Belum kak, bentar Jean masak aja dulu. Kakak mandi gih nanti abis itu kita sarapan bareng. Buruan mandiiiii.” Seketika Jean menarikku keluar dari selimut. Dan aku berjalan dengan malas ke kamar mandi. Ah, sepertinya hari ini tidak akan menjadi hari yang baik buatku. Semoga saja apa yang aku pikirkan ini tidak benar. Semoga.
###########
Kampus, 08.30 AM
Aku sudah berada di kampus. Jean baru saja berlari keluar dari mobil karena dia sudah terlambat untuk masuk ke kelasnya, padahal baru 5 menit terlewat dari jadwal kuliahnya. Hahaha dasar anak itu ada-ada saja. Kompensasi keterlambatan kan 15 menit, lalu kenapa dia harus berlari seperti itu coba? Aku masih berada di depan pintu mobilku, melihat sekeliling kampus yang memang mempunyai bangunan besar dan sangat megah. Terdapat beberapa pohon cemara disini, sehingga terik matahari tidak terlalu pekat menyambar kulitku.
“WOY, BRO!” Aku terkejut ketika ada yang mengagetkanku dari belakang. Vino.
Aku sudah berteman dengannya selama 2 tahun. Aku bertemu Vino ketika kami satu kelas dalam mata kuliah Statistika. Dari situlah kami mulai dekat. Awalnya hanya sebatas menanyakan perihal pelajaran, tapi karena kami merasa cocok ketika bercengkrama maka akhirnya kami menjadi sahabat. Hah? Sahabat? Yang benar saja, bahkan aku tidak benar-benar menganggapnya sebagai sahabatku selama ini. Aku menganggapnya lebih, lebih dari sahabat. Mungkin bisa dibilang pacar? Tapi itu hanya anggapanku saja yang selalu aku simpan baik-baik di dalam hatiku. Aku tidak bisa mengatakan terang-terangan pada Vino bahwa aku mencintainya, karena aku yakin hal itu pasti akan membuatnya seketika lari terbirit-birit dan menjauhiku. Ya, Vino adalah cowok straight. Apa yang bisa aku lakukan hanyalah mengaguminya dari sisi lainku.
“Hah, kampret lo, Vin! Gue kirain siapa hih! Ngagetin aja. Gue cariin lo kemana-mana tau tapinya lo nggak nongol-nongol. Eh begitu nongol malah bikin kaget.”
“Bohong! Orang daritadi gue ngeliat elo belum rubah posisi kok. Lo kan daritadi disini, pake segala ngomong udah nyari gue kemana-mana biar apa coba? Biar gue merasa bersalah sama lo? Hahaha.”
“Ih Vino ihhhh! Gitu amat sih dehhh.”
“Hahaha, kagaaak. Tapi emang daritadi gue ngeliatin lo dari sono tuh kantin. Dasar cowok cantik. Udah yok masuk. Kuliah jam 9 nih kita.” Vino mangacak-acak kepalaku kemudian merangkulkan tangannya di bahuku dan mengisyaratkan aku untuk mengikutinya berjalan memasuki kampus. Aku hanya… ah aku deg-deg an kalau Vino seperti ini!
Aku tidak mengerti kenapa Vino seolah bersikap bahwa aku ini barang yang harus selalu dilindungi. Aku sebenarnya bingung dengan perlakuannya padaku. Dia selalu membuatku merasa melayang-layang ketika aku sedang bersamanya. Perhatiannya padaku tidak wajar jika disebut dengan perhatian yang biasa-biasa saja. Karena dia selalu melindungiku dan selalu memperlakukanku seakan aku ini barang yang mudah pecah. Tapi walau begitu, aku tetap tidak berani untuk mengatakan perasaanku pada Vino. Sejauh ini dia masih menjadi cowok straight dan dia mempunyai pujaan hatinya sendiri, Athena.
Athena adalah satu-satunya wanita yang kuanggap paling cantik di kampus ini. Walaupun aku memang tidak pernah tertarik pada wanita manapun di dunia ini tapi aku bisa menilainya dari segi penampilan dan parasnya yang sungguh sangat anggun, aku tidak bohong. Lagian ngapain aku berbohong pada kalian kan. Penilaianku ini bukan karena dia pacar Vino dan Vino adalah sahabatku, bukan. Tapi yah memang setiap orang yang melihat Athena pasti selalu berkomentar “Apakah dia benar manusia?”
Athena memang dari keluarga yang sangat terpandang. Namanya saja sudah sangat menyeramkan seperti nama dewi Yunani. Dewi perang tepatnya. Memiliki fisik yang sangat kuat dan paras yang sangat elegan, ya, itulah Athena. Dia baik, bahkan sangat baik. Dia selalu menganggapku seperti adiknya sendiri. Memang sih Athena lebih tua dariku tapi hanya beberapa bulan saja. Mungkin karena dia memiliki sifat yang ingin selalu melindungi orang-orang di sekitarnya, jadi dia juga bersikap seperti itu padaku. Dan… mungkin karena aku sahabatnya Vino atau… karna aku terlihat rapuh? Ah, yang benar saja! Aku? Rapuh? That’s soooo last yeaaaaar. Aku kan kuat, orang tiap pagi minum susu….
Kelas Etika Bisnis, 11.00 AM
“Athena gak ke kampus, Vin? Kok gue gak liat dia daritadi?” Tanyaku pada Vino yang notabene sedang duduk di sebelahku sambil memandang dosen, eh tapi kok tatapan Vino kaya tatapan kosong gitu sih.
“Ha?” Tuhkan Vino emang beneran lagi ngelamun. Kenapa ya? Ah ntar aja aku tanyain ke dia.
“Tadi gue nanya, Athena kemana? Kok gue daritadi gak liat dia di kampus? Biasanya kan dia udah duluan nyampe kampus dan ber hai-hai ria ke kita.”
“Oooh, dia lagi nganterin mami mertua ke bandara. Katanya hari ini mau flight ke Singapore.” Jawaban Vino kali ini sedikit terlihat seperti orang yang sedang sedih. Vino kenapa sih?
“Singapore? Ngapain? Perasaan sering banget tuh Tante Mina ke Singapore? Emang ada apaan sih? Liburan? Shopping? Astaga banyak banget duitnya tuh tante-tante.”
“Deoooon! Please, lo nanya apa introgasi gue sih? Kebiasaan deh kalo nanya beruntun gitu kaya polisi aja.”
“Yakaleeee polisi… Hahaha, sorry, Vin. Kebiasaan sih. Yaudah jawab gih pertanyaan gue, tuh tante Mina ngapain ke Singapore? Terus si Nana juga ikut gitu? Nah, terus kuliahnya dia gimana coba kalo dia ikut maminya ke Singapore astagah.”
“Yang seharusnya bilang astagah itu gue, De. Gue harus jawab pertanyaan lo yang mana? Gue aja udah lupa tadi lo nanya apaan ke gue.” Vino berbalik ke arahku, membuat matanya melotot bak hantu-hantu taman lawang atau apasih itu hantu facebook, ah entahlah besok aku bikin deh hantu instagram atau hantu Line sekalian.
“Hahaha! Ampun bang Vino. Udah kebiasaan sih hihihi.” Jawabku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sumpah demi dewa maut ini gak gatel sama sekali.
“Yak! Anda yang dibelakang!" Suara itu...
Tolong beri komen ya yang sudah membaca. Thankyou
Comments
seru banget ceritanya, keren :-)
next!
lanjut
Kebetulan sy ud baca ceritamu yg ini di fb dan sy sukaaa bgt bgt bgt !! Ayo buruan dilanjut ^^
'Dunia Cowok' facebook fanpage buat cerita2 gay
update lagi dong, yang nyabak yah
update lagi dong, yang nyabak yah
RT
RW
KELURAHAN
KECAMATAN
KABUPATEN
:P
“Yak! Anda yang dibelakang, yang memakai kemeja biru muda, bisa tolong sebutkan apa saja yang perlu diperhatikan dalam etika berbisnis?” Suara Mr. Ardi mengagetkanku seketika. Eh tunggu deh, dibelakang? Pake kemeja biru muda? Ini aku bukan sih?
Aku terus bersikap sok cool walaupun celingukan juga liat kanan kiri. Sebenernya Mr. Ardi itu nunjuk siapa tadi? Tapi kalo kemeja biru muda dan duduk di belakang sih kayanya cuma aku dan… hah? Aku? Are you serious? Aku harus jawab apa yaaaaaa Tuhaaaaaan! Bukuku ketinggalaaaaan! Apalagi Vino nih, mana pernah dia bawa buku ke kampus. Nih ya aku kasih tau, Vino itu kalo ke kampus bawaannya cuma gadget, dompet, dan rokok. Ah dasar perokok. Apa dia gak takut kalo aku sahabatnya yang paling unyu di dunia ini jadi perokok pasif, idih nanti kalo aku mati muda gimana. Oh Tuhaaaaan demi dewa maut aku belum mau mati kalo belum megang… hatinya Vino. Kok malah jadi ngomongin Vino gini sih. Ini Mr. Ardi gimana ini aku harus jawab apa tolong banget deh ini tolong banget.
“Iya, Anda yang di belakang memakai kemeja biru muda. Silakan jawab pertanyaan saya.” Tanya Mr. Ardi kepadaku. Catat ya, ini beliau udah tanya yang ke dua kalinya, berarti emang bener kalo ‘Anda yang memakai kemeja biru’ itu adalah aku. Ok, fine. Fineeeee!
“Ya, saya, Mr!”
“Loh? Lhaiya kamu itu. Tolong jawab pertanyaan saya perihal….” Belum selesai Mr. Ardi dengan kalimatnya tiba-tiba…
“Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam etika berbisnis adalah pengendalian diri, pengembangan tanggungjawab sosial, menciptakan persaingan yang sehat, menumbuhkan sikap saling percaya, konsekuen dan konsisten, dan lain sebagainya.” Aku terkejut melihat orang yang tiba-tiba menjawab pertanyaan yang diberikan Mr. Ardi padaku. Hey! Dia merebut pertanyaanku yah! Seharusnya aku yang mendapat nilai, eh jadi dia kan. Rese banget nih orang. Reseeeeeee!
“Lo hidup di tahun berapa sih, De? Gue daritadi nyodorin gadget ke elo kenapa gak digunain? Dongonya dipelihara sih.” Ya…ya..ya… Yang menjawab pertanyaan Mr. Ardi tadi adalah Vino. Yakale siapa lagi kalo bukan dia yang suka mainan sama gadget.
“Mana gue ngerti kalo lo ngodenya juga kaya orang kelilipan gitu, kedip-kedip gak jelas. Yah, gue kirain lo lagi kelilipan atau belekan lah.” Kataku padanya. Kali ini, aku berbicara padanya dengan nada berbisik. Berasa main di film-film horror thriller nih, ngomongnya harus bisik-bisik, soalnya ntar kalo terlalu kenceng, pembunuhnya bisa denger suaraku dan seketika “khah” mati deh. Disini posisinya Mr. Ardi adalah pembunuhnya. Ah udah deh udah, lama kelamaan imajinasiku sampe kemana-mana nih.
“Heh, odong-odong, lo belum jawab tadi pertanyaan gue!” Tanyaku pada Vino. Kali ini aku sedikit membentak tapi tetap pada nada yang berbisik-bisik.
“Pertanyaan yang mana? Emang lo nanya apa ke gue?” Jawab Vino dengan memasang muka pura-pura bego. Gak sih dia emang bego, bloon maksudnya. Kalo IQ nya sih kemaren terakhir ngecek 142 padahal aku cuma 115. Biadab emang itu laki.
“Demi dewa dan dewi maut serta selir-selirnya, Vin wake up buddy! Gue nanya tentang Athena sama tante Mina tadi lohhhhhh. Apa perlu gue kayang dan salto sekarang ke depannya Mr. Ardi?”
Vino melirikku tajam kemudian berkata, “Coba gih salto sekarang ke depan. Yaaaaa, itung-itung nyari tambahan nilai lah kan udah menghibur Mr. Ardi yang mukanya selalu suram kaya landak laut mangap-mangap gitu.”
“Vin! Reseeeee!” Kini aku mendesah panjang. Aku menyerah. Orang ini memang selalu menang walaupun aku yang selalu banyak bicara tapi kenapa Vino yang selalu menang. Bad mood ku udah sampe ke mata nih ih gara-gara nih singa laut.
“Hahaha. Bercanda baby guramiiii. Cowok cantik nanti jadi jelek kalo marah-marah gak jelas gitu. Pake segala manyun-manyunin bibir, udah unyu nanti tambah unyu loh. Tewas semua nanti orang disini liat lo terlalu unyu gini. Gue juga yang repot. Hahaha!” Vino merangkulkan tangannya di bahuku kemudian menenggelamkanku ke dalam keteknya yang sumpaaaaaaah demi waktunya pasha ungu amit-amit jabang bayi bau keteknya Vino ya Tuhaaaaaan.
“Apaan sih meluk-meluk gitu. Pelajaran tau!”
“Yeeee! Udah selese bego! Noh, Mr. Ardi udah gak ada tuh. Udah keluar dia, mau boker kali.”
“Ih ngawur aja!”
Kantin 12.05 PM
“Lo mau langsung pulang atau makan dulu, De?” Tanya Vino padaku ketika kami baru saja sampai di kantin kampus.
Ah, kalian tahu tidak? Yakaleeee tahu gimana orang akunya belum ngasih tahu. Okedeh aku kasih tahu nih ya. Kantin di kampusku ini aneh. Kantin kok sederet panjang banget kaya ruko-ruko gitu bentuknya. Terus, yang jualan disini bukan barang semacam ada tukang bakso, tukang mie ayam, tukang bubur, astagaaaah mana ada kaya begituan disini. Di kantin ini yang ada adalah makanan cepat saji yang biasa kalian temuin di mall-mall gede. Kaya itu tuh yang lambangnya M warna kuning, terus ada lagi yang gambar ayam trus ada warna merah-merahnya, ada juga tuh yang jualnya berbagai macam donat, lambangnya apa yah aku lupa. Yah, pokonya kaya gitu deh makanan-makanan yang dijual disini. Tobat deh tobaaaaaat. Gimana mau nabungnya coba? Mana aku suka banget kalo disuruh makan. Ups!
“Mau minum aja deh gak mau makan. Gue nungguin Jean dulu nih kayanya, soalnya tadi dia berangkat bareng gue.”
“Oh, yaudah kalo gitu. Gue mau pesen makan dulu ah. Lo sini aja nunggu tempat ntar gue bawain minum lo. Kaya biasanya kan?”
“Iya.” Jawabku singkat.
Seketika Vino memasuki resto cepat saji yang punya lambang M warna kuning. Ah, dia memang sangat suka makan junk food itu. Aku memperhatikannya dari belakang. Aku melihat tubuh Vino yang sangat atletis. Tinggi, tegap, dan tidak terlalu berotot jika dilihat. Tetapi jika kau sudah melihatnya ketika dia berenang dan tidak mengenakan bajunya ya dewa dewi Quan In, datanglahhhh! Datanglaaaaah! Bukan, bukan, maksudku, perutnya dia kotak-kotak banget sumpeeeeeh. Walaupun kalo dia sedang berpakaian sih dia gak terlihat terlalu berotot. Mungkin karena badannya yang sangat tinggi. Yang benar saja dia itu mempunyai tinggi 183cm. Udah deh kalo dibandingin sama aku mah mungkin aku cuma se- udel nya dia doang.
“DEON BABY!!!” Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba ada yang membangunkanku dari lamunanku tentang Vino. Ah rese nih orang, reseeeeeee!
“Siapa nih? Pake acara nutup-nutup mata gue segala dari belakang. Pleaseeeh that’s so old school.”
“Hahaha gak asik ah galak banget nih. Aku kan cuma bercandaan lagian masa gak ngenalin suara aku sih?” Ini dia yang namanya Athena. Pacarnya Vino. YA! PACARNYA VINO. Seperti apa yang aku bilang tadi pada kalian. Athena memang sangat penyayang dan anggun. Lihat saja, dia berbicara denganku seperti berbicara dengan pacarnya. Dia tidak pernah menggunakan kata ganti ‘lo-gue’ ketika berbicara dengan orang-orang disekitarnya. Menurut dia, kata ganti itu is not her style. Yayaya, terserah dia aja deh, karena dia cantik jadi apapun pemikiran dia sih aku iya-iyain aja.
Wait, mungkin daritadi aku selalu bilang Athena cantik ya? Tapi jujur saja, emmm… jangan bilang siapa-siapa ya? Aku pure gay kok bukan bisex. Aku gak pernah jatuh cinta sama yang namanya perempuan sedari aku kecil. Kecuali, mamaku dan Jean. Mereka itu darahku.
“Loh, udah selesai nganterin mama?”
WHAAAAAT? Apa? Sejak kapan tuh Vino nyebut mamanya Athena dengan panggilan ‘mama’. Haaaaah let me kayang-kayang aja deh sekarang. Kayanya beneran deh kata-kata Vino tentang mami mertua. As you want aja deh.
“Udah, Vin. Tadi mami langsung berangkat kok. Jadinya gak usah nunggu lama-lama di bandara.” Jawab Athena dengan tenang namun matanya berbinar-binar. Ah dia memang selalu begitu ketika berbicara dengan Vino. Seperti ada cahaya tersendiri yang memancar dari matanya, cinta mungkin. Dan inilah yang selalu aku hadapi setiap hari selama dua tahun ini, dan akan menjadi tahun-tahun berikutnya. Somebody help meeeeh.
Tapi aku tidak mengerti mengapa Vino dan Athena tidak pernah mempunyai panggilan sayang antara keduanya. Entahlah, mungkin karena mereka ini sama-sama sok kali ya. Yang satu sok cool yang satunya lagi sok anggun. Kalo aku mah cuek.
“Emang tante mau ngapain sih, Na ke Singapore? Liburan? Atau shopping? Perasaan tante sering banget deh bolak-balik ke Singapore. Eh, gak cuma Singapore sih, kapan hari itu kayanya baru aja pulang dari Qatar kan? Aduh ngapain sih kesana? Disana kan panas wuhhh. Keluarga lo enak banget sih berasa pipis aja keluarnya uang, pergi ke luar negri udah kayak beli kacang di depan rumah.” Athena tertawa mendengar berbagai macam celotehanku yang isinya semua adalah pertanyaan. Maaf yah, aku memang terbiasa bertanya-tanya seperti ini. Ujung-ujungnya malah terlihat bodoh.
“Deon baby, bisa gak sih kalo nanya itu satu-satu. Aku kan bukan tape recorder yang bisa langsung ngerekam apa yang kamu omongin.” Jawab Athena, masih dengan senyum lebar terpampang di wajahnya.
“Dasar nih cowok cantik emang sama aja cerewetnya kaya Jean. Ampun daaaah!” Tambah Vino sambil mengacak rambutku. What theeee… tangan dia kan kotor lagi makan ayam gitu akhhh Vinooooo!!!
“Gini baby, mami itu bolak-balik ke luar negeri bukan gegara keluargaku kalo pipis keluarnya uang. Tapi karena mami kalo pipis keluarnya darah.” Kata Athena dengan wajah yang sekarang ku lihat sedikit menegang.
“Hah? Pipis darah? Ini kiasan apa beneran sih maksudnya pipis darah? Tapi kalo kiasan maksudnya apaan coba, Na? Ih, Na jelasin ke gue nya jangan pake kiasan dong gue kan gak ngerti. Otak gue kan bolong.” Jawabku dengan ekspresi yang entahlah aku tidak mengerti sekarang aku sedang berekspresi seperti apa di depan Athena dan Vino. Sayang, disini tidak ada kaca…
“Nah itu kamu bilang otakmu bolong juga kiasan kan?”
“Eh, iya yah, Na.” Jawabku sambil menggaruk hidungku yang gatal. Ini gatal beneran kok…
“Jadi gini baby. Mami sakit. Aku gak ngerti sakitnya apaan. Yang jelas kalo lagi pipis pasti ada darah juga yang keluar dari pipisnya mami. Bukan darah menstruasi loh, kan mami udah menopause jadi gak mungkin menstruasi lagi.” Kini wajah cantik Athena meredup. Aku tahu, dia sedih. Dengan refleks Vino langsung menggenggam tangan mungil Athena dan mengelus punggung tangan wanita cantik itu. Dan aku? Whatever dahhh.
“Ya Tuhan, Na. Itu sakit apa kok sampe ngeri banget kaya gitu? Emang gak perih apa keluar darahnya gitu kalo pipis? Aaaaah aku bayanginnya aja nyeri banget rasanya. Berarti selama ini tante keluar negeri buat berobat, Na? Tapi kok sering banget dan gak sembuh-sembuh gitu sih? Ngeri banget, Naaaaaa!” Aku tidak tahu sekarang bagaimana ekspresi mukaku karena aku pikir sepertinya aku sudah mau muntah membayangkan darah. Toloooong, aku tidak bisa melihat darah. Membayangkannya saja aku sudah pusing.
“Iya baby. Aku gak tau mami sakit apa. Sampai sekarang belum ada dokter yang bisa memvonis penyakitnya mami. Makannya mami bela-belain keluar negeri berkali-kali buat cari tahu apa sebenernya penyakit yang mami derita. Kalo aku lihat sih, kayanya mami udah tahu deh penyakitnya, tapi mami gak pernah mau jawab pertanyaanku kalo aku tanya tentang itu ke mami. Mami cuma bilang, Athena berdoa aja yang terbaik buat mami, doain mami biar cepet sembuh. Yah, aku bisa apa sih, De, kalo mami udah ngomong kaya gitu ke aku. Mungkin mami kaya gitu juga buat kebaikan aku, biar pikiranku tetap terfokus sama kuliah. But, I trust her, and always pray for her.”
“Athena, lo harus kuat demi mami lo. Gue salut, lo itu dewasa banget. Bener sih apa kata lo, lo emang harus percaya sama mami lo. Percaya atas segala yang dia lakukan demi kesehatannya dan demi nyenengin anaknya. Mungkin emang mami lo ingin berjuang sendiri menghadapi penyakitnya. Mungkin emang mami lo gak pengen nambahin beban pikiran lo, apalagi lo kan anak satu-satunya di keluarga lo.”
Entah mengapa, aku jadi merasa pandai. Tumben aku ngomong bener. Dan dari kalimat-kalimatku itu semuanya adalah pernyataan bukan pertanyaan, hehehe. Jadi malu nih, hehehe.
Tapi, kalo boleh aku komentar nih ya. Aku gak ngerti dengan jalan pikiran para wanita terutama yang sudah menjadi ibu. Mereka itu hatinya terbuat dari apa ya? Kok bisanya gitu nanggung sakit sendiri dan tidak ingin membagi sakit itu dengan orang-orang terdekatnya yang dalam kasus ini adalah Athena. Mungkin emang bener kata orang, ‘kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan’. Boleh gue ganti gak? Kayanya bagusan gini deh, ‘kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang uang saku masih mengalir dengan deras’ hahaha! Ehm, maaf, kayanya bercandaanku gak tepat waktu ya. Enggg…
“Iya baby. Aku kan selalu kuat dalam menghadapi semua rintangan dunia dan akhirat hahaha.” Tiba-tiba senyum Athena kembali terlihat di wajahnya. Nah, bidadari udah balik senyum lagi tapi… kampret banget itu tangan Vino masih aja megangin tangannya Athena. Ahhhhhhhh!
Rumahku, 5.57 PM
Aku sudah dirumah. Kalian tahu? Aku tadi akhirnya pulang sendirian! Itu disebabkan adikku yang paling manis sedunia ternyata udah pulang duluan bareng temennya. Aduh Jean, tahu begitu aku juga pulang tadi daripada lihat Vino mesra-mesraan sama Athena di kantin kampus. Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi basi, percuma disesali.
“Kaaaaaak! Kakak mau makan apa? Biar Je masakinnnnnn.” Teriak Jean dari dapur.
“Seraaaah. Apa aja mau, kakak laper Je, buruaaaan.” Aku juga tak mau kalah suara dengan adikku yang satu itu. Seketika suara kami menggema di seluruh rumah. Yakaleeee rumah segede gini cuma ditempatin dua orang doang. Sebenarnya ada bibi sih, tapi bibi kalo kerja cuma dua hari sekali. Aku kasihan pada bibi, sudah tua, harus kerja setiap hari, rasanya aku tidak sampai hati. Jadi, aku dan adikku memutuskan untuk mempekerjakan bibi dua hari sekali saja dan selebihnya kami harus mandiri untuk mengurus rumah peninggalan orang tua kami yang gedenya sama asrama polisi aja gede ini. Gak apa lah, anggap aja kami belajar hidup mandiri.
“Oke kaaaak. Baked rice tuna aja yaaaaa! Ada tuna nganggur nih daripada kelamaan di kulkas nanti busukkkkk.” Jean kembali berteriak.
“Iyaaaaaa.” Aku membalas singkat namun dengan nada yang panjang. Adikku yang satu ini memang sangat cerewet. Jika aku tidak cepat-cepat menyetujui apa yang dia sarankan maka… dia akan terus berteriak untuk meminta pendapatku.
“Ting tong! Ting tong!” Suara bel rumahku berbunyi. Sumpah, suaranya menggema banget. Berasa hidup di gua deh jadinya.
Aku berdiri malas dari sofaku yang empuk. Lagian siapa sih yang mau bertamu? Biasanya kan kalo teman-temanku ingin main kerumahku pasti mereka memberi kabar terlebih dahulu padaku sebelumnya. Apa teman Jean mungkin? Ah entahlah.
“Sia…”
“Hay baby guramiiiii!” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat pertanyaanku, tiba-tiba kepala cowok ini udah nongol aja di depan mukaku. Vino.
“Aduh kampret! Ngapain sih, Vin pake teriak-teriak segala sok ngagetin. Hih!” Jawabku berang. Sebal sekali aku jika Vino teriak-teriak begini. Memang dia pikir kami ini hidup di hutan.
“Hahahaha. Bercanda baby guramiii.” Aku tidak mengerti mengapa Vino suka sekali memanggilku baby gurami. Athena memang suka memanggilku baby tapi Vino sedikit aneh ya. Ada embel-embel gurami nya. Emang gurami apaan sih?
“Apaan sih gurami-gurami." Protesku garang...