It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Rayyi’s Point of View
Mataku menatap tajam jam tangan hitam yang melekat di tangan kiriku. Sudah pukul tujuh malam. Aku mendesah keras, putus asa. Sudah lebih dari delapan jam aku duduk termangu di kursi kayu yang berada di belakang penginapan ini. Tempat yang berada di belakang penginapan ini memanglah benar-benar sepi. Sejauh pengamatanku, hanya aku sajalah yang berada di sini sedari tadi. Hanya ada tanaman hijau, beberapa kursi kayu dan kolam ikan kecil di ujung sana. Hal itu mungkin dikarenakan tempatnya yang agak sempit dan tersembunyi karena diapit oleh tembok beton.
Aku telah melewatkan acara perkenalan dan makan siang antara sesama peserta olimpiade tadi siang. Alhasil, sekarang aku merasa sangat-sangat lapar dan haus, ditambah juga dengan kehadiran banyak nyamuk menyebalkan yang sekarang menemaniku. Satu lagi, gara-gara aku diam di sini, aku jadi belum mempunyai teman satu pun, ya… kecuali Moza. Itu pun kalau memang dia masih menganggapku sebagai temannya. Hah, thanks God, lengkap sudah penderitaanku hari ini.
Aku membenarkan posisi dudukku sesaat lalu berdiri dengan kesal karena tanganku sudah terasa sangat gatal digigiti nyamuk-nyamuk sialan itu. Aku sebenarnya ingin kembali ke kamarku dan berbaring dengan nyaman di kasur empukku.
Tapi… oh, Tuhan! Kenapa Engkau bisa-bisanya memunculkan Moza di hadapanku tadi pagi pada situasi seperti ini? Aku bahkan tidak pernah tahu kalau dia akan mengikuti olimpiade ini. Aku sungguh sedang ingin menghindarinya saat-saat ini. Kalau aku tahu kalau akan ada dia di sini sebelumnya, sejak awal pasti aku akan menolak tawaran untuk mengikuti olimpiade pada bidang computer.
Jujur saja aku terus menghindarinya selama ini karena aku takut dan… malu.
Dua tahun yang lalu, saat aku sedang berada di kolam renang rumahnya dan membuka iPad-nya, aku menemukan cerita yang belum selesai dibaca itu di iPadnya. Setelah aku membuka iPad-nya dan sempat bertemu dengannya sekali di depan pintu kolam renang, aku tidak menunjukkan batang hidungku di depannya, juga keesokan harinya saat ia dan keluarganya mengucapkan ucapan perpisahan pada ibuku. Oh, iya. Cerita pendek itu adalah cerita pendek yang kutulis sendiri. Ya, akulah Verbi Pratama itu. Aku menggunakan nama samaran itu agar tidak ada orang tahu identitas asliku.
Jadi… mungkin… selama ini Moza telah tahu kalau aku yang menulis cerita itu. Kalau begitu Moza juga bakal tahu kalau aku gay kan? Kenapa Moza menutupi hal itu dariku? Entahlah, aku juga tidak begitu yakin mengenai hal itu. Tapi, tetap saja aku merasa malu. Apalagi, waktu itu, setelah aku berciuman dengannya, sebelum ia pergi ke toilet, ia berbicara padaku kalau ia akan membicarakan sesuatu padaku dengan nada sangat serius. Mungkin saja ia akan membicarakan mengenai hal itu kan? Mungkin saja. Apa lagi hal yang akan dibicarakannya dengan serius denganku kalau bukan mengenai hal itu?
Oh, mengenai ciuman itu. Saat pertemuan kami yang terakhir kali, saat aku mencium bibirnya yang… demi Tuhan, bibirnya benar-benar sangat lucu dan menggemaskan, sungguh aku lupa diri saat itu. Aku memang bodoh. Saat hari terakhirnya di Bandung, aku malah menciumnya sekaligus membuatnya takut. Tapi… aku menyukai ciuman itu. Ah, ralat. Menyukai semua ciuman itu. Ya, aku memang sudah sangat sering menciumnya. Ketika ia tidur, tentu saja. Aku sering menyelinap ke kamarnya melalui jendela lalu menciumnya ketika tidur. Pengecut, memang. Tapi, aku sangat takut kalau dia akan menjauhiku dan memutuskan hubungan kita sebagai sahabat hanya karena ia menangkapku sedang menciumnya. Aku tidak ingin hal super-buruk itu terjadi.
Aku melakukan semua ciuman itu karena aku menyukainya. Menyayanginya. Mencintainya. Semua hal itu terjadi begitu saja padaku sejak aku pertama kali bertemu dengannya. Aku suka saat melihat ia menggembungkan pipinya dan memonyongkan bibir manisnya itu. Seolah ingin memintaku untuk mencium bibirnya saja. Aku juga selalu ingin melihat senyumnya itu. Karena, senyumnya itu bagaikan bahan bakar bagiku. Aku akan merasakan amat sangat menderita jika kehilangan senyum manisnya itu. Oke, itu sangatlah lebay.
Aku suka sifatnya yang kekanak-kanakan itu, membuatku selalu ingin menjaganya dan melindunginya. Meski aku pernah memarahi dan membentaknya sekali, saat kami berada di kebun binatang. Bukan karena sifat kekanakannya itu melainkan karena ia tidak mengindahkan perintah ibunya yang memintanya untuk tidak pulang terlalu sore.
Sekarang, semua perasaanku padanya, masih tersimpan rapi dalam dadaku. Namun, semua perasaanku padanya itu dikalahkan oleh perasaan takut dan maluku. Takut dia menjauhiku dan malu karena dia mengetahuiku sebagai gay. Oh, silakan katakan aku bodoh. Aku memang benar-benar bodoh.
Aku kembali melihat jam tanganku. Waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Berarti, sekarang semua peserta sedang melakukan makan malam. Aku tahu jadwal tersebut dari rundown yang diberikan panitia. Oleh karena itu, aku jadi punya kesempatan untuk menyelinap masuk ke kamarku dan langsung tidur agar tidak sempat berbicara dengan Moza. Tidak mungkin kan aku akan selamanya berada di sini?
Aku segera melangkahkan kakiku meninggalkan bagian belakang penginapan ini sambil menyelinap. Setelah aku berada di depan pintu kamarku, aku langsung membuka knop pintu. Pintunya tidak dikunci. Meskipun kalau pintu ini dikunci, tetap saja aku bisa membukanya karena aku memiliki kuncinya. Ceroboh sekali, rutukku dalam hati, bagaimana kalau sampai Moza kehilangan barangnya karena kecerobohannya itu.
Ketika aku masuk ke dalam kamar, aku menemukan bahwa semua lampu di dalam kamar sedang dalam keadaan mati. Aku menghembuskan napasku lega, berarti benar ia sedang makan malam bersama dengan peserta yang lainnya. Sekarang, aku hanya perlu langsung tidur, setelah kegiatan di toilet, tanpa harus membicarakan apa pun pada Moza.
Jantungku tiba-tiba terlonjak ketika aku menyalakan lampu kamarku. Moza sedang berbaring di atas kasurnya! Ketika aku akan berbalik pergi, aku mendengar suaranya yang parau memanggilku lemah. “Ray, lo jangan pergi, please. Gue minta maaf apa pun itu kesalahan gue selama ini. Gue minta maaf.” Aku bisa merasakan ia berhenti berbicara sejenak dan menarik napasnya. “Gue tau lo itu straight. Tapi…. Gue suka lo. Gue sayang lo. Gue… gue cinta lo.”
Aku langsung membalikkan badanku lagi padanya ketika ia mengucapkan hal itu. Tapi, aku melihat matanya menutup, tertidur. Sepertinya ia hanya mengigau tadi. Jadi, dia belum tahu bahwa aku juga gay? Dan… dia juga menyukaiku? Tiba-tiba aku tersenyum senang dan lebar mendengarkan perkataannya tadi. Sungguh. Aku merasakan perasaanku padanya yang sempat tersimpan di dadaku langsung berputar-putar dengan cepat dan terlonjak senang. Membuatku bisa merasakan rasa tenang, nyaman dan tentram.
Tiba-tiba saja rasa senangku luruh dan digantikan dengan rasa panik dan khawatir saat melihat tubuh dan bibirnya agak bergetar dengan keringat yang muncul di wajahnya. Dengan cepat aku menghampirinya lalu mengangkat kepalanya dan menepuk-nepuk pipinya agak keras dengan tangan kananku, agar ia sadar. Tangan kiriku menyentuh keningnya yang terasa agak hangat. Dia pasti demam.
Beberapa saat kemudian, matanya perlahan-lahan terbuka. Bola matanya berputar-putar seperti mencari sesuatu dan sesaat kemudian kedua mata kami bertemu. Aku memasang senyumku yang paling lebar untuknya. “Rayyi?” Suara panggilannya sangat lemah bahkan lebih lemah dari suara angin sepoi.
“Jangan banyak bicara dan gerak dulu. Lo demam,” paparku. Aku menyimpan kepalanya di bantal lalu menyelimutinya dengan selimut. Dengan gerakan cepat, aku mengambil air minum serta obat pereda nyeri milikku di dalam tasku. Dia terkena demam pasti karena amaxophobia yang diidapnya. Aku yakin benar akan hal itu. Aku sudah sangat sering melihatnya seperti itu, dulu.
Aku kembali ke kamar sambil membawa segelas air minum di tangan kananku dan obat di tangan kiriku. Mataku melihat mata Moza sedang mengikuti pergerakan tubuhku. Aku menghampirinya lalu mengangkat kepalanya dan menyandarkannya pada dadaku. Tanganku memberikan minuman dan obat yang kupegang padanya. “Minum dulu obatnya, Za. Lo harus sehat karena besok kita akan mulai tes tertulis,” perintahku tegas tidak ingin dibantah.
Dengan cepat ia meminum obatnya. “Ray, maafin gu—”
Aku menghentikan perkataannya dengan mendesiskan mulutku pada telinganya. “Lo udah makan, belum?” tanyaku cepat saat menyadari tubuhnya yang benar-benar lemas.
Aku bisa merasakan gelengan kepalanya di dadaku. “Gue baru makan cemilan doang.” Suaranya yang tadi serak kini sudah terdengar lebih lancar karena telah minum air tadi.
“Udah berapa lama lo ada di dalam kamar? Lo ikut acara perkenalan, gak?” tanyaku lagi karena benar-benar khawatir.
“Gue udah minta izin sama pembimbing,” jawabnya tidak berusaha menjelaskan lebih lanjut.
Aku kembali menidurkannya di kasurnya dan menyelimutinya. Setelah mengusap-usap rambutnya sambil tersenyum lebar, aku berkata, “Lo diem dulu di sini, ya. Gue mau ngambil makan buat lo.” Aku melihatnya mengangguk tegas, menyiratkan kalau sifat kekanakkannya sudah hilang darinya.
Aku akan keluar dari kamar ketika tiba-tiba Moza kembali memanggilku. Wajahnya yang agak pucat menatapku khawatir. Ia menggigit kedua belah bibirnya. “Gue minta maaf.”
Aku tersenyum menenangkan. “Gue selalu maafin lo, kok.”
“Terus, kenapa lo waktu itu dan tadi menunduk dengan wajah merah dan nabrak bahu gue? Lo marah sama gue, ya?” tuduhnya.
Aku terkekeh pelan. “Gue gak marah sama lo, kok. Gue hanya… malu dan… takut sama lo.”
Keningnya berkerut dan kedua alisnya menyatu. “Malu? Takut? Malu kenapa? Takut kenapa?” todongnya dengan banyak pertanyaan.
“Karena ternyata lo sering baca cerita gue di iPad gue,” ungkapku. Kening Moza makin berkerut. Agar masalah ini cepat selesai, aku menjelaskan, “Verbi Pratama.” Mata Moza bergerak cepat melihatku. “Ya, Verbi Pratama itu gue.” Aku melihatnya tergelak. “Lo suka baca cerita gue kan? Awalnya gue kira lo udah tau gue gay. Itulah sebabnya gue malu. Gue juga takut lo ngejauh dari gue. Tapi, bodohnya, gue malah yang ngejauh dari lo.” Moza tersenyum tipis sambil terus mendengarkanku. “Tapi, setelah gue denger lo tadi ngigau di atas kasur. Gue tahu kalau sebenarnya lo belum tau kalau gue itu gay.”
Moza mengangguk-angukkan kepalanya mengerti. “Apalagi yang gue katain saat ngigau tadi?” tanyanya penasaran.
Aku menjawabnya sambil tersenyum. “Lo suka gue.” Pipinya merona merah. “Lo sayang gue.” Kepalanya tertunduk malu. “Lo… cinta gue.” Tawa pelannya terdengar saat aku mengucapkan kata-kata terakhir.
Sebelum dia mengucapkan sesuatu, aku sudah mendahuluinya terlebih dahulu, membuat matanya beralih padaku. “Diem dulu, Otak Ngeres!” Aku menatap kedua mata indahnya yakin. “Gue juga sama kayak lo. Gue suka lo. Gue sayang lo. Gue… gue cinta lo.”
Awalnya aku ingin mengambil makan untuknya, tapi aku mengurungkan niatku sebentar. Kakiku melangkah mendekatinya. Tangan kananku meraih kepalanya dan mendekatkannya pada wajahku. Saat aku merasakan hidungnya menyentuh hidungku, aku langsung memajukan bibirku dan menekannya pelan tapi dalam pada bibir halusnya. Rasanya masih sama seperti dulu. Hanya saja sekarang aku lebih menyukainya. Karena aku tidak perlu lagi takut dan bisa mencium bibirnya itu kapan saja aku mau. Seluruh perasaan nyaman dan tentram menyeruak masuk ke dalam tubuhku.
Karena… hatinya hanya-untuk-aku dan hatiku hanya-untuk-dia.
-FIN-
Sebenernya cerita ini udah pernah ku-post di sebuah fanspage di Facebook, jadi ada beberapa orang yang sudah tahu ceritanya dan sudah spoiler di sini, hehe. Awalnya cerita ini oneshoot, cuma… karena temenku bilang ceritanya terlalu panjang, jadi kubagi tiga.
Terus, aku juga lumayan kaget kalau respon orang-orang di fanspage dan di BoyzForum lumayan baik, menurutku. Padahal, temen-temenku bilang ceritaku ini gak ada feel-nya, maksa-maksain, cacat logika dan salah satu tokohnya—Moza—kelakuannya agak kayak cewek. Well, ini cerita gay pertamaku. Sebelumnya aku suka nulis cerita straight. Jadi aku bingung harus kayak gimana. Aku juga baru beberapa bulan ini baca cerita gay. Maaf kalau cerpen laknatku ini malah bikin illfeel, hihi. Apalagi postnya lama banget.
Oh, selanjutnya aku bakalan nulis lagi—berani-beraninya—dan ceritanya bakal tiga part lagi. Judulnya Love is Like Rain dan salah satu tokohnya namanya Yoga—adik kelasnya Moza. Tapi… entah kapan mau dipost-nya. Udah selesai sih, tapi harus tunggu komentar temen-temenku dulu.
Dan… udah ah capek ngetik lagi. Makasih banget udah baca. Big hug.
@don92
@Flowerboy
@alexislexis
@kimo_chie
@yooner5
@rezadrians
@elul
@adachi
@darwin_knight
@003xing
@agran
@Zhar12
@hananta
@nakashima
@Levinna
@Monic
@MozaPrayata
Love it...
fanpage di fb bang...........mungkin ada yg posting cerita kamu di sana