It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sambungan
===////===
Seperti tersengat petir di siang hari yang cerah. Kabar itu mendadak. Kabar yang membuat menara harapannya runtuh seketika tanpa ada puing tersisa. Bayangan mengelola tanah luas itu kini sirna. Memporakporandakan satu hal yang harusnya kini ia damba.
Dika mematung melihat lima truk pasir dan puluhan orang menjamahi tanahnya. Terdapat papan pengumuman yang berisi bahwa tanah ini akan dibangun vila 'Royals'. Seketika Dika kalap dan mencari-cari biang keladi semua ini. Ia hampiri seorang lelaki dewasa yang mengunakan pakaian cukup necis dan sebuah helm proyek. Pasti itu mandornya, pikir Dika.
"Bisa jelaskan semua ini?", bentak Dika ke lelaki itu.
"Maksud adek?", lelaki yang disangka mandor oleh Dika itu menjawab.
"Ini tanah saya!", Dika kalap.
"Sabar dulu, Dika", Indra yang ada di samping Dika mencoba menenangkan Dika.
"Iya, sabar dulu dek. Mungkin pemilik proyek ini bisa menjelaskan. Ayo Saya anter", ajak mandor tersebut.
Dika dan Indra berjalan mengikuti langkah mandor. Indra sedari tadi merangkul pundak Dika, mencoba memberi kekuatan untuk temannya itu.
Dika begitu pula Indra tak kurang terkejut mendengar penuturan dari seorang lelaki dewasa yang mengaku sebagai pemilik proyek sekaligus pemilik hak atas tanah ini. Dari penuturan lelaki tersebut sebulan yang lalu ada lelaki bernama Dodi Heryadi menggadaikan sertifikat tanah kepadanya untuk sejumlah uang. Bila tidak bisa mengembalikan uang dalam waktu yang telah mereka sepakati, maka tanah itu akan menjadi miliknya. Lelaki itu menunjukkan surat perjanjian yang di bawahnya tertanda tangani Dodi Heryadi di atas materai enam ribu rupiah. Jeddeerrr. Kembali petir menyambar tubuh Dika. Pantas ia terkejut. Lelaki yang sudah dianggapnya keluarga dan dihormatinya itu ternyata tak lain adalah seorang pembohong. Dika tertawa, menertawakan dirinya yang bodoh. Terlalu bodoh untuk mudah dibodohi.
"Haha, aku memang bodoh, Ndra. Goblok", Dika tertawa pada Indra.
Indra hanya diam tidak tahu bagaimana menanggapi Dika.
Sementara itu masih terdengar Dika menertawakan kondisinya saat ini.
"Ayo Ndra, antar aku pulang. Mario pasti udah pulang", ajak Dika sambil membawa satu buah timun suri yang sempat ia ambil dari ladangnya tadi.
Indra hanya menuruti keinginan Dika. Merasa iba untuk temannya itu.
Keesokan harinya, Dika kembali ke rutinitas sebelumnya. Ia kembali ke pasar.
"Dika, Bibi udah dengar berita itu. Kamu yang sabar ya, Nak?", kata Bi Ida.
"Iya, Dika. Nggak nyangka Dodi Heryadi itu pembohong besar", tambah perempuan setengah abad lainnya.
"Muhun, nuhun nyak", jawab Dika tersenyum.
(Iya, terima kasih ya)
"Pasti karena muka bodohmu itu Dika", kata Bi Saroh.
"Iih, maneh teh meni kasar. Kasihan nak Dika", bela Bi Ida.
(Iih, kamu the kasar sekali. Kasihan nak Dika)
"Tos. Udah, nggak papa, Dika emang bodoh kok Bi", Dika kembali berusaha tersenyum.
(Udah. Udah, nggak papa, Dika emang bodoh kok Bi)
"Dika, maneh harus besar hati ya, sabar. Kalau Bi Saroh nggak besar hati dari dulu, Bi Saroh pasti sudah mati", kata Bi Saroh.
(Dika, kamu harus besar hati ya, sabar. Kalau Bi Saroh nggak besar hati dari dulu, Bi Saroh pasti sudah mati)
Dika tersenyum.
"Nih bawa pulang. Masak yang enak buat adikmu", lanjut Bi Saroh memberi dua ayam potong ke Dika.
"Duh, nggak usah Bi. Masih pagi, dagangan bibi aja belum laku", tolak Dika halus.
"Udah. Buruan pulang", pungkas Bi Saroh.
"Terima kasih, Bi"
Dika memakirkan mobil bututnya di depan rumah. Ia melihat seorang ibu-ibu tua sedang menunggu di depan rumahnya.
"Ah, Bu Utomo, silakan masuk", sapa Dika kepada ibu-ibu tersebut.
"Sebentar ibu, saya rapikan dulu. Teh hangat atau air putih hangat bu?", tawar Dika ketika sudah memasuki ruang tamu.
"Nggak usah repot Dika, Saya cuma sebentar", jawab ibu itu.
"Tidak apa-apa, Bu", kelit Dika.
"Saya serius Dika! Bisa duduk?", sergah Bu Utomo.
Dikapun duduk di depan ibu itu.
"Saya sudah mendengar hal itu, Nak Dika. Dan Saya turut berbela sungkawa"
Dika menundukkan kepalanya.
"Ini, gunakan ini untuk menyelesaikan masalahmu", kata Bu Utomo sambil menyerahkan amplop tebal.
Dika terhenyak. Ia pandangi amplop itu sebentar lalu membuka isinya. Ia temukan banyak sekali lembar seratus ribuan rupiah di dalamnya.
"Gunakan uang itu"
Dika terdiam.
"Sa... Saya tidak bisa", tolak Dika.
Ibu itu terdiam, Dika juga kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Sebenarnya, saya ingin Harini melanjutkan usaha klinik milik keluarga kami"
Dika terdiam, mendengar penuturan ibu pacarnya tersebut. Ia masih mengira ke mana pembicaraan ini akan bermuara.
"Dika, apa rencana kamu ke depan?", tanya Bu Utomo.
Dika kembali terhenyak dan menatap ibu itu. Bu Utomo menghela napas.
"Kalian tidak memiliki rencana ke depan. Saat ini kalian hanya bilang cinta. Namun cinta saja tidak bisa menghidupi kalian nanti."
"Jika ada dua pihak yang berbeda status, pendidikan, dan kekayaan, maka akan ada jarak yang muncul", terang ibu itu.
"Dan Saya pikir, jarak itu sudah ada", lanjut Bu Utomo.
Dika kembali terkejut dan terdiam. Mengerti arah perbincangan pagi ini. Tangannya menggenggam erat.
"Ja... Jadi maksud Anda, saya dan Neng eh maksud Saya, Harini tidak pantas bersama? Hanya untuk ini?", tanya Dika lirih.
"...."
"Gunakan ini untuk menyelasaikan masalahmu", kata Bu Utomo, menyodorkan amplop tadi ke arah Dika.
"Tidak bisa", tolak Dika dingin.
"Apa kamu yakin bisa...."
"Maaf, Bu! Tolong!", potong Dika membentak.
"Kamu yakin kamu..."
"Tolong keluar! Maaf!", Dika membentak lagi.
Dika beranjak dari tempat duduknya menuju ke depan. Sedangkan Bu Utomo juga beranjak dari tempat duduknya. Membawa kembali uang yang niatnya akan ia berikan kepada Dika. Dika membukakan pintu untuk Bu Utomo. Namun ia terkejut saat pintu telah terbuka. Mario telah berdiri di depan pintu dengan tatapan nanar.
~royal~
Malam harinya, Dika termenung menatap gerimis dari jendela kamarnya. Matanya menerawang jauh. Berbeda sekali dengan ekspresi wajah yang biasa ia tunjukkan kemarin-kemarin. Kadang Dika mengusap mukanya beberapa kali. Ia bahkan tidak sadar kalau Mario sedari tadi masuk ke kamarnya.
"Kak...", panggil Mario lirih.
"Iya dek", jawab Dika, tersenyum.
Mario menatap wajah kakaknya itu. Ia masih belum paham dengan Dika yang bisa begitu tegar. Mario hembuskan napasnya sedikit keras.
"Umm...", Mario ragu-ragu.
"Ini, Kak. Gunain ini", kata Mario sambil menyerahkan sebuah buku kecil bersampul biru gelap.
Dika tecenung melihat apa yang diberikan adiknya itu.
"Itu tabungan Mario. Juga kiriman Kakak dari waktu Rio masih kelas dua SMP dulu", ujar Mario.
"Pesan Simbok, gunain uang ini untuk masalah mendadak", lanjutnya.
“Dan sekarang... Mario pikir, ini masalah mendadak”, pungkas Mario.
Dika menatap wajah adik manis di depannya itu. Matanya menyiratkan haru yang luar biasa. Ia belai pipi kanan Mario. Tak sangka adiknya punya empati yang begitu besar. Iapun tersenyum tulus untuk adik satu-satunya itu.
"Udah lah, santai aja", kata Dika.
"Kakak baik-baik saja kok. Ini masalah kakak. Bukan Mario", ucap Dika diiringi senyum lembut lagi.
Tangannya masih setia membelai pipi sedikit chubby Mario.
"Lagipula uang itu kan kakak kirim untuk kamu dek", lanjut Dika.
Mario kesal mendengar perkataan kakaknya. Ditepisnya tangan Dika dari pipinya.
"Kak Diidii kakak Rio! Berarti ini masalah Mario juga, Kak!", bela Mario.
"Sudahlah, ayo makan", ajak Dika menggandeng Mario ke ruang tengah.
Mereka makan dalam diam. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka. Yang terdengar hanya suara besi sendok yang sesekali membentur dinding piring yang terbuat dari kaca putih.
"Rio, katakan kenapa tadi kamu pulang pagi", selidik Dika.
Mario tetap diam. Tak langsung menjawab.
"Guru-guru rapat, buat ujian akhir", ketus Mario.
"Yoo, kamu harus rajin sekolah ya. Setahu kakak hanya kamu siswa dari jauh yang diterima di SMA-mu", kata Dika.
Mario tak berniat menanggapi uraian kata Dika, ia masih kesal. Ia sibuk mengosongkan piringnya. Keheningan kembali tercipta di ruangan itu. Cukup lama sampai Nokia 3210 Dika berdering. Setelah mati beberapa saat, ponsel Dika kembali meraung-raung. Tak ada niatan bagi Dika untuk menerima panggilan itu. Mario yang penasaran, mendekati ponsel Dika dan membaca tulisan yang tertera di layar ponsel kakaknya.
"Neng Rini is calling" begitu tulisan di layar ponsel Dika.
"Kak...", panggil Mario seolah bertanya mengapa tidak diangkat. Mario tidak berani mengangkat ponsel itu karena bukan haknya untuk melakukan hal tersebut.
"Kaaak....", panggil Mario lirih lagi. Ponsel Dika masih meraung-raung di ruangan itu. Dika meringkuk, menutup kedua telinga dengan kedua tangannya. Ia pejamkan mata seolah ia tak ingin melihat apapun.
Tok tok tok!
"Dika! Dika! Tolong buka Dika!", terngar suara ketukan diiringi suara perempuan memanggil nama Dika.
"Dika! Tolong Dika!"
Tok tok tok!
"Kaak....", panggil Mario lirih merapat ke Dika. Tidak ada jawaban dari Dika. Ia masih setia membisu dan terpejam.
"Mario! Tolong buka pintunya Mario! Ini Kak Rini!", suara perempuan itu masih terdengar dari luar rumah.
"Tolong buka pintunyaa... Tolong... Kak Rini tau kamu di dalam. Tolong buka Mario...", suara itu melemah diiringi suara tangisan. Rini jatuh tersimpuh di depan pintu rumah Dika. Ia menangis sesenggukan.
Mario tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia dalam posisi serba salah. Ia masih sangat awam dengan permasalahan seperti ini. Diam dan berada di samping kakaknya adalah hal yang dilakukannya saat ini.
"Kak...", lirih Mario seraya merangkul pundak kakaknya mencoba memberikan kekuatan.
~Midnight~
Semenjak hal tidak mengenakkan itu, Dika kini lebih giat bekerja lagi. Saat siang ia bekerja di proyek pembangunan apartemen di bilangan Bandung Utara. Ia tak kenal lelah untuk bekerja. Bahkan ia juga acap kali mengambil lembur hingga malam. Setiap pulang ke rumah, tak jarang ia menemukan adik manisnya telah tertidur pulas di atas kasurnya. Ia selalu tersenyum jika melihat sosok anak kecil itu tertidur damai. Kadang ia juga sampai terlupa untuk mandi karena terlalu lelah dan akhirnya tertidur juga di samping Mario.
Dika sedang mempersiapkan nasi untuk sarapan di ruang tengah. Akhir-akhir ini ia tak sempat menyediakan banyak makanan untuknya dan Mario.
"Duuh, Kak Dii... Kenapa nggak dibangunin sih Marionya!", teriak Mario yang sudah berseragam lengkap dari kamarnya lalu berlari keluar rumah.
"Lagian tadi kakak bangunin buat subuhan malah gak bangun", jawab Dika.
Mario diam di teras rumah.
"Eh! Sarapan dulu!", teriak Dika.
"Enggak! Udah telat!", jawab Mario berteriak sambil memakai sepatu hitamnya.
Dengan sigap Dika mengambil kotak makan dan mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk untuk bekal Mario.
"Udah sini Kakak antar", ujar Dika sambil menyerahkan bekal Mario.
Mereka berdua berlari menuju rumah Indra untuk meminjam motor. Dika memang tidak mempunyai motor. Kalau mengantar pakai mobil butut Dika, sudah dipastikan adiknya akan telat karena pagi di kota Bandung pasti sudah padat. Sebenarnya masih pukul enam lebih lima belas pagi, namun jarak yang cukup jauh dari rumah Dika lah yang membuat Mario panik.
"Bakalan telat nggak?", teriak Dika di depan kemudi.
"Ha? Gak denger!", jawab Mario.
"Kalau telat dihukum nggak?", teriak Dika lagi.
"Nggak denger, Kak!", jawab Mario teriak dari belakang.
"Yowis, gocekan yo!", teriak Dika lalu memacu motor lebih kencang sebelum mereka terperangkap kepadatan Bandung.
(Yaudah, pegangan ya!)
Sontak lengan Mario melingkar ke perut kencang Dika. Ia sandarkan kepalanya ke punggung Dika, takut jatuh karena kecepatan motor yang dikendarai kakaknya.
Mereka sampai di depan gerbang sekolah Mario. Gerbang masih terbuka sepertiga, itu artinya Mario belum telat. Buru-buru Mario mencium tangan Dika dan berpamitan lalu tergesa-gesa masuk ke sekolah.
~prussian~
Dika terlihat begitu semangat mengomando truk pasir yang sedang berjalan mundur di tempat kerjanya. Kaos dalam yang sudah tidak bisa dikatakan putih lagi itu masih setia melekat di tubuhnya. Celana dan sepatu kerjanya juga terlihat begitu kotor. Walaupun sudah memakai helm proyek, tidak mengurangi rasa panas yang ia rasakan di kulit khas lelakinya itu.
"Dika...!", panggil seorang perempuan.
Dika mencari asal suara itu, dan dibuat terkejut karena yang memanggilnya barusan adalah Harini.
"Eh, Harini, ayo ke sana aja", kata Dika lau berjalan mendahului Harini.
"Dika...", panggil Harini.
"Hm?"
"Bulan depan, aku coass. Di Jakarta", terang Harini.
Dika tersenyum mendengar hal itu.
"Wah, selamat ya", kata Dika.
"Besok kalau Saya sakit, Saya pasti minta Harini periksa", lanjut Dika.
"....."
"....."
"Emm... Dika maafin Ibu aku ya. Aku tidak bermaksud begitu pas cerita sama Ibu. Nggak taunya Ibu malah seperi itu", permintaan maaf Harini.
"Sudahlah Harini, tidak apa-apa kok", jawab Dika.
"Lagipula, Harini dan Saya memang nggak bisa bersama", tambah Dika.
Kontan saja, Harini terkejut hebat mendengar penuturan Dika.
"Dika...", lirih Harini.
"Kita berbeda Harini, dan kamu tahu itu. Dan Saya tidak mau Harini memaksakan diri", ujar Dika.
"Kamu yang beda, Dika!", potong Harini.
"Semenjak ada Mario di sini. Kamu memang sudah berbeda!", lanjutnya.
Dika diam mendengar amarah Harini.
"Memaksakan diri katamu?", sinis Harini.
"Bukankah selama ini yang memaksakan diri itu kamu!?", lanjut Harini.
Dika masih diam. Tak ingin menanggapi Harini yang sedang emosi itu.
"Sudah? Kalau sudah Saya ingin kembali bekerja", kata Dika dingin lalu beranjak meninggalkan Harini yang masih berdiri tegang.
"Hei Dika! Kalau tentang ibuku yang buat ini jadi masalah, ayolah kita hadapi bersama kalau kamu masih cinta aku!!!", teriak Harini ketika melihat Dika pergi.
Dika yang semula berjalan, kini diam berhenti. Ia menengok ke arah Harini.
Dika tersenyum melihat Harini lalu berkata pelan,
"Bukan, hal itu bukan masalah"
Ia berjalan lagi kembali ke tempatnya bekerja.
Harini menangis sejadi-jadinya. Ia mencari pegangan di sekitarnya. Hanya tembok beton yang ia temukan. Harini tersimpuh, bersandar dan menangis.
~biru~
===////===
Bersambung
===////===
kamus lokal:
muhun = iya*
yowis = yaudah**
gocekan = pegangan**
* = Bahasa Sunda
** = Bahasa Jawa
===////===
maaf ya sambungan ini cukup dikit. Besok saya balaskan di dua sambungan terakhir
turut menyebut :
@ying_jie @alexislexis @farizpratama7 @inlove @gabriel_valian @arieat @waisamru @fikh_r @venussalacca @evandian @ryanjombang @ranmaru @prasastama @erickhidayat @4ndh0 @arifinselalusial @bayumukti
semoga masih berkenan [-O< [-O< [-O<
===////===
Tebakannya pada bener ya btw. Yaudahlah, terlalu mudah ditebak ya ._. Mungkin temen-temen juga udah tau ntar akhirnya gimana :v
Sambungan
===////===
Melihat begitu kerasnya Dika bekerja, membuat Mario geram. Ia sudah tak tahu lagi bagaimana memberi tahu kakak satu-satunya itu. Ia begitu sedih melihat kakaknya setiap hari membanting tulang untuk dirinya. Bahkan keringat yang selalu diperaspun seolah-seolah selalu tersedia untuk diperas.
Namun ia sadar dan selalu tampil ceria di depan Dika seperi yang dilakukan Dika kepadanya. Walaupun ia sebenarnya tahu Dika hanya berusaha ceria karena Mario juga tahu bagaimana rasa capeknya bekerja setiap hari sampai malam.
"Selamat datang, selamat belanja di AlfoMarch", sapa Mario dari balik meja kasir.
Tanpa sepengetahuan Dika, Mario kini bekerja paruh waktu di sebuah mini market. Dia rapat-rapat menjaga rahasia ini, karena ia tahu pasti akan dimarahi Dika apabila kakaknya itu tahu Mario bekerja. Mulai sekarang ia tak mau lagi selalu diberi uang oleh kakaknya. Ia terlalu sayang dan merasa sedih melihat kakaknya. Bahkan Mario sampai memohon-mohon kepada Indra agar tidak menceritakan pekerjaannya ini kepada Dika sewaktu tanpa sengaja mereka bertemu di mini market. Mario mengambil shift sore hingga malam. Hal itulah yang membuat Mario selalu buru-buru pulang ke rumah sehabis bekerja karena ia tak mau terlihat oleh kakaknya.
"Wah, kalau melihat prestasi Mario yang seperti ini Saya yakin pilihan jurusan apapun di Indonesia pasti masuk oleh Mario", puji Pak Guru sambil melihat nilai-nilai Mario di rapor.
"Kalau Mario ingin kedokteran, pun lewat PMDK ini kemungkinan besar Mario juga bisa lolos", tambah Pak Guru.
"Wah, iya, Pak? Selamaat dek!", kata Dika sangat bangga kepada Mario.
Mario tersenyum malu.
"Namun, waktu-waktu seperti sekarang ini cukup rentan untuk siswa. Tinggal dua bulan lagi Ujian Nasional diadakan. Biasanya banyak siswa yang stress", ucap Pak Guru memperingati.
"Untuk itu, Bapak sarankan Mario tetep fokus",lanjutnya.
"Siap, Pak! Saya akan berusaha lebih giat lagi!", kata Dika penuh bangga.
Pak Guru dan Mario pun melihat Dika heran.
"Haha, kenapa Saya yang heboh ya? Harusnya kamu dek yang semangat!", kata Dika seraya merangkul pundak Mario.
Ketiga orang di ruangan itu tertawa melihat tingkah konyol Dika.
"Kakak sangat bangga sama adek kakak satu ini", ujar Dika bangga sambil mengacak-acak rambut Mario.
"Apaan sih kaak?", protes Mario.
"Fokus di jalan aja!", perintah Mario.
"Baiklah adek manis. Senyum dong!", goda Dika lagi.
"Ganteng!", protes Mario.
Dika terkekeh dan makin mengacak-acak rambut Mario dengan tangan kirinya. Yang digoda malah senyum-senyum sendiri.
Mobil butut Dika belok dan berhenti di depan rumah makan padang. Hari itu makan bersama. Ritual yang akhir-akhir ini sangat jarang mereka lakukan karena kesibukan Dika, dan kesibukan "diam-diam" Mario.
"Jadi mau lanjut ke mana?", tanya Dika yang berbaring di kasur Mario.
"Hmm, gatau Kak", jawab Mario yang masih duduk memandangi meja belajarnya.
"Sini dong Mario, kakak kangen. Mau peluk Mario", Dika merajuk manja.
"Ih, apa-apaan", Mario jual mahal tapi akhirnya ikut tiduran di samping Dika.
"Jadi mau ke mana?", tanya Dika lagi sambil mengelus-elus rambut adiknya.
"Sepertinya UI bagus deh", ucap Mario melihat ke langit-langit.
"Jakarta? Wah, bagus. Kedokteran kan?", tanya Dika lagi.
"Hah? Enggak lah Kak. Mahal tau!", jawab Mario sambil menoleh ke wajah Dika yang ada di sampingnya.
"Komunikasi sepertinya menarik", lanjut Mario.
"Ih, udah dibilangin. Uang itu ntar juga ada kali dek...", suara Dika kesal sambil tangannya terus berada di kepala Mario.
"Kak!", kata Mario keras.
"Please, udahlah...", sergah Mario kesal.
"Kamu tetep adek kecil kakak ya. Suka ngambek", kata Dika lalu mengecup kening Mario.
"Udahlah, ayo bobok. Besok masih masuk sekolah", ajak Dika memeluk Mario lalu memejamkan mata.
Mario masih kesal terhadap sikap kakaknya yang keras kepala itu. Tapi ia masih merasa hangat berada di dekapan kakaknya, seperti waktu ia kecil dulu. Mukanya sedih, seperti menahan tangis. Namun Mario masih berusaha tersenyum lalu memejamkan mata, ikut larut dalam mimpi di pelukan hangat kakaknya, Dika.
~sapphire~
Ujian nasional semakin dekat. Tambahan jam pelajaran dan ulanganpun semakin intens dilaksanakan. Jadwal pulang Mario juga semakin sore. Oleh karena itu, sering kali Mario langsung ke mini market sepulang sekolah.
Seperti biasa ketika shift Mario sudah habis ia tergesa-gesa pualng ke rumah. Ia menghentikan angkot lalu menaikinya. Namun, tanpa sepengetahuan Mario, Dika melihat adiknya itu menaiki angkot. Dika sengaja melajukan mobilnya pelan-pelan mengikuti laju angkot dari belakang. Ternyata yang dilihat Dika memanglah benar. Adiknya memang baru pulang.
Mario berlari kencang menuju rumahnya. Syukurlah rumah masih gelap, itu artinya Dika belum pulang. Ia segera menuju kamar tidurnya untuk mengganti pakaian. Suara mobil butut Dika terdengar dari dalam kamar Mario. Ia hanya mengganti celana sekolahnya dengan celana pendek. Dan tidak sempat mengganti seragamnya. Ia sambar sebuah sweater lalu memakainya, membungkus tubuhnya yang masih terbalut baju seragam SMA-nya. Terdengar langkah Dika memasuki ruangan. Dentuman jantung mario semakin kencang ketika ia dengar langkah kakaknya semakin dekat menuju kamarnya.
"Lagi ngapain?", tanya Dika ketika masuk ke kamar Mario.
Mario diam saja, masih mengatur deru jantungnya.
"Dek...", lanjut Dika.
"Eh.. i..iya Kak? Lagi ngerjain PR. Sussaaah..", kilah Mario.
Dika memandang adiknya tak percaya.
"Kok masih pakai baju seragam? Bau. Belum mandi ya?", selidik Mario.
Skak! Mario bingung.
Ia lihat Dika beranjak naik ke ranjang Mario lalu berbaring di sana. Dika memejamkan mata.
Mariopun tak berniat menanggapi pertanyaan Dika ketika melihat mata kakaknya sudah terpejam. Merasa lelah juga, ia lepas sweaternya lalu ikut berbaring di samping Dika. Mario lalu memejamkan matanya lelah.
"Jangan pulang malam-malam lagi ya dek", suara Dika tiba-tiba.
Mario terkejut dan tak menanggapi, ia langsung beringsut memeluk penuh kasih sayang kakak laki-laki satu-satunya itu dari belakang.
~navi~
Libur hari tenang Ujian Nasional telah tiba. Mario sesekali terlihat bosan berada di rumah. Seluruh buku persiapan Ujian Nasional pun sudah ludes dikerjakan olehnya.
Mario masih tetap bekerja sebagai penjaga mini market. Tentunya tanpa sepengetahuan Dika. Ia tetap sadar dan tetap takut apabila Dika memarahinya. Apalagi momen-momen mendekati Ujian Nasional seperti ini.
"Kak, main yuk... Ke Sabuga", pinta Mario.
"Ngapain?", tanggapan Dika.
"Ke festival kuliner. Mario bosen belajar terus", Mario terus merajuk.
"Hmm... Okelah ayo anak manja!"
Mario dan Dika malam itu akhirnya jalan-jalan. Sabuga juga sudah penuh dengan pengunjung. Dari anak-anak sampai kakek-nenek terlihat di acara festival makanan hari itu. Mereka berdua berjalan mengelilingi stand-stand festival makanan itu.
"Kak Dii, Mario ke situ dulu ya. Ada temen tuh manggil-manggil", ijin Mario.
Dika mengangguk mengijinkan Mario.
Mario menghampiri teman-temannya. Mereka yang notabene anak kota ternyata tidak berlebihan dalam berpakaian. Tetap sederhana tetapi masih terlihat trendi. Teman perempuannya pun tetap sopan, masih memakai pakaian tertutup lengkap.
"Ih, Yo, itu siapa? Kok ganteng? Pacar maneh ya? Hhaha", tanya teman perempuan Mario.
(Ih, Yo, itu siapa? Kok ganteng? Pacar kamu ya? Hhaha)
Teman-teman Mario yang lain tertawa.
"Hush! Nteu, eta mah kakak urang. Masih kasepan urang kok", ucap Mario penuh bangga.
(Hush! Enggak, itu mah kakak aku. Masih gantengan aku kok)
"Bener! Mario teh masih tetep paling ganteng..", ucap teman perempuan Mario lainnya.
"Maria. Please. Akang Vino emang kurang kasep kumaha deui?", protes teman laki-laki Mario.
(Maria. Please. Akang Vino emang kurang ganteng gimana lagi?)
Mereka bersendau gurau. Tertawa melupakan sejenak kegusaran mereka yang sebentat lagi akan menghadapi Ujian Nasional.
Dari kejauhan, Dika berdiri melihat adik satu-satunya itu. Ia tersenyum melihat Mario bisa tertawa lepas bersama teman-temannya. Tak rela satu kedippun menginterupsi pandangan Dika.
"Woy Dika, ngelihat Mario kayak lagi ngelihat pacar aja maneh!", ejek seorang membuyarkan Dika.
"Eh Mim, Ndra. Ke sini juga?", jawab Dika.
"Itu, Mario lagi sama temen-temennya", lanjut Dika.
Mereka sejenak melihat Mario dan teman-temannya dari kejauhan.
"Wah, pasti bangga banget ya kamu Dika. Adik maneh udah pinter, ganteng, juga bisa bantuin kakaknya bekerja", ucap Mima.
"Mima!", potong Indra mencubit tangan Mima.
"Eh!", Mima keceplosan.
"Apa Mim? Tolong beritahu?", ponta Dika keras.
Mima resah. Serba salah di antara Indra dan Dika.
"Mim!!!", sentak Dika lagi.
Wajah Indra terlihat gusar. Tak kalah gusar dari wajah Mima yang sekarang seperti tertodong belati di depan leher, siap untuk ditancapkan.
"I...iya, Mario selama ini kerja di AlfoMarch", pungkas Mima.
Dika kaget luar biasa. Air mukanya menegang hebat. Matanya membelalak menunjukkan pupilnya yang kini juga semakin mengecil.
"Duh! Mati aing!", pikir Mima.
(Duh! Mati aku!)
Dika terlihat menghampiri Mario yang masih bercengkrama bersama teman-temannya. Ia meminta ijin ke teman-teman Mario dan langsung menarik lengan Mario keluar dari Sabuga. Ia membawa Mario ke bawah pohon, dekat mobil butut Dika diparkirkan.
"Jelaskan! Kamu selama ini kerja?", tanya Dika keras.
Mario diam, kaget. Ketakutannya selama ini akhirnya terjadi.
"Jawab!", bentak Dika mengguncang-guncangkan bahu Mario.
"Kenapa?", balas Mario.
"Kenapa katamu?", bentak Dika.
“Mario pikir, kakak akan marah kalau Mario cerita”, kata Mario.
“Memang!”, ucap Dika keras.
"Kak! Mario cuman pengen kakak nggak nyiksa diri terus! Bekerja seharian, sampai malam!", ucap Mario keras.
"Itu juga untuk siapa hah? Itu semua untuk kamu!", bentak Dika lagi.
"Itu! Demi kamu demi kamu itu lah, Kak. Mario nggak suka!", bela Mario.
Mata Mario terlihat telah berkaca-kaca.
"Kamu lupa!? Ini masa-masa rentan Mario! Sebentar lagi ujian! Kamu harus lulus! Masuk universitas pilihan!", kata Dika tak kalah keras.
"Apa!?", Mario tersentak.
"Kakak sendiri selalu bilang kalau pendidikan kakak nggak penting saat dulu memutusin nggak lanjut kuliah!", lanjut Mario.
"Malah sekarang Kakak selalu nyuruh Mario begini! Lulus lah! Masuk univ lah!"
"Bahkan Mario sendiri nggak ada niatan lagi buat lanjut kuliah!", sambung Mario.
“Kenapa Kakak terus-terusan maksain cita-cita Kakak ke Mario!?”, pungkas Mario.
Dika tercenung mendengar teriakan penuh emosi dari adiknya itu.
“....”
"Dan gara-gara pendidikan juga kan kakak putus dengan Kak Rini?", desis Mario menatap mata Dika.
Plak!
Tangan Dika menampar pipi kiri Mario. Mariopun terkejut dengan hal itu. Bahkan Dika juga tampak menyesali telah menampar pipi adik laki-laki satu-satunya itu. Kepala Mario tertunduk. Merasakan panas tangan kakaknya. Tetesan air mata tak ia rasakan.
"Kak... Aku adikmu...", lirih Mario.
"Mem... Memangnya salah, seorang adik ingin membantu kakaknya?", lanjut Mario lirih.
Mario berusaha mati-matian mengatur napasnya. Dika tertegun mendengar uraian Mario.
"Kak, Mario bukan anak kecil lagi. Rio... Rio sudah besar. Bisa berfikir sendiri"
"...."
"Kakak juga harus pikirin diri kakak sendiri", Mario kembali emosi.
"Jangan kerja terus-terusan"
"...."
"Kakak selalu mementingkan Mario terus"
"...."
"Sekali-kali, cobalah kakak bahagiain diri kakak sendiri"
"...."
"Kalau begini terus caranya, Mario lebih baik nggak lanjut kuliah bila harus lihat kakak kelelahan setiap hari!", puncak emosi Mario.
“....”
"Sakit kak... Di sini...", ujar Mario sambil mengetuk dadanya. Mario masih mati-matian menahan napas supaya tidak tersengal-sengal. Upaya itu cukup berhasil membuat air matanya tidak tumpah. Namun bicara Mario masih saja terputus-putus.
“....”
Mengerti Dika hanya diam tak bersuara, Mario lantas berbalik dan lari menjauhi Dika. Tak tau arah mau ke mana. Yang jelas Mario butuh suasana hening.
Dika semalaman menunggu kepulangan Mario di ruang tunggu. Ia tidak tidur, terlihat dari mata merah dan kantung matanya yang menghitam.
Setelah kepergian Mario malam tadi, Dika tidak langsung pulang. Ia cari adiknya itu ke mana-mana. Ia susuri jalan Bandung, namun nihil. Matanya kini penuh arti. Terlalu banyak arti untuk ditafsirkan. Pikirannya menerawang jauh.
Cklek!
Mario datang dengan tubuh lemas.
"Assalamu'alaykum", sapa Mario langsung menuju kamarnya.
"Wa'alaykumsalam, dari mana saja?", kata Dika lirih dan dingin.
Mario membeku di depan pintu kamarnya. Dia tak lantas masuk.
"Maaf.... Maaf, Kak Dii....", lirih Mario perih lalu masuk ke dalam kamarnya.
~biru~
===////===
Bersambung
===////===
Sekalian deh saya post dua sambungan. Saya pengen biar cepet kelar due to akun @khieveihk saya yang selalu gagal upload. Otomatis judul thread ini nggak bisa di update .__.
Kalau nggak besok ya lusa Saya tuntaskan cerita ini. Maaf ya nggak bisa nepatin janji, ternyata BIRU nggak sampai akhir Januari, cuman sampai pertengahan Januari saja. Sebagai gantinya, akhir Januari besok Saya akan post hal yang baru. Maaf dan terima kasih yaaa....
turut menyebut :
@ying_jie @alexislexis @farizpratama7 @inlove @gabriel_valian @arieat @waisamru @fikh_r @venussalacca @evandian @ryanjombang @ranmaru @prasastama @erickhidayat @4ndh0 @arifinselalusial @bayumukti
semoga masih berkenan [-O< [-O< [-O<
Apakah dika sehat secara medis?
Nantikan kelanjutannya hehehe. . .
Udah sering baca cerita genre ginian tp tetep ga bosen buat baca
Skakmatt nih kalau udah ditebak akang @inlove wkwk
Waduh, akang @gabriel_valiant ini malah seneng ya ada orang yang lagi jombs thanks btw.
Hehe, iya juga sih. Kali ini wangsitnya akang @inlove nggak langsung jleb macam kemaren. Tapi, aah sudahlah kita simak aja finale di besok / lusa.
Backsound yang tepat kira-kira apaan ya? Btw, thanks @arieat udah mampir lagi.
*masih disekolah* hehe