Ketiga, jika Suharto adalah presiden yang mengucurkan BLBI, maka Megawati merupakan presiden yang mengeluarkan kebijakan sangat kontroversial dan menyakiti rasa keadilan rakyat terkait penyelesaian kasus BLBI, dengan mengeluarkan kebijakan Release and Dischard (R&D).
Kebijakan Megawati ini mengakibatkan terhentinya proses penyidikan terhadap sedikitnya 10 tersangka koruptor BLBI pada tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung.
Atas permintaan IMF, pemerintah Suharto menyelamatkan kroni-kroninya, para taipan pemilik bank swasta yang kolaps di tahun 1997, dengan menggunakan uang rakyat yang dihimpun di dalam APBN. UUD 45 Pasal 33 yang secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam beserta isinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, oleh Suharto malah digunakan untuk mempertahankan kesejahteraan para konglomerat yang tengah diambang kebangkrutan dan kroni-kroninya.
Semua kewajiban para konglomerat yang harus membayar utang terhadap kreditor dan para nasabahnya, oleh Suharto, diambil-alih pemerintah dengan memakai uang negara yang harusnya disalurkan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Bukannya berterima kasih, para konglomerat ini malah banyak yang kabur ke luar negeri, terutama Singapura, dengan membawa triliunan rupiah uang rakyat yang diberikan Suharto kepadanya. Suharto sendiri sudah tumbang. Namun aneh bin nyata, para pengganti Suharto—Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono—tidak ada yang berani dan serius mengusut kasus ini.
Kenyataan itulah yang membuat banyak orang yakin jika kasus BLBI bukanlah kasus kriminal biasa, namun kasus kriminal yang sangat kompleks menyangkut kolusi antara pengusaha dan pejabat pemerintahan. Diyakini ada puluhan bahkan ratusan pengusaha dan pejabat pemerintah yang terlibat. Sebab itulah, sampai sekarang tidak ada penguasa di negeri ini yang berani membuka kasus ini dengan bersungguh-sungguh karena bisa jadi dirinya, anggota keluarganya, teman-temannya, dan orang-orang di sekelilingnya selama ini akan terjerat hukum dan masuk penjara. BLBI bagaikan kotak pandora, yang jika dibuka dengan benar maka akan tampak siapa saja yang perampok, preman, dan para sekutunya.
“Siapa yang harus bertanggungjawab?” demikian judul salah satu esai Marwan Batubara di dalam buku “Skandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Negara” (2008). Dalam esai tersebut Marwan secara detil dan lugas menyebut satu-persatu orang yang harus diminta pertanggungjawabannya di muka hukum karena terlibat dalam kasus mega-kriminal bernama BLBI, sebuah kasus yang menghancurkan bangsa besar ini. Siapa saja mereka?
Pertama, tentu saja para obligor BLBI, para konglomerat perampok tersebut yang nama-namanya tidak perlu lagi dipaparkan di sini karena sudah begitu terang dan jelas.
Kedua, selain para obligor BLBI, Presiden Suharto, sejumlah menteri ekonomi dan Direksi Bank Indonesia yang terlibat dalam pengucuran BLBI juga harus bertanggungjawab. Demikian pula para pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bekerja secara tidak profesional dan menguntungkan para kriminal BLBI.
Ketiga, jika Suharto adalah presiden yang mengucurkan BLBI, maka Megawati merupakan presiden yang mengeluarkan kebijakan sangat kontroversial dan menyakiti rasa keadilan rakyat terkait penyelesaian kasus BLBI, dengan mengeluarkan kebijakan Release and Dischard (R&D). Kebijakan Megawati ini mengakibatkan terhentinya proses penyidikan terhadap sedikitnya 10 tersangka koruptor BLBI pada tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung.
“Pembebasan para obligor pelaku pidana ini oleh Presiden Megawati melalui Inpres No.8/2002 merupakan perbuatan melawan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.. Megawati harus bertanggungjawab atas kebijakan yang telah dibuatnya tersebut!” tegas Marwan. Selain Megawati, para menteri di kabinetnya yang terkait bidang ekonomi juga harus bertanggungjawab.
Ketiga, adalah International Monetery Fund alias IMF. Hal ini sudah jelas dan menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah kita masih saja tunduk pada institusi dunia yang jahat ini dan mengapa sampai detik ini kacung-kacung IMF berwajah melayu masih saja dipercaya untuk mengurus perekonomian negara ini, padahal mereka telah sukses menghancurkan negara dan bangsa ini sekarang.
Walau Marwan hanya menyebut dua presiden, yakni Suharto dan Megawati, yang harus bertanggungjawab terhadap kejahatan BLBI, namun sesungguhnya semua presiden harus bertanggungjawab karena masing-masing dari mereka mempunyai andil besar dalam memperparah perekonomian dan pembiaran mega-skandal kasus ini.
Dan jangan lupa, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terkait bidang ekonomi sejak zaman Suharto sampai sekarang juga harus dimintai pertanggungjawabannya karena membiarkan bahkan ikut menghalangi diusutnya kasus BLBI secara tuntas. Padahal, kejahatan para obligor BLBI ini telah merugikan bangsa dan negara ini sebesar Rp. 630 triliun yang terdiri dari kasus BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun, tambahan BLBI Rp. 14,47 triliun, program penjaminan Rp. 39,3 triliun, dan obligasi negara Rp. 431,6 triliun (Marwan Batubara dkk; Sandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Negara; 2008).
Dalam tulisan keempat akan dipaparkan sumbangsing mantan presiden lainnya yang ikut-ikutan mempurukkan bangsa ini ke lembah kehancuran terkait kasus BLBI dan dunia perbankan di negeri ini.(bersambung/rd)
Comments
[img][/img]
Usai pertemuan di Pulau Dajjal tahun 1987, konspirasi globalis merancang tahap demi tahap agar Asia Tenggara bisa dijadikan laboratorium ‘bail-out game’
tersebut. Tahap-tahap ini bisa kita lihat dalam kejadian nyata yang kemudian benar-benar terjadi.
Pada tahun 1996, John Naisbitt menerbitkan buku Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends That Are Changing The World yang mencanangkan keajaiban
Asia (The Miracle of Asia) sebagai pemilik Milenium Ketiga. Perekonomian dunia akan tumbuh dengan pesat di Asia, demikian Naisbitt. Buku ini dicetak besar-
besaran dengan promosi yang dahsyat. Media massa dunia yang dikuasai Yahudi berlomba-lomba memuat rilis buku ini. Naisbitt bagaikan selebritas dunia baru
yang diundang ke berbagai negeri Asia untuk memaparkan ramalannya. Buku Naisbitt oleh banyak tokoh Asia diyakini kebenarannya tanpa reserve. Dada para
pemimpin Asia menjadi sesak sarat kebanggaan. Megalomania berujung pada lupa daratan. “Inilah saatnya kami memimpin dunia,” demikian pikir mereka.
Masyarakat satu pun tidak ada yang berpikir bahwa Naisbitt—demikian pula Huntington dan intelektual lainnya di kemudian hari—sesungguhnya merupakan
satu teamwork dari kekuatan globalis yang tertutup kabut, yang secara sistematis merencanakan The Unity of The World di bawah kekuasaan Yahudi (Novus
Ordo Seclorum, seperti yang tertera di lembaran satu dollar AS). Akibat suatu kampanye terselubung yang sistematis dan sangat rapi seperti itu, yang sengaja
memprovokasi para pemimpin Asia dan para pengusahanya, maka dengan begitu yakin mereka segera bersikap ekspansif, membangun negara dan
perusahaannya menjadi lebih besar dari apa yang sebenarnya dibutuhkan. Lantas darimana uangnya?
Bagaikan suatu kebetulan (yang aneh), awal tahun 1990, lembaga keuangan dunia menawarkan utang dalam jumlah amat besar dengan persyaratan amat
lunak. Para pemimpin dan pengusaha Asia yang sudah ‘merasa besar’ berbondong-bondong memanfaatkan tawaran yang sangat menggiurkan ini. Dengan
sangat berani mereka mengambil utang dalam besaran angka yang fantastis, tanpa menyadari bahwa utang tersebut sesungguhnya berjangka pendek dan
berbunga tinggi. Rasionalitas mereka telah hilang, dikubur oleh analisa seorang Naisbitt yang secara meyakinkan menulis bahwa abad 21 adalah abadnya
Kebangkitan Asia.
Tepat di awal tahun 1997, menjelang peringatan satu abad Kongres Pertama Zionis Internasional yang saat itu berlangsung di Basel, Swiss, yang kemudian
melahirkan Protocol of Zions (1897), konglomerat dunia berdarah Yahudi, George Soros, tiba-tiba memborong mata uang dollar AS dari seluruh pasar uang di
Asia, terutama di Asia Timur dan Tenggara. Akibat disedot Soros, kawasan Asia kesulitan likuiditas dollar AS. Akibatnya, kurs dollar membubung tinggi ketingkat
yang belum pernah terjadi dalam sejarah moneter dunia. Padahal, tahun 1997 ini merupakan tahun jatuh tempo pembayaran utang. Para pengusaha Asia yang
telah kadung meminjam utang pada lembaga keuangan dunia harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi saat itu juga.
Akibatnya sangat mengerikan. Seratus persen perusahaan-perusahaan pengutang di Asia Tenggara—terkecuali Singapura—dan yang paling parah di Indonesia,
ambruk tanpa sempat sekarat. Jutaan karyawan di PHK. Jutaan rakyat tak berdosa jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang tak terperikan. Harga-harga
membubung teramat tinggi. Jutaan bayi tak lagi minum susu. Air susu sang ibu mengering karena tak makan, sedang susu kalengan harganya tidak terjangkau.
The lost generation dipastikan akan melanda Asia Tenggara.
Kini giliran IMF dan Bank Dunia yang naik panggung. Bagai malaikat, International Monetery Fund dengan berbagai bujuk rayu menawarkan skema
penyelamatan utang. Indonesia adalah pasien IMF yang paling tunduk dan setia. Di saat itulah, sesuai dengan rencana dari pertemuan di Pulau Dajjal di tahun
1987, IMF yang didirikan oleh Yahudi ini menawarkan resep “The Bail-Out Game”. Indonesia menjadi kelinci percobaan dari satu formula yang dibuat oleh
komplotan Yahudi Internasional ini. Maka sejak tahun 1997 itu pemerintah memberikan jaminan penuh (garansi) kepada para nasabah bank swasta agar tidak
ragu-ragu menanamkan uangnya di berbagai bank swasta. Sebab, jika bank swasta tersebut bangkrut—oleh korupsi para direksi dan komisarisnya sekali pun—
maka pemerintahlah yang berkewajiban menalangi, membayari uang para nasabahnya.
Pemerintah bukannya menolong sektor riil, namun malah menolong orang-orang kaya, para konglomerat pemilik bank, dengan menggunakan uang rakyat.
(bersambung/rz)
[img][/img]
Usai pertemuan di Pulau Dajjal tahun 1987, konspirasi globalis merancang tahap demi tahap agar Asia Tenggara bisa dijadikan laboratorium ‘bail-out game’
tersebut. Tahap-tahap ini bisa kita lihat dalam kejadian nyata yang kemudian benar-benar terjadi.
Pada tahun 1996, John Naisbitt menerbitkan buku Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends That Are Changing The World yang mencanangkan keajaiban
Asia (The Miracle of Asia) sebagai pemilik Milenium Ketiga. Perekonomian dunia akan tumbuh dengan pesat di Asia, demikian Naisbitt. Buku ini dicetak besar-
besaran dengan promosi yang dahsyat. Media massa dunia yang dikuasai Yahudi berlomba-lomba memuat rilis buku ini. Naisbitt bagaikan selebritas dunia baru
yang diundang ke berbagai negeri Asia untuk memaparkan ramalannya. Buku Naisbitt oleh banyak tokoh Asia diyakini kebenarannya tanpa reserve. Dada para
pemimpin Asia menjadi sesak sarat kebanggaan. Megalomania berujung pada lupa daratan. “Inilah saatnya kami memimpin dunia,” demikian pikir mereka.
Masyarakat satu pun tidak ada yang berpikir bahwa Naisbitt—demikian pula Huntington dan intelektual lainnya di kemudian hari—sesungguhnya merupakan
satu teamwork dari kekuatan globalis yang tertutup kabut, yang secara sistematis merencanakan The Unity of The World di bawah kekuasaan Yahudi (Novus
Ordo Seclorum, seperti yang tertera di lembaran satu dollar AS). Akibat suatu kampanye terselubung yang sistematis dan sangat rapi seperti itu, yang sengaja
memprovokasi para pemimpin Asia dan para pengusahanya, maka dengan begitu yakin mereka segera bersikap ekspansif, membangun negara dan
perusahaannya menjadi lebih besar dari apa yang sebenarnya dibutuhkan. Lantas darimana uangnya?
Bagaikan suatu kebetulan (yang aneh), awal tahun 1990, lembaga keuangan dunia menawarkan utang dalam jumlah amat besar dengan persyaratan amat
lunak. Para pemimpin dan pengusaha Asia yang sudah ‘merasa besar’ berbondong-bondong memanfaatkan tawaran yang sangat menggiurkan ini. Dengan
sangat berani mereka mengambil utang dalam besaran angka yang fantastis, tanpa menyadari bahwa utang tersebut sesungguhnya berjangka pendek dan
berbunga tinggi. Rasionalitas mereka telah hilang, dikubur oleh analisa seorang Naisbitt yang secara meyakinkan menulis bahwa abad 21 adalah abadnya
Kebangkitan Asia.
Tepat di awal tahun 1997, menjelang peringatan satu abad Kongres Pertama Zionis Internasional yang saat itu berlangsung di Basel, Swiss, yang kemudian
melahirkan Protocol of Zions (1897), konglomerat dunia berdarah Yahudi, George Soros, tiba-tiba memborong mata uang dollar AS dari seluruh pasar uang di
Asia, terutama di Asia Timur dan Tenggara. Akibat disedot Soros, kawasan Asia kesulitan likuiditas dollar AS. Akibatnya, kurs dollar membubung tinggi ketingkat
yang belum pernah terjadi dalam sejarah moneter dunia. Padahal, tahun 1997 ini merupakan tahun jatuh tempo pembayaran utang. Para pengusaha Asia yang
telah kadung meminjam utang pada lembaga keuangan dunia harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi saat itu juga.
Akibatnya sangat mengerikan. Seratus persen perusahaan-perusahaan pengutang di Asia Tenggara—terkecuali Singapura—dan yang paling parah di Indonesia,
ambruk tanpa sempat sekarat. Jutaan karyawan di PHK. Jutaan rakyat tak berdosa jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang tak terperikan. Harga-harga
membubung teramat tinggi. Jutaan bayi tak lagi minum susu. Air susu sang ibu mengering karena tak makan, sedang susu kalengan harganya tidak terjangkau.
The lost generation dipastikan akan melanda Asia Tenggara.
Kini giliran IMF dan Bank Dunia yang naik panggung. Bagai malaikat, International Monetery Fund dengan berbagai bujuk rayu menawarkan skema
penyelamatan utang. Indonesia adalah pasien IMF yang paling tunduk dan setia. Di saat itulah, sesuai dengan rencana dari pertemuan di Pulau Dajjal di tahun
1987, IMF yang didirikan oleh Yahudi ini menawarkan resep “The Bail-Out Game”. Indonesia menjadi kelinci percobaan dari satu formula yang dibuat oleh
komplotan Yahudi Internasional ini. Maka sejak tahun 1997 itu pemerintah memberikan jaminan penuh (garansi) kepada para nasabah bank swasta agar tidak
ragu-ragu menanamkan uangnya di berbagai bank swasta. Sebab, jika bank swasta tersebut bangkrut—oleh korupsi para direksi dan komisarisnya sekali pun—
maka pemerintahlah yang berkewajiban menalangi, membayari uang para nasabahnya.
Pemerintah bukannya menolong sektor riil, namun malah menolong orang-orang kaya, para konglomerat pemilik bank, dengan menggunakan uang rakyat.
(bersambung/rz)
[img][/img]
Pertengahan Februari lalu, Dradjat Wibowo geram. Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini sungguh-sungguh kecewa dengan sikap Presiden
SBY yang memilih tidak hadir dalam rapat paripurna yang mengagendakan dengar pendapat dan meminta jawaban dari presiden atas interpelasi DPR-RI
tentang kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang istilahnya diperhalus menjadi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Buat saya, itu indikasi jika Presiden tidak serius untuk menyelesaikan kasus ini. Mungkin Presiden khawatir bahwa ‘kotak pandoranya’ akan terbuka, yang
mungkin akan menimbulkan huru-hara politik. Tapi kalau kita selalu saja takut membuka ‘kotak pandora’ itu, lha terus sampai kapan kita membiarkan uang
negara nggak kembali-kembali. Jangan lupa jumlahnya 702 triliun rupiah!," keluh Dradjat dihadapan para wartawan yang mengerubunginya di Senayan saat itu.
Dalam mitologi Yunani, Kotak Pandora adalah sebuah kotak yang isinya merupakan semua kejahatan-kejahatan manusia. Jika dibuka, maka terbongkarlah
semua kejahatan yang pernah ada. Istilah ini sengaja dipakai Dradjat Wibowo karena kasus KLBI atau BLBI ini memang sarat dengan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan para politisi, elit negara, yang berkomplot dengan para pengusaha perampok yang selama ini diuntungkan oleh rezim yang berkuasa. Bisa jadi, sebab
itu kasus ini sampai sepuluh tahun usia reformasi masih saja gelap pekat. Tidak ada satu pun penguasa di negeri ini, dari Habibie hingga SBY, yang berani atau
punya nyali membuka dan menuntaskan kasus BLBI.
Dalam peluncuran buku ‘Skandal BI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara’ di Jakarta akhir Januari lalu, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Sri Edi Swasosno,
menegaskan jika kasus tersebut diyakini bermuatan konspirasi global. "Skandal BLBI adalah konspirasi global untuk merampok rakyat Indonesia dan menaklukkan
bangsa ini secara teritorial, hingga akhirnya berbagai sumberdaya yang ada pada bangsa ini bisa dikuras. Ini kejahatan perbankan terbesar di dunia," tandasnya
seraya menyatakan jika kasus ini akan terus menyiksa rakyat Indonesia sampai dengan tahun 2030 karena pemerintah masih harus membayar bunga obligasi
rekap sebanyak Rp 60 triliun per tahun, yang tentunya berasal dari uang rakyat (!).
Kotak Pandora Bernama BLBI (Tamat)
Sh
Kasus BLBI merupakan induk dari segala KKN di Indonesia dari era 1980-an hingga sekarang. BLBI merupakan warisan KKN Suharto yang terakhir kepada bangsa
ini. Dan adalah fakta jika semua presiden penerus Suharto tidak ada yang punya nyali untuk mengusutnya secara tuntas. DPR-nya sami mawon, fraksi yang
berasal dari warisan rezim Orde Baru dan fraksi yang mengaku-aku sebagai reformis sama saja dalam kasus ini. Apakah ini mengindikasikan jika cipratan uang
BLBI menyebar ke mana-mana? Wallahu’alam.
Hari-hari ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar melakukan koordinasi dengan pihak terkait, Jaksa Agung di antaranya, untuk memulai
kembali pengusutan terhadap kasus BLBI. Antasari bahkan menyebut jika target KPK adalah menyeret 18 tersangka kasus ini, para konglomerat hitam yang
kabur.
Dan semoga KPK juga tidak lupa bahwa ada beberapa anggota DPR periode 2004-2009 yang diduga kuat ikut menikmati uang BLBI sehingga bisa melancong
ke AS. Semua pejabat terkait dari era rezim Suharto hingga sekarang harus diseret ke muka hukum. Niat baik KPK patut mendapat dukungan. Jika perlu, KPK bisa
mencontoh Cina dalam penegakkan hukum kasus Mega-Korupsi: ditembak mati bersama anggota keluarganya yang terbukti di pengadilan ikut menikmati
uang panas. Namun sayang, payung hukum dalam UU Tipikor belum sehebat negeri komunis itu di dalam penegakan hukum.
Boleh saja SBY-JK menyatakan jika di masa kekuasaannya dilakukan usaha penegakan kembali kedaulatan hukum, politik, dan juga ekonomi kita. Namun yang
dilakukan ternyata kebalikannya. SBY-JK tentu masih ingat, dikeluarkannya UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal ditambah Perpres No.76 dan 77/2007
adalah buktinya. “UU itu merupakan pukulan telak dan mematikan bagi upaya penegakan kedaulatan ekonomi kita. Pemerintahan Yudhoyono telah
membuatkan jalan tol nan mulus bagi korporasi asing, besar dan kecil. Untuk menguasai perekonomian Indonesia!” tegas Amien Rais.
Salah satu rencana rezim peragu ini yang harus ditentang adalah rencana penjualan 44 BUMN. Jika semua rencana gila-gilaan dan—dalam istilah Amien Rais,
“Konyol”—ternyata dilakukan juga oleh SBY-JK atau penerusnya, maka sungguh malang nasib bangsa ini, akan meluncur ke jurang kebinasaan tanpa ampun.
Kita tentu tidak bisa lagi mengharapkan rezim SBY-JK untuk optimal dalam pemberantasan korupsi. Masa kerja SBY-JK tinggal hitungan bulan. Kita tentu masih
ingat, kasus Adelin Lis yang tertangkap di Beijing akhir 2006 ternyata berakhir anti-klimaks. Pemilik dua perusahaan kayu raksasa ini dijadikan tersangka oleh Polda
Sumatera Utara dengan dugaan melakukan illegal-logging dan merugikan negara sebesar Rp.227 triliun atau Rp. 227.000 miliar (!). Angka ini merupakan
sepertiga dari APBN Indonesia. Namun pengadilan akhirnya membebaskan Adelin Lis dengan dalih tidak menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan.
Rakyat protes keras namun SBY-JK adem-adem wae.
Lalu pada Februari 2006, tiga konglomerat perampok uang rakyat dalam kasus BLBI bisa-bisanya melenggang masuk istana dan keluar dengan aman dan
nyaman. “Mengapa istana, tempat bersemayamnya jantung kekuasaan, dapat menggelar karpet merah buat para musuh besar bangsa dan negara itu?
Mengapa?” tanya Amien Rais. Dua kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus ‘penegakan hukum’ ala rezim yang berkuasa sekarang ini. Fakta yang
tak terbantahkan inilah yang membuat banyak dari kita tersenyum miris melihat iklan full-size di berbagai harian nasional yang bertema ‘Tidak Pada Korupsi’.
Mungkin, maksudnya adalah “Katakan tidak pada upaya pengusutan kasus korupsi!”
Pemilu dan Pilpres 2009 akan diselenggarakan di tengah lautan kemiskinan bangsa ini yang kian dalam dan meluas akibat krisis global yang mengakibatkan
terjadinya PHK massal tanpa bisa dihindari. Kita hanya bisa berdoa semoga kenduri besar tersebut bisa terlaksana dengan menghasilkan para pemimpin rakyat
yang berani mati menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
Jika Pemilu dan Pilpres 2009 hanya melahirkan para pemimpin seperti sekarang, yang begitu acuh terhadap penderitaan rakyatnya sendiri, maka besar
kemungkinan usia pemerintah hasil Pemilu dan Pilpres 2009 tidak akan berumur lama, bahkan tidak akan sampai pada Pemilu dan Pilpres lima tahun ke depan
kemudian. Bangsa ini akan kembali terjerumus pada situasi chaos yang jauh lebih dahsyat ketimbang 1998.
Sekarang, sikap apatis rakyat terhadap pemerintah sudah sedemikian tinggi. Hal ini bisa ditelusuri dari rendahnya angka partisipasi rakyat di dalam berbagai
pilkada yang diselenggarakan. Rakyat sudah banyak yang mulai cerdas dan menyatakan jika semua partai politik, baik yang warisan Suharto maupun yang lahir
setelah 1998, sama saja: Suhartois. Situasi negeri ini sekarang ibarat hutan ilalang kering yang akan cepat terbakar habis jika ada satu letikan kecil api
menimpanya.
Sudah menjadi hukum alam jika dalam situasi penuh keputus-asaan, biasanya rakyat kecil akan berdoa agar Allah SWT kembali mengutus seorang tentaranya
untuk memimpin rakyat menumbangkan tiran. Sang tentara Allah biasanya hadir dalam sosok seorang manusia yang bersahaya, lurus dan bersih dalam
hidupnya, yang berani mengatakan dan membela kebenaran walau nyawa menjadi taruhan, dan bisa merasakan denyut kepedihan rakyat yang selama 40
tahun terus-menerus dijajah oleh pemerintahnya sendiri. Tentara Allah tidak akan pernah mau berdamai dengan kemunafikan apalagi bersekutu dengan thagut.
Tentara Allah adalah sekutu Muhammad SAW, bukan sekutu Abu Jahal apalagi bersahabat dengan Qarun. Jika tentara Allah SWT telah datang, maka seluruh
rakyat kecil akan bersatu-padu dibelakangnya untuk berjuang menggulingkan kezaliman dan kemunafikan. “Hasta La Victoria Siempre!!!”(Tamat)
.........
Kotak Pandora Bernama BLBI (Tamat)
Sh
Kasus BLBI merupakan induk dari segala KKN di Indonesia dari era 1980-an hingga sekarang. BLBI merupakan warisan KKN Suharto yang terakhir kepada bangsa
ini. Dan adalah fakta jika semua presiden penerus Suharto tidak ada yang punya nyali untuk mengusutnya secara tuntas. DPR-nya sami mawon, fraksi yang
berasal dari warisan rezim Orde Baru dan fraksi yang mengaku-aku sebagai reformis sama saja dalam kasus ini. Apakah ini mengindikasikan jika cipratan uang
BLBI menyebar ke mana-mana? Wallahu’alam.
Hari-hari ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar melakukan koordinasi dengan pihak terkait, Jaksa Agung di antaranya, untuk memulai
kembali pengusutan terhadap kasus BLBI. Antasari bahkan menyebut jika target KPK adalah menyeret 18 tersangka kasus ini, para konglomerat hitam yang
kabur.
Dan semoga KPK juga tidak lupa bahwa ada beberapa anggota DPR periode 2004-2009 yang diduga kuat ikut menikmati uang BLBI sehingga bisa melancong
ke AS. Semua pejabat terkait dari era rezim Suharto hingga sekarang harus diseret ke muka hukum. Niat baik KPK patut mendapat dukungan. Jika perlu, KPK bisa
mencontoh Cina dalam penegakkan hukum kasus Mega-Korupsi: ditembak mati bersama anggota keluarganya yang terbukti di pengadilan ikut menikmati
uang panas. Namun sayang, payung hukum dalam UU Tipikor belum sehebat negeri komunis itu di dalam penegakan hukum.
Boleh saja SBY-JK menyatakan jika di masa kekuasaannya dilakukan usaha penegakan kembali kedaulatan hukum, politik, dan juga ekonomi kita. Namun yang
dilakukan ternyata kebalikannya. SBY-JK tentu masih ingat, dikeluarkannya UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal ditambah Perpres No.76 dan 77/2007
adalah buktinya. “UU itu merupakan pukulan telak dan mematikan bagi upaya penegakan kedaulatan ekonomi kita. Pemerintahan Yudhoyono telah
membuatkan jalan tol nan mulus bagi korporasi asing, besar dan kecil. Untuk menguasai perekonomian Indonesia!” tegas Amien Rais.
Salah satu rencana rezim peragu ini yang harus ditentang adalah rencana penjualan 44 BUMN. Jika semua rencana gila-gilaan dan—dalam istilah Amien Rais,
“Konyol”—ternyata dilakukan juga oleh SBY-JK atau penerusnya, maka sungguh malang nasib bangsa ini, akan meluncur ke jurang kebinasaan tanpa ampun.
Kita tentu tidak bisa lagi mengharapkan rezim SBY-JK untuk optimal dalam pemberantasan korupsi. Masa kerja SBY-JK tinggal hitungan bulan. Kita tentu masih
ingat, kasus Adelin Lis yang tertangkap di Beijing akhir 2006 ternyata berakhir anti-klimaks. Pemilik dua perusahaan kayu raksasa ini dijadikan tersangka oleh Polda
Sumatera Utara dengan dugaan melakukan illegal-logging dan merugikan negara sebesar Rp.227 triliun atau Rp. 227.000 miliar (!). Angka ini merupakan
sepertiga dari APBN Indonesia. Namun pengadilan akhirnya membebaskan Adelin Lis dengan dalih tidak menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan.
Rakyat protes keras namun SBY-JK adem-adem wae.
Lalu pada Februari 2006, tiga konglomerat perampok uang rakyat dalam kasus BLBI bisa-bisanya melenggang masuk istana dan keluar dengan aman dan
nyaman. “Mengapa istana, tempat bersemayamnya jantung kekuasaan, dapat menggelar karpet merah buat para musuh besar bangsa dan negara itu?
Mengapa?” tanya Amien Rais. Dua kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus ‘penegakan hukum’ ala rezim yang berkuasa sekarang ini. Fakta yang
tak terbantahkan inilah yang membuat banyak dari kita tersenyum miris melihat iklan full-size di berbagai harian nasional yang bertema ‘Tidak Pada Korupsi’.
Mungkin, maksudnya adalah “Katakan tidak pada upaya pengusutan kasus korupsi!”
Pemilu dan Pilpres 2009 akan diselenggarakan di tengah lautan kemiskinan bangsa ini yang kian dalam dan meluas akibat krisis global yang mengakibatkan
terjadinya PHK massal tanpa bisa dihindari. Kita hanya bisa berdoa semoga kenduri besar tersebut bisa terlaksana dengan menghasilkan para pemimpin rakyat
yang berani mati menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
Jika Pemilu dan Pilpres 2009 hanya melahirkan para pemimpin seperti sekarang, yang begitu acuh terhadap penderitaan rakyatnya sendiri, maka besar
kemungkinan usia pemerintah hasil Pemilu dan Pilpres 2009 tidak akan berumur lama, bahkan tidak akan sampai pada Pemilu dan Pilpres lima tahun ke depan
kemudian. Bangsa ini akan kembali terjerumus pada situasi chaos yang jauh lebih dahsyat ketimbang 1998.
Sekarang, sikap apatis rakyat terhadap pemerintah sudah sedemikian tinggi. Hal ini bisa ditelusuri dari rendahnya angka partisipasi rakyat di dalam berbagai
pilkada yang diselenggarakan. Rakyat sudah banyak yang mulai cerdas dan menyatakan jika semua partai politik, baik yang warisan Suharto maupun yang lahir
setelah 1998, sama saja: Suhartois. Situasi negeri ini sekarang ibarat hutan ilalang kering yang akan cepat terbakar habis jika ada satu letikan kecil api
menimpanya.
Sudah menjadi hukum alam jika dalam situasi penuh keputus-asaan, biasanya rakyat kecil akan berdoa agar Allah SWT kembali mengutus seorang tentaranya
untuk memimpin rakyat menumbangkan tiran. Sang tentara Allah biasanya hadir dalam sosok seorang manusia yang bersahaya, lurus dan bersih dalam
hidupnya, yang berani mengatakan dan membela kebenaran walau nyawa menjadi taruhan, dan bisa merasakan denyut kepedihan rakyat yang selama 40
tahun terus-menerus dijajah oleh pemerintahnya sendiri. Tentara Allah tidak akan pernah mau berdamai dengan kemunafikan apalagi bersekutu dengan thagut.
Tentara Allah adalah sekutu Muhammad SAW, bukan sekutu Abu Jahal apalagi bersahabat dengan Qarun. Jika tentara Allah SWT telah datang, maka seluruh
rakyat kecil akan bersatu-padu dibelakangnya untuk berjuang menggulingkan kezaliman dan kemunafikan. “Hasta La Victoria Siempre!!!”(Tamat)
.........