It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Update donk! T-T
Kangen Ian!! T-T
Bentar lagi kan valentine!!! #apahubungannya!!!
guk gukkk
abg gigit ahhh
galauuuu abang dekkkk
hiahahahhaaha
hahaha sumpah gw gak sadar kalo selalu salah nulis nama Ts hihi trim @Tsu_no_YanYan
@3ll0 @exomale @cute_inuyasha @Tsu_no_YanYan @Adi_Suseno10 @Tsunami @d_cetya @4ndh0 @Wita @DoniPerdana @Lonely_Guy @balaka @centraltio @JNong
PART VI
Selesai mengantar mama ke hotel tempat beliau menginap Gugun tidak lantas pulang ke apartemennya sendiri. Tangannya justru menyetir, membawanya, ke tempat dimana dia tidak seharusnya berada.
Rumah mungil itu terlihat mati. Alasan utama mungkin karena sudah tidak ada yang menghuni, sehingga gelap menyelimuti setiap sudut rumah. Namun sepertinya itu masih kurang tepat, kenyataan bahwa orang itu sudah tidak disana lah yang lebih tepat sebagai alasan. Dan jika memang iya demikian maka harus Gugun akui kehadiran si penghuni sungguh merupakan kehidupan.
Hanya saja orang itu telah memilih pergi ke tempat yang jauh dari kata layak sehingga jauh dari kata nyaman. Kenapa? Kenapa dia harus pergi disaat dia sedang tidak mampu untuk itu? Dan yang lebih menyakitkan kenapa Gugun sampai tidak tahu tentang apa yang dialami orang itu. Jika saja dia mau tetap tinggal...
Tinggal?
Bersama dengan memori yang mungkin akan sangat menyakitkan untuknya?
‘Apa yang sedang kupikirkan?’
Gugun mengusap kuat wajahnya kemudian menyandarkan kepalanya pada setir mobil dengan posisi kepala menghadap ke kiri supaya dia tetap bisa melihat rumah tersebut. Semakin lama dia melihat semakin besar keinginan agar orang itu kembali kesana tidak peduli apakah egois atau tidak keinginannya itu.
Lalu tanpa dikomando tubuh Gugun kembali bergerak sendiri. Dia seakan lupa bahwa saat ini ada masalah lain yang perlu dia selesaikan terlebih dahulu dengan kekasihnya, Ogi. Kekasih yang saat ini tidak hanya menunggunya pulang tapi juga menunggu penjelasan darinya. Dan kemungkinan dia melakukan kedua hal itu dengan perasaan was-was bercampur takut.
Namun mau seberapapun takutnya ia, nyatanya sang kekasih takkan muncul sebelum dia menjumpai orang itu. Orang yang telah lebih dulu mengisi hatinya kemudian dibuat menderita olehnya.
Pukul dua malam atau mungkin bisa disebut pagi dia tiba kembali didepan kosan Ian. Pagar tinggi yang sudah ditutup bukan halangan baginya untuk bisa masuk kedalam. Langkahnya pasti dibawah siraman gerimis yang mulai melebat hingga bajunya yang sudah sempat basah saat memanjat pagar tadi kian basah jadinya.
Ketika tubuhnya telah berada didepan kamar sempit itu tak ada sedikitpun keraguan dihatinya untuk segera mengetuk. Dan begitu pintu terbuka keberaniannya seperti hidup. Apa yang dia saksikan dan dia rasa menuntun kedua tangannya untuk merengkuh tubuh rapuh yang telah dengan tega dia sakiti.
Malam menghening.
Gerimis menjadi saksi dari jatuhnya butiran-butiran bening yang bukan berasal dari langit. Mereka berasal dari dua pasang mata yang bersedih dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Dewa memeriksa setiap sudut kamar yang baru saja terisi dengan beberapa perabotan. Tempat tidur, lemari pakaian juga sebuah meja persegi berukuran sedang serta beberapa hiasan lainnya telah mengisi kamar yang sebenarnya satu ruangan dengan dapur tersebut. Tidak terlalu banyak barang memang namun Dewa memastikan letak dan posisi barang-barang tersebut tersusun rapi sesuai keinginannya sehingga tampak menarik.
Kamar yang tidak terlalu besar namun tidak juga bisa dibilang kecil itu terlihat lebih hidup sekarang. Dulu kamar itu hanya berupa ruangan yang dibiarkan kosong dan tidak difungsikan untuk keperluan apapun. Namun sejak Dewa memutuskan untuk menerima seseorang tinggal bersamanya maka ruang tersebut menjadi kamar yang akan ditempati orang tadi.
Dewa mencoba duduk diatas tempat tidur untuk melihat seberapa nyaman kasur tersebut, dan hasilnya cukup nyaman walaupun tidak senyaman kasur miliknya sendiri.
“Semua sudah beres pak, ada lagi yang anda perlukan?”
Sebuah suara mengalihkan perhatian Dewa dari duanianya sendiri untuk melihat kepada si pemilik suara yang tidak lain adalah asisten pribadinya.
“Kurasa tidak. Ini sudah cukup, akan kuhubungi jika memang ada yang lain”
“Baik pak. Kalau begitu saya permisi”
Dewa memberi sebuah anggukan untuk mempersilakan orang itu pergi. Dengan izin tersebut orang itu berlalu bersama dengan derap langkah dan suara orang yang bercakap-cakap yang semakin lama terdengar semakin menjauh dan hilang sama sekali.
Hening menyapa begitu Dewa hanya tinggal seorang diri, menghantarkannya pada kekosongan yang sudah terlalu sering bertamu untuk kemudian menghabiskan waktu bersama. Keheningan itu pula yang lagi-lagi menuntun mata Dewa untuk menelusuri satu per satu isi kamar yang kemudian dengan begitu misterius menimbulkan perasaan aneh di dalam
dadanya. Seaneh jika dia mengingat kejadian tadi pagi.
Ketika hatinya tiba-tiba berontak saat melihat wajah Ian yang begitu serius memikirkan sesuatu namun ternyata bukan dia alasan dibalik keseriusan itu. Sesuatu dalam dirinya begitu marah, kesal dan merasa kalah. Dia ingin dialah alasan mengapa Ian berpikir demikian serius. Dia ingin dialah yang mendapat posisi dimana dia bisa menguasai seluruh pikiran Ian. Dia ingin Ian memikirkannya hingga Ian merasa lelah karenanya. Dia ingin Ian melakukan hal itu untuknya dan hanya untuknya saja, tidak ada yang lain.
Dewa tidak bisa memungkiri betapa nyamannya dia ketika Ian sedang berada di dekatnya terlebih, ketika kening mereka sedang menempel satu sama lain. Dewa juga mengakui bahwa sebenarnya dia memiliki ketertarikan terhadap Ian. Rasa tertarik yang secara perlahan membuatnya mulai memberi perhatian lebih serta memberanikan dirinya untuk percaya. Karena itulah dia akan menjadi begitu marah jika Ian justru mengabaikannya.
Harga diri yang sempat turun juga ikut memberinya dorongan lebih untuk bertindak diluar kebiasaan. Hanya karena Ian tidak sedang memikirkannya Dewa seperti telah kalah dalam sebuah turnamen akbar. Apa yang telah dia lakukan dan dia yakini berefek besar terhadap Ian ternyata bisa dikalahkan oleh perkara lain yang dia tidak pernah tahu apa itu. Namun yang pasti perkara tersebut telah begitu berhasil mengusik ketenangannya dan dia tidak mau kalah dari apapun perkara itu.
‘Pikirkan aku, hanya aku!’
‘Tinggalah di dekatku dan tetap disana!’
‘...dan jangan katakan tidak!’
Kalimat-kalimat itu mengisi penuh pikiran Dewa kala itu. Sedikitpun dia tidak mau ditolak.
Demi ketenangan yang Ian hadirkan untuknya, demi perhatian yang membuatnya begitu nyaman dan damai maka dia tidak akan membiarkan dirinya ditolak oleh Ian. Setelah dengan lancar meminta Ian menjadi kekasihnya dengan lancar pula dia meminta Ian untuk tinggal bersama tanpa sibuk memikirkan apakah Ian sedang memiliki kekasih atau tidak.
Dan jawaban Ian pun membuka segala peluang. Seperti halnya dia yang memberi peluang pada diri sendiri untuk membuka hati dan menerima seseorang dalam hidupnya.
Merasa cukup dengan kamar baru itu, Dewa lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi Ian. Nomor itu dia dapatkan langsung dari sang empunya tadi pagi. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Ian untuk dilakukan.
“Kita akan ambil barang-barangmu begitu kau pulang dari restoran” Kata Dewa segera setelah mendengar sapaan halo.
“.........”
“Oke, kalau begitu sampai nanti” Kata Dewa mengakhiri cepat panggilan tersebut bahkan sebelum Ian sempat mengiyakan ucapan sampai nanti darinya.
Begitu panggilan terputus yang Dewa lakukan adalah segera menarik nafas dalam untuk menenagkan diri dari sensasi aneh yang sudah muncul sejak tadi dan belum juga hilang, malah yang ada semakin menjadi. Dia tidak tahu persis apa penyebabnya sehingga bisa demikian. Yang pasti melalui rasa itu dia tahu bahwa dia tidak menyesal dengan keputusannya, dia justru merasa telah mengambil keputusan tepat yang akan membuat hidupnya lebih berwarna.
Sementara itu di resrtoran keresahan mengganggu Ian begitu dia selesai bicara dengan Dewa via telpon. Matanya memejam rapat untuk meredakan degupan jantung akibat rasa bersalah yang terus menyerang hatinya.
‘Apa yang telah kulakukan?’ Tanyanya pada diri sendiri.
Dia sungguh tidak bisa menerima keputusan yang telah dia ambil. Bagaimana bisa dia mengambil kesempatan dari orang yang memintanya untuk menjadi kekasih? Dan orang itu, mengapa dia tiba-tiba bicara demikian? Apa dia sungguh-sungguh? Bukankah selama ini dia terlihat tidak menyukai Ian?
Entahlah!
Namun yang pasti, sungguh atau tidaknya Dewa, Ian telah benar-benar jahat padanya.
Hari itu Ian menyibukkan diri dengan segala pekerjaan untuk mengalihkan perhatian dari perasaan bersalah. Dan ternyata sama sekali tidak banyak membantu. Sedetik dia berhenti maka kejadian tadi pagilah yang membayang di pikirannya.
Dia tersenyum getir dan menggumam kata maaf berulang kali.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam lewat. Ian mengetahuinya dengan jelas tapi dia belum mau keluar dari restoran. Dia malah melakukan beberapa pekerjaan yang sebenarnya lebih baik jika dia kerjakan besok. Bimo dengan senang hati membantu Ian dengan pekerjaannya. Dia sama sekali tidak bertanya mengapa Ian masih belum pulang dan melakukan pekerjaan ini itu tanpa henti. Dia hanya membantu.
Toni lah satu-satunya orang yang angkat bicara.
“Kau bisa lanjutkan itu besok Ian. Sebaiknya sekarang kau pulang dan istirahat. Masih ada besok, percayalah!” Katanya bijak saat melihat Ian yang seakan tidak kehabisan hal untuk dikerjakan.
Mendengar ucapan itu Ian berhenti dan melihat pada Bimo yang juga melihat padanya. Senyum di wajah Bimo seolah meyakinkan bahwa mereka memang masih punya esok hari untuk melakukan pekerjaan itu. Dengan itu Ian tidak lagi bisa menolak, dia mengakhiri pekerjaannya dan bergegas menuju kamar ganti bersama Bimo.
Keluar dari restoran bersamaan dengan Toni dan Bimo, Ian menemukan mobil Dewa telah berada disana dalama keremangan untuk menjemputnya. Ian sungguh terkejut. Dia mengira Dewa akan datang jika dihubungi terlebih dahulu makanya dia berlama-lama tadi.
‘Sudah berapa lama dia disana? Jangan bilang dia sudah menungguku dari tadi’ Batin Ian gelisah seraya melangkah untuk mendekat.
Dewa menurunkan kaca jendela mobil untuk berkata,
“Masuklah!”
“Ada banyak pekerjaan?” Tanya Dewa begitu Ian telah duduk dengan nyaman di dalam mobil.
“Tidak, hanya bersih-bersih”
“Hmmm”
“Anda sudah lama?” Tanya untuk sekedar memastikan.
“Setengah jam sebelum restoran tutup” Kata Dewa tenang seraya menyalakan mobil.
Ian terhenyak mendengar jawaban itu. Setengah jam sebelum restoran tutup berarti hampir dua jam yang lalu. Ian menciut, belum apa-apa dia sudah membuat Dewa menunggu begitu lama, lalu bagaimana dengan nanti? Apa lagi yang akan dia lakukan terhadap orang ini?
“Maaf sudah membuat anda menunggu”
“Tidak masalah” Jawab Dewa tenang, setenang dia mengatakan telah menunggu sebelum restoran tutup. Namun jawaban tenang Dewa justru mengantar Ian pada tingkat kegelisahan yang lebih tinggi.
Mobil kemudian mulai bergerak. Ian tidak lagi bicara dan memilih melihat keluar jendela. Melihat apa saja termasuk Bimo dan Toni yang dengan seksama memperhatikan mobil Dewa ketika melintas di dekat mereka. Bagusnya bukan Reza yang melihat, kalau sampai anak itu yang melihat bisa dipastikan akan ada banyak pertanyaan menyerang Ian besok. Sebab selain parno anak itu juga terlalu ingin tahu urusan orang.
Perjalan menuju kos kali ini tak jauh berbeda dengan kemarin malam. Bahkan sekarang jauh lebih menyiksa. Rasa bersalah menghadirkan ketegangan tersendiri bagi Ian. Dia nyaris tidak berani melirik pada Dewa apalagi bicara. Beruntung Dewa juga memilih diam dan tidak bicara apapun selama mereka berkendara.
Tapi sekali mereka tiba di kamar Ian Dewa tidak mampu menahan diri untuk bicara.
“Kau yakin kau tinggal di kamar ini?” Tanya Dewa dengan kening berkerut tidak percaya.
“Iya pak”
Dewa hanya mengangkat kedua alis dan selanjutnya memamerkan ekspresi yang sulit dimengerti. Dia masuk kedalam kamar dengan kedua tangan berada dalam saku celana lalu memperhatikan barang-barang Ian yang tersusun di lantai termasuk barang yang dibeli mama.
“Hanya ini barang-barangmu?”
Ian dengan reflek melihat ke sekeliling dan segera mengangguk. “Iya, hanya ini”
“Bagus! Bisa dibawa sekali jalan”
Satu per satu barang kemudian diangkut kedalam mobil. Dewa langsung yang turun tangan. Ian yang sudah merasa bersalah diawal kian merasa tidak enak pada Dewa. Dia ingin sekali mencegah Dewa agar tidak bersusah payah mengangkut barang-barang itu, namun, dia bahkan tidak punya keberanian untuk bicara.
“Kau belanja begitu banyak barang meski kau tinggal sendiri?” Tanya Dewa saat menutup bagasi mobil.
Ian tidak menjawab hanya memberikan senyuman kecil kemudian permisi sebentar untuk memberitahu pak Agam. Pak Agam sedikit terkejut dengan kepindahan Ian yang sangat tiba-tiba. Ian sendiri hanya memberi alasan sekedarnya saja dan tetap membayar setengah biaya kosan yang langsung ditolak oleh beliau.
“Simpan saja! Maaf bapak tidak bisa memberikan tempat yang lebih layak untuk nak Ian” Begitu kata beliau saat menolak uang tersebut. Ian berulangkali mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya pamit untuk pergi.
Wajah datar Dewa segera menyambut Ian yang baru saja masuk ke dalam mobil. Ian baru menyadari hal itu saat dia sedang memasang sabuk pengaman dan tidak sengaja melirik pada Dewa. Ian segera pura-pura sibuk dengan sabuk pengaman lalu mengalihkan perhatian pada hal lain begitu dia selesai. Tatapan itu seakan ingin bertanya padanya. Dan Ian tidak bisa membayangkan jika pertanyaan itu adalah ‘Mengapa kau mau tinggal bersamaku?’
Demi Tuhan apa yang harus dia jawab jika sampai Dewa bertanya itu.
Dari ujung matanya Ian bisa melihat Dewa yang masih setia memandanginya hingga membuat sekeliling Ian seperti terbakar.
“Tidak perlu segugup itu hanya untuk pindah tempat tinggal”
Ucap Dewa pelan seperti menggumam.
Ian yang jelas-jelas terkejut karena bisa mendengar jelas ucapan tersebut bersikap sok santai dan berusaha tidak menghiraukan ucapan Dewa barusan. Saat ini ada yang lebih penting untuk dia lakukan adalah menenangkan degupan jantungnya supaya tidak lagi terlihat gugup.
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk sampai ke apartemen dan tidak perlu bersusah payah pula membawa barang kelantai dimana Dewa tinggal. Sebab orang itu sudah membayar petugas apartemen untuk membawanya.
“Ini kamarmu” Kata Dewa menunjukkan kamar yang sudah dia siapkan sebelumnya untuk Ian.
Ian masuk dengan ekspresi aneh saat melihat kamar yang disediakan untuknya, ekspresi yang segera diartikan Dewa sebagai rasa tidak suka.
“Kenapa? Kau tidak suka kamarnya? Hanya ini ruangan yang tersisa. Kecuali kau mau satu kamar denganku karena disana akan sangat nyaman”
Ian tidak bisa berkata untuk beberapa saat, kosentrasinya sedang tidak bagus sehingga dia pun tidak bisa langsung mengerti maksud ucapan Dewa, dan kesempatan itu justru diambil Dewa untuk melanjutkan kalimatnya.
“Tapi sayangnya aku tidak terbiasa berbagi ranjang dengan orang yang tidak memiliki hubungan denganku”
Ian segera menunduk begitu menyadari kemana arah pembicaraan itu menuju.
“Meskipun kau sudah pernah tidur disana, tetap tidak ada pengecualian untuk itu” Lanjut Dewa yang membuat Ian memejam mata rapat-rapat menahan malu yang amat sangat.
‘Kenapa aku bisa lupa tentang itu?’ Batin Ian kesal. Mulai sekarang setidak suka apapun dia terhadap sindiran Dewa dia tetap harus bertahan. Sepertinya akan semakin sulit saja baginya untuk menjauh dari Gugun.
Ian menarik nafas dalam untuk menenagkan diri, kemudian berkata dengan lancar ditemani senyum indah diwajahnya.
“Ini sangat bagus, maaf sudah merepotkan anda”
Kalimat yang terlihat sungguh-sungguh itu ditanggapi dengan kebisuan oleh si pemilik apartemen. Ada hawa aneh menyusup ke dalam dadanya menyebabkan rongga itu seperti terbuka dan melayang keudara tatkala melihat senyum diwajah Ian.
“Kau bisa menyusun barang-barangmu sekarang!” Dewa segera berlalu meninggalkan Ian begitu selesai mengucapkan kalimat tadi. Dia tidak bisa lebih lama lagi disana. Apapun yang menyusup dalam dadanya sekarang semakin berulah dan bertingkah.
Dewa meraba dada kirinya begitu dia berada dikamarnya sendiri. Dia sama sekali tidak menyangka jika tindakannya akan berdampak sejauh ini.
Kenapa?
Kenapa bisa begini?
Dia ingin membuat Ian memikirkannya bukan malah sebaliknya.
Namun demikian, Dewa tetap tidak bisa menahan sudut bibir yang perlahan tertarik membentuk sebuah senyuman. Senyum yang menggambarkan suasana hatinya saat ini. Sangat berbeda dengan Ian yang malam itu bahkan tidak bisa tidur.
Perasaan bersalah menghantui dan mengganggu tidurnya. Dia tidak bisa bernyaman ria diatas kasur empuk pemberian Dewa sementara kenyataannya dia hanya memanfaatkan orang itu.
Oleh karena itu Ian mempersilahkan tubuhnya untuk tidur beralaskan lantai tanpa sehelai kainpun sebagai pembatas. Seolah jika dia berbuat demikian lantai itu akan menyerap semua rasa bersalah yang menderanya.
Meski sulit dan tubuh sakit Ian bisa juga terlelap, hanya saja itu terjadi ketika waktu telah begitu larut. Tidak lama setelah Ian terlelap pintu kamar terbuka dengan sangat perlahan nyaris tanpa suara sedikitpun. Dewa yang menjadi dalang dibalik pintu terbuka memajukan sedikit kepalanya untuk mengintip ke tempat tidur, dia hendak memastikan kalau Ian terlelap dengan nyaman disana. Akan tetapi keberadaan ranjang yang kosong membuatnya bingung dan membuka pintu lebih lebar supaya bisa melihat lebih jelas. Dan disitulah dia dibuat sangat terkejut, sebab bukannya tidur di ranjang Ian justru tidur meringkuk di atas lantai.
Untuk beberapa saat Dewa tidak dapat bergerak, alisnya bertaut heran sementara dadanya berdetak tidak nyaman. Tentu saja dia heran, sangat heran malah. Ada ranjang yang cukup besar disana tapi mengapa Ian justru memilih tidur di lantai? Dewa berdiri cukup lama disana sebelum akhirnya menutup kembali pintu tersebut dengan perasaan bimbang tak karuan dan membiarkan Ian tetap pada posisi itu.
“Tidurmu nyenyak semalam?” Tanya Dewa ketika mereka sedang sarapan keesokan harinya.
Entah disadari atau tidak oleh Dewa namun yang pasti Ian sadang sarapan dengan sangat kaku pagi itu.
“Saya tidur nyenyak, terimakasih! Tempat tidurnya sangat nyaman” Bohong Ian.
Mendengar jawaban itu Dewa tidak bisa untuk tidak melihat pada Ian. Sementara yang dilihat malah segera menundukkan kepala seperti orang bersalah. Dewa tersenyum kecut, dia sebenarnya ingin sekali membantah tapi nyatanya dia malah mengikuti kebohongan Ian.
“Kalau begitu bagus” Katanya tenang seperti tidak tahu apa-apa. Dia bahkan menyuruh Ian agar mengatakan jika butuh sesuatu.
Ian hanya memberikan anggukan kecil sebagai jawaban lalu melanjutkan lagi sarapannya dengan kaku.
‘Bagaimana bisa aku meminta sesuatu darinya?’ Batin Ian tidak enak.
Sementara Ian sibuk dengan rasa bersalahnya Dewa justru sibuk memandangi wajah Ian dengan berbagai pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan mengapa Ian sampai tidur di lantai? Mungkinkan Ian tidak suka tempat tidurnya?
Atau...
Dia justru tidak suka berada berada satu atap dengan Dewa?
Kalau memang tidak suka mengapa dia menerima?
Apa dia terpaksa?
Tanpa sadar Dewa menarik nafas dalam dengan segala pertanyaan yang muncul. Dia tidak pernah menyangka jika telah memaksa Ian, karena yang dia tahu hanyalah dia tidak ingin ditolak dan itu sudah keputusan final. Namun jika memang demikian kenyataannya maka yang perlu Dewa lakukan adalah membuat Ian merasa senyaman mungkin tinggal disana, bersamanya.
Acara sarapan berlanjut dalam diam. Tidak sedikitpun Ian mengangkat kepalanya, tingkahnya terlihat seperti orang yang baru dapat mencicipi makanan yang menjadi rebutan banyak orang. Dan jika dia sampai mengangkat kepalanya sebentar saja maka orang lain akan segera merampas makanan tersebut. Tingkah itu tidak luput dari perhatian Dewa, dan harus dia akui bahwa hal tersebut sedikit menghiburnya dari berbagai pertanyaan yang cukup mengganggu tadi.
“Santai saja! Tidak akan ada yang mengambil sarapanmu?’
“Apa?”
Akhirnya Dewa berhasil membuat Ian melihat padanya.
“Tidak ada. Hanya saja caramu makan terlihat seolah kau takut kalau sarapanmu akan diambil orang” Kata Dewa santai.
Ian gelagapan untuk menjawab. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada kalimat yang dia rasa cocok sebagai alasan sehingga dia pun menunduk kembali setelah megap-megap dengan bodohnya untuk beberapa saat.
Dewa mengulum senyum yang menunjukkan dia menikmati semua itu.
Usaha membuat Ian nyaman pun dimulai Dewa dengan mengantar Ian ke tempat kerja. Tentu dia sudah pernah melakukan hal itu sebelumnya tapi sekarang dia berniat melakukannya rutin.
Itu rencana Dewa. Lalu bagaimana dengan Ian?
Jangan ditanya bagaimana dia menghabiskan setiap detik yang dia miliki di dekat Dewa. Kekauan senantiasa menyelimutinya.
Hal paling mengganggunya jelas rasa bersalah akibat memanfaatkan orang itu. Namun selain hal itu ada yang lain yang lebih menganggunya. Dan parahnya bukan hanya satu tapi banyak. Dan kesemuanya berhubungan dengan orang itu. Cara dia berinteraksi dengan Ian sekarang, caranya berbicara, tingkah lakunya dan cara dia menatap Ian. Sungguh membuat Ian tidak tenang. Ini baru satu hari, bagaimana dengan hari-hari berikutnya?
Sigh!
Ian hanya bisa mendesah panjang memikirkan hal itu.
---
Malam itu, setelah mandi dan berganti pakaian, Ian memberanikan diri untuk menonton tv. Tentu saja itu bukan inisiatifnya sendiri. Dewa yang menyuruhnya.
“Kau bisa keluar untuk nonton tv atau melakukan apa saja disini. Itu akan lebih baik dari pada mengurung diri di kamar”
Begitu kata Dewa ketika dia sengaja mendatangi kamar Ian sebab Ian tak kunjung keluar setelah masuk ke dalam kamar. Saat Dewa datang Ian sedang duduk mematung melihat ke cermin tanpa melakukan apapun. Jadi wajar saja jika kalimat itu yang keluar dari mulut Dewa.
“Kau biasa tidur cepat?” Tanya Dewa menghampiri Ian yang sedang menonton siaran secara asal bersama beberapa berkas ditangannya.
Penampilan Dewa terlihat begitu segar. Kaos putih lengan panjang dan celana panjang berwarna crem itu benar-benar kombinasi yang sempurna untuk tubuhnya yang tinggi tegap.
Walaupun Dewa tidak mempunyai wajah semempesona Gugun tapi dia memiliki daya tarik sendiri yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Auranya seakan memiliki sihir untuk menyihir siapapun agar hanya melihat padanya. Dan hal itu baru Ian akui sekarang sebab dia mulai bisa merasakannya.
Dulu? Dia tidak sempat memperhatikan hal tersebut. Masalahnya dengan Gugun sudah cukup untuk mengalihkan semua perhatiannya dari hal semacam itu, ditambah pula sikap Dewa yang tampak bagi Ian sangat tidak bersahabat membuat Ian tidak bisa menemukan apa yang dia temukan sekarang.
“Tidak juga, tapi...tergantung” Kata Ian menjawab pertanyaan Dewa.
Ian sedikit terlonjak ketika Dewa duduk satu sofa dengannya dengan jarak yang cukup dekat pula. Dia ingin bergeser tapi jelas tidak mungkin karena Dewa bisa mengira kalau Ian tidak ingin berdekatan dengannya. Jadilah Ian bertahan pada posisi itu meski degupan jantungnya mulai membuatnya tidak nyaman. Aroma yang menyeruak dari tubuh Dewa ikut mendatangkan nuansa aneh pada diri Ian. Aroma yang menenangkan namun amat meresahkan bagi Ian.
“Lalu, kau ingin tidur sekarang?”
“Tidak!” Ian menggeleng saat menjawab, dia pun secara reflek melihat pada Dewa untuk meyakinkan orang itu. Dewa yang entah sejak kapan memakai kacamata untuk memeriksa berkas yang dia bawa tadi terlihat semakin sempurna dan berwibawa.
“Kalau kau mengantuk kau boleh tidur”
Ian mengerutkan kening menandakan kalau dia bingung. Bagaimana tidak? Tadi Dewa menyuruhnya menonton tv sekarang memberi izin untuk tidur. Sebenarnya orang itu ingin Ian melakukan apa? Ian hanya menjawab ‘ya’ dan memilih tidak menghiraukan ucapan Dewa sebab dia akhirnya bisa menemukan acara menarik yang bisa sedikit mengalihkan perhatiannya.
Menjelang tidur, Ian kembali berbaring diatas lantai seperti malam sebelumnya. Sangat tidak nyaman sebenarnya namun Ian seperti tidak punya pilihan lain selain melakukan hal tersebut. Bahkan badannya yang terasa kaku keesokan hari tidak menjadikan Ian berubah pikiran sehingga mau berhenti.
Hal itu terus berlangsung pada malam-malam berikutnya, dan selama itu juga Dewa selalu memergoki Ian sebab dia tiap malam datang ke kamar Ian untuk mengecek apakah Ian masih melakukan hal yang sama atau tidak? Dan dia benar-benar dibuat bingung dengan siakap Ian yang masih pada pendiriannya untuk tidak menggunakan kasur empuk itu.
Malam itu pun sama. Dewa lagi-lagi menemukan Ian berbaring di lantai tanpa sehelaipun kain sebagai alas, tanpa bantal juga tanpa selimut. Dan untuk kali ini dia tidak bisa lagi menahan diri, dia melangkah masuk mendekati Ian yang tidur meringkuk dengan menyedihkan. Begitu dia sampai didekat Ian, dia pun merendahkan tubuhnya supaya bisa melihat wajah Ian dengan jelas menggunakan tatapan sayunya. Perih, itu lah yang dia rasa tatkala melihat tingkah laku Ian. Tidak jelas mengapa rasa itu yang menguasai hatinya tapi dia benar-benar merasa demikian.
“Kenapa?”
Satu kata itu meluncur dari bibir Dewa dan sudah sangat cukup untuk mewakili semua pertanyaan juga perih yang tengah dia rasakan.
Dewa lantas ikut berbaring disebelah Ian dengan posisi menyamping. Lengan kanan dia gunakan sebagai bantal untuk menyangga kepalanya yang menghadap penuh ke arah Ian.
Dengan cara itu dia mencoba mencari tahu bagaimana rasanya berbaring disana hingga memungkin baginya untuk menyimpulkan sebesar apa kendala Ian hingga tidak bisa menerima kenyamanan yang dia beri.
Posisi mereka yang berhadapan memudahkan Dewa untuk menjelajahi setiap mili wajah Ian guna menemukan jawaban atas pertanyaannya. Namun semakin jauh dia menjelajah dia hanya dituntun pada kebingungan yang tak berujung.
Hembusan nafas teratur Ian pun menjadi tontonan tersendiri bagi Dewa. Sebuah keinginan menyusup begitu saja kedalam hatinya supaya mendekat sehingga dia bisa merasakan hawa hangat itu menerpa wajahnya. Akan tetapi, sebelum itu sempat terjadi Ian telah merubah posisi tidur dari meringkuk menjadi terlentang. Perubahan posisi itu seolah menjadi isyarat bahwa dia menolak keinginan Dewa.
Tidak mampu melihat wajah Ian dari depan Dewa pun menikmatinya dari samping. Alis yang lumayan tebal, bulu mata sedang, hidung yang terbilang biasa, bibir ranum serta dagu yang tidak begitu lancip, menjadi kombinasi yang pas. Dia tidak memerlukan hidung mancung menjulang atau mata besar menawan atau bibir seksi dan juga dagu lancip, sebab apapun yang dia miliki sekarang sudah cukup untuk membentuk sebuah rupa yang indah.
Dewa lalu bergerak mendekat bersamaan dengan tangannya yang berusaha mengapai Ian agar berada dalam dekapannya. Dia melakukannya sepelan mungkin supaya Ian tidak terganggu. Sebab tidur dilantai saja sudah pasti sangat tidak nyaman oleh karena itu sudah seharusnya dia tidak menambah ketidaknyamanan Ian. Dalam posisi itu dia terus saja memandangi wajah Ian. Rasa tidak nyaman berbaring dilantai mulai menyerang, dan distulah dia kembali bertanya “Kenapa? Kenapa kau memilih ketidaknyamanan ini?”
Malam merangkak perlahan menuju subuh. Setiap detik yang terlewat mungkin terasa hambar bagi salah satu dari mereka. Akan tetapi, waktu menjadi saksi bagaimana seorang lagi menghabiskan malam tersebut dalam kebimbangan yang menyesakkan dada.
Ketika malam telah tiba pada penghujungnya dan subuh mulai menyapa, mata itu terbuka sendiri tanpa diminta atau dipaksa. Kemudian mengerjap beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaran agar bisa merasakan kembali tubuhnya. Seiiring dengan kesadaran yang terkumpul kembali dia pun merasakan ada sesuatu yang bergelanyut di tubuhnya.
Ian mencari tahu apa itu.
Tangan?!
‘Kenapa ada tangan?’ Pikir Ian bingiung.
Dia lantas mencari tahu tangan siapa itu.
1 detik
2 detik
3 detik
Ian terlonjak kaget dan seketika bangun dari tidurnya. Tapi...
“Aww!” Dia sedikit terpekik sebab sekujur tubuhnya terutama bagian leher terasa sangat nyeri dan kaku. Bahkan rasa terkejut tadi tidak mampu menutupi rasa nyeri yang menyerang. Rasa nyeri yang sudah dia dapatkan dari malam pertama terasa semakin sakit saja. Aneh, dengan waktu yang terhitung hampir seminggu itu seharusnya dia mulai terbiasa tidur dilantai bukannya malah sakit seperti sekarang.
Saat rasa nyeri perlahan mereda, Ian menoleh pada Dewa yang tidak dia ketahui bagaimana caranya telah ikut berbaring di lantai bersamanya.
Jatuhnya tangan akibat Ian yang bangun tiba-tiba ditambah pula dengan suara teriakan cukup untuk mengusik kenyamanan tidur Dewa. Matanya perlahan terbuka dan begitu mata itu terbuka penuh dia menemukan Ian sedang memandanginya dengan alis bertaut menunjukkan ekspresi antara terkejut dan heran.
Dewa lantas bangun dan ikut duduk berhadapan dengan Ian sambil mengusap wajahnya.
“Ke-kenapa anda disini? Kenapa Anda tidur di lantai?”
Dewa tidak segera menjawab karena sedang menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa kaku. Namun begitu dia selesai dia berkata.
“Kau sendiri, kenapa kau tidur di lantai?”
“........”
“Kasurnya tidak nyaman?”
“.......”
“Aku sudah bilang kan, katakan jika kau perlu sesuatu. Jika kasur itu tidak cukup nyaman aku bisa menggantinya dengan yang lain”
“.......”
Ian masih diam dan malah menunduk untuk menghindari tatapan Dewa. Dia tidak menyangka akan ketahuan dengan cara seperti ini, dengan Dewa berbaring disebelahnya. Seberapa lama Dewa disana? Seingat Ian dia masih sendiri sebelum benar-benar terlelap. lalu kapan Dewa masuk?
“Hmph!”
Bibir Dewa tertarik membentuk sebuah senyuman miring karena bukannya menjawab pertanyaan Ian malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan kalau sudah begitu bisa dipastikan jika Dewa tidak akan mendapat jawaban apapun. Menyadari pertanyaannya tidak akan mendapat jawaban Dewa pun bangkit dari lantai yang sudah berhasil membuat sekujur tubuhnya sakit untuk menuju kamarnya sendiri.
Ian mendesah berat berusaha mengatur kembali detak jantungnya yang berpacu cepat akibat terkejut tadi. Dia kemudian bersandar pada sisi ranjang menatap langit-langit kamar yang tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya sebagaimana dia yang tidak memberi jawaban atas pertanyaan Dewa.
Bayangan wajah pulas Dewa yang begitu dekat dengan wajahnya melintas kembali di ingatan. Ujung hidung Dewa nyaris menyentuh pipi Ian, dan ketika Ian berpaling ke kiri hidung itu segera menyambut mesra pipinya. Kalau saja Ian menolehkan sedikit lagi kepalanya menghadap Dewa, bisa dipastikan bukan hanya pipi dan hidung tapi bibir mereka juga akan bertemu.
Tidak tahu apakah Ian sadar atau tidak tapi perlahan tangannya tergerak untuk menyentuh pipi kirinya yang sudah dua kali mendapat sentuhan hidung Dewa.
--
Dewa datang dalam keadaan rapi dari kamar sambil berbicara dengan seseorang melalui tarpon genggam.
“Baik, siapkan saja semuanya”
“.......”
“Oke, kita bicara lagi setelah aku sampai ke kantor”
“.......”
“Ya!”
Kata ‘ya’ mengakhiri percakapan Dewa dengan entah siapa itu. Dia kemudian mengambil posisi duduk setelah sebelumnya meletakkan tas juga jasnya pada kursi yang lain.
“Kemungkinan hari ini aku akan ke luar kota dan baru kembali besok atau lusa. Kau tidak masalahkan sendiri disini?”
“Huh? Oh tidak, tidak masalah!” Ian menunjukkan sikap tidak siap atas pertanyaan Dewa. Dia yang sebelumnya sudah canggung akhirnya bisa menjadi lebih rileks karena ternyata Dewa tampak tidak menyinggung kejadian tadi pagi. Terbukti dari kalimat pembuka percakapan yang Dewa ucapkan barusan.
Mendengar jawaban Ian, Dewa mengangguk ragu.
Dia ragu terhadap Ian.
Tapi tidak mungkin dia mengungkapkan keraguan tersebut. Karena akan muncul pertanyaan mengapa dia harus ragu? Oleh karena itu, yang bisa dia lakukan adalah mengiyakan seakan semua baik-baik saja.
Tetapi saat mengantar Ian ke restoran Dewa tidak bisa menahan dirinya untuk berpesanan.
“Jangan tidur di lantai lagi malam ini!”
Begitu katanya sebelum Ian turun dari mobil tepat di depan lorong menuju restoran. Ian sendiri yang meminta Dewa menurunkannya disana. Sejak Dewa sering mengantarnya ke tempat kerja Ian memilih turun disana ketimbang di depan restoran seperti kali pertama Dewa mengantar. Ian tidak mau ada rumor beredar di restoran atau setidaknya jangan sekarang.
Ian yang mendapat pesan seperti itu hanya diam dan tersenyum ambigu antara mau dan tidak mau melakukannya. Dia lalu turun dari mobil, memberi anggukan salam perpisahan sekedarnya dan segera menghilang dari sana. Namun begitu suara mobil Dewa terdengar menjauh Ian berbalik. Matanya menatap lurus pada pada mobil yang semakin lama semakin menjauh tersebut.
‘Maaf!’ Bisiknya pelan. ‘Tapi aku sungguh tidak pantas untuk kebaikanmu!’
Tentu saja, bagaimana bisa Ian begitu santai menerima kebaikan dari orang yang jelas-jelas dia manfaatkan. Dia merasa sudah begitu jahat karena itu dia berusaha untuk tidak lebih jahat lagi.
Tanpa bisa menyembunyikan kemurungan di wajahnya Ian melangkah menuju restoran yang sudah terlihat dari tempat dia melangkah.
Hari itu pun berjalan seperti biasa. Tidak ada yang lebih mengganggu Ian selain berada seatap dengan Dewa. Gugun yang sempat dikhawatirkan Ian juga tidak menampakkan diri selama beberapa hari terakhir. Hal itu cukup untuk membuat Ian menarik nafas lega. Namun jika dia membayangkan kemungkinan yang menimpa Gugun tak urung dia kembali resah karenanya. Saat itu juga dia ingin mengetahui kabar Gugun, hanya untuk sekedar memastikan kalau dia baik-baik saja.
Malamnya ketika kembali ke apartemen Dewa, Ian menemukan tempat itu begitu sepi. Dewa ternyata jadi ke luar kota. Dan entah mengapa Ian justru merasa begitu lega ketika mengetahui hal tersebut. Dia tidak perlu merasa takut akan ketahuan tidur di lantai lagi malam ini. Dan jika Dewa pulang lusa maka dia punya dua malam untuk merasa lega. Selanjutnya pilihan mengunci pintu sebelum tidur akan menjadi satu-satunya cara bagi Ian menghindari supaya tidak ketahuan.
Ian masih belum tahu pasti kapan dia bisa berhenti dari aktivitasnya dan memilih menerima pemberian ini. Mungkin butuh waktu lama, dan sepertinya akan sangat lama. Oleh sebab itu, untuk sementara waktu dia akan mengikuti kata hatinya sendiri sampai dia merasa dirinya pantas.
Menjelang waktu tidur Ian mengambil posisi di lantai yang biasa dia gunakan untuk berbaring. Rasa sakit di tubuhnya masih terasa dan sebenarnya cukup mengganggu aktivitasnya selama bekerja. Geraknya jadi terbatas dan tidak selincah dulu. Namun demikian Ian tetap pada pendiriannya tidak mau menggunakan kasur empuk tersebut.
Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, Ian tidak bisa langsung terlelap. Bukan karena tempat yang tidak nyaman tapi karena dia terlalu memaksakan diri untuk memikirkan banyak hal pada waktu bersamaan.
Seminggu berada disana seperti mimpi bagi Ian. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan yang telah dia buat.
Menggunakan orang lain untuk kepentingannya sendiri, sungguh menyedihkan.
Klek!
Saat Ian sedang sibuk dengan pikiran beratnya sambil menunggu lelap menjemput menuju alam mimpi, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Terkejut, Ian pun reflek melihat perihal mengapa sampai pintu itu terbuka dan sosok Dewa lah yang dia temukan sebagai penyebabnya. Orang itu masih menggunakan baju tadi pagi dengan sangat rapi bahkan lengkap dengan jas yang membalut sempurna tubuhnya.
“Sudah ku duga” Ucap Dewa pelan lalu berjalan mendekati Ian
yang sekarang sudah dalam posisi duduk.
“Anda, bukannya... anda ke luar kota?” Tanya Ian bingung sambil merutuk kenapa dia tidak mengunci pintu. Dia menyesal mempunyai rencana mengunci pintu hanya ketika Dewa telah kembali ke apartemen. Seharusnya dia menjalankan rencana itu malam ini juga. Kenapa tidak terpikir olehnya kalau Dewa bisa saja kembali tiba-tiba?
“Terjadi perubahan jadwal jadi kami akan berangkat malam ini. Tapi sebelumnya aku harus pulang untuk memastikan sesuatu” Kata Dewa yang kini sudah berjongkok di depan Ian.
“Ku pikir aku sudah berpesan padamu supaya tidak tidur disini lagi”
“........” Ian membuang pandangannya kearah lain untuk menghindari tatapan Dewa.
“Senyaman itukah berbaring di lantai?”
“.........”
“Tapi aku tidak merasa senyaman itu kemarin malam”
Wajah Ian seketika merona karena malu. Bayangan Dewa sedang memeluknya pun berputar seperti video di pikirannya. Tapi mengingat hal itu Ian jadi terdorong untuk bertanya bagaimana bisa Dewa berada disini, berbaring disebelahnya kemarin malam.
“Kenapa anda bisa disini kemarin malam?”
“Hanya melakukan pengecekan rutin terhadap tamuku dan aku tidak menyangka dengan hasil yang ku temukan”
Ian yang menagkap maksud Dewa langsung menunduk gelisah. ‘Jadi dia melihatku setiap malam?Oh tidak!’
“Lalu bagaimana sekarang? Mau kutemani lagi?” Tany Dewa santai.
Mata Ian membulat. Dia dengan tidak sadar melihat langsung mata Dewa setelah mendengar tawaran tadi.
“Aku memang tidak terbiasa berbagi ranjang tapi mungkin bisa berbagi lantai”
Ian semakin membulatkan matanya. Dia benar-benar kehilangan kata-kata sekarang. Dewa terlihat serius dengan ucapannya dan saat dia sudah hendak mengambil posisi disebelah Ian saat itulah Ian menemukan kembali suaranya.
“Jangan pak!”
Dewa melihat wajah Ian dengan raut amat serius. “Kalau begitu tidurlah diatas tempat tidur!”
Ian melihat tempat tidur dan Dewa secara bergantian. Sepertinya dia tidak punya pilihan lain sekarang. Dia tidak mau Dewa berbaring disana, terlebih disebelahnya, untuk ikut merasakan semua ketidaknyaman yang dia rasa demi menebus rasa bersalah yang senantiasa menghantui.
“Baik... saya akan tidur disana” Gumam Ian pelan.
Tanpa menunggu lagi Ian segera naik ke tempat tidur meski dengan perasaan kacau. Dewa yang sempat diam beberapa saat akhirnya mengikuti Ian dan duduk disisi ranjang. Tentu saja tindakan itu kembali mengagetkan Ian.
Dewa sedikit terkekeh, “Tenang aku hanya ingin memastikan bahwa kau benar-benar tidur disini. Aku tidak akan pergi sebelum itu”
Ada ketegasan dalam kalimat Dewa yang menyatakan jika dia bersungguh-sungguh.
Setelah berucap demikian mata Dewa melirik pada selimut yang ada di kaki Ian. Dia pun menarik selimut tersebut menutupi hampir leher Ian yang terlihat sangat kaku menerima perlakuan tersebut.
“Pejamkan matamu” Kata Dewa lagi setelah duduk kembali di tempat semula.
Untuk beberapa saat Ian tidak langsung menurut dia malah menerawang tidak jelas hingga dengan tidak sabar Dewa menyentuh kelopak mata Ian agar kedua mata itu terpejam.
1 menit...
2 menit...
5 menit...
10 menit...
20 menit berlalu dan terlihat seperti sudah terlelap tapi Dewa tahu itu hanya acting belaka.
“Aku benar-benar tidak pergi jika kau belum tidur”
Sontak Ian membuka matanya dan menatap Dewa yang balik menatapnya.
“Tidurlah!”
“........”
“Dan pastikan kalau kau tidur disini besok malam ketika aku sedang tidak ada”
Kalimat itu, entah mengapa terdengar seperti permohonan dan Ian dengan bodohnya masih saja diam tidak menjawab.
“........”
“Jawab aku Ian!”
Ada yang melesak masuk kedalam dada Ian mendengar namanya disebut. Sekujur tubuhnya seperti diserang hawa aneh meski dia telah terlindungi dengan baik dibawah selimut. Dan jika tidak salah ingat ini merupakan kali pertama bagi Dewa menyebut langsung namanya. Ian seakan terhipnotis dengan alunan suara Dewa saat menyebut namanya. Tanpa sadar dia pun menjawab.
“Saya akan tidur disini besok malam” Kata Ian lancar.
“Janji?” Kejar Dewa.
“........”
“........”
“Janji!” Jawab Ian akhirnya.
Dewa menunjukkan wajah puas atas jawaban Ian. Dia lantas membenarkan letak selimut Ian yang tidak salah sama sekali persis seperti apa yang pernah Ian lakukan padanya dulu.
“Sekarang tidur!”
Ian langsung menurut untuk memejamkan matanya. Rasa bersalah yang selama ini menghantui seolah menguap tak bersisa. Yang tinggal sekarang hanya rasa nyaman yang secara perlahan menuntunnya untuk menjemput mimpi indah malam itu.
Dewa pun akhirnya bisa meninggalkan kamar Ian dengan tenang setelah memastikan Ian tertidur lelap melalui nafasnya yang teratur.
---
Keesokan paginya Ian membuka mata dan merasakan tubuhnya jauh terasa lebih segar dari kemarin. Walaupun rasa sakit masih ada tapi setidaknya tidak bertambah sakit seperti yang sudah-sudah. Untuk beberapa saat Ian hanya duduk diatas ranjang sambil memandangi selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Namun kemudian pipinya tiba-tiba saja merona dengan indah tatkala mengingat bagaimana cara selimut itu bisa sampai menyelimutinya.
Dan baru sekarang Ian ingat jika dia telah berjanji pada Dewa yang berarti dia telah dengan tidak langsung menerima pemberian orang itu.
Sigh!
Wajah merona itu pun menghilang seiring dengan helaan nafas yang baru saja Ian keluarkan. Mata Ian melihat ke sekeliling meneliti satu per satu pemberian Dewa untuk dia gunakan sesukanya. Orang yang sering meneriakinya, memasang wajah menyebalkan ketika berbicara dengannya, sinis, tidak bersahabat dan aneh. Jangan bilang orang itu bersungguh-sungguh ingin menjadikan Ian kekasih. Sebab setiap tindakannya sekarang sangat mendukung pernyataan akan kesungguhannya.
Pagi itu Ian sarapan seorang diri. Dia hanya menyiapkan dua potong roti yang diolesi selai coklat sebab tidak mau membuat sesuatu yang membutuhkan waktu lama. Lagipula orang yang sering meminta menu ini itu sedang tidak ada ditempat sekarang jadi untuk diri sendiri Ian bisa sarapan apa saja. Hanya saja ketika dia mulai menikmati gigitan demi gigitan, dia mulai merasakan ada yang kurang. Dan itu disebabkan kursi dihadapannya kosong.
Seminggu tinggal disana membuat Ian mulai terbiasa lagi sarapan bersama seseorang. Karena itu, saat Dewa tidak ada seperti hari ini perasaan ada yang kurang itu muncul begitu saja.
Ian menepati janjinya pada Dewa. Malam itu dia kembali tidur di ranjang bukan di lantai. Dia juga sempat menghabiskan sedikit waktunya untuk menonton tv sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur. Besok paginya dia sarapan lagi sendiri, hanya dengan roti.
Sigh!
Entah mengapa Ian merasakan hidupnya begitu kosong. Padahal dia tidak merasa seperti ini ketika tinggal sendiri di kos.
Sebelum berangkat kerja Ian melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Tanpa bisa dia cegah kakinya melangkah begitu saja menuju kamar Dewa. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dan untuk apa dia kesana? Sama tidak mengertinya ia ketika tangannya bergerak pelan namun pasti untuk membuka pintu kamar tersebut. Dia sadar tidak ada orang disana karena itu dia berani membuka pintu itu lebar sehingga leluasa menampilkan kondisi kamar yang begitu rapi tak tersentuh.
Aroma Dewa seakan tercium oleh indra penciuman Ian, harum menenangkan. Menuntun langkahnya untuk masuk lebih dalam supaya bisa menghirup lebih banyak aroma itu. Ian sudah melangkah masuk saat dirinya tersadar.
‘Apa yang sedang kulakukan?’ Tanyanya heran dengan
tingkahnya sendiri.
Dia sudah melakukan hal yang tidak sopan. Apa Ian lupa dengan reaksi Dewa dulu ketika Ian masuk ke kamarnya tanpa permisi? Meskipun dia melakukannya untuk kepentingan Dewa sekalipun namun orang itu tetap tidak mau terima. Dan sekarang, bisa-bisanya Ian mengulang hal yang sama.
Ian lantas segera keluar sambil merutuki kebodohannya yang telah lancang masuk ke kamar orang tanpa permisi. Dia pasti sudah gila karena berusaha cari mati.
Malamnya Ian menemukan apartemen masih sepi menandakan Dewa belum pulang. Sambil menuju kamarnya sendiri iaan bertanya-tanya mengapa Dewa belum pulang? Mungkinkah ada penambahan jadwal? Sampai berapa lama?
‘Tunggu, kenapa aku jadi memikirkan dia?’ Batin Ian bingung seraya mengambil handuk untuk mandi.
Selesai mandi Ian menggunakan kaos putih longgar tipis berlengan pendek yang dipadukan dengan celana abu-abu selutut. Tidak ada yang menarik dari penampilannya, hanya saja terlihat cukup santai dan nyaman dipakai tidur. Ian yang baru saja keluar dari kamar mandi di buat kaget dengan keberadaan Dewa yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamar.
Sekarang siapa sebenarnya yang tidak sopan?
Orang itu masih berpakaian kantor lengkap duduk manis di ranjang Ian seperti sedang menunggu sesuatu. Begitu dia tahu Ian sudah keluar dari kamar dia berbalik dan menyapa.
“Hai”
Ian tidak tahu mengapa bibirnya tersenyum mendapat sapaan itu. “Kapan sampai?” Tanya Ian sambil menaruh kembali handuknya ke tempat semula.
“Baru saja” Jawab Dewa singkat.
Ian menoleh dan melihat pakaian kantor yang masih melekat ditubuh Dewa sebagai bukti kalau orang itu memang baru tiba.
“Untukmu”
Dewa menyerahkan sebuah bungkusan untuk Ian.
“Apa ini?”
“Oleh-oleh!”
Ian memandangi bungkusan tersebut tapi tidak berani mengintip apa isinya. Dia membawa bungkusan itu dan menyimpannya hati-hati diatas meja.
“Terima kasih!” Ucap Ian tulus.
“Kau menepati janjimu kan?”
Ian sedikit menunjukkan reaksi terkejut. Terkejut karena tidak menyangka jika Dewa akan benar-benar mengkhawatirkan hal itu. Namun begitu rasa terkejut itu hilang Ian tersenyum sambil mengangguk pasti.
Dewa tidak lagi menyahut tapi beberapa saat kemudian dia bangkit menghampiri Ian dan memeluk Ian dengan erat. Ada rindu yang dia bawa dari jauh dan berusaha dia obati melalui kontak tubuh mereka.
Walaupun sudah mengalami hal ini beberapa kali namun Ian tetap tidak siap jika dipeluk secara tiba-tiba.
“Aku suka aroma ini” Bisik Dewa pelan di lekuk leher Ian.
Tak lama setelah bisikan itu Ian pun merasakan sapuan hidung Dewa di sepanjang leher dan rahangnya. Sapuan yang begitu lembut dan pelan hingga membuat tubuhnya menggigil. Dewa sengaja melakukannya dengan sangat pelan supaya dia bisa menghirup dalam-dalam setiap detil aroma yang ditebarkan tubuh Ian tanpa ada semili pun yang terlewat. Karena hanya dengan cara itulah dia bisa lepas dari lelah dan juga rindu yang membelenggunya.
Ian sendiri hanya diam menerima perlakuan tersebut, tidak sedikitpun dia mampu untuk menolak. Dewa tidak hanya menghirup aromanya tapi juga jiwanya, sehingga Ian seperti tersedot ke dalam ruang dimana dia tidak mampu bergerak apalagi berontak. Sensasi yang ditimbulkan juga membuat nafasnya memburu dan jantungnya berdetak diluar batas.
Mata Ian bahkan mengabur tatkala menerima semua itu.
Sebuah dekapan yang amat erat hingga tubuh Ian ikut terangkat mengakhiri tindakan Dewa. Namun pelukan itu berlangsung cukup lama dengan wajah Dewa tertanam sempurna dilekuk leher Ian. Sungguh menunjukkan kalau dia masih belum ingin itu semuanya berakhir. Tapi... dia harus mengakhirinya sebelum dia bertindak lebih jauh.
Dewa melonggarkan pelukannya untuk melihat wajah Ian yang sama sekali tidak berani melihat balik. Nafasnya masih memburu dan wajahnya memerah. Lalu sebuah kecupan mendarat mulus dipipi Ian menjadikan suasana hatinya kian tak karuan.
“Selamat malam!” Kata Dewa sebelum benar-benar melepaskan pelukannya dan keluar dari kamar.
Ian merasakan lututnya lemas tidak bertenaga. Meja yang berada tepat dibelakangnya menjadi penyangga agar tubuhnya tidak roboh ke lantai.
Maaf semua atas keterlambatan ini. Aku maunya juga seperti kalian bisa apdet cepat tapi kepalaku gak mau kasih ide sama sekali, buntu.
Aku gak mau asal yang penting posting, sementara jangankan orang aku sendiri aja gak sanggup baca.
Bukannya aku sok perfeksionis tapi aku berpikir, kalau memang mau menyuguhkan sesuatu untuk orang... kendati itu bukan sesuatu yang wow luar biasa tapi setidaknya suguhkan lah yang layak.
Aku menulis disini bukan tanpa alasan. Aku ingin bisa menulis dan aku harus mengasahnya supaya mahir. Sebab aku tidak terlahir mahir dalam bidang jadi memang harus banyak belajar. Perlu bimbingan dan juga arahan.
So maaf ya kalau proses belajarku membuat kalian harus menunggu lama.
Untuk Dewa. Thaks sudah mau bekerja sama. Meskipun aku harus membaca ulang part demi part aku tidak menyesal karna akhirnya kamu tunjukkan seperti apa kamu sebenarnya.
Luv u Dewa
Tapi jujur aku sangat bosan dengan part ini, tidak tau bagaimana dengan kalian.
aku berharap bisa membuat yang lebih dari ini tapi... harapan tinggal harapan.
menurutku part ini terlalu cepat dan yah aku tidak merasakan apa2 disini. meskipun ada beberapa bagian yang sempat membuatku haru dan berdebar. tapi, itu sama sekali tidak cukup.
sigh!
Abaaaaanggg.... huaaaaa!!!
well, semoga kalian bisa menikmatinya walau sedikit. maaf jika tidak sesuai harapan. mohon bimbingannya dan selamat membaca.
salam Nara!
Mana nih Bang @exomale belum muncul.pasti seneng bgt udah diupdate.
@lulu_75
@alvin21
@hendra_bastian
@RegieAllvano
@Different
@maret elan
@danudirja62
@viji3_be5t
@DM_0607
@tama_putra ragahwijayah_
@Adamx
@bumbellbee
@Ndraa
@andre_patiatama
@greensun2
@rhe.rhe
@amira_fujoshi
@SteveAnggara
@dimasalf9
@n0e_n0et
@PrincePrayoga
@Adhika_vevo
@sonyarenz
@Unprince
@arGos
@Polonium_210
@cee_gee
@nand4s1m4
@ragahwijayah_
@RandiNauVall
@bagastarz
update juga ceritanya
thanks masbro ts