It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@3ll0 @exomale @cute_inuyasha @Tsu_no_YanYan @Adi_Suseno10 @Tsunami @d_cetya @4ndh0 @Wita @DoniPerdana @Lonely_Guy @balaka @centraltio @JNong @dafaZartin @Kaka_el @Unprince @ragahwijayah_ @adamx @phanthek @Bun @Rika1006 @Valdi_Ananda23 @Deswita
Bagi yang tidak mau dimention, mohon beritau ya
Part VII
Dibawah puluhan lampion yang tergantung pada dahan pepohonan, ratusan lilin menyala terang menebarkan cahaya keemasan yang memukau mata. Danau kecil yang jauh dari pemukiman itu benar-benar telah berubah menjadi taman cahaya yang mengagumkan. Bias-bias cahayanya ikut terpancar melalui dua pasang mata yang tengah merasakan gempuran asmara.
Setelah kalimat indah itu diucapkan mereka hanya mampu saling menatap. Mencoba mengungkapkan jawaban dan kesungguhan masing-masing melalui bahasa batin yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh mereka saja, dua insan yang mencinta.
Angin berhembus menggoyangkan lampion-lampion menyebabkan api didalammnya bergerak gusar, bahkan mereka pun tidak sabar menunggu jawaban.
“Ian...”
Bak syair pujangga kata itu mengalun, terdengar begitu merdu dan mendayu hingga tak pelak membuat sipemilik nama terlena karenanya.
Tidak! Yang benar adalah dia semakin terlena, sebab sejak tiba disana dia tidak disuguhkan kecuali yang menyanjungnya hingga langit ketujuh. Ian sang pemilik nama tidak pernah menyangka jika pria yang baru saja menyatakan cinta padanya mau bertindak sejauh ini. Tidak terbayangkan oleh Ian berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menyusun semua lilin dan lampion-lampion itu. Pasti dia sangat kesusahan saat memasang lampion pada dahan yang sama sekali tidak rendah tersebut.
Ian yang sudah berkaca-kaca karena terharu kian terharu memikirkan kerja keras yang telah pria itu usahakan untuknya.
“Bagaimana jika dia sampai terluka saat mengerjakan semua ini?” Gusarnya dalam hati menyebabkan dia sibuk sendiri dan lupa bahwa ada pernyataan cinta yang sedang menunggu jawaban darinya.
Tapi begitulah cinta, semua akan sangat indah jika dia sedang membara didalam dada. Begituu pula dengan pria itu, walaupun belum mendapatkan jawaban dia sudah cukup merasa seakan terbang tatkala melihat rona bahagia pada wajah yang sangat dia damba.
“Aku...aku juga sangat mencintaimu Gun”
Akhirnya jawaban yang dia tunggu dan dia harapakan untuk didengar diucapkan juga oleh Ian. Dia begitu lega mendengarnya, sampai-sampai menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat untuk sekaligus menenangkan debaran jantungnya yang diluar kendali. Dia mendekat, mengusap lembut wajah Ian, menatapnya lekat dengan mata yang entah sejak kapan mulai berair. Namun berbeda dengan matanya, bibirnya justru menyunggingkan senyum puas dan bahagia.
Ian ikut menyentuh tangan yang sedang mengusap lembut wajahnya. Pria itu tersenyum dia pun tersenyum. Pria itu tertawa dia ikut tertawa. Mereka berdua tertawa diantara buliran air mata bahagia yang mengalir membasahi pipi.
Gugunlah yang dengan begitu dewasa membawa Ian kedalam pelukannya, memberinya kehangatan, menenagkannya sambil mengucapkan terimakasih berulang kali.
Langit tampak cerah dengan bintang berhamburan, bulan sabit mengintip malu-malu dibalik awan yang melintas menyaksikan dua insan yang sedang lambung asmara. Mereka menjadi saksi, saksi dari cinta yang terajut.
Orang melakukan apapun bagi seseorang yang dicintai tatkala asmara masih menggebu, akan tetapi sekali rasa itu telah mengabur yang dicinta pun dibiarkan begitu saja tanpa lagi mempunyai tempat khusus dihati.
Lalu untuk apa semua ucapan itu?
Untuk apa semua tidakan itu?
Untuk apa kata sungguh?
Jika pada akhirnya... kesetian tidak pernah berwujud pada tindakan.
“Ku jemput setelah pulang” Ucap Dewa segera setelah mobilnya berhenti ditepi jalan. Ian mengangguk pelan, rona merah menyemburat samar pada wajahnya.
“Sampai nanti!”
“Sampai nanti” Balas Ian gugup dan segera keluar dari mobil.
Namun sekali mobil itu telah menghilang dia malah terus berdiri disana untuk melihat jalanan yang baru saja mobil itu lewati.
Hatinya pun mulai merasakan debaran aneh tatkala mengingat apa yang Dewa ucapkan tadi pagi.
‘Makan malam?’
Entah mengapa Ian ingin sekali tersenyum, bukan untuk mengejek tapi lebih kepada tersentuh sebab tidak menduga Dewa akan mengundang atau lebih tepatnya mengajaknya untuk makan malam. Belum lagi cara Dewa melakukannya membuat Ian tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lepas.
‘Ternyata orang seperti dia bisa manis juga’
-Flashback-
Sebenarnya sarapan sudah hampir siap tapi Ian harus kembali bekerja karena tadi Dewa datang dan bilang kalau dia ingin sarapan salad buah. Setelah menyampaikan keinginannya dia lantas kembali ke kamar untuk merapikan bajunya yang belum sempat terkancing satupun ketika mendatangi Ian. Entah Dewa sengaja atau tidak yang jelas dia sedang memamerkan tubuh tegapnya.
Dan yang aneh Ian justru seperti maklum dengan sikap Dewa itu. Seaneh ketika dia bangun tadi padi dan mendapati dirinya merasa nyaman terutama jika mengingat kejadian berpelukan tadi malam. Rasa nyaman itu terselip rapi diantara malu dan juga gugup.
Bukan Ian namanya kalau tidak menyusahkan diri untuk hal kecil sekalipun. Perasaan nyaman tersebut justru yang membuatnya merasa takut. Sebab dengan perasaan nyaman seperti sekarang kemungkinan dia akan bisa menghadapi Dewa dengan sikap biasa, tidak seperti dulu setiap kali Dewa selesai memeluknya. Dan jika dia bersikap demikian, apa Dewa akan menganggapnya murahan?
Murahan?
Membayangkannya saja sudah membuat Ian sedih. Entahlah!
Tapi tunggu... mengapa dia harus merasa sedih?
Bukankah seharusnya dia kesal? Seperti halnya saat dulu Dewa menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu malu. Kenapa sekarang malah sedih? Dan Dewa bahkan belum mengatakan apapun, itu tidak lebih dari ilusi Ian saja.
Lalu pada akhirnya itulah satu-satunya hal yang mengganggu Ian, takut dianggap murahan dan bukan masalah pelukan itu sendiri.
Saat sarapan berlangsung Ian sesekali mencuri pandang pada Dewa untuk membaca gelagat yang orang itu mungkin tunjukkan. Gelagat yang menjurus pada perubahan sikapnya secara tiba-tiba lalu mengucapkan kalimat yang sedang mengganggu Ian saat ini. Kalimat yang sangat tidak ingin dia dengar. Tapi untuk kesekian kalinya kekhawatiran Ian tidak beralasan sebab Dewa terlihat santai dan jika saja Ian teliti maka dia bisa menemukan kalau wajah boss besar lebih bersinar dari biasanya.
“Bisa minta segelas lagi?” Dewa mengangkat gelas yang sudah kosong.
“Ya, tentu”
Ian bangun membuka kulkas dan mengeluarkan kotak susu lalu menuangkannya untuk Dewa. Biasanya orang itu cukup minum satu gelas, paling kalaupun ada tambahan biasanya itu pasti kopi dan itu sudah Ian sediakan didekat Dewa. Hanya saja sepertinya Dewa sedang tidak ingin kopi.
Setelah mengisi penuh gelas Dewa Ian kembali duduk dikursinya. Susu yang tadi dia ambil tidak langsung dia masukkan kembali kedalam kulakas, berjaga-jaga kalau Dewa minta tambah lagi.
Tidak lama Dewa menyelesaikan sarapannya.
“Kutunggu diluar” Katanya singkat.
“Iya, saya selesai sebentar lagi” Jawab Ian mulai mempercepat makannya. ‘Kenapa dia cepat sekali pagi ini? Biasanya kami selesai bersamaan’ Batin Ian merasa agak aneh karena setelah diingat-ingat Dewa memang terlihat terburu-terburu menghabiskan sarapannya. ‘Jangan-jangan dia sedang diburu waktu’ Pekik Ian gelisah dalam hati.
Diapun semakin mempercepat makannya hinggat tidak butuh semenit untuk menyulap piringnya menjadi kosong. Begitu selesai dia segera membereskan piring-piring tersebut. Tapi begitu dia mengangkat piring miliknya sendiri dia menemukan secarik kertas yang bertuliskan.
Malam ini, ayo makan malam di luar!
Dan jika tidak keberatan pakailah oleh-oleh dariku.
Ian mematung sejenak untuk mencera isi pesan dalam secarik kertas yang sekarang sudah berada ditangannya.
‘Apa ini dari Dewa? Tapi, sejak kapan ini ada dibawah piringku?’ Ian mengernyit heran tapi tetap saja bibir tertarik membentuk sebuah senyuman. Lalu diapun teringat pada oleh-oleh Dewa semalam yang belum dia setuh sama sekali.
Dia segera berjalan menuju kamar, mengambil bungkusan dari Dewa semalam dan membukanya. Mata Ian tidak berkedip begitu mengetahui isi bungkusan itu adalah setelan baju formal yang terlihat begitu mewah.
Ian baru mengerti kalau hadiah itu untuk dia pakai nanti malam. Hawa aneh merayap ke sekujur tubuh Ian dan berhenti didadanya, pada saat bersamaan dia juga merasa lehernya tercekat dan wajahnya memanas. Sedikitpun Ian tidak bisa menyembunyikan kegugupannya ketika menemui Dewa yang sudah menunggu dengan mobil dibawah. Dewa sendiri juga bersikap acuh yang pada kenyataannya juga merasakan hal sama seperti Ian hanya saja takarannya tidak sebesar Ian dan Dewa jauh lebih mampu mengendalikan diri.
Ketika mobil sudah melaju dijalan raya Dewa membuka suara
“Jadi bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” Jawab Ian bodoh.
“Malam ini, makan malam di luar kau bisa?”
Ian agak tersentak tidak tahu kenapa. Dia butuh beberapa deti untuk menjawab sebab hatinya perlu ditenangkan lebih dahulu.
“Ya, saya bisa” Kata Ian akhirnya berhasil mengucapkannya dengan sangat lancar.
-End Flashback-
Pada akhirnya senyum itu tidak juga bisa luput dari wajah Ian dan tetap dia bawa sampai dia tiba di restoran.
Restoran sedang sibuk, hal yang biasa terjadi jika sedang waktu istirahat kantor. Ian dan teman-teman juga sudah biasa menangani hal tersebut. Mereka begitu cekatan melayani satu per satu pelanggan tanpa mengalami banyak kendala. Hanya Ian seorang yang terlihat agak kurang leluasa bergerak dan itu bukan tanpa sebab. Cinta masa lalunya sedang menjadi salah satu pelanggan hari ini. Setelah selama seminggu tidak menampakkan diri dia kembali muncul dengan segala kejutan yang mampu membuat perasaan Ian kalang kabut.
“Aku mau bicara setelah kamu pulang kerja nanti”
Itu kalimat pertama yang dia ucapkan saat menghampiri Ian. Ian yang tidak melihat kedatangan Gugun sebelumnya dibuat terkejut karena kemunculannya yang tiba-tiba. Baru setelah dia bisa menguasai diri dia berkata.
“Bicara apa?”
Gugun langsung terlihat gelisah dan menoleh kesana kemari.
“Akan kukatakan nanti” Katanya memelas.
Ian diam beberapa saat kemudian bicara dengan hati-hati.
“Maaf Gun tapi aku tidak bisa. Aku punya janji malam ini”
Gugun mengerutkan kening. “Janji?” Kejarnya.
Ian mengangguk cepat menyiratkan ketegasan akan kata-katanya barusan.
Kening Gugun semakin mengernyit heran seakan tidak percaya jika Ian memiliki janji setelah pulang kerja nanti. Tidak ada kata-kata untuk beberapa saat lamanya, namun kemudian Gugun memilih duduk pada salah satu meja dengan wajah kecewa.
“Bisa aku memesan sekarang?” Tanyanya tanpa menatap Ian.
Ian sepeti tertohok melihat Gugun yang tampak begitu kecewa. Dia sebenarnya tidak tega tapi mau bagaimana lagi dia memang ingin menjauh dari masa lalunya itu. Dan pun dia memang punya janji malam ini.
Terima kasih untuk Dewa yang sudah mengajaknya makan malam sehingga dia tidak perlu kesusahan mencari alasan yang tepat guna menghindari Gugun.
Namun setelah lama waktu berlalu, bahkan ketika restoran sudah mulai kembali sepi karena para karyawan kantor telah pergi, Gugun belum juga beranjak. Dia duduk diam ditempatnya tampak sedang berfikir. Melihat itu, Ian lantas menghampiri Gugun dan bertanya.
“Ada yang lain Gun? Kamu mau pesan yang lain?”
Gugun mengangkat wajahnya dari gelas dengan sisa jus yang sedari tadi dia aduk-aduk tidak jelas. Sebuah senyum terpaksa dia tujukan pada Ian.
“Aku terlalu lama ya? Maaf, aku pergi sekarang”
Dia lalu mengambil dompet dan mengeluarkan selembar seratus ribu dan meletakkannya diatas meja kemudian segera berjalan pergi. Ian ingin memanggil Gugun untuk kembaliannya tapi tidak ada suara yang keluar. Dia tahu persis telah membuat Gugun kecewa. Dan cara Ian menghampiri Gugun tadi pasti telah membuatnya berfikir kalau Ian mengusirnya.
‘Maafkan aku Gun!’ Bisik Ian sedih saat melihat mobil Gugun bergerak meninggalkan restoran.
Ian lalu berbalik untuk membersihkan meja yang ditinggalkan Gugun tapi dia kalah cepat dari Bimo yang ternyata sudah lebih dulu berada disana dan mengambil alih tugas tersebut.
“Bim, biar aku saja!”
“Kenapa sih? Sama aja kan?” Katanya sambil tersenyum dan melanjutkan “Makan dulu sana, kerja mulu dari tadi”
Ian ikut tersenyum dan membantu Bimo membersihkan meja.
“Kamu sendiri juga belum makan kan?”
Bimo nyengir “Belum sih!”
“Huu... Sendirinya belum makan mau sok nasehatin orang”
“Ya tapi kan... aku tidak akan pingsan kalau tidak makan. Hahahahah...” Tawa Bimo meledak, dia segera berjalan cepat kedapur setelah berhasil meledek Ian.
Ian yang sempat terharu dengan perhatian Bimo jadi menahan kesal karena malu diledek seperti itu. Tapi kemudian dia mengikuti Bimo kedapur dengan gelas yang tersisa.
Mereka istirahat bergantian supaya tidak kosong pelayan saat ada pelanggan yang datang. Ian kebagian makan siang bersama Reza dan Andi. Si kepo paranoid itu tidak henti-hentinya membicarakan Toni yang setiap harinya masih saja menerima kado dari pengagum rahasia.
“Beneran bikin penasaran tau nggak sih mas”
“Aku nggak tuh!” Kata Andi cepat dengan wajah cuek. Menunjukkan kalau dia memang tidak penasaran sama sekali.
“Itu sih masnya aja yang terlalu cuek. Nggak bagus mas cuek begitu”
“Dari pada ikut campur urusan orang” Balas Andi sengit.
“Yeee... Siapa yang ikut campur urusan orang?”
“Situ!”
“Penasaran sama ikut campur urusan orang itu dua perkara yang berbeda mas.”
Andi hanya memutar bola mata malas menanggapi Reza. Sementara Ian menjadi penyimak yang budiman. Tidak mendapat respon yang diharapkan dari Andi, Reza beralih pada Ian. Dengan penuh semangat dia bercerita kemungkinan sipengagum rahasia itu adalah seorang pelajar. Entah dari mana dia mengambil kesimpulan itu. Tidak berhenti disana, dia juga menceritakan kalau sebenarnya Toni punya restoran sendiri yang dikelola oleh orang kepercayaannya.
Ian dan Andi seketika menoleh pada Reza dengan mata membesar terkejut. Reza mengambil kesempatan itu untuk membalas Andi.
“Tapi nggak mau ikut campur urusan orang”
“Penasaran sama ikut campur urusan orang kan dua perkara yang berbeda” Andi mengutip kembali kalimat Reza untuk menjawab serangannya. Reza langsung memasang wajah kesal level 90 karena tidak berhasil meledek Andi. Butuh waktu agak lama sampai Reza mau melanjutkan ceritannya.
“Aku nggak nyangka ternyata selain kepo dan paranoid kamu juga suka menguntit orang” Kata Andi pebuh selidik
“Siapa yang nguntit?” Suara Reza mulai meninggi akibat kesal.
“Nah itu, darima kamu bisa tau sebanyak itu kalau nggak nguntit. Sebelumnya nggak ada yang tau mas Toni punya restoran”
“Itu mas Toni sendiri yang cerita”
Andi dan Ian makin melongo.
“Kamu nanya langsung mas Toni?” Ian akhirnya bersuara. Dia tidak bisa memungkiri kalau dia sedikit penasaran dengan masalah Toni bukannya masalah si pengagum rahasia.
Bagaimana tidak penasaran? Toni punya restoran sendiri yang menurut cerita Reza jauh lebih besar dari restoran ini. Lalu kalau memang demikian kasusnya mengapa dia bekerja disini? Mengapa tidak mengurus restorannya sendiri? Mengapa malah mengambil orang lain untuk mengelola restorannya sementara dia sendiri bekerja pada pada orang?
“Aku nggak sengaja nanya. Awalnya cuma nanya tentang sipengagum rahasia. Mas Toni kayak tau siapa orangnya. Tapi dia keterusan cerita dan malah cerita tentang sendiri”
“Kalau memang punya restoran sendiri kenapa mas Toni kerja disini? Mending ngurus punya sendiri, enak lagi bisa jadi bos”
Kali ini Andi yang bicara. Ternyata dia punya pendapat sama seperti Ian. Tapi agaknya setiap orang juga akan berpikir sama seperti mereka.
“Itu dia mas Toni nggak mau cerita. Katanya dia punya alasan sendiri dan cukup dia aja yang tau.” Kata Reza menjelaskan, dia diam beberapa saat seperti berpikir kemudian berkata
“Tapi mungkin pak Rudi tau alasan mas Toni...”
“Hmmm... mulai deh. Udah, udah cukup. Nggak usah bawa orang lebih banyak lagi untuk penuhi rasa penasaranmu. Buruan habisin itu makan siang terus balik kerja”
Reza memonyongkan bibir sambil menggerutu tapi dia tidak membantah untuk menghabiskan makan siangnya dan tidak lagi berbicara. Ian dan Andi melakukan hal yang sama.
Walaupun kenyataan bahwa ternyata Toni punya restoran sendiri cukup menarik perhatian Ian sama sekali tidak berhak mambahas hal itu apalagi sampai mengorek informasi untuk masalah tersebut.
Waktu bergulir cepat hari itu, mungkin karena selepas makan siang restoran jadi ramai membicarakan tentang restoran pribadi Toni makanya waktu tidak terasa berlalu. Seseorang sempat mendengar Reza bicara jadi dia mengkonfirmasi malah itu pada Toni dan Toni mengiyakan tentang restoran pribadinya yang jauh lebih besar tapi tetap bersikeras tidak memberi alasan mengapa dia malah bekerja disini. Bagusnya mereka mau mengerti dan tidak lagi menuntut Toni memberikan jawaban hanya saja mereka sibuk membuat analisa sendiri tentang kemungkinan alasan Toni.
Malam menjelang, satu per satu rekan kerja Ian pulang setelah menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Ian sendiri bertahan lebih lama, tentu saja dia ingat tentang acara makan malamnya dengan Dewa. Dan dia juga tidak bermaksud membuat Dewa menunggu seperti dulu. Tapi dia harus berganti pakaian dengan stelan yang Dewa berikan. Pasti akan sangat aneh bagi rekan-rekannya jika dia berubah wujud jadi formal seperti itu. Akan ada banyak pertanyaan yang harus dia jawab nantinya.
Setelah restoran sepi barulah dia berganti pakaian secepat yang dia bisa. Begitu selesai Ian segera keluar tapi naas karna dia bertemu Toni yang hendak masuk ruang ganti. Ian langsung menunjukkan wajah bodoh, sedangkan Toni jelas kaget melihat penampilan formal Ian tapi dia sama sekali tidak bertanya.
“Hati-hati!” Hanya itu yang diucapkan Toni tidak ada yang lain
Ian merasa begitu lega tidak ditodong berbagai pertanyaan yang membuatnya malas untuk menjawab. Dia lalu pamit lebih dulu pada Toni yang dianggukkan cepat oleh orang itu. Namun setibanya didepan pintu restoran dia kembali dihadapkan pada hal yang lebih mengejutkan.
Disana, didepan pintu masuk telah berdiri Gugun yang sengaja datang untuk menunggu Ian. Langkah terburu-buru Ian langsung berubah pelan saat dia semakin mendekati pintu masuk. Reaksi Gugun tidak jauh berbeda dari yang Ian bayangkan. Dia terkejut melihat Ian dalam balutan busana formal keluar dari dalam restoran. Keningnya mengernyit heran persis seperti tadi siang ketika Ian menolak ajakannya untuk bicara.
“Jadi... kamu benar-benar punya janji?”
Kali ini Ian yang mengernyit heran begitu menyadari kalau Gugun tidak percaya padanya.
“Kamu tidak percaya padaku?”
Gugun menunduk dan menggeleng lemah, “Aku pikir kamu sedang mencoba menghindariku” Gugun mengangkat sedikit kepalanya supaya bisa meliha Ian, “Tapi sepertinya aku salah. Maaf!”
Ian tidak menjawab karena yang baru saja Gugun katakan benar adanya. Dia memang sedang mencoba menghindari Gugun, tapi tentang janji itu juga benar. Keduanya benar. Jadi Ian tidak sedang berbohong sekarang.
Selanjutnya mereka terperangkap dalam kebisuan yang lama. Ian tidak tega pamit begitu saja setelah Gugun merepotkan diri untuk datang. Kekakuan yang melingkupi mereka membuat mereka terutama Ian tidak sadar jika mobil Dewa sudah ada disana, terparkir baik dalam keremangan. Dan orang itu sekarang sedang menyaksikan drama cinta sepasang kekasih yang telah berpisah, saling diam tanpa melakukan apapun hingga membuatnya tidak sabar dan kesal.
Hanya dalam hitungan detik Dewa sudah berada diluar mobil, sambil merapikan sedikit jasnya dia melangkah pasti untuk menghampiri Ian.
“Kau sudah siap?” Tegur Dewa mengganggu kebersamaan dua sejoli yang pernah dimabuk cinta.
Ian tersentak, menoleh pada asal suara dan membulatkan matanya. Dia hanya terus melihat pada Dewa dan tidak mengatakan apapun. Kehadiran Dewa menambah suasana canggung yang sudah ada. Tapi Dewa sendiri seperti tidak sadar atau sengaja mengabaikannya dan malah menaikkan kedua alisnya ramah seakan bertanya ‘Kenapa?’
“Bisa kita pergi sekarang?”
“Anda... sejak kapan disana?” Bukannya menjawab Ian malah mengajukan pertanyaan lain.
Dewa lantas melihat jam pada tangan kirinya, “Sekitar tiga puluh menit yang lalu” Jawabnya kemudian.
Ian seperti tercekat dan langsung menunjukkan wajah gelisah sebab telah membuat Dewa kembali menunggunya. Dan raut gelisah tersebut tidak luput dari penglihatan Gugun.
“Jadi, bisa pergi sekarang?” Ulang Dewa lagi tidak sabar.
Ian mengangguk, “Ya”. Dia kemudian menoleh pada Gugun, “Aku duluan”
Gugun memaksakan sebuah senyum untuk mengiyakan kepergian Ian. Pandangannya lalu beralih pada Dewa yang juga menatapnya.
“Ah, aku Dewa” Kata Dewa tiba-tiba seraya mengulurkan tangan.
Sempat-sempatnya dia mengajak kenalan orang pada suasana canggung seperti itu. Dia seperti sengaja.
“Gugun!” Ucap Gugun menjabat tangan Dewa.
Mungkin Ian tidak paham karena dia sudah terlanjur gugup melihat kejadian itu. Tapi jika dia mau memperhatikan dan memaknai maka dia akan menemukan bahwa dua orang yang mewakili masa lalu dan masa depan sedang beradu pandang sekarang. Dua sosok pria menawan yang tidak diragukan pesonanya. Walaupun Gugun jelas keluar sebagai pemenang jika bicara soal wajah, namun Dewa juga tidak kalah soal pesona. Seperti yang pernah dijelaskan dia punya daya tarik yang dapat menyihir siapa saja.
“Oke Gugun, kami duluan” Kata Dewa begitu tangan mereka terlepas.
Gugun sama sekali tidak menjawab dia hanya memperhatikan bagaimana Dewa mengajak Ian pergi dan menuntunnya masuk kedalam mobil. Ian sempat menoleh dan Gugun bisa melihat wajah gelisah mantan kekasihnya. Namun tetap saja pertanyaaan itu muncul, dalam hati dia bertanya-tanya ‘Apa dia penggantiku?’
Baru saja mobil berjalan Toni keluar dan mendapati seseorang berdiri didepan pintu.
“Maaf ada yang bisa dibantu?”
Gugun menoleh pada asal suara, “Tidak, aku hanya ingin bertemu Ian”
“Ian sudah pulang dari tadi”
“Ya, kami sudah bertemu dan sekarang dia sudah pergi”
Gugun tidak sengaja menunjuk mobil Dewa yang sedang keluar menuju jalan raya. “Kalau begitu saya permisi”
Toni mengangguk dan segera mengunci pintu, tapi dia sempat melihat mobil tadi dan tersenyum mengerti mengapa Ian berpakaian formal.
---
Restoran mewah, orang-orang elit, disanalah Ian sekarang bersama Dewa menjadi salah satu pengunjung diantara orang-orang elit tersebut. Sebenarnya sudah telat untuk makan malam tapi mau bagaimana lagi, mereka hanya punya waktu sekarang. Dan ternyata bukan mereka saja yang datang pada jam itu. Ada orang lain yang melakukan hal sama.
Setelah memesan Ian duduk dengan gelisah dikursinya. Matanya bergerak kesana kemari tidak jelas. Pertemuan dengan Gugun tadi sedikit banyak masih mengganggunya. Dan sekarang dia sedang menyiapkan diri untuk kemungkinan
Dewa membahas masalah tersebut.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Pertanyaan Dewa seketika mampu mengalihkan pikiran Ian.
“Bukan apa-apa”
“Bukan apa-apa?”
“.........”
“Jika memang bukan apa-apa kenapa serius sekali?”
“.........” Ian menunduk tidak menjawab. Dewa memperhatikan lekat wajah Ian dengan tatapan serius seakan dia predator yang sedang bersiap-siap menerkam mangsanya.
“Orang bernama Gugun itu, kau masih berhubungan dengannya?” Dewa menanyakan juga pertanyaan yang sangat mengganjal dihatinya. Bagaimana tidak? Ini kali kedua dia melihat orang itu dan mereka, Ian dan Gugun, masih berinteraksi dengan cara yang sama seperti kali pertama Dewa melihat. Kecanggungan diantara mereka serta cara mereka bertatapan menunjukkan kalau masih ada sesuatu diantara mereka. Dan itu amat sangat mengganggu Dewa. Dia tidak senang melihatnya, dia tidak suka.
Mendengar pertanyaan Dewa, Ian memejam mata rapat-rapat. Yang dia gusarkan terjadi, Dewa mulai membahas masalah Gugun. Masalah yang sama sekali tidak ingin dia bicarakan sebenarnya, karena masalah itu berkaitan dengan mengapa dia sekarang bersama Dewa. Masalah yang menjadi latar belakang dia memanfaatkan Dewa.
Tunggu!
Benar saja, selama ini dia hanya memanfaatkan Dewa. Lantas mengapa dia disini sekarang? Dia sendiri yang mengatakan tidak bisa menerima kebaikan Dewa sebab pada dasarnya dia hanya memanfaatkan orang itu. Tapi kenyataannya dia malah semakin menjadi. Dia menjadi sangat nyaman memanfaatkan Dewa.
Kenapa, kenapa dia jadi sangat tidak tahu malu seperti ini?
Kemana perginya rasa bersalah itu?
Sejak kapan dia merasa nyaman bisa memanfaatkan orang?
Sejak kapan?
Sejak kapan rasa nyaman itu datang?
“Aku... aku hanya ingin tetap berhubungan baik dengannya” Ucap Ian gemetar. Dia baru saja disadarkan dari kelalaian yang membuatnya lupa. Tanpa dia sadari matanya ikut berkaca-kaca mengetahui kelakuannya sendiri.
Perubahan reaksi Ian membuat Dewa jengah. Apalagi sepasang mata yang mulai berair itu. Tidak disangka Ian akan bereaksi seperti itu hanya karena dia menyebut nama Gugun.
Ketenangan Dewa mulai terusik dan semakin terusik saat seorang pelayan wanita salah membawa pesanannya. Pelayan malang itu segera menjadi sasaran amukan. Dia dibentak dan dimarahi tanpa ampun hingga manarik perhatian banyak orang. Dewa baru berhenti ketika manager restoran datang melerai.
Malam itu rusak total. Baik Ian maupun Dewa sudah tidak berselera untuk menikmati hidangan mereka. Dewa dengan wajah marahnya dan Ian dengan wajah malu bercampur takut saling diam tanpa melakukan apapun. Baru setelah beberapa lama Dewa bangun dan Ian segera mengikuti. Mereka akhirnya pulang ditemani kekakuan yang menyiksa selama berkendara.
Sampai ke apartemen Dewa langsung menuju kamarnya sendiri. Ian menyusul takut-takut dibelakang, sedari tadi dia bertanya-tanya apa yang salah tapi tidak menumukan penyebab pasti kemarahan Dewa.
‘Apa yang sudah kulakukan sampai membuatnya begitu marah?’
Ian diam tak bergerak, matanya memandang lurus ke arah kamar Dewa. Hatinya berbisik memberitahu bahwa dia bertanggung jawab penuh atas semua kejadian malam ini.
Ian seperti linglung sebab tidak mengetahui apa salahnya. Dia berusaha keras mengingat kemungkinan dia telah salah bicara sebab Dewa terlihat baik-baik saja sebelumnya. Bahkan dia juga terlihat baik selepas bertemu Gugun. Pembicaraan mereka juga tampak normal diawal-awal hingga pada akhirnya dia bertanya tentang Gugun.
Ian terkesiap.
‘Apa dia marah karna aku ingin tetap berhubungan dengan Gugun?’
‘Tapi..’
Ian menjadi lebih gusar dibandingkan tadi. Dia lagi-lagi diingatkan bahwa telah melakukan kesalahan. Bagaimana bisa dia mengatakan masih ingin berhubungan baik dengan Gugu pada orang yang jelas-jelas memintanya jadi kekasih. Sekalipun Dewa mau mengerti seharusnya Ian tidak melakukannya.
----
Ian sedang menyiapkan sarapan saat mendengar pintu depan diketuk sesorang. Dia pun bergegas kedepan untuk melihat siapa yang datang sebelum Dewa yang keluar untuk melihat. Orang itu sudah mendiamkan Ian sejak semalam. Setelah pulang dari acara makan malam yang runyam dia mengunci diri dikamar dan tidak menunjukkan wujudnya hingga sekarang. Ian tidak bisa membayangkan reaksi Dewa kalau sampai menemukannya melakukan kesalahan disaat seperti ini.
Rasa tidak nyaman yang dulu dia rasa ketika didekat Dewa kembali hadir tapi seperti tekadnya. Seberapapun tak nyamannya dia, dia akan bertahan. Kecuali Dewa telah mengusirnya maka dia tidak punya pilihan lain lagi selain pergi.
Pintu terbuka memperlihatkan siapa sipengetuk, dan ternyata orang itu adalah orang yang sangat Ian kenal sebab mereka bekerja ditempat yang sama. Toni, dialah yang mengetuk pintu.
Tidak seperti Ian, raut terkejut Toni hanya berlanggsung sesaat. Wajah terkejutnya segera berganti dengan wajah berhias senyum ramah seperti biasa.
“Selamat pagi!” Sapa Toni.
“Selamat pagi” Balas Ian canggung.
“Dewanya masih belum berangkat kerja kan?”
“Belum”
“Hmmm... jadi, boleh aku masuk?” Tanya Toni sebab Ian tak kunjung mempersilahkannya untuk masuk.
“Oh... iya, silahkan masuk” Ian menjawab kikuk dan memberi jalan untuk si kepala chef.
Toni terus memamerkan senyum ramahnya. Dia dengan santai memasuki apartemen seolah dia sudah sering berada disana.
“Aku sempat ragu”
“Huh?”
“Tapi sekarang sudah jelas, ternyata kamu benar-benar berkencan dengan Dewa”
“Apa?” Ian melongo mendengan penuturan Toni. Benar Dewa memintanya menjadi kekasih tapi mereka belum berkencan.
“Itu tidak benar”
Toni mengangkat alis “Benarkah? Tapi kalian sudah tinggal bersama jadi kupikir...”
“........”
“........”
“........”
“Oke, lupakan!” Toni mulai membaca gelagat tidak mengenakkan jadi lebih baik dia berhenti. “Aku akan menunggu Dewa disini” Katanya cepat masih dengan senyum diwajahnya.
Belum juga dia duduk di sofa pintu kamar Dewa terbuka dan orang yang dicari pun keluar. Ian mendadak kaku ditempat. Kenyataan bahwa dia telah salah membuatnya ciut.
“Sedang apa disini?” Tanya Dewa datar seolah dia tahu kalau Toni akan datang sehingga dia tidak memiliki ekspresi layaknya orang yang mendapat kejutan kedatangan tamu pagi-pagi.
“Kudengar ada keributan direstoranku tadi malam”
“........” Dewa diam.
Ian mencerna kalimat Toni dengan seksama. ‘Restoranku?’ Batinnya. ‘Jadi, itu restoran Toni?’
“Haa..Aku datang kemari untuk minta maaf mewakili Dian. Maaf untuk pelayanan buruk kami”
“........” Dewa tidak menjawab dan malah melenggang pergi menuju dapur.
Hebat!
Dia satu-satunya yang membuat masalah tapi orang lain yang harus minta maaf. Benar-benar hebat.
Toni beralih pada Ian dan bicara agak pelan. “Sarapannya sudah siap? Kalau tidak dia akan mengamuk lagi”
Ian tersadar kalau pekerjaannya masih setengah jadi. Dengan cepat Ian melangkah kedapur diikuti Toni. Disana Dewa sudah mengambil posisi duduk padahal sarapannya masih belum siap. Toni memberikan bantuannya untuk menyiapkan sarapan lebih cepat.
“Mau kopi?” Tanya Toni pada Dewa.
“Susu saja”
“Oke!”
Toni meraih sebuah gelas dan hendak membuka kulkas.
“Biar aku saja” Dewa bangkit dari kursi dan menuangkan
sendiri susunya.
Selanjutnya semua berubah. Keadaan berbanding terbalik dengan beberapa waktu lalu. Ian satu-satunya orang yang diam diantara celotehan dua manusia yang sekarang terlihat begitu akrab, sangat akrab, seakan Toni tidak pernah datang untuk minta maaf sebelumnya. Mereka bahkan sedang membahas sesuatu yang tampak sangat seru bagi mereka. Ian hanya jadi pendengar dengan segala bentuk keanehan yang dia temui.
Hujan kembali mengguyur kota dengan deras. Ian dan teman-teman samapai harus berteriak kalau mau bicara. Restoran lengang, teman-teman Ian bahkan ada yang sedang bermain catur di salah satu meja. Beberapa lainnya melakukan pekerjaan kecil untuk membunuh rasa jenuh. Bimo dan Andi sedang bersih-bersih, Gio sedang bernyanyi-nyanyi tidak jelas sambil menggoda yang lain. Sedangkan Reza, jangan ditanya. Dia terus mengikuti kemana toni pergi untuk mengorek informasi tentang pengagum rahasia.
Tapi bicara soal Toni, si kepala chef sama sekali tidak membahas ataupun mengungkit kejadian diapartemen Dewa tempo hari. Baik itu tentang permintaan maafnya maupun tentang hubungan Ian dan Dewa. Dia terlihat tidak mau ikut campur. Maka dari itu Ian pun tidak berani bertanya tentang hubungan Toni dan Dewa. Dia bukan Reza, jadi cukup bagi Ian dengan apa yang dia ketahui sekarang. Cara mereka berkomunikasi sudah cukup untuk menunjukkan kalau sebenarnya mereka sangat dekat.
Ponsel Ian berbunyi memberitahu ada pesan masuk. Dia kemudian membuka pesan tersebut dan terdiam dengan dada bergemuruh.
Gugun:
-Maaf jika aku mengganggu
tapi aku benar-benar ingin denganmu.
Bisa kita bertemu?-
Ian diam beberapa saat. Dia tahu seharusnya dia menghindari gugun tapi mungkin sebaiknya kali ini dia iyakan saja untuk bertemu. Beberapa waktu lalu dia juga tidak bisa bertemu Gugun karena sudah terlanjur punya janji dengan Dewa.
Ian:
-kapan?-
Tidak butuh waktu lama bagi Ian untuk menerima balasan dari Gugun.
Gugun:
-hari ini.
kapanpun kamu punya waktu
datanglah kerumah itu.
aku akan menunggu sampai kamu datang
Ian mematung.
‘Kenapa harus disana?’
‘Apa yang mau kamu bicarakan Gun?’
‘Kenapa harus disana?’
Hati Ian menolak tapi disinilah dia sekarang didepan rumah mungil mereka dulu. Rumah tempat mereka berbagi cinta, berbagi kasih dan tawa tapi tidak untuk berbagi duka.
Dengan tubuh basah kuyup Ian memasuki pekarangan rumah. Hujan yang sudah sempat berubah menjadi gerimis tiba-tiba kembali deras saat Ian berjalan diarea perumahan tersebut.
Dia tidak tau untuk berlari dan tidak menggunakan jasa angkutan karena memang sudah tidak ada pada waktu malam seperti ini. Hati kosongnya menyuruh Ian untuk berjalan dibawah guyuran hujan supaya rasa tak tenang yang melanda hatinya bisa terkikis siraman hujan.
Ian memperhatikan keadaan rumah dengan seksama. Rumput-rumput telah memanjang. Beberapa pohon hias telah kehilangan bentuknya. Belum lagi dedaunan yang mengotori halaman hingga keteras. Rumah itu benar-benar kehilangan keindahannya. Namun begitu, ada rasa rindu yang merayap masuk ke dalam dada Ian. Rasa rindu yang membuat dadanya sesak dan tubuhnya lemas hingga dia tidak sanggup untuk sekedar berjalan.
Lampu-lampu didalam rumah menyala terang menandakan ada orang didalam sana. Ian dengan segenap kekuatannya menyeret langkah demi langkah hingga dia pun tiba diambang pintu. Tangannya lalu bergerak untuk menyentuh gagang pinta dan dalam satu gerakan pintu itu terbuka.
“Ian?”
Sebuah suara yang sangat familiar menyambut kedatangan Ian. Tidak samapi tiga detik kemudian sipemilik suara muncul dan mendekat.
“Ya tuhan, kenapa kamu basah kuyup begini?” Gugun ingin menyentuh Ian sebenarnya tapi dia sadar dia tidak punya hak untuk itu. “Sebentar kuambilkan handuk”
Tanpa menunggu jawaban Ian Gugun segera berlari ke dalam kamar. Masih ada beberapa barang milik Gugun disana, milik Ian juga. Ketika pergi dulu Ian hanya membawa barang yang dia perlukan. Jadi masih ada banyak barang mereka disana. Seperti perabotan contohnya. Mereka masih sebanyak dulu dan masih pada posisi yang sama.
Ian mulai melangkah masuk lebih jauh. Air yang menetes dari tubuhnya yang mungkin akan mengotori lantai tidak ia pedulikan sama sekali. Perasaannya kacau antara ingin pergi dan tetap berada disana. Semakin jauh dia masuk semakin tertekan yang dia rasa.
Gugun datang tidak hanya dengan handuk tapi juga dengan baju Ian yang masih tertinggal disana.
“Keringkan dirimu dan ganti pakaian. Kamu bisa sakit kalau begitu terus”
Ian tersenyum pelan dan mengambil handuk pemberian Gugun. Dalam hati dia berbisik ‘Aku sudah sakit Gun’
Ian hanya menggunakan handuk saja baju tadi dia letakkan diatas meja kecil depan sofa ukuran besar tidak jauh dari mereka.
“Ian ganti bajumu!” Pinta Gugun nyaris memohon.
“Tidak apa-apa Gun begini saja”
“........”
“Jadi apa yang mau kamu bicarakan?” Tanya Ian seraya mengambil posisi duduk pada sofa besar tempat dimana dulu mereka habiskan waktu untuk menonton tv bersama.
“Ah..sofanya jadi basah” Gumam Ian. Dia lantas menggunakan handuk tadi sebagai alas agar air tidak mengenai sofa.
Gugun mengambil tempat disebelah Ian. Matanya memperhatikan Ian dengan seksama. “Kamu sudah tidak tinggal dikos itu lagi?”
“Tidak”
“Lalu sekarang kamu tinggal dimana?”
“Dirumah teman”
“.........”
“.........”
“Dewa itu siapa?”
“Dia...”
“Kamu tinggal dirumahnya”
Ian menoleh pada Gugun dan melihat dengan jelas betapa penasarannya Gugun sekarang.
“Ya, aku tinggal disana”
“........”
Gugun menunduk diam. Giliran Ian yang memperhatikan Gugun dengan seksama.
“Apa dia baik?” Tanya Gugun masih dalam posisi menunduk.
Ian tersenyum kecut “Bisa dibilang begitu”
Gugun mengangkat wajahnya dan mereka bertatapan.
“Apa kabar Ogi?”
Mendengar pertanyaan itu Gugun kembali menunduk, “Dia baik”
“Tidak ada masalah diantara kaliankan?”
“Maksudnya?”
Ian mendesah pelan sebelum menjawab. “Aku ingat persis bagaimana ekpresinya waktu itu. Apa dia marah padaku?”
“.......”
“Maaf!”
“Kenapa minta maaf?”
“Aku sudah membuat hubungan kalian sulit”
Gugun mendengus lelah dengan permintaan maaf Ian. “Semua baik-baik saja. Kamu tidak perlu cemas”
Ian mengangguk pelan dan tersenyum.
Lama mereka saling diam. Gugun menerawang kemana-mana sementara Ian diam dengan badan yang mulai terasa tidak nyaman.
“Tadinya aku mau bilang supaya kamu tinggal disini lagi”
“........”
“Disini jauh lebih layak. Lagi pula aku sudah menghadiahkan ini untukmu jadi..”
“Tapi aku tidak bisa”
Ian menatap sendu wajah Gugun.
“Aku tidak bisa”
“Kamu bisa membuang yang tidak kamu suka lalu menggantinya dengan yang lain. Tidak masalah! Itu lebih baik daripada disana..”
“Tapi aku sudah tidak disana lagi sekarang” Lagi-lagi Ian memotong ucapan Gugun. “Aku suudah tinggal ditempat yang jauh lebih baik”
“Ya, kamu sudah tidak disana”
“........”
“Tapi rumah ini tetap milikmu. Jadi kamu bisa kembali kapan saja kamu mau”
“Terimakasih sudah begitu baik”
“Maaf” Bisik Gugun pelan.
“Jangan minta maaf! Kita sudah sepakat untuk itu”
“Ian” Tangan Gugun sudah bergerak untuk menyentuh wajah Ian tapi Ian jauh lebih cepat untuk bangun.
“Sebaiknya aku pulang ini sudah malam”
“Aku antar”
“Tidak perlu” Tolak Ian.
“Tapi diluar masih hujan”
“Aku sudah basah jadi tidak masalah”
Gugun hendak membantah lagi tapi entah mengapa lidahnya kelu.
“Aku permisi”
Ian segera pergi dan Gugun hanya mematung ditempat. Keinginannnya untuk mengejar sangat besar tapi kakinya tidak bergerak.
Dibawah guyuran hujan yang sudah tidak terlalu deras Ian berjalan setengah berlari. Tidak lama kemudian dia tiba dijalan raya yang mulai sepi. Ian menoleh kesana-kemari mencari transportasi yang agaknya sulit ditemukan. Sepuluh menit berjalan menelusuri trotoar belum juga ada transportasi yang lewat. Hingga saat Ian hampir tiba di sebuah persimpangan, namanya dipanggil oleh seseorang.
Gugun mengikutinya dengan mobil.
Begitu dekat dengan Ian dia menurunkan kaca mobilnya.
“Ayolah Ian, biar kuantar”
“Tidak Usah Gun. Nah itu ada taxi” Ian menunjuk pada taxi yang baru saja keluaa dari sebuah jalan. “Aku pergi!”
Dengan terburu Ian berniat mengejar taxi yang melaju pelan tersebut. Dia sampai tidak memperhatikan jalan.
“IAANNN!” Teriak Gugun dari dalam mobilnya.
Tubuh Ian terlempar beberapa meter kedepan. Sebuah mobil yang keluar dari jalan yang sama dengan taxi tadi menabrak tubuh Ian. Hujan menghalangi pandangan, Ian terburu-buru untuk menghindar dan mobil itu tidak siap mengerem. Kejadian naas tak bisa dielakkan
---
Ponsel Ian terus berdering. Padahal benda itu sudah retak akibat kecelakaan tadi. Belum lagi kondisinya yang basah kuyup seperti Ian. Tapi benda itu punya semangat hidup yang tinggi. Dia terus berdering member tahu pemiliknya bahwa ada orang yang sedang menunggu panggilannya untuk dijawab.
Gugun baru kembali dari mengurus administrasi rumah sakit menemukan ponsel Ian terus berdering dan menampilkan nama Dewa pada layarnya.
“Halo!”
“........”
“Ian dirumah sakit, dia kecelakaan”
“........”
“Kemarilah jika mau tau kondisinya seperti apa”
Tuutt!
Panggilan terputus bukan karena Gugun memutuskannya tapi karena ponsel itu mati. Dia bertahan untuk satu panggilan saja.
Gugun meletakkan kembali posel Ian dan mengambil poselnya sendiri yang sebenarnya juga terus berdering sejak tadi. Dia mendial panggilan terakhir dan tidak berapa lama dia terhubung dengan orang itu.
“Halo!”
“........”
“Aku dirumah sakit, ian kecelakaan”
“........”
“Baru saja”
“Ya tentu, Datanglah!”
Tut
Gugun menarik nafas panjang didekat Ian. Dia sedikit lega sebab tidak ada yang fatal dengan Ian. Hanya luka lecet dan Ian sempat pingsan sebelumnya. Jika saja demam tinggi tidak menyerang tiba-tiba maka kondisi Ian akan baik-baik saja. Panasnya hampir mencapai 40 derajat membuat Ian sesekali mengigau tidak jelas.
Sigh!
Kalau saja dia mau diantar mungkin tidak akan begini jadinya.
“Maaf seharusnya aku tidak menyuruhmu datang kesana” Pinta Gugun tulus pada Ian.
Waktu berlalu. Setengah jam kemudian Dewa sampai kerumah sakit. Dia sedikit lebih telat dari Ogi.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Dewa begitu dia sampai dan mendekat ke ranjang Ian. Wajahnya terlihat khawatir.
“Lukanya tidak terlalu parah, tapi dia sempat tidak sadarkan diri selama beberapa waktu dan sekarang demamnya hampir mencapai 40 derajat” Terang Gugun.
“Kenapa dia seperti ini?”
Gugun diam sejenak, “Maaf ini salahku”
“Sudah kuduga”
“........”
“Tunggu apalagi? Kau pembawa masalah jadi pergilah!”
Gugun menarik nafas menahan geram. “Dia sesekali mengigau jadi jangan tinggalkan dia sendiri”
“Aku akan menjaganya!” Jawab Dewa cepat
Mereka berpandangan.
“Baik aku permisi”
Dewa mempersilahkan Gugun dengan isyarat tangan.
“.un...G..n..” Ian kembali mengigau. Dewa segera mengambil posisi didekat Ian mengusap pelan lengan kiri yang terpasang infus supaya Ian tenang. Tapi igauan Ian tidak berhenti, dia malah terlihat gelisah.
Dewa berusaha keras menenangkan Ian namun gagal.
Gugun tidak sadar kalau langkahnya bukan menuju pintu tapi kembali mendekati Ian. Dengan pelan dia maraih tubuh Ian memiringkannnya kekanan lalu menyusupkan satu tangan kedalam baju Ian.
“Apa yang kau lakukan?”
Gugun tidak peduli dengan ocehan Dewa. Dia mulai menggerakkan tangannya perlahan membelai punggung Ian hingga Ian berangsur-angsur tenang dan tertidur lelap dengan nyaman. Gugun tersenyum puas. Puas karena ternyata Ian masih mengenali sentuhannya.
Sementara itu Ogi dan Dewa hanya berdiri mematung, termangu seperti orang kalah.
Okeh, seperti janjiku ini buat sibaik @3ll0 #peluukkkk makasih ya udah mau repot2 nyeret orang untuk baca cerita yang tidak seberapa ini. Oya peluk @Rika1006 juga.
Mari... berpelukannn! Wohohoho......
Maaf semua ini apdetan yang paling lama dan aku tahu... seharusnya aku tidak begitu. Harusnya aku berusaha lebih keras. Seperti yang pernah kubilang aku agak bosan sama part 6, jadi setiap buka laptop itu aja yang aku liatin. Terus akhirnya aku edit sedikit. Gak berpengaruh ke part selanjutnya kok, sama sekali gak. Aku mengeditpart itu cuma utk menemukan moodku kembali.
Okeh, abaikan!
Saat menulis peristiwa Gugun menyatakan cintanya yang kudengar adalah One day nya Arash ft Helena dan Chaconne from secret garden. Untuk lagu pertama mungkin karna beatnya sedangkan yang kedua kenyataan kalau mereka udah gak bersama. Rasanya itu kayak tersayat... sakit banget. Tiap alunannya membuatku bisa melihat nyata tatapan Ian kala itu. Hahahahha..
oya ada satu lagi lagu yang nemenin aku nilis part ini. Cinta bukan milik kita.
Buat @phanthek makasih banget lagunya, kamu tau lagumu sangat membantu memperbaiki moodku. Selama nulis part 7 lagu ini aja yang aku dengar. Yang pakai kacamata suaranya keren gila, kayak penyanyi professional aja itu orang. Whoa sumpah keren, pengen mewek aja dengar itu lagu. Ntar kalau nemu lagi kasih tau ya.. ya ya ya!?
Hmmmm...
Udah itu aja deh dan seperti biasa mohon bimbingannya!
Bagi yang merasa aneh dan kurang suka silahkan beri masukan dimana yang aneh dan membuat tidak suka serta saran bagaimana seharusnya itu ditulis. soalnya aku kurang maksimal dipart ini. hiks hiks
Makasih semua, Salam Nara!
Baca part ini bener2 melow kak.. Hmm Dewa juga ah.. apah yah, ntahlah... Aku miris bngt sama iaan.. Aku punya temen namanya Ian, orangnya nyebelin pisaaaaaan >.<, Hehe Beda banget sama Ian yg inih..
Semangat kak*bighug >:D<
Gugun...Gugun seharusnya kamu tidak mudah takluk oleh pesona Ogi, jika memang kamu mencintai Ian. Aku malah ragu, apa Gugun masih mencintai Ian? Cinta atau rasa bersalah?
Setiap kali aku baca dialog Ian-Gugun pasti hati aku berasa dicabik-cabik, tapi entah kenapa di-part-ini aku tidak merasakan cabikan itu. Serasa ada yang kurang...tapi aku tidak tau apanya yg kurang.. Entahlah, yang pasti aku sangat mencintai tulisanmu ❤