It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Cuma di beberapa part ya ada lah missnya dikit, kalo mau dibikin novel, bisalah di revisi kmbali.
*pdahal dr awal bergabung BF (2012). Jrng bnget gw mau koment, ya ntah knpa nih crita bisa bangkitin gw dr kubur.
Bisanya plagiat. Udah gitu member disini lagi, Mau lo apa coba?. Jeunk @VeneNara keep keep semangat aja buat lanjutin.
N berharap sibencong plagiat kena tulah.
“Baru pulang?”
Sebuah suara mengagetkan Gugun yang baru saja tiba. Tadinya dia mengira tidak ada siapa-siapa di ruang utama sebab tak ada lampu yang menyala. Tapi suara itu menjelaskan kalau dia salah. Ogi sengaja berada disana untuk menunggunya pulang.
“Ya” Gugun menjawab sambil menghela nafas berat.
“Dari rumah sakit lagi?”
Kali ini Gugun tidak segera menjawab. Dia malah mendekati Ogi terlebih dahulu. Dalam kondisi minim cahaya seperti itu, dia tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana raut wajah Ogi sekarang. Namun dari intonasi suaranya Gugun tahu ada yang aneh dari Ogi.
“Kenapa belum tidur?”
Daripada menjawab pertanyaan Gugun malah balik bertanya.
“Aku tidak bisa tidur” Ada jeda sebentar sebelum akhirnya Ogi kembali bertanya sambil menerawang. “Bagaimana keadaan Ian?”
Gugun memperhatikan dengan seksama wajah Ogi yang tetap mustahil bisa dia lihat dalam keremangan.
“Apa ada sesuatu yang mengganggu mu?”
Ogi mengerling cepat dalam gelap ketika mendengar pertanyaan Gugun. ‘Kamu bertanya apa ada yang menggangguku? Yang benar saja.’
“Tidak ada, kamu belum jawab pertanyaanku. Bagaimana keadaan Ian?”
“Dia sudah jauh lebih baik. Bahkan dia sudah pulang tadi”
Ogi sedikit terkejut dan Gugun jelas tidak tahu soal itu. Seperti halnya dia tidak tahu bagaimana Ogi mengerling padanya beberapa detik lalu.
“Syukurlah” Ujar Ogi pelan antara bingung dan lega. Bagaimana tidak? Ini masih terlalu cepat bagi Ian keluar dari rumah sakit.
“Kamu sudah makan?” Tanya Gugun.
“Kamu pikir ini jam berapa. Tentu saja aku sudah makan”
Gugun kembali mendengar intonasi aneh dan tidak mengenakkan dalam ucapan Ogi. Kali ini terdengar dingin dan kesal.
“Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kamu. Kamu kenapa?”
Sigh
Ogi menrik nafas panjang tidak percaya. Dengan semua yang terjadi Gugun masih bertanya kenapa? Jika saja Ogi tidak dalam posisi bersalah sejak awal mungkin sekarang dia sudah meledak.
“Tidak ada, aku baik-baik saja”
Gugun tidak percaya cuma dia tidak mau meneruskan percakapan itu. Dia terdiam memikirkan percakapan terakhirnya dengan Ian. Tidak bisa dipungkiri bahwa percakapan itu benar-benar mengganggunya.
Tidak jauh dari Gugun, Ogi beberapa kali ingin mengatakan sesuatu namun selalu mengurungkan niatnya.
Satu menit berlalu...
Lima menit...
Sepuluh menit...
Tiga puluh menit...
Baik, ini sudah cukup lama untuk mereka saling diam padahal mereka ada dalam satu ruangan dan hanya berjarak dua langkah saja. Dan lagi mereka itu sepasang kekasih, bagaimana mungkin mereka bersikap seakan saling tidak mengenal satu sama lain?
“Aku mau tidur” Kata Ogi menyerah.
“Bukannya kamu bilang tidak bisa tidur?”
“Ya, tapi aku akan coba untuk tidur sekarang” Jawab Ogi lemah dan terdengar lelah. Meskipun dia sebenarnya cukup lega mengetahui Gugun telah pulan untuk berada disisinya.
Gugun dengan cermat memperhatikan punggung Ogi yang perlahan menjauh. Dia menerka-nerka apa yang menyebab Ogi bersikap demikian. Beberapa kemungkinan muncul di kepalanya. Hingga saat dia mulai paham tentang duduk masalah, Gugun mengusap kasar wajahnya mengetahui betapa bodohnya dia tidak menyadari kelakuannya sendiri.
Sudah berapa lama dia tidak menghabiskan waktu dengan kekasihnya itu?
--
Gugun masuk dengan hati-hati ke dalam kamar sepuluh menit kemudian. Pelan-pelan dia mendekati Ogi yang tidur menyamping membelakanginya. Dia tahu kalau Ogi belum tidur dan meski dia tahu dia tidak berniat mengganggu kekasihnya itu. Gugun merebahkan tubuh di samping Ogi dengan hati-hati. Dengan hati-hati pula dia mengelus lembut bahu Ogi membuat mata Ogi yang sudah terpejam kembali terbuka.
“Good night my prince. Semoga mimpi indah” Bisik Gugun mesra. Dia juga memberikan sebuah kecupan lembut di pipi Ogi. Dengan itu Gugun berharap bisa membangun kembali suasanan hangat diantara mereka berdua.
“Tidurlah ini sudah malam” Jawab Ogi di luar dugaan. Dia bukannya tidak senang diperlakukan seperti itu. Tapi.. dia memang sedang tidak ingin meladeni kemesraan dalam bentuk apapun. Sudah cukup baginya tahu kalau Gugun pulang, yang lain dia tidak perlukan. Apalagi disaat pikiran sang kekasih masih dipenuhi oleh mantan.
Gugun tidak terlalu terkejut dengan reaksi Ogi. Dia yang sejak beberapa menit lalu paham dan sadar akan kesalahannya bisa menerima sikap tersebut.
“I love you” Bisik Gugun lagi. Kali ini dia memberikan kecupan yang lebih dalam dan lama.
“Aku tau, sekarang tidurlah. Aku juga mau tidur” Balas Ogi tanpa sedikitpun membalik badan.
Jika tadi Gugun tidak terkejut. Kali ini pun sama. Tapi ada yang menyayat hatinya mendengar jawaban Ogi. Bukan karena Ogi mengucapkan hal tersebut tanpa melihatnya, tapi karena dia baru tahu ternyata seperti ini rasanya. Memori Gugun bekerja cepat membawanya pada masa lalu. Dengan orang berbeda, hal serupa pernah terjadi.
“Gun!” “I love You!”
“I know, ayo istirahat aku capek!”
Sungguh kalimat itu tidak ada bedanya dengan berkata ‘Menjauhlah, jangan ganggu aku’
Terlebih ketika Gugun berkata demikian, saat itu sudah tidak ada lagi rasa dihatinya untuk Ian.
Jadi, seperti inikah rasa diabaikan?
Atau malah ini belum ada apa-apanya dibandingkan apa yang telah Ian rasakan dulu?
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun sosok yang ditunggu Ian belum juga menampakkan diri. Ian sampai kelelahan menunggu. Kondisi tubuhnya yang belum begitu pulih turut mengganggu acaranya untuk menunggu Dewa. Dia sempat tertidur selama dua jam tadi karena lemas, tapi sekarang sudah bangun dan siap kembali menunggu.
Sepuluh menit berlalu.
Perut Ian mulai terasa perih. Dia baru ingat kalau hari ini dia hanya makan sekali saja. Dan itu tadi siang sebelum dia pulang dari rumah sakit. Sekarang perutnya kembali berontak minta diisi.
Ian akhirnya bangun dari sofa setelah lebih dari enam jam dia disana. Dua jam tertidur, selebihnya duduk diam menunggu. Dia berjalan tertatih menuju dapur, membuka lemari es dan mencari sesuatu untuk di makan. Dari dalam lemari es Ian mengeluarkan sekotak jus dan dua butir telur. Ian baru akan menutup kembali pintu lemari es, tapi berhenti.
‘Sebaiknya kubuatkan juga untuknya’ Pikir Ian.
Ian lantas menyiapkan makan malam untuk dua orang dengan kemampuan seadanya. Telur dadar, tumis brokoli dan tidak ketinggalan potongan buah apel dan melon tersaji di atas meja makan. Sangat sederhana, namun begitu, Ian sudah cukup menguras tenaga untuk melakukan semua itu. Kakinya samapai nyeri karena lama berdiri.
Setelah semua tersaji dan siap disantap, Ian malah duduk diam tidak menyentuh sedikitpun makan malamnya. Dia enggan makan seorang diri. Dia memutuskan kembali menunggu.
‘Mungkin sebentar lagi dia pulang’ Pikirnya.
Akhirnya, Ian hanya menegak habis jus di dalam gelas dan saat itulah terdengar suara pintu terbuka. Dari suara pintu tersebut Ian tahu kalau Dewa sudah pulang.
‘Dia pulang’ pekik Ian dalam hati tanpa sadar.
Di bandingkan rasa senang akan bertemu Dewa, Ian justru tiba-tiba merasa sangat gugup. Mungkin karena sudah terlalu lama mereka tidak bertemu. Empat hari, yah empat hari adalah waktu yang cukup lama bagi Ian untuk merasa gugup?
Sementara itu Dewa yang baru saja tiba, mengerutkan kening mengetahui pintu apartemennya tidak terkunci. Dia yakin sudah mengunci pintu itu sebelum berangkat tadi pagi.
‘Kenapa pintunya terbuka?’ Pikirnya mulai waspada.
Dewa lantas masuk dengan hati-hati. Namun begitu dia sudah berada di dalam, kewaspadaannya malah berubah jadi heran tatkala dia mencium aroma makanan mengudara di dalam apartemennya.
‘Siapa yang masak?’
Dewa segera menuju dapur untuk mencari tahu.
Sampai di dapur dia tidak bisa menutupi rasa terkejutnya saat melihat Ian duduk manis di meja makan dengan wajah tegang namun berusaha tersenyum.
“Sedang apa kau disini?”
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Dewa demi bereaksi terhadap apa yang dia lihat.
Tentu saja pertanyaan itu membuat Ian syok. Dia tidak menyangka jika itu reaksi Dewa. Sepertinya Ian lah satu-satunya yang terlalu bersemangat disini. Dan harus Ian akui dia tidak siap dengan reaksi itu. Dia sudah bersusah payah mengatur degup jantungnya karena hendak bertemu lagi dengan Dewa, kemudian menenangkan diri dari rasa gugup yang menyerangnya tiba-tiba, malah pertanyaan itu yang Dewa lontarkan. Pertanyaan yang seolah tidak menginginkan Ian untuk berada disana.
Namun dengan kemampuan yang entah dari mana Ian dapatkan, dia berhasil bersikap biasa. Walaupun ekspresi tegang tidak begitu saja hilang dari wajahnya. Ian mencoba setenang mungkin menyambut kedatangan Dewa. Sikapnya sangat bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam hatinya saat ini.
“Hai!” Sapanya.
Dewa mendekat. Wajahnya masih menuntut jawaban kenapa Ian berada disana.
“Mau minum?” Ian mencoba berbasa-basi dengan menawarkan minum. Dia bangun dari duduknya untuk mengambil gelas.
“Mau minum apa?” Ian bertanya lagi.
“Aku tanya sedang apa kau disini?”
Tanpa Ian Tahu Dewa sudah berada tepat dibelakangnya. Ian dengan gugup berbalik menghadapi orang yang beberapa saat lalu begitu ia tunggu kehadirannya. Dewa menatap Ian tepat di mata. Ian ragu untuk menatap balik, dia sudah hendak menunduk seperti biasa tapi hatinya berkata lain. Dia tidak tahu kalau ternyata dia merindukan Dewa sedemikian kuatnya. Hingga tatapan yang selama ini membuatnya menciut, kali ini dia tantang. Sebab hanya dengan cara itu dia bisa melihat Dewa.
“Saya pulang lebih cepat” Jawab Ian.
“Dan kenapa kau melakukannya? Ini baru empat hari”
“Ya benar, tapi dokter mengizinkan saya pulang”
Dewa mengerling tidak percaya. Dokter macam apa yang membiarkan pasien kecelakaan pulang dalam empat hari.
“Anda sudah makan?” Ian mengalihkan pembicaraan. “Mau makan malam dulu?” Tanyanya. Mata Ian masih tertuju penuh ke wajah Dewa.
Dewa menoleh sebentar pada meja makan kemudian beralih lagi pada Ian. Ian berdebar hebat. Namun tidak ada sedikit pun niat untuk menunduk. Dia terus balik menatap Dewa walau dengan ekspresi tidak yakin. Dewa menyerah, tanpa membantah dia mengambil posisi duduk dimana piring untuknya sudah disiapkan.
Ian bernafas lega melihatnya. Dengan kaku dia pun ikut duduk kembali ke kursinya sendiri.
“Kenapa harus memaksa untuk masak kalau kau tau kau sedang sakit?” Gerutu Dewa sambil memasukkan sepotong brokoli ke dalam mulutnya.
Ian pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan makan. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum senang lantaran gerutuan Dewa barusan menandakan kalau pria ini peduli padanya.
Dewa selesai lebih dulu. Dia pun melanjutkannya dengan menyantap potongan yang cukup menggiurkan di hadapannya. Sesekali dia melirik pada Ian dan menghentikan tatapannya disana. Ian yang tahu sedang diperhatikan menjadi salah tingkah, nyaris tidak bisa menghabiskan makanannya.
Begitu Ian juga selesai Dewa segera bangun membawa piringnya dan piring Ian ke tempat cuci sebelum Ian yang melakukannya.
“Habiskan buahnya” Perintah Dewa pada Ian.
Ian melakukannya dengan kikuk. Bagaimana tidak kikuk? Dewa berdiri tepat di sampingnya untuk mengawasi.
Dewa sepertinya tidak sabaran dengan Ian yang makan terlalu pelan. Dia lantas mengambil alih garpu dari tangan Ian, menusukkannya ke potongan buah lalu membawanya ke depan mulut Ian.
Mata Ian melebar mendapati dirinya sedang disuapi Dewa.
“Ah!” Ucap Dewa sebagai perintah untuk Ian agar membuka
mulut.
Ian sontak merasa tubuhnya seperti tersengat. Ada aliran aneh mengaliri setiap mili pembuluh darahnya. Membuatnya kian berdebar tak karuan. Namun begitu, dia tidak menolak untuk membuka mulut dan menerima suapan dari Dewa.
Dewa dengan sabar menyuapi Ian potongan demi potongan buah hingga tidak ada lagi yang tersisa di atas piring. Setelah selesai dia segera membereskan meja makan. Dewa benar-benar tidak memberi kesempatan bagi Ian untuk melakukan apapun lagi. Ian masih sakit, itu yang dia tahu.
“Coba kulihat luka mu?” Pinta Dewa halus. Dia menyibak dengan hati-hati lengan baju Ian. “Kau bawa pulang obatnya kan?”
Ian mengangguk cepat. Dia sedang kesulitan bernafas lantaran jarak Dewa terlalu dekat dengannya.
“Ayo ambil obatnya”
“Huh?”
Sebelum Ian siap Dewa sudah memapahnya menuju kamar. Disana Dewa merawat dengan telaten luka-luka Ian yang masih belum terlalu kering.
“Kenapa kau pulang, kau kan belum sembuh?” Kali ini Dewa bertanya dengan halus. Berbeda sekali dengan cara bertanya ketika baru sampai tadi.
“......”
“Hmmm?” Tuntut Dewa.
“Rumah sakit itu membosankan” Jawab Ian sekenanya.
Bukan itu yang ingin dia bahas sekarang. Saat ini dia punya pertanyaan lain yang ingin sekali dia tanyakan. Namun, bukan Ian namanya kalau dia bisa dengan begitu gampanga bertanya. Ian menutup rapat mulut, menelan kembali pertanyaan yang sudah berada di ujung bibir.
“Kau benar, rumah sakit itu membosankan bahkan juga menyebalkan. Sekarang istirahatlah”
Dewa kelihatan sungguh-sungguh mengucapkan kata ‘menyebalkan’. Sebab memang itu lah yang dia alami selama beberapa waktu berada disana. Dia sudah dihadapkan pada kondisi menyebalkan sejak dia datang. Dan kondisi tersebut kembali berlanjut di pagi harinya.
Selesai berkata demikian Dewa bersiap untuk meninggalkan Ian sendiri.
“Anda mau kemana?” Tanya Ian tiba-tiba.
“Keluar tentu saja. Kau butuh istirahat”
Ian menunduk malu sementara Dewa berjalan keluar.
“Panggil aku jika perlu sesuatu!”
“Ya” Ian menganguk paham.
Kamar menjadi sunyi selepas Dewa keluar. Ian seperti orang kehilangan semangat. Bukan ini yang dia harapkan. Dia ingin melihat Dewa dan itu dalam arti yang sebenarnya. Dia ingin Dewa sedikit lebih lama disisinya. Tidak apa-apa meski yang Dewa lakukan hanya marah atau menyudutkannya. Yang penting Dewa disini bersamanya. Ian mau mendengar lebih
banyak suara Dewa.
Satu jam berlalu. Ian mulai bosan. Dia yang sebelumnya sudah mencoba istirahat (tidur) seperti perintah Dewa, tidak kunjung terlelap. Selama sejam dia hanya berguling merubah posisi tidur namun tidak menemukan posisi yang nyaman.
Ian akhirnya memutuskan untuk keluar kamar. Suara samar televisi menuntunnya untuk mendekat. Disana Dewa sedang sibuk dengan berkas-berkasnya. Mengabaikan televisi yang sedang menayangkan acara menarik mereka.
Ian mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Dewa.
“Sedang apa kau disini?” Dewa bertanya heran.
“Saya tidak ngantuk”
Alis Dewa terangkat mendengar jawaban Ian.
“Kau butuh istirahat”
“Tapi saya tidak ngantu”
“.......”
Dewa diam tapi matanya lurus menatap Ian. Menunjukkan kalau dia tidak suka Ian melawannya.
“Saya akan tidur kalau merasa ngantuk” Jawab Ian cepat agar Dewa tidak marah.
Sigh
Tanpa bicara lagi Dewa segera membereskan semua berkas yang ada di meja dan menuju kamar.
Ian mematung seperti orang bodoh. Matanya terpaku pada pintu kamar Dewa yang beberapa detik lalu tertutup rapat. Perasaannya berkecamuk. Dia tidak menyangka jika Dewa akan segera meninggalkannya seorang diri seperti itu.
Ian menghela nafas panjang dan berat. Dia menunduk dalam sementara bibirnya menyunggingkan senyum kecut. Ada kecewa tersemat dibalik senyum itu.
‘Sebaiknya aku juga tidur’ Kata Ian dalam hati.
Dia menyerah.
Tapi bersaam dengan Ian yang baru saja beranjak, Dewa kembali muncul. Ian reflek menoleh.
“Ayo tidur!” Ajak Dewa
“Huh?”
“Kau bilang tidak bisa tidur kan. Akan kutemani. Ayo!”
Ian masih diam tidak mengerti. Dan hal seperti itu yang paling tidak disukai Dewa.
Dewa meraih tanggan Ian dan dengan sedikit memaksa memapah Ian menuju kamarnya.
“Ini...”
“Kau tidur dikamarku malam ini”
Mata Ian membelalak kaget. ‘Tidur dikamar Dewa?’ Pikirnya ‘Bagaimana bisa?’
“Tapi...”
Dewa sama sekali tidak menghiraukan kebingungan Ian. Dia tidak tertarik untuk menjelaskan apapun pada Ian tentang apa yang dia lakukan saat ini.
“Mau ke kamar mandi dulu?” Tanya Dewa begitu mereka sudah berada di kamar.
Ian terlihat ragu sebentar tapi akhirnya mengangguk juga. Dewa kembali memapahnya.
“Perlu kubantu?”
Ian seketika menoleh. Wajahnya pucat. Tidak bisa dibayangkan jika Dewa benar-benar membantunya dalam hal ini. Padahal apa yang harus Ian risaukan, dia kan hanya perlu menolak dan semua selesai.
“Aku bercanda. Kutunggu diluar. Hati-hati dengan lantainya” Dewa menyeringai senang. Wajah pucat Ian barusan sangat menghiburnya.
Lima menit berada di kamar mandi, Ian akhirnya keluar dengan takut-takut. Tingkahnya tidak beda jauh dengan perawan yang hendak malam pertama. Sementara di atas ranjang Dewa menunggunya dengan tatapan yang seakan menelanjangi. Dia membuka lebar selimut untuk Ian layaknya ucapan selamat datang mempersilakan Ian bergabung bersamanya.
Ian canggung bukan maian. Ini memang bukan kali pertama Ian tidur di ranjang itu. Hanya saja kali ini berbeda. Tidak seperti sebelumnya dimana dia dengan tidak sopan tertidur di atas ranjang orang, kali ini dia malah diundang untuk menghabiskan malam ditempat yang dulu menjadi tempat terlarang baginya.
“Kenapa kau canggung begitu? Kau tidak berpikir yang aneh-aneh kan?”
Wajah Ian menegang merah.
“Kau sedang berharap akan terjadi sesuatu di ranjang ini?” Desak Dewa semakin betah mengganggu Ian.
Ian menggeleng cepat, dia bahkan menghentikan gerak kakinya yang sudah mencapai bibir ranjang.
“Maaf, saya tidak punya pikiran seperti itu” Kata Ian setengah menunduk menahan malu.
Dewa terdiam memperhatikan tingkah Ian. “Aku hanya bercanda. Kemarilah!” Katanya kemudian seraya mengambil posisi tidur. Meskipun menyenangkan, tapi saat melihat reaksi Ian barusan dia jadi merasa cukup mengganggu orang itu. Bisa-bisa Ian keluar dan tidak jadi tidur di kamarnya jika dia meneruskan aksinya. Padahal dia sangat berharap bisa menghabiskan waktunya bersama Ian malam ini. Dan lagi, sebenarnya dia sengaja menggoda Ian. Sebab dengan menggoda dan melihat reaksi Ian dia bisa lupa tentang kejadian menyebalkan yang melibatkan Gugun. Wajah canggung dan malu Ian sedikit menyenangkan hatinya karena seolah itu merupakan sinyal dari Ian. Terdengar menyedihkan memang, tapi begitulah cinta. Terkadang dia memang membuat kita terlihat begitu menyedihkan.
Ian melihat Dewa sudah memejamkan mata. Dengan perlahan dia mendekati tempat tidur dan naik ke atasnya dengan hati-hati. Tidak terbesit dalam benaknya untuk keluar dari kamar itu. Dewa tidur menghap Ian, sementara Ian terlentang menghadap langit-langit kamar. Dia terlihat begitu tegang dan kaku. Seperti patung saja. Jantungnya tetap seti berpacu cepat.
Di sebelahnya Dewa justru perlahan mulai terlelap hingga akhirnya tertidur dengan pulas. Nafas teratur Dewa menuntun Ian untuk menoleh. Wajah damai itu sedikit demi sedikit menenangkannya hingga tanpa sadar Ian sudah merubah posisi menghadap Dewa.
Melihat wajah Dewa yang setenang itu dalam jarak yang dekat membuat Ian menerawang. Bayangan masa lalu bagaimana mereka bertemu berkelabat di kepala Ian. Sikap kasar Dewa terhadapnya begitu juga dengan bantuan-bantuan yang Dewa berikan. Lalu tingkah Dewa yang kadang bersikap manja dan mencari perhatian. Yah, baru sekarang Ian menyadari kalau Dewa berusaha mencari perhatiannya. Tapi Dewa malah selalu membalikkan fakta seolah-olah Ian lah orang yang mencari perhatian darinya. Kemudian yang paling mengejutkan adalah pernyataan Dewa yang menginginkan Ian untuk menjadi kekasih.
Apa dia serius? Dia menyatakan hal itu tiba-tiba dan di waktu yang sama sekali tidak tepat.
Namun jika iya, seserius apa permintaan itu? Ian tidak bisa mengukurnya, Karena Dewa mengyatakan Perasaannya seperti sambil lalu. Malam ini menyatakan perasaan lalu esok harinya bersikap biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Kenapa dia menyatakan perasaannya? Sekedar untuk memuaskan egonya?
Atau dia memang serius sejak awal hanya saja egonya menghalangi?
Entahlah!
Ian tidak pernah tahu. Namun yang pasti dadanya kembali berdebar hebat ketika mengingat semua itu.
----
Cahaya matahari masuk menembus gorden tipis berwarna putih yang menjuntai menutupi jendela. Lapisan tebalnya sudah tersingkap lebih dulu. Seseorang telah dengan sengaja menyibaknya agar cahaya terang dari luar bisa masuk kedalam.
Mata Ian bergerak terganggu. Cahaya yang datang dari luar perlahan menariknya kembali kea lam sadar. Sedikit demi sedikit mata Ian terbuka.
“Jam berapa ini?” Kata Ian pada diri sendiri.
Jika dilihat dari terangnya hari, sepertinya Ian bangun kesiangan. Mau bagaimana lagi, dia tidur terlalu nyenyak tadi malam. Bahkan lebih nyenyak dari biasanya.
“Jam delapan pagi” Jawab sebuah suara.
Ian kaget. Dia segera menoleh ke asal suara yang berada dibelakangnya. Wajah Dewa berjarak satu jengkal dari wajahnya. Sementara tubuhnya berada pada posisi setengah berbaring.
“Bagus kau sudah bangun. Aku menunggu cukup lama”
Tubuh Ian meremang. “Menunggu? Su-sudah berapa lama anda...” Ian bahkan tidak bisa meneruskan kalimatnya.
Dewa menanggapi Ian dengan tatapan penuh makna, tapi tak satupun dari makna itu bisa ditangkap dan dimengerti Ian.
“Aku yakin kau tidak akn mau tau” kata Dewa tersenyum simpul. “Bangunlah, sarapanmu sudah siap!”
“Sarapan?” Gumam Ian. Dia akhirnya sadar kalau dia sudah melewatkan tugas kesehariannya sebab bangun telat hari itu.
Seperti sebelumnya Dewa banyak menolong Ian. Gerak Dewa terlalu gesit untuk Ian imbangi dalam kondisi seperti itu. Jadi, mau tidak mau dia menerima perlakuan istimewa Dewa dengan hati berdebar.
Hari itu Dewa membawa Ian kembali ke rumah sakit untuk check up. Dia sampai tidak masuk kerja karena urusan ini. Ternyata dia memang tidak percaya pada Ian. Lagipula, ketidakpercayaannya memang beralasan, dokter sendiri menyayangkan tindakan Ian. Meskipun keadaannya tidak parah dia tetap butuh perawatan. Dewa mengerling tajam mendengar penjelasan dokter. Ian pura-pura tidak tahu.
“Kau mau makan dulu atau segera pulang?” Tanya Dewa begitu mereka keluar dari ruangan dokter. “Dokter menyuruhmu banyak istirahat tapi mungkin kau mau makan sesuatu?”
“Terserah saja” Jawab Ian setelah berpikir beberapa saat.
Kata ‘terserah’ Dewa anggap sebagai persetujuan dari Ian. Maka dia membawa Ian ke restoran yang pernah mereka datangi sebelumnya. Restoran milik Toni. Hanya mengetahui kemana Dewa membawanya, sudah cukup membuat Ian ragu untuk masuk. Dia masih ingat betul kejadian Dewa marah-marah waktu itu. sungguh pelayan yang malang.
Sekarang Ian jadi ingat. Apa dewa sudah minta maaf?
Tidak, tidak mungkin dia minta maaf. Waktu itu saja, malah Toni orang yang minta maaf padanya.
Aneh!
Tapi... kalau dipikir-pikir kenapa bisa begitu? Apa sebenarnya hubungan mereka?
Ian bertanya-tanya sampai dia tidak sadar kalau pada tahap itu dia sudah sama seperti Reza yang selalu ingin tahu urusan orang lain.
“Kenapa diam? Ayo turun!”
“Eh, i-iya” Ian terlihat ragu.
“Kenapa? Kau malu karena masalah yang terjadi dulu disini?”
“Huh?”
Dewa menebak dengan sangat tepat isi pikiran Ian.
“Kau tidak perlu khawatir. Masalah itu sudah selesai”
Ian terdiam mencerna perkataan Dewa.
“Kau tidak percaya?”
“Huh? Bukan, bukan seperti itu”
“Lalu?”
“Emmm...”
“Sudah, tidak perlu dijawab. Ayo turun!”
Kali ini Dewa tidak mendesak. Dia memang bisa melihat keraguan diwajah Ian, tapi dia merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Dan lagi dia tidak mau. Cukup dia yang tahu kalau dia sudah minta maaf. Ya benar, dia sudah minta maaf.
Seorang pelayan segera menyambut kedatangan mereka. Pelayanan khas restoran mahal. Setelah memesan seseorang datang menghampiri mereka.
“Pak Dewa” Sapa seorang pelayan ramah.
Ian mendadak gugup. Dia ingat persis siapa pelayan itu. Dia Dian, orang yang dengan malangnya menerima amukan tidak jelas dari Dewa.
Kenapa dia kemari?
Jika mengingat perlakuan Dewa, seharusnya dia menjauh dan bukan malah datang menyapa. Dan senyum itu, bagaimana bisa dia bersikap begitu ramah?
“Ya? Oh, hai!”
“Sudah memesan?”
“Sudah, baru saja”
“Terimakasih untuk waktu itu dan hadiahnya. Nenek saya benar-benar suka”
“Tidak perlu dibahas. Oya, bagaimna keadaan beliau?”
“Sudah sangat baik, nenek sudah bisa jalan lagi. Semua berkat anda. Terimakasih pak. Rasanya mau sebanyak apapun saya mengucapkan terimaksih, tetap tidak akan cukup.”
Dewa tersenyum tipis, “Saya juga salah” Katanya pelan.
Ian tercengang dengan reaksi yang sangat jarang dia temui ini.
“Oh tidak apa-apa. Saya bisa mengerti setelah anda menjelaskannya. Dan... ini orang yang sama dengan waktu itu kan?”
“Ya” Kata Dewa singkat.
Pelayan bernama Dian itu, kalau Ian tidak salah mengingat nama, tersenyum menyapa Ian. Ian segera membalas.
“Kalau begitu saya permisi”
“Salam untuk nenekmu”
“Tentu pak. Mari!”
Dian akhirnya meninggalkan meja mereka dengan senyum senang. Ian mengamati gadis itu berlalu.
‘Apa yang sudah terjadi dan aku tidak tau?’
Sekarang Ian beralih menatap Dewa penuh tanya.
“Kenapa?” Tanya Dewa tak ingin menjelaskan apapun.
Ian menggeleng pelan. Dalam hati dia cukup lega. Dewa berkata jujur kalau masalah itu sudah selesai. Terlepas dari bagaimanapun cara dia menyelesaikannya. Cuma kalau melihat bagaimana mereka berkomunikasi tadi, Ian yakin Dewa telah menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang sangat baik. Bukankah mereka tadi bicara tentang hadiah? Ya Tuhan, Ian seakan tidak percaya pada apa yang dia dengar tadi.
Tapi acara makan diluar itu tidak berlangsung lama. Mereka harus pulang sebelum hidangan dipiring mereka habis. Ian tiba-tiba saja pucat dan Dewa sangat khawatir karenanya. Dia merutuk diri sendiri sudah membawa Ian kesana dalam kondisi masih sakit. Tadinya dia berharap bisa sedikit menyenangkan hati Ian. Tapi jika hasilnya seperti ini, apanya yang membuat senang?
Tiba di apartemen, Dewa segera membawa Ian ke kamarnya sendiri. Tubuh Ian dibaringkan perlahan ke tempat tidur. Dewa lantas ke dapur mengambil air putih dan meminumkannya untuk Ian.
“Maaf seharusnya tadi kita langsung pulang saja”
Ian terlalu pusing untuk menjawab. Tapi dalam hati dia juga minta maaf karna kembali mengacaukan acara makan mereka.
--
“Kau sudah lebih baik?” Wajah itu terlihat begitu khawatir. “Kau tertidur seharian” Katanya lagi.
Ian mencoba bangun. Dewa tangkas menangkap tubuh Ian dan membantunya duduk.
“Saya merasa lebih baik sekarang” Jawab Ian pelan.
“Kalau begitu sekarang kau makan dulu”
Ian melihat sudah ada sepiring nasi untuknya. Dewa menyiapkan lagi untuknya?
“Maaf sudah merepotkan”
Dewa melihat sekilas wajah Ian, “Dari dulu kau memang selalu merepotkanku” Katanya datar.
Ian tersentak. Tubuhnya kaku karena perasaan tidak enak. Tentu saja, berarti Dewa masih sangat ingat tentang yang terjadi dulu. Dan kalau dipikir-pikir, Ian memang tanpa sengaja sudah banyak menyusahkan orang ini.
“Dan anehnya aku mau saja direpotkan oleh mu” Lanjut Dewa pelan.
Ian yang tadinya menunduk mengangkat wajahnya untuk melihat Dewa. Mata mereka beradu. Saling diam menatap satu sama lain.
“Kenapa anda tidak menjenguk saya di rumah sakit?”
Akhirnya Ian menanyakan juga hal yang mengganjal hatinya.
Dewa menatap Ian lamat. Membuat dada Ian bergemuruh seperti ada badai didalamnya.
“Kau sungguh tidak tau?”
“........”
“Sigh... Bagaimana bisa aku berada disana sementara dia juga. Dia terus menunjukkan kalau dia tau segalanya tentangmu. Dan aku juga harus sadar diri tidak ada tempat untukku dikeluarga kecilmu itu”
“.......”
“Sekarang kau sudah tau kan?”
“.......”
“Maaf aku tidak menjengukmu walaupun sebenarnya aku sangat ingin”
Dewa meraih wajah Ian dan mengusapnya lembut. Keduanya tidak terdiam. Hanya debaran di dalam dada masing-masing yang membuat keributan.
“Tapi kenapa anda marah saat saya pulang?”
Tangan Ian sudah menggenggam tangan Dewa yang berada diwajahnya.
“Kau harus lebih mengenalku supaya tau yang mana wajah marah dan mana wajah khawatirku” Wajah Dewa mendekat. “Kau perlu lebih mengenalku. Kita berdua perlu lebih mengenal satu sama lain”
Wajah mereka nyaris tidak berjarak. Kening mereka menempel begitu juga dengan hidung mereka. Beberapa detik kemudian Dewa sudah mendaratkan sebuah kecupan lembut namun dalam disudut bibir Ian. Setelah kecupan itu berakhir Dewa tidak lantas menjauhkan bibirnya dari sana. Dia menggunakan bibir ranum itu untuk membelai pipi Ian.
Ian tidak bisa bergerak. Dia harus menahan nafas menerima itu semua. Terlalu mendadak dan terlalu banyak untuk dia terima dalam satu waktu.
Saat Ian sedang sibuk mengendalikan diri, wajah Dewa sudah berada lagi dihadapannya. Tatapannya mengunci. Tidak memberi sedikitpun kesempatan bagi Ian kecuali membalas tatapan itu.
Dewa mendekatkan lagi wajahnya ke Ian. Hembusan nafasnya menggoda mata Ian agar tepejam. Merayu bibir Ian agar terbuka. Dan sedetik kemudian kedua bibir itu bertemu. Mereka lalu tenggelam dalam ciuman yang panjang dan dalam.
Sebuah ciuman tulus dan bukannya nafsu semata.
Sebuah ciuman untuk menyampaikan sesuatu yang dirahasiakan oleh hati mereka.
Karena kata dan kalimat... tidak mampu menyampaikannya.
Setelah waktu yang lama ciuaman itu akhirnya berakhir. Mereka berpandangan sementara bibir mereka masih bisa mengecap aroma manis dari bibir pasangan.
“Kukira kau akan menolaknya” Kata Dewa parau.
Ian tidak menjawab tapi pipi merona melakukannya.
“Sekarang kau makan dulu” Kata Dewa meraih piring yang sedari tadi dianggurkan. Tapi... setelah ciuman barusan, bagaimana mungkin Ian bisa makan?
Mungkin hanya sekitar lima sampai tujuh suapan saja yang masuk ke mulut Ian selebihnya tetap duduk manis dalam piring.
“Kenapa sedikit? Ayolah kau perlu makan banyak”
Ian menggeleng tidak mau.
“Masakanku tidak enak?”
“Bukan! Nasinya enak tapi saya kenyang” Bohong Ian.
Ini sama sekali bukan tentang rasa. Bagaimana mungkin Dewa tidak tahu penyebabnya. Dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?
“Benar tidak mau lagi?” Dewa masih bertanya memastikan.
“Tidak” Ian menggelang tegas.
“Baiklah! Kalau begitu sekarang kau istirahat”
Dewa meletakkan kembali piring ke atas nakas. Kemudian membantu Ian berbaring. Lalu entah apa yang merasuki Dewa, tangannya bergerak ke punggung Ian. Sebenarnya dia benci melakukan ini karena seperti menjiplak orang. Tapi melihat Gugun pernah melakukannya sewaktu di rumah sakit dia pun jadi ingin mencoba.
Dewa menyelipkan tangan ke dalam baju Ian. Posisi Ian yang saat itu berbaring menghadapnya memudahkan Dewa melakukan uji coba tersebut. Dewa baru mengelus dua kali namun reaksi Ian sungguh diluar dugaan. Dia seperti orang terkejut dari mimpi buruk. Dia tiba-tiba bangun dengan wajah kaget dan bertanya-tanya.
“Apa yang anda lakukan?”
“Membantumu tidur” Jawab Dewa sama terkejut.
“Saya mohon jangan lakukan itu” Pinta Ian.
“Kenapa?” Wajah Dewa mulai berubah.
“Tidak ada. Cuma jangan”
Dewa mematung. ‘Kenapa? Karena ini bukan tangannya?’ Ingin sekali Dewa bertanya begitu tapi karena kondisi Ian dia mengurungkan niatnya.
“Baik, aku tidak akan melakukannya lagi. Maaf sudah mengagetkanmu” Kata Dewa menahan diri. “Sekarang berbaringlah”
Ian kelihatan ragu.
“Kau tidak percaya padaku?”
Ian tidak merasa telah salah bicara tapi mungkin reaksinya yang tiba-tiba tadi membuat Dewa tersinggung. Dia melihat luka dalam tatapan Dewa.
“Maaf” Kata Ian pelan begitu dia sudah kembali berbaring.
“Kenapa kau yang minta maaf? Aku yang membuatmu terkejut disini”
“Tapi...”
Sebelum ian menyelesaikan kalimatnya Dewa sudah lebih dulu mengecup kening Ian
“Selamat malam” Kata Dewa dalam jarak yang sangat dekat. Mereka berpandangan sebentar, kemudian satu kecupan selanjutnya benar-benar mengantar Ian untuk tidur.
---
Mata Ian terbuka dan dia segera menoleh ke sisi kiri begitu kesadarannya utuh. Tapi dia tidak menemukan Dewa disana. Tempat yang seharusnya menjadi bagian Dewa tidur terlihat kosong.
Ian juga segera bangun. Jika Dewa tidak disini maka orang itu pasti di dapur sekarang. Ian merasa sebaiknya dia juga kesana. Tidak baik membiarkan Dewa terus menyiapkan sarapan. Tapi... wajah Ian tiba-tiba merona. Hanya dengan mengingatnya saja sudah cukup membuat Ian berdebar.
Yang terjadi semalam itu... itu ciuman pertama mereka. Sulit dipercaya memang, tapi mereka benar-benar melakukannya.
Ian tak kuasa menahan senyum antara gugup dan senang. Bahkan sampai sekarang dia masih bisa merasakan lembutnya bibir Dewa menyapu bibirnya.
Di dapur ian menemukan Dewa sedang sibuk menyiapkan sesuatu.
“Ada yang bisa saya bantu?”Ian buka suara.
Dewa menoleh, “Kau sudah bangun? Tidak perlu, aku bisa sendiri”
Entah mengapa Ian menangkap nada dingin dalam suara Dewa. Seperti biasa, orang ini selalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan setelah ciuman pertama mereka. Tapi Ian ingat perkataan Dewa:
‘Kau harus lebih mengenalku supaya tau yang mana wajah marah dan mana wajah khawatirku. Kau perlu lebih mengenalku. Kita berdua perlu lebih mengenal satu sama lain’
Benar, Ian perlu mengenal lebih jauh orang ini sebelum dia mengambil kesimpulan tentang sikapnya.
"Tidak masalah, saya bisa membantu”
Ian sudah meraih pisau tapi Dewa menghentikannya.
“Tidak sampai kau benar-benar sembuh” Kata Dewa tegas.
Ian bergeming. Tatapannya sama sekali tidak menakutkan seperti dulu. Ian justru tenang ditatap seperti itu. Dia bisa merasakan perhatian disana. Perhatian yang membuatnya merasa dimanja.
“Kalau begitu aku siapkan piring dan gelasnya saja” Kata Ian tidak mau kalah.
Sigh!
“Aku baru tau kau orang yang keras kepala”
Ian tersenyum simpul. Dia bergerak menyiapkan apa yang baru saja dia ucapkan. Dewa diam kehabisan kata-kata.
Meski tidak terjadi banyak percakapan selama di meja makan. Aura hangat yang menguap diantara mereka mengatakan bahwa mereka berkomunikasi. Bukan mulut tapi batin. Tidak berlebihan untuk mengutip kalimat ‘hati mereka sedang berbunga’ saat ini. Sebab itu lah yang terjadi.
Aneh?
Terlalu dramatis?
Ayolah, cinta memang diciptakan seperti itu. Dia berlebihan, aneh dan terkadang tidak terjelaskan.
wokeh part paling menye hadir...
Lagi-lagi maaf karena lama dan part ini agak pendek dari yang biasanya. Aku sempet dirasuki setan ego gak mau lanjutin ini cerita. Biar yang ngaku aja yang lanjutin, kan punya dia.. Wkwkwkwk dasar pikiran anak kecil. Tapi beneran aku sempet mikir gitu. Cuma akhirnya aku ingat janjiku pada kalian terutama pada diriku sendiri. Aku harus menyelesaikan cerita ini.
Maaf aku sudah egois. Soalnya pas baca komennya bikin greget sih.
bagi yang masih berkenan selamat membaca, dan bagi yang kesel plus marah karena lama semua terserah kalian. kalian boleh tetap baca atau meninggalkan cerita ini. itu hak mutlak kalian.
yang tidak berhak adalah memaksa penulis... hahahahha
ups, maap.
aku udah mau update ini dari kemarin malam tapi sinyalnya lagi ngambek parah. so, terpaksa ditunda deh.
selamat membaca semua
Salam Nara!
Di update
summon @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @muffle @3ll0 @balaka
Wkwkwkwwk... belajar yg pinter ya!
Jd penerus bangsa yg baik.
Maklum newbie kak hehehe