It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gue emang dari awal nih cerita bahas *latar* dibogor semua bang. hahahah.... adaptasi dikit lhaa dari real
salam kenal dek irfan
wah nggak baca chapt 3 nih. gue di chap 3 ngegunain pov3 versi fauzan lho dipertengahan. Fauzan juga straight *abal2* na'asnya fauzan yg suka duluan ke rayan. itu aja bedanya
Tp kan pasti ujung2 sad ending.
Secara indo gitu :V
hahaha siapin diri sebelom pisah. itu gak sad. kalo ditinggal pas lagi cinta2 a itu baru sad
iya nih bang, gue udah baca ampe 2x masih aja ada typo. walaaahh biarin deh, hahahaha *putusasa*
sad nggak selaku metong lho. tapi nggak menutup kemungkinan jga si hahah
sad nggak selaku metong lho. tapi nggak menutup kemungkinan jga si hahah
Denial
Bel istirahat berdering, Rayan berhasil menyelesaikan soal ulangan Matematika nya. Rayan memejamkan matanya sebentar, menarik nafasnya dalam-dalam berharap rasa penat sehabis memecahkan angka-angka dewa di selembar kertas ulangannya tadi tidak membuat moodnya memburuk.
“Lo bengong mulu Ray belakangan ini” suara Syifa terdengar di telinga Rayan, suara yang dulu selalu Rayan ingin dengar.
“Hah? Iya nih lagi mikirin utang panci nyokap gue,” celetuk Rayan asal.
“Nyebelin banget sih” protes Syifa.
“SAKIT” teriak Rayan tertahan.
Rayan mengusap-usap kepala belakangnya yang tadi dijenggut oleh Syifa, rasa nyeri semakin membuat kepala Rayan serasa berat dan seluruh semangatnya untuk mengikuti ulangan sehabis istirahat nanti serasa runtuh seketika, yang Rayan inginkan sekarang ini hanyalah merebahkan diri di tempat yang nyaman lalu terpejam.
“Abisnya! Lo bisa nggak sih serius!” protes Syifa lagi, Rayan sedikit heran kenapa Syifa bisa duduk di sebelahnya padahal Widi—anak berkacamata—adik kelas Rayan yang duduk sebangku dengannya saat Midsmester ini tadi masih duduk di sebelah kanan bangku Rayan, kalaupun Widi pergi, Rayan pastilah harus berdiri supaya Widi bisa keluar dari meja mereka dengan mudah, tapi?
“SAKIT!!!” teriak Rayan tertahan lagi sambil menepis jemari Syifa di pipinya.
“Tuh, padahal gue lagi ngajak lo ngobrol, lo malah bengong!” runtuk Syifa.
Rayan mengusap-usap pipinya, tanpa sadar Rayan menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Entah kenapa Rayan merasakan hal yang biasa saja, tidak ada lagi rasa yang meledak-ledak tiap cewek imut di samping Rayan sekarang ini menghampirinya, tidak ada lagi pemikiran Rayan yang selalu ngoyo membuat Syifa tertawa tiap cewek berbibir mungil ini berada di sisinya. Yang Rayan rasa sekarang hanyalah ia sedikit kesal kepada Syifa yang sedang mengrecokinya.
“Gue perhatiin, akhir-akhir ini lo selalu ngelamun tiap ada kesempatan Ray, kenapa sih?” tanya Syifa lagi yang belum terpuaskan rasa penasarannya.
“Kesempatan apaan? Tindak kejahatan kali ah, dilakuin tiap ada kesempatan” balas Rayan sangat asal. Matanya menatap kosong punggung bangku di depan meja Rayan, fikiran Rayan tidak sedang berada di tempat, Rayan sedang memikirklan beberapa hal yang Rayan sendiri tidak mengetahui hal apa yang sedang ia fikirkan, yang ia tahu ialah, ia merasa sangat salah, sangat bodoh dan sangat membenci dirinya sendiri.
“Aduh!” keluh Rayan lagi ketika daun telinganya ditarik Syifa.
“Bisa nggak sih nggak kejam jadi cewek!” umpat Rayan tidak benar-benar sebal.
Rayan membereskan benda-benda miliknya dari atas meja ke dalam tasnya dengan cara asal, walau banyak hal yang berkecamuk di dalam benaknya, rasa resah itu masih kalah dominan dengan derita di perut Rayan yang belum diisinya dari kemarin malam.
“Abisnya, gue perhatiin lo kayak orang sakit, atau lo lagi jatuh cinta? Atau, hmmm... lo! Astaga, Ray lo bukan pemakai—kan?” kata-kata terakhir dari kalimat Syifa barusan diperkecil di bagian pemakai nya, takut-takut orang yang mendengar ucapan Syifa salah paham.
Rayan mendesah panjang, reflek ia memegang wajah Syifa dengan ke dua tangannya, menatap mata Syifa lekat-lekat, ada getaran yang kembali menguat, sangat wajar, karena bagaimanapun Syifa adalah cewek yang pernah Rayan sukai. Namun cepat-cepat Rayan menguasai dirinya sendiri, menjaga hantinya agar tidak jatuh lagi oleh pesona Syifa.
“Gue nggak keliatan sebagai pemakaikan? Gue Cuma mumet abis ngerjain angka-angka begituan, ngebul tau nggak!” jelas Rayan. Buru-buru Rayan berdiri dan pergi dari tempat duduknya, takut-takut kejadian tadi membuat hatinya terbawa suasana dan kembali jatuh hati kepada Syifa.
“Lo mau ke kantin bareng gue nggak?” ajak Rayan.
Kini Syifa yang tersentak atas pertanyaan Rayan, Syifa hanya mengangguk seperti orang bodoh, wajahnya bersemu merah entah kenapa, padahal Rayan tidak sedang menebak warna Tank-top yang dipakai Syifa.
“Syifa! Rayan” panggil Angel dengan nada amat ceria, Fauzan berdiri di samping Angel dengan wajah datar. Rambut Spike Fauzan yang sudah agak panjang itu terjuntai dan ikal-ikal rambutnya sedikit bergoyang akibat tertiup angin, dan entah kenapa Rayan amat gembira melihat Fauzan sekarang ini, serasa adanya Fauzan membuat moodnya kembali baik dan amat bersemangat.
Fauzan membasahi bibirnya dengan amat kaku ketika Angel menariknya untuk menghampiri Rayan dan Syifa. Sejenak Rayan tersadar, ia langsung menoleh ke arah Syifa yang wajahnya sedikit memerah. Bangke nih si Angel, bener-bener nih kudu dikerjain. Batin Rayan murka.
“Makan bareng yuk, ibaratkan aja kita lagi double date or lunch with patners,” kata Angel dengan nada penuh dengan hinaan, karena Angel mengetahui tentang Syifa dan Rayan, tentang perasaan mereka.
“Ayo” ucap Syifa bersemangat, walau ada sedikit nada getir yang bisa ditangkap dari seruannya tadi. Syifa menggenggam tangan Rayan erat, membuat Rayan tersentak heran, karena Syifa bertindak bodoh, meng-iyakan ajakan Angel ini adalah tindakan bodoh yang mampu melukai hati mereka, pikir Rayan masygul.
“Kalian kapan jadiannya?” tanya Angel setelah mencari meja kosong untuk mereka berempat.
Syifa menginjak kaki Rayan cepat-cepat, namun Rayan terlalu dungu untuk diajak bersekongkol. Rayan malah bereaksi seakan-akan habis tenggelam. “Gue mau nasi goreng tapi nggak pedes ya, minumnya es jeruk aja kayak biasa” pesan Rayan kepada si penjaga kantin muda yang membawa menu makanan.
“Gue juga nasi goreng deh, pedes pakek banget” pesan Rayan, alih-alih menghindar dari pertanyaan Angel, Rayan dan Syifa malah terjebak momen awkward, Fauzan pun tidak mampu menolong banyak saat ini, Fauzan lebih memilih diam ketimbang bereaksi.
“Kita nge-date bareng yuk kapan-kapan, kali aja pulang dari nge-date kalian bisa jadian” sindir Angel ketika mereka selesai menghabiskan makanan mereka.
“Nggak usah repot-repot Ngel buat jadi mak comblang gue sama Rayan, takut-takut kalo lo terlalu sibuk nyomblangin kita, Fauzan malah ilfil sama lo, dan gue nggak mau ngeliat Angel si putri sekolah, PATAHATI” ucap Syifa jelas dan sangat menusuk.
Angel langsung ingin bereaksi, “Kita udahankan makannya? Gue mau remedial nih, duluan ya!” ucap Fauzan dingin entah mengapa. Dan sesaat kemudian Rayan menyadari bahwa yang tadi Fauzan ungkapkan hanya alasan, karena selama ini yang Rayan tahu Fauzan tidak pernah mendapatkan nilai jeblok di tiap ulangan dan pelajarannya, jadi Rayan menyimpulkan bahwa Fauzan hanya menghindari pertengkaran dingin antara Angel, Rayan, Syifa dan yang mungkin akan melibatkan Fauzan.
Kini hanya tersisa tiga pasang mata yang saling berperang pandang, “Kalian mendingan jauhin cowok gue deh, kalian bad influance, ngertilah” kata Angel sambil berdiri dan membenarkan tatanan rambutnya.
Rayan dan Syifa hanya terkekeh pelan, tindakan yang sangat bijak dilakukan di saat seperti ini.
Makin-makin nih si Angel, bangke. Umpat Rayan dalam hati.
Langkah Rayan terhenti ketika melihat Helmi dan Adi sedang berciuman di dekat toilet yang bertahun-tahun tidak terpakai di belakang sekolah.
Entah mengapa Rayan merasa amat malu, dan ada rasa aneh dalam dirinya seperti seorang pencuri sedang melihat pencuri lain beraksi.
“Yan! Ah—shitt. Yan, please ya, jangan bocorin hal ini ke orang lain.” Mohon Adi yang langsung mendekati Rayan dengan dengan wajah merah padam dan ekspresi memelasnya, sedangkan Helmi hanya diam di tempat.
Rayan malah bingung sendiri, ia tidak tahu bagaimana harus bersikap dan berekspresi kali ini, “Kalian? Kok bisa?” tanya Rayan kikuk, Rayan menggaruk-garuk hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal.
Adi mulai menceritakan semuanya kepada Rayan, sedangkan Helmi hanya menambahkan sedikit kejelasan mengapa mereka seperti itu, dan kesimpulan yang Rayan dapat dari cerita mereka berdua adalah: Cinta milik siapa saja, cinta datang tanpa bisa ditolak, dan ketika cinta menguat norma-norma tidak lebih dari sekedar nasihat yang halal jika tidak digubris.
“Please, Yan, nasib gue sama Helmi ada di tangan lo kali ini” ratap Adi.
Rayan hanya menggelengkan kepalanya karena bingung sambil menggaruk hidungnya, lalu mantap mengangguk. “Thanks Ray, gue taro semua kepercayaan gue ke elo” kata Helmi sambil menarik Adi menjauh dari Rayan.
Seberapapun gue coba ngejelasin kenapa gue dan Helmi bisa begini, itu semua pasti akan percuma, lo nggak akan ngerti Yan, karena lo nggak ngerasain apa yang kita rasain. Kata-kata dari Adi terus terngiang di kepala Rayan, bukan karena Rayan tidak mengerti dengan apa yang Adi maksud, namun karena Rayan amat mengerti betul mereka seperti itu, walaupun Rayan belum pernah mencintai cowok, tapi Rayan mengerti apa yang Adi maksud.
“Gue numpang sama lo ya pulangnya Ray” suara Fauzan menariknya dari pemikiran yang belum Rayan temukan ujungnya.
“Lo nggak bareng sama bayi manja lo?” tanya Rayan heran.
“Gue alesan mobil gue masih di bengkel” sahut Fauzan ceria sambil membuka bungkus permen lalu melumatnya.
“Bisa aja lo nyepiknya” kekeh Rayan sambil mencomot permen yang Fauzan berikan.
“Ngausah punya titit kalo nggak bisa nyepikin cewek” ujar Fauzan bangga.
“Emang lo punya?” tanya Rayan usil.
“Punya dan bisa tegak tiap dipegang cewek, nggak kayak lo, hiih serem gue kalo inget kejadian di sungai waktu itu” ungkap Fauzan sambil belagak bergidik.
Rayan langsung membekap mulut Fauzan, takut-takut ada orang yang mengerti maksud pembicaraan mereka, pergulatan kecil tidak lagi bisa dihidari.
“Ray, lo cobain kacang Bali ini deh, enak banget tauk aromanya” tawar Fauzan saat Rayan mengisap rokok ke duanya.
“Enakkan?” kata Fauzan sambil terus mencekoki Rayan dengan cemilan yang ia bawa, tanpa sepengetahuan Rayan rokok yang sudah Rayan bakar dimatikan oleh Fauzan dan bungkus rokok milik Rayan sudah disembunyikan pula oleh Fauzan.
“Rokok gue mana Zan?” tanya Rayan setelah menyadari bungkus rokoknya lenyap.
“Eh, ajarin gue kunci-kunci gitar lagunya Start me up dari Rolling Stone dong Ray, gue belom bisa nih, padahal gue suka banget sama lagu itu.” Alih Fauzan.
“Rokok gue mana dulu! Kebiasaan banget sih lo ngumpetin rokok gue mulu, nyokap gue aja nggak ngelarang” ungkap Rayan sebal.
“Polusi, lo hargain gue dong yang nggak ngerokok” sahut Fauzan asal sambil terus bergerak menghindari tangan Rayan yang menjelajahi tubuhnya untuk mencari bungkus rokok yang Fauzan sembunyikan.
“Nggak usah temenan sama gue kalo nggak suka perokok” timpal Rayan keji.
“Tapi aku udah cinta sama kamuh, aku nggak bisa jauh-jauh dari kamuh” canda Fauzan yang masih kekeuh untuk tidak mengembalikan bungkus rokok Rayan.
“Najis,”
“Gimana kalo kita main Karambol? Yang kalah boleh nurutin permintaan yang menang” usul Fauzan.
“Ayok, kayak pernah menang aja lo main Karambol lawan gue” remeh Rayan, dalam hati Fauzan bersorak-sorak karena lagi-lagi Fauzan berhasil membuat Rayan lupa dengan rokoknya.
Mereka mulai bermain Karambol.
“Gue bilang juga apa, cupu mah cupu aja, siniin rokok gue!” Rayan langsung merampas bungkus rokok berserta koreknya dari tangan Fauzan, sesuai perjanjian Fauzan harus memberikan rokok milik Rayan jika ia kalah.
“Bentar deh Ray,” Fauzan meratakan terigu yang tercoreng di wajah Rayan, karena setiap Fauzan memasukan cakram Karambol Fauzan selalu jahil memeperkan terigu yang dijadikan media pelicin papan ke wajah Rayan.
Rayan hanya diam ketika tangan Fauzan menyentuh kulit wajahnya, sesaat Rayan kesulitan bernafas saat kulit tangan Fauzan dan wajahnya bergesekan, ada yang berdesir di dalam diri Rayan. “Nah, kalo gini kan lo mirip Hanoman” kekeh Fauzan sambil mengamati wajah Rayan yang sangat putih karena terigu.
“Nggak ada Hanoman seganteng gue” alih-alih menghilangkan rasa gugup, kaki Rayan malah membentur papan Karambol membuat Rayan semakin gugup lagi dipandang aneh oleh Fauzan.
“Ya ada lah Ray, coba lo ngaca, pasti lo akan ngelihat Hanoman live untuk pertama kalinya, ha ha” kekeh Fauzan geli.
Fauzan terdiam kala Rayan memeperkan terigu yang telah Rayan raup dari papan Karambol di hadapan mereka. “Lo sekarang mirip Ajis gagap dibedakin, ha ha, suer mirip banget” Rayan tertawa geli melihat ekspresi aneh dari wajah Fauzan.
“Sialan lo” Fauzan langsung menerjang Rayan hingga tubuh mereka terjatuh ke kasur Rayan bersamaan, siang itu mereka habiskan dengan bercanda sepuas hati di atas tempat tidur Rayan, tatanan kamar Rayan pun seketika terlihat seperti bangkai kapal Titanic.
Fauzan mengatur nafasnya, kepalanya naik-turun seiring dada Rayan yang kembang-kempis. Posisi Fauzan sekarang ini sedang membaringkan kepalanya di dada Rayan, mereka sama-sama slash pura-pura cuek dengan posisi mereka sekarang, seperti posisi mereka sekarang itu normal diperagakan oleh sesama cowok. Tangan Rayan pun masih tersimpan di atas dada Fauzan, mereka masih saling diam dengan posisi seperti itu, memburu oksigen sebanyak-banyaknya lebih penting ketimbang harus merubah posisi mereka, karena sedaritadi mereka bercanda tanpa berhenti.
Entah apa yang Rayan rasakan, Rayan merasa amat penuh sekarang ini, ia diselimuti rasa bahagia, rasa tenang dan Rayan merasa semua akan baik-baik saja. Semua pemikiran yang mengganggunya akhir-akhir ini hilang entah ke mana, apa karena ada Fauzan di sisinya atau karena apa, pun Rayan tidak tahu. Yang Rayan rasakan saat ini hanyalah hidupnya akan selalu baik-baik saja ketika Fauzan di sisinya.
Fauzan memejamkan matanya, membiarkan angin di musim kemarau menerpa tubuh mereka, ada ketenangan luar biasa yang Fauzan rasakan, setidaknya dipeluk orang yang ia sayang membuat hatinya tenang, membuat banyak dendam bisa diredam untuk sementara. Tangan Rayan yang berada di dada Fauzan dengan posisi mereka yang seperti sekarang ini bisa dikatakan bahwa secara tidak langsung Rayan sedang memeluk Fauzan dengan satu tangan.
Mereka berdua memejamkan mata, membiarkan rasa kantuk yang melelahkan menarik mereka ke alam mimpi.
Rayan mengaruk-garuk hidungnya, nilai ulangan Midsmester telah ia kantongi, walaupun Rayan bukan tergolong anak-anak cerdas di sekolah mereka namun nilai ulangan Rayan belum pernah sejeblok sekarang ini.
“Zan, gue harus remedial tiga mata pelajaran nih, sial banget gue Midsmester sekarang” keluh Rayan ketika mereka berjalan ke arah kantin.
“Makanya lo jangan kebanyakan bengong Ray, konsentrasi lo jadi berkurang tuh” jawab Fauzan sembari memainkan ponselnya yang Rayan yakini Fauzan sedang berchat ria dengan Angel.
“Gue kan bengong juga gara-gara mikirin lo”
Rayan merasa sesuatu yang dingin menyelimuti dirinya, hatinya mencelos seketika setelah mendapati apa yang ia ungkapkan tadi kepada Fauzan, Rayan berani bersumpah bahwa apa yang ia katakan tadi tidak ia sengaja, kata-kata tadi muluncur begitu saja dari mulutnya.
“Maksud lo Ray?” tanya Fauzan bingung.
“Iya, lo bad influance tau nggak, bergaul sama lo makin lama makin buat gue bego” jawab Rayan cepat-cepat agar Fauzan tidak menyalah artikan apa yang ia katakan tadi, Rayan sangat takut jika Fauzan menganggapnya penyuka sesama dan Fauzan tidak lagi mau berteman dengannya.
“Ray, Zan, gabung sini aja” panggil Helmi dari meja dekat tiang besar di tengah kantin.
Fauzan langsung menarik kerah seragam Rayan, menyeretnya bergabung bersama Helmi karena Rayan hanya diam saja. Adi datang membawakan makanan untuknya sendiri dan Helmi. Ketika Adi tersenyum memandang Rayan dan Fauzan secara bergantian, rasa malu menguasai Rayan seakan-akan ia tertangkap basah oleh Adi sedang berkencan dengan Fauzan, walau pada kenyataannya mereka hanya sedang ingin istirahat berdua dan bertemu dengan Helmi dan Adi yang munurut Rayan Gay. Rayan merasakan momen awkward yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.
“Kunyuk! Lo mau pesen apaan?” pertanyaan Fauzan mengagetkan Rayan.
“Apa aja dah, nggak terlalu laper sih gue” Rayan buru-buru mengeluarkan ponselnya, walau ia hanya mengutak-atiknya saja, alih-alih untuk menghilangkan rasa malu yang Rayan rasakan sendirian.
“Eh Ray, Zan, gue lupa banget nih ngasih tahu kalian.” Adi membuka pembicaraan, Rayan seperti sangat enggan menatap mata temannya seperti takut Adi mendapati sesuatu dalam diri Rayan.
“Kalian dateng ya ke ulang tahun gue, malem minggu ini, terserah kalian mau bawa pasangan apa nggak, soalnya gue ngundang orang-orang terdekat aja, nggak semua murid di kelas kita gue undang, Syifa pun nggak gue undang, cuman gue traktir di sekolah aja, gue masih takut si kalian bakalan adu jotos di acara ulang tahun gue nanti” kekeh Adi di akhir.
“Sialan lo” umpat Fauzan geli. Rayan langsung membayangkan saat-saat bodoh ketika ia bertengkar dengan Fauzan. Kalau diingat-ingat lagi, itu sangat menggelikan ketimbang sebut memalukan.
“Lo mau ngajak bayi manja lo nggak Zan?” tanya Rayan sambil menyeruput air minumnya.
“Nggak ah, anggap aja pestanya si Adi ntar cuman buat cowok doang” jawab Fauzan.
“Gay parti gituh?” ucap Rayan asal. Seketika Rayan langsung menyesali ucapannya, karena Adi langsung salah tingkah, tidak seperti Helmi yang cuek saja.
“Dasar maho, mikirnya gitu mulu!” serobot Fauzan.
“Eh—udah lo makan buruan, komentar aja lo ah” timpal Rayan yang sekarang kikuk, Rayan hanya tersenyum penuh rasa malu kepada Adi, Adi hanya mengangguk memaklumi.
“Ayok Ray, kita ditunggu di club Futsal nih” setelah makan Helmi mengingatkan Rayan.
“Gembel, gue kelapangan Futsal dulu ya. Di gue cabut dulu ya” kata Rayan kepada Fauzan dan Adi, lalu melangkah bersamaan bersama Helmi.
“Lo lagi ada masalah apaan sih Ray,?” tanya Helmi ketika mereka sudah dekat dengan lapangan.
Rayan langsung berpikir, apa ada yang salah dengan dirinya? Mengapa para teman-temannya menyangka Rayan sedang mengalami sebuah masalah? Karena Rayan sendiri tidak tahu masalah apa yang sedang ia hadapi.
“Nggak ada ah” jawab Rayan cepat setelah mencari jawaban dari pertanyaan Helmi.
“Lo nggak lagi Denialkan?” tanya Helmi takut-takut.
“Denial?”
Rayan melihat Helmi yang langsung salah tingkah, “Gue bukan prejudis ya Ray, lo jangan marah dulu” kata Helmi ambigu.
“Apaan sih?” tanya Rayan tidak sabaran.
“Denial. Denial yang gue tau itu adalah sebuah istilah psikologi yang ditujukan kepada seseorang dalam konteks ini gue tujuin ke elo Ray, denial itu sebuah penyangkalan terhadap fakta-fakta yang sebenarnya terjadi yang jelas lo ketahui tapi nggak kepengen lo lakuin, dan mati-matian lo sangkal karena menurut lo itu ‘fakta’ tersebut salah. Fakta yang gue maksud itu adalah keberadaan Fauzan dan posisi Fauzan di hati lo” Helmi mulai berani menatap mata Rayan yang tidak menggambarkan apapun, Rayan seperti menyadari sesuatu yang Helmi sedang katakan.
“Lo jatuh hati ke Fauzan juga kan Ray?” tembak Helmi.
Rayan masih diam, hatinya bergejolak, rasa bingung, dan marah begitu mendominasi.
“Dan gue lihat Fauzan juga suka sama lo Ray”
Mendengar pernyataan Helmi tentang gosip Fauzan juga menyukai Rayan membuat hati Rayan begitu bahagia, Fauzan seperti penawar saat hati Rayan bergejolak terkena racun cinta.
“Terkadang, kita harus nampar seseorang agar orang tersebut tahu kebenaran yang harusnya dia sadari dari dulu” kata-kata Helmi amat menusuk.
“Gue bukan homo kayak lo Hel, jangan pernah ajak-ajak gue ke dunia lo itu, gue normal, se-normal-normalnya cowok normal!” teguh Rayan.
Helmi hanya tersenyum tulus, “Ray, percaya nggak percaya, gue pernah ngalamin masa-masa sekarang lo ini.” Helmi menatap mata Rayan marah dengan amat yakinnya.
“Waktu dan Fauzan yang akan ngebuat lo sadar, apa yang seharusnya lo kejar dari dulu, Ray, kebahagian itu urusan hati, dan pondasi hati itu bukan norma-norma yang berlaku, jadi jangan takut patah hati cuman karena cinta lo nggak sesuai norma yang berlaku di dunia ini, Ray, peka sedikit aja sama Fauzan, maka lo akan ngerti apa maksud dari omongan gue yang panjang ini” Helmi menepuk-nepuk bahu Rayan lalu meninggalkan Rayan di tengah lapangan dengan renungannya sendirian.
“Gue normal, se-normal-normalnya cowok normal, gue straight!” teguh Rayan yakin sekali lagi, saat Rayan melangkah menyusul Helmi, sesuatu dalam dirinya menertawai gagasan Rayan tadi, seolah-olah tertawa karena muak dengan sangkalan Rayan terhadap fakta yang selama ini ia rasakan.