Mereka licin seperti belut. Keberadaannya sulit dilacak.
Follow
@vivanews
VIVAnews - Buronan kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT), Anggoro Widjojo, akhirnya berhasil ditangkap, 27 Januari 2014.
Kakak kandung terpidana Anggodo Widjojo ini, melarikan diri sejak Juli 2009. Tak lama setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak saat itu, KPK terus melakukan pelacakan terhadap Anggoro.
Anggoro sempat terlacak ada di Singapura. Tapi setelah itu, dia tak diketahui berada di mana. Setelah lama mencari, akhirnya jejak pria yang memiliki nama asli Ang Tju Hong ini dipastikan berada di daerah Zhenzhen, China.
Tak mau menyia-nyiakan waktu, KPK yang sudah berkoordinasi dengan Konsulat Jenderal Indonesia di China dan Kepolisian Zhenzhen, langsung menangkap Anggoro. [Baca Saat Ditangkap di China, Anggoro Lagi Jalan Sendirian]
Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga berhasil memulangkan buronan kasus aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kabur ke Australia, Adrian Kiki Ariawan (69 tahun).
Adrian Kiki adalah Presiden Direktur PT Bank Surya yang menjadi buronan sejak 2002. Pada 13 November 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis hukuman penjara seumur hidup karena terbukti melakukan korupsi dan merugikan negara Rp1,5 triliun. Saat itu, pengadilan membacakan vonis tanpa kehadiran Adrian.
Adrian kemudian ditangkap Kepolisian Perth pada Jumat 28 November 2008, setelah enam tahun berstatus daftar pencarian orang alias buron. [Baca Buron BLBI Tiba di RI, Ini Kronologi Ekstradisi Adrian dari Australia]
Penangkapan Anggoro dan Adrian Kiki adalah prestasi lembaga penegak hukum dalam memburu pelaku korupsi. Namun, masih banyak 'pengeruk' uang negara yang masih berkeliaran di negara lain. Mereka tentu harus dihadapkan di meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Berikut 'pengeruk' uang negara yang masih buron:
Eddy Tanzil
Siapa tak kenal manusia satu ini. Dia adalah terpidana pembobol Bank Bapindo dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai US$565 juta atau sekitar Rp1,3 triliun pada 1993 lalu.
Eddy Tanzil melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta Timur pada 4 Mei 1996. Dia dihukum 20 tahun penjara, denda Rp30 juta dan harus membayar uang pengganti Rp1,3 triliun.
Dia terbukti telah melakukan penggelapan uang sebesar US$565 juta yang didapat dari kredit Bank Bapindo melalui perusahaan Golden Key Group.
Dia buronan kelas kakap. Sampai saat ini, pria yang memiliki nama lain Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan ini, belum berhasil dibawa ke Tanah Air. Dia licin seperti belut.
Terakhir, dia diketahui berada di China. Polri dan Kejaksaan Agung pun coba melobi pemerintah China agar mengekstradisi Eddy Tanzil dari Negeri Tirai Bambu itu. [Baca: Kejagung Proses Ekstradisi Eddy Tanzil dari China]
Aset buronan satu ini masih diburu, belum bisa didapatkan negara. Wakil Jaksa Agung, Andhi Nirwanto, selaku Ketua Tim Pemburu Terpidana dan Tersangka Kasus Korupsi di Luar Negeri, mengaku belum dapat melacak semua aset milik buronan kelas kakap tersebut.
Sebab, mereka baru membentuk Pusat Pemulihan Aset untuk memburu aset-aset milik negara yang dirampok. "Nanti akan dibentuk PPA untuk melacak. Setelah ditemukan (aset), langsung dieksekusi," kata Andhi, Jumat 27 Desember 2013.
Buronan BLBI Lainnya
Penangkapan Adrian Kiki dan Sherny Kojongian, bukan klimaks dari perburuan pengemplang dana BLBI yang merugikan negara triliunan rupiah. Masih ada 23 buronan korupsi yang melenggang bebas di negara lain.
Bambang Soetrisno, terpidana seumur hidup kasus korupsi BLBI Rp1,5 triliun belum berhasil ditangkap. Bambang diduga berada di Singapura.
Bersama Adrian Kiki, Bambang dinyatakan terbukti bersalah dan memperkaya diri sendiri oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 13 November 2002.
Samadikun Hartono, pengemplang dana BLBI Rp2,6 triliun juga masih buron. Samadikun divonis empat tahun penjara namun melarikan diri ke luar negeri.
David Nusa Wijaya, pengemplang dana BLBI untuk Bank Surya sebesar Rp1,9 triliun, juga masih buron. Buron lainnya, Agus Anwar, melarikan dana BLBI sebesar Rp1,9 triliun.
Eko Edi Putranto yang merupakan terpidana 20 tahun kasus BLBI Bank Harapan Sentosa, masih buron. Ia diduga bersembunyi di Singapura dan Australia.
Buronan lainnya yakni Sudjiono Timan (Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Lesmana Basuki (Presiden Direktur PT SBU), Eddy Djunaedi, Ade Utoyo, Toni Suherman, Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani.
Djoko Tjandra
Pria kelahiran Sanggau, 27 Agustus 1950 ini jadi buron Kejaksaan Agung dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar.
Djoko Tjandra dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan kewajiban membayar denda Rp30 juta. Uang milik PT EGP sebesar Rp546 miliar yang berada di akun Bank Permata (dulu Bank Bali) juga diperintahkan untuk dikembalikan kepada negara.
Namun, pada 28 Agustus 2000, majelis hakim memutuskan Djoko Tjandra lepas dari segala tuntutan. Jaksa penuntut umum Antasari Azhar mengajukan kasasi pada 21 September 2000.
Tanggal 26 Juni 2001, melalui voting, Majelis Hakim Agung MA melepas Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Mekanisme voting diambil karena ada perbedaan pendapat antarhakim.
Lima tahun kemudian, Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus cessie Bank Bali. Djoko Tjandra pun kembali diajukan sebagai terdakwa ke MA.
Sembilan bulan kemudian, 11 Juni 2009, MA memutuskan menerima PK yang diajukan jaksa. Djoko harus menghadapi hukuman 2 tahun penjara, dan membayar denda Rp15 juta. Uang Djoko Rp546 miliar di Bank Permata pun disita negara.
Namun, satu hari sebelum putusan PK pertama keluar atau pada 10 Juni 2009, Djoko Tjandra berangkat ke Papua Nugini, dan sejak itu keberadaannya masih misterius. Pihak berwenang RI pun belum berhasil menangkapnya, sampai saat ini.
Jaksa Agung Basrief Arief, Senin 20 Mei 2013, menyatakan tim terpadu mendapat laporan tentang keberadaan Djoko Tjandra.
"Info dari sana, dia ada di Singapura. Itu lagi ditelusuri di sana," ujar Basrief di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta. (one)
© VIVA.co.id
Comments
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengaku heran atas pernyataan Akil Mochtar yang mengatakan bahwa di dalam gugatan pilgub Jatim, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Surjadi Sumawiredja adalah pemenangnya. Akil menyebut bahwa di dalam panel yang dia pimpin, Khofifah unggul 2:1.
"Saya heran, seperti menganggap keputusan dibuat bertiga. Kan keputusan itu harus di pleno dan minimal tujuh orang yang hadir. Sama seperti sidang terbuka kalau tidak mencukupi tidak sah," kata Jimly, di kediaman BJ Habibie, Jakarta, Jumat 31 Januari 2014.
Menurut Jimly, keputusan dalam suatu perkara diambil dalam sidang pleno, yang di dalamnya minimal hadir tujuh orang hakim, bukan di dalam panel. Kata dia, panel itu hanya alat memeriksa perkara suatu gugatan. Setelah melalui proses di dalam panel, maka akan dibawa ke dalam sidang pleno untuk diambil keputusan.
"Kalau dibilang 2:1 tidak ada artinya, kalau di pleno jika tidak setuju ya bisa batal, nanti ada perdebatan di dalamnya," ujarnya.
Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar membenarkan bahwa pemenang gugatan sengketa pemilihan Gubernur Jawa Timur adalah pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Surjadi Sumawiredja.
Hal itu diungkapkan Akil saat sidang lanjutan terdakwa Chairun Nisa diskors, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 30 Januari 2014. "Di panel putusannya 2:1. Artinya di panel itu kan dimenangkan oleh Ibu Khofifah," ujar Akil.
Namun, Akil mengaku tidak ikut memutus perkara tersebut. "Putusannnya saya sudah tidak ikut lagi. Nama saya sudah dikeluarkan. Plenonya yang menentukan, karena saya sudah tidak ikut di sana. Selanjutnya yang menang Pak Sukarwo," katanya.