It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Hiruma Aku sudah move on dear. #Sepertinya.. :-\"
@TigerGirlz @rone Aaw #Pingsan *Ga jadi dilanjut ngetiknya :-P
@faisalrayhan mungkin kamu harus baca part yg side storynya Jerry biar tahu perasaan Jerry ke Rei. Klo Alfi.. no komen. #Bisikbisik *Udah banyak yg minta bungkus*
@Needu sabar sayang. hampir selesai diketik.
@kenan klo gitu kita sama..^^ Mau kecup lagi? nih..
@faisalits_ makasih ya buat kecenya.. ^^
@KhaW Noted. Endingnya masih gantung kok. blom aku putuskan..^^
Udah si alfi mah kirimin ke aku aja pake DHL dijamin dia senang disini wkwk dapet kesenangan lahir dan batih dehh )
tp menurutku penulisini g bakal buat rei-chan "sendirian"
semoga saja
Langsung aja ya..
Happy Reading guys..^^
@octavfelix
@bayumukti
@tarry
@angelsndemons
@alvaredza
@TigerGirlz
@Zazu_faghag
@arifinselalusial
@FransLeonardy_FL
@haha5
@fadjar
@zeva_21
@YogaDwiAnggara2
@inlove
@raka rahadian
@Chy_Mon
@Cruiser79
@san1204
@dafaZartin
@kimsyhenjuren
@3ll0
@ularuskasurius
@Zhar12
@jujunaidi
@edogawa_lupin
@rickyAza
@rebelicious
@rizky_27
@greenbubles
@alfa_centaury
@root92
@arya404
@4ndh0
@boybrownis
@jony94
@Sho_Lee
@ddonid
@catalysto1
@Dhika_smg
@SanChan
@Willthonny
@khieveihk
@Agova
@Tsu_no_YanYan
@elsa
@awangaytop
@Lonely_Guy
@ardi_cukup
@Hiruma
@m1er
@maret elan
@Shishunki
@Monic
@cee_gee
@kimo_chie
@RegieAllvano
@faisalits_
@Wook15
@bumbellbee
@abay_35
@jacksmile
@rezadrians
@topeng_kaca
@wahyu_DIE
@Just_PJ
@nand4s1m4
@danar23
@babayz
@pujakusuma_rudi
@PrinceArga
@D_Phoenix
@nand4s1m4
@tahrone
@alamahuy
@eswetod
@aw_90
@Akbar Syailendra
@diditwahyudicom1
@PahlawanBertopeng
@ryanadsyah
@Mr_Makassar
@ipinajah
@CL34R_M3NTHOL
@kenan
@soroi
@pangeran_awan
@Richi
@obay
@BieMax
@whysoasian
@wirapratama95
@DItyadrew2
@ardilonely
@ardavaa
@Needu
@ananda1
@ilhams_Xman18
@kenzo_ak
@uci
@AghaChan
@Cocco
@YhaniJung
@faisalrayhan
@lulu_75
Alfi datang lagi.
Maaf nih posting mulai telat dari yang diniatkan.
Sempat ada kendala ini itu.
Laptop ga ada, ngetik di hp males.
Jadi ya.. terpaksa ditunda sampai laptop ditangan.
Tanpa berlama-lama, mari kita sambut update-an kali ini..
Bantu saya ya.. jadi apa.. prok prok prookk.. *Halah *Plak
Kecup mesra pake basah untuk semua Readers tercinta.
Happy Reading guys..^^
********************************************
ADAGIO SOSTENUTO AND PRESTO AGITATO
ALFI POV
Sejauh apa kalian bisa menahan perih yang menghujam jantung, merobek hati dan menghantam pikiran?
Kenyataan yang menghantam pikiran sudah pernah kurasakan. Hal yang merobek hati tiada terperi telah aku saksikan. Dan kejadian yang merobek jantung telah aku alami. Merenggut senyum dalam diri..
Bodoh.. bodoh.. Rei benar-benar bodoh. Kenapa dia selalu begitu? Kenapa dia selalu mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri? Menyembunyikan cedera dari kami semua, dari aku? Rei bodoh.
Aku... lebih bodoh dari Rei. Predikat jeniusku tiada guna. Kenapa aku tidak bisa membaca aksi-wajah milik Rei? Aku tahu ada yang salah waktu Rei bilang baik-baik saja. Aku pikir dia hanya gugup karena pertandingan kali ini memang berat. Ternyata bukan itu. Harusnya aku tahu, ketika rahangnya mengeras dan kelopak matanya berkedip, juga ketika dia memasang tameng senyumnya itu. Sial. Aku tertipu. Aku bodoh.
Aku marah. Aku kesal. Melihat kakinya yang dibebat perban membuat aku ingin memukul seseorang. Pertandingan basket konyol ini yang membuat cederanya kian parah. Bodoh. Kalau begitu, akan segera kuakhiri pertandingan ini. Akan kumenangkan pertandingan dimana Rei mempertaruhkan dirinya ini. Sial. Dasar Rei bodoh.
Konsentrasi. Aku ingat semua gerakan Jerry. Fokus, akan kubalikkan semua dua kali lipat kepada tim lawan. Aku melirik ke arah Rei yang merintih-rintih. Aargh.. Aku telah bertekad untuk melindunginya, tetapi kenapa aku bisa lengah..
Aku tidak menyalahkan Jessica. Aku bisa membaca raut wajah menyesalnya tulus. Hanya saja, kenapa harus menutupi ini dariku? Kalau aku tahu, Aargh.. Fokus. Pertandingan ini akan kumenangkan untuk Rei. Walaupun aku kesal dia berbohong padaku. Aku paham tindakannya itu. Dia terlalu baik, tak ingin semua panik. Bodoh, bodoh, bodoh.
Setelah pertandingan ini selesai, akan kusidang dia. Akan kuminta janji darinya untuk tidak berbohong lagi padaku. Akan kuteliti lebih dalam aksi wajahnya. Tunggu hukuman untukmu Rei, jangan harap bisa lolos karena sudah membohongiku.
Ada satu yang menggangguku. Sikap Robby dan Jerry terlalu aneh pada Rei. Terlebih Jerry. Facial actionnya terlalu jelas dan nyata. Itu, aku yakin benar kalau itu.. ekspresi cinta. Jerry jatuh cinta pada Rei? Bagaimana bisa? Tapi aku tidak mungkin salah.
Ujung-ujung bibirnya menyatakan itu ketika berbicara dengan Rei. Ujung bibirnya selalu tertarik ke samping selama sepersekian detik. Tatapan matanya, dengan kelopak yang sedikit menurun penuh rasa. Otot orbitularis orisnya tiada beda. Jerry jatuh cinta pada Rei. Aku gelisah. Sangat gelisah. Apa artinya?
Ketika saat itu datang. Hatiku mencelos. Aku tidak ingin Jerry menyatakan perasaan pada Rei. Kenapa? Aku harap keajaiban datang, sehingga niat Jerry tidak terlaksana. Hatiku gelisah. Lalu, aku lirik Rei. Wajahnya payah. Dia, astaga. Dia menahan sakit. Seluruh otot wajahnya mengernyit. Mudah-mudahan Jerry melihat ekspresi Rei. Dan membiarkannya istirahat. Rei.. jangan membuatku khawatir.
Benar saja. Wajah Rei sangat pucat. Tubuhnya terayun ke depan. Dengan gerakan kilat aku telah sampai didekat Rei.
BRRUUKK..
“Rei..” Aku berhasil menangkap tubuh Rei tepat waktu.
“Fi? Maaf..” Setelah kata itu dia pingsan.
*
Tiinngg Tiiinngg Tiiinngg
Melodi Lamentation (ratapan) mengalun dari tuts piano yang kumainkan. Pergerakan melodi pianissimo yang sangat lembut seperti orang yang meratap. Hampir sama dengan Beethoven yang menciptakan sonata ini. Sonata No.14 in C-sharp minor “Quasi una Fantasia”, opus 27 atau lebih dikenal dengan moonlight sonata.
Tiiiinngg
Bagian yang sedang kumainkan adalah first movement, adagio sostenuto. First movement ini dibuka dengan octave not dibagian tangan kiri melawan triplet ditangan kanan. Bagian pertama sonata ini begitu sentimental. Seolah menceritakan tekanan, kesusahan dan resah hati Beethoven yang dialaminya semasa muda. Juga kerapuhan dan kesedihan tidak bisa mendapatkan Giuletta, murid yang dicintainya. Seakan itu belum cukup, denting demi denting penuh resah, seresah Beethoven dengan tuli yang mulai menggerogoti telinganya ketika sonata ini diciptakan.
Aku tengok Rei yang duduk tidak jauh dari tempatku bermain piano. Wajahnya bersinar. Setiap denting tuts yang kutekan membuat Rei senang. Dia benar-benar cinta dengan piano. Jika mengingat pertandingan beberapa hari lalu, betapa aku ingin memarahinya yang berani membohongiku. Semua sirna ketika dia ucapkan kata ‘maaf’nya yang lirih itu sebelum dia hilang kesadaran.
Aku sudah menyadarinya ketika aku melihat wajah Rei yang pucat dan ekspresi menahan sakitnya itu. Aku sudah bersiap untuk saat itu. Ketika benar Rei tidak kuat bertahan dengan cidera dan lelah yang menggerogoti tubuh, aku sigap. Sebelum Rei pingsan jatuh menyentuh lantai, secepat kilat aku sudah berada dibelakang tubuhnya. Hatiku nyeri ketika kudengar kata ‘maaf’ itu. Segala amarah hilang seketika. Menguap entah kemana.
Bodoh. Masih sempat-sempatnya dia mengkhawatirkan apakah aku marah padanya. Aku memang marah. Tapi tidak benar-benar tentu saja. Aku hanya ingin menghukumnya yang telah berani membohongiku. Sial. Rei membuatku serba salah. Jika begini aku jadi tidak bisa ‘mengadilinya’ yang telah berbohong padaku.
Ketika Rei pingsan, Jessica dan Romi datang menghampiriku. Aku menitipkan Rei pada mereka. Jerry ikut panik dan ingin ikut bersama Rei. Ketika aku ingin menahannya, temannya si raksasa sudah menariknya terlebih dahulu. ‘Dipanggil pelatih’ yang terdengar olehku. Jerry pamit dan menyelamati kemenanganku. Aku bisa melihat wajah tak rela Jerry melihat kondisi Rei.
Dengan hati tak tenang aku mengikuti upacara penyerahan piala. Sementara pikiranku selalu tertuju pada Rei yang terbaring ditemani Jessica di ruang perawatan yang telah tersedia. Romi bilang kemungkinan Rei terlalu memaksakan tubuhnya. Dia berjanji akan memeriksa kondisi kaki Rei. tetap saja aku gelisah. Kenapa upacara penyerahan piala ini bertele-tele sekali?
Aku lirik Jerry yang juga terlihat tak tenang. Berkali-kali dia mengetukkan kaki kanannya ke lantai. Pertanda ada hal yang ingin dilakukannya lebih daripada sekedar menerima piala runner-up. Aku jadi teringat ketika dia berbicara berdua saja dengan Rei. Ekspresi wajahnya.. Argh, gelisah itu datang lagi.
Masing-masing tim sudah menerima piala. Global Internasional (sekolahku) juara pertama, Tunas Bangsa juara kedua, dan juara kejuaraan tahun lalu ditempat ketiga. Saat MPV kejuaraan tahun ini disebutkan, aku tidak kaget ketika Jerry meraih titel itu. Namun aku terkejut ketika namaku juga disebut sebagai MPV.
kembali pada permainan pianoku di ruang musik bersama Rei. Senang karena akhirnya terbebas dari latihan basket, Rei mengajakku kesini. Ke tempat kami pertama berinteraksi. Aku mengingat kembali. Tak menyangka saat itu jika Rei bisa membuatku begitu berwarna. Tembok-tembok tak kasat mata yang kuciptakan runtuh sedikit demi sedikit akan kehadirannya.
Tiiinngg Tiiiinng
Second movement dari moonlight sonata. Allegreto. Memiliki nuansa yang berbeda. Dengan sforzandos yang signifikan, membuat melodi ini terdengar lebih.. ceria. Ada pendapat yang menggambarkan melodi ini bagai bunga diantara dua jurang. Indah dan mematikan. Sedikit salah langkah semua nada akan lepas dari genggaman.
Bagian kedua ini mungkin menggambarkan perasaan cinta selama Beethoven menjadi guru dari Giuletta. Saat-saat bahagia tapi penuh kesadaran akan tabu yang siap mencerca. Karena guru tidak pantas menyukai murid sendiri.
Pertandingan kemarin itu. Aku menemukan hal yang sangat mengganggu. Aku tidak tahu kenapa begitu. Ketika aku membaca ekspresi Jerry, aku nyeri. Ketika melihat mulut Jerry siap berujar, aku berdoa dalam getar. ‘Jangan katakan’, itu yang terus aku ulang.
Aku tidak mempermasalahkan fakta akan identitas Jerry yang tidak sengaja terbaca. Aku hanya tidak ingin Rei yang menjadi targetnya. Siapapun boleh, asal jangan Rei. Karena.. karena.. Rei itu.. Haahh.. Fokus. Third movement ini yang paling krusial.
Ting Tiing Tiiinngg
Bagian terakhir dari sonata yang sangat luar biasa dari Beethoven ini.Presto Agitato. ‘Stormy final’ yang menjadi klimaks dari keseluruhan sonata. Beethoven menuliskan banyak Arpeggios yang harus dimainkan dengan cepat dan accent yang kuat. Untuk itu diperlukan skill dan ekspresi yang matang. Third movement ini benar-benar merupakan emosi yang tak terkendali. Kekacauan (Chaos). Suatu keganasan yang menakjubkan. Deg..
Ya Allah. Tidak Jangan memori ini. Kenapa memori ini datang lagi? Hentikan.. hentikan.. Aku tidak ingin mengingatnya. Rei.. tolong.. tolong aku.. Siapapun tolong.. tolong Aku..
Ingatan-ingatan itu terpanggil lagi. Yang paling buruk dari semuanya. Neraka dunia.
Seperti biasa. Rumah Tom selalu sepi. Sejak aku mengetahui fakta menyakitkan tentang Tom, om Gun memberhentikan pembantunya. Aku pun tidak kuasa untuk tidak pergi ke rumah Tom. Aku selalu was-was dengan keadaannya. Sudah makankah dia? Bagaimana jika om Gun menyakitinya lagi? Semua pertanyaan dan ingatan buruk tentang ruang bawah tanah itu bermunculan setiap aku langkahkan kaki ke rumah ini.
Kosong. Terlalu kosong ketika aku langkahkan kaki masuk. Aku sudah biasa begini. Aku segera menuju ke kamar Tom. Dengan pikiran ‘mudah-mudahan Tom baik-baik saja’ aku mantapkan langkah. Segera saja terdengar ada yang tak biasa. Rintihan. Sesenggukan dan getar suara tertahan yang mencicit ketakutan. Astaga. Tom.
Tapi. tidak ada mobil om Gun di depan tadi. Maling kah? Ya Allah. Semoga Tom tidak apa-apa. Langkah-langkah kupercepat. Dengan rasa takut dihati aku buka kamar Tom yang tidak tertutup rapat. Astaghfirullah..
Beberapa detik aku terpaku dengan kejadian yang terlihat di dalam kamar Tom.Laki-laki dengan uban-uban yang terlihat dirambutnya sedang menindih tubuh Tom. Tangan kanannya menekap mulut Tom. Sedang tangan kirinya memegang pinggang Tom. Seraya badannya, tepatnya pinggulnya berayun-ayun terarah ke.. ke.. Ya Allah.. Tolong katakan ini mimpi. Apa lagi yang sedang menimpa Tom?
“Lepasin..! Lepasin Tom atau saya teriak maling!!” akhirnya suaraku berhasil keluar dengan lantang.
Dua pasang mata segera saja menoleh kearahku. Laki-laki tua yang sedang menindih Tom, ayunan pinggulnya terhenti. Dan Tom.. iya Tom. Tatapan Tom seolah itu adalah akhir dunia.
“Lepasin Tom!!” teriakku lagi. Lebih menuntut. Paling tidak dia bukan om Gun. Keberanianku timbul. Waktunya melindungi sahabatku. Saat ini, aku harus bisa melindungi Tom.
“Kalau saya tidak mau. Bocah kayak kamu bisa apa?” jawab lelaki itu penuh pandangan meremehkan.
“Saya bakal teriak maling. Biar tetangga dateng mukulin om.” Gertakku.
“Silakan. Begitu kaki kamu sampai di pintu depan. Saya bunuh dia.” Tangan lelaki tua itu mencekik Tom.
Ya Allah. Wajah Tom memerah dan mulai keunguan. Nafasnya tertahan. Tom jelas sangat tersiksa. Lagi-lagi aku tak sanggup melindunginya. Aku tak berguna. Haruskah aku melihat Tom menderita lagi. Belum cukupkah semua rasa sakit yang diberikan ayahnya?
“Jangan! Tolong lepasin Tom. Kasian Tom..” Aku sedih. Air mata mulai menggenang dimataku. Menyakitkan. Sangat menyakitkan melihat sahabat kita menderita untuk kesekian kali dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuknya. Air mata mulai mengalir perlahan dipipiku. Kurasakan dan tidak kupedulikan itu.
Lelaki tua itu tersenyum penuh kemenangan. Dia tahu aku telah kalah dalam adu gertak. Lagipula dia benar. Jika aku lari dan berteriak, siapa yang bisa menjamin keselamatan Tom? Dia bisa saja membunuh Tom terlebih dahulu atau membawa Tom lari sebagai sandera.
Dengan anggukan kepala dan jari telunjuknya, lelaki tua itu menyuruhku mendekat kearahnya. Aku menurut. Aku bisa saja lari. Tapi Tom? Sanggupkah aku meninggalkannya di tangan lelaki tua busuk itu. Bahkan melihat senyum aku tahu dia jahat. Seperti tokoh antagonis dalam film kartun. Ada kilat mata yang aneh pada lelaki tua itu.
“Tutup pintu. Kamu tunggu giliran kamu. Saya mau lampiasin dendam saya sama anaknya si jalang Sonya ini.” Lelaki tua itu kenal tante Sonya? Dendam? Dendam apa? Karena dendam itukah Tom harus menderita seperti ini?
“Fiii..” Tom berkata lirih dan menatapku penuh harap. ‘Jangan tinggalkan’ mungkin maksud kata-katanya. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir, Tom terus menatapku. Aku pilu. Bisakah aku melawan lelaki tua itu?
Seolah bisa membaca pikiranku lelaki tua itu berkata, “Jangan bergerak! Berani bergerak, saya ga jamin teman kamu ini!” Lalu lelaki itu mengalihkan pandangannya kepada Tom.
“Kamu itu memang anaknya si jalang Sonya. Muka kamu sangat mirip Sonya kecil. Kulit kamu sama mulusnya. Yang beda cuma satu, ‘goa’ kamu lebih menggigit dari ibumu.” Aku mencoba mencerna kata-kata lelaki tua itu. Aku memang masih kecil, tapi sepertinya otakku memahami maksud dibalik kata-kata memuakkan lelaki tua busuk itu.
Tanganku mengepal. Kulihat lampu belajar di meja Tom. Niatku terbentuk, pikiranku bulat untuk membalas lelaki tua terkutuk. Kujangkau lampu belajar itu dalam hening. Dengan langkah-langkah tertata tanpa suara, aku mengendap dibelakang lelaki tua durjana yang mulai mengayunkan pinggulnya kembali. Tanganku terangkat siap memukulkan lampu belajar ini. Mata Tom membulat. Detik berikutnya..
Lampu belajar kuayunkan cepat. Sial, si lelaki tua melihat ekspresi Tom dan berbalik. Lampu belajar yang kulayangkan berhasil ditepis oleh tangannya yang cepat. Sial. Aku kurang cepat. Lelaki tua itu melepas tindihannya, Tom segera berguling. Duduk sambil memeluk lututnya. Dengan cepat meraih selimut menutupi tubuh telanjangnya.
Lelaki tua itu tak tinggal diam akan ulahku. Rambutku dijambaknya. Keras hingga terasa panas kulit kelapaku. Detik berikutnya aku dihempaskan dengan kasar hingga menabrak lemari baju milik Tom. Sakit. Nyeri menjalar disekujur tubuh. Paling tidak Tom terbebas sementara dari lelaki tua biadab ini.
“Dasar bocah sialan. Udah dibilang jangan bergerak, masih berani macam-macam. Cari mati kamu.” Dengan langkah lebar dia sudah disebelahku. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Matanya berkilat tajam penuh amarah tertuju padaku. Takut melandaku. Pikiranku tertuju pada Umi dan Abi di rumah. Tak hentiku aku mengucap, ‘Ya Allah.. Ya Allah.. Tolong..’
Tamparan keras pun mendarat di pipiku. Tangannya menjangkau mulutku. Jari-jarinya kencang mencengkram pipiku. Kuku-kukunya terasa sekali dipipiku. Berulang kali lelaki tua itu mencoba membuka mulutku. Berulang kali pula kutahan sekuat yang kubisa.
“Hmm.. Anak nakal harus dihukum.” Lelaki tua itu tertawa. Tawanya sedikit histeris nyaris tak waras.
Dalam duduk tersungkur aku tak henti memohon dalam hati. ‘Tolong.. Siapa saja.. Tolong..’.
“Nurut. Kalo nakal atau berani berontak nanti om kasih hukuman lebih dari ini.” Muulutku masih terkatup. Kutatap Tom. Dia masih terduduk bergulung sambil mendekap erat lututnya. Tubuhnya tertutup selimuut sekarang. Air mata itu tak berhenti mengalir.
Lelaki tua itu tak hilang akal. Hidungku dipencet dengan jari telunjuk dan jempolnya. Keras dan gemas. Nafasku sesak. Terpaksa aku lepaskan bibirku yang terkatup rapat.
Tiingg.. Tiingg.. Triing.. Ting..
Stormy final. Badai buruk yang menerjang. Nada-nada yang mulai bersiap akan kekacauan yang akan datang. Tekanan tuts yang seperti tak terkendali. Dengan penuh emosi yang muncul ke permukaan.
Penggunaan banyak sforzando yang disisipkan bersama sedikit penempatan fortissimo dosis tepat, menciptakan bunyi yang kuat lagi menyayat. Seperti nasibku juga Tom, yang sedang menghadapi mimpi buruk skala berat.
Bayangan wajah kak Ali, Umi dan Abi melintas dipikiranku. Lalu pandangan mataku tertuju lagi pada Tom. Dia masih ketakutan. Aku tidak mau mati. Aku tidak mau keluargaku sedih. Dengan mata tertutup penuh ragu, sedikit kaku kulakukan perintah terkutuk itu. Aku buka mulutku. Lelaki tua itu menyeringai puas. Tawanya tak henti bergema. Orang ini gila.
“Lepasin. Lepasin Alfi!” Mataku terbuka. Hidungku sudah terbebas jadi sandera. Kulihat Tom berada di belakang tubuh si lelaki tua durjana. Seperti digendong. Bedanya, Tom berpegangan pada rambut lelaki tua itu.
Mulutku terbabas. Tom, dalam ketakutannya dia menolongku. Kakinya melingkar ke pinggang sang lelaki tua durjana. Tangannya terus menarik-narik rambut sekeras yang dia bisa. Sayangnya itu tidak lama. Lelaki tua itu berhasil menggapai tangan dan kaki Tom. Dengan cengkraman kuat dia lemparkan Tom ke tempat tidur. Kesempatan.
Kesempatan itu tak kuusia-siakan. Kutendang dengan keras selangkangan si lelaki tua yang terkutuk itu. Dia mengaduh. Lelaki tua itu melompat-lompat di tempat. Aku segera berlari menghampiri Tom.
“Ayo kabur..!” Tom mengangguk. Kuraih tangannya. Kami segera berlari ke pintu.
Aku sudah akan mencapai gagang pintu ketika kudengar Tom mengerang. Hatiku mencelos. Lelaki tua durjana itu berhasil menangkap Tom. Segera saja Tom ditariknya paksa. Genggaman kami terlepas.
Lelaki tua itu murka. Dengan kasar, Tom dihempaskan keras. Lalu dengan cepat dan cekatan lelaki tua itu sudah menangkapku dan mendekapku erat. Sangat erat hingga dadaku serasa sesak. Seperti Tom aku pun dihempaskannya secara kasar. Rasa takut mulai mendatangiku lagi. Nyaliku ciut. Tom pun kulihat meringkuk dibawah ranjang mendekap lututnya.
Triinngg Tiing Tring Tiinngg
Movement terakhir ini.. badai itu datang. Kekacauan (chaos). Emosi yang tak terkendali. Seperti ingatan buruk ini yang datang tanpa henti. Menghantamku sedemikian rupa. Jari jemariku bergerak sekacau ingatan buruk yang sangat ingin kulupakan ini. Jika banyak pendapat yang mengatakan bahwa bagian akhir moonlight sonata merupakan suatu keganasan yang indah. Maka memori buruk yang kupunya, sejatinya adalah keganasan itu sendiri. Ganas dalam arti sebenarnya.
Ingatan itu kembali. Tolong.. Siapapun.. Tolong aku.. Tolong Tom.. Tolong kami..
Jerit hatiku tak henti memohon. Tapi lelaki tua itu semakin beringas. Tidak ada bermanis-manis lagi untuk kami. Kami didudukkan berdampingan. Tamparan demi tamparan dilayangkan. Tangannya merenggut gemas wajah kami bergantian. Suaranya meninggi menakutkan. Ludahnya berhamburan. Lelaki tua ini tidak waras. Sudah pasti tidak waras. Aku takut. Tom mengkerut.
“Dasar keturunan jalang! Mirip sama mama kamu. Mama kamu juga jalang! Om akan beri pelajaran buat jalang macam kamu!” Lelaki tua itu berteriak di depan muka Tom. Walau ketakutan Tom terus menatap lelaki tua itu.
“Mama aku orang baik! Kakek yang jahat! Jangan ngatain mamaku! Dasar orang gila!” Kakek? Itu kakeknya Tom? Tapi, itu.. itu jelas bukan kakek Tom.
Umiku pernah bilang ayah Tom sebatang kara. Sudah tidak memiliki ayah ibu. Sedangkan ayah dari tante Sonya adalah pengusaha terkenal itu. Lalu siapa orang yang Tom panggil kakek ini? Mataku beralih menatap Tom.
“Bagus. Anak pintar. Dulu aku memang kakek kamu. Tapi gara-gara ibumu yang jalang itu, namaku dicoret dari silsilah keluarga! Aku diceraikan dari ladang harta yang dulu sempat membuatku jaya! Sekarang sudah ga ada orang yang kenal nama Farid Suwiryo! Kakek kamu mem-blacklist namaku ke setiap perusahaan yang bekerja sama dengan keluarga besar Hartawan. Aku sampai harus rela merendahkan diri melamar sebagai pegawai rendahan. Semua gara-gara mama kamu yang jalang itu! Hapir aku balas dendam sama si jalang Sonya. Dia sudah keburu mati. Kalo kamu ga mau mati, jangan bertingkah!!! Atau saya ga segan ngebunuh kalian berdua!!”
Kata-kata yang diucapkan laki tua itu seperti telah lama dipendamnya. Wajahnya pun terlihat makin mengerikan. Seperti psikopat yang kulihat di HBO waktu itu.
Hari itu, adalah hari terburuk dalam hidupku, dalam hidup Tom juga tentu. Lelaki itu melakukan tindakan pelecehan pada Tom.. dan.. dan.. juga aku.
Lelaki tua itu menindih tubuh ringkih Tom yang suara tangisnya tertahan pilu. Darah keluar dari lubang ‘itu’ milik Tom. Aku menutup mataku. Tapi teriakan-teriakan tertahan Tom menembus telingaku. Susul menyusul dengan tawa bengis si lelaki tua durjana. Ini mimpi buruk.. Ini pasti mimpi buruk.
Berkali-kali kuyakinkan diriku bahwa ini mimpi buruk. Kucubit lenganku, kakiku, pipiku.. berharap semua ini tidak nyata. Tapi percuma. Sesenggukan Tom tetap kudengar, berikut dengan bunyi hujaman-hujaman terkutuk itu.
Kemudian suara Tom terhenti. Tidak terdengar lagi. Tapi hujaman itu masih berbunyi. Lalu, mimpi buruk itu menyapaku. Suara penuh perintah lelaki tua itu menyuruhku mengambil posisi seperti Tom. Kubuka mataku. Tom telah hilang kesadaran. Dia pingsan. Tak sanggup menahan derita yang tak terperi olehnya.
Dengan mata tertutup dan doa yang tak putus terus saja kuteriakkan dalam hati, ‘Tolong.. siapa saja Tolong kami’, tetapi semua percuma. Neraka ini harus kami rasakan. Harus aku rasakan. Aku merasakan neraka tak bertepi ketika lelaki tua bernafas busuk itu mencoba memasukiku. Aku berteriak. Lupa untuk menahannya. Tamparan disusul dekapan dimulut menyapaku.
“Sstt.. Jangan berisik anak manis. Kamu gantiin teman kamu yang udah pingsan itu..” Aku tetap menutup mataku.
Sakit. Perih. Pedih. Terhina. Semua kurasakan. Ketika kupikir semua doaku tak terdengar. Pintu menjeblak terbuka. Om Gun berdiri menatap kearah aku, Tom dan lelaki tua itu nanar. Wajahnya penuh amarah. Murka. Kupikir bantuan untuk kami. Ini, sama saja mengundang monster kedua. Tapi aku salah.
Dengan cepat om Gun sudah didekat lelaki tua itu dan menariknya. Aku terlepas dari neraka yang menyiksa. Om Gun tak henti memukuli lelaki tua itu.
“Beraninya kamu nodai anak saya! Dasar tua bangka keparat!” sekarang Tom anaknya? Lalu kemarin? Kenapa dia siksa?
“Hahaha.. Like mother like son. Aku cuma mau ngajarin si kecil Tom, seperti aku ngajarin mamanya dulu.. Hahaha..” Benarkan dugaanku jika lelaki tua itu gila. Sempat-sempatnya dia tertawa disela derai pukulan yang tertuju pada tubuhnya. Dilayang oleh om Gun tanpa ampun.
“Kamu.. Kubunuh kamu!!” Om Gun kalap. Dan secara tiba-tiba lelaki tua itu berhasil mendorong om Gun hingga terjerembab. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Secepat kilat lelaki tua itu lari sambil tertawa-tawa.
“Hahahaha.. Aku puas. Dendamku sama Sonya bisa kulampiasin.. Hahaha..” Suaranya tak lagi terdengar. Hanya derai tawa yang tak hilang dari ingatan..
Kulirik Tom yang pingsan. Kudekap tubuhnya. Tenagaku tidak ada. Badanku sakit semua. Kuusap lembut rambut Tom seraya kubisikkan.. ‘Sudah aman sekarang..’
Tiiinggg.. triiinnggg.. Triing ting..
Moonlight sonata. Sonata yang dibagian awal terdengar seperti mars pemakaman. Lagu yang begitu ingin dimainkan oleh Tom. Berhasil kuselesaikan ditengah mimpi buruk yang mendera.
“Fii.. Kenapa? Kok nangis?” Rei mengatakan itu sambil memegang lenganku ketika sonata selesai kumainkan. Aku tak sadar telah mengeluarkan air mata. Itidak mungkin tidak dengan mimpi buruk seperti itu.
“Ga papa Rei. Terlalu menghayati..” elakku. Aku tak ingin Rei tahu resah hatiku. Tugaskulah untuk tidak membuat Rei susah hati.
“Permainan kamu.. Sempurna.. Aku.. Kapan bisa main kayak kamu ya Fi..?”
“Pasti bisa Rei. Aku yakin. Kamu berbakat.”
“Fi.. Kalo kamu sedih, jangan disimpen sendiri ada aku. Mungkin aku ga sepintar kamu, ga bisa kasih solusi jitu. Tapi satu yang kutahu, Kamu sahabat yang paling kusayang. Kesedihan kamu, kesedihan aku juga.” Aku merasakan tangan Rei menggenggam jemariku. Erat, ada sedikit penekanan akan kesungguhan ucapannya.
“Ini cukup Rei. Ada kamu disisi, itu udah cukup buat aku.”
Itu benar. Kehadiran Rei merupakan anugerah untukku. Senyumnya menentramkan hatiku. Sifatnya membuatku selalu gemas sekaligus rindu. Rei bagai obat mujarab untuk mimpi-mimpi burukku. Dulu aku tidak akan bisa menahan diri untuk menjauhi orang-orang jika ingatan ini datang. Aku takut. Aku malu.
Namun dengan Rei disisi, aku merasakan kenyamanan yang dulu terasa ketika bersama Tom dulu. Rei.. tetaplah disisiku. Selalu..
*
Sejauh apa kalian bisa menahan perih yang menghujam jantung, merobek hati dan menghantam pikiran?
Kenyataan yang menghantam pikiran sudah pernah kurasakan. Hal yang merobek hati tiada terperi telah aku saksikan. Dan kejadian yang merobek jantung telah aku alami. Merenggut senyum dalam diri..
**
Cuuuuttttt..
Cukup sampai sini dulu.
Cerita tentang Jojo disimpan dulu ya.
Soalnya TS masih belum terlalu yakin sama ketikan yang udah 6 halaman itu.
Makasih buat yang masih setia.
Maaf atas keterlambatan update-nya.
Last but not least
Let me know kalo mau di mention atau sudah ga mau dimention lagi ya..
Kecup lagi untuk kalian
Yey !!!
Ciee s alfi cemburu. *kedip2