It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ehem..
Itu knp bawa2 veet sama jistring A'?
jangan bilang A' @octavfelix lagi pake yah?
*Kedip
Baca di blog aja kak @d_cetya.. Ada page khusus untuk Alfi..
Salken jg @renitasalsabil1
Baca di blog aja kak @d_cetya.. Ada page khusus untuk Alfi..
@Wita sip. Noted. Pasti di mention
icchi punya blog kah link blognya apa ?
icchi punya blog kah link blognya apa ?
Langsung aja ya..
Happy Reading guys..^^
@octavfelix @bayumukti @tarry @angelsndemons
@alvaredza @TigerGirlz @Zazu_faghag @arifinselalusial
@FransLeonardy_FL @haha5 @fadjar @zeva_21
@YogaDwiAnggara2 @inlove @raka rahadian @Chy_Mon
@Cruiser79 @san1204 @dafaZartin @kimsyhenjuren
@3ll0 @ularuskasurius @Zhar12 @jujunaidi @edogawa_lupin
@rickyAza @rebelicious @rizky_27 @greenbubles
@alfa_centaury @root92 @arya404 @4ndh0 @boybrownis
@jony94 @Sho_Lee @ddonid @catalysto1
@Dhika_smg @SanChan @Willthonny
@khieveihk
@Agova
@Tsu_no_YanYan
@elsa
@awangaytop
@Lonely_Guy
@ardi_cukup
@Hiruma
@m1er
@maret elan
@Shishunki
@Monic
@cee_gee
@kimo_chie
@RegieAllvano
@faisalits_
@Wook15
@bumbellbee
@abay_35
@jacksmile
@rezadrians
@topeng_kaca
@wahyu_DIE
@Just_PJ
@nand4s1m4
@danar23
@babayz
@pujakusuma_rudi
@PrinceArga
@D_Phoenix
@nand4s1m4
@tahrone
@alamahuy
@eswetod
@aw_90
@Akbar Syailendra
@diditwahyudicom1
@PahlawanBertopeng
@ryanadsyah
@Mr_Makassar
@ipinajah
@CL34R_M3NTHOL
@kenan
@soroi
@pangeran_awan
@Richi
@obay
@BieMax
@whysoasian
@wirapratama95
@DItyadrew2
@ardilonely
@ardavaa
@Needu
@ananda1
@ilhams_Xman18
@kenzo_ak
@uci
@AghaChan
@Cocco
@YhaniJung
@faisalrayhan
@lulu_75 @faisalrayhan @detective3 @Cincin_cinTron99
@DafiAditya @shinta056 @d_cetya @Wita @renitasalsabil1
@andre_patiatama
Update.. Update.. Update..
Langsung aja yah..
Yuk kita kemoonnn
*******************
Belahan Jiwa dan Kupu-kupu Biru
Tiiinnn tiiinnn tiiiinnn
Aku bunyikan klakson mobilku tiga kali. Tidak terburu-buru. Pelan tapi tegas dengan ritme yang sama. Hanya mengangguk kaku ketika satpam itu menyadari dia sedikit telat membuka gerbang untukku. Lagi-lagi aku pulang malam.
Sampai garasi, aku tidak lantas turun. Kuperiksa tasku. Mencari-cari benda itu. Benda keberuntungan yang kubawa selalu. Tas.. kertas-kertas.. Phablet.. powerbank.. charger.. kertas-kertas lagi.. tidak ada..
Kucari lebih seksama. Ah, ketemu. Ternyata benda itu bersembunyi di dasar tasku. Kupandangi benda yang selalu kubawa kemana pun aku pergi. Benda itu telah ada sejak lama. Sejak lulus kuliah. Sebuah pena Mount Blanc. Hadiah dari Frans yang sengaja menabungnya untuk diberikan padaku.
Hadiah itu, yang selalu menyadarkanku dari rutinitasku yang padat bahwa aku manusia yang punya anak-anak di rumah. Hadiah itu pengingat rasa cintaku yang beda. Hadiah itu juga penguatku agar hatiku tidak goyah. Biarlah rasa cinta itu mengkristal dan tersimpan di relung hati terdalam. Aku bukan mesin, aku manusia biasa yang punya rasa cinta. Sesibuk apapun diriku.
Kulonggarkan dasi. Kubuka kancing kemeja satu-satu. Kutaruh benda penting itu dilaci nakasku. Lalu, merebahkan diri di ranjang empukku. Ranjang ini saksi bisu kesendirianku selama tahun-tahun panjang yang telah berlalu. Sejak istriku tiada, tak ada siapa-siapa, tak pernah ada orang lain yang menemani. Cukup aku dan rasa ini.
Drrtt Drrtt
Pesan dari papa.
‘Suruh orang evaluasi proyek yang ditangani kantor si Kertanegara.’
Hufth. Lagi-lagi perintah. Seumur hidupku, aku hanya mengerjakan semua perintah papa. Padahal aku ingin aku yang menangani proyek itu berdua dengan Frans. Tetapi papa selalu saja melarangku ikut campur jika ada proyek yang ada nama Frans di dalamnya. Sepertinya, aku tahu alasannya.
Dulu, Papa sempat mencurigai kedekatanku dengan Frans yang menurutnya ‘tidak wajar’. Entah laporan dari mana. Entah kisikan siapa, tapi papa memanggilku ke ruang kerjanya. Papa menanyaiku semua detail tentang Frans. Dari keluarga mana dia, kenapa aku bisa dekat dengannya, kenapa aku begitu membelanya dan kenapa aku membantunya. Apa untungnya. Papa selalu melihat segala sesuatu dari untung dan rugi. Sejak kecil aku diajarkan begitu.
Itu kali pertama papa menaruh curiga. Bagaimana tidak? Aku melakukan segala yang kubisa membantu Frans dari keterpurukannya ditinggal ibu yang dicintainya. Aku manfaatkan koneksi yang kupunya. Nama Hartawan bukan sekedar hiasan. Aku berhasil mencarikan kerja untuk Frans. Wajar papa curiga. Karena aku dididik untuk tidak mempedulikan orang-orang dengan kelas di bawah standar papa.
Namun, aku berhasil menghindar dari kecurigaan papa. Aku berkilah Frans adalah tiketku meraih nilai di atas rata-rata. Kukatakan pada papa, aku hanya memanfaatkan kecerdasan Frans saja untuk keuntunganku. Papa percaya. Aku lega.
Kali kedua, tidak begitu adanya. Rekomendasi dariku agar Frans bisa bekerja di perusahaan papa membuka lagi kecurigaan lama. ditambah rasaku yang mulai tidak bisa kutahan padanya. Seluruh tubuhku memancarkan cinta. Binar mataku, nada sapaku, dan bahasa tubuhku penuh romansa tentangnya. Bahkan kak Sonya pun telah lama menyadarinya. Aku gelisah.
Papa curiga pada pandangan mataku ketika melihat Frans. For God sake, aku jatuh cinta saat itu. Bagaimana aku bisa menutupi perasaan bahagia yang baru pertama kurasakan?
Tetapi, karena aku telah lama belajar bagaimana membekukan perasaanku dihadapan papa. Semua kecurigaannya berhasil kutepis. Walau untuk pandangan mataku yang berbinar penuh rasa itu, papa masih menaruh curiga. Karena itulah papa mengawasiku, karena itulah ide untuk mendekatkan kak Sonya dan Frans tercipta. Aku belum ingin jauh dari Frans. Tetapi aku juga takut akan kemurkaan papa. Aku memang pengecut bodoh yang membuat dua orang yang paling kucinta menderita.
Argh, pikiran penat itu lagi. Aku bangkit berdiri menuju walking closet. Kamar mandiku berada di dalamnya. Seluruh kemeja, jas, dasi, sapu tangan, sepatu, parfum dan jamku tertata rapi. Semua disusun sesuai warna. Kamar mandiku di ujung walking closet ini. Aku tidak menyukai sesuatu yang berantakan dan tidak teratur, karena aku perfeksionis. Sejak dulu begitu. Sejak dulu diajarkan seperti itu.
Hidup itu adalah keteraturan. Tanpa aturan semua akan kacau. Sejak kecil papa sudah memperkenalkanku pada aturan-aturan miliknya. Mungkin karena itulah semua yang kulakukan penuh keteraturan. Barang-barang harus selalu pada tempat. Sehingga secara tak sadar aku menjadi pribadi yang perfeksionis dengan sendirinya.
Aku lupa kasih sayang ibu. Hanya mengingat semua aturan papa. Terlalu sedikit ingatan tentang ibu, luar biasa banyak aturan papa yang harus kurengkuh. Sejak kecil, papa sudah mendiktekan semua aturannya padaku. Aku hanya patuh. Hanya diharuskan patuh. Selalu.
Dari TK, SD, SMP hingga SMA, papa yang memilihkan sekolah untukku. ‘Kamu masuk TK ini. Papa udah daftarin kamu ke SD itu. Tidak boleh SMP lain, harus SMP anu. Awas kalau tidak bisa masuk SMA Unggulan yang itu’. Garis hidupku sudah diatur oleh papa sesuai kehendak hatinya.
Aku masih ingat ketika ibu tidak ada. Aku menangis beberapa lama karena rindu sosoknya. Papa murka. Papa selalu menghukumku jika aku ketahuan mengeluarkan air mata. Tidak ada toleransi untuk segala bentuk kelemahan dihadapannya. Sejak usia dini, papa selalu mengajarkan aku untuk menjadi kuat. Karena aku lelaki katanya. Kuturuti semua kata papa. Selalu. Hampir selalu.
Tegakkan kepala. Junjung tinggi nama keluarga. Pilih teman yang sesuai. Tidak boleh ini, jangan berbuat begitu, selalu saja seperti itu. Aku bagai robot yang telah diprogram papa untuk melakukan segala kehendak dan perintah-perintahnya. Layaknya boneka yang dikontrol sekendak hatinya.
Di bawah kucuran shower, aku berdiri. Memandangi tetes demi tetes bulir air yang jatuh. Air hangat ini memang segera mengusir penat. Namun tidak bisa mengusir rasa rinduku. Rasa rindu yang terabaikan dan tak pernah tersampaikan.
Frans... Kutuliskan nama itu dalam pintu kaca yang diselimuti uap air. Setelah sekian lama, rasa yang mengkristal itu masih tetap ada. Masih jelas kurasa. Aku seperti remaja yang dilanda jatuh cinta, jika memikirkan tentang dia.
Masih lekat dalam ingatan, saat-saat pertama kami bertegur sapa. Saat aku bersekolah di SMP Bakti Mulia. Hari itu, masih terlalu pagi. Matahari pun masih tersenyum ramah. Entah mengapa, aku sudah ingin berangkat sekolah lebih awal dari biasa. Benar saja. Sekolah masih lengang. Hanya ada 1 atau dua murid saja yang telah tiba.
Kelasku sendiri masih sepi. Tidak ada siapa-siapa. Aku segera menuju mejaku. Duduk diam dan melihat ke jendela luar. Damai sekali. Tiba-tiba pandanganku teralihkan oleh kupu-kupu biru yang lewat di depan wajah. Baru kali ini melihat kupu-kupu di sekolahku. Terlebih-lebih, kupu-kupu ini masuk ke kelasku di lantai tiga dan terbang berseliweran di depanku. Aku terpaku.
Bukankah kupu-kupu artinya kedatangan tamu? Kupu-kupu juga merupakan lambang metamorfosa. Jika saja aku bisa bertransformasi menjadi pribadi yang lebih terbuka. Hidupku sangat monoton. Dari TK, SD dan SMP papa selalu mendiktekan seluruh kegiatan dan tindakanku. Bagai boneka, kulakukan semua kemauan papa. Aku lemah.
“Pagi..” aku tersadar dari lamunanku. Lalu mengangguk tanpa menjawab sapaan tadi. Aku kenal anak yang menyapa itu. Dia teman sebangku. Anak beasiswa. Luar biasa cerdas. Dulu di kelas 1 namanya sudah bergaung ke setiap sudut sekolah karena prestasinya.
Anak itu mengambil duduk disebelahku. Lalu dia mengeluarkan tempat makan berwarna biru dengan gambar kupu-kupu. Tebak warna kupu-kupu yang ada pada tempat makan anak itu? Itu benar. Biru.. Seperti kupu-kupu yang tadi lewat di depan wajahku. Tunggu.. kemana kupu-kupu tadi itu? Aneh..
“Mau?” kata anak beasiswa itu menawarkan bekalnya. Aku menggeleng. Lalu hening. Tak ada lagi kata-kata. Tak ada lagi sapaan darinya. Anak itu konsentrasi dengan bekal yang dibawanya. Lahap sekali makannya. Lalu aku tersadar sudah memandangi anak yang hampir tidak pernah kuajak ngobrol itu. Segera kualihkan pandanganku ke jendela luar.
“Wah.. Kupu-kupunya sama kayak yang di tempat makanku.” Aku terhenyak. Kupu-kupu itu lagi? Anak itu tersenyum cerah memperhatikan kupu-kupu biru tadi. Hanya dengan itu saja sudah ceria? Betapa murah harga sebuah kesenangan untuk dirinya. Senyumnya indah.
“Kamu tahu? Kupu-kupu itu lambang metamorfosa.” Eh, kok bisa sama seperti apa yang kulamunkan? “Jika kamu bisa bertransformasi, Apa yang paling kamu inginkan?” anak itu menatap langsung ke dalam mataku. Walau sambil tersenyum, tetapi pandangan matanya dalam dan tegas.
“Aku ingin bisa terbang dengan sayap sendiri..” kata-kataku meluncur keluar dengan sendirinya hanya karena menatap matanya. Dia masih tersenyum.
“Kalau aku ingin segera menjadi dewasa.” senyum itu perlahan memudar dan wajahnya mengeras. Matanya menerawang jauh ke awang-awang. Dasar aneh. Wajahnya bisa dengan cepat berganti rupa.
Dipikir-pikir, hariku dimulai dengan perasaan aneh. Ingin cepat ke sekolah, kupu-kupu biru tadi, lalu tempat makan anak itu dan terakhir kata-katanya yang serupa dengan lamunanku. Jika ini pertanda, tolong beritahu aku apa artinya..?
Sudah terlanjur aneh. Frans memperkenalkan dirinya kembali. Dan aku menyambutnya dengan tangan terbuka. Aturan-aturan papa hilang tak tahu rimba. Aku lupa bunyi-bunyinya. Yang aku tahu, pagi itu, aku dan Frans seperti seorang kawan lama. Mengobrol seperti lama tak berjumpa. Pagi itu aku temukan belahan jiwaku. Entah, tapi aku yakin itu.
Jangan salah sangka dulu. Aku belum mencintai Frans kala itu. Hanya merasa yakin dia sahabat sejatiku. Seperti yang disiratkan oleh kupu-kupu biru. Dan seiring berjalannya waktu, rasa cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Tanpa bisa kucegah. Namun aku tetaplah boneka ayah, karena itu tak bisa berbuat apa-apa dengan rasa yang kupunya.
Hanya satu yang pasti. Sampai sekarang pun aku masih percaya jika Frans adalah belahan jiwaku. Sejak melihat kupu-kupu biru itu dulu. Aku sudahi mandiku. Aku lelah. Ingin segera tidur. Melupakan rasa yang mulai tak tentu. Rasa ini telah ada sejak lama. Tak pernah berubah. Selalu dia.
*
Tok tok tok
“Masuk.”
“Ada pak Gunawan di luar. Mau ketemu bapak.” Frans?
“Suruh masuk.”
Dulu aku tidak percaya jika Frans bisa berubah menjadi sosok yang kejam hingga bisa memukuli dan melukai darah dagingnya sendiri. Sampai sekarang pun masih tak percaya. Tapi fakta berbicara. Hanya saja, aku memaklumi tindakannya. Bukan karena aku mencintainya jadi bisa membenarkan semua kelakuannya, tetapi lebih kepada aku tahu mengapa dia bisa bertindak seperti itu.
Rasa cintanya kepada kak Sonya yang terlalu besar, anggapannya yang terlalu tinggi atas sosok kak Sonya, membuat semua tindakannya masuk akal. Cinta yang sebesar itu, tidak bisa menerima kejelekan untuk sosok yang dipuja. Andai kak Sonya mengikuti semua saranku untuk menyingkirkan semua bukti ‘masa lalunya’. Hhh... Tapi itu terlanjur terjadi.
“Joe..” Lamunanku terhenti
“Frans.. Apa kabar? Duduk.”
“Baik. Kamu apa kabar?”
“Seperti yang kamu lihat.”
“The magnificent Joe as always.” Aku tersenyum dengan kata-katanya.
“Jadi, ada apa Frans?” Di kantor, kami selalu kaku.
Aku masih tidak percaya dengan seluruh tindakannya dulu. Bahkan ketika dia tahu seluruh prasangkanya keliru, aku masih sulit mempercayai tindakannya yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Untunglah aku berhasil membawanya ke dokter tepat waktu. Darahnya sudah banyak mengalir saat itu. Aku merutuki semua kebodohanku. Karena permintaanku, kak Sonya menikahi Frans. Karena kepengecutanku semua berantakan begini. Hanya karena takut papa mengetahui jati diriku sebenarnya.
“... Jadi begitu Joe. Karena itu proyeknya mengalami kendala.” Aku mengangguk-angguk. Tadi Frans mengatakan apa?
Proyek.. proyek.. Oh proyek itu. Sekretarisku sempat memberi laporan tentang proyek yang sedang dikerjakan oleh kantor Frans. Proyek yang diingatkan oleh papa semalam.
“Kita lihat dulu perkembangannya dalam 2 minggu ini. Kalau masalahnya masih ada, baru nanti aku kirim orang dari kantorku turun tangan. Gimana Frans?”
“Kenapa bukan kamu Joe?”
“Kita lihat nanti Frans.” air mukanya terlihat kecewa. Kenapa?
“Joe, kenapa sekarang kamu menghindari aku?”
“Bukan menghindar Frans. Tapi aku..”
“Sibuk.. Kamu masih marah karena aku udah bikin Tom..”
“Bukan itu Frans”
“Lalu? Karena aku coba bunuh diri?”
“Bukan itu..”
“Itu semua udah bertahun-tahun lalu Joe. Aku sudah menebus semua itu. 1 tahun Joe.. 1 tahun aku harus bolak balik ke psikiater. Hampir aku dirawat di rumah sakit jiwa..”
Aku menghela nafas. Aku masih ingat saat-saat itu. Mengetahui usaha bunuh dirinya tidak berhasil, Frans beberapa kali mencoba mengulanginya. Penyesalannya teramat dalam. Sudah seharusnya begitu. Tetapi bunuh diri? Itu bukan penyelesaian.
Aku selalu berada disisinya disaat-saat terlemah dalam hidup Frans. Selalu ada untuknya ketika dia membutuhkan kekuatanku. Tekadku menyemangatinya. Semangat hidupnya yang sempat padam berhasil kukobarkan. Aku selalu berkata padanya ‘Mati itu mudah, semudah melemparkan diri ketika kereta api melaju. Tetapi memperbaiki kesalahan itu butuh perjuangan dan kerja keras’. Dengan kata-kata itu, aku membantu Frans untuk kembali berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Memperbaiki segala yang terlanjur terjadi.
Semua pekerjaan Frans yang terbengkalai aku ambil alih, berikut semua pekerjaanku yang luar biasa menyita waktu. Tapi toh aku berhasil mengatasi semua itu. Aku tidak ingin papa tahu semua kejadian yang menimpa keluarga Frans. Jika sampai papa mengendus ada yang tidak beres, aku tidak yakin Frans masih bisa hidup damai di dunia.
Satu bulan lima belas hari. Selama itu aku membantu menyembunyikan semua kekacauan yang Frans timbulkan. Sekali lagi kutegaskan, ini kulakukan bukan karena rasa cintaku padanya. Tetapi karena hutangku pada kak Sonya. Aku yang sudah memaksanya menikahi Frans yang awalnya tidak didasari cinta. Semua karena kepengecutanku. Aku lemah.
“Frans..” Aku memandanginya lekat. “Aku tahu. Aku yang temani kamu melewati semua itu. Tapi sekarang ini aku memang lagi sibuk Frans. Papa udah nyerahin semua proyek besar untuk aku urus. Bahkan proyek yang harusnya ditangani Bastian aku yang pegang Frans.”
“Maaf Joe.. Aku tahu kamu sibuk. Tapi aku kesepian Joe. Sonya udah... pergi, Tom juga ga ada disini. Aku.. Aku ga mau sendiri Joe..” Frans terlihat rapuh. Sudah beberapa tahun berlalu, tapi penyesalan itu masih menggerogoti hatinya sampai sekarang. Aku bangkit dari kursiku dan kuhampiri dia.
“Frans.. Jangan dipikirin lagi. Kalo kamu mau, ayo sekarang kita keluar.” Frans mendongak menatapku. Terlihat tak percaya dengan kata-kataku.
“Tapi Joe.. Kerjaan kamu..”
“Gampang,” Ku angkat telpon di meja kerjaku. “Ndien.. Saya sama pak Gunawan mau meeting di luar. Semua janji saya sore ini tolong di cancel ya.” Aku melirik Frans. “Udah beres. Yuk..” Frans tersenyum. Aku lemah dengan rasaku ke atas dirinya.
“Joe..” Dia menatapku dalam. Terlalu dalam. Seolah ada rasa yang ingin disampaikan, tetapi terhenti ditenggorokan.
Frans menggeleng. “Kamu terlalu baik Joe.. Andai aku..” Andai kamu.. Apa?
“Udah yuk.. Sebelum aku berubah pikiran.” Aku menyengir jail, Frans tersenyum lebar. Aku menunggunya di depan pintu lalu memasang wajah kaku. Melihatku seperti itu, Frans ikut dengan gaya formalnya.
Kebahagiaan itu sederhana. Untukku, masih bisa melihat senyumnya aku bahagia. Untuk Frans aku tidak tahu. Mungkin bisa menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih itu yang utama. Seperti sekarang. Wajahnya terlihat cerah.
Wajar saja. dia tinggal sendiri di apartemennya. Tom sedang sekolah di luar negeri sekarang. Semua, aku yang mengaturnya. Papa, Frans, bahkan Robby anakku sendiri tidak tahu Tom ada dimana. Bukannya Frans tidak tahu, hanya saja semua itu.. nantilah kuberitahu.
Ketika tahu semua kelakuan Frans terhadap Tom dulu, aku ungsikan Tom ke rumahku. Anakku Robby yang paling bahagia dengan keadaan itu. Anakku seperti mendapat saudara laki-laki. Tom pun terlihat lebih ceria, Walau binar matanya tak lagi sama. Aku memberi tahu kondisi ayahnya. Aku ceritakan, bahwa ayahnya depresi berat setelah tahu kenyataan tidaklah seperti apa yang dia sangka. Aku tahu Tom masih kecil, tapi dia cerdas. Gabungan otak kak Sonya, dan kepandaian Frans. Aku percaya dia bisa mengerti semua.
Tom tertegun dan tersedu mendengar semua ceritaku. Terlebih ketika aku memberitahu ayahnya mencoba mengakhiri hidupnya sendiri karena rasa bersalah. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. Tom menuntut untuk bertemu ayahnya. Kupikir itu bisa meringankan trauma mereka, ternyata aku salah. Frans meraung-raung ketika melihat Tom. Tak hentinya Frans berteriak meminta maaf ketika melihat anaknya itu. Setelah itu dia akan menyakiti dirinya sendiri. Entah itu memukul-mukul dadanya sendiri, membenturkan kepalanya ke tembok rumah sakit, atau menjambaki rambutnya tiada henti. Tom yang melihat ayahnya seperti itu, tidak berani mendekati. Semakin terisak perih. Pernah satu ketika dia mengatakan ini ‘Kenapa keluarga Tom jadi begini om? Salah Tom apa? Salah keluarga Tom apa? Kenapa Allah ga sayang Tom om?’ Hatiku hancur mendengar kata-katanya.
Salahku. Semua salahku. Aku terlalu pengecut untuk mengaku atau untuk jauh dari sosok Frans. Membuat semua orang menderita. Aku si boneka yang lemah yang berjalan di bawah ketiak papa. Maafkan aku kak Sonya, Maafkan aku Frans, Maafkan om Tom.. Om lemah..
Adalah permintaan Tom untuk bersekolah di luar negeri. Dia bilang ingin memperdalam permainan pianonya. Karena itu dia memilih London untuk melanjutkan pendidikannya. Aku menitipkan Tom pada temanku yang pernah menimba ilmu bersama.
Aku meminta ijin Frans untuk itu. Dia hanya pasrah menyerahkan semua urusan Tom padaku. Lalu ketika aku ingin memberitahu tempat tinggal Tom di luar negeri, Frans menolak. Dia tidak ingin tiba-tiba punya keinginan gila untuk menyusul anaknya kesana. Lalu meminta maaf tak putus-putus pada darah dagingnya itu. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Pikiran Frans tidak masuk nalarku. Tapi semua kuturuti. Toh itu juga demi kesehatan mentalnya.
Psikis Frans butuh waktu lama untuk sembuh dari rasa bersalah. Bahkan untuk berbicara dengan Tom saja dia menahan diri. Frans memberitahuku, hampir setiap malam dia bermimpi pada saat-saat dia tega menyakiti anaknya. Suara tangis Tom, panggilan Tom penuh permohonan padanya.. Semua hal itu masih menyiksanya sampai sekarang.
Aku tidak tahu jika rasa bersalah bisa membuat seseorang seperti itu. Maksudku sampai terpuruk kelam begitu. Aku bersyukur Frans lebih baik sekarang. Amat sangat bersyukur.
- oOo -
Drrtt Drrtt
Tom calling
“Ya Tom? Kamu yakin? Om udah urus semuanya disini. Papa kamu baik, sehat. Mau ngomong? Kebetulan ini lagi jalan sama om. Sebentar.”
Frans memucat. Darah berhenti mengalir di wajahnya. Ini kali pertama mereka berbicara. Bukan aku yang melarang mereka, tapi Frans yang meminta. Jika teringat tentang Tom, dia akan segera merasa tertekan. Semua dosa pada anaknya melintas di depan mata. Walau begitu aku rutin, memberikan informasi tentang ayahnya pada Tom, begitupun sebaliknya. Hanya satu yang tidak berubah, cuma aku yang tahu dimana Tom berada. Bukan apa-apa. Aku hanya menuruti maunya Frans saja.
Aku mengangguk pada Frans dan menyerahkan ponselku padanya. Kuremas pundak Frans untuk menguatkannya. Sudah saatnya dia berdamai dengan dirinya sendiri dan membayar waktu yang terbuang percuma. Dosa masa lalu itu akan selalu ada. Namun itu bukan alasan untuk lari dari realita. Perbaiki dosa yang terlanjur tercipta dengan aksi nyata. Tunjukkan bahwa diri telah berubah. Itu lebih baik daripada terjebak dimasa lalu yang tiada guna. Bukankah begitu?
“Ha.. Ha..loo De.. Dede apa kabar?” ada getar dalam suara Frans.
“Ayah juga senang De.. Dede baik?” bukankah dia sudah bertanya kabar? Mungkin gugup.
“Dee.. Dede jangan nangis dong.. ayah juga kangen banget de.. Justru ayah yang minta maaf.”
“Iya De. Ga apa-apa. Yang penting sekarang kamu mau kembali kan De..?”
“De.. Maafin ayah ya.. ayah..” Wajah Frans lebih rileks sekarang.
“Ya udah, ayah ga akan bicarain yang dulu lagi. Sekarang kita jelang hari baru ya De. Kamu kapan balik?”
“Iya. Oke. Nanti ayah jemput ya? Kamu bilang makasih dulu sama Om Joe nih..” Frans menyerahkan ponselku.
Wajahnya cerah sekarang. Kenapa tidak dari dulu? Bodoh sekali Frans, selalu menghindar sebelumnya ketika aku memberitahukan Tom menelpon. Untunglah sekarang dia berubah.
“Tom.. Iya. Robby pasti senang kalo bisa liat kamu lagi. Apa? Kamu mau om rahasiain ini dari Robby? Oh, mau kasih kejutan. Ya udah, om tunggu kabar dari kamu. Salam buat Uncle Frederick ya Tom.” Klik.
Frans memandangku. Aku lekat membalas pandangan matanya. “Makasih Joe.. untuk semuanya..” Senyum Frans merekah. Teduh. Hanya untukku.
Hanya ini yang kubutuhkan. Senyumnya. Dengan ini aku bisa kuat menjalani hari-hariku. Walau cintaku takkan pernah terbalas. Aku bahagia. Bisa berada disisinya. Mendampinginya disaat-saat dia rapuh. Bukankah itu esensi sejati cinta?
Sejak saat kupu-kupu biru dulu mengusik pandanganku, sejak itulah aku tahu. Sejak itulah kulabuhkan hatiku. Pada pertanda yang-entah-apa-itu.
*
Cuuuuuttttttt..
Maaf Cuma update dikit.
Sengaja.
Soalnya season 1 Alfi tinggal beberapa kali update lagi.
Masih bersambung dengan season 2 nantinya.
Judulnya ganti jadi Alfi Hassan Alatas (Diantara Dua Pilihan).
Makasih untuk yang masih setia baca cerita ini.
Jangan ragu untuk yang minta dimasukin daftar mention.
Dan untuk yang ga mau dimention lagi juga bilang aja ya.
iyeeeeeeeee lanjuuuuttttt