It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aminnnnn
Udah.. udah.. Jangan berkelamin.. hihihii..
@PahlawanBertopeng thx yah udah diingetin mau puasa..
Sebenernya mau ada update-an guys.. tapi laptopnya ga adaa.. jadi batal deh..
Btw Maaf Lahir Batin yaa.. Selamat menjalankan ibadah puasa..
NB: Kalo udah ada laptop pasti di update..
Nanti kalo aku update disangka bohongan lhoo..
Guys.. udah.. udah..
Udah Mau PUASA juga.. jangan ada yg emosi yah..
Tolong Jangan Ada Yang Main-Main Sama Mention-aN LAGI..!!
Kecuali Ada Update-an..
Mohon Maaf Lahir Batin.
Maaf jika ada kata-kata yang disengaja ataupun tidak.
Dan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan..
**
Kecup mesra untuk seluruh readers tercinta.
Ini hadiah untuk kalian yang udah setia dengan cerita saya..
Update-an ini hadiah Ramadhan untuk kalian semua..
Happy Reading guys..^^
THE FINAL GAME (PERTANYAAN YANG TERTUNDA..) – PART I
REI POV
“Rei tunggu..”
“Rei..”
Aku hentikan langkah dan berbalik ke arah suara yang memanggil namaku tadi. Dia terengah-engah mengejarku. Siapa suruh dia lari-larian begitu. Anak aneh. Sejak awal melihatku, dia selalu mendekatiku.
“You’re so little yet so fast. Kenapa ga jalan pelan aja sih kamu?” Ini anak sok kebule-bulean banget. Tiap ngomong pasti selalu di mix pake bahasa inggris. Dipikir aku ngerti apa? Ga ngerti tahu.. huhuhuu.. Becanda. Aku sudah belajar bahasa inggris sejak SD dan selalu mendapat nilai yang baik.
“Mau ngambil gaji..” Jawabku asal.
“What?! Kamu sudah kerja?!” Oke. Kenapa serius gitu. Becanda kali..
“Just joking..”
“Oh. Ok. Now i get it.. haha..” Ga terlalu lucu ih. Kalo ketawanya gitu malah kesannya ngeledek yah..
“Kenapa kamu ngejar aku?”
“Oh yeah.. I want to ikut kamu pulang. Together. Bareng..” Ih ih ih.. Jawab pulang bareng ajah repot banget ih.. Bule sarap. Mukanya emang rada bule sih. Kulit putih, rambut sedikit coklat, wajah tampan. Badan tinggi langsing. Pastinya. Secara dia atlet basket sekolah. Calon kapten denger-denger.
“Rumahku jauh.. Aku pulang naik bis..”
“Ga apa-apa. Aku mau tahu rumah kamu. Aku juga mau coba sekali-sekali naik indonesia punya bus..” Satu kata. Norak. Naik bis kok dicoba-coba. Emang minyak telon.
“Jangan.. Panas. Sumpek. Nanti kulit kamu item lho..” Ih ih.. nih anak stres deh kayaknya.. Masak dari awal ngomong nyengir melulu. Aku juga selalu pasang senyum sih. Tapi ga segitunya kali..
“Kamu naik bus tiap hari tetap putih. So why not..?” Hadeuh.. Males ih.. Aku selama ini belum pernah akrab dengan siapapun. Teman-teman banyak tapi hanya sebatas teman di sekolah. Aku jarang dan memang hampir tidak pernah mengajak teman ke rumah.
“Kamu ga ada latihan basket ya?” Ada please ada..
“Nope. I’m free Rei.. So c’mon.. Ayo kita ke rumah kamu..”
“Jer.. Aku denger kamu jago main biola?” Aku sengaja mengalihkan pikirannya.
“Where did you get that info Rei?”
“Gosip Jer. Ada anak yang bilang pernah liat kamu main waktu pertunjukan apa gitu. Trus beritanya nyebar ke satu sekolah. Ternyata kamu keren ya.. Kamu beneran jago ya?”
“Lumayan. Kamu mau denger? Hm.. Tapi biolaku ada di rumah. Kamu mau main ke rumah aku? Yuk..” Eh.. eh.. eh.. Kok tanganku ditarik gini.. Huwaaa.. Aku di seret.. Tolong.. tolong.. aku salah nanya tadi..
“Jer.. Ga pake narik berapa?”
“Hah?” Oiya lupa. Dia kan bule(potan). “Ayo. Driverku udah nunggu tuh” Supir? Terus kenapa tadi minta bareng naik bis. Anak stress. Udah tahu dijemput malah mau ikut orang naik bis.
“Masuk Rei” Aku (terpaksa) masuk. Didorong gitu.. gimana bisa nolak coba?
Enak juga naik mobil yah. Dingin. Aku tiap hari naek busway. Emang ada ACnya sih, tapi kadang saking banyaknya orang bikin Acnya kagak berasa. Beda sama mobilnya Jerry yang dingin banget baru masuk aja. Mobil Jerry jalan memasuki perumahan mewah di daerah Simprug. Lalu berhenti di salah satu rumah bergaya lama yang besar.
“Ayo Rei.. Turun..” Wow.. Jangan norak Rei... Jangan norak.. Wow.. Udah dibilang jangan norak.. Oke, aku harus jaga image.
“Besar juga rumah kamu” Ga banget kata-kataku. Jerry hanya tersenyum.
“Rei ayo masuk..” Wow.. Wow.. luas banget dalemnya. Ruang tamunya luas. Dan tinggi. Eh bener ga yah.. Maksudku ruang tamu itu terbuka sampai ke langit-langit rumah. Jadi terlihat sangat spacious.. Wow.. aku norak. Dari tadi kerjaku hanya melongo saja. Biarin deh. Emang keren rumah si Jerry.
“Ikut yuk..” Aku diseret lagi. “Duduk. Tunggu disini” Aku duduk manis. Tapi kepalaku berputar-putar memandangi interior rumah ini. Semua barangnya terlihat berkelas. Terlihat mahal. Bahkan pigura lukisan keluarganya saja seolah benar-benar dilapisi emas. Eh, itu piano kan ya.. Huwaaa.. Pianooo.. boleh mainin ga ya..
Tanpa sadar aku berdiri dan berjalan menghampiri piano yang terletak di ruangan yang entah ruang apa ini. Aku mengelusnya. Ini piano asli. Bukan keyboard yang sering kumainkan diruang musik. Aku ingin sekali memainkannya. Aku segera duduk di kursinya. Aku buka dan kuraba tutsnya. Belum berani membunyikannya.
“Reeeiii.. dimanaaa..” Aku tersadar. Itu suara Jerry. Pasti dia mencariku.
“Di sini Jer..” kataku sedikit kencang.
“Hmm.. Kamu bisa main piano?” Aku menggeleng.
“Kan udah kubilang. Aku cuma pernah main keyboard ajah. Itu juga dikit-dikit..” sambil tersenyum kukatakan itu.
“Mau coba main piano?” Boleh? Beneran? Dengan sedikit takut-takut aku mengangguk kaku.
“Ya udah kamu coba mainin aja.. Lagunya terserah kamu.. Aku mau denger lagi permainan kamu..” Lagu apa ya.. Lagu itu aja. Puppy of waltz.. Lagu ketika aku pertama berkenalan dengan Jerry.
“Kamu tebak aja yah.. Aku beneran boleh mainin pianonya?” Jerry mengangguk. Karena sudah ada persetujuan, aku mulai mengambil ancang-ancang. Kutarik nafas pelan.
Kutekan-tekan tuts yang ada. Mencoba mencari nada dasar yang pas. Karena tuts pada piano lebih banyak dari pada tuts pada keyboard. Ketika aku menemukan nada dasar yang biasa kumainkan. Aku segera memulai nada pertama dari puppy of waltz. Permainanku belum seberapa lancar. Ditambah ini pertama kalinya aku bermain piano. Tapi aku memainkan lagu ini dengan hati, dengan penuh rasa. Semoga perasaan senangku bisa memainkan piano ini tersampaikan lewat tekanan demi tekanan lembut pada tuts piano yang sedang kumainkan. Kuakhiri lagu itu dengan memperlambat tempo dan sedikit jentikan di akhir. Rasanya sungguh tak terlukiskan.
PROKK PROOKKK
“Hm.. Not bad. Kamu les musik?” Aku menggeleng. “Punya piano?” Boro-boro. Kugelengkan lagi kepalaku. “Lalu? Beneran hanya keyboard sekolah?” Lagi. Bisaku hanya menggeleng saja. “So, darimana kamu belajar?”
“Udah pernah aku katakan sama kamu Jer.. Aku belajar dari buku. Sama keyboard di sekolah kita. Baru 2 bulan ini aku belajar. Awalnya dasar-dasar di ajari sama pak Mardi guru musik. Lalu setelah dasarnya kukuasai, aku belajar sendiri. Dengan score book yang kucatat sendiri..”
Jerry hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Iya ya.. Kamu emang udah pernah bilang gitu waktu kita jumpa pertama. Tapi aku sulit percaya lho.. Habis permainan kamu mulus banget..” Ceesss.. Senangnya permainanku dipuji oleh seseorang. Mukaku panas #KipasPlease
“Oiya Jer, aku mau denger permainan biola kamu dong..” Sengaja aku bertanya, karena risih dengan tatapan Jerry yang dari tadi melihatku.
Jerry hanya mengangguk. Lalu dia angkat tas biolanya. “Aku udah lama ga main. Mudah-mudahan belum lupa ya Rei..”
Jerry mulai menaruh biola diantara bahu dan dagunya. Lalu dia memejamkan matanya. menarik nafas dan membuangnya. Kemudian ketika dia buka mata, Jerry melihat ke arahku dan mengangguk. Lalu dimulailah gesekan pertamanya.
Dari awal gesekan pertama saja Jerry sudah membuatku terkesima. Dia terlihat sekali sangat menghayati lagu yang sedang dibawakannya. Setiap gesekan terdengar mengalun mendayu. Kadang sendu dan lalu segera berganti semangat baru. Perpindahan jari dan teknik gesekan yang dilakukan Jerry luar biasa. Dia selayaknya profesional sejati. Lagu yang dimainkan juga sepertinya bukan main-main. Dengan tempo dan perpindahan jari seperti itu, ternyata benar dia memiliki bakat luar biasa. Aku malu dihadapan permainan biolanya. Aku yang amatir ini_tidak.. tidak_sepertinya amatir juga terlalu bagus untukku. Aku yang tidak apa-apa ini merasa kecil di hadapannya.
Nada terakhir ditahan dalam gesekan panjang oleh Jerry. Hebat sekali. Aku benar-benar larut dalam permainannya. Lalu bertepuk tangan atas permainan biola yang indah darinya.
“Keren. Kamu keren banget Jer..”
Jerry tersenyum mendengar pujianku. Lalu menggeleng. “Thanks. Kamu tahu itu lagu apa?” Aku menggeleng.
“Itu tadi Caprice no. 24 karya Niccolo Paganini..” Aku manggut-manggut pura-pura mengerti. Siapa pula itu Niccolo Apanini tadi..
Kami menghabiskan waktu sebentar untuk mengobrol. Aku bertanya tentang dirinya. Jerry Parengkuan. Anak semata wayang. Ayah diplomat dan ibu sudah tiada. Tegar sekali dia. Pantas saja dia kadang mencampur bahasa indonesia dengan inggris. Karena sejak kecil dia sudah tinggal di luar negeri baru beberapa tahun ini pulang ke tanah air. Anak itu aneh. Sejak pertemuan pertama kami di ruang musik, dia selalu berusaha untuk mendekatiku. Entah apa alasannya aku tak tahu..
**
Sudah setahun terlewati sejak terakhir kami pertama berkenalan. Aku sekarang kelas 8. Intensitas pertemananku dengan Jerry tidak terlalu sering. Dalam setahun itu pun kami jarang bercengkrama. Dia sibuk dengan klub basket sekolahnya dan teman-teman yang selalu mengelilinginya. Maklum saja, dia adalah murid paling populer di sekolah. Sedang aku? Pulang sekolah aku hanya mampir sejenak ke ruang musik lalu langsung pulang ke rumah. Tidak ada klub, tidak ada apa pun atau siapa pun.
Seperti yang dulu kubilang. Aku tidak terlalu mengakrabkan diri dengan siapapun. Walau aku selalu ramah. Meski begitu, kadang Jerry sesekali menjahiliku. Seperti mengagetkanku tiba-tiba, mengunci ruang musik ketika aku disana, atau menyembunyikan score book yang kusalin susah payah. Jika sudah begitu dia akan terlihat ceria. Lalu matanya seakan menerawang.
Jerry jugalah yang memberikan beberapa score book untukku. Dia juga yang kadang rutin mengoreksi kesalahan permainan pianoku. Walau instrumen yang paling dikuasainya adalah biola, tetapi Jerry piawai memainkan piano ternyata. Dia begitu baik padaku.
Tibalah hari itu, hari ketika aku diterima masuk dalam tim basket sekolah. Aku tak percaya pelatih bahkan mempertimbangkanku masuk ke dalam timnya. Jerry sangat senang mendengar aku masuk. Walau aku lebih sering duduk di bangku cadangan tapi aku cukup menikmati. Selama bulan pertamaku masuk tim basket, Jerry-lah yang melatihku ketika ada kesempatan. Dia yang memberi masukan-masukan bagaimana cara-cara terbaik yang bisa dilakukan oleh orang bertubuh mungil sepertiku. Trik-trik basket pun aku ketahui dari dirinya. Dia bilang itu, pengalaman ketika SD di Amerika. Dia sering memperhatikan pemain street basket disana.
Ketika pertandingan perdanaku, aku tidak memalukan hasil latihan yang diberikan olehnya. Aku berhasil melakukan assist dan memasukkan bola 2 kali ke dalam ring. Berkat analisa dinginku sebagai PG (point guard), aliran bola kami sering menyusahkan tim lawan. dengan adanya Jerry pada tim kami, kurasa PG mana pun bisa melakukan yang aku lakukan. Jerry yang luar biasa hebat. Bukan aku.
“Ternyata kamu pengamat yang luar biasa ya Rei.. Strategi-strategi kamu matang. Pantas coach memuji dan masukin kamu dalam tim..” Dipuji oleh Jerry seperti ini membuatku malu. Wajahku memanas. Dialah yang hebat, bukan aku..
“Kamu lagi Jer yang luar biasa hebat..” kataku sambil menundukkan kepala. Tidak berani memandangnya. Dan Jerry hanya mengacak-acak rambutku..
Datanglah hari itu, hari ketika Jerry harus pergi lagi. Karena ayahnya ditugaskan ke luar negeri. Aku baru merasa nyaman dan memiliki teman. Tapi Jerry sudah harus pergi ke negeri jauh di seberang samudera. Hasilnya, hanya Jerry seorang yang bisa kukatakan teman ketika SMP. Selain dia memang tidak ada yang cukup akrab denganku.
“Rei.. aku mau ngomong sesuatu..” Ini adalah perpisahan kami. Jerry mengajakku ke rumahnya sehari sebelum dia berangkat pergi.
“Hmm..” aku mengerjapkan mata beberapa kali. Ekspresi ‘ada apa’ yang sok imut.
“Ini..” Hmm.. apaan nih..bungkus kotak lumayan besar
“Apa ini Jer..?”
“Itu untuk kamu..” Untukku? Apaan ya..
“Boleh dibuka?”
“Silakan..” dengan cekatan dan gerak kilat kusobek kertas pembungkus kotak itu.
Huuwwaaaaa... Aku terperangah. Isinya ternyataaa.. “Ini.. Beneran buat aku?” Jerry mengangguk.
“Beberapa koleksi pribadi aku. Dan beberapanya aku beli disini. Karena punya aku juga hadiah dari orang, ga mungkin aku kasih lagi ke orang lain..” aku manggut-manggut..
“Makasih banget ya Jer..” kupandangi CD-CD musik klasik dari beberapa komposer. Beberapa adalah Sonata untuk biola dan beberapa simfoni untuk piano. Aku senang. Masih tidak menyangka mendapat hadiah perpisahan dari Jerry. Bukankah seharusnya aku yang memberinya hadiah.. Lalu aku segera tersadar.. CD.. Aku tidak memiliki CD player di rumah.. #GubrakSeason2.. kesenangan tadi berganti kerut ketar ketir penuh pikir, dimana CD ini bisa kudengar.. =,=”
“Oiya Jer.. tadi katanya mau ngomong.. Kok ga jadi..” kataku sambil tersenyum setelah menyadari hal yang penting tadi.. CD player.. hiks hiks..
“Aku.. I’ll ask you when i get back to indonesia. When we meet again.. itu adalah saatnya aku bertanya sama kamu..” Hah? Kok jadi gitu..
“Kenapa ga sekarang aja..?”
“Karena kamu belum cukup dewasa. Pikiran kamu masih terlalu polos Rei.. Nanti tiba saatnya kamu harus siap dengan pertanyaanku..” Iiihh.. Jerry mulai deh ribetnya. Males banget ih..
“Oke. Aku tunggu saat-saat kamu dateng ke Indonesia lagi..”
“Rei..” Lalu Jerry menarik tubuhku mendekat padanya dan memelukku erat. Sangat erat. Seolah enggan untuk melepasku.
“Rei.. Jangan pernah berubah ya..” sambil memeluk dan membelai rambutku Jerry katakan itu.
Aku hanya menjawab “Hmm..” sambil menganggukkan kepala dalam pelukannya.
**
Jerry ternyata menepati janjinya untuk kembali ke Indonesia. Aku bertemu dengannya ketika pertandingan basket antar sekolah. Jerry yang pertama mengenaliku. Aku tidak menyangka. Lebih tidak menyangka lagi ketika Jerry mengenal Alfi dan seseorang bernana Tom yang namanya sering kudengar.
Mereka ternyata satu tempat kursus dulu. Pantas saja Jerry berbakat. Jika teman lesnya saja seperti Alfi. Mungkinkah Tom juga pandai memainkan instrumen musik? Instrumen apa yang dia mainkan? Dan kenapa aku jadi penasaran begini dengan sosok bernama Tom itu? Semirip apa Tom denganku? Haahh.. ini tidak akan membawaku kemana-mana. Mungkin aku bisa bertanya.. pada Jerry..? Ya.. tentu saja.
Ketika Jerry meminta ijin untuk berbicara denganku, dia menyeretku ke belakang gedung olahraga yang sepi. Aku bingung. Apa yang Jerry ingin bicarakan? Masih belum mendapat petunjuk dengan tingkahnya ini. Mungkin Jerry ingin menjahiliku seperti dulu. Tidak.. tidak.. dia sudah terlihat lebih dewasa sepertinya. Lalu langkahnya terhenti dan dia berbalik menatapku lirih. Sebelum aku sempat bertanya apa-apa, Jerry sudah menghambur ke depanku dan memeluk erat tubuhku. Aku tersipu.
Apa.. ada apa? Kenapa Jerry memelukku?
“Miss you Rei..” Aku masih tersipu oleh tindakan dan kata-katanya. Lalu Jerry perlahan melonggarkan pelukannya dan menatapku syahdu. “Kamu belum berubah..” Lagi. Aku dipeluknya.
Okeee.. aku tahu dia rindu. Tapi kenapa pelukannya tak ingin melepaskanku seperti ini.. Sebegitu berartinya kah diriku untuknya? Dulu aku hampir menganggapnya sahabatku. Tapi dia keburu pergi ke luar negeri. Mungkinkah Jerry sejak dulu sudah menganggapku sahabatnya? Tapi kenapa dia sering jail padaku kala itu..
“Rei.. masih ingat waktu kita pisah di rumahku dulu..?” Hm.. Waktu itu..
Aku mengangguk. “Ingat..”
“Kamu masih ingat sama kata-kataku..?” Kata-kata yang mana ya..
“Hmm..” aku berpikir sebentar. “Kata-kata yang mana Jer..?”
“Kamu.. lupa..?” Raut muka Jerry terlihat kecewa. Aku jadi tidak tega. pikir Rei.. pikir.. Kata-kata yang mana.. Jangan pernah berubah itu kali ya? Atau yang mana.. aku benar lupa..
“Jangan pernah berubah itu ya Jer..?” nadaku lebih kepada bertanya bukan menjawab.
Jerry menggeleng. Mukanya cemberut. “Bukan yang itu.. yang satu lagi..”
Yang satu lagi? Hm.. oh iya.. aku ingat. “Soal pertanyaan kan ya..?” Wajah Jerry cerah seketika. Berarti benar kan aku.. “Terus.. apa pertanyaannya? Dulu kamu belum sempat bertanya kan..”
DEGH.. Lagi. Jerry memelukku tiba-tiba. “Nanti saja. Aku masih belum puas bertemu denganmu Rei..” Kata-kata Jerry penuh bisik pelan di telingaku.
“Seusai pertandingan kita nanti di final. Aku mau kamu jawab pertanyaanku.. ok Rei..?” Hah final? Pertandingan final? Jadi Jerry.. tunggu.. tunggu.. Aku melepaskan diri dari pelukannya.
“Kamu juga ikut pertandingan ini Jer?” dia mengangguk dan tersenyum lebar. “Tim mana..? Kok aku belum pernah liat kamu?” itu betul. Aku belum pernah bertemu dengan Jerry pada pertandingan mana pun.
“Karena hasil undian tim kita ga pernah dalam satu grup Rei..Sewaktu kamu selesai bertanding. Baru timku yang main. Atau sebaliknya. Jadwal kita ga pernah sama. Dan kamu ga pernah nonton pertandingan-pertandingan lainnya kan..?” itu juga benar. Seusai bertanding aku tidak pernah menonton tim yang kemungkinan menjadi lawanku. Coach Timmy sudah menyuruh manajer tim basket untuk merekam setiap pertandingan yang tidak kami tonton, untuk dipelajari videonya.
“Kamu yakin bisa masuk final Jer?” Pertanyaan bodoh. Tentu saja dia yakin. Jerry yang hebat. Rajanya trik-trik basket yang luar biasa hebat.
“Melihat pertandinganmu tadi Rei, aku rasa tidak ada tim manapun yang bisa menghadangku untuk bertemu denganmu di final nanti..” itulah Jerry. Percaya dirinya memang terkesan berlebihan. Tapi mengingat kemampuannya aku rasa itu lebih kepada sifat optimis miliknya. Buukan sombong atau semacamnya.
“Kamu belum berubah Jer.. Terus lawan kamu siapa sekarang? Eh.. jangan bilang lawan kamu itu juara tahun lalu?” aku ingat. jadwal pertandingan setelah timku adalah tim juara tahun lalu.
Jerry mengangguk. “Bukan masalah. Mereka ga sekuat tahun lalu. Senior mereka udah ga ada. Regenerasi tim mereka belum sejago tim pendahulunya..”
“Oke. Lets cut the crap. Kita ketemu usai pertandingan ya Rei.. apapun hasilnya, tim manapun yang menang, aku mau kamu jawab satu pertanyaanku. Ok?”
“Ok. Tapi kamu harus menang dulu sebelum bisa ketemu aku di final. Kalo kamu kalah, kamu ga bisa nanya ya..”
“Aku pasti menang” nada suara Jerry tegas dan yakin. Tidak ada keraguan sedikit pun.
Dan memang benar itu yang terjadi. Tim basket sekolah Jerry menang dengan gemilang. Seolah mempecundangi kapten tim lawan belum cukup. Jerry juga mencetak skor yang mencengangkan. Bahkan setelah pertandingan, dia menatap ke arahku dan tersenyum sambil memberi kode dengan jempolnya. Membuat kak Robby menghadiahi Jerry pandangan penuh rasa tidak suka.
Jadi aku akan bertemu Jerry di final. Ini pertandingan guru dan murid jadinya. Bisakah aku menang melawan ‘guruku’? Jerry-lah yang mengajariku semua trik basket itu. Mustahil aku akan bisa menang melawannya seorang diri. Tapi aku tidak sendiri. Sekarang sudah ada Alfi yang menemani. Iya benar. berdua dengan Alfi aku yakin bisa mengalahkan Jerry. Aku penasaran,, diantara mereka berdua, siapa yang akan menang jika terjadi man-to-man.. Sudah. Aku harus fokus dengan strategi dan tidak berandai-andai seperti ini. Pertandingan nanti pasti menarik..
**
Bola sudah bergulir antara aku dan Alfi juga kak Robby. kak Farel, Randy dan Donny melakukan defense pada kami. Namun kami berhasil merobek pertahanan mereka dan sudah berada di bawah ring. Kak Robby mengoper pada Alfi lalu dengan cepat bola langsung di arahkan ke ring. Masuk. Kerja sama aku, Alfi dan kak Robby mulai kompak. Bahkan kak Farel kesulitan menghalangi laju bola kami. Latihan three on three kami sebelum pertandingan final ini untuk menguji strategi yang sudah disiapkan coach Timmy.
Aku ingat Alfi bilang dia memiliki ide untuk pertandingan nanti. Dan ide itu yang terapkan pada three on three tadi. Kami menang dengan selisih angka yang lumayan jauh. Lalu Alfi meminta pertandingan satu lawan satu antara dirinya dengan kak Farel juga kak Robby. Dan terjadilah hal yang luar biasa.
Siapa sangka Alfi menguasai semua trik yang dikeluarkan Jerry pada pertandingan kemarin. Bahkan kak Farel dan kak Robby kesulitan mengambil bola dari Alfi. Karena tidak juga berhasil, Alfi memberi tahu mereka cara steal dari trik-trik yang dilakukan Jerry. 2-3 kali prcobaan membuahkan hasil. Tapi mereka harus konsentrasi untuk berhasil mencuri bola. Hebat. Luar biasa. Alfi benar-benar jenius sejati. Bagaimana dia bisa menghafal semua gerakan Jerry? Aku iri.
Kami semua sudah kelelahan. Khusus aku, aku kepayahan. Nafasku sudah satu-satu. Untuk pertandingan final, aku ingin bisa berguna. Paling tidak untuk mengukur kemampuan diri sendiri. Tak mungkin aku bisa mengalahkan Jerry dengan stamina seperti ini.
“Fi.. kamu hebat” Alfi menatapku teduh dan mengangguk.
“Kak Robby, Kak Farel.. bisa minta waktunya selesai latihan nanti. Ada yang mau aku omongin. Kamu juga ya Fi..” Mereka mengangguk serempak.
“So, ada apa Rei?” tanya kak Farel setelah hall basket sekolah kami sepi. Semua anak yang lain dan coach Timmy sudah pergi dari sini.
“Ada yang mau aku latih kak. Ini pass baru yang lagi aku kembangin. Lagipula ga semua orang bisa menangkap pass ini. Makanya cuma kalian yang aku ajak. Karena aku yakin sama kemampuan kalian bertiga” Alfi menatapku intens. Kak Farel mengangguk-angguk. Dan kak Robby terlihat penasaran.
“Ok. Show us what you’ve got Rei..” titah kak Farel padaku.
Aku mengangguk, “Fi, kamu satu tim sama kak Farel. Aku sama kak Robby..” Kak Robby dan kak Farel tersenyum lebar dengan usulkku. Alfi hanya mengangguk.
Permainan kami pun dimulai. Bola ditangan kak Farel ketika dia ingin mengoper pada Alfi aku intercept dan cut dari samping dan menepis dengan menonjoknya ke arah kak Robby di depan. Bola ditangkap sempurna oleh kak Robby dan tak disia-siakan. Dia langsung memasukkannya dengan dunk andalannya.
WHOAA “Apa itu tadi Rei. Jangan bilang itu pass baru kamu.. Itu gambling” tanya kak Farel.
Aku menggeleng. “bukan gambling. Aku bisa memotong setiap bola dengan bentuk pass seperti tadi dan dengan akurasi pass di atas 90%. Tapi seperti kubilang. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki refleks dan konsentrasi yang baik yang bisa nangkep pass dari aku tadi. Kita lanjut?” Mereka mengangguk serempak.
Alfi sekarang memegang bola dan pass dengan cepat ke arah kak Farel. Aku secara tiba-tiba mengejutkan kak Farel dengan muncul dari belakangnya ketika dia berbalik ke arahku. Dan bola lagi-lagi kutepis dengan tonjokan ke arah kak Robby yang sedang berlari cepat. Kak Robby melompat sambil menangkap bola lalu lalu menembak di udara. Masuk.
“Kamu kenapa tiba-tiba bisa muncul di belakang Rei? Bukannya kamu tadi masih di tengah lapangan?” heran kak Farel.
“Itu karena Rei manfaatin tubuh kecilnya. Juga kedipan mata..” Wah wah.. ketahuan secepat ini oleh Alfi. Dia memang hebat. Analisanya akurat. Apa Jerry nanti juga bisa nebak dengan cepat ya..?
“Maksud kamu Fi..?”
“Alfi bener kak.. Waktu kak Farel fokus sama operan dari Alfi aku udah bergerak sebelum kak Farel mengalihkan pandangan. Ketika kak Farel menegok ke kiri aku udah di luar jangkauan penglihatan kak Farel. Tubuh kakak yang tinggi ga bisa ngeliat aku yang lari rendah sambil memperhatikan setiap kedipan mata kakak. Setiap kedipan juga tolehan kepala itu yang kumanfaatin. Seolah-olah aku hilang dan muncul tiba-tiba. Padahal aku tetap ada, cuma di luar jangkauan mata..” Kak Farel dan kak Robby bengong. Alfi santai saja melihatku. Sepertinya hanya Alfi yang mengerti kata-kataku.
“Hebat kamu dek. Ga percuma si monyet masukin kamu ke tim basket kita.. Iya kan nyet?”
“Robby bener Rei. Hari dimana lo sama Alfi masuk, itu adalah hari keberuntungan tim basket sekolah ini. Kalian berdua aset sekolah yang luar biasa.. Tapi kalo Alfi bisa baca pass aneh lo tadi, mungkin temen lo si Jerry itu juga bakal cepet sadar..” itu benar. Tapi Jerry tidak memiliki fokus seperti Alfi.
“Mungkin..” hanya itu jawabku.
“Mungkin juga ga..” ini suara Alfi. “Pass Rei itu sulit ditebak. Yang tahu Rei mau ngarahin passnya kemana itu cuma Rei seorang. Gerakan Rei yang tadi juga ga semudah itu dipahami. Kalian berdua aja sulit nebak..” Hei.. hei.. aku udah bilang belom kalo Alfi keren? Kalo belom, aku mau bilang yah.. Alfi keren. Kata-katanya yang cuma keluar disaat-saat penting aja itu yang bikin dia keren.
“Si autis bener tuh nyet. Gue aja ngga nyangka operan si kurcaci bisa pas banget sama posisi gue. Operannya kuat. Gue rasa si Rei bener waktu bilang cuma kita bertiga yang bisa nangkep. Elo keren dek. Elo juga autis, ternyata lo emang hebat” Aku tersenyum mendengar kata-kata kak Robby. dia sudah mengakui kemampuan Alfi. Atau dia begini karena akan melawan Jerry difinal nanti?
“Ok. Kita latihan lagi. Kali ini switch ya. Setiap orang latihan, nangkep operan aneh dari si Rei..” kami mengangguk.
Latihan kami berempat untuk menyongsong babak final pun dimulai. Benar dugaanku. Mereka bertigalah yang sesuai untuk bentuk operan anehku. Tapi yang tidak kusangka adalah Alfi. dia berhasil mengetahui semua trikku dan membacanya setelah beberapa kali melihatnya. Alfi segera menganalisa dan memberi saran untukku agar gerakan dan operanku kian sempurna dan tidak mudah dibaca. Luar biasa (sudah berapa kali aku gunakan kata ini?).
Final nanti denan tim basket sekolah Jerry akan sanat menarik sekali. Lalu pikiranku teralihkan. Setelah pertandingan final nanti, ada kata-kata yang sudah lama ingin Jerry sampaikan. Kenapa aku jadi berdebar-debar? Apa yang ingin diungkapkan olehnya nanti?
**
CUUUTTTTT..
Sampe sini dulu yaaa..
Dilanjut nanti sama side storynya si Jerry dulu..
Lets cekidot..
janji g akan nakal lagi di lapaknya mas @Fuumareicchi
yang bener figura
yang bener simponi
typo nya.. hoho
reichi blm bisa bedain penggunaan imbuhan 'di' yang di pisah dengan 'di' yang digabung ya?
Waktunya Sahur..
#AmbilBedug Sahuuurrrr.. Sahuuurrr.. Sahuuurrr..
**********
SIDE STORY – JERRY THE VIOLINIST
THE WAY YOU PLAY THE PIANO (KAMU ADALAH KAMU)
“Jerryyy.. kamu ngumpetin score book punyaku lagi ya?! Ngaku?!”
“Ih. Tom jahat, masa nuduh aku sembarangan” aku pura-pura sedih mendengar tuduhan Tom. Karena aku memang menyembunyikannya waktu istirahat tadi. Aku palingkan muka dari Tom dan berlagak terpuruk.
“Jer, bener bukan kamu?” aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya. Seolah sakit hati.
“Hmm.. Maaf ya Jer.. habis sih kamu suka isengin aku..”
“Ya udah gapapa. Aku maafin. Nih kamu boleh pake score book ini aja Tom”
Ketika Tom mengambilnya dia berteriak. Aku sudah berlari menjauhinya. “Jerryyyy jeleeekkk.. ini mah score book aku iihh.. Aku marah ajah sama Jerry.. Ga mau tau.. Aku marahan sama Jerry jelek kayak bebek pantatnya robek.. Sebel iihh..” Hwahahaha.. Tom lucu. Ketika marah pun dia terlihat lucu. Tom tidak pernah bisa benar-benar marah pada orang lain. Meski aku sering jail padanya, Tom selalu hangat padaku. Walau dia sering kali menjulurkan lidahnya padaku. Lucu sekali. Imut.
“Tom, udah jangan ngambek terus. Sebentar lagi Sakurai-sensei dateng. Yuk siap-siap” itu Alfi, teman Tom. Hanya Alfi yang bisa membuat perasaan Tom berubah dengan cepat. Dari kesal Tom bisa langsung berubah ceria ketika ada Alfi. Aku iri.
Melihat sahabat seperti Tom dan Alfi selalu membuat iri. Karena aku tidak pernah bisa berteman lebih dari beberapa tahun. Papa sering di pindahtugaskan. Karena pekerjaannya sebagai diplomat menuntutnya begitu. Untungnya tahun ini kami sudah balik ke Indonesia. Sejak kecil aku tinggal di luar negeri. Baru kali ini berkesempatan datang mengunjungi negeri sendiri. Satu kata ketika aku sampai disini, di Jakarta ini. Panas. Yup, Jakarta panas sekali. Belum lagi debu dan polusi. Aku menyesal datang kemari. Kenapa tidak Bali? Atau lingkungan lain yang asri? Dan macetnya itu.. hufth..
Aku segera menagih pada Papa janjinya untuk segera memasukkanku ke tempat kursus musik biola. Untuk instrumen yang satu itu aku memiliki ketertarikan yang susah dijelaskan. Berawal dari ajakan Papa untuk menonton pertunjukan musik klasik London Symphony Orchestra. Pada pertunjukan orkestra itu ada solois violist yang memainkan Moonlight Sonata dari Ludwig Van Beethoven. Iringan musik orkestranya saja sudah menjeratku. Lalu suara itu, suara gesekan biola nan syahdu dan menyayat itu. Permainan yang apik pada third movement yang memukau oleh violist itu. Keindahan nada yang dimainkan luar biasa. Sejak itu aku jatuh cinta pada Biola.
Aku segera meminta pada Papa untuk kursus biola. Papa membayar seorang Siswa sekolah musik yang telah melakukan Concour untuk menjadi guru privatku. Papa juga membelikanku satu set biola Copy Stradivarius berisi bow (busur/alat penggesek), biolanya tentu saja dan kotak penyimpan. Lalu ditambah dengan shoulder rest dan chin rest, tuner dan rosin (damar, untuk menggosok rambut pada bow) yang dibeli terpisah.
Ternyata bermain biola tidak semudah yang kusangka. Kupikir hanya dengan menggeseknya saja sudah bisa menghasilkan suara yang indah. Namun aku salah. Belajar biola ternyata sulit. Lebih sulit dari pada sekedar menekan tuts piano. Bahkan untuk menggeseknya saja memerlukan teknik dan latihan rutin.
Aku ingat awal aku menggesek biola. Biola itu bahkan tidak bersuara. Baru bersuara ketika aku menggesek dengan sedikit penekanan. Tapi suara yang dihasilkan mengerikan. Itu pun pada kali kedua atau ketiga aku baru berhasil mengeluarkan suara yang mirip kambing digorok. Sungguh menakutkan. Itu sehari sebelum guru yang disewa papa datang esok harinya.
Awalnya guru itu, aku panggil dia Elise (nama aslinya Elise Ruiz), mengajarkan cara memegang biola. Dan menggosok rambut bow dengan rosin. Tujuan menggosok ini agar rambut bow menjadi sedikit lengket dan dapat mencengkram biola saat digesekkan. Cukup 3 atau 4 kali gosokan kata Elise. Urutan nada pada biola mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah G, D, A, E. Karena biola hanya memiliki 4 senar saja.
Lalu pelajaran berlanjut pada cara memegang bow/penggesek. Elise bilang pegang bow tidak perlu terlalu tegang dan kaku. Cukup santai saja katanya. Agar fleksibel ketika digunakan untuk menggesek biola. Hoaahheemmmss.. Sebenarnya teori membuatku mengantuk. Tapi Elise memberitahukan semua itu dengan cara yang menarik. Jadi aku memperhatikan semua itu dengan tertarik. Lagipula Elise bilang ini dasar yang paling penting sebelum mulai bermain biola.
Pelajaran biola pertamaku dimulai dengan teori yang seakan selamanya. Lalu ditutup dengan bagaimana cara menggesek senar biola. Elise mengajarkan untuk memulai menggesek senar dalam keadaan loss (tidak dipencet). Lalu gesekan panjang, kemudian pendek. Gesek dengan tekanan, kemudian dengan lembut. Ini akan membiasakan telinga dan tangan untuk mendapatkan tekanan suara yang sesuai. Haaaahhh.. Hanya belajar menggesek saja seperti susah sekali. Pelajaran pertama ini juga melelahkan.
Tapi Elise membesarkan hatiku dengan kata-katanya. Elise bilang untuk seorang pemula, cara menggesekku sudah bagus. Bahkan sudah bisa menghasilkan tekanan suara yang baik. Sampai-sampai Elise tidak percaya bahwa ini kali pertamanya aku bermain biola. Benarkah? Sehebat itukah aku? Lalu mengapa aku merasa belum menunjukkan apa-apa?
Sesi-sesi latihan berikutnya sangat menarik. Dimulai dengan nada-nada dasar do re mi fa sol la si. Lalu berlanjut kepada posisi dan perpindahan jari. Elise bilang latihan rutin akan membiasakan dan melenturkan jariku. Elise sangat gembira menemukan anak didik sepertiku. Dia bilang aku sangat berbakat. Karena hanya butuh beberapa kali latihan lagi sebelum aku mulai bisa memainkan score book. Elise berujar para pemula biasanya membutuhkan waktu 4-6 bulan untuk benar-benar bisa lancar menggesek dan melakukan perpindahan nada yang sesuai. Aku bangga.
Aku sadar aku memang berbeda dari pemula lainnya. Karena ketika aku mulai memainkan biola seolah nada-nada itu hadir dikepala. Not-not balok keluar dari setiap gesekannya. Aku juga sadar jika nada yang kumainkan meleset dari yang seharusnya tanpa Elise memberitahuku. Seolah antara biola dan aku sudah menyatu.
*
Itu dulu. Ketika aku masih tinggal di London setahun setengah yang lalu. Sekarang aku di Jakarta. Aku tidak yakin dengan kualitas para pengajar disini. Karena itu aku mewanti-wanti Papa untuk mencarikan tempat les yang terbaik untukku. Papa menyanggupinya. Sekarang pun kami sedang menuju tempat les itu.
Tempat les itu terletak di salah satu ruko tersendiri. Lumayan luas dan terdiri dari beberapa lantai. Sepertinya tempat itu lumayan. Mudah-mudahan saja pengajarnya tidak mengecewakan. Setelah Papa mengurus administrasi, aku langsung dibawanya menuju ruangan di lantai 1. Papa bilang mereka ingin menguji kemampuanku sebelum memasukkanku pada level kelas tertentu. Siapa takut pikirku.
Aku buka tas biola yang kubawa. Kuambil biola dan bownya. Kutaruh biola diantara dagu dan bahu senyaman mungkin. Aku sudah lama tidak menggunakan shoulder dan chin rest. Bukankah pemain jaman dulu juga tidak menggunakan semua itu? ‘Yang terpenting adalah kenyamanan’ itu kata Elise yang kupegang selalu.
Aku tarik nafas. Sebenarnya aku ingin memainkan Antonio Vivaldi yang Four Seasons tapi kuganti dengan Mozart Symphony no. 40. Aku rasa ini cukup untuk menunjukkan kualitasku. Untuk pembukaan saja sudah masuk kecepatan medium-cepat. Dengan perpindahan jari yang lumayan harus cermat. Lalu sedikit melambat. Temponya naik turun dengan penuh rasa penuh nuansa. Menciptakan suasana pesta dansa istana. Indah.
Kusudahi permainanku dengan improvisasi pada gesekan akhir. Aku sedikit ingin menyombongkan permainanku. Pengujiku manggut-manggut sambil tersenyum. Sepertinya aku sudah berhasil menunjukkan kualitasku. Papa bangga ketika penguji itu mengatakan bahwa aku berbakat dan akan ditempatkan dengan beberapa anak berbakat lainnya. Penguji itu bahkan menunjukkan kelas untuk anak berbakat. Disanalah aku bertemu Tom juga Alfi.
Ketika aku sampai di depan pintu kelas yang terbuka. Suara piano terdengar mengalun merdu penuh syahdu. Astaga. Permainan piano apa ini. Setiap denting nadanya menjerat telinga. Nada yang dihasilkan sempurna. Ketepatan permainannya tiada celah. Bahkan melodi yang tercipta sulit terbantah. Karena suara yang dihasilkan luar biasa indah. Kesombonganku runtuh seketika. Aku merasa tidak ada apa-apanya dihadapan permainan piano ini. Aku tak kuasa untuk tidak melihat pemainnya. Ternyata yang memainkan adalah anak yang sepertinya masih seumur denganku. Hebat sekali. Lalu nada terakhir melepaskanku dari jeratan rasa terpukau.
Tepuk tangan terdengar dari ruangan itu. Penguji tadi segera berdeham memberi pengumuman. Dia memperkenalkan aku sebagai murid baru. Murid di kelas ini hanya terdiri dari 4 orang saja. Ditambah aku jadi 5. Ternyata tempat les ini cukup selektif. Aku menjadi minder seketika dikenalkan di depan anak yang bermain piano tadi. Aku merasa kecil dihadapannya.
“Fi, kenalin ini Jerry. Dia violist yang luar biasa..” kata si penguji. Aku malu.
“Alfi” Ooh nama anak yang piano tadi Alfi.
“Jerry” Alfi tersenyum manis padaku.
“Jer, ini temanku Tom” Waahh.. maniiss bangeeettt ini anak. Cantik. Eh tapi kan Tom nama cowok. Tapi emang cantik kok. Tangannya halus. Senyumnya lebih manis dari Alfi. Bibir sama pipinya merah merona. Tanpa sadar aku mencubit pipinya.
“Saakiittt..”
“Eh maaf.. sorry. I don’t mean to..”
“Sakit tau.. lagian ih. Baru kenal udah cubit-cubit. Wekk..” Hwahahaha.. seisi ruangan tertawa-tawa. Aku pun ikut tertawa.
“Kamu bukan yang pertama yang nyubit Tom kayak tadi Jer.. Hampir semua yang ada di ruangan ini pasti nyubit Tom kayak kamu tadi..” Lalu tawa mulai menggema kembali. Sepertinya aku akan betah disini. Ternyata Jakarta tidak buruk juga. Buktinya aku bisa bertemu anak-anak berbakat lainnya.
*
Sejak masuk tempat les musik itu, aku merasa langsung memiliki teman. Aku sering menjahili Tom. Karena ekspresi Tom lucu dan imut sekali. Aku tidak kuasa untuk tidak menggodanya. Setiap pertemuan pasti selalu saja aku mengganggunya. Tapi tak jarang Alfi menegurku jika sudah keterlaluan. Entah mengapa aku selalu menurut jika Alfi sudah turun tangan. Alfi memiliki karisma tersendiri. Aku iri pada Tom dan Alfi. Mereka selalu bersama. Selalu berdua. Dimana ada Tom, pasti ada Alfi. karena itu aku sering mengganggu Tom agar bisa mendapat perhatian mereka dan bisa menjadi teman mereka.
Waktu yang kami lalui hanya seputar tempat les saja. Padahal aku juga ingin bisa akrab di luar itu. Karena mereka menyenangkan juga pandai dan berbakat. Tak jarang kami saling berlatih bersama dan menilai permainan masing-masing. Bakat piano Alfi paling menonjol sepertinya. Walau aku dan Tom tidak kalah. Tapi musik yang dimainkan Alfi memiliki atmosfer yang berbeda. Dan itu luar biasa.
Selang beberapa bulan les di tempat Sakurai-sensei, aku terpilih sebagai salah satu anak yang akan ikut dalam pertunjukan musik untuk anak-anak berbakat. Bersama Alfi dan Ibra kami memainkan instrumen yang berbeda. Alfi dengan pianonya, flute oleh Ibra dan aku biola tentu saja. Aku bahagia.
Pertunjukan itu sukses dan pertemanan kami di tempat les kian akrab. Tak terasa sudah setahun kami bersama. Baru saja aku merasa menemukan teman yang memiliki ketertarikan pada musik yang sama, Papa pindah tugas lagi dengan segera.. Kali ini ke Australia. Aku merana.
Aku sedih tidak bisa menjahili Tom lagi. Pun terasa perih ketika sadar tidak bisa berdiskusi soal musik dengan Alfi. Dia benar-benar jenius sejati. Permainan pianonya akan selalu tersimpan di dalam hati. Salam perpisahan kami kurasa sangat berarti. Tom yang tak rela aku pergi. Dia bilang aku boleh terus menjahilinya dan dia tidak akan marah lagi, asal aku jangan pergi. Tom manis sekali. Sifatnya pun teramat baik hati. Lalu tiba saatnya dengan Alfi.
“Ini..” Kata Alfi seraya memberikan sesuatu kotak terbungkus padaku.
Waaahh.. Ternyata itu berisi partitur musik Moonlight Sonata yang dulu sempat kukatakan pada Alfi kalau aku ingin sekali bisa memainkan sonata itu. Aku bisa mencarinya tentu, tapi isi disana bukan hanya partitur saja. Namun ada juga catatan-catatan kecil dari Alfi dan Tom tentang sonata yang satu itu. Aku ingat ketika kami (Aku, Tom dan Alfi) mendengarkan Moonlight Sonata atau sonata iblis. Dikatakan sonata iblis karena overture pada third movement dengan gesekan biola yang melengking lirih dan bernada tinggi. Sangat tinggi. Seolah memainkan sonata itu seperti orang yang kerasukan. Karena itulah moonlight sonata ini sering kali dikatakan sebagai sonata iblis. Tapi aku dan Tom menyukai sonata ini dan berharap dapat memainkannya suatu saat nanti.
“Makasih..” aku terharu. Mereka baik sekali padaku.
“Itu ide Tom. Dia mau duet sama kamu Jer. Tapi..” tapi aku keburu pergi. Inilah mengapa aku benci pekerjaan papa dan iri dengan persahabatan mereka. Buka berarti aku tak suka dengan pekerjaan papa. Hanya saja, seringnya kami pindah membuatku makin tidak betah.
**
Tugas papa di Australia ternyata hanya setahun saja. Lalu kembali dipanggil pulang ke Indonesia. Aku gembira. Akhirnya aku akan bisa bertemu kembali dengan Tom dan Alfi. Hanya setahun, kuharap belum ada yang berubah dan mereka masih les disana.
Ketika kaki menjejak di Jakarta, aku langsung meminta papa mengantarku ke tempat les musik Sakurai-sensei. Namun sayang, Tom dan Alfi sudah tidak les disana. Sakurai-sensei bilang beberapa bulan setelah kepergianku Tom dan Alfi sudah tidak ikut kursus disana lagi. Aku sedih.
Akhirnya aku minta alamat rumah mereka. Tapi lagi-lagi aku harus menelan kecewa. Mereka sudah tidak tinggal di rumahnya. Tetangganya bilang, mereka sudah pindah. Hanya setahun, tapi ternyata banyak yang terjadi dalam setahun itu. Aku menyesali kepindahanku.
*
Aku mendaftar di SMP Negeri tempat papa dulu bersekolah. Aku masuk klub basket disana. Karena selain biola, basket adalah satu-satunya olah raga yang kukuasai dengan sangat baik. Lagipula, untuk sementara keinginanku untuk bermain musik telah lenyap entah kemana. Segera setelah aku bergabung dengan tim basket sekolah, kemampuanku langsung mendapat apresiasi tinggi dari pelatih. Dan tim basket kami meraih prestasi dengan aku dalam tim inti.
Selang setahun di SMP itu, aku tidak lagi memikirkan biolaku. Tidak ada lagi hasrat musik yang dulu menggebu. Hingga tiba suatu waktu aku bertemu dengan anak itu. Anak yang memiliki senyum menarik dan berwajah manis itu.
Ketika itu tim kami sedang latihan basket di lapangan basket sekolah. Awalnya kupikir ada yang salah dengan telingaku. Karena aku mendengar musik klasik yang mengalun merdu. Namun ketika aku semakin menajamkan pendengaranku, musik itu kian mengalun syahdu. Permainan ini mirip dengan permainan seseorang yang kukenal dulu. Aku terusik. Hatiku tergelitik untuk menyelidik. Kutinggalkan latihanku dan segera kucari sumber bunyi denting yang masih terdengar itu.
Suara itu terhenti. Asal suaranya berasal dari arah ruang musik sekolah. Segera aku menuju kesana. Ketika aku sampai, lagu yang sama dimainkan ulang oleh seorang anak kecil yang duduk di belakang keyboard. Itu.. Tom? Itu benar Tom.. Permainan ceria ini mirip dengan cara bermain Tom.
“Tom..” permainan anak itu terhenti. Dia berdiri dengan gugup.
“Huuwwaaaa.. Maaf. Ganggu yah? Aduh maaf yah..” anak yang unik. Dalam panik dia masih terlihat manis. Tapi benarkah dia Tom? Atau itu hanya imajinasiku saja yang merindukan sosok Tom juga Alfi.
“Kamu.. siapa?”
“Oiya, aku Rei kak..” Senyum itu, itu senyum Tom. Permainan tadi juga mirip sekali dengan Tom.
“Kamu anak baru?” dia mengangguk. “Sejak kapan main keyboard? Belajar dimana?” tanyaku penuh selidik.
“Buku. Baru 2 bulan ini aku belajar. Awalnya dasar-dasar di ajari sama pak Mardi guru musik. Lalu setelah dasarnya kukuasai, aku belajar sendiri. Dengan score book yang kucatat sendiri..”
“...” Aku hanya terdiam melongo. Tak percaya dengan yang baru saja kudengar. Belajar dari buku? Baru 2 bulan? Dan anak ini sudah bisa memainkan puppy of waltz seperti tadi? Mustahil. Benar-benar mustahil. Bagaimana bisa seseorang yang baru mengenal keyboard sudah bisa memainkan Chopin dengan lancar dan indah begitu? Anak ini pasti bercanda. Aku tidak percaya.
“Ya udah. Aku permisi dulu ya kak..” Lagi-lagi senyum itu.. mirip sekali..
Belum sempat aku menjawab anak itu sudah pergi. Bahkan ketika aku berbalik badan anak tadi telah hilang. Cepat sekali. Atau ini hanya halusinasi? Mungkin hanya manifestasi kerinduanku dengan Tom juga Alfi..
Esoknya, aku penasaran dengan anak yang bernama Rei itu. Aku mencari ke setiap kelas anak kelas 8. Ada 8 kelas untuk anak kelas 8 terdiri dari 8-A hingga 8-H. Ternyata anak itu kelas 8-H. Aku hampiri dan kugeret dia. Aku belum puas menanyainya. Berapa kali pun kutanya ternyata dia bukan Tom. Tak mungkin Tom. Tapi kenapa senyumnya itu mirip sekali. Dan permainan pianonya.. Hanya sedikit sekali orang yang memiliki permainan serupa.
Aku segera mengakrabkan diri dengan anak itu. anak yang kuanggap Tom itu. Kalau tidak salah namanya Rei. iya Rei. Anak itu pintar. Dia peraih beasiswa. Anak itu ramah, murah senyum dan polos sekali. Dia sering kali tersipu. Ketika aku menggenggam tangannya. Juga waktu aku mengagetkan dirinya. Belum lagi saat aku mentraktirnya makan entah untuk alasan apa. Aku hanya ingin dekat dengannya.
Rei terlalu baik. Setiap orang yang meminta bantuan untuk PR pasti dibantunya. Bahkan tak jarang beberapa memanfaatkan Rei untuk disuruh-suruh ke kantin. Rei tidak pernah menolak. Hufth.. bodohnya dia.
Rei juga tak pernah marah ketika aku jail kepadanya. He’s so adorable. Dia hanya manyun saja jika aku sudah usil. Tidak pernah benar-benar marah. Seperti Tom dulu. Satu yang membekas tentang Rei. Dia tulus.
Ketika aku pingsan sewaktu berlatih basket seusai sekolah. Dia yang merawatku. Waktu itu badanku sudah tidak enak dari pagi. Tapi aku abaikan. Karena aku merasa ini cuma biasa saja. Lalu semakin parah ketika latihan basket usai sekolah. Kepalaku tiba-tiba berat dan pandanganku buram. Lalu semua hitam. Aku pingsan.
Ketika terbangun, aku sudah berada dikamarku. Dan Rei yang setia duduk disampingku dengan handuk kecil ditangannya. ‘Panas kamu udah agak turun Jer..’ katanya. Bagaimana aku bisa berada dikamarku? Terakhir yang kuingat aku berlatih basket di sekolah.
Rei berkata dia yang membawaku. Kaerna aku belum juga sadar ketika supirku datang menjemputku seperti biasa. Akhirnya Rei ikut ke rumahku dan menjagaku. Dia juga membuatkan bubur untukku. Walau dia aku aku telah ada pembantu. Betapa manis dirinya. Aku terharu. Baru kali ini ada teman yang begitu baik kepadaku. Ketika dia meminta pamit aku mencegahnya. Aku tidak rela dia pergi disaat hari sudah malam begini. Aku panggil supirku. Aku ikut mengantarnya walau Rei bersikeras mencegahku. Aku hanya ingin memastikan dia sampai rumah dengan selamat.
Hari-hari yang kulalui setelahnya berdua dengan Rei adalah hari yang sangat menyenangkan untukku. Hari yang sangat kutunggu. Hanya bisa melihat senyumnya saja hatiku bahagia. Bisa menjailinya aku tertawa. Berada disisinya dunia indah. Walau awalnya aku menganggapnya mirip dengan Tom tapi pribadi Rei-lah yang membuatku nyaman dengannya. Rei adalah Rei dengan segala keramahan, senyum manis dan ketulusannya. Oh aku lupa, Rei juga ternyata gigih luar biasa.
Masih lekat dalam ingatan ketika aku dikeroyok oleh 3 orang kakak kelas. Sendiri-sendiri mereka bukan lawanku, tetapi karena mereka curang dan main keroyok aku kalah. Mereka tidak suka karena aku dianggap tebar pesona. Sok ganteng katanya. Mentang-mentang pindahan dari luar negeri tambah mereka. ‘Cuih, dasar begundal kelas teri. Kalau berani hadapi aku satu lawan satu’ desisku pada mereka kala itu. Dasar saja mereka pengecut, hanya berani ketika ada teman-teman yang ikut. Jadilah aku tersudut.
Ketika aku tersudut itulah Rei datang membantu. Dengan tubuh kecilnya dia memarahi kakak-kakak kelas pengecut itu. Sudah bisa dipastikan, bukannya takut malah kakak kelas itu mengerubungi Rei. Anehnya, Rei bukannya lari malah menghadapi mereka dengan gagah. Kupikir Rei bisa berkelahi karena berdiri menantang begitu, tetapi ternyata ketika 3 orang kakak kelas itu menyerbu Rei berteriak. ‘Lariiii Jeerrr..!!!’ #Gubrakpart2 *Season2.
Aku tertawa-tawa jika mengingat kejadian itu. Untungnya lari Rei sangat cepat bahkan senior berbadan tinggi besar itu tidak bisa mengejarnya. Rei hanya ingin memeri kesempatan padaku untuk lari dengan mengumpankan dirinya. Lagi. Itu adalah hal paling baik yang pernah dilakukan orang lain padaku.
Intensitas kebersamaan kami tidak terlalu sering. Namun setiap waktu yang kami lewati berdua merupakan saat-saat yang paling berkesan untukku. Seperti yang aku ceritakan di atas. Hal-hal yang Rei lakukan membekas dihatiku. Si mungil enerjik dengan senyum malaikatnya telah menawan hatiku dengan segala tingkah lakunya. Aku jatuh cinta.
Lama tinggal di luar negeri membuatku cepat dewasa. Aku sadar segala kelakuanku salah menurut kacamata orang Asia khususnya indonesia. Tapi hati ini terlanjur berbunga-bunga di dekatnya. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Rei padaku. Tapi satu yang kutahu, hatiku menginginkan Rei menjadi milikku.
Sialnya ketika aku sadar dengan perasaanku Ayah harus pergi lagi ke luar negeri. Hatiku pedih. Harus meninggalkan Rei yang terlanjur mengisi relung hati.
Ketika perpisahan sebenarnya aku ingin mengutarakan semua yang kurasakan. Tapi aku tidak yakin Rei mengerti. Dia terlalu polos. Pikirannya masih seperti anak-anak. Wajahnya yang sering tersipu menguatkan hal itu. Akhirnya kukatakan jika kami bertemu lagi, (Aku akan menjemput hati) akan kukatakan maksud hati. Untuk tanda kurung, hanya tersirat dalam hati.
*
Saat aku kembali ke Indonesia, lagi-lagi aku masuk ke tempat papa dulu bersekolah. Lalu aku mendaftar ke klub basket segera. Karena musik tanpa Rei, seolah tak ada artinya. Aku bisa melihat passion Rei dulu ketika dia berada di depan keyboard. Bahkan setiap tekanan pada tuts-tuts yang mengalun, menegaskan hal itu.
Betapa kagetnya aku ketika melihat Rei lagi. Aku menyadari itu Rei ketika dia mempraktekkan trik dariku ketika pertandingan basket antara tim Rei dan tim lawannya. Akulangsung menghampirinya usai pertandingan. Dan langsung menyapanya. Ekspresinya ketika kutepuk bahunya masih sama. Betapa aku sangat merindukan ekspresinya itu. Yang tak disangka-sangka aku juga bertemu dengan Alfi. sungguh dia telah banyak berubah. Kemana senyum dan tawanya dulu? Alfi-lah yang mengenaliku.
Jujur saja, aku memang tidak mengenalinya. Ekspresi dinginnya. Dan wajah tanpa senyum itu seolah bukan Alfi saja. Dulu dengan melihat senyumnya saja semua indah. Tapi sekarang raut mukanya dingin bak musim salju di Eropa.
Setelah sedikit berkenalan dengan rekan satu tim Rei dan Alfi. Aku moho ijin untuk berbicara berdua dengan Rei. Tapi ada satu senior Rei yang tidak suka melihatku. Raut muka itu, itu raut mukaku dulu. berarti orang itu menyukai Rei-ku? Tidak bisa. Rei itu milikku. Aku yang lebih dulu menyukainya. Segera saja aku seret Rei dari tempat itu karena aku cemburu. Laki-laki itu mengejar kami. Namun aku dan Rei lebih cepat. Rasakan.
Aku langsung melepas kangen dengan Rei begitu memastikan tempat yang kupilih sepi. Tak puas rasanya memeluknya hanya sebentar saja. Segala yang kami lalui bersama dulu datang dalam kilasan-kilasan dikepala. Aku bertekad akan mengatakan perasaanku pada Rei usai pertandingan final kami nanti.
Walau aku sayang pada Rei, tapi pertandingan nanti harus kumenangkan. Untuk membuktikan pada senior Rei itu, bahwa aku lebih hebat darinya. Aku tahu itu tidak akan mudah terlebih dengan adanya kapten itu juga Alfi. Cara bermain mereka luar biasa. Kemungkinan final nanti akan sangat ketat sekali.
Oh iya.. Aku lupa mengatakan pada Alfi bahwa Tom sangat merindukannya.. Nanti saja kusampaikan padanya saat final nanti. Pasti Alfi senang mendengarnya.
**
CUUUUUTTTTTT
Update-an hari ini selesai sampe sini dulu ya..
Sesuai saran tante @Jean_Grey Insya Allah kalo ada waktu aku update juga bulan puasa..
Hayoo.. hayoo..
Yang dulu pada spekulasi tentang Tom dan Rei. Gimana tanggapan kalian setelah baca side story si Jerry ini..^^
Ga bosen-bosen.
Buat SR yang mau di mention tinggalin jejak.
Dan yang ga mau di mention lagi juga kasih tahu ya..
NB: Next Rei PoV part II dengan dan Side story Jojo atau Joe a.k.a Jonathan Hartawan