Kau tahu, perasaan aneh yang selama tujuh tahun ini menyiksaku saat bertemu denganmu? Apa kau mengerti rasa sakit yang ada dalam hatiku saat aku melihatmu berjalan sambil bergandengan tangan dengan orang lain? Kau terlihat begitu bahagia, bahkan tawa lepasmu selalu menggema saat kau bersama orang itu. Tidak kah kau merasakan apa yang kurasakan terhadapmu? Atau paling tidak tertawalah selepas itu saat kau bersamaku agar aku bisa melihatnya langsung tanpa harus menjadi penguntit seperti ini. Aku terlihat seperti orang jahat jika seperti ini, mengintip seperti seorang mata-mata yang tengah mengincar buruannya. Tidak! Aku tidak seperti itu.
Hah~~
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas panjang saat melihat matamu sedikit berair karena tertawa begitu keras, dan kau mungkin tidak tau jika tawamu membuat sesuatu didalam dadaku berdenyut ngilu. Aku cemburu pada namja itu! Tapi aku sadar aku kau bukanlah siapa-siapa bagimu, dan mungkin selamanya akan tetap begitu. Sekeras apapun aku mencoba untuk mendapatkan tempat istimewa dihatimu, aku tetap tidak akan pernah bisa menggapaimu.
***
“Yo, lagi ngapain lo disini?” sebuah suara menyadarkan lamunan Ardy. Ardy menoleh dan tersenyum tipis saat melihat cowok angelic yang kini duduk di sampingnya.
“Jangan keseringan ngelamun, ga bagus buat kesehatan lo.” Tegur cowok itu lagi.
“…” Ardy sama sekali tidak menggubris perkataan cowok itu. Mata bulatnya kembali focus pada buku tebal yang tidak pernah absen dari tangan mungilnya. Mata bulatnya membaca deretan kata sambil sesekali membenarkan letak kaca mata berbingkai hitam yang bertengger di hidungnya, mencari posisi yang nyaman untuk membantunya membaca.
“Hei bisa ga sih lo tuh ga cuekin gue?” sungut cowok itu. Ia benar-benar kesal dengan sikap yang menurutnya kelewat pendiam milik namja bermata bulat itu.
“Terus gue musti ngapain Wo?” Ardy menutup bukunya. Pandangannya masih lurus kearah depan, tempat dimana dua orang pemuda yang sedang tertawa bersama.
“Ga usah ngawatirin dia berlebihan gitu, dia udah gede, bisa jaga siri sendiri!” lagi-lagi, namja bernama lengkap Dewo itu membuat Ardy tersadar dari lamunannya.
“Gue tau.” Jawabnya singkat.
Keheningan kembali tercipta diantara mereka. Ardy kembali tenggelam dengan buku tebalnya, sedangkan Dewo, cowok itu tengah sibuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang kini tengah duduk tenang disampingnya. Bibir berbentuk hati yang memiliki warna merah alami, hidungnya, kulit putih susunya, dan mata bulat yang berhiaskan kacamata berframe hitam. Jangan lupakan juga aroma vanilla yang terkesan mainly tapi tetap manis. Dewo menyukai semua yang ada pada pria kecil yang memiliki nama lengkap Ardyio Presetya Pamungkas itu.
Dewo akui Ardy memang orang yang pendiam dan tidak terlalu banyak bicara. Pria mungil yang selalu menunjukkan sikap dewasanya membuat seorang Dewo memiliki perasaan khusus padanya. Walau terkadang sifat over protektif yang Ardy berikan pada pria berkulit tan yang kini sedang tertawa terbahak-bahak bersama pria yang selalu memakai eyeliner dikelopak matanya sering kali membuat Dewo iri.
“Lo laper ga?” Dewo kembali membuka suaranya.
“Ga.” Jawab Ardy singkat tanpa menoleh kearah Dewo.
Selalu saja jawaban-jawaban singkat yang dia teriama saat berusaha untuk mengajak pria bermata bulat itu berbincang dengannya. Datar. Ekspresi itulah yang selalu ia lihat di wajah manis Ardy.
***
“Ar, Bisa ga bantuin gue ngerjain ni soal? Susah banget!” pria berkulit tan itu berjalan menghampiri Ardy yang sedang berkutat dengan bebrapa buku tebal di depannya.
Ardy menghentikan aktifitasnya, pria itu menoleh kearah samping dan mendapati sebuah buku dengan halaman kucel karena terlalu sering dihapus oleh pemiliknya. Ardy tersenyum, lalu dia segera mengerjakan semua soal yang ada di sana, tidak sampai lima menit, semua soal yang menurut pria yang sedari tadi memperhatikannya itu sulit.
“Gue kan minta lo buat ajarin gue, bukan ngerjain PR gue!” rengut pria berkulit tan itu.
“Gue cuma pengen bantu lo, Rico” Ucap Ardy. Ardy kini kembali larut dalam tumpukkan buku tebal yang ada di hadapannya, membuat pria berkulit tan yang memiliki nama Rico, mendengus sebal.
“Terserah lo aja!” dengus Rico sebal.
“Ah, ya. Lo tahu, tadi siang gue ketemu cowok maniisss banget. Namanya Nichole. Selain wajahnya manis, dia juga tipe orang yang nyenengin, selera humornya kelewat tinggi. Ada aja cara dia yang bisa bikin gue ngakak kejer ampe perut gue sakit, bla bla bla …”
Rico terus mengoceh mengenai pria yang tadi siang bersamanya, mengabaikan rasa perih dan ngilu yang dialami oleh pria bermata bulat yang duduk disampingnya. Rico bahkan tidak sadar jika tangan Ardy telah berhenti bergerak sejak beberapa detik yang lalu.
‘Gampang banget ya tuh cowok ngambil hati elu, Ric. Sedang gue yang selama tujuh taun ini berusaha buat dapetin hati elo malah ga dapet apa-apa’ batin Ardy.
“Lo dengerin gue ga sih?!” protes Rico saat mengakhiri ceritanya.
Ardy menangguk lemah. Jujur, batinnya sakit mendengar kalimat terakhir yang keluar dari bibir Rico. Rico suka sama cowo pecinta eyeliner itu. Secepat itukah? Hanya dengan hitungan detik cowo yang bernama Nichole itu mampu meluluhkan hati seorang Rico yang terkenal angkuh, merubahnya menjadi seperti seorang gadis yang tengah jatuh cinta. Bahkan waktu tujuh tahun yang dihabiskan oleh Ardy yang selalu berada di samping Rico, melindungi pria berkulit tan itu, menjadi sandarannya saat dia lemah, menjadi satu-satunya orang yang selalu ada untuknya, menemaninya kala bosan karena orang tua Jongin yang selalu sibuk bekerja, orang yang rela menghabiskan waktunya untuk selalu mengawasi Rico. Tapi itu semua tidak cukup kuat untuknya menembus pertahanan hati Rico yang dia nilai begitu kuat.
Ya, Ardyio dengan Nichole memang berbeda seratus delapan puluh derajat. Ardy yang pendiam, selalu menyendiri, orang yang terlalu sering menjadikan buku sebagai satu-satunya teman setelah Rico dan Dewo, tidak terlalu menyukai keramaian, dan jarang bahkan tidak pernah bisa membuat Rico tertawa terbahak-bahak saat dia bersama Nichole dikarenakan selera humornya yang buruk. Kyungsoo terlalu datar dan biasa. Sedang Nichole, pria itu memiliki beribu warna yang mampu membuat orang-orang yang berada disekitarnya merasa nyaman. Sama seperti apa yang Rico rasakan. Wajahnya oval dengan bibir tipis dan mata yang indah menambah kesan manis di wajah baby facenya, jangan lupakan juga selera humornya yang tinggi membuat semua orang betah berada di sampingnya. Nichole begitu sempurna. Pikir Ardy.
“Kalo lo suka ama dia kenapa ga ngomong langsung aja?"
Bego! Pertanyaan bodoh itu tiba-tiba saja meluncur dari bibit hatinya. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga dia bisa berkata seperti itu. Hei, tidak kah kau sadar ucapanmu barusan sama sekali tidak memperbaiki keadaan hatimu, justru semakin memperdalam luka yang entah kapan akan sembuh itu.
“Lo bener juga. Ah, gue tinggal nunggu waktu yang tepat buat nembak dia. Haha” Rico segera berlari menuju tempat tidurnya dengan wajah berseri-seri. Dia sedang memikirkan waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya pada Nichole. Stiwert Nichole. Pria manis yang mampu mencuri hatinya.
Sedang Ardy? Namja itu hanya bisa tersenyum miris. Dia merasa Tuhan terlalu kejam padanya. Tidak bisakah dia bahagia bersama orang yang dia cintai? Tidak bisakah orang itu membalas perasaan yang dia miliki? Apa itu terdengar begitu egois?
***
Pagi ini hujan mengguyur kota Jakarta, walaupun tidak terlalu deras, namun tetap terasa dingin. Mobil mewah itu berhenti tepat di depan gerbang SMA 79, menurunkan dua orang pemuda yang kini berjalan menuju gedung mewah nan megah itu. Payung biru laut menaungi keduanya, mencegah air hujan menyentuh tubuh mereka. Tak jauh dari mereka, seorang pria mungil berlari dibawah lindungan tas ranselnya.
Rico yang merasa mengenali namja itu, berlari panik menuju pria mungil itu. Rico melepaskan jaket yang dipakainya, merentangkan jaket itu diatas kepalanya dan kepala pria mungil itu. Mengabaikan pria yang berdiri mematung beberapa meter di belakangnya.
Butuh waktu beberpa detik untuk kembali menyadarkan namja bermata bulat itu ke dunia nyata. Rico berjalan tanpa payung, itu bisa membuatnya sakit. Ardy belari kecil menghampiri kedua pemuda yang tengah saling memandang sambil tersenyum. Ardy segera menyerahkan payung yang berada ditangannya kepada Rico, membuat pria berkulit tan itu menatapnya heran.
“Pake ini, ntar lo sakit lagi. Oh ya, bawain tas gue sekalian ya, gue ga mau buku-buku gue basah kena air ujan." jawab Ardy seolah mengerti arti tatapan Rico.
Ardy berlari kecil menuju pintu utama gedung megah yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Namun hujan semakin deras tepat di langkah Ardy yang kedua.
“Ardyio! Apa yang lo lakuin? Lo bisa sakit WOI!” teriak Jongin.
“Gue ga bakal sakit Rico!” teriak pria mungil itu tanpa menoleh.
Ardi tidak peduli jika beberapa jam kedepan dia akan terserang deman, yang terpenting bukan Rico yang sakit.
***
Ardy menyandarkan tubuhnya pada pohon mangga yang berada di belakangnya, kepalanya entah mengapa terasa sangat berat. Ia melepas kacamatanya kemudian memijat keningnya, berharap dengan cara itu rasa pusing yang mendera kepalanya sedikit berkurang. Entah mengapa udara yang berada disekitarnya terasa begitu dingin, padahal hujan sudah berhenti sejak beberapa jam yang lalu.
"Kayanya gue demam." gumam Ardy entah pada siapa.
Ardy melirik jam tangan Army yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Masih ada waktu sekitar lima menit utuk mengistirahatkan badannya sebelum bel berbunyi, sekali lagi ia melirik kerah dua orang pemuda yang duduk berdua tak jauh dari tempatnya berada sekarang. Kedua doe eyes Ardy mulai berkaca-kaca melihat pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat, hatinya kembali berdenyut ngilu saat samar-samar dia melihat Rico dan Nichole terlihat seperti orang yang sedang berciuman. Penglihatannya memang buruk saat dia tidak memakai kaca mata, tapi Ardy bersyukur karena ia telah melepas kacamatanya terlebih dahulu sebelum melihat pemandangan yang menghantam telak ulu hatinya itu.
Ardy berusaha menahan air mata yang siap meluncur kapan saja dengan cara menutup kedua matanya, membiarkan kedua kelopak matanya tertutup. Namun baru beberapa detik yang lalu kedua mata bulatnya terpejam, seseorang menepuk pundak Ardy, memaksa namja pria bulat itu untuk kembali membuka matanya.
“Rico?” Tanya Ardy dengan suara yang sedikit serak.
“Lagi ngapain sih disini? Ayo ke kelas, bentar lagi bel.”ingat Rico.
Ardy mengangguk lemah. “Nichole?” Tanyanya saat dia tidak menemukan namja imut itu disamping Rico.
“Dia udah pergi duluan. Ayo ah, lo ga mau telat kan masuk kelas?” kali ini Rico menggapai tangan Ardy, sedikit memaksanya untuk segera beranjak dari tempat itu.
Ardi hanya menurut, membiarkan Rico menarik tubuhnya yang terasa melayang. Beberapa kali ia hampir tersandung, jika saja Rico tidak menggenggamnya dengan erat, mungkin tubuh mungil Ardy kini sudah tersungkur di lantai.
“Hei, lo ga papa kan” Tanya Rico saat ia merasa langkah Ardy sedikit berantakan saat ini.
“Hm…” jawabnya singkat sambil menganggukkan kepalanya.
Ardy hendak melangkahkan kakinya bersamaan dengan Rico yang membalikkan tubuhnya dengan kasar menjadi saling berhadapan. Tangan kekar Rico menyingkirkan poni yang menutupi kening namja bermata bulat itu, dan saat tangannya sampai di kedua pipi chubbynya, Rico menyerit heran. Panas. Suhu tubuh Ardy terasa panas.
“Lo demam?” pertanyaan Rico hanya dijawab gelengan lemah oleh Ardy.
“Ke UKS aja ya, lo demam Ar!”
Rico hendak menarik tangan Ardy menuju ruang kesehatan, namun langkahnya terhenti saat Ardy mencoba untuk mempertahankan posisinya. Dengan terpaksa Rico menolehkan kepalanya kebelakang, menatap namja yang lebih pendek darinya dengan tatapan heran.
“Ke kelas aja, ada ulangan matematika.”
Ardy melepaskan tangan Rico yang sedari tadi menggenggam pergelangan tangannya, memaksakan diri berjalan ke depan ttanpa bantuan Rico. Rico hanya menatap sosok Ardy yang berjalan dengan cara merambat ke dinding.
***
Pak Kuncoro membagikan lembaran soal pada murid-muridnya. Keadaan kelas sangat hening, semua siswa yang berada di kelas itu terlihat serius berkutat dengan lembar soal dan jawaban yang ada dihadapannya, tak terkecuali Ardy. Awalnya Ardy dapat mengerjakan beberapa soal yang menurutnya mudah itu dengan lancar. Hingga pada soal terakhir, entah mengapa kepalanya berdenyut nyeri, ia merasa semua yang berada di sekitarnya berputar.
“Ardyio, apa kamu baik-baik aja?” pertanyaan yang keluar dari bibir Pak Kuncoro mampu menarik perhatian seluah siswa yang berada di sana.
“Saya baik-baik aja kok Pak” Balas Ardy lemah. Tangan mungil itu kembali bergerak di atas kertas yang sudah penuh dengan coretan rumus dan angka.
Suasana kembali hening hingga bel berbunyi, menandakan pelajaran Matematika telah berakhir. Setelah Cho seonsangnim keluar dengan setumpuk kertas di tangannya, para siswa bisa bernafas lega. Bagaimana tidak, selam dua jam pelajaran otak mereka di peras untuk menyelesaikan 10 soal yang masuk dalam kategori sulit. Hanya orang-orang yang memiliki otak seperti Ardy yang mampu mengerjakannya dengan cepat.
Ardy menidurkan kepalanya dengan kedua tangan yang di jadikan sebagai bantal. Kepalanya benar-benar tidak bisa di ajak kompromi, apalagi setelah mengerjakan soal ulangan yang diberikan Pak Kuncoro. Walaupun tidak terlalu sulit -menurut Ardy-, tetap saja ia harus menghitung dan mengingat-ngingat rumus apa yang cocok untuk setiap soalnya.
“Lo sakit ya?” seseorang menepuk pundak Ardy. Ardy mendongakkan kepalnya dengan paksa, mencoba mencari tahu orang yang berani mengusiknya.
Senyum angelic. Itulah yang pertama kali tertangkap oleh indra penglihatan Ardy. siapa lagi orang yang memiliki senyum itu jika bukan Dewo, ketua kelas 12-D. Dewo mendudukkan dirinya di bangku kosong yang berada di samping Ardy. Dewo merasakan ada yang ganjil dengan Ardy hari ini, wajahnya terlihat pucat. ‘Apa dia demam karena tadi pagi kehujanan?’ Tanya Dewo dalam hati. Dengan segala keberanian yang Dewo miliki, ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh kening Ardy.
“Sentuh berarti mati.” Desis Ardy dingin.
GLUP
Dewo menelan ludahnya kasar, ia segera menurunkan kembali tangannya. Dewo masih menyayangi nyawanya, maka dari itu dia memilih diam memperhatikan Ardy yang tetap pada posisinya semula. Hei, siapa yang tidak mengenal Ardyio Presetya Pamungkas? Pria berpostur tubuh mungil itu akan berubah menjadi monster yang begitu menyeramkan saat dia marah, di balik sosok antengnya tersembunyi seekor monster yang akan melahapmu jika emosi sedang menguasainya. Ok, berlebihan memang. Tapi itu semua terbukti dengan kejadian dua tahun lalu saat segerombolan anak badung yang berstatus sebagai senior-nya sedang menghajar Rico di ruangan kosong yang berada di samping lab Biologi. Ardy memapah Rico menuju ruang kesehatan, meninggalkan seniornya dengan luka lebam dan memar yang menghiasi wajah mereka. Ah, sebaiknya lupakan saja semua kejadian itu, biar Ardy yang menyimpannya sendiri.
PLUKK
“Dewo, gue kan udah bilang ama lo jangan sentuh gue!” Tanya Kyungsoo tajam.
“Gue Rico, bukan Dewo. Lo demam Ar, sebaiknya kita balik aja ke rumah.”
Ardy mengenali suara itu, itu suara Rico. Detik berikutnya, Ardy merasakan tangan Rico menarik tubuhnya untuk berdiri.
'Gue ga papa Ric.” Ardi berusaha melepaskan tangan Rico yang kini memegangi bahunya.
“Jangan keras kepala!” kekeuh Rico.
***
Rico membaringkan Ardy di kamarnya, hari ini dia dan Ardy terpaksa pulang lebih awal karena Ardy yang terserang demam. Rico menyuruh Ardy untuk mengganti seragam sekolahnya dengan piyama biru muda yang telah dia siapkan sebelum pergi menuju dapur.
Rico kembali ke kamar Ardi dengan membawa baskom berisi air hangat dan sebuah handuk kecil. Saat Rico membuka pintu kamar Ardy -yang memang tidak pernah di kunci- Rico dapat melihat dengan jelas Ardy yang sedang topless di atas ranjangnya. Rico membeku untuk beberapa detik, entah sihir apa yang Ardy gunakan sehingga ia terlihat begitu mempesona. Dan juga… cantik.
“Ric, lo ngapain diem di situ?”
TBC-in dulu kepanjangan soalnya.. hehe
ini cerita re-postan aku dari ffn, maaf kalo aga aneh ama bahasanya soalnya aku cuman ganti nama ama dialognya doang. bagi yang minat baca aslinya nih aku kasih linknya aja
https://www.fanfiction.net/~reiakisima
kujungannya di tunggu.. hehe
Comments