It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tau ga', aku paling sulit memasukkan tokoh perempuan ke dalam ceritaku. bukan kenapa2, cm rasanya lucu aja kalau bersaing dengan perempuan buat mendapatkan cinta pujaan hati.
hehehe
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury @ddonid @dafaZartin
@yuzz : yaap , aku bikin ini karena terinspirasi dari manga , tapi kebayangnya di otak aku kayak film gitu bukan komik wkwk.
@ularuskasurius : justru kalo bagi cewe, aneh aja harus bersaing sama cowo dalam urusan cinta wkwk
updateeeee
Page eighteen – Weird
Minggu paginya, Eri mendapat sebuah kejutan. Buku yang kemarin ia incar di toko buku, sekarang sudah hadir di samping tempat tidurnya.
Sabtu kemarin, walau sangat bersemangat ketika memasuki toko buku, Eri tidak membeli apapun disana karena ia tidak mau Daniel mengeluarkan uangnya. Bella bahkan sempat menawarkan untuk membelikannya sebuah novel, namun Eri langsung menolak cepat.
Dan sekarang novel yang ia incar sudah berada di depannya, lengkap 3 edisi trilogi ‘The Hunger Game’
Karena tidak mungkin orang tuanya yang membelikan, dan tidak mungkin Daniel tahu tentang buku buku seperti itu, Eri hanya punya satu dugaan.
“apa maksud kakak??” tanya Eri sambil mengacungkan ketiga novel tebal itu di depan muka Rio, saat kakaknya itu sedang berada di meja makan.
“apa?” tanya nya tanpa melihat Eri.
“Gimana kakak bisa tahu aku suka buku ini, dan kenapa kakak beli buku ini?” tanya Eri.
“mana gue tau lo suka buku itu.” jawab Rio ketus. “kalo gak mau ya gak usah dibaca, gitu aja kok susah.”
Eri tercengang mendengar jawaban Rio, namun ia sempat menarik sedikit baju Rio ketika kakaknya itu beranjak dari kursi. “satu lagi…. Kenapa kakak ngerjain soal fisika ku?”
“gue bosen.” Jawab Rio tanpa menoleh sedikitpun ke arah Eri. Meninggalkan Eri dengan perasaan bingung dan heran.
Bukannya ia tidak senang pr nya di kerjakan, dan bukanya ia menolak ketika mendapatkan buku incarannya. Namun ia hanya ingin tahu alasannya.
Bosan? pikir Eri. Itu bukan alasan…
Rio berhenti sejenak sebelum memasuki kamarnya. “hei…..”
Eri menoleh dan menatap kearah punggung Rio yang membelakanginya. “kenapa?”
“lo benci gue?” tanya Rio.
Eri memiringkan kepalanya tanda bingung. “maksudnya??” tanya Eri heran.
“jawab aja, lo benci gue apa enggak?” Ulang Rio, masih membelakangi Eri.
Dan setelah Eri mengatakan jawabannya, Rio masuk ke kamarnya dan menghilang di balik pintu.
∞
“kenapa kamu tiba tiba pingin bikin coklat?..” tanya Nenek Paula saat Eri mengutarakan keinginannya siang itu.
Nenek paula sedang sibuk mengolah adonan kue berwarna putih susu , permen coklat berbagai macam warna telah tersedia di atas meja sebagai penghias. Entah kemana hasil kue kue nya selama ini, karena setiap hari ia selalu membuat banyak kue. Namun keesokan harinya kue kue itu hilang tanpa jejak.
Coklat yang ia maksud adalah chocolate truffle , karena itulah yang Eri ingin buat. Muka anak itu entah kenapa memerah saat ia mengutarakan keinginannya.
“g-gak pa pa, cuma iseng aja mau bikin…” jawab Eri sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya memainkan ujung baju nya tanpa bisa diam.
Nenek Paula tersenyum, dan kembali mengaduk adonan. “yaudah nenek bantuin deh, nanti Daniel pasti seneng makan coklat buatan kamu..”
Eri langsung mengangkat kepalanya. “a-aku gak bilang ini buat Daniel!” seru nya dengan muka memerah.
Nenek Paula menggelengkan kepalanya, masih tetap tersenyum. “iya iyaa, siapapun yang nerima coklat dari kamu pasti seneng nanti…” Dan ia menambahkan sebuah kedipan mata di akhir kalimatnya.
“ah nenekkkkk!”
“ngomong ngomong, kenapa kamu baru bikin sekarang? Valentine kan udah lewat cu..” tanya Nenek Paula.
Eri tampak salah tingkah sambil mencomot sebuah permen coklat berwarna merah. “a-aku… “ kata katanya terhenti ketika mukanya memerah drastis. “aku gak bisa ngasih coklat ini di hari itu..” lanjut Eri.
Ia tidak bisa membayangkan dirinya memberikan coklat kepada Daniel, di hari dimana hampir seisi sekolah melakukan hal yang sama. Entah kenapa ia merasa seakan seisi sekolah adalah pesaingnya, di dalam kompetisi dimana Eri tak mungkin menang.
Nenek Paula bisa merasakan kekhawatiran Eri , dan ia menghentikan kegiatannya.
“kamu tau? Nenek yakin Daniel akan lebih senang untuk mendapatkan coklat darimu, daripada dari seisi sekolah.” Ujar nenek Paula , seraya mengelus pipi Eri.
Muka Eri memanas begitu nenek Paula menyinggung topik yang sama persis seperti yang ia khawatirkan. Nenek Paula tersenyum jahil, dan kembali melanjutkan kegiatannya.
“oh iya sarah mana nek?” tanya Eri, ketika menyadari ketidak-hadiran perempuan berambut coklat itu.
“Dia tadi keluar sama temennya, bentar lagi juga pulang” ujar nenek Paula sambil menuang adonannya. “nah itu dia…” tambahnya ketika mendengar suara pintu di buka.
Eri mengintip dari pintu dapur, tapi pandangannya langsung tertutup begitu Sarah memeluknya erat. “hei Eriii!” sapa perempuan itu. Eri berusaha meronta , namun ia tidak bisa melepaskan diri dari dekapan Sarah.
“c-can you let me go?.. my face is ….” Pinta Eri. Tinggi sarah yang melebihi Eri membuat muka Eri akan langsung berhadapan dengan dada perempuan itu.
Namun bukannya melepaskan, Sarah malah semakin erat memeluk Eri. Baru ketika anak itu mendorong Sarah dengan cukup keras, ia terlepas dari pelukannya.
Eri mengusap hidungnya yang tadi menubruk Sarah, ketika perempuan itu berjalan sambil melompat lompat kecil ke kamarnya.
“sarah terlihat bahagia…” Eri berkomentar.
“akhir akhir ini ia selalu begitu, biarkan saja..” balas nenek Paula sambil tersenyum geli melihat kelakuan cucu perempuannya.
“oh iya nek.. “ ujar Eri, teringat akan sesuatu. “tadi pagi Rio nanya sesuatu ke aku…”
“kakak kamu yang pendiem itu?” tanya nenek Paula yang dibalas Eri dengan sebuah anggukkan. “dia nanya apa cu?”
“dia nanya, apakah aku benci dia atau enggak..” lanjut Eri, sambil mencomot permen coklat lainnya yang berwarna biru.
“terus kamu jawab apa?” nenek Paula bertanya sambil memasukkan adonannya ke dalam oven.
“A-aku bingung…” jawab Eri dengan tatapan kosong.” Dia gak pernah buat salahmaupun jahat ke aku. Tapi dia gak pernah ada saat aku butuh , dia gak ada ketika aku butuh orang lain di sampingku. Dia terbiasa mengacuhkan ku , bahkan jarang ngomong apapun ke aku. Akhirnya tanpa sadar aku juga menghindarinya… Anehnya dia juga ngerjain semua soal fisika ku, aku gak tau sejak kapan dia jadi sepinter itu….”
Sejenak hening, dan nenek Paula mengulang pertanyaannya.
“a-aku jawab iya……”
Nenek Paula terdiam mendengar jawaban Eri. Ia sendiri tak begitu tahu tentang Rio, yang ia tahu hubungan Eri dengan kakaknya itu memang tidak baik. Eri juga jarang menyinggung masalah itu.
“apa aku salah?...” tanya Eri dengan mata membulat.
“nenek gak bilang kamu salah. Nenek cuma mau bilang kalo yang kamu lakuin tadi mungkin aja melukai kakakmu itu.”
“melukai gimana maksudnya nek?”
“ya coba kamu pikir, gimana perasaan seseorang kalo keluarganya membenci dirinya? Gimana kalo nenek bilang nenek benci sama kamu, kamu sedih gak?” tanya nenek Paula.
Eri terdiam sejenak sebelum ia menjawab. “tapi aku gak yakin dia bakal terganggu dengan jawabanku, lagi pula selama ini juga dia gak pernah… dia gak pernah nganggep aku.”
Nada Eri terdengar datar, walau di balik kata katanya tersimpan kesedihan.
Nenek Paula hanya tersenyum, dan memandang Eri penuh arti. Belum saatnya ia ikut campur. Belum saatnya.
“bisa kita buat coklatnya sekarang?......” Eri bertanya , seakan mengalihkan pembicaraan…
∞
Bunyi per kasur sedikit menusuk telinga ketika seorang anak remaja berkacamata duduk di atasnya. Tangannya sibuk menggoreskan pena di atas secarik kertas, walau pikirannnya sedang melayang entah kemana. Matanya sendiri menatap kertas dengan tatapan kosong.
Ia menengok keluar jendela, ketika sebuah suara gelak tawa menarik perhatiannya.
Di teras rumah, seorang anak kecil yang tak lain adalah adiknya , sedang tertawa bersama anak yang kira kira berumur sama dengan adiknya walau memiliki postur yang sedikit lebih besar.
Entah kenapa ada perasaan aneh yang mulai timbul ketika ia melihat pemandangan itu. Perasaan seperti sesuatu kepunyaannya telah di ambil orang lain, di depan matanya sendiri.
Tangannya menggenggam erat pena berwarna biru itu, seakan pena itu adalah sumber masalahnya. Perhatiannya sudah teralih dari kertas yang berwarna sepucat susu di depannya,karena pemandangan di luar jendela ternyata berhasil mengusiknya.
Anak yang lebih besar tadi ternyata membawakan sebungkus coklat, yang diterima adiknya dengan gembira. Tak butuh waktu lama sampai adiknya membuka plastik yang membungkus coklat itu dan melahap isinya.
Adiknya membagi dua coklat yang ia pegang , dan memberikan setengahnya pada anak yang lebih besar. Adiknya sibuk dengan kegiatannya sendiri, sedangkan anak di depannya melahap coklat dengan mata sibuk memperhatikan adiknya.
Merasa di perhatikan, adiknya menoleh dan tersenyum dengan noda coklat yang menempel di sekitar mulutnya.Hal itu membuat anak yang lebih besar tertawa, dan membersihkan noda di mulut adiknya dengan tangannya.
Adiknya kembali tersenyum, senyum polos yang membuat siapapun akan langsung terpukau melihatnya. Senyum yang tak pernah ditujukan untuknya.
Tak berapa lama tampak anak yang lebih besar akan pulang, kelegaan muncul di dalam remaja berkacamata itu. Namun adiknya langsung menarik baju anak di depannya, menahannya sebelum keluar melewati pagar.Tangan remaja itu semakin erat mengenggam pena.
Anak yang lebih besar itu berbalik, dan mengusap kepala nya pelan. Ia sedikit membungkuk agar kepalanya sejajardengan adiknya dan ia mengecup kening adiknya pelan.Entah apa yang ia katakan, namun setelah itu mereka saling mengaitkan jari telunjuk masing masing.
Anak remaja itu memutuskan untuk menutup tirai jendela…..
∞
“Eri, you have a message!” seru Sarah dari meja makan. Eri memang menaruh handphone nya di meja makan karena ia akan membuat chocolate truffle bersama nenek Paula. Untungnya saat itu bola bola coklat sudah masuk ke dalam kulkas, tinggal menunggu dingin.
“okay!” sahut Eri sambil menghampiri Sarah yang sedang melambaikan handphonenya di meja makan.
“nekk, aku harus pulang sekarang..” pamit Eri sambil menghampiri neneknya yang sedang mencuci panci yang digunakan untuk melelehkan coklat tadi.
“why???!” Bukan nenek Paula, namun malah Sarah yang menyahut dari meja makan.
“errr…. One of my friend is waiting for me….” Jawab Eri. “ ………..in front of my house, now.” tambahnya ketika melihat ekspresi Sarah yang tidak puas.
“siapa cu?” tanya nenek Paula. Pasti bukan Daniel, karena pemain basket itu pasti akan langsung menuju rumahnya. Ia terkadang bisa tahu keberadaan Eri.
“kemal…..” jawab Eri pelan.
Setelah berpamitan pada nenek Paula – serta Sarah, yang tampaknya tak rela ia pergi – Eri berjalan cepat menuju rumahnya sendiri. Dan ia menemukan Kemal sedang berdiri di depan pagarnya.
“kak kemal??” tanya Eri seakan tak yakin.
Kemal menoleh dan langsung menghampirinya. “hai Eri!”
“kakak ngapain disini?” tanya Eri. Ia sedikit mundur ketika jarak di antaranya dan Kemal agak terlalu dekat.
“gue mau ngajak lo jalan aja, gak boleh?” tanya Kemal sambil mengusap kepala Eri.
“kakak ada masalah ya sama Rara?” tebak Eri, dan seketika itu juga senyuman dari wajah Kemal menyurut. “keliatan dari muka kakak” tambahnya , ketika Kemal terlihat bingung.
Kemal menghela nafas, dan memandang Eri dengan lesu. “gue ceritain dek , tapi mending di tempat lain..”
Dan Eri hanya bisa mengikuti ketika Kemal mengajaknya, entah kenapa ke mall yang kemarin ia datangi bersama Daniel.
“k-kak kenapa gak bilang kita mau ke mall? Gue cuma pake celana pendek sama kaos!” protes Eri ketika ia turun dari motor Kemal di parkiran. Celana pendek + kaos bukan pakaian untuk pergi ke mall menurut Eri.
“ya gak pa pa kali dek, santai aja.” ujar Kemal setelah mengunci ganda motornya. “lagian lo keliatan lucu kok..”
“kakak mah sante pake jeans, gue gak enak pake celana pendek doang.” Sahut Eri yang mukanya memerah, entah karena kemal mengatakan ia lucu , atau karena risih hanya memakai celana pendek.
“udah udahh, mending kita masuk ke dalem.”
Eri berusaha sebisa mungkin untuk menurunkan batas celananya ketika Kemal merangkulnya masuk ke dalam mall. Namun celana pendeknya hanya bisa menutupi sampai setengah lututnya.
“jadi… kakak kenapa sama Rara?” tanya Eri ketika mereka berjalan melewati pintu masuk otomatis. Keramaian yang biasa masih menyelimuti setiap senti ruangan, hanya menyisakan cukup ruang untuk bernafas.
“lo gak sabaran banget sih dek, bentar ampe kita nyampe tempat makan.” balas Kemal ketika ia menerobos kerumunan, membuka jalan untuknya dan Eri.
Menutup mulutnya, Eri hanya terdiam ketika kemal merangkulnya sampai ke sebuah restoran cepat saji. Muka anak itu memerah, karena hangat badan Kemal yang menempel kepadanya , dan juga karena beberapa pengunjung sempat meliriknya – baik perempuan maupun laki laki.
Mereka duduk di sebuah meja kecil di pojok ruangan, tempat terakhir yang masih belum di isi pengunjung. “lo mau makan apa?” tanya Kemal.
“gue gak makan, tapi kalo lo mau makan gak pa pa kok” jawab Eri santai.
“masa gue makan tapi lo enggak, gue beliin es krim ya.” Balas Kemal. Eri tak menanggapi ataupun menolak , yang dianggap Kemal sebagai ‘ya’ dan ia bergegas meninggalkan meja.
Eri menghela nafas sambil melihat sekeliling, sudah menjadi kebiasaannya untuk memperhatikan sekitar ketika ia sedang berada di dalam keramaian. Namun suasana restoran yang terkenal dengan ayam gorengnya itu cukup padat, dan manusia terpampang kemanapun ia memandang.
Satu hal yang membuatnya risih adalah sebuah meja yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi tak jauh dari tempatnya. Seseorang dari meja itu melihat Eri, dan ia berbisik kepada teman temannya yang lain , sampai mereka semua mencuri pandang ke arah Eri.
Begitu juga ketika Kemal kembali membawa nampan berisi sebuah burger dan es krim coklat, lengkap dengan dua minuman bersoda. Para mahasiswi melirik Kemal, dan para mahasiswa entah kenapa sesekali melirik Eri.
Berusaha mengabaikan itu, Eri kembali bertanya pada Kemal. “jadi….. kenapa?”
Kemal tampak menghela nafas seraya menyeruput minumannya “ Rara berubah dek..”
“berubah gimana ??”
“… dia jadi pendiem, hampir gak pernah ngerespon telfon atau sms gue. Dia bilangnya sih gak pa pa, cuma butuh waktu aja. Tapi gue males juga dek kalo gini terus..” ujar Kemal.
“berubahnya sejak kapan kak?” tanya Eri sambil menjilat es krimnya, tanpa menyadari tatapan dari meja sebelah.
“gak berapa lama setelah gue sama dia jadian. Awalnya lo tau sendiri kan dia gak kayak gitu” jawab Kemal tanpa menyentuh makanannya.
“Dia juga jadi ngejauhin gue kalo di sekolah..” tambah Eri.
“nah kan, lo juga kena. Makanya itu dek gue mau putus aja..”
“putus???” Eri terlonjak, dan membuat es krim menempel di sekitar mulutnya. Kemal tampak berusaha menahan tawa nya. “emang gak ada cara lain kak?..” lanjut Eri.
“gak ada dek, gue capek kalo gini terus..” ujar Kemal, sambil mengusapkan tisu ke bibir Eri yang belepotan.
Eri sempat terdiam ketika Kemal membersihkan mulutnya “……….. kasih gue waktu , gue bakal nyari tahu kenapa dia berubah”
“gak usah dek, lo gak usah repot repot....”
“enggak gak pa pa, tenang aja. Gue bakal cari tahu kok kak” ujar Eri sambil tersenyum menunjukkan deret giginya yang rapi. Membuat muka Kemal sedikit bersemu ketika ia membalas senyuman Eri.
“dek , lo tau gak kalo….”
“kalo apa?” tanya Eri ketika Kemal tidak meneruskan kata katanya.
“gak. Gak jadi.” Ujar Kemal. Eri hanya bisa menatapnya bingung, sebelum kembali melahap es krimnya.
‘Kalo senyum lo itu terlalu cerah…’ Lanjut kemal dalam hati.
Page nineteen – Searching
“ini… buat…..?” tanya Daniel sambil menunjuk dirinya sendiri. Eri mengangguk dengan muka memerah ketika ia menyodorkan sebuah kotak tupperware berisi bola bola coklat.
Daniel tak bisa menyembunyikan kebahagiannya pagi itu saat ia menjemput Eri ke sekolah. Eri sudah menunggunya di depan pagar bahkan sebelum ia sampai, dan langsung menyodorkan sebuah kotak begitu ia sampai.
“a-aku buat sendiri, tapi dibantuin sama nenek…” ujar Eri dengan muka tertunduk. “m-maaf kalo gak enak…”
“buatan kamu pasti enak dek, makasih ya” ujar Daniel sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Eri, memeluknya erat. Wangi tubuh Daniel yang bercampur dengan parfum yang ia pakai menembus masuk ke dalam hidung Eri ketika mukanya terbenam di bawah dagu Daniel.
Tubuhnya menolak untuk melepaskan diri, namun mukanya yang kian memerah memaksa Eri untuk menjauhkan tubuhnya dari Daniel. “i-iya sama sama kak..” balas Eri sambil mendorong Daniel pelan.
“boleh kakak coba?...” tanya Daniel, yang dibalas Eri dengan sebuah anggukkan kecil. Eri mengalihkan pandangannya ketika Daniel memakan bulat bulat sebuah bola coklat, takut akan reaksi yang akan di tunjukkan Daniel.
“Enak kok dek, enak banget!” seru Daniel sambil kembali memasukkan sebuah bola coklat ke dalam mulutnya. Muka Eri malah makin memerah ketika ia melihat muka bahagia Daniel ketika melahap coklatnya.
Muka Eri masih menunduk, sehingga ia tidak sadar ketika Daniel sudah membungkuk di sampingnya , memposisikan wajahnya di samping muka Eri. “makasih…” bisik Daniel di telinga Eri sebelum mengecup pipinya.
Perlahan Eri mengangkat kepalanya. Detak jantungnya terpacu ketika ia menyentuh pipi nya, tempat Daniel menciumnya barusan.
“ayo naik dek!” ajak Daniel setelah menyimpan tupperware di dalam tasnya. Dengan pandangan kosong dan muka memerah, Eri naik ke atas motor dalam diam. Seperti biasa, tangan Daniel akan membimbing tangannya untuk melingkari pinggang Daniel , dan motor pun akan berpacu di jalanan.
Mereka sampai di sekolah cukup pagi, parkiran motor masih sepi bahkan masih terdengar suara burung bersahut sahutan. Suhu udara yang dingin sedikit menusuk , namun keadaan itu tidak mengusik Eri yang masih memanas.
Ia langsung turun dari motor begitu Daniel memutar kunci. “kak….” panggilnya.
“ya dek?” Daniel menoleh. Dan tepat saat itu Eri langsung membalas mengecup pipi Daniel.
“sama sama..” bisik Eri di telinga Daniel sebelum ia berbalik dan berlari sekencang kencangnya.
Muka Daniel bersemu ketika ia menatap punggung Eri yang kian menjauh, dan setelah menarik kunci dari tempatnya, Daniel berlari mengejar Eri dengan senyum di wajahnya.
∞
Dari bel masuk hingga bel istirahat berbunyi, Eri masih belum berani menatap Daniel.
Ia sendiri kaget ketika ia melakukan hal gila tadi pagi. Hal yang gila menurut Eri , karena jika pikirannya jernih , ia tidak akan melakukan hal itu.
“kakak ke kantin dulu ya dek” pamit Daniel sambil mengusap kepala Eri. Eri hanya berani memandang Daniel yang mulai berjalan menjauh bersama teman temannya, yang kebanyakan adalah anggota ekskul basket juga.
Eri melepas kacamata dan menaruhnya di atas meja. Ia mengusap kedua matanya, seakan tidak yakin kalau kejadian tadi itu nyata dan ia akan terbangun di kasurnya kapan saja. Tapi ternyata inilah kenyataannya.
Ia baru saja mau mengambil kacamatanya, ketika Rara lewat di depan kelasnya. Walaupun pandangan Eri sedikit kabur, ia tetap mengenali sosok Rara dan ia pun langsung mengejar sosok itu , melupakan kacamatanya yang tergeletak di atas meja.
Eri membuntuti Rara diam diam dari belakang. Rara memang tidak mempunyai banyak teman, dikarenakan tampangnya yang terlihat angkuh. Tak banyak orang yang berusaha untuk menembus keangkuhan Rara dan melihat sosok lain di dalamnya.
Waktu istirahat Rara selalu dihabiskan untuk duduk melamun di koridor kelas. Biasanya hanya Eri yang akan menemaninya saat istirahat.
Sejauh ini tidak ada yang aneh dari gerak geriknya, semua seperti biasa. Rara hanya duduk di atas sebuah kursi panjang di koridor, kali ini dengan sebuah buku di pangkuannya. Tangannya sesekali membalik halaman demi halaman, matanya bergerak gerak membaca tulisan yang tertera.
Angin sesekali membelai rambutnya yang panjang , namun ia tampak tak terganggu. Eri yang duduk dalam jarak aman dari Rara tetap memperhatikan perempuan itu, sampai sampai ia tidak sadar seseorang telah berada di belakangnya.
“eri? lo lagi ngapain?” tanya Bella dari belakang.
Eri buru buru menolehkan kepalanya, dan melihat perempuan populer itu telah berada di depannya. “e-enggak kok gak lagi ngapa ngapain..” jawab Eri gugup.
“lo lagi liatin siapa??” tanya Bella ingin tahu sambil melihat ke arah yang tadi diperhatikan Eri. Untungnya Rara sudah tak ada, entah kemana perempuan itu.
“g-gak liatin siapa siapa kok, lo ngapain disini?” tanya Eri balik. Dalam hati ia kesal karena Rara luput dari pantauannya.
“cuman lewat aja, terus gue ngeliat lo. Oh iya ini gue bawain coklat!” ujar Bella sambil menyodorkan sebungkus coklat dengan plastik bergambar kacang.
“ini buat gue? Makasih bell!” balas Eri dengan wajah polosnya ketika melihat coklat.
“sama sama ri!” ujar Bella. Di luar dugaan perempuan itu malah duduk di samping Eri. “emm ri, lo kayaknya deket banget ya sama Daniel?”
“emang kenapa?” Eri bertanya balik, hampir sama dengan reaksi Daniel.
“ya gak pa paa cuman nanya aja. Abis kayanya kalian kemana mana selalu bareng..”
Eri tersenyum datar “kalo misalnya gue sama Daniel kemana mana selalu bareng, gue pasti gak disini sendirian kan bell” ujarnya.
“iyasih, tapi kan lo juga kalo ngomong sama dia pake ‘aku-kamu’ ri, gak risih apa cowok ama cowok pake ‘aku-kamu’?” tanya Bella , sedikit mengeluarkan emosinya.
Masih tersenyum , Eri menjawab dengan tenang. “enggak kok bell, gue mah santai aja” .
Eri sudah mengerti maksud Bella ketika ia pertama kali menyapanya. Jika Bella ‘kebetulan lewat’ maka tidak mungkin ia sudah mempersiapkan coklat untuk Eri. Maka Eri tahu bahwa perempuan itu sengaja menyapanya.
“ada yang mau ditanyain lagi? Kalo gak ada gue balik ke kelas ya. Makasih coklatnya” ujar Eri dengan senyum di wajahnya. Muka polosnya telah kembali.
Bella menggigit bibirnya karena kesal. Ia tidak berhasil mendapatkan apa apa dari Eri.Dan untuk sekilas tadi mata Eri terlihat berkilat, kilat yang tidak pernah terlihat ketika anak itu memakai kacamatanya, kilat yang membuat Bella terdiam tanpa bisa bersuara. Ia baru saja melihat sisi Eri yang lain.
Sedangkan Eri yang tidak sadar dengan respon dinginnya tadi , kembali ke kelas dengan bungkus coklat yang telah kosong.
∞
Eri tetap membuntuti Rara bahkan setelah bel pulang berbunyi.
Untungnya pelatih ekskul basket datang hari ini, sehingga Daniel tidak akan langsung pulang.
“kakak ekskul dulu ya dek, kamu gak mau ke lapangan?” tanya Daniel, tangannya mengelus kepala Eri yang masih tertunduk. Eri menggeleng tanpa bersuara, ia belum berani menatap Daniel.
“kamu kenapa sih?” daniel menundukkan kepalanya agar bisa melihat wajah Eri dengan lebih jelas. “kamu sakit?”
Eri menggelengkan kepalanya lebih cepat, dan mukanya memanas ketika suara Daniel terasa begitu dekat di sampingnya.
“kamu kepikiran yang tadi pagi?” tanya Daniel tepat sasaran. Nafas Eri seakan tercekat ketika isi pikirannya terbaca oleh Daniel. Eri tidak menggeleng , dan juga tidak mengangguk , hanya mukanya yang semakin memerah yang menunjukkan jawabannya.
Daniel tersenyum dan gemas melihat reaksi Eri, ia merangkul Eri dan berbisik di telinganya. “kakak gak keberatan kok kalo di cium kamu lagi…”
Eri memiringkan badannya menjauhi Daniel ketika ia bisa merasakan nafas pemain basket itu menyentuh telinganya. Sensasi menggelitik muncul di telinganya, memberikan sinyal bahaya ke otaknya untuk segera menjauh.
Muka Eri sudah mencapai batas merahnya, yang sangat kontras dengan warna kulitnya. Jika ia berada di dalam dunia komik, pasti sudah muncul uap di atas kepalanya.
Daniel terkekeh melihat Eri, dan langsung mengacak acak rambut anak itu sampai kacamatanya miring sebelah.
“aaaah kakak!!” ujar Eri sambil merapikan kacamatanya. Rambutnya yang bergelombang sekarang sudah tidak beraturan setelah mendapat ‘sentuhan’ dari Daniel.
Daniel yang tadinya tersenyum telah kehilangan ekspresi ketika melihat Eri. Entah kenapa Eri dengan rambut yang berantakan terlihat lebih ‘menarik’ baginya.
“gak usah dirapiin dekkk” larang Daniel ketika Eri akan merapikan rambutnya. “bagusan kayak gitu..”
“bagus gimana, acak acakan begini..” protes Eri sambil tetap merapikan rambutnya. Namun tangannya terhenti ketika Daniel menangkap dan menahan kedua tangannya.
“percaya deh, kamu gantengan kayak gitu..” ujar Daniel. Muka Eri yang sempat memudar kembali menjadi merah ketika mendengar perkataan Daniel. Ia sering mendengar dirinya di sebut ‘lucu’ walau ia sendiri tidak peduli, namun yang barusan Daniel katakan adalah hal yang benar benar berbeda.
“a-apaan sih kak…” ujar Eri sambil memalingkan mukanya dari Daniel. “kakak entar telat ekskul loh..” tambahnya sambil melirik ke arah jam yang terpasang di dinding kelas.
“oh iya, yaudah nanti kamu ke lapangan ya kalo udah mau pulang” jawab Daniel sambil mengusap kepala Eri pelan. Eri refleks memejamkan mata ketika tangan Daniel mendarat di kepalanya, merasakan sentuhan di kepalanya.
Kebahagiaan baginya bukanlah harta yang melimpah, bukanlah kekuasaan yang tinggi , bukanlah ketenaran yang mendunia. Kebahagiaan bagi Eri hanyalah sebuah usapan kecil di kepala dari Daniel.
Beberapa saat setelah Daniel keluar kelas, Eri berjalan mengikuti jejaknya dan ia baru sadar sekolah sudah sangat sepi. Tak ada suara riuh rendah murid murid, hanya ada suara celotehan yang sesekali terdengar. Beberapa ekskul punya daerahnya masing masing, sehingga jarang terlihat anggotanya yang mondar mandir di koridor sekolah.
Menghela nafas, Eri melangkahkan kakinya ke arah kelas Rara walau ia tak yakin perempuan itu masih berada di sana atau tidak.
“denger ya, udah berapa kali gue bilang supaya lo gak deketin Kemal lagi?!”
Sebuah suara terdengar dari arah kelas Rara, membuat Eri langsung terpacu untuk mendekat. Ia mengintip dari balik jendela, dan terlihat lah Rara yang sedang duduk di sebuah kursi. Di depannya berkerumun anak anak yang Eri kenali sebagai kakak kelas mereka, terdiri dari 5 perempuan.
Salah satu dari mereka yang tampaknya tadi baru saja berbicara kembali mengeluarkan suaranya.
“jangan kira karena lo tuh blasteran terus bisa seenaknya dapetin Kemal!! Ngaca dong lo!” bentak perempuan itu seraya menggebrak meja di depan Rara.
Ketiga temannya yang lain hanya berbisik bisik sambil cekikikan di belakang. Dan Eri baru memperhatikan sosok di samping perempuan yang membentak itu, Cecilia.
“liatin aja kalo besok besok gue masih liat lo deket sama Kemal!” bentak perempuan itu di depan muka Rara, yang tampaknya sedikit terganggu. Eri langsung menyembunyikan diri di kelas sebelah ketika Cecilia dan teman temannya berjalan menyusuri koridor dan hilang dari pandangan.
Eri mengendap endap keluar menuju koridor, dan kembali mengintip ke dalam kelas Rara. Ia tidak bisa menemukan siapapun disana.
“lo ngapain?” tanya sebuah suara di belakangnya. Eri terlonjak dan langsung menoleh untuk melihat Rara yang sudah berdiri di depannya.
“g-gak ngapa ngapain…” jawab Eri pelan. Namun jawabannya tak digubris oleh Rara yang langsung berbalik meninggalkannya.
“Ra? Mereka ngancem lo?” tanya Eri sambil memandangi Rara yang sekarang menghentikan langkahnya.
“bukan urusan lo” jawab Rara. Eri sudah bersiap mendengar jawaban Rara yang ketus, sehingga ia tidak kaget ketika Rara menjawab.
“tapi makasih udah nanyain..” lanjut Rara, sebelum ia berjalan menjauh menyusuri koridor. Meninggalkan Eri yang belum siap mendengar jawaban seperti itu…
∞
Eri tidak begitu kaget ketika melihat Bella berada di lapangan, karena kepalanya masih sibuk mencerna apa yang barusan ia lihat.
Sore itu cuaca mendung dan angin berhembus kuat, membuat Eri menyesal tidak mengenakan apapun untuk melindungi kulit tangannya dari dingin yang menusuk. Bella yang dikelilingi gengnya – yang merupakan fans Daniel – duduk di samping tempat anak anak basket menaruh tasnya. Berharap Daniel akan menghampiri nya ketika ia mengambil tas.
Namun alih alih mengikuti teman temannya yang beristirahat di samping Bella, Daniel malah beranjak ke arah lain , ke tempat Eri yang sedang duduk di bawah sebuah pohon.
“kamu kemana aja?” tanya Daniel, seraya mengambil tempat untuk duduk di samping Eri. Otot tangannya sedikit terlihat ketika ia memakai seragam basketnya yang tanpa lengan.
“gak kemana mana kok” jawab Eri sambil mengeluarkan botol minuman yang ia beli tadi dan menyodorkannya tanpa melihat Daniel. “nih kak”
“makasih ya dek”Jawab Daniel sambil merangkulkan tangannya di bahu Eri.
“ih kakak keringetan, bau tau!” protes Eri sambil berpura pura kesal.
“ye enak aja!!” sahut Daniel sambil mendekap Eri sampai menempel dengan badannya.
“a-apaan sih kakk!” tolak Eri dengan mendorong badan Daniel di sampingnya. Bau yang khas Daniel memasuki hidung Eri dan membuat muka anak itu memerah, apalagi ketika orang orang di seberang lapangan mulai memperhatikan mereka.
“pada ngeliatin tuh..” ujar Eri sambil memalingkan mukanya.
“ah biarin aja lah mereka” balas Daniel yang kembali merangkul Eri.
Mereka berdua tak tahu, bahwa di seberang sana Bella sampai memicingkan matanya untuk memperhatikan mereka.
Tak berapa lama sang pelatih mengumpulkan para anggota ekskul untuk mengakhiri kegiatan hari ini. Dan setelah pemain bubar, Daniel berjalan untuk mengambil tasnya yang entah kenapa berada dekat sekali dengan Bella. Atau Bella yang berada dekat sekali dengan tasnya.
“hai Daniell!” sapa Bella ketika pemain basket itu menunduk untuk mengambil tasnya.
“yaaa” jawab Daniel sambil lalu. Ia mengambil tasnya bahkan tanpa melirik Bella dan kemudian beranjak pergi.
“eh tunggu Dan! .. ini gue bawain minuman..” ujar Bella sambil menyodorkan sebuah botol minuman dingin.
Daniel berbalik dan dengan terpaksa menerima pemberian Bella. “makasih ya bell” ujar Daniel, dan kembali berbalik meninggalkan Bella yang menatapnya lirih.
Dan dari kejauhan Bella hanya bisa melihat ketika Daniel menghampiri Eri, menepuk kepala anak itu , dan merangkulnya sambil berjalan pergi. Merasa diperhatikan , Eri menoleh tepat ke arah Bella dan langsung memalingkan mukanya kembali.
Bella merasa kalah, namun ini semua belum selesai. Bukan Bella namanya jika ia tidak mendapatkan yang ia mau. Dan ia belum serius
iyaw klasik, dari awal mah emang udah klasik keleus, lol.
tapi gapapa, sukak kok..
kalo gue coklat udah meleleh nih..
aw aw aw... ♡♥
btw, Rio mencurigakan nih... hmmmm