It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hmmm adek irian sama kakak tuh wajar ya-gua banget itu-, mungkin dia bete sama abangnya yg berasa lebih2! lebih deket sama Rei contohnya.... hmmm ceritain lah tentang Toro n kisah kalian saat ini! please>< #puppyeyes
@Tsu_no_YanYan mgkn iya iri sm abangnya kali.. tp ttg toro? ga bs cerita.. trlalu gerah klo toro mah..
bawa kabur
sambil nyiapin Alfi nih yg br bs mulai d godok..
lagian ini kisah nyata mu kan kak ? Tapi masa iya kamu gak sedih kalau nginget masa lalu ?
@abay_35 >-
sakit gk rei?
Untuk readers terkasih yang kucinta..
**********************
PERTEMUAN DIPASAR MALAM
Janji-janji yang terucap hanya terasa indah ketika itu pertama didengar telinga, ditangkap otak dan dicerna panca indera. Namun janji hanyalah janji ketika itu semua tidak terealisasi. Semua yang indah segera terasa hampa dan hanya menjadi cerita sambil lalu saja.
Cerita yang sama pun terjadi dengan saya. Bahkan sebelum tunas itu muncul, pohon berbunga telah layu seketika. Saat itu juga. Tanpa daya. Tanpa rasa. Rasa yang tak sempat mengecap pahit manisnya dunia. Namun tenggelam dalam lautan fatamorgana. Terasa semuanya hanya ilusi.. semata..
**
Sejak pembicaraan di taman itu, aku memang beberapa kali berkunjung ke rumah Dwi yang baru sesekali. Namun, seringnya malah sang adik yang bisa kutemui. Jadwal sekolah Dwi dan aku yang berbeda sedikit menyusahkan untuk membuat temu janji. Aku mendapat kelas pagi. Sedang Dwi baru masuk sekolah siang hari. Jadi intensitas pertemuan kami hanya sedikit sekali.
Hari minggu menjadi hari yang paling kutunggu. Aku dan beberapa teman akan berkunjung ke rumah Dwi untuk bermain bersama, seperti biasanya dulu. Kami bermain seperti biasa, tertawa seperti biasa dan bersenda gurau seperti biasa. Seolah semua sama, tiada beda. Aku bahagia.
Namun itu hanya permukaan luar saja. seolah kami terlalu memaksakan kehendak untuk selalu bertemu dan membuat setiap pertemuan terasa semu, terasa jemu. Sedikit membosankan terasa sekali kala itu. Kami memaksakan kondisi yang sekarang tidaklah seperti dulu. Seolah menyempatkan waktu untuk bertemu, walau tahu hati sedikit terpaksa melakukan itu. Aku ragu-ragu.
Akhirnya pertemuan-pertemuan kami hanya bertahan beberapa saat saja. Mungkin karena kami segera merasa bosan dengan pertemuan yang hanya itu-itu saja. Aku yang pertama bosan sepertinya. Karena selalu aku yang berkunjung ketempatnya. Sedang Dwi seolah tak ada usaha. Hanya beberapa kali saja dia bertandang mengunjungiku dirumah.
Kesibukan kami disekolah barulah yang sepertinya menjadi jurang pemisah. Sekolah kami yang tak sama, jam sekolah kami yang berbeda, juga latihan bulutangkis (badminton) yang diikuti Dwi jugalah yang membuat kami makin sulit bertemu dan bertegur sapa.
Dwi memang mengikuti latihan di klub bulutangkis yang ada di balai olahraga di daerah kami. Aku tak heran karena badminton adalah olahraga favorit Dwi. Namun, karena latihan di klubnya itulah yang membuat kami jarang bertemu. Latihannya pada hari minggu yang merupakan hari kami biasanya bertemu.
Jadi terima kasih atas hal itu, aku mempunyai hari lain yang bisa kubenci sekarang selain hari senin tentu saja. Yup, aku benci hari minggu waktu itu. Tidak benar-benar benci sebenarnya. Hanya sedikit tidak suka mungkin lebih tepat. Karena hari yang seharusnya ‘hari kami berdua’, digantikan dengan latihan berharganya itu. Dwi, Aku cemburu dengan hobimu itu.
Andai aku suka olahraga, mungkin aku akan mengikuti latihan itu. Tapi aku tidak suka memaksakan sesuatu yang tidak pada porsinya. Aku tahu, bulutangkis bukanlah passionku. Bakatku sangat jauh dari itu. Olahraga pun tak pernah menjadi favoritku. Walau aku bisa, namun aku sadar posisiku. Segera saja kami jarang (hampir tidak pernah) bertemu lagi sejak saat itu.
Aku tahu nomor telpon rumah Dwi, namun aku jarang menghubunginya. Dia pun sama. Dia hapal nomor rumahku, namun dia pun hampir tidak pernah menelponku. (Sepertinya) kami mulai jemu.
Aku melewati SMP dengan nilai baik. Hampir terlalu baik. Dengan segala kemalasanku aku masih bisa mendapat posisi 10 besar. Itu terjadi dari kelas VII sampai IX. Aku tidak pernah keluar dari 10 besar. Aku sendiri heran. Banyak yang sepertinya lebih rajin dan pintar dariku. Namun entah bagaimana aku bisa unggul dari mereka. Aku tidak menyangka.
Aku kelas IX sekarang. Sebentar lagi Ujian Nasional pun diselenggarakan. Aku mulai mengikuti bimbingan belajar yang berbasis islam yang lumayan ternama atas desakan orang tuaku. Aku bilang aku tidak suka itu, namun tetap saja mereka memaksaku. Aku menurut sambil terus saja memberengut. Aku tidak suka belajar (ralat) tidak suka dipaksa untuk terus belajar. Aku malah bisa menjadi cepat bosan jika terus dipaksa. Namun aku pasrah. Aku menuruti kedua orang tua.
Bagaimana dengan Dwi? Kenapa dengan dia? Sepertinya dia baik-baik saja. Sejak dia sibuk dengan latihannya itu kami jarang sekali bertemu dan memang hampir tidak ada kabar berita lagi diantara kami. Hanya Toro, adiknya yang sesekali mampir dan masih saja baik dan selalu mengajakku bermain. Dari dialah aku mendapat kabar-kabar Dwi.
Toro bilang Dwi banyak sekali yang suka. Hampir tiap malam, telpon rumahnya selalu saja berdering dari gadis-gadis tetangga atau teman-temannya disekolah yang entah bagaimana tahu nomor rumahnya. Padahal Toro bilang Dwi tidak pernah memberitahu mereka. Aku gerah.
Tetap saja, biarpun sudah lama kami tidak bertemu namun mendengar dia banyak diincar para wanita, hatiku membara. Hatiku resah. Aku tidak suka. Kenapa wajah Dwi tidak biasa-biasa saja? Kenapa harus tampan memukau membuat hati risau? Aku galau.
Karena itulah aku sedikit rajin belajar. Dan nilaiku terjaga walau tidak pernah kuduga. Ingatan tentang Dwi masih tetap melekat. Masih terasa hangat. Masih kurasa dekat. Ciuman itu masih kuingat. Lamat-lamat dan aku terjerat. Terjerat dalam memori masa lampau dibalik rimbunnya pohon jambu biji itu bibirku terpikat. Bibirku (ralat) bukan bibirku tapi aku, aku rindu berat.
Ingatan itu hanya datang 2 (dua) kali di masa SMP ku. Waktu itu memori itu memburu setelah aku mengalami mimpi basah pertamaku. Mimpi itu terjadi ketika aku kelas VIII dan masih sangat unyu juga lugu (uhuy). Sepertinya kita tidak usah membahas masalah mimpi basahku. Jujur saja. Karena itu tidak seru. Dan kurasa tidak ada seorang pun yang mau tahu. Bukankah begitu?
Jadi cerita mimpi basahku, kita skip saja dulu. Setuju? Mudah-mudahan begitu dan syukurlah jika seperti itu. Karena aku malu untuk mengaku tentang mimpi-yang-aku-skip-saja-yah-itu.
Kita kembali ke ingatan tentang pohon jambuku. Maksudku yang terjadi dibalik rimbunnya pohon itu. Ingatan itu datang pagi hari ketika aku mimpi ituh-tuh (mimpi-yang-aku-skip-itu) dimalam sebelumnya. Ingatan itu menyapa membuat aku ingat dan rindu berat dengan segala yang telah terlewat dan yang kami (Dwi dan aku) lewati berdua ketika masih dekat. Sangat dekat. Hatiku terjerat dan aku terpikat. Aku kangen berat.
Hari itu aku sadar dengan kata cinta. Kata sayang. Dan kata-yang-tidak-berani-kuucapkan-dulu. kata (*bisik-bisik) gay itu. Hari itu aku sadar aku mencintainya bukan hanya sebagai teman, bukan hanya sebagai sahabat dekat, namun lebih dan jauh melampaui itu semua. A-ku ja-tuh cin-ta. Aku mencintai Dwi. Mencintai seorang lelaki. Aku bergidik ngeri. Namun tak kuasa membendung hati. Hatiku telah dia curi bahkan telah lama sekali, jauh sebelum aku sadar akan hal ini. Aku telah jatuh hati dengan Dwi yang notabene seorang lelaki. Hatiku nyeri.
****
Waktu itu seminggu sebelum Ujian Nasional. Ada pasar malam yang diseelenggarakan di daerah dekat rumahku. Dan rumah Dwi tentu. Karena jarak pasar malam itu berada ditengah-tengah rumah Dwi dan aku.
Pagi hari itu, ingatan ciuman pertamaku muncul untuk yang kedua kalinya diwaktu SMP ku. Ingatan itu masih nyata, jelas dan menyisakan rindu didada. Aku gelisah. Mungkinkah ini pertanda?
Malam harinya ketika ingatan itu menyapa. Aku melihat pasar malam berdua dengan adik bungsuku. Kami melihat-lihat, membeli jagung manis, sosis bakar dan mencoba sekaligus mengacak-acak hal-hal yang tersaji disana. Aku senang, riang gembira. Aku selalu suka suasana pasar malam yang ramai dan menimbulkan kesan ceria.
Dan disanalah dia. Pangeran berkuda putih yang hanya bisa kugapai dalam mimpi panjang penuh duri. Mimpi semu yang tak terlihat ujungnya itu, membuat sendu dan pilu. Aku melihatnya berdiri disana. Di gerai baju-baju yang tersampir rapi tanpa cela. Aku menatapnya. Dia memalingkan wajah. Mataku tak lepas darinya, dia melirikku sesekali. Seperti malu dengan hal ini. Aku pura-pura memalingkan wajah, dia menatapku penuh haru. Aku tahu dia menatapku. Aku bisa merasakan tatapannya itu.
Aku palingkan cepat wajahku, menatap matanya yang tak juga lepas melihatku. Dia tersadar. Dia tersentak dalam getar. Ketika dia ingin palingkan lagi wajahnya itu, aku mengeluarkan senyum termanisku. Diiringi derai tawa penuh rasa, penuh makna, sarat akan rindu didada. Dia terdiam, matanya tak sanggup dia alihkan. Lagi, aku tersenyum manja. Dia balas dengan senyum alakadarnya. Kini dia palingkan muka. Melihat kedalam gerai baju-baju tadi. Aku sakit hati.
Bukan karena dia memalingkan wajahnya tadi. Tapi karena dia menyambut seorang gadis yang ada didalam gerai baju tadi. Hatiku terbakar iri. Gadis itu cantik. Menarik. Dengan rambut panjang tergerai. Kulit coklat terang memukau. Juga wajah ayu jelita nan menawan. Pantas saja Dwi tertawan. Aku resah. Aku gelisah. Mimpi indahku seolah sirna tak tersisa. Memori dulu pun terasa tanpa makna. Tak berarti apa-apa.
Dwi senyum ramah ketika dia menggamit gadis ayu jelita mempesona tadi. Namun matanya masih sesekali mencuri-curi kearahku. Bagaimana aku tahu? Karena (hanya) mataku yang tak lepas memandanginya. Tak puas hanya memandanginya. Tak ingin hanya memandanginya. Tak ingin hanya dipandangi olehnya. Aku ingin mendampinginya. Aku kecewa.
Dia masih saja mencuri tatap kearahku. Namun aku kini telah berlalu dengan rasa hati yang tak tentu. Rasa itu layu bahkan sebelum tunas bertumbuh. Aku cemburu. Dan aku hanya bisa tergagu, tergugu dalam sendu. Aku benci pasar malam sejak hari itu.
****
Hari ini ujian nasionalku diselenggarakan. Namun untuk yang sekarang aku tidak yakin nilaiku akan gemilang. Bukan apa-apa, bayangan Dwi selalu saja terngiang. Ketika aku membaca buku, aku teringat gerai baju itu. Ketika aku menghapal rumus matematika, lirik-lirik malu Dwi datang menyapaku. Bahkan ketika aku mengerjakan soal IPA, ingatan Dwi menggandeng gadis ayu jelita nan menawan itu menghantam mendera ingatanku. Aku menyerah. Ujian kali ini aku pasrah.
Bukan berarti aku tidak bisa. Aku paham dengan semua latihan-latihan soal yang kukerjakan. Namun, aku tidak yakin jika aku bisa cukup berkonsentrasi mengerjakan soal ujian.
Benar saja. ketika aku mengerjakan soal ujian, isianku banyak yang D atau C. Padahal jelas yang kumaksud bukan itu. Untungnya, karena aku terbiasa mengerjakan soal dengan cepat, aku punya cukup waktu untuk koreksi sesaat. Dan aku terkaget ketika isian lembar jawaban milikku banyak yang melenceng dari yang kuniatkan.
Soal yang seharusnya kujawab A atau B atau E aku jawab C atau D. Aku ingat ketika aku mengerjakan soal, aku teringat tentang Dwi. Mungkin karena itu tanganku berkhianat dan mengisi kolom D (D for Dwi?). Pun ketika aku bermaksud mengisi jawaban yang lain selain C, tanganku bergerak otomatis menyilang C. Karena teringat gadis ayu jelita itu. aku Cemburu. Jadi C (C for Cemburu) lah pilihanku.
Untung saja fokusku tidak selalu terbagi seperti itu. Namun ujian kali itu, adalah ujian yang paling menyiksa untukku. Dengan segala ingatan-ingatan itu juga distraksi-distraksi tak penting itu, untungnya nilai ujianku baik-baik saja. Syukurlah. Nyaris saja.
Aku tak pernah berhenti bersyukur atas karunia kepintaran dan otak encer yang telah dianugerahkan Gusti Allah padaku. Untunglah aku terbiasa mengerjakan latihan soal-soal try out secara cepat. Jadi aku masih memiliki waktu mengoreksi jawaban-jawaban ‘kacauku’ dulu. otomatis nilai-nilaiku tidak seburuk dugaanku. Alhamdulillah..
Tahun itu aku lulus SMP dengan bekal yang cukup untuk masuk SMU negeri. Aku langsung diterima tanpa masuk daftar tunggu. Aku senang. Hatiku riang. Walau sedih yang kurasa masih terngiang. Ingatan memori itu masih terbayang.
Tahun itu aku sadar akan cintaku pada seorang pria. Satu pria sebenarnya. Walau aku tak tahu apa dia memendam rasa yang sama. Namun aku percaya, dihatiku, ingatan itu juga dirinya tak akan mudah sirna begitu saja. Di tahun itu, Cintaku layu sebelum bertumbuh. Aku rapuh.
****
Sejak lulus SMP dulu, aku lebih pendiam dan mengurung diri, menjauhkan diri dan pergaulanku dari teman-teman sebayaku dulu. Aku merasa aku berbeda. Aku merasa aku berdosa. Dosa yang selalu kuratapi dihari-hari awal SMU-ku dulu.
Aku gamang. Setiap melihat pria tampan aku merasakan ketertarikan datang. Tidak seperti rasaku untuk Dwi seorang. Namun cukup membuatku meradang. Aku merasa jalang. Mengamati setiap paras tampan rupawan mataku jelalatan. Cukup. Hentikan. Untungnya sikap pendiamku berguna menutupi perbedaanku dengan teman-teman satu angkatan.
Masa SMU kulalui biasa-biasa saja. Tidak ada gejolak berarti. Nilai-nilaiku masih tetap terjaga. Sejak kelas X, aku selalu masuk kelas unggulan. Namun tidak pernah juara kelas. Karena aku malas. Syukur-syukur masih tetap dijajaran 10 besar di kelas. Kecuali di kelas XI.
Di kelas XI aku sama sekali tidak mendapat peringkat/ranking. Karena sebagian gurunya membuatku jengah. Membuatku uring-uringan.
Kelasku memang kelas unggulan, namun bukan berarti kami luar biasa pintar atau jenius bukan? Akan tetapi sebagian guru dengan seenaknya menganggap kami memiliki kepintaran di atas murid-murid kelas lainnya. Sehingga dikala mereka mengajar, mereka dengan mudahnya hanya menyuruh kami maju dan mengerjakan soal tanpa pernah mengajari terlebih dahulu. Sebagian guru itu baru mulai mengajari ketika dirasa perlu dan soal-soal yang kami kerjakan dibahas ulang. Itu menyebalkan. Aku meradang. Aku tak senang.
Sudahkah kubilang jika aku itu moody person? Well, kukatakan sekarang, jika aku memang amat sangat moody sekali. Nuansa hatiku bisa berubah tiba-tiba dan itu menyebalkan. Mood-ku selama kelas XI dulu berada dititik jenuh. Semua mata pelajaran terasa keruh, tidak menarik dan lusuh.
Namun anehnya, nilai-nilai yang ada dikelas unggulan ini termasuk paling tinggi di sekolah ini. Satu angkatanku itu memiliki nilai yang fantastis. Bahkan nilai terendah di kelasku bisa berbuah peringkat 10 dikelas lain. Sedang nilaiku, bisa berbuah peringkat 2 atau bahkan satu dikelas lainnya juga. dan itu menyebalkan. Kenapa? Karena dikelasku aku termasuk yang bernilai standar walau tidak pernah menjadi 10 terbawah tentu. Andai aku masuk kelas lain waktu itu.. Huuffth..
Hanya di kelas XI itu aku keluar dari sistem peringkat. Karena ketika aku masuk kelas XII, Peringkat itu datang kembali padaku. Yang kusambut dengan uluran tangan penuh haru. Aku rindu peringkatku.
Selama periode SMA-ku aku jarang mendengar kabar dari my sweet kiss memory Dwi Putra Sugiantoro. Seolah dirinya lenyap ditelan waktu, terlupakan dari ingatanku. Hanya sesekali saja aku mendengar kabarnya dari Toro sang adiknya itu.
Selentingan kabar dari Toro menguatkan hasratku untuk bisa melupakan hasratku untuknya. Cinta yang tak sempat tumbuh itu, memori yang telah layu dulu, bahkan ‘monumen’ kami pun telah lenyap tak berbekas, tak ada lagi tanda-tanda keberadaannya. Tak tersisa. Yang dulu terasa indah kini telah hampa.
Kabarnya Dwi sudah memiliki kekasih. Banyak kekasih. Karena kekasihnya berganti-ganti sejak SMP dulu. Namun kali ini, sepertinya sudah ada kekasih yang telah satu tahun lebih dipacarinya. Aku gerah namun pasrah. Ternyata rasa itu masih ada. Masih sangat terasa. Hatiku merana.
Semua kabar itu kujadikan pegangan untukku maju. Tak kubiarkan diri meratapi hal-hal semu yang tak pasti dan berujung buntu. Ketetapanku hanya satu. Rasa ini akan kusimpan selalu. Disudut terdalam relung hatiku. Biarlah dia membeku dan menjadi kisah masa lalu.
**
Hari libur sekolahku, setelah ujian itu, Toro berkunjung ke rumah menemui adikku. Umurnya memang sepantaran adik laki-lakiku. Aku mendengarnya sedang mengobrol dengan emak dan adikku di bawah. Segera aku turun tangga. Aku mendengar sekilas kata-kata mereka. Kata-kata yang menghentikan aliran nafas yang tercekat seketika. Pikiranku buntu tanpa daya. Juga tubuhku bergetar luar biasa sekaligus lemah lunglai tanpa terasa. Aku terluka.
Toro mengabarkan jika Dwi akan menikah. Karena desakan pihak wanita yang tidak ingin melihat anak mereka berpacaran lama-lama. Padahal setahuku Dwi masih sekolah. Dwi mengambil jurusan perhotelan waktu itu. Mengikuti jejak ayahnya. Dasar wanita edan, bisa-bisanya dia ingin memonopoli Dwi secepatnya. Tidak pedulikah wanita itu jika Dwi masih sekolah dan belum bekerja? Bodoh. Mau makan apa mereka? Cinta? Makan itu cinta..!! Aku marah karena resah.
Kabar ini menghantamku sedemikian rupa. Kukuatkan hati. Kumantapkan kaki. Aku memang telah berniat untuk belajar melupakannya. Namun kabar itu tentu saja mengguncangkanku begitu rupa. Bagaimana tidak? Dwi masih sekolah for God sake..!!
Mungkinkah si wanita telah berbadan dua? Mengapa begitu cepat sekali ingin menikah? Segampang itukah seseorang melangsungkan pernikahannya? Tinggal ke KUA dan semua masalah selesai saat itu juga? Dimana otak mereka? Aku kecewa. Aku marah.
Dengan langkah pasti kusambut Toro dengan wajah berseri. Kelewat terlalu berseri sepertinya. Aku tak peduli.
Kutanya kabarnya, tidak kutanya kabar Dwi. Sengaja. Sanggupkah aku mendengar kata itu untuk kedua kali? Maaf aku sedang tidak ingin disakiti. Cukup sekali. Dan tolong jangan lagi. Aku bisa gigit jari sambil menari-nari. Lalu bernyanyi dengan suara lirih..
I can’t forget you when you’re gone
You’re like a song
That goes around in my head.
And how I regret its been so long
Oh what went wrong?
Could it be something I said?
Time.. Make it go faster or just rewind
To back when I’m wrapped in your arms.
All afternoon long it’s with me the same song
You left a light on inside me, My Love.
I can remember the way that it felt to be
Holding on to you.
I can’t forget you when you’re gone
You’re like a song
That goes around in my head.
And how I regret its been so long
Oh what went wrong?
Could it be something I said?
Time.. Make it go faster or just decide
To come back to my happy heart.
(LENKA- LIKE A SONG)
Lagu tante Lenka ini seolah representasi perasaanku terhadap seorang Dwi yang luar biasa tampan menawan. Keberadaannya Like a Song yang selalu terdengar mengalun dikepalaku. Dengan suara merdu mendayu-dayu, membuat lidah kelu dan menyayat hati menjadi pilu. Lagi. Aku rapuh.
Aku enyahkan sejenak segala pikiranku dari berita itu. Aku sedang tidak ingin mengharu biru. Harapanku memang telah lama hilang sejak benih cintaku tak sempat bertumbuh. Rasaku pun telah lama dibuat layu. Aku relakan semua rasaku. Sejak itu kututup pintu hatiku untuk seorang lelaki yang begitu dekat denganku dulu. Seorang Dwi Putra Sugiantoro kurelakan dirimu dari hatiku.
****
CONVERSATION
Aku sudah kuliah sekarang. Jurusan hukum. Dengan program kekhususan keperdataan. Semester ini merupakan semester terberat untukku. Aku harus mengerjakan ujian tengah semester setelah sebelumnya selama seminggu lebih sedikit dirawat dirumah sakit akibat operasi usus buntu.
Aku masih jago untuk urusan Sistem Kebut Semalam. Karena itu malam setelah dua hari aku keluar dari rumah sakit, aku kebut diktat mata kuliah yang setebal buku Harry Potter ke 4 sampai 7. Ada dua dosen killer yang sering sekali membuat mahasiswa mengulang mata kuliah, dan aku enggan untuk mengambil lagi mata kuliah itu ditahun berikutnya. Jadi kukerahkan segenap partikel dan syaraf-syaraf otakku. Memaksanya sampai di luar batas biasa.
Ajaib. Setiap kali aku memaksa otak untuk menghapal, dia melakukannya tanpa celah. Hanya beberapa kali koreksi aku sudah melahap diktat kuliah yang tebal itu. Perut bagian bawahku masih sedikit ngilu, namun aku masih memaksakan untuk menghabiskan waktuku malam itu menjemput teori-teori hukum sebelum kantuk menyapaku.
Aku mengambil 24 SKS semester ini. Semester III ini aku diperbolehkan mengambil SKS penuh. Mempertimbangkan nilai-nilaiku yang selalu di atas tiga koma (Author nyombong dikit yah.. gapapah kan? hahahaha..) maka aku mendapat lampu hijau untuk 24 SKS itu.
Namun sepertinya pilihan mengambil banyak SKS-ku sedikit menyiksa dengan operasi usus buntu yang tak terduga ini. 2 minggu full jadwal ujianku penuh. Jadi tiada hari tanpa buku, buku dan buku. Mau makan kubawa buku, nonton tv sambil baca buku, pun ketika ingin tidur tak lupa kunina bobokan diriku dengan buku. Buku adalah pintu ilmu pengetahuan saudara-saudara. Rajin-rajinlah membacanya. Jangan seperti saya! Yang baru membuka ketika ujian tiba! #Gubrak.
Lengkap sudah penderitaanku selama dua minggu yang berat terasa ini. Dengan perut nyeri kukerjakan semua soal ujianku. Sedikit ‘mengarang bebas’)* kuberikan untuk beberapa dosenku tercinta.
*) mengarang bebas adalah istilah teman-temanku untuk jawaban ujian yang memakai nalar pribadi tanpa memedulikan teori. (khusus untukku kukaitkan sedikit dengan teori yang hanya sedikit kupahami tapi tidak terlalu kumengerti). Jadi karangan bebasku tidak terlalu buruk pikirku.^_^’
Libur setelah ujian kulewatkan dirumah saja. tidak kemana-mana.
Kabar dari Dwi pun tidak terdengar lagi. Karena Toro mulai jarang bermain kerumahku lagi. Dan aku? Aku pun sejak SMP dulu sudah tidak pernah berkunjung ketempat Dwi. Sejak pertemuan kami di pasar malam itu.
Entah jika mereka masih disana atau sudah pindah. Tak tahu juga apakah Dwi jadi menikah atau ditunda. Aku tak ingin begitu dalam memikirkannya. Maaf-maaf saja, aku tidak ingin melambungkan harapan palsu untuk diriku sendiri juga hati ini. Aku tidak siap kecewa untuk yang kesekian kali karena seorang bernama Dwi, my lovely sweet kiss memory. Aku menyerah.
**
Akhirnya, karena suntuk dirumah aku berniat pergi ke toko buku disalah satu mall di daerahku. Aku suka toko buku. Karena aku hobi membaca. Dan koleksi bukuku agak lumayan banyak. Sedikit terlalu banyak sebenarnya. Beberapa sempat kujual dipasar loak. Dengan harga yang tidak seberapa. Sedikit kecewa, tidak sepadan dengan perjuanganku mendapat buku-buku itu. Tapi harus kulakukan itu. karena emak sudah mewanti-wantiku. Koleksiku yang agak banyak itu sudah tak ada tempat lagi. Membuat emakku terus bernyanyi dengan nada terlalu tinggi. Terpaksalah kurelakan hati dengan beberapa koleksi bukuku yang kucintai.
Aku mengoleksi komik dan beberapa novel. Mau komik New Kungfu Boy? Aku punya. Naruto? Aku ada. Beberapa judul komik tersedia dilemariku. Ada beberapa komik lama yang kubeli di terminal Senen karena rekomendasi dari temanku. Legenda naga judulnya. Komik itu sampai sekarang pun belum tamat. Bahkan tetanggaku yang telah bekerja tahu judul itu. Seberapa tua komik itu? Ckck..
Favoritku tentu saja X-Clamp. Karena hanya Clamp yang agak gay-friendly. Dibeberapa karya mereka, mereka tidak segan memasukkan unsur shonen-ai (percintaan dua orang pria) yang sedikit romantis tapi tragis. Dengar-dengar mereka memang memiliki bakat fujoshi akut. Karena itulah X-Clamp selalu menjadi favoritku. Pun begitu dengan Clamp yang menjadi pengarangnya itu.
Oke stop tentang komik. Koleksi Novelku tidak seberapa. Hanya komik-komikku yang menggunung. Koleksi novelku hanya sedikit saja. Harry Potter series aku punya, Laskar pelangi series Andrea Hirata aku ada. Supernova karya Dee (Dewi Lestari), tentu saja. Fira basuki juga. Sekar Ayu Asmara juga Djenar Maesa Ayu masih tersimpan dilemariku. Beberapa buku Kahlil Gibran juga Chairil Anwar masih selalu terngiang. Beberapa fiksi seperti Artemis Fowl dan Septimus Heap juga sedikit karya Trudi Canavan, Agatha Christie dan juga lainnya sudah kubaca.
Favoritku adalah Perfume karya Patrick Suskind. Novel itu adalah karya masterpiece menurutku. Kalian harus baca karyanya yang sangat luar biasa itu. Recommended pokoknya. Jika perlu carilah. Kalian bisa membantahku jika nanti penilaianku salah tentang novel itu. Setuju?
Oookkkeeeeee.. Stop talking about books.. karena aku bisa seharian membicarakannya. Aku sangat suka baca seperti kubilang tadi. Jadi, maaf karena sedikit kelepasan tentang buku-buku koleksiku. Ada yang punya Alchemist series ga? Pinjem donk.. hehehe. Sorry.. sorry.. lanjut ajah ya..
Siang itu aku berangkat ke mall seorang diri. Karena beberapa teman yang kuhubungi tidak bisa ikut pergi denganku. Sudahlah, tidak apa-apa. Daripada suntuk dirumah. Di Mall aku hanya melihat-lihat. Dan tujuanku tentu saja, toko buku. Di Gramedia kulepaskan dahagaku yang telah lama tak bersentuhan dengan buku-buku, selain diktat mata kuliahku tentu. Hufth..
Setelah puas melihat, membaca dan membeli beberapa buku (maaf emak, kebiasaan ini susah hilang) yang kebetulan sedang diskon, aku segera pulang. Ingin segera makan karena lapar. Itulah aku. Aku lupa makan jika sudah asyik dengan buku. Segera kuberhentikan angkot yang lewat.
Ketika baru turun dari angkot aku terkesiap. Sosok yang selama ini berusaha kulupakan berdiri disana. Diseberang jalan yang berseberangan denganku. Dia melihatku. Aku menatapnya. Lekat. Teramat sangat lekat. Hanya sejenak, namun terasa lama sekali.
Aku tersenyum. Dia mulai menyeberang. Aku terdiam. Dia menyapa. Hatiku berbunga tiba-tiba.
“Rei..” Aku tersenyum bodoh ketika dia menyebut namaku.
“Lama ga ketemu ya Rei..” Aku mengangguk penuh semangat. Agak kelewat semangat sepertinya.
“Dari mana?” Tanyanya.
“Jalan-jalan aja. Terus mampir ke toko buku.. Nih..” Kuperlihatkan buku-buku yang kubeli.
Dia mengangguk. Mulai sedikit tersenyum. Sepertinya bingung dengan kata-kata yang ingin dikeluarkan. Aku mulai tidak nyaman. Ini ditengah jalan. Well, tidak persis ditengah, tapi ini jalanan. Apa aku harus langsung pulang sekarang? Tapi aku rindu.. tak bisa kupungkiri aku masih rindu dengan sosoknya.
Interaksi antara kami memang tidak terlalu banyak dulu. Namun yang tidak seberapa banyak itulah yang paling berkesan bagiku. Segala yang kami lakukan masih lekat dalam ingatanku. Memang telah coba kulupakan semua itu. Tapi apa dayaku. Aku tak mampu.
“Dwi.. Pakabar?” Tanyaku. Sambil jalan sekarang.
“Baik. Rei.. Kita cari tempat buat ngobrol dulu yuk?” Ajak Dwi tiba-tiba.
Seketika aku mengangguk tiba-tiba. Terlalu cepat. Rei bodoh. Dasar bodoh. Kepala bodoh. Kenapa ngangguknya cepat banget sih? Bikin malu ajah..
“Oke.. Kemana?” Tanyaku.
“Ikut aja. Oke?” Aku mengangguk.
Ternyata Dwi tadi membawa motor dan motornya diparkirkan didekat warnet. Mungkin dia habis dari warnet tadi. Motornya melaju, menderu pelan. Lumayan lama. Karena Dwi sepertinya tidak terburu-buru membawaku. Aku dilema. Ingin kudekap tubuhnya dari belakang tapi aku gengsi. Aku takut. Tiba-tiba Dwi menghentak motornya cepat. Aku tercekat. Tanganku tahu-tahu melekat erat. Perut Dwi dapat kugamit dan kunikmati lamat-lamat.
Sepertinya Dwi sengaja. Karena ketika aku mendekapnya motornya mulai menderu lambat lagi. Seolah ingin menikmati waktu kami selama mungkin. Mungkin hanya khayalan babuku saja.
Hari sudah malam waktu itu. Dwi masih membawaku menuju tempat yang aku tak tahu. Tapi sepertinya aku bisa memperkirakan tempat apa itu. Dari jalan—jalan yang telah kami lewati kala itu. Benar saja. Dia mulai membelokkan motornya kearah Kemayoran, tepatnya ke pusat jajanan di sekitaran Masjid Akbar Kemayoran yang mulai banyak waktu itu. Motor berhenti.
Roti bakar Bu Iis. Nama tempat itu. Aku tahu. Karena sepupuku pernah mengajakku makan ketempat ini. Roti bakar ditempat ini lumayan juara. Harga murah, tapi rasa tidak murahan. Roti bakar kejunya itu aku suka. Dulu, ketika kumakan disana (tidak tahu sekarang) kejunya melimpah ruah dan susunya luar biasa banyak. Untuk yang tidak suka bisa Enek tiba-tiba. Tapi aku suka, aku suka keju dan susu.
Tempat itu ramai. Aku rasa ini bukan tempat yang tepat untuk bicara berdua saja. Segera saja hatiku nelangsa. Bukan apa-apa. Aku merasa hal yang ingin dibicarakannya tidak seberapa penting. Karena itulah tempat ini yang dipilihnya. Karena orang akan dengan leluasa mendengar percakapan kami. Hatiku nyeri.
Namun, bahkan setelah makan selesai Dwi belum membicarakan apa-apa. Hanya aku yang bertanya. Sibuk apa? Bagaimana kabar keluarga? Dan hal-hal standar lainnya. Perihal berita tentang rencana pernikahannya dulu enggan kusebut. Ternyata aku dan hatiku masih pengecut. Tidak sanggup mendengar berita yang membuat hati ciut.
Setelah selesai makan. Soal aku yang nambah 2 kali tidak perlu disebut. Aku malu (#Lhoo *itu apa?) huhuhuu.. Intinya.. Setelah makan Dwi mengajakku beranjak. Tapi tidak menuju motornya, melainkan berjalan-jalan di area sekitar Masjid Akbar Kemayoran. Ketika melihat ada bangku kosong dengan tempat yang sedikit jauh dari orang-orang, kami duduk disana. Dwi yang mengajak duduk disana.
Diam. Lama kami duduk dalam diam. Aku bosan. Lidahku gatal tidak karuan. Namun kutahan.
“Rei..” Nah Dwi memulai pembicaraan.
“Kamu berubah sekarang..” Aku? Berubah? Masa? Iya kali ya..
“Kamu lebih pendiam..” Oh itu. hu,uh emang iya.
“Aku kangen keceriaanmu dulu. Keceriaan waktu kita bersama dulu..” Waktu kita bersama? Kok kayak dulu kita pacaran ya? Bahasanya itu lhoo.. bikin gimanaaa gituuu..
“Iya. Sejak kamu pindah dulu, aku jadi lebih pendiam..” Tidak mungkin juga kubilang sejak aku melihatnya berdua dengan gadis ayu jelita di pasar malam dulu, aku cemburu. Dan sadar betapa besar rasa cintaku padanya dulu. Hal itulah yang merubahku. Membuatku merasa berbeda. Merasa berdosa.
“Maaf ya Rei.. Aku... ...” iyaaa.. kok diem? Sariawan yah.. Hadeuuhh.. I hate orang yang suka gantung-gantungin kalimat. Sama bencinya dengan orang yang suka PHP-in orang lain. #MaafCurcol
“Aku akan menikah..” KAGET? YA IYALAH..!!! PAKE TANYA!!!
Bagai petir disiang hari. Bagai layangan putus dari benangnya. Bagaikan langit tertutup awan. Aku tak bisa berkata-kata. Pun ketika aku berusaha. Lidahku kelu seketika. Suaraku tak terdengar tiba-tiba. Padahal mulutku terbuka, berusaha berbicara. Tapi susah. Kukatupkan lagi mulutku tanpa daya. Aku merana. Teramat sangat merana.
Ternyata perasaan hangat dulu masih ada. Masih tersisa untuknya. Sehingga kata-katanya bagai belati yang menusuk hati tiada terperi. Hatiku teramat sangat perih.
“Rei..” Sepertinya Dwi ingin mendengar tanggapanku. Aku tak kuasa. Tak ada daya. Haruskah aku berkata aku cemburu? Aku terluka mendengar beritanya.
Haruskah kukatakan aku mencintainya? Teramat sangat mencintainya. Masihkah aku mencintainya? Masihkah ada rasa dihatiku untuknya? Ternyata masih. Ternyata ada. Ternyata masih ada perasaan dihatiku teruntuk dirinya. Aku ingin menangis saat itu juga. Aku gamang seketika.
“Se..lamat..” Kataku lirih. Sedikit bergetar. Suaraku nyaris tak terdengar. Walau sudah kumantapkan hati dan kukuatkan diri ini untuk mengatakannya. Aku lemah. Aku tak bisa berkata lebih dari yang sudah terucap baru saja.
“Kamu gapapa? Kok pucat?” Tanyanya khawatir. YA IYALAH!! PAKE TANYA!!!
Jangan ditanya bisa ga? Aku bisa keceplosan mengungkapkan perasaanku karena rasa cemburu. Sepertinya aku tidak bisa menahan keinginan lidahku yang tidak sanggup mengeluarkan segala resah hati yang tertahan lama sekali. Sampai terasa basi. Namun tak jua kutemukan keberanian hati.
“...” aku hanya menggeleng. “Cuma capek..” akhirnya hanya kata itu yang bisa kuucapkan.
Aku memang merasa lelah, jiwa dan raga. Tak ada daya. Tak ada rasa. Aku merasa hampa. Tubuhku laksana selongsong kosong tanpa jiwa. Ternyata semua rasaku sia-sia.
“Ya udah pulang yuk..” ajaknya. Dia berdiri.
Aku mengangguk “Tunggu..” lidahku berujar secara kurang ajar. Tanpa ijinku dia mengeluarkan suara. Seperti tidak rela mengakhiri kebersamaan kami yang baru saja tak seberapa lama.
Dwi menoleh menatapku. Aku malu. Tertunduk lesu. Bad tongue.. Lidah nakal. Tanggung jawab. Entah mengapa ada desakan hati ingin jujur pada Dwi tentang semua rasaku ini. Paling tidak biarlah jika dia membenciku jika tahu perasaanku. Karena toh sebentar lagi dia akan menikah. Tapi bisakah dia menyimpan semua, jika aku jujur dengan perasaanku? Aku percaya dia. Dan yakin dia akan menyimpan rapat-rapat tentang ini. dan kuputuskan untuk jujur padanya. Apapun resikonya. Aku siap.
“Dwi.. aku mau bilang sesuatu..” Dia menatapku. Aku tak sanggup menatapnya. Aku malu.
“Bilang aja..” katanya.
Dengan hati penuh debar. Dengan perasaan tak karuan. Aku mantapkan hati. Menguatkan diri untuk kata-kata yang ingin kuutarakan. Here we go.. one.. two.. go..
Kriikk.. Kriiikkk..
Oke aku masih belum siap sepertinya. Dwi menatapku heran. Motor mobil berlalu lalang. Hanya sedikit orang yang lewat di depan. Aku tegang.
“Rei..” Sepertinya Dwi sudah tidak sabar..
Oke. Siap tidak siap, kusiap-siapkan. “Dwi.. Tolong nanti jangan motong kata-kataku ya. Aku siap apapun nanti reaksi kamu setelah dengar kata-kataku ini.. Oke?” Dwi mengangguk.
“Dwi.. Aku.. Aku.. Akucintakamu. Akucintakamudaridulu..” Kata-kataku terlalu cepat. Aku tidak ingin keberanianku menghilang.
“Aku cinta kamu. Dari dulu.. Entah sejak kapan.. tapi aku sadar sejak SMP kalo aku suka kamu....” dan aku mulai bisa berkata-kata dengan lancar. Sangat lancar sepertinya. Seolah semua resah hati kuungkapkan saat itu juga. Di tempat itu. Kepadanya.
Aku katakan bagaimana aku menyadarinya. Menyadari kalau aku mencintainya. Bagaimana aku cemburu ketika melihatnya di pasar malam itu. Juga ciuman itu. Ciuman yang dulu itu. di Pohon Jambu dulu. Bagaimana ingatan itu masih menyapaku. Dan berita tentang kabar penikahannya dulu. Bagaimana hatiku sakit mendengarnya kala itu. Semua mengalir, lancar tanpa beban. Malah seolah semua beban itu terangkat dengan setiap kata yang meluncur dari bibirku.
Selesai. Semua beban resah hati yang kusimpan didalam peti di sudut terdalam hati telah aku ungkapkan pada Dwi. Jika tadi aku berani memandangnya sesekali sambil bercerita. Sekarang keberanian itu hilang lagi tiba-tiba. Aku tertunduk malu. Menunggu penghakiman Dwi atas kejujuranku.
“...”
“...”
Aku diam. Dwi diam. Lama sekali kami duduk dalam diam.
“...”
Masih diam. Tak ada jam. Tapi kurasa lama sudah waktu terbuang terlewat dalam diam. Lalu dengan kikuk dalam diam digenggam dan diremasnya tanganku. Hanya sepersekian detik. Tapi itu cukup membuatku tersipu.
Mengingat itu memang jalanan umum jadi tidak mungkin kami saling bergenggaman tangan lama. Namun itu kurasa cukup. Cukup membuat jantungku berdegup kencang kebat kebit bukan kepalang. Jadi.. Apa tanggapannya.. Aku masih menunggu..
“Rei.. Dwi.. dulu pernah hampir tunangan. Karena...”
Dwi bercerita jika dulu wanita yang berpacaran dengannya kebelet sekali ingin agar dia menikahinya. Yang tentu saja ditolak Dwi dan keluarganya. Mengingat dia masih sekolah. Padahal wanita itu hamil saja tidak. Mungkin dia tergila-gila, sangat tergiila-gila dengan Dwi sehingga tidak rela jika tak bisa mengikatnya dalam tali suci pernikahan. Pihak wanita itu meminta pertunangan saja yang dilangsungkan. Namun Dwi tak bisa. Dia menolak. Wanita itu mengancam ini itu tapi Dwi tidak peduli. Bukan salahnya. Toh wanita yang posesif luar biasa itu pun hanya gertak sambal saja. Semua kata-katanya hanya angin lalu tak bermakna. Dan Dwi melepasnya. Sampai akhirnya ketika lulus, Dwi langsung bekerja di Hotel tempat ayahnya dulu (atau masih. Aku lupa) bekerja. Disanalah dia bertemu gadis yang sekarang berencana ingin dinikahinya. Anak dari manajer hotel tempatnya bekerja.
Aku senang mendengarnya bercerita. Tapi aku bingung, bagaimana dengan tanggapannya tentang kejujuran yang dengan susah payah kuungkap.
“Rei udah Isya?” tanyanya mendadak. Aku menggeleng.
“Sholat dulu yuk sebelum pulang. Mumpung di Akbar..” ajaknya.
Aku mengangguk. Kami berdiri melangkahkan kaki. Menuju masjid Akbar yang tak begitu jauh dari tempatku duduk. Setelah mengambil wudhu, kami mulai bersiap sholat. Dwi adalah imamku. Imam sholatku tentu. Selesai sholat tak lupa kami bersalaman. Kuambil tangannya dan kucium dengan penuh syahdu. Dia imamku. Aku terharu.
Kulepas genggaman tanganku. Dan mulai kubaca dzikir penuh khusyuk. Kupanjatkan doa-doa untuk kedua orang tua, untuk diriku dan tak lupa untuk Dwi, ku doakan kebahagiaannya. Setelah selesai kami beranjak, dan segera bermaksud pulang.
Dalam perjalanan pulang yang terasa cepat. Tak terasa kami sudah didepan rumahku. Aku turun dan berterima kasih atas waktunya. Dia menggamit telapak tanganku dan mengajakku bersalaman erat. Tegas dan enggan lepas.
“Rei.. Makasih” Sambil tersenyum dia mengatakan itu lalu melepaskan jabatan tangan kami dan segera berlalu.
Apa itu? Itukah jawabannya atas kejujuranku? Tidak ada kata-kata, hanya genggaman tangan penuh makna. Disertai senyuman penyejuk jiwa. Jadi dia tak marah? Lalu bagaimana perasaannya? Sampai sekarangpun aku tak tahu. Namun aku cukup bahagia, telah berbicara jujur dengannya.
Itulah ceritaku. Memori ciuman pertama dibalik rimbunnya pohon jambu bersama seseorang yang merupakan cinta pertamaku. Bisakah dia kukatakan cinta pertama? Karena bahkan cintaku tak sempat bertumbuh. Tapi, dari dan keatas dirinya aku mengenal kata cinta. Cinta kepada seorang pria. Walau cintaku tak terbalas olehnya. Cerita ini tetap kugenggam penuh makna dan penuh rasa terima kasih didada.
**
Memori ciuman pertamaku kuakhiri sampai disini. Terima kasih atas segala apresiasi. Kutangkupkan tangan penuh haru untuk setiap pembaca yang menyempatkan diri untuk mengunjungi ceritaku. Sampai berjumpa dilain waktu, dilain kisah. See you.. #KecupHaru
Cerita ini kuakhiri dengan sambil mendengar lagu dari Michael Buble yang berjudul You and I. Lagu ini kurasa pas sekali untuk mewakili rasa yang dulu kumiliki dari dan keatas diri seorang Dwi. So, just lets hear it (Coba dengerin lagunya yah..) together lagu ini. Simak liriknya untuk kalian resapi..
Here we are. On earth together
It’s You and I, God has made us
Fall in love. It’s true
I’ve really found someone like you
Will it say the love you feel for me?
Will it say that you will be by my side?
To see me through
Until my life is through
Well, in my mind
We can conquer the world
In love, You and I
You and I.. You and I
I am glad at least in my life
I’ve found someone
That may not be here forever
To see me through
But i found strength in you
‘Cause in my mind
Youwill stay here always
In love. You and I
You and I.. You and I.. You and I
In my mind
We can conquer the world
In love, You and I
You and I.. You and I
Memori Pohon Jambu (My First Kiss) - TAMAT