It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Makasih juga udah mampir en berbaik hati ninggalin komen.. #KecupHangat buat kamu.. :-*
@octavfelix
@bayumukti
@rone
@angelsndemons
@alvaredza
@TigerGirlz
@Zazu_faghag
@arifinselalusial
@FransLeonardy_FL
@haha5
@fadjar
@zeva_21
@YogaDwiAnggara2
@inlove
@raka rahadian
@Chy_Mon
@Cruiser79
@san1204
@dafaZartin
@kimsyhenjuren
@3ll0
@ularuskasurius
@Zhar12
@jujunaidi
@edogawa_lupin
@rickyAza
@rebelicious
@rizky_27
@greenbubles
@alfa_centaury
@root92
@arya404
@4ndh0
@boybrownis
@jony94
@Sho_Lee
@ddonid
@catalysto1
@Dhika_smg
@SanChan
@Willthonny
@khieveihk
@Agova
@Tsu_no_YanYan
@D_Phoenix
@awangaytop
@Lonely_Guy
@ardi_cukup
@Hiruma
@m1er
@maret elan
@Monic
@cee_gee
@kimo_chie
@RegieAllvano
@faisalits_
@Wook15
@bumbellbee
@abay_35
Guys.. selamat menikmati kecupannya..
Hope you guys love it.
Happy Reading guys^^
Rumahku sepi. Si emak lagi kondangan ke tempat saudara di Bogor. Sedangkan bapak udah sejak sebelum puasa pergi ke Maluku. Karena harus menghadiri acara 40 hari tante yang meninggal dunia. Dan tinggal beberapa lama disana sejak itu sampai nanti 100 hari tante. Yang artinya masih sekitar seminggu lagi bapak bakalan tinggal disana.
Lebaran lebih beberapa hari kemarin, aku dan adik perempuanku pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bulanan. Di tengah jalan, aku melihat Toro sekilas sedang naik motor membonceng bocah laki-laki. Dan dimulailah perbincangan dengan adik perempuanku yang menyibak sekeping kenangan yang mulai teringat kembali.
“Zee, tadi liat yang naik motor ga?”
“Ga. Emang siapa bang?”
“Itu, si Toro lagi bonceng anak kecil.”
“Oh mas Toro yang anaknya mpok Sum itu?”
“Ho’oh.”
“Dulu kan dia suka boncengin gue bang kalo mo berangkat sekolah.”
“Hah? Masa? Kok gue baru tau Zee?”
“Iye bang. Jadi dulu kalo gue mau berangkat sering papasan dijalan, akhirnya malah diboncengin deh sampe sekolahan.”
Aku manggut-manggut. Ini memang bukan yang pertama aku dengar adikku dibonceng Toro. Tapi itu dulu. Dan hanya sekali namanya disebut ketika adikku masih sekolah di SMP.
“Zee, si Toro udah nikah kan ya?”
“Ho,oh. Kan MBA bang.”
MBA (Married By Accident).. Itu betul. Aku ingat ketika emak dulu mengatakan hal itu padaku. Waktu itu sore hari, aku sedang duduk menonton tv di ruang tamu. Emak membuka pembicaraan yang sedikit mengejutkan.
“Rei kenal Toro anaknya ibu Sum?”
“Kenal mak. Kenapa sama si Toro?”
“Emak denger dia mau nikah.”
“Kok tiba-tiba mak?”
“Emak denger ‘kecelakaan’. Ceweknya udah tekdung duluan.” WHAT?!
“Hah? Yang bener? Kata sapa mak?”
“Kata orang-oranglah. Pokoknya awas kamu Rei kalo sampe kayak si Toro. Emak malu kalo sampe ada anak emak yang begitu. Jangan sampe deh anak emak ada yang bikin malu nama keluarga. Bla bla bla..”
Aku tidak mendengar kata-kata emak selanjutnya. Pikiranku teralihkan oleh berita yang cukup mengejutkan ini. Walau aku tahu kalau Toro mempunyai rasa penasaran yang tinggi, tetapi menghamili anak orang? Aku sungguh tidak menyangkanya. Lagipula, rasaku yang salah ini akan lebih membuat malu jika sampai orang lain tahu. Jadi aku hanya diam saja mendengar emak mewanti-wanti.
Aku punya rahasia. Rahasia ini sedikit memalukan. Rahasia tentang aku dan Toro dulu. Rahasia ketika kami mandi bersama. Berdua. Tidak ada yang tahu. Tidak keluargaku, keluarga Toro, tidak juga dengan Dwi. Hanya Toro.. dan aku.
Jika mengingat saat itu, mungkin berita ini tidak begitu mengagetkan lagi. Dari pengalaman saat kami berdua dulu, sepertinya aku sedikit bisa memahami seorang Toro. Hanya sedikit. Toro.. satu nama dimasa laluku. Nama yang sahut menyahut dengan Dwi karena mereka bersaudara. Nama yang mengajarkanku sesuatu ‘ituh’.
Wait, ‘ituh’? apa ‘ituh’?
Tolong jangan berpikir yang tidak tidak dulu. Ini jauh dari bayangan kalian. (Mungkin) tidak seperti yang kalian persepsikan. Jauh dari itu (sepertinya). Kisah ini datang setelah pindahan, ketika pertemuan antara Dwi dan aku mulai tak tentu.
*
Aku suka hujan. Suka dengan setiap tetes yang turun membasahi bumi. Menikmati setiap rintik hujan yang deras turun tanpa henti. Jika sudah begini, aku tak kuasa menahan diri untuk lari keluar dan bermain di bawah rintik hujan yang membasahi diri. Itu dulu, kini tidak lagi.
Ketika hujan datang, aku akan menyelinap keluar. Tidak mempedulikan peringatan emak, yang tidak memperbolehkanku mandi hujan. Aku nekat. Hujan itu memanggil-manggil namaku. Bukankah aku harus menjawab panggilan itu?
Kesenangan bermain dalam derasnya rintik hujan sirna tatkala emak sudah menunggu di depan pintu rumah ketika aku telah selesai bermain dan bibirku membiru. Emak bisa sangat mengintimidasi jika begitu.
“Dasar bangor. Udah berapa kali dibilangin, jangan mandi hujan. Cucian banyak, belom kering, belom nanti kalo sakit, bla bla bla..” Aku segera ngacir ke kamar mandi. Omelan si emak terus terdengar dari dalam kamar mandi. Mulai dari cucian, penyakit sampai cerita tentang petir. Aku dengarkan sambil lalu.
“Eit, mau kemana kamu? Pel dulu itu lantai yang basah.” Perintah emak setelah aku selesai membilas tubuh.
Alhasil, masih dengan handuk masih dipinggang aku mengepel lantai yang basah karena ulahku tadi. Adikku menertawaiku. Sial.
*
Esoknya, sawah dekat rumahku sudah seperti kolam saja. Air hujan kemarin tertampung disana. Aku melihat banyak anak-anak yang bermain-main di kolam dadakan itu. Sepulang sekolah, karena iri aku pun segera kesana. Bermain air yang cukup berlumpur. Tapi kami tidak peduli. Kami semua terlalu asyik dengan dunia anak-anak kami. Mencari kecebong untuk ditangkap, lomba lari dengan tinggi air di atas dengkul. Menyenangkan. Betapa kebahagian itu mudah sekali didapat ketika kita kecil dulu. Bahkan hal-hal sekecil apapun bisa menjadi hal yang luar biasa menyenangkan. Betapa aku merindukan saat-saat itu.
Ketika aku ‘ngobak’ (ada yang tau EYDnya apa?) di air itulah aku tersadar kalau Toro juga ada disana. Dia sedang sibuk menangkapi kecebong yang dimasukkan ke dalam botol minuman bekas. Aku menghampirinya.
“Udah dapet banyak Tor?”
“Eh Rei, udah tuh. Liat aja di botol.”
Kuangkat botol minuman yang sudah terpotong setengah itu. Sudah terisi dengan kecebong yang lumayan banyak nangkring didasarnya. Hebat juga dia.
“Dari tadi?”
“Lumayan.”
“Jauh amat dari rumah kamu kesini.”
“Daerah rumahku mana ada kolam dadakan gini. Seru tau.”
“Kalo baju kamu kotor gimana?”
“Susah amat. Mampir ke tempat kamu lah Rei. Numpang mandi sekalian minjem baju.” Huh. Dasar. Sudah kuduga sih.
“Aku bantu tangkep yah?”
“Terserah.” Jawabannya cukup untukku.
Dengan itu aku segera mencari tempat yang tidak terlalu banyak orang agar bisa menangkap kecebong yang lewat. Jika kalian pikir menangkap kecebong itu mudah, kalian salah. Buktinya, aku kesulitan menangkapnya. Bahkan satu pun terasa lama. Kecebong-kecebong itu menghindariku. Sepertinya mereka tidak menyukaiku. Hingga akhirnya aku temukan ritme yang pas untuk melakukan tangkapan pertama. Aku berhasil menangkap bakal kodok itu. Aku senang.
“Tor, liat nih. Dapet. Masukin botol yah?” aku memberitahu Toro dengan riang.
“Dasar Rei. Baru satu aja udah seneng gitu.”
Aku memanyunkan bibirku. “Biarin. Jarang-jarang ih.” Toro geleng-geleng.
Itu benar. Aku jarang menangkap kecebong. Atau kodok muda. Di kolam dadakan itu ada kodok mudanya juga. Kodok kecil dengan sedikit buntut kecebong yang masih tersisa. Atau bahkan yang sudah hilang buntutnya. Itulah mengapa kolam itu sering dijadikan hiburan murah untuk anak-anak seumurku waktu itu. Menyenangkan. Betapa dulu kesenangan itu murah dan mudah didapat.
“Rei, udah yuk. Udah banyak nih.”
“Hm, iya. Oke.”
“Numpang mandi di rumah kamu ya Rei bersihin badan yang kotor.”
“Nyok mandi nyok.” Ajakku. Karena jika aku mengajak teman, aku tidak akan dimarahi emak karena sudah bermain kotor-kotoran.
Emak selalu marah jika musim hujan tiba. Sasaran kemarahannya lebih banyak aku sepertinya. Karena aku yang paling sering bermain hujan dan ‘ngobak’ (serius deh, ada yang tau EYD kata itu?) di air. ‘Baju basah. Hujan. Panas ga ada. Cucian banyak Rei!!’ atau ini ‘Astaga. Kamu habis ngapain? Ini baju kotor banget. Tanah semua. Yang kemarin aja belom kering’. Sepertinya itu yang paling kuingat. Karena paling sering diucapkan emak.
Kalau mengingat saat itu, sepertinya dosaku sama emak banyak banget ya. Sering sekali menyusahkan emak dengan ulahku yang nakal itu. Tapi apa mau dikata? Aku terlalu asyik dengan dunia kanak-kanakku.
“Ya ampun Rei. Abis ngobak (Maaf, masih belom tahu EYDnya) lagi pasti. Cucian yang kemarin aja belom kering.” Nah kan. Mirip. Lalu emak melihat Toro. “Eh, ada Toro. Apa kabar? Ibu bapak sehat?” Secepat itu mood emak berubah. Emak selalu ramah pada tamu.
“Mak, Toro mau numpang mandi.”
“Sok atuh. Mangga. Ya udah kalian mandi gih. Bersih-bersih. Pada kotor begitu. Rei, emak mau ke rumah nenek dulu di komplek sebelah.” aku mengangguk. “Toro udah makan? Jangan lupa ajak Toro makan dulu ya Rei. Lauknya ada di lemari makan.” Tuh kan. Aman. Emak tuh sebenernya baik. Apalagi kalo ada orang lain. Pinter kan aku ngajak Toro. Ga jadi diomelin.
“Kamu mandi duluan gih Tor. Aku ambilin handuk dulu.”
“Rei, bareng aja yuk.” Ajak Toro.
Tanpa berpikir aku langsung menjawab, “Yuk.”
Aku sudah sering mandi bareng dengan teman-teman atau saudara-saudara sepupu. Maksudku, tidak ada pikiran apa-apa dulu. Sama sekali tidak ada. Kupikir Toro pun begitu. Tapi aku salah. Pikirannya lebih dewasa dari aku. Dalam artian Toro tahu hal-hal dewasa yang aku tak tahu. Salah satunya ini. Rahasia ini. Agak berat membeberkannya disini. Tapi ya sudahlah..
Aku dan Toro sudah melolosi pakaian kami berdua. Kami tidak langsung mandi, malah saling menyiramkan air. Setelah beberapa saat baru berhenti dan mulai saling menyabuni. Toro yang memintaku untuk menyabuninya. Dan ketika giliranku tiba untuk disabuni olehnya. Aku resah
Bukan apa-apa. Tapi gerakan menyabuni Toro tidak biasa. Dan area yang disabuninya juga tertuju dan selalu mengarah kesitu. Ke itu tuhnya aku. Padahal tadinya dia sedang menyabuni punggungku. Dan rahasiaku pun dimulai disini. Saat sabun yang dipegang Toro terarah padaku. Aku ngilu tapi mau. Geli yang terasa menyenangkan.
“Rei gemuk.” Ujar Toro ketika tangannya bergerilya menyabuniku.
“Hnmh?” Tubuh Toro dibelakang tubuhku.
“Pipi Rei gemuk.” Aku manyun. Kenapa selalu pipi? Ngomong pipi tapi kenapa tangannya nyentuh itu tuhnya aku. Hufth.
“Tor, sabuninnya udah ah. Udah lama inih.”
“Tapi aku belom puas nyabunin Rei.”
“Ish. Cepetan ih. Males ah lama-lama di kamar mandi.”
Saat itulah tangan Toro dengan cepat menggenggam itu tuhnya aku. Dan sabunnya digosokkan dengan cepat di itu tuhnya aku. Dengan irama yang semakin lama semakin cepat itu tuhnya aku digosok-gosokkan dalam genggaman tangannya. Aku geli. Aku ngilu. Dan aku malu.
Malu karena ada perasaan yang aneh saat itu. Malu karena genggaman Toro yang tak biasa. Lalu, dengan itu tuhnya aku yang masih dalam genggamannya. Aku segera memegang tangan Toro. Aku ngilu-ngilu geli. Tidak tahan. Kakiku terasa lemas.
“Udah ah. Geli.” Kataku menghentikan gerakan menggosok Toro. Seraya memegang tangannya agar berhenti saat itu juga.
“Tanggung Rei.”
“Ehmm? Ga ah. Geli. Udah yuk.” Aku berbalik menghadapnya. Ada yang beda di Toro. Tapi apa?
“Ya udah. Kamu duluan gih Rei. Aku masih mau mandi sebentar.” Aku mengangguk.
Kuraih gayung dan melakukan jebar jebur dengan cepat. Kulirik Toro dengan tangan yang meraih sabun lagi, dia memegangi ituhnya dia. Agak dibejek-bejek begitu kelihatannya. Matanya terpejam.
“Tor, duluan yah..”
Toro membuka mata. “Hmm. Jangan cerita soal sabunan yang tadi ya Rei?”
“Kenapa gitu?”
“Pokoknya rahasia kita, oke?” aku memandanginya sebentar. Tangannya masih selalu memegangi ituhnya. Sekarang aku tahu apa yang beda. Toro keras. Ituhnya keras dan tegak.
Lalu aku mengangguk. “Okeh.” Dengan Dwi, aku punya rahasia ciuman pertamaku. Dengan Toro, aku punya rahasia ‘main sabun’ pertamaku. Ih ih ih.. Membayangkan dulu aku ngilu. Uuugh..
Sepertinya sekeping ingatan yang tertinggal ini harus kusudahi sampai disini. Toro. Satu nama yang mengajarkan ‘kedewasaan’ yang bahkan tidak kusadari dulu. Jika ingat hal-hal yang sudah diketahuinya diusia dini, aku jadi tidak terlalu kaget ketika berita MBA itu mampir ke telingaku.
Toro memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan selalu ingin menuntaskan apa yang sudah dimulainya. Anehnya, denganku dia selalu menahan diri. Selalu baik padaku. Toro memang tidak setampan Dwi, tetapi Toro memiliki kharisma tersendiri yang membuat orang segan padanya. Ditambah temperamennya yang keras itu. Andai dia menahannya seperti saat kami sabunan itu. Sayangnya dia terjatuh dalam nafsu yang tak sanggup ditahannya, tidak seperti ketika denganku dulu.
“Makan dulu yuk bang?” Aku tersadar dari lamunanku.
“Yuk. Dimana?”
“Sol*ri* aja, gimana?” Aku mengangguk.
Aku dan Zee segera melangkah menuju Sol*ri* setelah selesai belanja bulanan. Ingatan tentang Toro masih terbersit sedikit ketika membicarakannya. Setelah sekian lama tidak bertemu. Aku melihatnya lagi. Mungkinkah hal yang sama terjadi dengan Dwi? Sudahlah. Aku tidak ingin mengingat itu.
“Lo pesen apa bang?”
“Hah? Oh, samain aja. Nih duitnya. Zee, gue ke toilet dulu ya. Kebelet.”
Kupikir aku bisa menahannya. Tetapi karena pakai acara makan dulu, air yang tertampung ini sudah harus dikeluarkan. Segera aku menuju toilet yang terletak di pojok selatan pusat perbelanjaan ini. Dengan cepat aku masuk toilet dan memposisikan diri ke urinoir yang masih kosong. Sudah terisi oleh 2 orang disamping kananku ketika aku masuk.
Ketika air seniku mengucur dengan deras, aku merasa risih tiba-tiba. Seolah ada yang memata-mataiku dengan liar. Tanpa menengok, kualihkan sudut mata ke urinoir sebelah kananku. Astaga. Orang disebelahku memperhatikan dengan terlalu seksama. Amat sangat seksama. Ada apa dengan posisinya yang makin merapat kearahku? Ditambah lehernya yang seperti memanjang ingin melihat ituhku lebih jauh. Urgh.. Aku harus buru-buru.
Sepertinya itu juga salahku. Aku buang air kecil sedikit jauh dari urinoir, sehingga ada jeda cukup lebar yang mempertontonkan ituhku. Sial. Padahal aku hanya tidak ingin terciprati saja. Menyebalkan. Orang itu makin memanjangkan kepalanya. Ih ih ih.. buru atuh. Kenapa ini air seni banyak banget lagi. Dan.. yes selesai. Tekan flush. Karena ingin cepat, aku memasukkan ituhku malah tersendat. Otomatis pria di sebelahku. Melotot memperhatikan ituhku. Ih ih ih.. akhirnya berhasil diretsleting juga. Kabuuuurrrr..
Aku cuci tangan alakadarnya. Tanpa tisu dan tanpa dikeringkan. Orang itu ikut-ikutan selesai. Aku lirik sekilas dari kaca toilet yang besar. Pria itu sepertinya berumur awal 30an. Tampang standar. Berbaju biru. Memberikan kode-kode aneh padaku ketika sadar aku meliriknya. Dan parahnya, ketika aku buru-buru ingin kabur, dia mengikutiku. Emaaaakkkk.. Sumpah takuuuttt..
Aku berkelit. Secepat kilat aku melangkah zig zag di sela-sela pertokoan. Aku berhasil mengecoh pria itu dan mulai berjalan cepat menuju tempat makan tadi. Fiuuhh.. Emaakk.. Anakmu ini masih selamat.
“Lama banget bang.”
“Nyetor tabungan dulu.” jawabku asal.
“Ish jorok lo bang.”
“Biarin ih Zee, belom dateng juga makanannya.” Adikku menatapku sinis.
“Zee.. Toro pernah naksir sama lo ya?”
“Ga lah bang. Dia cuma nganggep gue adek. Justru dia sering minta dicariin pacar sama gue.”
“Eett.. adek gue mak comblang dong.”
“Profesional nih gue bang. Track record gue udah lumayan banyak yang sukses.” Kami tertawa.
“Kalo Dwi, apa kabar ya Zee? Pernah denger ga?”
“Gue ga tahu bang. Dulu pernah mas Dwi ngeboncengin gue sekali. Udah sekali kalinya itu ajah.”
“Dwi udah nikah kan ya Zee?”
“Denger-denger sih ga jadi bang. Beberapa kali niat nikah gagal katanya. Mas Toro pernah bilang deh kayaknya dulu.” aku manggut-manggut.
Percakapan kami berdua terhenti karena pesanan kami datang. Ketika makan, kami berdua tak banyak bicara. Sampai pulang kami masih membicarakan tentang Toro dan sedikit tentang Dwi. Hanya sedikit sekali tentang Dwi.
Aku lelah. Kenapa memori-memori itu datang disaat aku sudah belajar melupakan? Belanjaan yang berat ditambah kenangan yang mendera, juga kucing-kucingan dengan orang yang aneh membuatku lelah. Kubasuh muka di kamar mandi. Menghilangkan penat yang merundungi hati. Ketika keluar kudengar Zee meneriakkan namaku.
“Baanngg.. Baanngg..”
“Hah? Ada pa’an Zee?”
“Dwi sms gue masa?”
“Dwi mana?”
“Dwi mpok Sum lah. Panjang umur tuh anak. Baru diomongin.”
“Kok dia tahu nomor lo Zee?” aku curiga.
“Ga tau deh.”
“Zee, si Dwi minta dibales tuh. Sombong lo katanya.” Itu saudara lelakiku.
“Jadi elo, bang Rendra yang ngasih nomor gue ke Dwi?”
“Tadi gue ketemu orangnya dideket indom*ret. Trus dia minta nomor lo. Ya udah gue kasih.” Lalu Rendra segera berlalu dari kamar Zee.
Aku pusing. Kepalaku pening. Kenapa bukan nomorku?
“Bang Rei, bales apa nih?”
“Terserah lo lah Zee.. Gue ke atas dulu ya. Ngantuk gue. Capek.”
Dwi. Dia datang. Ke Jakarta. Kenapa? Setelah aku posting cerita. Sosoknya tiba-tiba hadir kembali. Tapi aku sudah lelah. Dwi pun sudah dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri. Garis jodoh kami sepertinya tidak bersinggungan. Aku telah melepaskan harapan. Semoga dia bahagia dengan siapapun pendampingnya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan teruntuk dirinya.
Drrtt..
Ponselku bergetar. Notifikasi pesan di facebook. Dari Zee. Kurang kerjaan sekali adikku itu.
“Dapet salam dari mas Dwi.”
Sekeping Cerita Yang Tertinggal. Tamat
ahahaha, asyiknya maen sama anak kampung
suka bikin kosakata sendiri yg kadang2 mereka sendiri ga ngerti )
*tp keburu dicolong org yg jln zigzag dipertokoan "perempatan"..
.
.
“Pipi Rei gemuk.”
aw aw kirain itu tuhnya yang gemuk~ *plak
Dwi, kenapa gak minta nomer gue ya? kok gue sih?/.-
cieee disalamin ciee cieee....
Aku paling risih klo pipis di toilet umum,aku lbh milih di bilik toiletnya aja drpd diurinoinya.