It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ceritanya udah tamat d flashdisk@tarry..
rencana nya mo 2 kali post lg..
posting k 3 yg endingnya..
klo kagak tamat itu mah ngarang donk tar..
cerita ini kn based on true story..
jd klo udh saatnya tamat y d tamatin..
kcuali ada kjadian lg nnti..
jd bs d bikin season 2.. hehee
kok jd kepikiran ide baru yah.. #Hadeuh kebanyakan ide nih..
Aa nya teh anjeun nya'.. #Eeehh
Lanjuuuutttt.. Nyoookk kita kemooonnn..
THE TV SERIAL
Kejadian ini terjadi ketika liburan kenaikan kelas 5 (Lima).
Sejak kecil aku mengalami gejala susah tidur (insomnia). Dari sejak SD kelas 3 aku selalu tidur larut malam. Dan disela waktu insomniaku, seringnya kuisi dengan menonton tv. Menunggu kantuk menjemputku keperaduan.
Hari itu malam sudah semakin larut namun kantuk belum juga hinggap. Aku keluar kamar dan turun kebawah. Dengan niat menonton tv menunggu kantuk tiba.
Aku hanya menggonta-ganti channel tv karena serangan iklan yang masih terus mendera. Ketika aku temukan satu stasiun tv yang menayangkan film serial, aku fokus. Kuletakkan remote-ku.
Serial tv ini bercerita tentang petugas-petugas forensik dalam mencari alasan dan bukti nyata dari sebuah kasus. Kalau tidak salah judul serial tv ini CSI. Dan pemeran utamanya seorang pria dewasa dengan rambut memutih? (aku sedikit lupa).
Aku fokus menontonnya. Kali ini serial itu bercerita tentang pembunuhan seorang pria yang ternyata adalah seorang gay. Apa itu gay? Ketika menonton kata itu selalu hinggap dipikiranku. Kata-kata baru selalu berefek seperti itu padaku.
Dari adegan per adegan yang ditayangkan aku bisa mengambil kesimpulan jika gay adalah hubungan asmara antara pria dengan pria yang saling tertarik dan saling menyukai.
Otakku sulit mencerna kala itu. bukankah hubungan asmara itu hanya terjadi antara seorang wanita dan juga pria? Seperti yang kadang diucapkan oleh Ustad Taufik dalam setiap pengajiannya.
Tapi dicerita film itu ada hubungan yang lain. Hubungan yang tidak selalu berpusat pada wanita dan pria tetapi juga antara pria dengan pria lainnya. Ustad Taufik pernah bercerita tentang situasi yang hampir sama. Tentang kaum Nabi Luth.
Setiap mendengar cerita itu aku merinding. Namun setelah menonton serial tv itu pikiranku terpaku pada kata itu. Kata yang mulai malam itu menghantuiku. Kata ‘gay’ itu. Bahkan untuk menyebutnya aku tak berani. Seolah ada dosa dari kata itu.
Malam itu aku sulit memejamkan mata. Selalu terngiang dengan adegan-adegan yang terpampang dalam serial tv durjana itu. Harusnya dulu kuganti channel waktu itu. kuhabiskan sisa malam itu dengan pikiran-pikiran tentang kata itu. Kata-yang-tak-berani-kusebut-kala-itu.
***
Banguunn.. Banguuunn.. Baanngguuuunn...
@octavfelix
@bayumukti
@titit
@tarry
@angelsndemons
@alvaredza
@TigerGirlz
@Zazu_faghag
@arifinselalusial
@FransLeonardy_FL
@haha5
@fadjar
@zeva_21
@YogaDwiAnggara
@inlove
@raka rahadian
@Chy_Mon
@Cruiser79
@san1204
@dafaZartin
@kimsyhenjuren
@3ll0
@ularuskasurius
@Zhar12
@jujunaidi
@edogawa_lupin
@rickyAza
@rebelicious
@rizky_27
@greenbubles
@alfa_centaury
@root92
@arya404
@4ndh0
@Angello
@boybrownis
@jony94
@Sho_Lee
@ddonid
@catalysto1
@Dhika_smg
@SanChan
@Willthonny
Guys.. selamat menikmati jilatan tengah malam..
Sambil menunggu cerita Alfi, saya kasih cerpen ini buat kalian..
Hope you guys love it.
buat SR (Silent Reader), Please.. let me know klo kalian mau d mention yah..
kasih kecupan buat sayah ato minimal tinggalin jejaklah, biar bisa saya pungut.. okeh?
Happy Reading guys^^
Kami sudah kelas 6 sekarang. Persahabatan kami masih selalu terjaga. Kami masih main bersama walau intensitasnya tidak seperti dahulu kala. Sebenarnya wajar, karena bahkan aku dan dia tidak satu sekolah. Kami dekat hanya karena dia tetangga dekatku.
Kami masih sering bermain gundu, gasing, dampu? ciplek tujuh? petak umpet da kasti bersama-sama. Dalam setiap permainan dia selalu unggul. Sepertinya bakatnya dibidang olahraga memang terlihat jelas. Berbanding terbalik dengan kemampuan akademisnya.
Dwi tumbuh menjadi anak yang luar biasa tampan. Jago dibidang olahraga. Setiap permainan tradisional pun mahir dilakukannya. Namun memang, hanya satu kekurangannya yaitu kemampuan akademisnya.
Pernah suatu ketika aku melihat nilai raportnya. Nilainya bisa dibilang standar. Yang paling mentereng adalah nilai olahraganya yang nilainya 90. Juga nilai PKN dan kesenian yang mendapat nilai 80.
Tapi sepintar (maaf. Aku yang tersinggung jika ada yang bilang dia bodoh) apapun dia, dia tetaplah sahabat yang paling kusayang.
Waktu itu kami sedang bermain membentuk tanah liat di bawah pohon jambu air yang letaknya tidak begitu jauh dari pohon jambu biji bersejarah itu.
Ketika sedang membentuk tanah liat, datang seorang gadis RT sebelah menghampiri. Menyambangi Dwi tepatnya. Gadis itu bertanya perihal catatan PR yang dipinjam Dwi.
Dwi segera pamit dan secepat kilat membawa buku itu dan menyerahkannya pada gadis itu. Lalu dia kembali menekuni tanah liat yang sedang dibentuknya menyerupai pesawat. Gadis itu masih disana. Menatap penuh mesra kearah Dwi. Aku mendadak gerah. Apakah pengaruh cuaca?
Teman-teman yang lain lalu menimpali dengan siulan-siulan yang kentara sekali antara mengejek dan memprovokasi. Bingung menjelaskannya. Aku sedang gerah. Ingat?! Cuaca ini.. Gerah ini karena cuaca kan?
Suuiitt Suuiittt
Ciiee Ciieeee
Tiba-tiba ada yang menyeletuk “A... A.. Ada yang bawa pa.. pa.. pacar nih yeeee” kata si Qnoy yang berbadan hitam dan juga gagap.
Yang lain menimpali “Uhuuyy.. udah sono yang mau asoooyyy..” What?! #Lhoo kok aku yg protes? #kipasKipas. Tambah gerah.
Gadis itu masih disana. Dengan wajah merona. Wajah Dwi pun merah padam. Dwi menatapku tajam. Aku masih gerah (ralat) aku makin gerah. Jadi kupaksakan tersenyum saja. Sedikit tertawa.
“Neng, udah tuh.. ajak mojok aja berdua” Eeett dah pikirku.
Gadis itu semakin merona. Dan detik berikutnya dia berlalu dari hadapan kami semua. Gadis itu pergi dengan senyum lebar menghiasi pipi. Aku tiba-tiba keki. Entahlah.. #Gerah
Ketika anak-anak yang lain makin gencar menyorakinya, wajah Dwi semakin merah bukan buatan. Bukan merah merona, tapi merah seolah penuh amarah. Dwi melirikku tajam. Heii.. bukan aku yang mengolok-olok dia. Kenapa tatapannya begitu seram kepadaku.
“Re.. Rei.. si.. si.. Dwi cocok ye sa.. sama cewek ya.. ya.. yang tadi” Tanya si Qnoy tiba-tiba.
Aku bingung harus menjawab apa. Dwi makin gencar menatapku. Seolah menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku. Jawabanku seolah menentukan hidup dan matiku. Aku dag dig dug. Tatapan Dwi terlihat menyeramkan. Salah sedikit hidupku pasti berakhir. Wajahnya penuh amarah gituu..
Aku merengket. Terpojok dalam pandangannya. Belum pernah Dwi terlihat menakutkan begitu. Ini pertama kalinya kulihat dia begitu.
Kuberanikan diri menjawab “Cocok” sambil mengangguk
“Cocok banget. Yang satu cantik yang satu ganteng bang..et..” Lhoo lhooo.. atuuuutttt. Pandangan Dwi tajam. Sedikit terluka mendengar perkataanku.
“BERISIK LO PADA. KAGAK ADA KERJAAN LAEN APA?!” Amarah Dwi meledak. Dengan keras ditendang-tendangnya kerikil-kerikil kecil tajam kearah anak-anak yang duduk melingkar. Termasuk aku.
“AAWWW..” salah satu kerikil yang ditendang Dwi terkena tanganku. Mengiris kulit ariku. Membuatnya berdarah.
Aku mengaduh. Lalu tanpa aba-aba, tanpa kuperintah, air mata tumpah ruah keluar tanpa jeda. Aku menangis. Tanpa suara. Hanya air mata. Bukan karena kerikil yang mengiris kulit, tapi karena kata-kataku menyakitinya. Menyakiti sahabat yang kusayang. Bodoohhh.. bodohnya aku.
Aku menatapnya penuh penyesalan. Bukan karena sikapnya tapi karena perkataanku padanya. Dwi menatapku terkejut. Merah padam diwajahnya berganti dengan wajah kaget yang menerpa. Aku berlalu. Berlari menjauh. Sayup kudengar teriakan-teriakan “ayo loh Dwi.. Ayo loh Dwi..” seperti itu..
Sampai dirumah aku langsung berlari kekamar mandi. Rumah sepi. Untunglah. Tapi air mata ini. kenapa tidak bisa berhenti? Aku bukan anak yang cengeng. Tapi kenapa ini? Kenapa begini?
Aku basuh mukaku berkali-kali, namun air mata itu masih terasa. Masih mengalir diwajah. Ada apa denganku? Kenapa aku bisa berderai air mata begini? Rasa sakit tidak seberapa yang mengiris kulit ari ini kah? Sepertinya bukan. Lalu apa?
Aku teringat kembali ekspresi wajah Dwi yang merah padam. Bagai terserempet bis kota, aku segera tersadar. Mungkinkah kata-kataku menyakitinya? Tapi aku tidak mengejek ataupun mengolok-olok dirinya. Aku hanya mengatakan fakta. Gadis itu cantik dan Dwi tampan. Cocok bukan?
Lalu dimana letak salahku? Tak terasa air mata telah berhenti ketikaku memikirkan segala pemahaman dadakan ini. Walau aku masih mengiranya saja. Lagipula aku masih tak tahu salahku dimana.
Kubasuh muka kembali dan melihat tampilan wajahku dicermin. Mukaku imut (ralat) kusut. Baru menangis beberapa saat mataku bengkak dan masih tertinggal sedikit sisa warna merah disana.
Ketika keluar kamar mandi,, aku langsung menuju kamar. Hendak mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang mendadak berat tiada juntrungan. Sewaktu aku membuka pintu kamar, sudah ada dia disana. Dwi sedang duduk merenung di atas kasurku.
Melihatku masuk, wajahnya menyambutku sesaat sebelum akhirnya tertunduk. Aku bingung. Masihkah dia marah? Bukankah harusnya aku yang marah karena sudah terluka? Bekasnya pun masih ada.
Aku masuk dan duduk diujung kaki tempat tidurku. Menjaga sedikit jarak dengannya yang duduk terpaku pada kepala kasurku. Aku diam. Dia diam. Kami terdiam. Aku bosan. Dia masih diam. Kurebahkan tubuhku dengan kedua tangan telentang.lebar dikedua sisi. Dia mulai melirik. Melirik tangan kananku. Tanganku yang terluka tiada seberapa itu.
Rupanya dia lebih tertarik dengan luka ditanganku. Terlihat dari tatapannya yang tiada bergeming sedikit pun. Aku lihat wajahnya sedikit terpukul dan ada rasa penyesalan disana. Tapi aku masih diam. Aku tak berani buka suara. Aku takut dia masih marah.
Haruskah aku minta maaf akan kata-kataku? Kenapa sikapnya yang seperti ini menggangguku? Perasaan apa ini yang tak ingin dia menjauh? Perasaan ini kuat kurasa ketika melihatnya marah tadi. Aku tak ingin membuatnya marah. Aku ingin hanya akulah yang bisa menenangkannya ketika dia marah atau gundah. Haahh.. sudahlah. Pikiran ini tak membuatku kemana-mana.
“Dwi.. Rei minta maaf..” kataku akhirnya.
Matanya teralih dari luka ditanganku. Dia menatapku. Ekspresinya merana. Kenapa? Apa yang salah?
Dia menggelengkan kepala “Aku yang salah. Aku udah bikin Rei luka” Aku tergagap. Aku pikir dia marah. Ternyata..
Tangannya menutupi mukanya lalu tertarik kebelakang meremas rambutnya. Aku terheran. Hanya bisa terdiam. Dia kenapa?
“Rei.. Maaf ya..” Aku mengangguk. Jelaslah. Aku tak ingin kami bertengkar.
“Baikan..?” kataku mengangsurkan kelingkingku.
Dia turut mengangsurkan kelingkingnya dan mengaitkannya dengan kelingkingku, jempol kami pun bertemu dan menempel penuh syahdu. “Baikan” katanya dengan senyum merekah.
“Sebentar..” Pamitnya. Dalam sekejap dia menghilang dan dalam gerak kilat dia kembali.
Dia kembali membawa alkohol, kapas dan betadine. Aku ngeri. Ya Allah, ini akan terasa perih. Aku memikirkan kemungkinan untuk kabur. Aku harus ijin ke tiolet cepat-cepat.
“Sini..” Diraihnya tangan kananku dan dengan hentakan diperintahkannya tubuhku mendekat kearahnya. Kenapa bukan dia yang kearahku? Hufth..
Dia mulai mengambil alkohol dan membuka tutupnya. Mengambil kapas dan sedikit mencelupkannya. Oo oowww.. ini waktunya..
“Dwi... aku kebelet pipis..” Sambil nyengir kuda aku beralasan.
Alisnya terangkat. Pandangannya menuduhku. Apa? Apa liat-liat? #Lhoo.. #Plaakk.
Ih ih ih.. Jangan bilang dia tahu aku ingin kabur? Ya Allah tolonglah hambamu yang sedang teraniaya ini.. #Eeehh
“Tipuan kuno Rei.. Aku udah terlalu hapal..” Sial. Alasan apa lagi nih?
“Ga usah diobatin lah.. Luka cuma segini mah dijilat juga sembuh. Nih kayak gini nih..” Kuhentak sedikit keras tanganku yang dipeganginya.
Kujilat lukaku yang sekarang hanya terlihat baret tipis merah disana. Kujulurkan lidahku dan kukenyot-kenyot (Ckck.. Bahasanya..) dibagian luka itu. Dia terbengong-bengong tidak percaya melihat tingkahku.
Sambil mengenyot (Eeettt bahasanya..) kulirik dirinya. Dia masih terperangah. Wajahnya mulai memerah. Namun bukan rona marah seperti sebelumnya, kali ini rona malu terpatri disana. Posisi duduknya pun mulai gelisah berkali-kali dia membetulkan letak duduknya. Ada apa? Apa yang salah?
“Haahh.. Rei..” dia mendesah. Membuang nafas yang tertahan. Dibetulkan celananya. Apa celananya kendor?
“Tuh liatkan.. udah ga sakit lagi. Luka gini mah kecil.. tinggal jilat. Bereeesss..” aku tersenyum puas. Dia menggeleng.
“Rei.. Kamu nakal..” Nakal? Aku? Kok bisa?
“Kok nakal?”
“Ekspresi kamu sengaja ya menantang gitu sambil jilat-jilat menggoda.. Kamu udah bikin aku.. bikin aku.. tegang tau ga?”
Apalah.. Tegang? Menantang? Menggoda? Aku? Ekspresi?
Pemahamanku mulai bangkit sedikit demi sedikit. Sedikit banyak aku mempersiapkan diri menjerit..
Jangan bilang.. jangan bilang.. Jangan bilang kalo ekspresiku mirip di Foto-yang-kita-semua-tahu-apa-itu?
Huuuuwwaaaaaaa.... Emmaaaaakkk.. Dwi nakaaaallll...
“Iihh.. Iiihh.. iihh.. Dwi porno ih.. huuwaaa..” Aku tengkurap tiba-tiba. kepalaku tenggelam dalam kasur. Dwi tertawa terbahak-bahak.
Kusembunyikan wajahku disana. Dikasurku yang sekarang terasa panas. Cuacakah? Atau wajahku yang terbakar malu? Panas sekali.. aku susah bernafas ini.. tapi aku malu melihat wajahnya.. Tawanya masih nyaring terdengar. Aku sudah sesak menyembunyikan wajah ini.
Hmpthuaaa.. Legaaa.. kuhirup udara sebebas-bebasnya.
“Hwahahahahaha..” Sial. Puas sekali dia tertawa meledekku.
“Sini tangannya” Katanya akhirnya. Masih berpikir untuk mengobatiku? Ampun deh.
Dengan tawa yang masih dikulum dengan sopan. Dia telaten menotol-totolkan alkohol kelukaku. Aku meringis. Ditutup dengan betadine yang sudah tidak terasa sakit. Dia terlihat puas. Direngkuhnya tubuhku.
“Maaf Rei..” dikecupnya keningku. “Aku pulang dulu ya..” aku mengangguk. Dia melepaskan pelukannya.
Setelah Dwi berlalu, aku tergagu dalam bisu. Kecupnya masih terasa. menggelenyar dengan hangat yang masih tersisa. Aku terlena oleh kecup lembut dari dirinya. Salahkah? Dosakah? Tapi aku memang menyayanginya. Sebagai apa? Sahabat tentunya. Hanya itu? Sepertinya. Entahlah. Sudahlah.
Tiba-tiba aku teringat dengan kata dalam serial tv yang kutonton waktu itu. Kata-yang-tak-berani-kusebut-itu. Mungkinkah? Aku? Bagaimana dengan dia? Aku hanya terdiam dalam tanya yang terus menghujam mendera.
***
Huuwwaaaaaa...
ada Cat Master mampiiirrr...
#TarikSelimut *Masih polos nih dikamar*
Thx @khieveihk udh dtng berkunjung.
next ketuk pintu atuh kang.
biar bs pake baju dulu, boxer minimal.. #Eeehh *gampar*
Okeh. serius.
saya pasti tanggung jawab kag. nyok kita kemon.
KUA udh saya pesen *pingsan*
#Kaaabbuuurrrrr
tuuh si Dwi tuh yg terlalu dewasa.
saya mah msh polos kang. #CiyusanDeh
Tp kang d daerah rmh saya emang bnyk yg dr anak2 udh ngerti pacaran, ciuman bahkan kata2 (maaf) kotor.
krn org tuanya bnyk yg scra gamblang sering mengumpat gitu kang. agak miris. #maafCurcol