It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
baca dr awal lg ah
@Wita @4ndh0 @JimaeVian_Fujo @Pradipta25 @yadi212 @Gothless @zhe_azz @FujoshiImoetSejagatRaya @exomale @uci @boy_filippo @indrawan506 @Ninia @Arie_Pratama @arieat @nakashima @GeryYaoibot95 @ilhams_Xman18 @kristal_air @pria_apa_adanya @AryaPutra_25 @haha_hihi12 @haha5 @piriga maaf kalo masih ada yang ketinggalan atau yang kelebihan
terimakasih sudah mau membaca cerita gaje ini..
chaper yang ini mungkin agak lebay..
maaf kalo banyak typo
Chapter 13
“Mamah gak paham kelakuan anak muda sekarang. Apa untungnya pakai narkoba? Hanya buang-buang duit saja. Dikira gampang nyari duit. Kalo sudah gak punya duit yang ada malah jadi maling. Atau malah jadi bandarnya. Terus ditangkap polisi. Dihukum mati_”
Gue gak tertarik nanggepin ocehan nyokap yang panjang lebar. Pikiran gue sekarang penuh dengan Toby. Jujur gue khawatir karena tadi siang dia emang sakit, walau katanya cuma sakit flu biasa. Entah kenapa perasaan gue gak enak. Sempat gue SMS tiga kali tapi gak dibalas. Asumsi gue, Toby mungkin udah tidur. Jadi gue urung nelpon takut malah ganggu istirahatnya.
Sekarang gue nonton tv bareng nyokap. Di TVOne lagi heboh-hebohnya ngebahas 6 terpidana mati kasus narkoba yang bakal dieksekusi pada 18 Januari nanti. Itu kenapa nyokap jadi ikut-ikutan ribut soal narkoba.
“Kamu dengar kan, Mond?”
“Hah! Apa, Mah?”
“Ya ampun! Jadi Mamah ngomong daritadi gak didengerin?” gue nyengir, dan langsung dapat hadiah jeweran di kuping kiri. “Dengerin! Mamah bilang kamu hati-hati kalau nyari teman. Jangan sampai bergaul dengan orang yang pakai narkoba. Mereka itu seperti penyakit menular. Membawa pengaruh buruk. Kamu harus jauh-jauh kalo ada teman kamu yang pakai narkoba. Paham kan?”
“Emm,” gue cuma ngangguk dan bergumam. Gue gak suka bahasan ini. “Rendra mana, Mah?” gue langsung ganti tofik.
“Keluar beli martabak.”
“Oh. Mah, Desmond ke kamar dulu ya, udah ngantuk.”
“Ya udah. Tidur sana.”
Gue langsung ke kamar dan tiduran di kasur, telentang, mandangin langit-langit kamar gue. Pikiran gue tiba-tiba melayang ke masa lalu. Masa di mana gue dan Toby pertama kali jadian.
Flashback..
“Eh! Lu yang pakai tas biru!”
Gue yang ngerasa pakai tas biru menoleh ke belakang.
“Iya, lu. Minggir dari situ, lu ngalangin jalan gue.”
“Oh.”
Gue geser badan ke samping. Cowok dengan motor besar itu melintas di depan gue keluar dari parkiran. Untuk pertama kalinya gue bicara dengan Toby, gak benar-benar bicara sih mengingat gue cuma ngucapin kata ‘oh’. Dan yah gue tau namanya. Rata-rata siswa sekolah ini mungkin juga tau namanya. Dia.. cowok pintar yang keren.
-
“Buat lu.”
“Gue?”
“Iyalah.. masa pak kepsek.”
Di sini memang hanya ada gue, Toby dan kepsek yang jaraknya sekitar 10 meter dari kami berdua. Selasar ini memang sepi, siswa lain jelas sedang belajar di dalam kelas. Dan gue mau ke toilet. Lalu tiba-tiba Toby datang ngasih gue coklat. Gue bingung tapi tetap nerima coklatnya.
-
Sungguh, gue sadar kalo gue ini gay, dan ngerasa kalo Toby itu ganteng. Tapi dengan Toby yang ada di samping gue hampir tiap waktu luang, SMS atau BBM gue hampir tiap malam, atau nelpon ngombrol ngalur-ngidul meski di sekolah juga ketemu tiap hari, gue gak tau kalo itu cara dia pedekate. Toby gay? Pikiran gue tentang kemungkinan itu.. nol.
-
Gue gak bisa berenti mikirin Toby. Cara dia senyum. Cara dia jalan. Cara dia makan. Semua hal-hal tentang Toby berputar di otak gue. Betapa manisnya Toby dengan coklatnya, atau waktu dia gendong gue ke UKS saat jatuh, atau juga tiba-tiba nyuapin gue makan di kantin sekolah pas lagi sepi. Dan jantung gue selalu berdebar-debar setiap kalinya. Gue paham apa yang gue rasain, untuk pertama kalinya.. gue jatuh cinta.
-
Toby narik gue ke belakang sekolah setelah jam pulang. Tangannya menggenggam pergelangan tangan gue. Dia menatapi sekitar, jaga-jaga kalo ada siswa lain di sini. Yakin bahwa hanya kami berdua, Toby ngeluarin sesuatu dari dalam tasnya dan langsung ngasihin ke gue.
“Ini apa?”
“Itu bunga mawar, masa lu gak tau sih!”
“Iya gue tau. Maksud gue kenapa lu ngasih gue bunga?”
“Itu.. Lu mau jadi pacar gue, kan?!”
“Hah?”
“Lu mau jadi pacar gue, kan?!”
“Lu nanya atau maksa sih?”
“Ya terserah. Tapi lu mau, kan?!”
“Emmm.. Iyaa..” dengan malu-malu gue ngejawab.
“Yes!” Toby melompat girang. Lalu dia berdiri makin dekat, “Kalo gitu, sekarang boleh gue cium?”
Wajah gue panas, tapi tetap mengangguk pelan. Hari itu gue ngerasaain yang namanya bibir bertemu bibir untuk pertama kalinya. First kiss gue dengan cowok ganteng yang gue cinta.
Flashback end..
Gue senyum sendiri ngebayangin masa lalu. Toby nembak gue gak ada romantis-romantisnya, kecuali bunganya mungkin. Dan akhirnya tanpa sadar gue ketiduran.
----
I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart
Man dooset daram
Be cheshme man gerye nade
Na, nemitoonam
Bedoone to halam bade
Nada dering yang baru gue ganti tadi sore gangguin tidur gue yang lagi enak-enaknya. Sempat berenti, tapi lagu Broken Angel itu berisik lagi untuk yang kedua kalinya. Berat gue ngebuka mata lalu ngeliatin jam dinding masih diangka 2. Pantas. Siapa sih yang kurang kerjaan nelpon gue tengah malam gini? Malas-malasan gue bangun ngambil hape yang gue taruh di atas meja belajar, Iren calling.
“Halo?”
“Mond, tolongin gue!” suara Iren yang terisak seketika bikin mata gue yang tadinya lima watt langsung kebuka lebar.
“Ada apa, Ren?”
“Toby, Mond. Dia sakau.”
Deg! Sakau???
“Gue gak tahu gimana nanganinya..hiks.. Lu kesini cepetan!”
“I-iya.. gue kesana,” aduh! gue panik sekarang.
Gue linglung apa yang harus gue lakuin, mondar-mandir di kamar bingung apa yang mau gue ambil. Ya ampun, jaket dan kunci motor. Setelah dapat cepat gue lari keluar rumah dan ngeluarin motor dari garasi. Sebisanya gue menahan deguban jantung gue yang kencang luar biasa. Gue belum pernah berhadapan dengan situasi seperti ini. Gue khawatir dengan Toby.
Tiba di rumah Toby gue liat Iren berdiri di depan pagar. Dia langsung menggeser pagar begitu gue sampai. Tampilannya kacau, dengan kuncir rambut yang berantakan dan mata yang merah, mungkin kurang tidur.
“Dia di kamarnya,” katanya dan masuk lebih dulu, gue ngikutin Iren di belakang.
Pas masuk kamar Toby hati gue langsung mencolos. Orang yang gue sayang itu meringkuk di atas ranjang dengan tubuh bergetar hebat. Tangannya menjambak rambutnya kuat-kuat. Gue langsung meluk dia.
“By.. kamu kenapa?” bodoh! Gue tau dia sakau. Gue hanya gak tau kalo dia bisa sampai kayak gini.
Wajahnya yang sebelumnya dia sembunyikan diantara lutut menatap gue sayu. Mata itu merah, tampak sangat kesakitan. “Sakit, Mond.. sakit..” katanya pelan, nyaris gak kedengeran. Bibirnya sampai bergetar.
“Udah beberapa hari ini Toby gak nge-drugs,” Iren berdiri di samping gue. “Badannya gemetar parah sejak tengah malam tadi. Dia gak bisa tidur sama sekali.”
Jadi itu kenapa dia kadang hilang fokur akhir-akhir ini. Dia ngelawan, tapi tubuhnya kini ‘menagih’. Harusnya gue tau dari awal. Gue emang bego!
“Sakit__” lirihnya.
Gue mengangguk pelan, “Bertahanlah... kamu bisa..” gue genggam tangannya, lalu meluk dia erat. Gue pengen ngasih dia sedikit kekuatan, pengen dia tahu bahwa gue akan selalu ada buat dia.
Cukup kami diam meski Toby tetap gelisah. Gue masih meluk dia, dan dia juga meluk gue erat, saking eratnya sampai nafas gue sesak. Gue bahkan bisa ngerasain kuku-kukunya yang menancap di punggung gue, sakit, tapi gue tahan karena gue tau Toby lebih sakit lagi.
Katanya sakau gak bikin orang mati, tapi karena sakitnya orang bisa aja nekat bunuh diri. Dan itu yang gue takutin sekarang. Toby tiba-tiba bangun ngelepasin diri dari pelukan gue. Dia gelisah dan gemetar. Dan yang gak gue sangka, mendadak menghantamkan kepalanya ke dinding berkali-kali, menyakiti diri sendiri seolah itu bisa ngilangin rasa sakitnya.
Gue tahan tubuhnya, tapi dia berontak keras sampai gue jatuh terduduk. Gue bangun dan menahannya sekali lagi, kali ini lebih kuat. “By.. berenti.” Dia masih meronta, “Pleace..” gue tangkup kedua pipinya dan mulai mengulum bibirnya yang bergetar. Gue bisa ngerasain pipi gue yang basah sendirinya dan gue hapus secepat mungkin.
Dia.. sedikit lebih tenang.
Gue gak paham gimana sakit yang Toby rasain, tapi yang pasti hati gue gak kalah sakitnya sekarang.
Gue masih lebih tau gimana caranya ngadepin orang mabuk, ketimbang ngadepin orang sakau. Gue bener-bener gak tau apa yang harus gue lakuin. Bener-bener awam.
Gue lepasin pagutan gue. “Apa kita ke rumah sakit?” pikiran itu terlintas begitu saja.
“Gak!” katanya langsung, “Gue gak mau ayah sampai tau!”
“Tapi By_”
“GUE BILANG GAK YA GAK!!!” Toby berteriak keras. Gue terpaku. Gue gak nyangka efek sakau bisa ngubah orang sedemikian rupa. Mendadak dia ke sana ke mari dan ngebuka laci-laci.
“Kamu nyari apa?”
Toby berbalik dan menatap gue, “Kunci.” diam sebentar lalu cepat ngedatangin gue. “Kunci motor lu mana!” Toby menggila, dia menggagahi kantong gue secara paksa sampai badan gue tergoncang.
“Buat apa?”
“Aku perlu ‘barang’ itu, Mond.” Toby dapatin kunci motor di saku celana kiri gue, dan sudah akan pergi kalau lengannya gak gue tahan.
“Apa gak bisa bertahan sedikit lebih lama lagi?” gue memelas padanya. Tapi tatapannya yang sayu memutus harapan gue.
“Maaf..”
Toby berjalan keluar kamar, badannya yang gemetar berjalan terhuyung-huyung. Gue tatap Iren yang sedari tadi diam. Dia mengangguk seolah kami baru saja berkomunikasi lewat mata. Gue paham maksudnya, jadi gue balas mengangguk. Kali ini biar gue yang ngalah. Gue gak mungkin biarin Toby ngendarain motor dengan kondisi kayak gitu. Gue susul dia di pintu depan dan menahan tangannya.
“Biar aku saja. Di mana?”
----
Hujan turun saat gue melajukan motor gue beberapa meter dari rumah Toby, dan makin deras pas gue hampir sampai di kostannya Aron. Aron, dari awal gue udah yakin kalo cowok itu emang gak beres. Dan sekarang gue harus nebalin muka dan harus siap dengan amukannya hanya buat ngambil barang haram itu. Tadinya Toby sempat nolak tapi gue maksa. Gue gak mungkin biarin dia bawa motor. Bisa aja di justru nabrak trotoar, atau malah nyeruduk halte bis. Gue juga gak mau repot-repot ngajak dia, karena gue gak mau dia sudah hilang entah kemana hanya karena gue telat nengok ke belakang.
Tiba di kosant Aron gue udah sedikt basah. Gue pandangin kamar-kamar kosant yang serupa barak itu. Tadi Toby sempat bilang kalo kamarnya nomor tiga dari depan. Dan saat sampai di depan pintunya gue mulai ngetuk, semoga saja gue gak salah kamar.
Tuk.. tuk.. tuk..
Ketukan pertama gak ada jawaban.
Tuk.. tuk.. tuk..
Ketukan kedua pun sama.
Tuk.. tuk.. tuk..
Baru setelah ketukkan ketiga gue dengar suara langkah dari dalam. Gak lama pintu di depan gue kebuka nampak Aron dengan wajah kusutnya. “Apaan sih!” Matanya masih berkedip-kedip natapin gue.
“Hai, apa kabar?”
Debuk...
Begitu matanya fokus gue langsung dipukul.
“Auw..” gue terjengkang. Gak siap dengan pukulannya di rahang kiri gue yang tiba-tiba. Sakit. Saat gue sapu dengan punggung tangan kanan, bibir gue berdarah. Sialan.
“Ngapain lu kemari, huh! Eneg gue liat muka lu!”
Teriakan Aron dan suara gue jatuh bergedebuk kayaknya mengganggu penghuni kamar sebelahnya. Pintu itu kebuka menampakan sosok yang lumayan gue kenal, Kak Dimas, teman Toby juga. “Ada apa nih?” dia menatap gue yang masih terduduk di lantai.
“Gak ada apa-apa,” gue yang menjawab.
Aron menatap gue tajam. “Terus kalo gak ada apa-apa ngapain lu kemari? Brengsek lu!”
Gue menghela nafas. Orang ini sangat kasar. Tadinya gue gak mau ngelibatin siapa pun. Tapi ya sudahlah, kak Dimas itu juga teman dekat Toby. Tanpa gue jelaskan pun nantinya dia pasti paham apa gue yang maksud.
Kak Dimas ngabantuin gue berdiri. Gue ngucapin makasih dan ngasih senyum. Sekarang tatapan gue beradu dengan Aron. Baiklah, gak perlu lagi basa-basi. “Gue butuh barang buat Toby.”
“Barang?” alisnya mengerut.
“Gue tau lu paham maksud gue.”
“Oh!! Jadi si brengsek itu sekarang butuh barang dan datang ke gue?! Hebat! Bukannya kemaren dia mengindar?!” katanya sinis.
Sekali lagi gue menghela nafas, “Lu ada barangnya kan?” gue gak mau nanggapin kalimatnya barusan.
“Ada. Tapi apa yang bisa lu kasih?” Aron menantang gue, matanya menatap penuh arti.
Tangan gue mengepal erat. “Apapun yang lu mau,” anggap saja sebagai permintaan maaf karena gue pernah ngancurin akuarium berharga miliknya.
“Bagus,” dia menyeringai. “Besok lusa datang lagi kemari. Dan sebagai permulaan__”
Buk..
“Uhuk..uhuk..” pukulan Aron kali ini menghantam perut gue. Mendadak gue mual dan terbatuk-batuk karenanya. Gue sampai nunduk nahan nyeri.
“RON!!” kak Dimas teriak di samping gue.
“Okey.. okey.. lu tunggu disini.” Aron masuk ke kamarnya.
“Lu gak papa?” kak Dimas ngebantu gue duduk.
“Emm,” gue ngatur nafas gue yang agak sesak. Pukulannya memang gak sekeras yang pertama, tapi tetap saja rasanya sakit.
“Jadi Toby sakau?” gue tahu Kak Dimas sudah paham. Gue mengangguk. “Lalu kenapa lu yang datang?”
“Itu__” gue bingung menjelas kondisi Toby sekarang.
“Okey gue paham,”katanya memungkas. “Toby beruntung punya orang seperti lu. Gue harap dia bisa berenti jadi pecandu.”
Perkataan Kak Dimas barusan menyiratkan kalo dia tau tentang hubungan gue dan Toby. Dan sepertinya dia gak masalah. Gue jadi ngerasa bersalah karena pernah berburuk sangka pada Kak Dimas. Gak semua yang gue pikirin itu benar adanya. Maaf kak, gue sudah su'udzon sama lu.
“Ikut gue!” Aron menutup pintu kamarnya, dia sudah pake jas hujan. Tadinya gue pikir barang haram itu ada di kamarnya.
Gue berdiri, masih di bantu kak Dimas, “Makasih kak.” Kak Dimas hanyak mengangguk.
Gue ikutin Aron yang jalan kaki lebih dulu tanpa repot-repot menoleh gue di belakang. Hujan yang deras bikin gue basah kuyup. Gue sempat bingung mau kemana. Dan makin bingung pas Aron berenti di tepi kolam yang berlumpur gak jauh dari kost-kostan tadi. Apa dia nyembunyiin ‘barang’ itu di sini biar gak ketahuan? Kenapa di sini?”
“Sejujurnya gue masih kesal sama si brengsek Toby. Terutama karena kelakuannya pada gue di depan lu dulu. Lu masih ingat kan?” gue bingung arah pembicaraannya kemana.
Pluk..
Sebuah botol kecil dilemparnya ke tengah kolam itu, setengah mengapung. “Anggap saja gue sekarang baik hati. Barangnya ada di botol itu. Jadi silakan ambil.” Dia ninggalin gue yang diam mandangin botol itu. “Oya! Jangan lupa besok lusa!” dia setengah teriak.
Rasanya gak percaya dengan apa yang gue alami. Gue ngerasa bodoh! Seumur-umur gue gak pernah mikir kalo sampai ngalamin hal kayak gini. Gue turun ke tepian kolam. Lumpur terasa becek di kaki bikin gue sulit bergerak. Makin ke tengah airnya makin dalam sampai-sampai setinggi dada. Gue harus berenang supaya ngambil botol itu.
---
“Ren, gue di depan.” Gue nelpon Iren begitu tiba di halaman romah Toby. Gue malas masuk, terutama karena kondisi gue sekarang.
“Iya, gue kesana.” gue tutup panggilan setelah Iren selesai ngejawab.
Iren setangah berlari keluar rumah dan langsung ngampirin gue yang berada di teras, kaget pas liat kondisi gue yang gak biasa.
“Mond, lu kenapa penuh lumpur?” itu maksud gue. “Dan itu__” matanya melebar begitu ngeliat bibir gue yang luka. “Kenapa berdarah? Lu diapain?”
“Gue gak papa.” Gue ambil botol kecil dari saku kanan gue dan serahin ke Iren. “Sorry, gue harus pulang sekarang.”
Iren mengangguk paham, “Makasih..”
Gue senyum, lebih kepada nenangin gue sendiri. Gue naiki motor dan melaju pulang ke rumah. Gue menggigil. Tangan gue sudah kebas saking dinginnya. Hujan masih gerimis saat gue sampai di rumah. Pelan-pelan gue masuk rumah setelah markirin motor gue di garasi, gue gak mau ada yang kebangun. Tapi suara pintu kamar yang dibuka spontan bikin gerakan kaki gue yang sepelan mungkin berenti. Gue diam di gelapnya ruang tamu. Nyokap gue dengan baju piyamanya keluar dari kamar dan berjalan ke arah dapur. Kayaknya nyokap gak nyadar keberadaan gue.
Cepat gue sembunyi di samping kursi. Gue gak mau nyokap sampai tau kondisi gue yang amburadul. Dan saat nyokap sudah berada di dapur, secepat mungkin gue masuk ke kamar gue dengan langkah berjinjit.
Gue duduk bersandar dibalik pintu. Rasanya gak karuan. Kepala gue nyut-nyutan, bibir gue juga sedikit bengkak dan perut gue mual. Tapi lebih dari semua itu ada bagian hati gue yang jauh lebih sakit tapi gak bisa gue jelasin. Sampai gue pengen nangis, sampai gue pengen teriak keras-keras.
Drrrt...
Hape di saku celana gue bergetar, SMS masuk.
From Toby : Maaf..
Gue tarik nafas panjang, bingung harus balas apa. Hape itu gue genggam erat-erat sebelum akhirnya gue taruh di atas meja, dan mengabaikan SMS Toby. Untuk sementara gue pengen nenangin hati.
~~~~
Gua jd penasaran tu aronnya suka s toby atau desmond
mau diapain tu si Desmond ama Aron?
@3ll0 iya, kasian desmond
lanjut...
Apa emang tu sifat dia?