It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
nyesek banget bacanya. duh gk kebayang klo kenyataan, seruuuu,,, pastinya.
Di tunggu kelanjutannya
Maunya sih chapter terakhir di post malam ini tapi sudah terlanjur ngantuk. Sudah kutulis sampai tamat tapi belum di baca ulang. Besok aja deh, atau nggak kalo kebangun nanti....
Janji yahh
spesial terimakasih buat @3ll0 karena sudah mau repot memention yang lain..
@yopopo
@aldit2324
@M_imamR2
@Chi_dudul
@icchan
@RaraSopi
@liezfujoshi
@Agova
@dheeotherside
@yuliantoku
@josiii
@bagas03
@akina_kenji
@mustajab3
@Rabbit_1397
@majesty
@tianswift26
@balaka
@AryaPutra_25
@Wita
@soratanz
@abong
@Wook15
@Gothless
@Ninia
@jj12MME
@zhe_azz
@JimaeVian_Fujo
@boy_filippo
@someonesecret
@lucifer5245
@gelar_pendiam
@A_S
@boyszki
@Skrillexx
@FTD09
@Myukpidi
@TL_kimhanbin96
Yakin deh endingnya pasti mudah ditebak..
Tapi nggak apa-apa, maklumkan saja penulisnya abal-abal
Setelah sekian lama pada akhirnya cerita ini berhasil mencapai kata TAMAT..
Saya terlalu senang menuliskan kata TAMAT yang artinya saya tidak perlu memikirkan lagi cerita ini..
Kalau bahasanya berubah dari sebelumnya atau typo luar biasa banyaknya saya minta maaf..
Kasih tau kalau ada typo yang sangat mengganggu..
Happy reading.....
CHAPTER 18
~~~~~~
Gue mengabaikan Toby. Mengabaikannya secara total lebih dari sebelumnya. Gue nonaktifkan handphone begitu nama Toby muncul di layar. Bahkan gue nggak tau gimana kabarnya sekarang. Iren, satu-satunya orang yang menghubungkan gue ke Toby pun hari ini nggak masuk sekolah. Saudara kembar Toby itu beberapa kali nyoba bicara sama gue tapi gue tolak.
“Gue dan Nara putus.”
Gue yang setengah ngelamun agak kaget dengar penyataan Bobon, “Hah?”
“Gue dan Nara putus,” ulang Bobon lebih keras.
“Kenapa?”
“Nggak tau! Tiba-tiba aja Nara bilang sudah nggak cinta sama gue, terus minta putus.”
“Sabar ya, Bon,” gue tepuk pelan pundaknya berkali-kali. Ngasih dia semangat sebisa gue meski sebenarnya gue juga butuh semangat.
Sejak gue dan Toby putus hidup gue benar-benar kacau. Gue nggak nafsu makan. Lebih banyak diam dan malas ngapa-ngapain. Pikiran gue nggak bisa lepas dari Toby. Gue nggak nyangka rasanya bakal jadi sesakit ini. Lebih dari pertama kali kami putus. Mungkin karena sebenarnya hati gue nggak rela. Gue cinta sama dia. Nyokap sampai khawatir ngeliat sikap gue yang lebih banyak diam.
“Thanks. Tapi bukan itu sebenarnya yang gue bingungkan.”
Gue ditarik kembali dari lamunan, “Terus?”
“Gue ngerasa aneh. Gue nggak sedih sedikitpun. Rasanya malah lega. Kayak... tangan yang dilepas ikatannya.”
“Maksud lu selama ini lu jadian sama Nara merasa tertekan?”
“Entahlah. Kan gue yang nembak dia.”
“Aneh lu! Terus Tio gimana?” Orang yang gue tanya ini malah senyam-senyum nggak jelas. Apa coba maksudnya? Nggak berempati banget sama sahabatnya yang punya masalah. Oh iya, gue emang nggak cerita. “Gila!”
“Itu... kemarin kami jalan lagi,” Bobon ngomong kayak perawan malu-malu. Najis! “Gue ngerasa nyaman aja kalo sama Tio. Apa gue suka ya?”
“Tau! Lu yang rasa lu yang nanya!” nggak tau kenapa gue bawaannya sinis. Mungkin efek putus dari Toby.
Kami terdiam beberapa lama. Kelas yang sepi bikin suasana makin hening. Maklum sekarang jam istirahat, kemungkinan murid kelas ini berada di tempat yang seharusnya di datangi, kantin.
“Mond, lu dan Toby ada masalah?”
Gue yang tadinya menenggelamkan wajah dilipatan tangan di atas meja, mau nggak mau kembali melirik Bobon. Matanya menatap gue sendu. Ternyata sahabat gue ini peka juga. Gue nggak ngejawab tegas, hanya mengangguk kecil dengan senyum yang pahit.
“Gue tau dari Iren.”
Oh..
“Karena lu nggak mau ngomong dengan Iren, Iren akhirnya cerita ke gue. Kemarin dia ke rumah. Dia bilang lu dan Toby putus. Katanya Toby juga nggak kasih tau masalahnya apa. Emang kenapa sih sebenarnya? Bukannya kalian baru baikan?”
Gue tutup muka lagi. Bukannya gue nggak mau cerita, cuman gue nggak yakin kalo gue nggak akan nangis. Nggak untuk sekarang! Nggak di sekolah! Gue nggak mau dapat tatapan aneh dari teman-teman sekelas gue.
“Mond...” sahabat gue ini rupanya nggak mau nyerah. Kembali gue angkat wajah menatapnya. “Lu nangis?” Bobon tampak kaget. Gue sendiri nggak sadar kalo gue nangis.
Secara kasar gue sapu wajah basah gue dengan telapak tangan. “Nggak! Kelilipan.”
Bobon diam. Pandangan mata yang dia kasih nggak bisa gue artikan, tapi jujur saja itu mengganggu. Dia seolah sedang menelanjangi gue dengan tatapannya itu.
“Bon, gue nggak apa-apa.,” suara gue bahkan nggak seyakin itu.
Bobon menarik nafasnya dalam. “Mond, kita sahabatan sudah lama, gue tau lu sekarang sedang apa-apa. Jadi lu nggak usah bohong. Lu masih cinta kan sama Toby? Kalau begitu kenapa kalian putus?”
“Please, Bon...”
“Oke, oke.. kalau lu emang nggak mau cerita sekarang. Tapi kalau ada apa-apa jangan lupa bilang ke gue. Gue selalu siap bantuin lu.”
“Emm.. Thanks.”
Gue dan Bobon berbalas senyum. Sungguh. Segini saja cukup. Bobon menjadi sahabat baik gue selama ini saja sudah sangat cukup. Gue senang bisa kenal dia. Berbagi hal yang baik dan buruk. Tertawa dan ribut kadang-kadang. Salah satu orang yang gue sayang, orang yang ngebikin warna tersendiri dalam hidup gue. Bobon.. Bona Dwi Anggara.
Kelas rame setelah itu. Para penghuni kelas ini sudah mulai berdatangan. Termasuk bu guru cantik yang akan mengajar Bahasa Indonesia. Bobon sudah kembali ke bangkunya dan Anto mengambil tempat di sebelah gue. Setau gue dia kembali dekat dengan Iren. Mungkin saja pacaran. Entahlah. Gue belum bertanya langsung.
***
I’m so tired of being here
Suppressed by all my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
’Cause your presence still lingers here
And it won’t leave me alone
These wounds won’t seem to heal
This pain is just too real
There’s just too much that time cannot erase
Lagu My Immortal dari Evanescence mengalun merdu di kuping gue saat seseorang tiba-tiba membelai lembut kepala gue. Gue tau ini tangan nyokap, hangat dan menenangkan. Segera gue lepas earphone yang gue pakai dan menatap nyokap yang sekarang sudah duduk di samping gue. Gue bahkan nggak sadar kapan nyokap masuk ke kamar ini.
“Sampai kapan mau begini, hemm..?” tangan nyokap terus mengelus kepala. Menyampaikan dengan gerakannya bahwa dia sayang sama gue. Gue tau itu. Sangat tau.
Gue menggeleng sebagai jawaban. Sebenarnya gue nggak pernah cerita ke nyokap tapi entah kenapa nyokap seolah tau apa yang gue alamin.
“Dalam sebuah hubungan tidak akan pernah lepas dari yang namanya rasa manis dan pahit. Hal-hal kecil kadang bisa memicu pertengkaran. Itu wajar. Karena pasangan manapun selalu dihinggapi masalah. Bukankah orang bilang itu bumbu? Hanya tergantung bagaimana kita menyikapi. Kalau kita lebih mengandalkan emosi, yang terjadi kita bisa salah mengambil keputusan. Ujung-ujungnya menyesal.”
Entah kenapa gue ngerasa apa yang nyokap omongin seolah menyindir gue. Gue nggak tau apa gue nyesel, yang jelas gue kangen sama Toby. Sekeras apapun gue mengalihkan pikiran, secara otomatis akan kembali pada Toby. Dan itu bikin gue sakit kepala.
“Emangnya Mamah dan Papah dulu juga sering berantem?”
Nyokap mandangin dengan senyum, lalu pandangannya lurus ke depan seolah sedang menerawang masa lalu. “Yah, namanya juga suami istri. Ribut sudah pasti ada.”
“Siapa yang minta maaf duluan?”
“Tergantung. Kadang Mamah.. kadang Papah. Tapi sebenarnya Papah yang lebih sering. Mungkin karena Papah laki-laki, jadi lebih mengandalkan logika daripada perasaan.”
Gue senyum sendiri ngebayangin nyokap dan bokap berantem. Aneh ya? Aneh juga karena gue curhat sama nyokap? Itu karena gue nggak punya lagi sosok seorang bokap. Lagipula gue nggak suka cerita masalah gue. Gue lebih senang ngebiarin nyokap menganalisa sendiri. Dan hebatnya nyaris selalu tepat.
Suara ketukan pintu kedengeran dari luar. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini. Nyokap nyuruh gue bukain pintu dan gue turutin tanpa ngebantah. Saat pintu sudah kebuka seorang gadis langsung menghambur kepelukan gue. Iren. Tampangnya berantakan dengan wajah yang basah. Mendadak pikiran buruk mendominasi gue.
“Ren, kenapa?” gue elus rambut saudara kembar Toby yang sekarang sesenggukan di pundak gue.
“Toby, Mond...”
“Iya.. Toby kenapa?”
“Dia OD. Sekarang di rumah sakit. Gue takut, Mond..”
Kaki gue lemes seketika, rasanya nggak sanggup buat berdiri. Jantung gue berdenyut sakit. Gue susah bernafas. Iren melepas pelukannya, menyapu wajahnya yang sudah basah air mata.
“Gue udah nyoba hubungin lu tapi nomor lu nggak aktif. Jadi gue kesini.”
“Lu kesini sama siapa?” Iren nggak perlu lagi jawab pertanyaan gue sebab Anto sudah berdiri di sebelahnya. “Gimana kondisinya?”
Iren menggeleng. Dan gue semakin was-was.
“Ada apa, Mond?” nyokap sudah berdiri di samping gue. “Iren?”
“Toby masuk rumah sakit, Mah,” nyokap kaget dengar berita yang gue ucap. “Desmond mau ke sana.”
“Ya sudah, biar Mamah antar. Mamah nggak yakin kalo kamu bawa motor sendiri.”
Setelah itu kami semua melaju ke rumah sakit. Nyokap benar, sekarang saja jantung gue berdegup kencang luar biasa. Bahkan berkali-kali gue harus menyapu air mata yang turun tanpa bisa gue tahan. Gue takut. Aron OD dan dia pergi. Gue takut Toby juga__
Sampai rumah sakit gue seperti orang linglung. Bingung harus apa dan mau apa. Iren ngebawa gue ke tempat Toby di tangani. Ruangannya masih tertutup. Berdiri di tempat ini rasanya seperti déjà vu yang menyakitkan. Gue memandang ngeri pintu itu, teringat kembali bagaimana tangisan nyokap Aron saat dinyatakan putra tercintanya sudah meninggal. Jantung gue berdegup semakin sakit. Bayangan masa lalu itu bikin gue makin sesak.
Nyokap di sebelah gue mengelus pundak gue berkali-kali. Gue bersyukur, wanita yang paling gue cintai ini seolah jadi sandaran paling kuat untuk gue sekarang ini. “Tenanglah sayang, Toby pasti bisa bertahan.”
Gue harap itu benar.
Iren di sebelah gue menangis sesenggukan. Anto yang dari tadi meluk dia berusaha keras nenangin cewek itu. Gue tau ini berat bagi Iren, gimanapun juga dia sayang banget sama kakak cowoknya. Hal yang sama juga gue rasain. Ketakutan yang mengerikan. Sumpah demi apapun, gue mencintai cowok itu.
Entah berapa lama kami berada di sini sebelum pintu ruangan itu tiba-tiba kebuka. Seorang pria dewasa yang gue yakini adalah dokter keluar dari dalam sana. “Ada keluarga pasien di sini?”
Iren yang langsung menanggapi, “Saya adiknya, Dok.”
“Bersyukurlah karena pasien sudah melewati kondisi kritis. Sedikit saja terlambat dibawa ke rumah sakit, kemungkinan besar nyawa pasien tidak bisa tertolong. Saran saya, Anda lebih memperhatikan saudara Anda. Pasien pengguna narkoba biasanya lebih membutuhkan dorongan.”
“Makasih, Dok.” Iren ngucapinnya dengan suara bergetar.
Gue lega luar biasa. Rasanya kayak batu besar baru saja diangkat dari pundak gue. Gue terduduk di lantai, menangis sesenggukan karena bahagia. Iren lari ke dalam, gue bangun dan mengikuti. Di sana, cowok tampan yang gue cintai itu masih menutup mata. Selang infus menancap dipergelangan tangan dan mulutnya masih pakai oksigen.
Iren memeluk pinggang saudaranya itu. Gue berdiri di sampingnya, mengamati wajah Toby yang tampak damai dalam tidurnya. Gue senyum. Ketakutan terbesar gue sudah terlewati. Toby masih di sini. Masih bisa bernafas. Masih bisa gue pandang. Dan mungkin masih bisa gue peluk.
***
Gue duduk di samping Toby sedang nyokap duduk di sofa saat seorang pria paruh baya memasuki ruangan ini, ruang Toby dirawat setelah dipindahkan dari ruangan sabelumnya. Nggak butuh banyak waktu buat gue supaya bisa mengenali siapa pria dengan setelan jas lengkap itu. Bokap Toby. Pria yang Toby panggil ‘Ayah’ ini biasanya lebih suka sibuk dengan pekerjaannya sendiri sekarang ada di sini. Meski penampilannya rapi, tetap saja nggak bisa nyembunyiin wajahnya yang tampak lelah.
Oh ya gue pernah bilang ini sebelumnya.. gue juga lebih suka manggil bokap Toby dengan sebutan ayah, ngikutin jejak Toby tentunya. Meski gue bukan siapa-siapanya.
“Terima kasih sudah mengunggui anak saya,” itu kalimat pertama yang beliau ucapkan pada nyokap.
Nyokap balas dengan senyum, “Tidak masalah.”
Gue bangun dari duduk, memberi akses pada ayah Toby mendekati putranya yang sampai sekarang masih belum sadar. Hanya ada kami berempat di sini. Iren sedang di kantin bersama Anto. Nyokap gue yang memaksa gadis itu makan di sana, sebab dia mengaku belum memasukan sebutir nasipun sejak kemarin malam. Nyokap khawatir kalo dia sampai pingsan.
Ayah Toby mendekati putranya. Duduk di kursi yang gue pakai tadi. Menatap lurus Toby yang berbaring di ranjang. Dari tempat gue berdiri, gue bisa liat punggung pria paruh baya itu mulai bergetar. Tangannya bergerak perlahan mengelus kepala Toby. Gue tau, beliau menangis dalam diam.
“Ini salah saya,” ayah Toby bicara pelan, suaranya terdengar parau. Meski begitu masih bisa gue dengar, mungkin nyokap juga. “Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri sampai melupakan bahwa anak-anak saya memerlukan kasih sayang. Saya tenggelam dalam kesedihan, hingga tanpa sadar tindakan itu justru membuat jarak dengan mereka.”
Gue ataupun nyokap memilih nggak berkomentar, menunggu ayah Toby melanjutkan apa yang ingin beliau sampaikan.
“Sejak kepergian istri saya, saya seperti kehilangan arah. Bukan cuma itu, saya seakan menyalahkan anak saya atas meninggalnya istri saya. Terutama Toby. Saya melupakan fakta bahwa mereka juga kehilangan kasih sayang ibunya. Dan malah menjadikannya kehilangan kasih sayang ayahnya sekaligus. Sekarang saya merasakan ketakutan lagi. Entah bagaimana jadinya kalau saya sampai kehilangan putra saya.”
“Kita sebagai orang tua tentu tidak selalu benar,” nyokap mulai menyahut, ayah Toby masih lebih memilih menatap putranya. “Anda beruntung. Anda menyesalinya sebelum terlambat. Bayangkan saja kalau Anda tidak bisa bertemu dengannya lagi, penyesalan itu pasti sia-sia. Tapi.. bagaimana kalau saya mengatakan satu hal lagi..”
Gue tatap nyokap yang duduk kalem, coba menebak apa yang mau nyokap omongin. Semoga aja nggak kayak yang gue pikirin. Sadar dengan pandangan gue, nyokap balas menatap dan tersenyum.
Sekarang fokus Ayah Toby sudah sepenuhnya pada nyokap.“Apa?”
“Anda lihat putra saya..”
Gue semakin gugup, terutama karena ayah Toby menatap gue tajam. Terintimidasi. Ini mungkin bukan pertama kalinya kami ketemu tapi hal itu nggak berpengaruh.
“Bagaimana kalau saya mengatakan bahwa putra saya... kekasih putra Anda.”
Gue melotot. Nggak nyangka kalo nyokap bakal nekat bicaraan masalah ini. Sama seperti gue, ayah Toby pun nggak kalah kaget. Beliau bahkan langsung berdiri di tempatnya, memandang nyokap nggak percaya.
“Jangan bercanda dengan hal seperti ini!”
“Tentu saja tidak,” nyokap masih bicara tenang seperti sebelumnya.
“Tidak mungkin!”
Gue pikir ayah Toby akan mengamuk atau marah-marah seperti kebanyakan orang tua lainnya. Nyatanya nggak begitu. Pria paruh baya itu justru memilih duduk kembali dan mandangin putranya yang masih nyaman di dunianya.
“Boleh saya bertanya?” beliau kembali mengalihkan perhatiannya pada nyokap yang masih duduk. “Kenapa Anda bisa begitu santai dengan hal seperti ini? Hubungan seperti itu jelas tidak lajim. Tapi Anda seolah merestui mereka?”
Nyokap tersenyum lembut. “Saya ibunya. Tentu sebagai orang tua saya berhak melarang putra saya. Tapi sebagai manusia, putra saya punya hak penuh terhadap hidupnya sendiri. Saya tidak membenarkan hal seperti ini. Saya hanya tidak ingin memaksakan kehendak. Cukup berdiri di belakannya dan merangkulnya saat dia butuh pelukan. Bagi saya, kebahagiaan putra saya adalah yang pertama. Hanya itu.”
Ayah Toby terdiam. Gue terharu. Wanita yang gue panggil Mamah ini sungguh luar biasa. Entah bagaimana gue bisa ngebalas apa yang sudah nyokap kasih ke gue. Rasanya nggak akan mungkin, meski dengan nyawa sekalipun.
Nyokap pamit pulang setelah itu, yang dibalas ayah Toby dengan ucapan terimakasih. Bersaamaan dengan itu Iren dan Anto masuk ke dalam. Gue lebih memilih mengantar nyokap ke depan parkiran.
“Yakin nggak mau pulang sekarang?” nyokap sudah memakai helmnya.
“Iya. Desmond mau nunggu Toby siuman.”
Nyokap paham dengan itu. Sebelum ninggalin gue, nyokap mengusap kepala gue lebih dulu. Gue tersenyum karenanya. Sadar bahwa gue sangat beruntung dilahirkan dari seorang wanita seperti dia.
Tadinya setelah nyokap pergi gue berniat kembali ke kamar Toby, tapi sepertinya gue nggak beruntung. Mata gue justru menangkap seseorang yang paling nggak pengen gue temuin berjalan lambat ke arah gue. Argha. Kami sempat bertemu pandang, sebelum akhirnya gue lebih memilih mengabaikannya.
“Hai..” sapanya, begitu berada di depan gue. Gue pura-pura nggak dengar dan menyibukan diri dengan ponsel, mengirim pesan ke Bobon kalo gue sedang menjaga Toby di rumah sakit. “Maaf.”
Kata yang barusan Argha ucapkan menyedot perhatian gue sepenuhnya. Benarkah Argha minta maaf ke gue? Ketika pandangan gue terfokus ke wajahnya, saat itulah gue sadar ada yang salah di sana. Wajah Argha banyak luka memar, bahkan dahinya diberi plester.
“Toby,” katanya.
“Hah?”
“Ini semua dari Toby.”
Gue nggak tau harus bilang apa. Haruskah gue memberi selamat? Atau harus tertawa ngakak? Nyatanya gue memilih diam dan nggak berkomentar.
“Bisa kita bicara sebentar?” gue menimbang apa yang Argha minta dan menganggukan kepala kemudian. “Di sana saja..” Argha menunjuk kursi yang berada di taman rumah sakit ini.
Gue mengikuti langkah Argha yang berjalan di depan gue lambat-lambat. Sampai di sana dia duduk lebih dulu dan menyuruh gue mengambil tempat di sebelahnya. Gue turuti apa maunya dan menuggu Argha memulai percakapan. Entah berapa lama kami terdiam sebelum akhirnya Argha melontarkan kalimatnya.
“Gue mencintai Toby,” gue tau itu, tapi nggak nyangka kalo Argha membuka perbincangan dengan pengakuan perasaan. “Kami memang sepupu. Tumbuh bersama dari kecil sampai mengijak bangku SMP, Toby dan keluarganya pindah rumah ke luar kota. Ke sini.”
Gue diam mendengarkan.
“Gue nggak tau kapan perasaan itu mulai tumbuh, tapi saat gue sadar gue sudah terlambat. Toby sudah pacaran sama lu. Dan gue nggak terima. Gue menghalalkan apapun supaya dia berpaling ke gue, termasuk tubuh gue. Lu ingat hari di mana lu mergokin gue dan Toby nyaris berhubungan dulu? Itu karena gue ngasih obat perangsang ke minumannya.”
Gue mengganga. Nggak nyangka kalo Argha bisa senekat itu.
“Nyatanya gue tetap nggak bisa merebut perhatian Toby. Dia hanya cinta sama lu. Dan soal ciuman kemarin, gue sengaja ngelakuinnya karena gue sadar kedatangan lu.” Argha menggeser duduknya menghadap gue sepenuhnya, tatapannya sayu kali ini. “Mond, gue bener-bener minta maaf. Sekarang gue paham bahwa cinta nggak bisa dipaksakan. Apa yang terjadi pada Toby adalah salah gue. Gue egois. Gue ingin memilikinya sendiri, tapi apa yang gue buat justru nyaris menghilangkan nyawa Toby. Dia frustasi karena lu putusin.”
Dada gue berdebar sakit. Jadi Toby nggak salah apapun. Dan gue malah nggak mau dengerin penjelasannya, menjauhkannya dari hidup gue, dan membuatnya tenggelam dalam hal yang menakutkan. Membuatnya nyaris niggalin gue selamanya. Andai itu beneran kejadian, pasti gue akan nyesal seumur hidup.
Argha bangun dari duduknya, menyapu pandangannya ke tempat lain sebelum kembali menatap gue. “Toby hanya mencintai lu. Jaga dia baik-baik,” gue bisa menangkap ketulusan dari kata-kata yang dia ucapkan.
“Pasti!” jawab gue mantab. Argha menganggukan kepalanya. Sebelum dia benar-benar pergi, gue bertanya padanya, “Darimana lu tau Toby masuk rumah sakit?”
Argha yang sudah maju beberapa langkah berbalik menghadap gue, “Gue yang bawa dia ke sini.”
Jadi begitu. “Thanks..”
Argha tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Gue balas memberinya senyum. Apa dengan begini Argha nggak akan mengganggu hubungan gue dan Toby lagi? Gue harap begitu.
***
Gue kembali ke ruangan Toby. Dan saat gue masuk gue nemuin pemandangan yang langka. Di sana, di tempat tidurnya Toby sedang dipeluk ayahnya. Hal yang nggak pernah gue liat selama ini. Ayah Toby mengakhiri sesi sayang-sayangan itu dengan mengacak rambut putranya. Beliau berdiri dan mengambil kunci mobil di atas nakas.
“Ayah pulang dulu, nanti ke sini lagi,” beliau berbalik dan kami bertemu pandang, berjalan ke arah gue dan mengulurkan tangannya mengacak rambut gue. “Pastikan Toby baik-baik saja.”
Gue mengangguk kaku. Sesuatu yang nggak pernah gue bayangkan sedikitpun setelah apa yang nyokap bilang sebelumnya. Begitu pria paruh baya itu keluar, hanya tinggal gue dan Toby di sini. Gue melangkah pelan-pelan ke tempatnya, dengan mata kami yang lurus berpandangan.
“Yang kemarin salah paham__”
“Gue tau,” gue memotong ucapannya. Toby nggak perlu lagi ngejelasin apapun karena gue sudah tau semuanya.
Seketika gue menghambur kepelukannya, menenggelamkan wajah gue di ceruk lehernya. Membaui aromanya yang khas. Merasakan hangat tubuhnya dipelukan gue. Gue menangis. Beberapa jam yang lalu nyaris kehilangan cowok yang paling gue cintai ini. Hingga gue ketakutan setengah mati. Di tubuh gue, Toby menautkan tangannya sama eratnya. Seolah kami takut terpisah satu sama lain.
“Apa artinya kita baikan?”
Gue mengangguk di lehernya. Toby menarik mundur tubuh gue, lalu tangannya bergerak menghapus air mata yang bikin wajah gue basar. Gue menatap matanya dalam-dalam.
“I love you, By. I love you__”
Toby membungkam kalimat gue dengan mulutnya. Mengecup bibir gue secara perlahan. Mengulumnya dengan lembut. Bukan lumatan menuntut yang penuh hasrat tapi ciuman sederhana yang sarat akan cinta.
Krekk..
“WOW!!!” teriakan lebay itu berasal dari Bobon yang baru saja masuk. Mau nggak mau gue mundur seketika. Malu juga tertangkap basah. Bobon nggak datang sendiri, ada Tio yang masuk belakangan, diikuti Iren dan juga Anto.
“Ada yang nggak jadi putus nih,” Iren yang nyeletuk, menatap gue penuh arti. Gue buang muka ke jendela, pura-pura nggak sadar jadi bahan omongan.
“Oh! Perawan kita malu-malu..” mulut Bobon emang kampret!! Gue beri dia tatapan bengis. Toby disebelah gue ketawa ngakak. Lalu gue pelototin. Awas aja! Nggak gue kasih jatah enak tau rasa! Toby mengangkat tangannya minta maaf.
Sekarang gantian gue yang mandangin empat orang di depan gue. Sekali liat gue langsung bisa menebak. “Ada yang baru jadian nih,” gue balas nyeletuk.
“Siapa dulu yang ditanya?” Iren yang jawab. “Tio dan Bobon atau gue dan Anto?”
Gue mengangkat bahu.
“Kalo kita jawabannya iya,” ujar Iren dan Tio berbarengan.
Mereka berpandangan. Gue mengangkat alis. Lalu kami semua ketawa bareng-bareng. Nggak perlu dipertegas. Tangan Anto yang menggandeng mesra pinggang Iren dan Tio yang merangkul posesif bahu Bobon sudah sangat menjelaskan semuanya.
Ooh... apa akan ada triple date di sini?
***************************************************************************
EPILOG
Kami ada di taman bermain. Maksud gue di sini adalah gue, Toby, Bobon, Tio, Anto dan tentu saja Iren. Sebut saja sebagai triple date, kedengarannya cukup keren. Sekarang ini kami sedang menikmati liburan, sebelum beberapa hari lagi harus disibukkan dengan proses pendaptaran sebagai mahasiswa baru.
Baru aja turun dari rolerkoster, pasangan Tio-Bobon dan Anto-Iren sudah ngajakin naik wahana lain. Mereka milih tornado. Gue dengan tegas menyatakan kalo gue ogah ikutan! Pengalaman pertama gue naik benda itu harus menahan muntah, sakit kepala dan mual-mual. Jadi makasih, tapi gue nggak minat. Gue lebih tertarik nungguin mereka dengan menyantap es krim di siang bolong yang panas.
Jangan tanya di mana Toby. Cowok itu jelas lebih senang mesra-mesraan dengan pacarnya. Gue, siapa lagi emangnya! Dan kerennya lagi, cowok gue serius dengan rehabilitasinya. Ayahnya yang paling ngasih support, gue juga nggak mau kalah. Gue optimis Toby pasti bebas dari benda laknak itu.
“Hai, Mond..”
Gue yang sedang sibuk menyendok es krim vanila dikejutkan oleh sapaan seseorang. Bukan sapaannya yang bikin kaget tapi karena gue hapal betul suaranya. Seketika gue mendongakan kepala, menatap tepat ke mata orang itu.
“Kak Rama?”
“Lama nggak ketemu. Boleh kita bicara sebentar?”
Toby sudah berdiri di sebelah gue, matanya memancarkan kemarahan. Telapak tangannya terkepal kuat. Sadar dengan hal itu gue pegang tangan kanannya, memohon padanya dengan tatapan, memintanya duduk kembali di tempatnya.
Rama tampaknya paham situasi, sebab dia kemudian bicara pada Toby. “Aku ke sini bukan untuk cari ribut. Aku mau minta maaf.”
Toby mendengus dan memalingkan muka.
“Mond.. yang waktu itu, Kakak minta maaf. Nggak seharusnya Kakak bertindak hal yang nggak pantas. Kakak terbawa suasana. Kakak terlalu merindukannya. Dan menganggapmu sebagai... Aron.”
Gue sebenarnya sudah menduga, “Kak Rama mencintai Aron?”
Pria di depan gue ini mengangguk samar. Kami semua terdiam, hingga seseorang tiba-tiba datang dan bicara pada Rama.
“Kak, sudah gue cari kemana-mana tapi nggak ada. Kira-kira ada di mana ya?” keajaiban lainnya. Argha.
“Ngapain lu di sini?” Toby yang bertanya. Perlu gue ingatkan lagi mereka itu sepupu.
“Main lah... emangnya mau ngapain?”
Kalo kesimpulang gue nggak salah, berarti... “Kalian berdua jalan bareng?”
Gue liat keduanya salah tingkah. Wajah Argha bahkan tampak memerah. Ooh.. sesuatu yang iya-iya terjadi diantara mereka. Rama berdehem pelan, menarik perhatian kami kepadanya.
“Mond, sekali lagi Kak Rama minta maaf. Dan juga, maaf buat pacar kamu.”
Argha dan Rama pamit setelah itu, ninggalin gue dan Toby berdua. Di wahana tornado, dua couple tadi melambai-lambai dan berteriak heboh, tampak sangat bahagia. Dan di sini, diantara keramaian orang-orang yang nggak gue kenal, Toby menautkan jari kami diam-diam. Apa yang lebih sempurna dari ini? Gue nggak butuh pengakuan dunia. Cukup orang yang gue sayang berdiri di sebelah gue. Menggenggam tangan gue dengan lembut. Memberi gue senyumnya.
Dari pengalaman ini gue pengen berbagi. Kenyataan nggak selalu seperti yang terlihat. Dengarkanlah. Sebab penyesalan akan datang bila kita salah mengambil langkah. Guys, hidup memang untuk dinikmati tapi bukan berarti bebas tanpa batas. Jauhi narkoba! Benda haram itu bisa membunuhmu kapan saja. Gue Desmond... thanks sudah menjadi bagian hidup gue. Love you all.
TAMAT
Ceritanya keren kaka el.. ditunggu ya cerita selanjutnya,