It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
****-****
Tepat tengah malam, aku terbangun karena Simon membuat keributan saat pulang dalam keadaan mabuk. Dalam cahaya remang kamar, aku bisa melihatnya berjalan terhuyung-huyung dan sesekali menabrak apapun yang ada di dekatnya. Penampilannya berantakan seperti biasa. Kedua matanya mengerjap berulang kali saat dia sudah ada di dekat tempat tidurku. Simon seperti ingin membuka matanya lebar-lebar ketika kami bertatapan, tapi aku tahu usahanya itu hampir sia-sia.
Jika mau, aku bisa menyeretnya ke dalam kamar mandi sekarang, lalu menyiramnya dengan air sampai seluruh tubuhnya basah kuyub dan meninggalkannya tertidur di sana. Tapi, itu hanya akan terjadi di dalam benakku saja karena pada kenyataannya aku tidak akan pernah sampai setega itu.
“Langsung tidur saja, Simon!”
Tanpa kuduga, Simon ambruk sehingga membuatku mulai merasa sesak karena harus menopang seluruh berat tubuhnya. Tajamnya aroma bir yang keluar dari mulut Simon langsung menusuk hidungku sampai-sampai aku lebih memilih menahan napas. Terlebih, saat wajah kami hanya berjarak beberapa senti meter. Aku memang melihatnya tersenyum, tapi hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di dalam benak orang mabuk.
“Kamu seharusnya melepas pakaianku sekarang. Semuanya! Lalu kita bisa mulai berciuman,” katanya. “Mumpung tidak ada yang lihat. Kamu punya kondom? Punyaku habis.”
Aku berusaha menggenggam keras kedua pergelangan tangannya saat dia mulai berusaha melepas kaus yang kupakai. Simon memang gigih, tapi lama kelamaan, tubuhnya melemas saat kedua mata itu sepenuhnya terpejam. Aku membantunya berbaring di sampingku dan melepas kemejanya sehingga hanya menyisakan kaus dalam tipis.
Sudah puluhan kali aku menghadapinya dalam keadaan seperti ini. Setiap pagi biasanya aku akan melayangkan beberapa kalimat dalam nada marah karena sikap konyolnya. Tapi, jika memang dia selalu menggunakanku sebagai alasannya, sudah dipastikan langkahku akan selalu mati. Karena itu, aku membiarkannya melakukan apapun yang dia mau sebagai pelampiasan patah hatinya yang tak kunjung hilang. Lagi pula, simon bukan lagi anak di bawah sepuluh tahun yang harus didikte.
Gerakan tangan Simon yang tiba-tiba, berhasil membuatku kaget. Tangan kanannya sudah memegang tengkukku dengan keras sehingga saat dia menarikku mendekat, aku harus sedikit berusaha menahannya agar bibir kami tidak bertemu.
“Kenapa masih saja pelit? Jangan kejam begitu.”
Itu adalah kata terakhirnya sebelum napas Simon mulai terlihat teratur sehingga membuatku yakin kalau dia sudah tidur.
Setelah menutupi seluruh tubuh Simon dengan selimut dan memastikan dia baik-baik saja, aku beralih dari tempat tidur menuju mejaku yang ada di pojok kamar dan duduk di sana untuk beberapa saat memandangi kegelapan. Aku mengambil napas dalam-dalam beberapa kali untuk membuat diriku sendiri merasa tenang. Selanjutnya, aku membuka laci kecil di bagian bawah mejaku dan mengeluarkan sebuah dasi bermotif garis merah-biru tua, sisir rambut, dan lensa kontak.
Aku berdiri dan berbalik menghadap kalender besar yang terpampang di dinding dekat jendela kamar. Hari ini, tanggal 23 Mei. Itu artinya besok, tanggal 24, harus ada yang dirayakan. Jika sebelumnya jauh-jauh hari aku sudah membayangkan akan adanya keramaian di rumah ini, penuh dengan tawa keras atau teriakan ucapan selamat ulang tahun, maka sudah dipastikan hari ini kesedihan menghapus semuanya. Tidak akan ada pesta, tidak akan ada kue ulang tahun ataupun keceriaan. Semuanya seolah sudah lenyap begitu saja.
Bayangan wajahku di cermin berhasil membuatku kembali ke alam sadar. Aku memutar tubuh dengan cepat lalu berjalan tergesa-gesa ke arah kamar mandi. Air dingin dari westafel yang membasahi wajah dan rambutku berhasil membuatku beberapa kali bergidik. Saat aku menatap cermin, aku mulai menyadari bagaimana keadaanku sekarang. Kedua mata merah seperti kurang tidur. Garis bibirku sedikit melengkung ke atas menandakan tidak ada satu alasan yang membuatku tersenyum. Dan terakhir ada wajah yang sedih.
Aku memakai kemeja biru muda dan celana kain hitam seperti orang-orang kantoran. Untuk melengkapi semuanya, aku memakai dasi yang tadi kuambil dari laci meja dan menyisir rambutku yang masih basah sehingga terlihat lebih rapi dan klimis. Saat tangan kananku menyentuh permukaan cermin, aku mengambil satu tarikan napas panjang dan mencoba memasang sebuah senyum kecil di bibirku.
“Ethan, sudah siap?”
Sapaan yang kuucapkan sendiri membuatku terpaku untuk beberapa saat. Senyum itu sudah menghilang, dada dan bahu itu bergerak naik turun semakin cepat menandakan napas yang sedikit memburu. Wajah itu kembali tampak sedih dan sampai akhirnya kedua mata itu berkaca-kaca.
Apa yang kulihat selanjutnya hanyalah lantai kamarku. Tangan kananku menggenggam dengan keras tempat lensa kontak dan tangan kiriku mulai mencakar permukaan cermin. Aku masih diam berdiri dan bergeming. Melawan rasa sakit yang mulai kurasakan di tenggorokanku.
“Dia hanya punya dua kaki. Jika keduanya terluka, maka dia tidak akan bisa berdiri. Jika satu kaki terluka, satu kaki yang lain harus tetap kuat. Sehingga dia bisa tetap berdiri dan berjalan walaupun harus dengan terpincang-pincang.”
Aku terhenyak ketika suara itu menggema dengan jelas di dalam benakku. Kata-kata itu adalah satu dari beberapa alasan yang berhasil membuatku kuat hingga detik ini, atau bisa kubilang memaksaku untuk terlihat kuat sampai sekarang. Kali ini aku sudah berani menatap bayangan wajahku lagi hingga ekspresi itu berubah menjadi tenang dan butir-butir air mata itu hilang. Sebelum keluar dari kamar, aku memastikan sekali lagi kalau aku memang benar-benar sudah siap.
Bagiku, suasana rumah masih diselimuti kesedihan. Saat melintasi ruang tamu, rasa-rasanya aku seperti kembali ke dua minggu yang lalu, di mana saat itu rumah ini dipenuhi oleh orang-orang yang datang silih berganti. Aku duduk di sofa ditemani Simon sepanjang hari. Sedangkan Jimm berada di dalam kamarnya, tidak pernah keluar dari sana.
Sebelum duduk di tepi tempat tidur Jimm, aku mematikan lampu tidur agar tidak ada cahaya yang menerangi sekelilingku kecuali seberkas cahaya yang berasal dari ruang tamu yang menembus ventilasi kaca di atas pintu kamar. Tapi, walaupun tidak terlalu jelas, aku masih bisa melihat wajah Jimm. Mungkin Jimm juga bisa melihat wajahku jika kedua mata itu terbuka.
Aku duduk perlahan di samping tubuhnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya agak keras agar bisa sedikit memberi kehangatan di kulitnya yang dingin. Semakin hari, garis wajah itu selalu memberitahuku bagaimana penderitaanya, rasa sakitnya. Sama sepertiku, tidak ada kebahagiaan. Tapi Jimm selalu terlihat lebih rapuh, sebagaimana yang orang-orang tunjukan apabila orang yang dicintainya telah pergi. Kami sama-sama sedih, tapi salah satu di antara kami harus selalu kuat. Aku harus kuat, untuk Jimm dan untuk diriku sendiri.
“Jimm, hei,” ucapku lirih, nyaris aku sendiri tidak mendengarnya. “Tidak ingin bangun? Besok, saat kamu ulang tahun, aku punya kejutan.”
Tadinya, aku pikir tidak akan terjadi apa-apa. Tapi, apa yang membuatku terkejut adalah saat kedua mata itu perlahan-lahan terbuka. Aku bergerak mendekat agar bisa menyentuh dahinya dengan punggung tanganku. Demamnya sudah hilang, tapi aku tidak melihat tanda-tanda kalau Jimm mulai membaik. Rambutnya kusut, sehingga aku perlu beberapa kali menyisirnya dengan jari tanganku agar membuatnya tampak sedikit lebih rapi.
“Ethan.”
Suara serak dan beratnya membuat tubuhku merinding. Nada sedihnya menusuk. Tangannya membalas genggamanku sementara bibirnya mulai membentuk sebuah senyuman kecil. Rasa-rasanya aku ingin keluar dari kamar ini sebelum semuanya berlangsung semakin jauh. Tapi, aku benar-benar tidak tega. Mungkin Jimm berpikir dia sedang berhalusinasi seperti beberapa hari yang lalu, atau dia berpikir sedang bermimpi. Kalau tidak, pasti dia akan bangun dan memelukku dengan erat ditambah beberapa ciuman kecil. Tapi dia tidak melakukannya. Dia tetap berbaring di sana dengan tenang, sebelum lagi-lagi membuatku terkejut saat dia mencoba untuk bangkit perlahan sampai pada akhirnya berhasil duduk sejajar denganku.
“Apa aku membuatmu cemas?” Dia bertanya padaku, kali ini dengan suara serak.
Aku tidak menjawab apapun dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Aku berharap Jimm bisa kembali tidur dan aku bisa keluar dari kamar ini dengan tenang. Aku juga berharap kegelapan masih membantuku kali ini. Tapi, sepertinya dugaanku meleset.
Tangan Jimm tiba-tiba sudah berada di kepalaku, mengacak-acak rambutku dengan pelan. “Kamar ini memang gelap, tapi warna biru matamu sedikit lebih terang,” ujarnya lirih. “Dan bahumu sedikit lebih besar.”
Bagian lengan kemejaku kini keduanya sudah terlipat sampai ke siku sementara Jimm juga telah melepas ikatan dasiku dan melepas dua buah kancing kemejaku yang paling atas. Tubuhnya bergerak ke samping tempat tidur sampai aku menyadari lampu kamar menyala terang.
Saat pandangan kami kembali bertemu, aku melihat senyum lebar di wajah Jimm. Senyum yang sulit kuartikan. Tapi, satu hal yang kutahu, aku sudah tertangkap basah.
“Hai, Andy.”
Untuk pertama kalinya dalam empat belas hari terakhir, hari ini keadaan mulai terasa membaik. Kami berkumpul dan menghabiskan waktu pagi dengan sarapan. Bedanya, tidak ada Ethan, dan tidak akan ada lagi Ethan. Berita baiknya, Jimm terlihat jauh lebih baik. Dia sudah mandi, tampil rapi, bercukur, dan mulai bersikap sebagaimana Jimm yang kukenal. Aku tidak tahu apa yang membuatnya bisa berubah secepat itu karena biasanya, dia hanya bisa terbaring dan melamun di kamarnya. Tapi pagi ini aku sudah melihat ekspresi yang hidup di wajahnya walaupun aku yakin kesedihan dan kehilangan itu pasti akan selalu membekas sebagai sebuah luka yang butuh waktu lama untuk sembuh, sama seperti yang kurasakan. Tidak seperti demamnya yang bisa sembuh dalam hitungan hari.
Di sampingku, Simon masih menunjukkan sikap yang sedikit menyebalkan. Belum puas dia membuatku geleng-geleng kepala dengan sikap terkejutnya yang berlebihan saat melihat Jimm keluar dari kamar, sekarang dia seperti tidak bisa berhenti melempar tatapan yang penuh curiga pada Jimm.
“Andy,” Simon menyikut lenganku. “Aku tidak ingin merusak rasa senangmu tapi apa tidak terlalu mendadak melihat Jimm seperti ini? Terakhir kuingat, kemarin kalian berdua, terutama Jimm, masih terlihat seperti zombi,” bisiknya padaku.
Rasanya aku ingin sekali mengabaikan Simon dan berkosentrasi untuk menghabiskan sarapanku seperti yang dilakukan Jimm. Tapi bukan Simon namanya kalau dia bisa membiarkanku menjalani hidup dengan tenang.
“Kamu sedang menaburi lukaku dengan garam, Simon,” sindirku dengan berbisik. “Dua minggu lalu, kamu bilang sendiri padaku agar sabar dan merelakan Ethan. Dan sekarang apa? Kamu merasa aneh saat melihat Jimm mulai pulih?”
“Lalu apa yang membuatnya ‘pulih’ secara tiba-tiba seperti itu?”
Aku sedikit terkejut saat Jimm berdeham. Walaupun kedua mata itu masih sayu dan terlihat seperti orang yang kurang tidur, tapi aku tahu dia sedang berusaha terlihat baik-baik saja.
“Simon, bukan berbisik namanya kalau aku bisa mendengarnya.” Jimm menaruh garpu di piringnya sebelum meneguk segelas jus jeruk. “Ethan tidak akan kembali, aku tidak mau membuat Andy cemas setiap hari. Apa alasan itu bisa menjawab pertanyaanmu tadi?”
“Aha. Sempurna, Jimmy,” ujar Simon.
Apa yang kurasakan justru mulai sedikit janggal. Bukan tentang alasan yang diberikan Jimm, tapi tentang kata-kata Simon sebelumnya yang ingin kuabaikan. Tantang, apa yang membuat Simon berpikir kalau Jimm bisa secepat ini berubah? Entah kenapa, imajinasiku mulai bermain. Rasanya seperti, kemarin, aku melihat Jimm berbaring di rumah sakit. Terluka parah, patah tulang, pendarahan hebat, dan dokter memvonisnya tak akan selamat. Itu adalah analogi yang kugunakan sebagai gambaran jiwa Jimm yang terguncang sejak kepergian Ethan. Lalu pagi ini, aku melihat dia bangun, berjalan, dan terlihat baik-baik saja, seolah semuanya tidak pernah terjadi. Seperti yang Jimm bilang dengan enteng, ‘Ethan tidak akan kembali’. Dia mengucapkannya seolah-olah keadaannya selama dua minggu terakhir menjadi tidak berarti apa-apa. Jika dia memang sedang berusaha mati-matian ingin terlihat baik-baik saja di depanku agar aku tidak cemas, kenapa baru sekarang? Apa yang menyadarkannya?
“Sudah selesai, aku akan bersiap-siap.” Jimm berdiri hendak meninggalkan meja makan. “Mungkin aku akan pulang malam.”
“Mau kutemani?” tawarku.
“Hari ini aku sedang ingin berdua dengan Ethan.” Jimm memberi senyum lagi sebagai usaha terkahirnya untuk meyakinkanku sebelum dia masuk ke dalam kamarnya.
Aku meraih lengan Simon, menyeretnya paksa ke dalam kamarku dan mengabaikan kalimat protesnya.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Simon setelah duduk di atas tempat tidur. Sedangkan aku berdiri dengan tidak tenang di depannya.
“Menurutmu, dua alasan tadi sudah cukup?”
Simon terlihat ragu-ragu. “Kamu ingin dengar jawaban yang jujur atau yang menghibur?”
“Yang jujur.”
“Oke, kalau melihat bagaimana keadaannya selama dua minggu ini, sepertinya kurang meyakinkan. Butuh motivasi yang besar. Butuh tamparan yang sakit untuk membangunkan orang yang tidak bisa bangun dari tidur karena mimpi buruk. Kecuali kalau memang ada keajaiban. Apa terjadi sesuatu? Terakhir kali ke kamarnya, kamu bilang apa?”
Pikiranku kembali pada kejadian tadi malam, saat aku berdua dengan Jimm di dalam kamarnya seperti biasa. Dan ketika ingat dengan semua yang kuucapkan, rasanya seperti ada cahaya terang yang membuatnya jadi lebih jelas.
“Aku tidak yakin Jimm mendengarnya, tapi aku bilang punya kejutan besok saat dia ulang tahun.”
“Kamu punya kejutan?”
“Secara teknis, memang aku yang bilang. Tapi saat itu aku sedang berpura-pura jadi Ethan.”
“Andy, kamu melakukannya lagi? Kenapa?”
Aku memutar tubuhku menatap cermin. Seperti setiap malam, jika timbul keinginan untuk menghibur Jimm, aku hanya bisa membayangkan Ethan. Berpura-pura menjadi Ethan dan bersembunyi di dalam kegelapan.
“Tiga hari sebelum Ethan kecelakaan, dia bilang ingin membuat kejutan yang berbeda saat Jimm ulang tahun. Dan jika Ethan ingin memberi Jimm kejutan, aku akan membuat hal itu jadi kenyataan,” jelasku.
“Dengan berpenampilan persis seperti Ethan bukan berarti kamu jadi Ethan, kan?” Simon tampak jengah. “Apa tidak berpikir kalau yang kamu lakukan bisa saja hanya membuat Jimm tambah sedih. Dan tadaaaaa, kejutan! Dia akan kembali lagi jadi zombi.”
“Dia tidak akan sedih, aku berani jamin,” jawabku yakin. Aku mendekat ke arah cermin, menatap wajahku sendiri, menatap mataku sendiri. “Aku hanya perlu menemukan warna mata biru yang cocok.”
“Lalu apa? Kamu ingin menggantikan Ethan? Ingin hidup berdua dengan Jimm dan bahagia selama-lamanya? Itu sangat konyol.”
“Kita bicara soal kenapa Jimm tiba-tiba berubah, Simon. Apa kamu tidak lihat bagaimana keadaannya tadi? Lebih baik daripada selama dua minggu mengurung diri di kamar, melamun, dan menangis, kan? Siapa tahu dia memang ingin kejutan itu dariku, dari Ethan. Karena Jimm selalu bilang salah satu hari paling bahagia dalam setahun adalah saat ulang tahunnya. Ketika Ethan selalu membuat semuanya jadi sempurna.”
“Oke,” Simon mengangkat kedua tangannya. “Tahun ini, kejutannya apa?”
Aku berjalan kembali ke arah mejaku, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari laci.
“Apa ini?” tanya Simon sesaat setelah aku memberikan kotak itu padanya. Aku tidak heran jika dia langsung terkejut dan menghela napas panjang ketika membuka kotak berisi dua cincin yang dititipkan Ethan padaku, agar aku menyembunyikannya sampai hari ulang tahun Jimm.
“Ironi,” kata Simon dengan nada sedih. Membuat dadaku sesak secara tiba-tiba.
“Jadi Ethan ingin melamar Jimm di hari ulang tahunnya?”
Aku duduk di samping Simon, mengambil kotak itu dari tangan Simon dan memandangi cincin itu untuk beberapa saat.
“Aku masih ingat wajah bahagia Ethan saat dia memberitahuku tentang niatnya itu. Tentu saja aku tidak berpikir lama untuk menyetujuinya. Tapi dulu aku tidak menyangka kalau keinginannya itu tidak bisa jadi kenyataan. Mungkin ini salahku. Aku membuat mereka menunggu terlalu lama.”
Simon menghela napas lagi, kali ini suaranya lebih keras. “Kalau sedang suasana kalem seperti ini, kamu memang mirip ayahmu. Kalau sudah begini aku bisa bilang apa? Lakukan saja. Buat mereka bahagia.”
Aku memberikan senyumku untuk Simon, sebagai tanda terima kasih. “Aku memang tidak akan bisa seperti Ethan, tapi aku bisa mewakilinya. Mungkin memang sudah seharusnya seperti itu. Aku ingin sebuah akhir yang bahagia untuk Ethan dan Jimm.”
Next update aku minta dimention ya.makasih
tp aku lebih suka yg lama..
part yg bikin rada bingung, abis di kamar sama simon, ke kamar mandi, trus adegan duduk di tempat tidur jimm..
kenapa ga dibikin, aku meninggalkan simon di kamar dan ke kamar mandi-ngaca blabla-trus masuk k kamar jimm?
bikin mikir ini simon dan jimm orang yg sama apa gmana ya.. jd bingung (mungkin cm aku yg bingung yo ben )
btw ini mau dibikin cerbung?
@yuzz say, enggak banget sama yang lama, waktu aku baca ulang malah bikin aku sendiri illfeel.
ini maksudnya?
orang kaya yuzz ceritanya, kamar mandi di dalem kamar.
lho, kronologisnya memang gitu kan?
abis sama simon, ke kamar mandi, ngaca2, pake baju, keluar kamar, trus baru masuk ke kamar jimm lewat ruang tamu, yang trakir baru duduk di ranjang jimm. ini kamu bacanya scanning ya?
iya, udah metong.
thanks
pikirku yg ruang tamu itu cm adegan flashback gt..
gataunya beneran lewat ya )
gomen gomenn
tetep suka yg lama bikin mewek..
btw ini dijadiin cerbung?
masa? dibagian mana yang bikin mewek? malah gak ada menurutku.
*bentar cek lagi.
bukan cerbung sih, sama kyak kemaren. cerpen 4-5 part.
Bagus
Bingit
dan ga ada alay2nya keleus -___-