It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Iya, kami baru bertemu lagi dua minggu lalu. Pas aku buka fb karena sudah lama tak membuka fb, ternyata ada permintaan pertemanan dari Ardhan. Sudah 16 tahun tidak bertemu sejak kami lulus SD. Dulu saat SMP aku pernah mengunjunginya tapi rumahnya kosong. Dan sekarang aku baru tahu penyebab kepindahan keluarga Ardhan adalah karena pertengkaran keluarganya dengan keluarga Jefri.
Yang dipegang oleh Jefri kelihatannya biawak. Apakah kamu berani memegang reptil @TigerGirlz ?
berani!!
dulu pernah ngejar-ngejar biawak disungai, sayang gk kena T,T
aku juga suka ular, klo ada ular biasanya aku berusaha nangkep ehehe
Kalau sekarang usia 28 ya berarti terpaut 3 thn dong
ups buka kartu as sendiri
erfan ganteng bang. putih. gw suka. yaa emang perasaan gak bisa dipaksain yee bang. salam buat erfan ardhan ryan anton ari1 ari2 teguh jefri siapa lagi yak? pokoknya semua. dyah juga deh bang, cantik
@balaka
@solous
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@beepe
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@rey_drew9090
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@inlove
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@eswetod
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
:::::::Boikot Jefri!:::::::
Bogor 1997 (Kelas 5 SD)
Pada hari selanjutnya muncul isu yang tidak sedap mengenai aku dan Erfan di sekolah. Aku dikabarkan diam-diam telah menyukai Erfan dan menulis surat cinta untuknya. Lalu surat cinta itu diketahui Bu Mulyanah guru wali kelas kami dan kami berdua dipanggil beliau sepulang sekolah untuk dinasihati. Aku benar-benar kesal mendengar isu tersebut apalagi teman-teman di sekolahku menjadi berubah sikap kepadaku. Mereka perlahan-lahan menjauhiku. Entah karena jijik, aneh, dan takut padaku seolah-olah aku ini adalah virus yang menyebarkan penyakit kepada mereka.
"Eeh, ada homo lewat awas jangan dekat-dekat nanti ketularan lho!" Desis salah seorang temanku saat aku berjalan menuju perpustakaan.
"Ih, nggak nyangka ya si Sugih kaya gitu!" Bisik seseorang kepada kawan di sebelahnya.
"Iya, kaya dunia ini kehabisan cewek aja! Gak ingat apa cerita guru agama kita soal Nabi Luth!" Balas kawan yang dibisikinya.
"Dasar homreng!" Cibir temanku yang lain.
"Amit-amit gua punya teman kaya lu!" Cemooh yang lain lagi.
Dan masih banyak segudang hinaan, cacian, serta cemoohan lainnya yang kuterima baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kusmawati yang akrab kupanggil Engkus dan Nurhasanah yang akrab kupanggil Nur berubah illfeel padaku gara-gara mendengar gosip tersebut, padahal selama ini mereka berdua adalah pengagum-pengagum beratku sejak aku memakai kacamata di kelas 2. Begitu juga dengan Nurazizah, anak perempuan yang selalu memperhatikanku saat aku sedang menyendiri di kelas. Patut kubanggakan memang, meski wajahku tak seganteng Erfan, aku cukup disukai beberapa anak gadis di sekolahku. Terlebih sebagian dari mereka telah mengalami masa pubertas lebih dulu sebelum aku mengalaminya. Kadang ada saja cara mereka mendekatiku agar aku membalas perhatian yang mereka berikan.
Nurhasanah misalnya, ia kerap memberiku cilok dagangan ayahnya bila aku sengaja tidak jajan di sekolah.
"Gih, kamu tidak jajan ya? Ini ambillah!" Nurhasanah menyodorkan sebungkus cilok padaku.
"Lho, ini kan dagangan bapakmu, mengapa kau berikan padaku?" Kuserahkan kembali cilok pemberiannya.
Bukan apa-apa aku sangat kasihan melihat kesusahan keluarganya. Keluarganya sangat miskin, rumah tempat tinggal mereka sangat kumuh, dan sempit. Nurhasanah adalah anak tertua dalam keluarganya. Ia memiliki 5 orang adik yang terpaut 2 tahun-2 tahun dari adik pertamanya hingga adiknya yang terakhir. Tampaknya orang tua Nurhasanah tidak mengikuti program KB yang digalakkan pemerintah. Manakala ayah Nurhasanah sudah sangat tua, tetapi beliau masih kuat berusaha mencari nafkah untuk membiayai sekolah Nurhasanah dan adik-adiknya. Dengan berjualan ciloklah ayah Nurhasanah dapat menyambung nyawa keluarganya. Dengan dipikul di pundak, dua buah kotak kayu diangkatnya ke sekolah yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya.
"Kulihat kamu tidak jajan pasti kamu sangat lapar kan? Untunglah cilok dagangan ayahku hari ini berlebih, jadi kuambil sebungkus untuk kuberikan padamu!"
Aku jadi tidak enak hati menerima cilok pemberiannya.
"Sepertinya besok-besok aku harus beralasan sedang berpuasa agar kamu tidak mengorting jatah jualan ayahmu!" Kelakarku.
"Aku sengaja tidak jajan karena aku ingin membeli Buku Pintar karya Iwan Gayo, harganya sangat mahal!"
Nurhasanah duduk menopang dagu di hadapanku, "Wah, untuk apa kamu membeli buku itu? Kamu kan sudah pintar," celetuknya heran.
"Jangan berlebihan menilaiku! Justru karena tidak pintar aku ingin membeli buku itu!" Aku merendah.
"Yah, kalau nanti kamu sudah membeli buku itu, boleh kan aku pinjam buku itu darimu?"
Kuanggukkan kepala tanda setuju, "Tentu saja kamu boleh meminjam buku itu. Mengapa tidak?"
Lain Nurhasanah lain pula cara Kusmawati dalam menarik perhatianku.
"Gih, kamu kan jago Matematika. Ajarin aku donk soal yang tadi diberikan Ibu Mul!"
"Oh, soal nomor berapa yang tidak kamu mengerti?"
Kusmawati duduk merapat di sebelahku sambil menunjukkan buku latihan Matematikanya, "Soal yang ini! Aku belum mengerti cara mencari KPK dan FPB!"
"Oh, mencari KPK dan FPB ya? Selain dengan cara berderet dan pohon faktor yang diajarkan oleh Ibu Mul, aku punya cara lain yang diajarkan oleh pamanku di rumah. Namanya adalah metode rantang penyok!"
Aku benar-benar merasa jengah karena bukannya menyimak penjelasan yang kuberikan, Kusmawati malah menatap wajahku dalam-dalam.
Paling aneh lagi Nurazizah, dia sering berpura-pura jatuh di depanku saat aku sedang melintas di depannya. Aku tahu dia hanya berpura-pura karena setelah aku membantu memapahnya ke tempat duduknya, kakinya yang semula dirasa sakit olehnya mendadak kembali normal setelah aku pergi meninggalkannya.
Sikap mereka yang dulu begitu perhatian kepadaku mendadak berubah menjadi jijik dan sangat benci setelah mendengar isu tentangku dan Erfan. Dianggap mereka aku tak layak untuk didekati. Hanya Ardhan, Irwanto, dan teman-teman genkku yang bersikap biasa-biasa saja kepadaku. Erfan sendiri malah terlihat santai dan bahkan sepertinya sangat senang digosipkan terbalik mengenai keadaan kami. Dia yang suka padaku mengapa malah digosipkan jadi aku yang suka padanya? Aku menjadi uring-uringan sendiri. Ini semua pasti ulah Jefri! Karena dia kemarin sengaja menguping pembicaraan Bu Mulyanah denganku dan Erfan. Benar-benar membuatku kesal, rasanya batas kesabaranku sudah mulai akan habis. Karena itulah aku menemui Jessica untuk meminta tolong kepadanya.
"Gua bisa aja nolongin elu ngelawan kakak gua. Tapi ada syaratnya!"
"Syaratnya apa Jes?"
"Syaratnya gua pengen masuk genk elu! Dan kita bikin jadwal belajar kelompok setiap hari. Gua kan pengen masuk sepuluh besar kaya genk elu. Apalagi sebentar lagi kita bakal naik kelas enam, dan menghadapi EBTANAS!"
*EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) setara dengan Ujian Akhir Nasional.
"Masuk genk gua?" Mataku terbeliak.
"Gimana? Boleh kan gua gabung sama genk elu?"
"Gua tanya dulu deh sama teman-teman genk gua!" Kataku berkompromi.
"Ya kalaupun enggak bisa, sorry-dorry Gih, gua gak jamin bisa bantuin masalah elu!"
GUBRAK! Jangan sampai deh Jessica masuk genk SEDAN. Bukan aku tidak menyukai Jessica. Masalahnya, dia mempunyai kebiasaan yang sangat aneh. Dia sangat suka sekali mengajak kami belajar kelompok di atas atap genting rumahnya! Pernah dulu ia bercerita kalau ia dan Jefri sedang ribut di rumah, maka ia akan tidur di atas genting seharian sampai ayahnya membujuknya turun. Jessica terbiasa melakukan aktivitas bermain dan belajarnya di atas genting.
Genkku di sekolah memang genk idola. Aku, Erfan, Dadan, Ama, dan Nico selalu masuk peringkat sepuluh besar di bawah Dewi. Jadi bila Dewi selalu mengisi peringkat pertama, maka kami berlima sering berlomba-lomba untuk mengisi peringkat kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Tetapi peringkat kedua cenderung diperebutkan olehku dan Dadan. Tidak hanya itu, banyak teman kami yang mengatakan kalau genk kami ini adalah kawanan cowok-cowok bertampang keren dan kompak. Seperti Erfan, Nico, dan Ama, ketiganya sering dielu-elukan oleh para siswi di sekolah kami baik oleh teman seangkatan, kakak kelas, maupun adik-adik kelas kami saat jam pertandingan olah raga di lapangan. Mereka bertiga memang pandai di bidang olah raga. Sedangkan aku hanya memiliki 3 orang penggemar seperti yang telah kusebutkan di atas. Bagaimanapun genk kami selalu kompak meski aku sering tampil berbeda dari keempat kawanku. Di saat libur panjang Ramadhan telah usai dan kami kembali ke sekolah untuk halal-bihalal, keempat kawan genkku itu dengan kompaknya memakai sepatu baru bermerek Pro ATT, sedangkan aku dengan bangganya memakai Kasogi yang kurasa sangat mirip dengan namaku. Keempat kawan genkku bangga memakai tas bergambar tokoh kartun Simpson dengan model ikat menggunakan tali, aku malah memakai tas bergambar tokoh Atun dan Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang dibintangi oleh Rano Karno.
Paras Nico sedikit bule karena kulitnya putih dan rambutnya agak pirang. Ibunya asli Jawa asal Purwokerto. Nico memiliki darah Belanda yang mengalir dari ayahnya yang keturunan Manado-Belanda. Nama belakangnya Parengkuan. Aku tidak tahu persis apakah itu semacam marga atau hanya sekadar nama belakangnya saja. Ama nama lengkapnya adalah Kamarullah, ia kawan satu RW denganku di Cimanggu. Tetapi kami hampir tidak pernah bermain bersama mengingat jarak rumahnya yang terpaut jauh dengan rumahku. Aku tinggal di RT2 sedangkan Ama tinggal di RT5. Ibunya membuka sebuah warung karedok dan pecel. Sama halnya denganku semasa kecil Ama juga kerap dibully oleh Raja Preman Cimanggu yang tak lain adalah Oman. Aku baru mulai terbiasa bermain dengannya semenjak aku pindah mengaji ke RT-nya gara-gara Aa Engguh, Aa Ijul, dan Aa Encam pindah rumah ke Cilendek. Sehingga aku dan teman-temanku terpaksa pindah mengaji ke surau Mbah Empay yang tinggal se-RT dengan Ama. Di surau itulah aku bertemu dengan Asep, lelaki yang digembar-gemborkan paling ganteng se-Cimanggu menurut versi Oman. Haahaa... Ternyata selain Teguh, Oman memiliki lelaki simpanan yang sangat dipujanya.
"Gila, gua sering diciumin sama si Oman, Gih! Najis gua kaya dijilatin sama anjing!" Curhat Asep suatu hari padaku saat kami bertemu di surau Mbah Empay.
Asep sebaya denganku dan Ama, kami sama-sama duduk di kelas 5. Tetapi dia bersekolah di SD Cimanggu. Sekolah yang terletak di kampung kami. Dibandingkan dengan sekolahku, SD Cimanggu jauh lebih unggul dari segi sarana dan prasarana. Tetapi kalah jauh dalam hal prestasi yang diukir oleh para siswa di sekolahku. Hal itu terbukti dari tidak adanya siswa dari SD Cimanggu yang berhasil maju mengikuti PORSENI tingkat kota setiap tahun. Sedangkan dari sekolahku SD Bubulak setiap tahun sejak aku duduk di kelas 4, aku, Dadan, Erfan, dan Dewi selalu dikirim mewakili sekolah untuk bertanding di tingkat gugus, kecamatan, hingga tingkat kota. Aku diutus mengikuti lomba melukis, Dadan diutus mengikuti lomba mengarang, Erfan diutus mengikuti lomba puisi, dan Dewi mengikuti lomba menyanyi. Tak jarang kami menyabet juara dari perlombaan-perlombaan yang kami ikuti. Sebenarnya aku sangat ingin sekali mengikuti lomba musik terutama piano, tetapi sayangnya tak seorangpun yang mengetahui kalau aku cukup mampu memainkan alat musik melodis itu.
"Lu sama kaya si Teguh, kalau ketemu si Oman, pasti si Oman peluk-peluk Teguh sambil terus nyiumin si Teguh gak ada habisnya!" Kataku menimpali perkataan Asep.
"Hiii... Amit-amit deh Gih! Si Oman dah kaya bencong aja!" Asep bergidik jijik.
"Udah takdir lu Sep, punya tampang ganteng, udah terima ajalah nasib lu itu!" Godaku.
"Najis! Gini-gini gua masih normal dan gua sukanya sama cewek!"
"Percaya! Percaya! Di sekolah gua juga punya teman yang sama persis kelakuannya kaya si Oman!"
"Terus elu sering diciumin temen lu itu?"
"Enak aja! Tuh tanya sama si Ama!" Tunjukku.
"Siapa Gih?" Ama bingung tatkala ekor mata Asep melirik ke arahnya.
"Jefri!"
"Oh, anak itu mah emang sama banget kaya si Oman! Teman kami yang namanya Erfan, habis diciuminnya sampai badan dia basah gara-gara tetenya sering dikenyotin sama si Jefri!"
Asep melongo tak percaya, "Tetenya dikenyotin? Astagfirullahaladzim!" Kepala Asep geleng-geleng.
Walaupun aku abnormal aku tak pernah bertingkah aneh-aneh sampai semaniak seperti yang dilakukan Oman dan Jefri. Hubunganku dengan Anton malah tak pernah sampai sejauh itu. Anton hanya sesekali membelai rambutku atau mencium pipiku, dan itu tidak dilakukannya setiap hari. Dalam seminggupun belum tentu aku mendapatkannya. Yang jelas, Anton sangat pandai mengontrol diri agar tidak kelepasan berbuat macam-macam terhadapku.
Singkat cerita demi menolong Erfan membebaskannya dari belenggu Jefri, genkku setuju untuk menerima Jessica masuk bergabung dengan kami dengan catatan belajar kelompok yang kami selenggarakan tidak di rumah Jessica dan tidak di atas atap genting rumah siapapun. Jessica sangat girang bukan main begitu ia tahu kami menerimanya sebagai anggota.
"Jef, lu dapat hadiah dari Tante Oling!" Panggil Jessica seraya menyerahkan bingkisan kado kepada abangnya.
Bel masuk setelah istirahat pertama baru saja berdering. Seluruh siswa sangat riuh masuk ke dalam kelas dan duduk di tempatnya masing-masing.
Jefri segera membuka kado pemberian adiknya, "Tante Oling yang waria itu? Ngapain ngasih kado buat gua ya? Ini kan bukan hari ultah gua!"
"Tahu!" Jessica mengangkat bahu.
"Eh, ada suratnya juga!" Ardhan dan Irwanto yang sedari tadi penasaran turut mengerumuni kedua kakak-beradik itu.
Diraihnya surat itu oleh Ardhan dan dibacanya dengan sangat nyaring hingga seisi kelas mendengarnya. Sementara Jefri tengah mengacungkan apa yang telah ditemukannya di dalam kado.
"Haah... BH sama cangcut?" Jefri melongo.
"To Jefri tetangga sebelah rumah gue. Pokoknya gue gak mau tahu BH sama cangcut yang elu pinjem kemaren sore mesti lu cuci sampe bersih hari ini juga dan elu jemur sampe kering terus elu balikin ke gue sebab gue mau pake buat mangkal nanti malam di Taman Kencana! Kalo elu mau ikut mangkal lagi sama gue entar malem, tolong jangan pinjem lagi aksesoris punya gue. Pake punya nyokap elu aja napa sih? Cangcut sama BH punya nenek lu kelihatannya masih oke juga tuh! Udah ya gue mau chaw, by : Tante Oling."
"Haahaahaa..." Sontak seisi kelas menertawakan isi surat yang dibacakan oleh Ardhan.
Irwanto merebut surat tersebut darinya ingin membacanya langsung. Dalam hitungan menit surat tersebut pun berpindah-pindah tangan ke seluruh penjuru kelas. Bukan main malunya Jefri ditertawakan seisi kelas.
"Jef, Jef, lu kualat sih ngegosipin yang enggak benar soal si Sugih sama si Erfan! Tahunya elu sendiri yang naksir sama si Erfan. Gua gak nyangka punya abang yang suka nongkrong bareng waria. Lu sampe make BH sama cangcut segala lagi. Gila lu!" Cibir Jessica.
Jefri mendadak keki. Semua teman mengoloki dirinya.
"Wah, gak nyangka kalau di sekolah kita ini ternyata ada seorang preman bencong! Jangan-jangan besok dia langsung operasi kelamin kali ya?" Cemooh Ardhan membuat wajah Jefri pias merah membara.
"Hihihi... Gua juga gak bisa ngebayangin besok-besok pasti teman-teman genk berandalannya itu disuruh make rok juga ke sekolah!" Irwanto terkekeh.
"Wahahahaha..." Kontan seisi kelas semakin gaduh menertawakannya.
"Anjing! Memang bangsat lu semua!" Jefri menunjuk-nunjuk seisi kelas.
"Ada apa ini? Kedengarannya gaduh sekali?" Terdengar suara Bu Mulyanah memasuki kelas.
Jefri gelagapan menyembunyikan cangcut dan BH yang diterimanya tadi di balik punggungnya. Buru-buru ia kembali ke tempat duduknya di baris paling depan bersebelahan dengan meja Dewi.
"Tidak ada Bu!" Jawab kami serempak.
"Ya sudah kalau begitu kita lanjutkan pelajaran IPA-nya! Coba dibuka halaman..." Belum selesai Bu Mulyanah menyampaikan kalimat yang akan diucapkannya, kembali Jefri melengking histeris mengejutkan seisi kelas.
"Waaaaaaaaaaaaa........." Pekik Jefri ketakutan.
"Ada BUNGLON!" Jefri bersembunyi di kolong mejanya.
Seekor bunglon melompat keluar dari dalam tasnya. Tadi saat jam istirahat Jessica sengaja memasukkan bunglon itu ke dalam tas Jefri.
"Ahahahahaha..." Lagi-lagi kami pun tertawa melihat tingkah Jefri yang ketakutan setengah mati melihat hewan mimikri itu. Ternyata ia phobia terhadap bunglon! Hadeuh... Hadeuh... Jefri! Jefri! Ternyata dirimu rupa harimau hati tikus.
Sejak saat itu namaku kembali bersih dan mulai membuat Nurhasanah, Kusmawati, dan Nurazizah berbalik kembali menyukaiku. Sementara Jefri mulai dijauhi teman-teman laki-laki di sekolah karena mereka takut diciumi olehnya seperti yang dilakukannya terhadap Erfan. Terlebih teman-teman genk berandalannya tak ada lagi yang mau menganggapnya sebagai teman karena mereka tak mau dihina berandalan bencong yang doyan memakai rok seperti yang telah dicetuskan oleh Irwanto tempo hari lalu. Mereka semua menjauhi Jefri dan memboikot Jefri dari pergaulan. Jessica berhasil membantu kami, terbukti sejak kejadian itu Jefri tak pernah lagi mengejar-ngejar dan menciumi sekujur tubuh Erfan.
:::::::Naik Kelas 6:::::::
Tak terasa bulan berganti aku sudah menerima rapor kenaikan kelas. Pada catur wulan ketiga ini (waktu itu sistem pendidikan di Indonesia sudah tidak memberlakukan sistem semester) aku berhasil menggeser Dadan di peringkat kedua. Meski aku bukan anak kandung papa, papa merasa sangat bangga atas prestasi yang kuraih. Betapa tidak, dalam satu tahun terakhir aku gencar mengikuti lomba yang diselenggarakan baik oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, maupun oleh instansi swasta yang menyelenggarakan ajang pencarian anak-anak berbakat di bidang seni. Aku kerap mengikuti lomba melukis dan tak jarang membawa piala pulang ke rumah. Sebenarnya aku tak mempunyai bakat di bidang melukis, namun kemampuanku itu terasah saat aku duduk di kelas 3. Saat itu aku sering menggambar Superboy tokoh jagoan favoritku. Mang Wana yang memperhatikan bakat terpendamku mulai mengajariku melukis dengan berbagai teknik yang dikuasainya. Beliau mengajariku menggambar bentuk simetris dan geometris. Membuat kolase, hingga ilustrasi kartun dan karikatur. Sejak saat itulah guru kesenianku Ibu Lilis yang juga seorang artis pemain sinetron, menaruh perhatian besar terhadapku. Bila sekolah kami mengikuti PORSENI di tingkat gugus, kecamatan, dan kota aku selalu diikutsertakan oleh beliau. Lantas bila aku pulang membawa kabar sebagai juara, papa selalu memberiku berbagai macam hadiah. Mulai dari uang seratus ribu rupiah, pakaian mahal bermerek Fido-Dido kesukaanku, hingga jalan-jalan ke Dufan bersama keluarga. Sebenarnya mama tidak terlalu menyukai sikap papa yang memanjakanku seperti anak kandungnya sendiri. Namun melihat prestasi gemilang yang terus kuukir mamapun merasa sangat bangga memiliki anak sepertiku.
"Mama mulai yakin, kayanya si Dewi di sekolah bisa mendapat rangking satu terus karena mendompleng nama ibunya yang seorang guru di sekolahmu!" Kata mama saat melihat raporku pada catur wulan ketiga kenaikan kelas.
"Gak tahulah Ma, tapi Dewi memang pintar kok!"
"Sugih, tadi Mama lihat selisih jumlah nilai rapor kamu dengan jumlah nilai rapor Dewi itu hanya beda satu angka! Mama merasa janggal melihat nilai pelajaran Matematika kalian, selama ini kan nilai Matematikamu selalu paling baik di kelas, mengapa nilai Matematikamu di rapor lebih rendah dari nilainya Dewi?"
Aku mengangkat bahu tidak mengerti.
"Kalau kejadian ini terus berulang sampai kalian di kelas 6 nanti, Mama tidak akan segan-segan mendatangi guru wali kelasmu. Jangan mentang-mentang Dewi itu anak guru di sekolah ia selalu diprioritaskan mendapat peringkat pertama!" Ucap mama berapi-api.
Tepat di saat aku naik kelas ke kelas 6, Bibi Rida dan Mang Dicky berpamitan kepada kami bahwa mereka sekeluarga akan hijrah mengikuti program transmigrasi ke Pulau Kalimantan. Di saat yang bersamaan pula Apih Hada pulang bersama Mang Rahmat dan Umi Uun dari Irian Jaya. Aku sangat ketakutan melihat Apih Hada yang menyuruhku untuk mendekat kepadanya. Aku sering teringat kekejaman-kekejaman beliau ketika aku masih kecil dulu.
"Sini Cu! Ke sini mendekatlah pada Apih! Apih ingin memangku kamu," bujuk Apih Hada.
Aku menggeleng terus menghindar.
"Kata mamamu, kamu banyak meraih prestasi ya baik di sekolah maupun di luar sekolah?"
Apih Hada terus membujuk, "Ke sinilah Apih ingin melihat kecerdasanmu! Apakah kamu bisa membantu Apih mengerjakan soal teka-teki silang ini?"
"Tapi Apih jangan nyuntik Ugih ya!"
"Enggak kok, kamu kan cucu kesayangan Apih!" Dirangkulnya aku ke atas pangkuannya. Dibelai-belainya kepalaku bila aku berhasil menjawab teka-teki dengan tepat.
"Wah, kepandaian Apih telah menurun sama kamu, Cu! Apih bangga punya cucu secerdas kamu!" Diciuminya rambutku seperti yang pernah dilakukan Abah Kurdi saat bertemu denganku dulu.
"Iis, sebentar lagi anakmu ini kan akan menghadapi EBTANAS, coba kamu ikutkan dia les di luar sekolah!" Ujar Apih Hada pada mama.
"Biaya les di luar itu kan mahal Pak, daripada diikutkan les biar dia belajar sendiri di rumah. Teman-teman genknya di sekolah kan anak-anak pintar semua. Hampir setiap hari mereka mengadakan kegiatan belajar kelompok. Lagipula Iis harus menyiapkan biaya untuknya masuk SMP tahun depan!" Kata mama berargumentasi.
"Kamu itu sama anak sendiri kok perhitungan sih? Nasibmu sekarang ini kan sudah jauh lebih baik daripada dulu, jadi apa salahnya kamu masukkan anakmu ini ke lembaga pendidikan bermutu?" Cela Apih Hada.
"Kan Bapak sendiri dulu pernah bilang keturunan Bapak tidak usah sekolah tinggi-tinggi atau bersekolah di sekolah yang terlalu bagus, yang penting hidup tenang dan bisa makan enak! Biar Dyah saja nanti Iis sekolahkan di sekolah bonafide, soalnya Pak Joko pasti menginginkan yang terbaik untuk Dyah!" Mama membela diri.
Anehnya meskipun terkesan membangkang, Apih Hada sama sekali tidak tersinggung oleh ucapan mama. Beliau justru menghela nafas dan mencoba mencari jalan keluar agar aku tetap mendapat bimbingan pelajaran di luar sekolah.
"Is, pertemukan anakmu dengan Ating, adikku! Bapak yakin Ating akan senang mengajari cucu secerdas Sugih! Meskipun dia sudah pensiun sebagai kepala sekolah, Bapak rasa dia masih mau memberi bimbingan pelajaran di sela-sela kesibukannya. Kamu kan keponakan kesayangannya, pasti Sugih pun akan menjadi cucu kesayangannya!" Tukas Apih Hada memberi solusi.
"Tapi Pak, apa tidak akan merepotkan Bibi Ating nanti?"
"Sudah, jangan membuat Bapakmu ini marah!"
"Baik Pak! Insya Allah nanti kalau tahun ajaran baru sudah dimulai Iis akan ke Leuwiliang untuk menemui Bibi Ating!"
"Jangan sampai tidak ya, Is! Menyambung tali silaturrahim itu penting bagi keluarga kita!"
Rencananya Apih Hada akan ikut serta dengan Bibi Rida menyeberang ke Pulau Kalimantan. Mang Rahmat akan turut serta dibawanya kembali. Seminggu sebelum keberangkatan Apih Hada sempat membuatkanku kandang ayam baru di halaman belakang rumah kami. Aku menjadi bingung sendiri apa yang telah membuat sifat beliau berubah baik seperti ini.
Mang Rahmat sempat bercerita banyak pula kepadaku tentang pengalamannya selama tinggal di Irian Jaya. Katanya Mang Rahmat pernah diculik oleh sekelompok orang Suku Asmat pedalaman untuk dijadikan sandera para GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang menuntut pemisahan diri Irian Jaya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi untunglah dalam perjalanan menuju lokasi penyanderaan, Mang Rahmat berhasil diselamatkan oleh sekelompok anggota TNI yang sedang melakukan patroli keliling. Mang Rahmat kemudian diantar pulang ke rumah Apih Hada. Karena kegentingan masalah itulah Apih Hada akhirnya memutuskan untuk membawa pulang Mang Rahmat ke Bogor.
"Gih, harga kembang gula di sini murah banget ya. Masak seribu rupiah saja Mamang dapat 40 biji? Kalau di Irian uang seribu cuma dapat 8 biji kembang gulanya," tutur Mang Rahmat saat kami jajan ke warung.
"Masak sih, Mang? Mahal sekali ya?"
"Mungkin karena ongkos kapal itu sangat mahal jadi harga apapun di sana sangat mahal. Bisa tiga kali atau bahkan lima kali lipat harga di Jawa!"
"Bagaimana kalau Mamang pindah ke Kalimantan nanti ya? Apa di sana pasti mahal juga?" Aku menduga-duga.
"Pastilah Gih! Kan jaraknya sangat jauh dari Jawa," Katanya menjelaskan.
"Mamang tinggal di Bogor saja, jangan ikut ke Kalimantan!" Aku menahannya.
"Tidak bisa Gih, Mamang ingin tahu seperti apa Kalimantan. Sumatra dan Irian kan Mamang sudah tahu, jadi biar sekalian tahu Kalimantan juga," Mang Rahmat berkeras pada keinginannya yang bermaksud ikut menumpang tinggal dengan Bibi Rida.
Meski terus kubujuk untuk tetap tinggal bersamaku dan mama, Mang Rahmat tetap bersikukuh untuk ikut hijrah bersama Bibi Rida sekeluarga. Akhirnya aku harus merelakan kepergian mereka semua dengan perasaan sedih tak terkira. Betapa aku kehilangan paman yang selalu menyemangatiku dan bibi kesayanganku yang selalu membuatkan masakan enak untukku. Tetapi dua hari sebelum keberangkatan, kami mendapat telepon dari keluarga besar Apih Hada di Leuwiliang. Mereka mengabarkan bahwa Emih, neneknya mama, ibu dari Apih Hada telah berpulang ke Rahmatullah.
"Siapa yang menelepon, Is?" Tanya Apih Hada penasaran.
"Pak, Emih Pak!" Bulir-bulir air mata mama menitik di pelupuk matanya.
"Kenapa sama Emih?" Apih Hada was-was.
"Kata Bibi Nyai, Emih meninggal!" Mama nyaris pingsan mengucapkannya.
"Apa? Emih meninggal? Inallillahiwainallillaihiradziun!" Ucap Apih Hada sangat lesu.
Betapa terkejutnya Apih Hada mendengar kabar tersebut. Apih Hada dan mama berpelukan menangis sesenggukan. Baru kali ini aku melihat adegan yang begitu dramatis antara kakekku dan mama. Aku, Mang Ega, dan Mang Rahmat hanya bisa bengong menyaksikannya. Selama ini aku tidak terlalu mengenal sosok Emih, buyutku. Tetapi aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam yang sedang dialami keluarga besar kami. Serepot apapun Bibi Rida dalam mempersiapkan kepindahannya menuju Kalimantan, beliau berusaha menyempatkan diri untuk mengikuti prosesi pemakaman Emih yang meninggal dunia pada usianya yang ke-105 tahun.
"Iis, Rida, kumpulkan semua anak-anak, kita berangkat ke Leuwiliang sekarang juga! Beritahu segera adik-adik kalian di luar kota! Bilang pada mereka kalau Emih sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir!" Titah Apih Hada dengan wajah sangat muram.
"Iya Pak!" Jawab mama dan Bibi Rida dengan nada yang begitu lemah.
Pada saat pemakaman Emih berlangsung, aku bertemu dengan keluarga besar Apih Hada yang sebenarnya sudah tidak asing lagi bagiku mengingat saat kecil dulu aku pernah tinggal di Cibungbulang-Ciaruteun yang letaknya tidak jauh dari Leuwiliang. Dan dulu setiap lebaran tiba pasti kami semua kumpul bersama di Leuwiliang. Namun banyak juga anggota keluarga yang tidak pernah kuketahui selama ini. Mereka berdatangan dari Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Cirebon. Mereka sudah datang lebih dulu sejak mengetahui kondisi Emih sakit keras. Apih Hada adalah anak kedua dari dua belas bersaudara. Kakaknya bernama Umi Encih yang memiliki sepuluh anak dan lima belas cucu. Waktu kecil aku pernah dititipkan mama beberapa minggu bersama beliau, tetapi beliau orangnya sangat cerewet dan sering sekali mengajariku kesopanan karena beliau adalah seorang pensiunan guru. Adik Apih Hada yang pertama bernama Apih Aat, beliau seorang pensiunan tentara sama seperti Apih Hada. Apih Aat dikaruniai dua orang putra yang juga mengikuti jejaknya sebagai tentara, dan empat orang cucu yang umurnya berbeda jauh denganku. Bersama istrinya, anak-anak dan para cucunya sekeluarga, Apih Aat tinggal menetap di Kota Cirebon tidak jauh dari kediaman Umi Saripah, kakak dari mendiang nenekku. Adik Apih Hada nomor dua bernama Umi Ating, beliau pensiunan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri di Leuwiliang. Sebelum diangkat menjadi kepala sekolah beliau adalah guru Basa Sunda karena kecintaannya terhadap Bahasa Sunda. Bahkan beliau mengganti namanya menjadi Sundawati sejak beliau duduk di bangku kuliah dan memperoleh beasiswa ke Australia. Beliau memiliki tiga orang anak, yang mana salah satu di antaranya menjadi seorang aktris pemain film layar lebar karena kecantikan yang dimilikinya. Dari ketiga anaknya itu Umi Ating dikaruniai sepuluh orang cucu, dan salah seorang cucunya itu seumuran denganku bahkan kami berdua sangat akrab bersahabat. Adik Apih Hada yang ketiga bernama Apih Ahmad, beliau juga mengikuti jejak kedua kakak laki-lakinya menjadi seorang tentara dan kini sudah turut gantung senjata. Aku tidak tahu pasti berapa orang anak dan cucu yang dimilikinya. Begitu pula dengan adik Apih Hada nomor empat hanya kuketahui namanya saja yang kukenal bernama Umi Nyai. Beliau adalah camat Leuwiliang. Adik Apih Hada selanjutnya tidak kuketahui lagi siapa saja namanya karena aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Yang kuketahui dengan pasti seluruh adik laki-laki Apih Hada berprofesi sebagai tentara dan adik perempuan beliau menjadi guru dan kepala sekolah. Hanya Umi Nyai seorang yang berprofesi sebagai seorang camat, itupun beliau banting setir dari jabatannya sebagai kepala sekolah yang tergantikan oleh Umi Ating.
Kami memang keluarga yang sangat besar. Tak bisa kuhitung berapa jumlah keseluruhan anggota keluarga kami yang menghadiri upacara pemakaman Emih. Mang Bagas yang berdinas di Bandung, Mang Wana di Cilacap, dan Bibi Harti dari Sukabumi, turut menghadiri pemakaman Emih setelah mama menghubungi mereka via telepon beberapa saat setelah mama menerima kabar duka itu dari Umi Nyai di Leuwiliang. Emih baru dimakamkan setelah semua dua belas anaknya berkumpul di rumahnya. Suasana duka menyelimuti keluarga besar kami. Apih Hada dan saudara-saudarinya merasa terpukul kehilangan orang tua mereka. Kata mama saat Emih berusia 80 tahunan pikiran Emih masih sangat waras belum terlalu pikun seperti nenek-nenek kebanyakan pada umumnya. Emih baru mulai pikun setelah usianya memasuki 90 tahunan. Wow, benar-benar amazing buyutku itu! Semoga kelak aku bisa seperti beliau di masa tuaku nanti. Amin.
"Selamat jalan Emih, semoga Emih tenang di peristirahatan Emih yang terakhir!" Kami menaburkan bunga ke atas gundukan tanah kuburan Emih.
"Semua anak, cucu, dan cicit Emih akan selalu mengenang kebaikan Emih di sanubari kami yang terdalam," salah seorang adik Apih Hada menggenggam tanah kuburan Emih dan menguraikannya di sela-sela jari tangannya sebagai tanda pelepasan terakhir.
"Allah pasti menerima Emih di sisi-Nya!" Kata Apih Hada turut memberikan salam perpisahan.
Terhitung dalam catatan silsilah keluarga kami yang ditulis oleh Emih sendiri semasa hidupnya, dan dilanjutkan oleh Umi Encih yang terus menambahkan catatan tersebut, Emih telah meninggalkan 12 orang anak, 52 orang cucu, dan 129 orang cicit (termasuk Aa Fariz, aku, dan Dyah).
Rumah kami kembali sepi setelah keberangkatan Apih Hada dan Mang Rahmat ke Kalimantan bersama Bibi Rida sekeluarga tepat satu minggu setelah meninggalnya Emih. Mereka meminta izin kepada Dinas Transmigrasi di kota kami untuk mengundurkan waktu keberangkatannya. Beruntung Dinas Transmigrasi mengabulkan permohonan mereka. Lagi-lagi aku hanya memiliki Mang Ega satu-satunya paman yang mau ikut tinggal bersamaku dan mama. Mang Ega tidak hanya sekadar paman bagiku tetapi juga sekaligus merangkap kakak bagiku karena beliau senantiasa mengajariku pelajaran yang sulit kumengerti di sekolahku. Saat liburan kenaikan kelas 6 tinggal beberapa hari lagi, aku tertular penyakit cacar dari Mang Ega saking dekatnya aku dengan pamanku itu. Waktu itu Mang Ega membawa penyakitnya sepulang berlibur dari Kebun Raya Cibodas. Katanya Mang Ega berkemah di sana dengan teman-teman paskibranya selama seminggu. Aku sama sekali tidak menyadari kalau aku terserang cacar. Yang kusadari saat hari pertamaku di sekolah pada saat tahun ajaran baru dimulai, tubuhku terasa sangat panas, dan kulitku terasa gatal. Muncul benjolan-benjolan kecil di perut dan tanganku berwarna bening dan bila kupecahkan akan mengeluarkan cairan yang sangat encer. Aku keluar dari barisan dan dianjurkan untuk pulang ke rumah oleh teman-teman yang memperhatikanku. Namun aku mencoba bertahan karena aku ingin tahu siapa yang akan menjadi wali kelasku selanjutnya.
"Selamat pagi anak-anak!" Sapa seorang wanita berpenampilan modis dengan seragam PNS cokelat kehijauan memasuki kelas baruku. Sepatu hak tingginya berderak memenuhi ruangan kelas.
"Pagi Bu!" Sahut kami serempak.
Mendadak suasana menjadi sangat hening, tegang dan mencekam.
"Ibu rasa Ibu tidak harus memperkenalkan diri lagi kepada kalian, karena Ibu yakin kalian semua pasti sudah mengenal siapa Ibu! Dan seperti tahun-tahun sebelumnya Ibu kembali ditunjuk oleh kepala sekolah untuk menjadi guru wali kelas enam!"
Tak ada satupun di antara kami yang berani bersuara terlebih saat wajah guru wali kelas kami yang baru itu mendongakkan kepalanya menatap kami satu-persatu.
"Coba wali kelas kita Bu Mulyanah lagi! Atau Bu Lilis guru kesenian kita, pasti kita bisa diajakin main sinetron sama beliau!" Bisik Ardhan di telingaku dengan kepala sedikit tertunduk.
"Iya ya, Dhan! Tapi kalau sama Bu Mulyanah gua bosan, kan beliau sudah dua kali jadi wali kelas kita waktu di kelas 3 sama di kelas 5 kemaren!" Timpalku balas berbisik di telinganya.
"Atau Bu Nurhayati aja guru Basa Sunda kita! Beliau kan lucu orangnya suka melawak," Celetuk Ardhan.
"Iih ogah! Guru satu itu mah materialistis, dikit-dikit nyuruh kita ngumpulin duit buat beliin beliau bakso. Bisa habis uang jajan kita dikeruknya!" Aku mendesis.
"Kalian yang di pojok situ mau saya tunjuk jadi ketua kelas dan wakil ketua kelas?" Seru guru wali kelas kami.
Aku dan Ardhan sangat terkejut mendengar panggilan beliau.
"Apa kalian semua setuju kalau dua orang teman kalian ini saya tunjuk sebagai ketua kelas dan wakilnya?"
Semua terdiam. Kami semua takut kepada beliau karena tampang beliau sangat judes dan killer. Aku jadi teringat cerita para kakak kelas kami dulu saat mereka baru menginjak kelas 6.
FLASHBACK satu tahun lalu...
Saat kami masih duduk di kelas 5, kakak-kakak kelas kami sering bercerita kepada kami bahwa guru wali kelas mereka ini sangat galak dan ringan tangan. Bila ada muridnya yang nakal dan malas di sekolah, maka beliau tidak akan segan-segan memberinya pukulan dengan mistar kayu yang panjangnya satu meter hingga mistar itu patah terbelah dua. Cerita itu bukan sekadar bualan belaka para kakak kelas untuk menakut-nakuti kami. Tetapi pada kenyataannya kami pernah menyaksikan sendiri bagaimana dulu kakak kelas kami itu dihukum oleh beliau di depan tiang bendera seusai upacara bendera. Bukan tanpa sebab memang, saat beliau menjadi pembina upacara dan membacakan PANCASILA yang harus diucap ulang oleh seluruh peserta upacara, segelintir dari kakak kelas kami yang bandel-bandel itu melafalkan bunyi PANCASILA dipelesetkan menjadi 'PANTAT SIA' yang kalau diartikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi 'PANTAT KAMU'. Alhasil sang guru judes itu kemudian menghukum mereka membunyikan PANCASILA di depan tiang bendera sebanyak lima puluh kali seraya berdiri tegak memberi hormat pada bendera.
"Coba ucapkan dengan lantang apa yang kalian katakan saat saya membacakan Pancasila tadi!" Titah sang guru.
Tak seorangpun berani mengucapkannya.
"Kamu, apa dasar negara kita?" Tanyanya pada seorang muridnya yang berdiri di paling ujung.
"Pancasila Bu," jawabnya penuh ketakutan.
"Lalu mengapa kamu tadi mengucapkan 'pantat sia'? Jangan mentang-mentang saya ini orang Minangkabau, kalian pikir saya tidak mengerti bahasa orang sini. Saya sudah tinggal di Bogor selama 21 tahun sejak zaman saya kuliah dulu!" Sentak sang guru.
"Maaf Bu, saya hanya ikut-ikutan teman-teman saya, Bu!" Anak laki-laki itu memohon pengampunan.
"Pokoknya saya tidak mau mendengar alasan kalian, karena saya rasa tidak ada seorangpun di antara rekan guru saya yang pernah mengajarkan kalian berbuat seperti itu. Tindakan kalian telah melecehkan bangsa kalian sendiri!" Terang sang guru penuh penekanan.
Tangan beliau tak pernah lepas dari mistar kayu yang dipegangnya dan dipakai untuk menepuk pantat anak-anak didiknya yang berani membantah perkataannya.
END OF FLASHBACK...
"Ayo jawab! Kenapa kalian diam saja?" Sentak guru wali kelas kami yang baru itu.
Tiba-tiba Dewi mengacungkan tangan, "Bu, rasanya tidak demokratis kalau kita menunjuk ketua kelas secara langsung. Negara kita kan Negara Pancasila, segala masalah dapat diatasi dengan musyawarah atau voting bila musyawarah tidak dapat mengatasi permasalahannya!"
"Usul yang sangat bagus sekali, Dewi! Ibu suka murid yang berani seperti ini. Ibu tahu kalian sangat takut Ibu menjadi wali kelas kalian karena kalian pernah melihat Ibu menghukum kakak kelas kalian yang bandel seusai upacara bendera dulu kan? Tapi kalian tenang saja, sepertinya mulai tahun ini Ibu akan bersikap lunak kepada kalian karena Ibu mendapat laporan dari Bu Mulyanah bahwa menurut penilaian beliau, kalian adalah anak-anak yang baik dan penurut, tidak seperti kakak kelas kalian terdahulu satu minggu bisa habis sepuluh mistar saya patahkan!"
"Horeee..." Seisi kelas bersorak girang.
Kami semua senang karena guru wali kelas kami yang baru ini ternyata tak seburuk yang kami bayangkan. Nama lengkapnya adalah Gadis! Sesuai dengan statusnya yang masih lajang meski usianya telah mencapai 39 tahun. Semua orang akrab menyapa beliau dengan panggilan Ibu Adis. Seperti pengakuannya dalam flashback yang kuceritakan tadi, Ibu Adis berasal dari Bukittinggi, Sumatra Barat. Jadi beliau satu suku dengan Ardhan, sahabatku. Satu hal yang paling kusuka dari orang Minang adalah kalau bicara selalu tegas, tak pernah muluk-muluk atau neko-neko. Sekali mengatakan 'TIDAK' tetap 'TIDAK'.
Hari pertama sekolah kami langsung mengadakan pemilihan ketua kelas. Tak diduga aku dipercaya oleh teman-teman untuk menjadi ketua kelas. Padahal saat Bu Adis menunjukku dan Ardhan tadi, Ardhanlah yang ditunjuknya menjadi ketua kelas. Tetapi berkat usulan yang diberikan oleh Dewi, kami sepakat untuk mengadakan voting dan lebih dari 50% teman-teman sekelasku memilih aku daripada Ardhan dan Erfan yang diusulkan sebagai kandidat. Erfan terpilih menjadi wakilku di kelas.
Sayangnya sepulang sekolah panas tubuhku semakin tinggi. Setelah memeriksa keadaanku Mang Ega memberitahu mama kalau aku terserang cacar air yang tertular darinya.
"Teh Is, Sugih sakit, suhu tubuhnya panas sekali!" Ketuk Mang Ega di pintu kamar mama.
Sepertinya mama sedang menidurkan Dyah, adikku yang baru berusia 2 tahun.
"Kenapa dengan Sugih, Ga?" Mama tampak cemas.
"Kelihatannya Sugih ketularan cacar Ega minggu lalu!" Terang Mang Ega penuh penyesalan.
Mama begitu panik melihat keadaanku. Beliau sangat mencemaskanku dan membawaku berobat ke dr.Mursidin dokter langganan kami yang membuka praktek di Jalan Merdeka tidak jauh dari KOREM. Aku senang tiap kali berobat ke dr.Mursidin karena di depan tempat prakteknya terdapat penjual bakpau Yungyen yang berisi daging ayam dengan bumbu saus pedas. Mama membolehkanku membeli bakpau tersebut karena menurut kami rasanya sangat enak dan memenuhi standar kesehatan.
"Cepat sembuh ya, Gih! Mama tidak mau kehilangan kamu!"
Jujur, aku lebih suka keadaanku sakit daripada sehat. Karena saat aku sakit, mama lebih sering memperhatikanku dan mengkhawatirkan keadaanku. Sedangkan bila aku sedang sehat perkataan mama padaku sering kelewat judes dan menekanku. Mama hampir tidak pernah berbicara manis padaku selain saat aku sedang sakit.
Gara-gara cacar, aku harus merelakan sekujur tubuhku dipenuhi bopeng. Padahal aslinya kulitku mulus kuning langsat, sekarang aku jadi semakin jelek gara-gara bekas cacarku itu. Gara-gara cacar pula aku harus ketinggalan pelajaran selama 2 minggu. Ternyata selama aku tidak masuk sekolah, Erfan dengan rajinnya menyalinkan semua catatan pelajaran khusus untukku. Tepat di hari ke-10 Ibu Adis wali kelasku bersama teman-teman sekelasku datang menjengukku dan membawa bingkisan kue untukku. Aku sangat terharu sekali melihat kepedulian teman-temanku terhadapku. Mereka semua sangat mencemaskanku karena cukup lama aku tidak hadir di sekolah.
"Gih, ini catatan pelajaran buat elu supaya elu gak ketinggalan pelajaran di sekolah!" Erfan menyodorkan sebuah buku padaku.
"Thanks banget ya, Fan!" Kusunggingkan senyumanku untuknya.
"Semuanya lengkap banget kok di situ! Kalaupun besok elu masih belum bisa sekolah lagi, gua bakal terus nyalinin catatan gua buat elu!" Timpal Erfan.
"Lu baik banget, Fan!" Kataku tulus.
"Yoi, gua kan best friend elu!" Erfan menepuk dadanya penuh rasa bangga.
Nyatanya sampai 4 hari berlalu semenjak Bu Adis dan teman-teman sekelas menjengukku, aku baru bisa bergabung kembali bersama mereka. Dari salinan catatan yang diberikan Erfan, aku menemukan sebuah kejanggalan di sana. Aku menemukan sejumlah huruf kapital di awal paragraf yang sengaja diwarnainya dengan menggunakan stabilo merah. Tetapi anehnya hanya huruf-huruf tertentu saja yang diberinya warna. Aku merasa yakin pasti Erfan telah menuliskan pesan tersembunyi di dalamnya. Huruf-huruf tersebut kususun menjadi satu dan kuduga itu adalah serangkai kalimat berbahasa Inggris. Karena aku tidak terlalu paham maknanya, kutanyakan arti kalimat yang telah kususun itu kepada Mang Ega yang duduk di bangku SMA. Beliau pasti tahu apa artinya.
"Mang, ini Bahasa Inggris bukan? Artinya apa?" Tanyaku pada Mang Ega.
"I-S-T-I-L-L-L-O-V-E-Y-O-U? Ini pasti maksudnya I STILL LOVE YOU!" Seru Mang Ega.
"Maksudnya?"
"Aku masih mencintai kamu!"
"Haah?" Aku tercengang mendengar jawaban Mang Ega.
"Kenapa Gih? Ada cewek nulis surat cinta sama kamu?"
Kugelengkan kepalaku sambil berlalu meninggalkan Mang Ega di kamarnya.
"Makasih ya, Mang!" Pamitku kemudian.
Apa tidak salah apa yang dituliskan Erfan dalam catatannya untukku? Setelah kejadian di kelas 5 dulu yang mengakibatkan kami ditegur oleh Bu Mulyanah guru wali kelas kami, Erfan masih menaruh perasaannya padaku? God, mengapa perasaan Erfan itu belum juga berubah? Apa yang seharusnya kulakukan? Aku tidak mungkin berpaling dari Anton, sedangkan sepenggal perasaanku untuk Ary saja terpaksa kusingkirkan karena aku tidak ingin menjadi orang yang tamak. Aku benar-benar dilema, haruskah aku membalas perasaan Erfan padaku?
:::::::Secepatnya kulanjutkan:::::::
Next chapter adalah bagian terakhir kisah cintaku selama SD.
NB : Jangan menanyakan apakah aku mempunyai foto Nico, Ama, Dadan, Irwanto, dan Asep! Apalagi foto Bu Mulyanah dan Bu Gadis karena terus terang aku tidak punya! Sebagai referensi, silakan cari di Google, siapa tahu kalian malah kesasar menemukan fotoku yang sedang pose mesra dengan Nick Jonas, haahaa...
(karna minta foto disebutkan diatas gak boleh hihi)
wait for me mas sugih.
semngat mz bro,,,,
mention Thanx.
yg paling parah itu si bu Adis, seminggu matahin 10 mistar haduuhh.. Panteslah masih gadis sampe umur setua itu, galak bgt sihh