It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suka banget scene yang dimana Meta dan Tresya berkelahi.. sampe2 si Ule malah bikin tuh perkelahian jadi ajang taruhan..
Bodor pisan lah )
Bang,, itu beneran foto Ary semasa kuliah? mani kasep 8->
Meta kan memang kasar ngomongnya, gak ada satupun di antara teman-teman sekelas yg mau memisahkan perkelahian itu. Buat kami itu justru menjadi tontonan seru. Apalagi pas badan Tresya ditumpakin Meta terus Tresya-nya ditabokin, rok Meta sampai naik ke atas, cangcut Meta jadi terekspos ke mana-mana.
Ary emang kasep kan? Dari kecilnya aja udah kasep, tapi pas udah 24 tahun ke atas mukanya brewokan, jadi hilang kasepnya.
Masa2 smp yg penuh kenangan....
Hidup yg penuh lika liku ye gih, salutlah hidupmu penuh dg warna walau agak gelap.
gw gak tau mau komen apa.
yang mau gw bilang cuma si novan koplak banget dah. bisa2nya waktu wisuda ngocok bareng sugih 2x lagi. hahaha. makin penasaran gw sama novan bang.
si ary kemana tuh bang.
gw gak tau mau komen apa.
yang mau gw bilang cuma si novan koplak banget dah. bisa2nya waktu wisuda ngocok bareng sugih 2x lagi. hahaha. makin penasaran gw sama novan bang.
si ary kemana tuh bang.
hmmm bagian SMP-nya udah kelar, ditunggu bagian SMA-nya bang^^/
hmmm makin mendekati masalah paling klimaks nih, rukiyah!! ayaayyy><
apakah sama kayak Dirgi, putus trus dikirim ke kalimantan... kyaaaa penasaran><
btw, sama ini suka sama itu suka, Badai banget ya ) )
@callme_DIAZ
@ramadhani_rizky
@hananta
@mustaja84465148
@haha5
@waisamru
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@YANS FILAN
@beepe
@MikeAurellio
@Shishunki
@3ll0
@agova
@Gabriel_Valiant
@leviostorm
@kimo_chie
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@just_Pj
@Dhika_smg
@arieat
@boljugg
@siapacoba
@Edmun_shreek
@The_jack19
@WYATB
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@Cowoq_Calm
@eswetod
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@eizanki
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
@Needu
@andi_andee
@cloudsquirrel
@Black_G
@Daviano
____Remaja!____
Bogor, Juli 2001
(Kelas 1 SMU)
"Gue gak keterima di SMUN 5. NEM gue gak cukup. Akhirnya gue diterima di pilihan ke-2," cerita Ary saat aku mendatanginya di rumahnya.
"SMUN 6?" Aku benar-benar kecewa.
"Nanti semester 2 gue usahain pindah ke sekolah lu, biar kita bisa satu sekolah lagi!" Katanya menghiburku.
"Kebanyakan duit lu!"
"Lu nggak mau pangeran lu ini selalu ada di samping lu?" Ary terus menggoda.
"Mau sih, tapi apa ortu lu mau nurutin kemauan lu?" Tanyaku ragu. "Biaya sekolah kan mahal banget, Ry!"
"Justru gue disuruh sama nyokap gue. Katanya biar SMUN 6 jadi batu loncatan dulu aja."
Perasaanku menjadi tenang setelah mendengar penjelasan dari Ary.
"Gak kerasa ya, kita udah beranjak SMA. Gue harap hubungan kita bakal langgeng selamanya!"
"Kan gue pernah bilang, gue pengen selalu satu sekolah sama elu sampai perguruan tinggi nanti!"
"Emang lu mau jadi apa sih, Ry?"
"Gue pengen jadi arsitek kalo nggak programmer komputer! Kalo elu?"
"Wah, beda jurusan tuh. Mana bisa kita satu kampus? Gue mau jadi pramugara kaya yang pernah lu ceritain ke gue!"
"Pramugara ya? Kuliah di mana ya jadi pramugara?" Ary menggaruk-garuk kepalanya.
"Belum pernah dengar juga ya ada universitas khusus pramugara," gantian aku yang kebingungan.
"Mungkin sama kaya polisi kali ya? Ada akademi khusus gitu."
"Tahu ah!" Kuangkat kedua bahuku.
"Tapi gue gak rela kalo elu jadi pramugara!"
"Gak rela? Kenapa?" Mulutku ternganga.
"Gue takut banyak penumpang yang kepincut sama elu! Kalo lu dah jadi pramugara, pasti tampang lu bakal ganteng banget. Jeleknya aja udah ditaksir banyak orang, apalagi gantengnya!" Ary terkekeh.
"Sialan lu! Emangnya gue jelek gitu? Siapa juga yang pada naksir gue? Terus kenapa juga lu mau sama gue?" Kutangkap badan Ary dan menjepit lehernya di bawah ketiakku.
"Banyak kali! Si Anton, Novan, Sachi, Fitri, Tessa, terus katanya waktu SD si Erfan juga ngebet sama lu kan? Gue juga bingung nih, kenapa ya gue mau sama elu. Pasti lu pake pelet ya?" Canda Ary lagi tak hentinya terkekeh.
"Wew, lu ngada-ngada aja! Si Novan mana mungkin naksir sama gue?"
"Lha, buktinya kalian lengket banget! Lu belum cerita ke gue, lu ngapain berduaan sama si Novan di toilet pas perpisahan dulu? Lu nggak ngewek kan sama dia?" Sentilnya usil sukses membuat mataku mendelik.
"What? Ngeres amat sih pikiran lu?" Kucekik-cekik leher Ary membuat ia menyerah minta ampun.
"Sorry, sorry boy, terus waktu itu kalian ngapain? Kencing berjamaah? Siapa imamnya?" Ary cekikikan.
"Edan lu, Ry! Gue sama Novan itu kalo berduaan biasanya ngocok bareng!"
Whatdezig! Ekspresi Ary berubah kaget. Aku memang berniat jujur sih.
"Lu... Tega lu ya, ngelakuin itu sama cowok laen! Sama gue aja pacar lu yang ganteng gini gak pernah kaya gituan, berani-beraninya lu berbuat gituan sama si borokokok satu itu!" Ary merajuk.
"Dengar dulu dong, sayang! Kita cuma ngocok doang kok, itu kan men's habit! Lu pasti pernah juga kan ngelakuinnya sama teman-teman cowok lu?"
"Pernah sih..." Jawab Ary sedikit takut.
Ary takut aku marah mendengar pengakuannya.
"Sama siapa?" Selidikku mulai penasaran.
"Anton, Ryan, Teguh..." Ary menghitung.
"Hah?" Mataku terbelalak.
"Ternyata lu lebih gila daripada gue!" Umpatku kesal.
"Hehehe... Jangan marah dong, sayang! Kita cuma have fun aja kok!" Ary cengengesan.
"Udah berapa kali?" Tanyaku setengah membentak.
"Sama Teguh sekali, sama Anton dua kali, sama Ryan lima kali. Kalo yang sama si Ryan sih gue dipaksa sama dia makanya keseringan," jabar Ary mengingat-ingat.
Lututku mendadak lesu mendengarkan keterangan demi keterangan yang diucapkan kekasihku ini. Sakit hati? Jelas! Tapi aku tidak mau berpisah dengannya. Bagiku Ary adalah cinta sejatiku.
"Kalian grepe-grepean?" Kucoba untuk menahan emosi.
"Ya enggaklah! Kami cuma ngocok punya masing-masing aja kok! Pengennya sih gue ngocok punya elu, tapi gue cuma bisa ngebayangin elu aja deh!"
POK!
Kutepuk kepala Ary dengan majalah yang kupegang. "Brengsek lu!" Sambarku.
"Nah, ngambek kan?" Ary membujukku.
"Iya, gue ngambek!" Gantian aku yang merajuk.
"Maafin gue ya, sayang!"
"Nggak!"
"Lha, elu sama Novan aja gue maafin, masak lu gak maafin gue?"
Kubalikkan tubuhku membelakanginya.
"Ya, maafin ya!" Ary menarik tubuhku.
Aku berkeras pura-pura ngambek.
"Nih, ada permen Pindy Mint, dingin-dingin empuk lho!" Katanya terus membujukku.
"Gak mau!" Tolakku judes.
"Emm, Xonce atuh ya? Sariawan ya? Kok diem aja?" Ary tak kehabisan gurauan.
"Gak doyan! Maunya Relaxa aja!" Aku menawar.
"Ya udah atuh, Aa ke warung dulu ya, mau beli Relaxa-nya. Tapi jangan ngambek lagi ya!"
Jiah! Ngapain si Ary pake manggil-manggil dirinya dengan sebutan Aa segala coba? Sok ketuaan. Umur cuma selisih sebulan setengah juga! Dia lahir 2 November 1985, sedangkan aku 17 Desember 1985. Bintangnya Scorpio sedangkan aku Sagitarius. Masih berdekatan bukan?
Benar saja, Ary pergi ke warung untuk membelikan permen Relaxa yang kuminta. Padahal aku tidak seberapa suka, dan hanya asal sebut saja. Yah, namanya juga cinta, apapun akan dilakukannya.
"Ini sayang, permen Relaxanya!" Ary menyodorkan satu kantung besar permen permintaanku.
"Dimakan ya!" Ary mengupaskan sebungkus untukku.
"Tapi sambil makan permennya, kita em-em ya!" Ucapku malu-malu.
"Em-em?" Kening Ary berkerut.
"Kiss-kissan!" Duh, malunya bicara terus terang.
"Ooh, lagi kepengen ya? Hayu atuh! Udah lama kita nggak ciuman!"
Kedua tangan Ary langsung refleks bertengger di kedua bahuku. Pelan-pelan bibir kamipun menyatu, merapat, dan berputar-putar saling menikmati permainan yang kami lakukan.
Ary merebahkan tubuhku ke atas tempat tidurnya. Keadaan kami persis seperti saat kami berciuman di Taman Satin 3 tahun lalu. Ary menimpa tubuhku dan menguasai permainan.
"Rumah lagi sepi, Gie. Kita coli bareng ya? Kita belum pernah ngelakuinnya kan? Gue berani jamin punya gue lebih gede daripada punya si Novan! Emang punya dia seberapa gede sih?"
"Ary, please jangan ungkit soal Novan lagi ya! Di antara kami gak ada hubungan apa-apa kok!"
"Oke, tapi gue pengen mesra-mesraan sama lu hari ini boleh kan?" Pintanya manja.
Aku mengangguk mengiyakan. Ary langsung menciumi leherku membuatku kegelian. Tubuhku menggelinjang saking gelinya, namun aku ketagihan ingin terus dikecup dan dikecup berulang-ulang. Kecupan demi kecupan yang diberikannya membuatku terlena serasa terbang ke awang-awang. Kususupkan tanganku ke dalam kaus yang dipakainya. Kubelai-belai punggungnya yang hangat. Ary menggesek-gesekkan selangkangannya dengan selangkanganku.
"Kita mandi, yuk!" Ajaknya menarik tubuhku bangkit dari atas ranjang.
"Punya gue udah ngaceng nih! Mending kita coli sambil mandi aja!" Ajaknya lagi.
Setan iblis berhasil menguasai pikiranku. Lagi-lagi aku tak kuasa menolak permintaan Ary sama seperti saat aku tak kuasa menolak ajakan Novan bermasturbasi dulu.
Ary membantu melucuti pakaianku dan membiarkannya berceceran di lantai. Akupun tak mau kalah dengannya. Kutanggalkan seluruh pakaiannya agar menyamaiku.
"Panjang kan punya gue?" Ary sangat bangga.
"Ry, lu nggak mau perkosa gue, kan?" Rasanya aku sangat malu bertelanjang bulat di depannya.
Kututupi kemaluanku dengan pakaianku yang tercecer di lantai. Untung saja bekas cacar di sekujur tubuhku waktu kelas 6 SD dulu sudah menghilang karena rajin kuobati. Jadi tubuhku sudah tidak terlihat seperti macan tutul lagi, dan aku tidak perlu minder lagi.
"Ngomong apa sih, lu? Gue kan sayang elu!" Katanya mesra.
Ary menyingkirkan kaus di tanganku yang kupakai sebagai penghalang kemaluanku. Tiba-tiba saja kedua tangannya berhasil mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Entah mengapa aku jadi merasa diperlakukan seperti layaknya seorang perempuan oleh Ary.
"Ry, apa-apaan sih, pake acara gendong-gendongan segala?" Protesku.
"Yee... Diajak romantisan malah protes!"
Aku jadi keki, "Ya tapi gak pake gendong segalalah! Gue kan bukan cewek!"
Ary tak mempedulikan ocehanku. Direngkuhnya tubuhku erat di bawah siraman air shower di dalam kamar mandi pribadinya.
"Ary..." Mulutku kelu untuk berkata-kata.
"Gua gak mau kehilangan elu, Gie! Please jangan pernah tinggalin gue walau apapun yang terjadi!"
"Emang gue mau pergi ke mana? Justru gue yang takut elu bakal ninggalin gue. Elu kan ganteng banyak yang naksir. Suatu saat elu pasti akan berpaling dari gue!" Aku menunduk murung.
"Please, jangan ngomong gitu, Gie! Elu cinta pertama gue! Elu pacar gue selamanya yang nggak akan tergantikan oleh siapapun!" Kepala Ary turut tertunduk beradu dengan kepalaku.
"Ry, bisa ngedapetin elu kaya gini serasa mimpi buat gue. Mimpi yang sangat manis!"
"Buat gue, lu adalah angan-angan dan impian yang seharusnya gue kejar! Gue ngerasa ini terlalu cepat buat gue dapetin. Tapi gue bahagia, benar-benar bahagia! Sebab gue gak perlu menunggu lama buat bangkit dari jatuh-bangun yang selama ini gue rasain, cuma buat ngedapetin elu!" Ary memejamkan matanya.
"Lu inget Gie waktu kita kecil dulu, kita pernah main Langit Lupa di halaman rumahnya Anton? Waktu itu gue jatuh dari papan, terus gue nimpa badan elu. Secara gak sengaja bibir gue nyium bibir elu. Waktu itu gue deg-degan banget bisa ngerasain ciuman sama elu!" Beber Ary berterus-terang.
"Gue ingat, Ry! Waktu itu perasaan gue bahagia banget, sebab gue emang udah suka sama elu sejak pertama kali kita ketemu!" Ungkapku jujur padanya.
"Benar-benar kenangan yang indah ya? Sayangnya waktu itu gue gengsi ngaku suka sama elu. Soalnya gue pikir, gue cowok normal dan lagi pas itu ada si Ryan sih. Tengsin kalo gue dicap homo sama dia. Tahunya..." Ary tak melanjutkan kata-katanya.
"Tahunya kenapa, Ry?" Tatapku heran.
"Ah, enggak! Waktu itu gue teringat sama kakak kelas gue di Filipina yang ciuman di WC sekolah!" Gelagat Ary berubah aneh.
"Oh, kakak kelas yang udah SMA itu ya?" Aku ingat sebelumnya Ary pernah menceritakan hal itu padaku.
"Ry, besok kita jalan-jalan, yuk! Besok kan liburan terakhir. Lusa udah sekolah. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua? Setelah masuk SMA nanti kita pasti bakal jarang bisa berduaan. Sekolah gue kan masuk siang, soalnya gedung-gedungnya lagi diperluas. Sementara sekolah lu masuknya pagi. Kapan kita ketemuannya coba?"
"Lu masih siaran malam di RRI kan? Gue bakal tetap antar-jemput elu kok tiap lu siaran!"
"Tapi kan cuma seminggu tiga kali!" Aku merengut.
"Masih kurang puas ya?" Ary menarik daguku.
"Gue pengen lu selalu ada di dekat gue setiap saat!" Ujarku lirih.
"Tenang sayang, pangeranmu ini akan selalu setia mendampingimu!"
Ary mengecup-ngecup leherku. Kuambil batangan sabun di atas bak mandi dan kugosokkan ke sekujur tubuhnya. Niat kami yang semula akan beronani bersama terlupakan begitu saja karena percakapan di antara kami yang terlalu serius. Ary membilas tubuhku bergantian. Segera kami mengeringkan tubuh kami setelahnya.
"Kita tidur siang, yuk!" Ajaknya menarik tubuhku ke pembaringan.
Ary hanya mengenakan celana jeansnya yang pendek selutut. Direbahkannya kepalaku di atas dadanya. Kudekap tubuhnya seakan aku tak mau kehilangan dia untuk selamanya. Ary menyalakan walkman dan berbagi headset denganku. Terdengar lagu 'Kita' yang dilantunkan oleh Sheila on Seven mengalun riang. Lagu kesukaanku, Ary, dan Novan.
"KITA"
Sheila On Seven
Di saat kita bersama, di waktu kita tertawa
menangis merenung, oleh cinta
Kau coba hapuskan rasa, rasa di mana kau
melayang jauh dari jiwaku, juga
Mimpiku
Biarlah biarlah, hariku dan harimu
Terbelenggu satu oleh ucapan manismu
Reff :
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan, rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat, rasa hina
Sekilas kau tampak layu, jika kau rindukan
gelak tawa yang warnai
Lembar jalan kita
Reguk dan reguklah, mimpiku dan mimpimu
Terbelenggu satu, oleh ucapan janjimu
Reff :
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan, rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat, rasa hina
Reff :
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan, rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat, rasa hina
Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan, rasa sayang
Akankah kita seirama
Saat terikat, rasa hina
(Link download) http://m.stafaband.info/download/14145/sheila_on_7/kita/
Entah berapa lama aku tertidur dalam dekapan Ary. Sampai kutersadar aku mendengar suara seseorang di lantai bawah memanggil-manggil nama Ary. Suara itu...
"Ary... Ary..." Tidak salah lagi itu adalah suara Ryan.
"Sayang..." Kutepuk-tepuk pipi pangeranku.
Rasanya kasihan juga membangunkannya di tengah nyenyaknya tidur. Wajahnya saat tidur begitu polos, innocent, dan membuatku ingin menciumnya. Tanpa ragu kucium saja pipi manisnya itu. Kubiarkan bibirku bertahan di sana selama beberapa menit lamanya. Sampai akhirnya aku melihat kelopak mata Ary pun mulai terbuka.
"Salah posisi tahu!" Protesnya. "Harusnya di sini!" Ary menunjuk bibirnya.
"Ya udah, nih!"
CUP!
Buru-buru aku memberinya jurus kecupan kilat tepat pada tempat yang dimintanya.
"Cepat amat, gak kerasa ah!" Protesnya lagi.
"Eh, ada yang nyariin elu tuh di bawah!" Sanggahku.
"Siapa?" Alis Ary bertaut.
"Prince China-Papua!" Kataku menaikkan alisku mencapai kening.
Akhir-akhir ini aku memang menjuluki Ryan sebagai Prince China-Papua. Sebab dia memiliki mata yang sipit dan kulit yang putih seperti orang China. Sementara ia juga memiliki rambut yang keriting dan menggumpal persis seperti orang Papua. Maka tidak salah kan bila aku menjulukinya demikian : Prince China Papua!
"Ngapain sih dia datang ke sini? Gangguin kemesraan kita aja ya?" Ary ngedumel seorang diri.
Diraihnya sebuah kaus dari dalam lemari pakaiannya dan dipakaikan ke badannya.
"Pasti mau ngajakin jalan lagi. Gue lagi males ngeladenin dia. Padahal udah gue tolak juga berkali-kali, masih aja terus maksa gue buat nerima cintanya!" Cerocos Ary tanpa sadar.
"Ups!" Ary membungkam mulutnya.
"Apa, Ry? Ryan nembak elu?" Aku terperanjat mendengar ucapan Ary.
"Pasti ini yang mau elu bilang waktu di kamar mandi tadi kan?" Selorohku memastikan.
Ary menarik napas dalam-dalam dan segera menghembuskannya selepas mungkin.
"Sorry Gie. Dia nembak gue dua minggu yang lalu. Dia maksa gue buat daftar sekolah bareng dia ke BBS. Tapi gue gak mau. Soalnya gue kan pengen satu sekolah sama elu. Terus pas dia tahu gue gagal diterima di SMUN 5, dia maksa gue lagi supaya gue mau bareng sekolah sama dia. Udah 3 kali dia nembak gue, Gie!" Ary tak mampu lagi menutup-nutupi rahasia yang sengaja disembunyikannya dariku.
"Jadi... Jadi Ryan itu sama kaya kita?" Aku tak percaya! Sungguh aku tak percaya!
Ryan yang selama ini aku pikir lelaki straight, diam-diam telah menjadi musuh dalam selimutku. Dia menjadi sainganku dalam meraih cintanya Ary. God, mengapa aku baru mengetahuinya sekarang? Pantas saja Ryan terus memprovokasi Anton dan Ary agar mereka berdua menjauhiku. Tampaknya Ryan tengah berusaha memisahkanku dari dua orang lelaki yang kusayangi. Tapi, apa mungkin Ryan tahu mengenai kedekatanku dengan Anton, serta status hubunganku dengan Ary? Semoga saja dugaanku ini salah!
"Ry, apa Ryan tahu soal hubungan kita?"
Ary mengangguk pelan. "Gue terpaksa ngaku jujur sama dia supaya dia nggak coba-coba deketin gue lagi. Tapi yang ada dia malah terus ngejelekin elu supaya gue mutusin elu!"
"Apa Ry?" Mataku terbeliak mendengar pengakuannya.
"Ry, gue sayang sama elu! Gue cinta sama elu! Gue gak mau kehilangan elu!" Aku memelas dan memohon di hadapan Ary.
"Gie, lu jangan berlutut kaya gini! Gue nggak akan terpengaruh sama omongan si Pangeran China-Papua itu!" Ucap Ary menegaskan. Direngkuhnya tubuhku erat seolah aku adalah pusaka berharga yang senantiasa harus dilindunginya.
"Ry, hidup sama mati gue cuma Tuhan yang bisa ngatur. Tapi seluruh jiwa raga gue ini cuma gue kasih buat elu! Apapun akan gue lakukan buat mempertahankan cinta yang gue punya. Gue gak rela ngelepas elu gitu aja. Please, jangan tinggalin gue selamanya!"
Air mataku menitik di pelupuk mataku.
"Ary... Ary..." Kembali terdengar suara Ryan dari teras lantai bawah.
Ary tak segera beranjak menemuinya. Kedua tangannya mencengkeram kuat di lingkar pinggangku.
"Gue harus pulang, Ry!" Kataku memohon pamit. Aku ingin menenangkan pikiran.
"Jangan tinggalin gue, Gie!" Ary berbisik di telingaku.
Aku tak kuasa melepas pelukannya. Aku tak ingin Ary pergi menemui si sipit brengsek itu. Setengah jam berlalu kami terus berdiri mematung, tak terlepas satu sama lain. Aku terdiam dalam heningnya suasana kebersamaan kami. Mataku terpejam pada sandaran bahu Ary yang hangat.
"Kayanya Ryan dah pergi. Gue mau balik dulu ya, Ry. Takut nyokap nyariin!" Pamitku melepaskan tangannya di pinggangku.
"Ya udah, besok pagi kita jadi ya jalan-jalan?" Ary mengecup leher dan keningku.
Aku sangat geli merasakan kecupan-kecupan Ary di leherku. Sepertinya itu adalah area favorit Ary saat mencumbuiku.
"Mmmuaaach!" Kubalas memberi kecupan di keningnya.
"Good bye, honey!" Ucapku padanya melepaskan genggaman tangannya.
Ary mengecup punggung tanganku mesra. "Iih Ary, gue bukan cewek! Masak tangan gue dicium kaya gitu!" Protesku.
"Gak apa-apa atuh, sayang! Tangan elu kan lembut!" Ary mengedipkan matanya sok romantis.
"Dah ah, gue cabut dulu!" Akupun melengos keluar dari kamarnya.
Saat aku melangkahkan kakiku keluar dari pintu depan rumah Ary, mataku bertumbukkan dengan seseorang yang sedang duduk di bangku teras.
"Ryan!" Pekikku dalam hati.
Buru-buru aku melenggang tak ingin beradu pandang dengan sosok menyebalkan itu. Matanya menatap tajam mengekori langkahku. Tinggal satu langkah lagi kakiku menuju gerbang pagar depan rumah Ary, aku mendengar Ryan mengucapkan sesuatu begitu pelan namun telingaku berhasil menangkapnya tajam.
"PENGACAU!" Umpatnya.
"Mengapa dia berkata begitu?" Rutukku dalam hati.
Aku yakin ucapannya itu ditujukannya kepadaku karena tidak ada siapa-siapa lagi di sekeliling kami. Kutatap wajahnya ternyata Ryan tengah melotot tajam ke arahku. Ingin rasanya kucolok matanya itu dengan garpu dan kuulek sampai hancur sehalus-halusnya. Namun untuk saat ini aku harus bisa menahan emosi. Aku sedang tidak ingin berbuat keributan. Terlebih di rumah Ary, kekasihku sendiri. Bila ini di tengah padang nan luas, okelah aku mau bergulat dengannya bilamana itu memang diperlukan. Segera kupercepat langkahku meninggalkan rumah Ary meskipun kudengar Ryan menyerukan umpatan-umpatan lainnya. Aku tak ingin mendengar suaranya. Biar saja 'anjing menggonggong kafilah tetap berlalu!'
***
Hari Minggu pagi yang cerah. Sebenarnya Indra mengajakku untuk menjaga bola di lapangan tenis BALITRO seperti biasanya. Namun aku sudah kepalang janji dengan Ary kalau hari ini kami akan menghabiskan waktu seharian berdua. Aku dan Ary melakukan jogging mengelilingi komplek perkantoran BALITRO dan BALITBIO hingga PUSLITBANGTRI. Kami mengunjungi Taman Satin yang berada di kawasan komplek perkantoran itu, tempat pertama kali dulu kami berciuman.
Ary merebahkan pantatnya di rerumputan persis di bawah pohon Bungur yang sedang bermekaran. Bunga-bunganya berwarna ungu muda nan lembut terlihat indah bagaikan bunga sakura di negara Jepang. Ary pun mulai berpuisi.
Matahari Pagi
Senyummu lembut indah menyapa
Sinarmu hangat menerpa
Bias cahayamu menyilaukan mata
Kau datang menerangi dunia
Dalam luas angkasa yang terbentang
Kau taklukkan dunia yang menantang
Kegelapan engkau terjang
Hawa dingin engkau serang
Tak ada satupun makhluk yang mampu menandingimu
Tak ada satupun dimensi yang tak membutuhkanmu
Aku insan lemah
Tak kuasa menentangmu
Aku insan rapuh
Tak mampu mencapaimu
Sinarilah aku dalam kegelapan
Terangilah aku dalam kehampaan
Berikanlah aku segenap kekuatan
Agar aku bangkit dari kesulitan
Kusunggingkan senyumku pada pujaan hatiku itu. Kusandarkan punggungku pada punggungnya yang duduk membelakangiku. Kupandangi langit biru nan cerah. Segera kubalas puisi Ary seperti biasanya di saat kami saling berbalas puisi.
Langit Perkasa
Pernahkah engkau menatapnya takjub?
Memandangnya seluas hati yang tak terbatas
Mengukurnya setinggi pemikiran yang tak berujung
Mengaguminya seindah kuasa Sang Penciptanya
Dia tak pernah runtuh
Sekalipun jeritan hatimu mampu meruntuhkan hatiku
Dia tak pernah jatuh
Sekalipun rayuan manismu mampu menaklukkan hatiku
Dia tak pernah pecah
Sekalipun sikap kasarmu mampu mematahkan hatiku
Dialah dirimu
Yang mampu menurunkan hujan
Di saat mendung bergelayut dalam perasaanku
Bukan untuk membuatku larut dalam kesedihan
Tapi justru membawa sebuah kebahagiaan
Dengan mengantarkan pelangi di saat hujan itu usai
Dialah dirimu
Yang mampu menghantarkan badai
Di saat kemelut mengguncang ketenanganku
Bukan untuk mengancam dan menakut-nakutiku
Tapi justru memberi sebuah peringatan
Bahwa dia selalu ada menaungiku dalam berbagai keadaan
Ke manapun aku pergi
Dia tak pernah hilang dari tempatnya
Di manapun aku bersembunyi
Dia tak pernah lenyap dari singgasananya
Dialah langitku kesatria pelindungku!
Ary berdecak, "Engkau matahariku!"
Kubalas sapaannya, "Engkau langitku!"
"Hahaha..." Kamipun tergelak bercanda bersama.
Rasanya hari-hariku sangat indah bila terus bersama Ary. Meski kami tidak sedang membawa kanvas atau kertas gambar dan sebagainya, namun kami tetap dapat melukis seperti biasanya, seperti yang dulu sering kami lakukan bersama. Hanya saja, kali ini kami melukisnya dengan perasaan. Hati adalah kanvas, dan perasaan yang kami miliki sebagai pewarnanya. Sungguh itu semua merupakan suatu kebahagiaan yang tak pernah ingin kulepaskan.
"Habis ini kita ke mana?" Ary melap keringat di tubuhnya dengan handuk kecil yang dibawanya.
"Kita jalan-jalan muterin Bogor, yuk?" Ajakku.
"Gue bawa motor, ya?" Responnya cepat.
"Sip!" Kuacungkan jempolku padanya.
"Lima belas menit lagi gue ke sini lagi. Sekarang gue mau pulang, buat mandi dan siap-siap dulu!" Kataku meninggalkan Ary di pekarangan rumahnya.
Sesuai yang kujanjikan aku langsung kembali menemuinya hanya dalam seperempat jam lamanya. Hari itu aku memakai hem hijau kotak-kotak dipadu celana jeans hitam kesayanganku. Ary memakai hem oren dengan motif yang sama dipadu celana jeans biru yang sering dipakainya. Kami berdua memang penggemar kemeja kotak-kotak, sebab kami berdua penggemar berat film Coboy!
"Eh, jangan lupa pake jaket dulu, biar gak masuk angin!" Ary menyerahkan jaketku yang kemarin tertinggal di kamarnya. Jaket pemberian Ary, hadiah yang didapatnya saat pertandingan games Radio English Club di Kebun Raya beberapa bulan lalu.
"Hehe..." Aku tersenyum cengar-cengir. "Gue suka warnanya navy blue!"
"Itu kan warna kesukaan kita!" Seru Ary tak kalah ceria.
"Yoi, kalo gajian nanti, gue mau nyari ah jaket yang sama kaya gini buat lu. Supaya jaket kita sama!" Janjiku padanya.
"Asyik, beneran ya?" Ary cengengesan.
"So pastilah!"
"Buruan naek!" Ary telah selesai memanaskan motornya.
Setelah kupakai helm yang diserahkan Ary, akupun langsung naik ke atas boncengannya. Motorpun berjalan meninggalkan garasi rumah Ary. Di saat yang bersamaan mobil Anton melintas di depan kami.
TIIN!
Anton mengklakson, "Lho Ry, mau ke mana? Kita kan dah janji mau ke Parung hari ini!" Panggil Anton dari dalam mobil. Kulihat Ryan duduk di sebelahnya.
"Perasaan gue gak pernah janji deh. Sorry men, gue mau hang out bareng pacar gue nih!" Tukas Ary menegaskan.
Ryan turun keluar dari mobil, "Lu kan udah gue bilangin jangan pergi sama si 'MELARAT' ini lagi!"
Kata-kata Ryan terdengar 'pedas' di telingaku. Tapi untunglah Ary sama sekali tidak menanggapi perkataannya.
"Yuk ah Ton, kita cabut dulu ya!" Seru Ary menggas motornya dengan kelajuan tinggi.
"Ary! Ary! Kita kan mau jalan ke Parung!" Teriak Ryan di belakang kami.
"Hahaha... Biar si China-Papua rasain kaya apa rasanya ditinggalin!" Ary tergelak di depanku.
"Kamu jahat sih, sayang! Tapi gue suka sama gaya lu tadi. Keren banget tahu!" Komentarku memepet ke tubuhnya.
"Lu belum sarapan kan? Gimana kalo kita cari makan dulu?" Usul Ary melirikku melalui kaca spion.
"Boleh. Kita makan bakmie ya?" Aku balas memberi usul.
"Apapun yang elu suka, gue suka juga deh!" Timpal Ary nyengir terlihat dari kaca spion yang menampilkan bayangan wajahnya dengan kaca helm yang terangkat.
"Gue juga deh, apapun yang elu suka, gue bakal suka juga!" Kudekap tubuh Ary semakin erat.
Kuarahkan Ary jalan-jalan raya yang harus kami lalui. Tak memakan waktu lama kami akhirnya tiba di sebuah rumah makan yang cukup ternama di kota kami. Rumah Makan SAHABAT. Rumah makan ini terletak persis di seberang ILP (International Language Program), tidak jauh dari kawasan Istana Bogor, Rumah Sakit Salak, Sekolah Regina Pacis, dan Bogor Permai.
Kuajak Ary masuk begitu Ary selesai memarkirkan motornya. Kuhampiri seorang pelayan yang kebetulan lewat di depan kami dan menunjuk beberapa menu yang akan kami pesan. Kupilih tempat duduk di paling belakang sebelah pojok.
"Gila lu, seharusnya yang jadi pacar lu itu bukan gue tapi si Ryan!" Ary celingak-celinguk memperhatikan keadaan di dalam rumah makan.
"Lu kok ngomong gitu sih?" Tanyaku dengan mimik aneh.
"Lu lihat aja sendiri, semua mata pengunjungnya sipit-sipit!" Cetus Ary sedikit grogi.
"Ini kan memang restoran China, Ry! Lu belum pernah ke sini ya?" Kataku seraya tersengih melihat kelucuan ekspresi Ary yang memanyunkan bibirnya saking groginya.
"Gue baru sekali ini ke sini!" Ary menopang dagu.
"Dulu waktu papa masih hidup, kami sekeluarga sering banget makan di sini. Lu tahu Ry, bulan ini tepat 2 tahun meninggalnya papa! Gue kangen banget sama papa!" Kualihkan pandanganku ke dinding kaca di samping tempat kami duduk.
Ingin rasanya aku menitikkan air mata, tapi percuma saja karena air mata tidak akan bisa mengembalikan kebahagiaan keluargaku yang hilang.
"Lu sedih ingat sama papa lu, ya?" Ary menggenggam tanganku di atas meja seakan tengah memberiku kekuatan.
"Gue gak mau sedih karena papa, Ry! Itu cuma nambah beban papa di alam sana. Papa pasti gak mau ngeliat kami terus menangisi kepergiannya!"
"Gue suka elu tegar, Gie! Lu bisa ngegantiin sosok papa lu buat keluarga lu. Lu bisa kerja, banting tulang nyari duit buat ngehidupin keluarga lu. Gue kagum sama lu, Gie!"
Kusunggingkan senyumanku untuknya. Beberapa minggu yang lalu aku telah berikrar untuk selalu ceria walau apapun yang terjadi kepadaku.
"Eh, pemandangan di sini bagus banget ya! Gedung yang tinggi itu Hotel Pangrango yang dekat RRI kan?" Tunjuk Ary ke dinding kaca di belakangnya.
Aku mengangguk membenarkan perkataannya.
"Wah, keren ya! Di bawah situ masih banyak pepohonan, tempatnya asri banget! Banyak pohon pinus-cemara lagi!" Ary berdecak mengagumi lereng-lereng yang terdapat di belakang rumah makan.
"Selamat makan!" Seorang pelayan mengantarkan menu pesanan kami.
Dua mangkuk bakmie ayam-jamur, dan dua gelas jus alpukat.
"Wow, enak banget nih bakmienya. Udah pake ayam, jamur, pake bakso pula!" Lidah Ary bergoyang.
"Kapan-kapan kita makan di sini lagi ya!" Tawarku dan dibalas Ary dengan anggukan senang.
"Sekarang kita ke mana lagi?" Tanya Ary setelah kami selesai makan dan sama-sama kenyang.
"Muter-muter aja yuk, asal jangan ke..." Aku melirik ke arah Istana Bogor.
"Asal jangan ke mana?" Ary turut memandang ke arah yang kulihat. "Istana maksud lu?"
"Kalo ke istana mah memang gak bisa masuk atuh. Palingan bisanya cuma ngasih makan rusa di pagar halaman. Kecuali kalo pas Bogor ulang tahun, baru istana dibuka buat umum!" Seru Ary mengingatkan.
"Hmm... Asal jangan ke Kebun Raya aja! Gue males!" Seruku asal.
Sedikit-banyak aku masih trauma akan kejadian yang menimpaku beberapa minggu lalu di sana. Perlakuan para petugas penjaga kebun yang sangat kasar padaku, mereka tidak hanya menuduhku sebagai komplotan pengedar narkoba, tetapi juga memperlakukanku layaknya seorang narapidana yang patut mereka siksa. Rasanya luka itu membekas dalam di hatiku.
"Kenapa? Kebun Raya kan tempatnya asri, teduh, banyak pepohonan di sana!" Mulut Ary melongo, wajahnya memandang lekat wajahku.
"Tempatnya terlalu klasik! Gak asyik tahu!" Segera kuhampiri motor Ary dan meraih helm yang tercantel di setir motor.
"Ya udah, gimana kalo kita maen ke rumahnya Teguh? Udah lama kan kita gak maen bareng dia?" Ajak Ary segera duduk di motornya.
"Nah, kalo itu baru gue setuju!" Sahutku riang naik ke atas boncengan.
Kupeluk tubuh Ary sepanjang perjalanan sambil berdendang lagu-lagu yang kami suka.
----w----
MOS hari pertama kusambut penuh dengan semangat. Walaupun aku tak satu sekolah lagi dengan Ary, aku tetap senang karena Ary tetap kekasihku. Sikapnya tegas, dia telah memilihku sekali untuk selamanya. Pagi-pagi buta sebelum pukul 5 aku dan Indra sudah berangkat ke sekolah berjalan kaki, karena MOS sudah dimulai pukul 05.15 WIB. Benar-benar hari yang merepotkan.
Kupakai atribut-atribut aneh yang membuat penampilanku terlihat seperti Mbah Dukun. Mulai dari kalung jengkol campur bawang merah, gelang tutup botol, tas karung dengan lilitan tali rafia, topi ulang tahun, name tag dengan nama julukan yang nyentrik 'SI KUCRUT', kartu nama asli yang disematkan di depan saku seragam, kaus kaki beda sebelah dengan sepatu yang berbeda warna pula, kacamata kardus yang dilapisi plastik mika, dan tak ketinggalan dot bayi yang terkalung di leher.
Sepanjang jalan kami menjadi tontonan lucu-lucuan para warga di sekitar lingkungan sekolah. Tak henti-hentinya orang-orang menertawakan kami saking lucunya penampilan kami. Betul-betul tengsin seperti dipermalukan habis-habisan.
"Ayo cepat, cepat! Bisa jalan nggak sih Dek? Jalan aja pake lambat banget sih? Ular aja gak punya kaki bisa lari cepat!" Teriak seorang kakak panitia MOS yang berjaga di pintu gerbang.
"ID card kamu mana?" Tanya salah seorang temannya yang lain.
Kucabut kartu nama yang kusematkan di depan saku kemeja seragamku.
"Ini Kak!" Kuserahkan kartu namaku pada kakak panitia tadi.
"Apa kamu bilang? Kamu orang Bogor bukan sih?" Bentaknya keras.
"Orang Bogor, Kak!" Jawabku sedikit bingung.
"Kamu tanya ya sama semua SMP dan SMA se-Bogor, di mana-mana kalau manggil senior itu bukan 'Kakak'! Tapi Akang-Teteh, nyaho heunteu?" Kakak panitia tadi menunjuk-nunjuk jidatku.
#Nyaho heunteu (Bahasa Sunda) : Tahu tidak?
Kuperhatikan kartu panitia di seragamnya, tertulis namanya 'GATOT'. Cakep juga sih orangnya walaupun hari masih gelap, tapi sayang kelewat judes. Tuntutan peran kali ya? Wait! Gatot itu artinya 'gagal total' kan? Pasti dia anak asal jadi made in orang tuanya. Hahay.... Aku hanya bisa tertawa sendiri.
"Kenapa kamu ketawa? Ada yang lucu?" Bentaknya lebih keras lagi.
"Nggak ada, Kang!" Jawabku sesopan mungkin.
"Baru hari pertama ikut MOS sudah berani bohongin saya, ngetawain saya. Mana ID card kamu salah lagi! Seharusnya bikinnya bukan kaya gini. Bego banget sih, jadi orang. Pake keterima segala lagi di SMA unggulan ini!" Cerocosnya panjang lebar.
"Maaf saya enggak tahu, Kang!" Kataku menunduk takut.
"Sekarang juga kamu sama teman kamu ini karena sudah salah bikin kartu identitas, kalian berdua saya hukum jalan jongkok sampai ruang logistik buat mengambil kartu kalian ini!" Perintahnya tegas sedikit kasar.
"Ruang logistik sebelah mana, Kang?" Tanya Indra kebingungan.
"Tahu, cari aja sendiri!" Timpal si Kang Gatot tak peduli.
Duh, jarang-jarang ada cowok kelihatan ganteng kalau lagi marah.
"Udah yuk Ndra, kita cari aja di dalam!" Kutarik tangan Indra supaya segera berjalan jongkok mengikutiku.
Selang beberapa saat melangkah, aku melihat seorang gadis cantik tengah berdiri di depan sebuah kelas. Sontak akupun berdiri menghampirinya.
"Teh Rita!" Panggilku pada gadis cantik itu.
"Ugie ya?" Teh Rita memicingkan matanya.
"Wah, senang banget bisa ketemu lagi sama Teteh lagi di sini. Teteh apa kabar? Masih langgeng gak sama Kak Gia?" Pertanyaanku kulontarkan bertubi-tubi.
"Eeh, kamu lagi dihukum ya? Ngobrolnya nanti aja ya!" Si gadis cantik pacar Kak Gia itu malah mendorongku ke tempat terakhir aku berjalan jongkok.
"Teh, ruang logistik sebelah mana ya?" Tanyaku kurang semangat karena bidadari cantik ini sedikit jaim padaku.
"Oh, kamu terus aja jalan lurus ikuti koridor ini. Pas ada tikungan belok kiri dan jalan lagi aja terus sampai ke pojok. Nah, ruang logistik ada di ujung jalan paling pojok!" Beber Teh Rita cukup panjang.
"O, makasih ya Teteh geulis!" Sengaja aku memujinya agar tidak jaim lagi padaku.
#Geulis (Bahasa Sunda) : Cantik.
Terbukti dia langsung membalas pujianku dengan senyumannya yang teramat manis.
"Iih, kamu lucu deh!" Si Teteh pun mencubit kedua pipiku gemas.
Aku dan Indra melanjutkan perjalanan menuju ruang logistik sesuai arahan yang telah diberikan sang bidadari cantik.
"Gih, kok kamu kenal sama perempuan tadi?" Tanya Indra ingin tahu.
"Masak kamu nggak kenal sih, Ndra? Dia kan kakak kelas kita dulu waktu SMP. Dia anak BKC, juara karate Se-Jawa Barat. Kalau ada cowok yang skeptis sama dia, bisa habis dibantai sama dia. Pacarnya Kak Gia ketua MPK itu lho!" Jawabku detail.
"Hah? Gila keren banget ya?" Decak Indra terkagum-kagum.
"Ya gitu deh!" Aku terus berjalan.
Di belakang kami tengah mengekor belasan anak lain yang juga terkena hukuman. Pasti hukuman dari Kang Gatot!
"STOP! Mau apa kalian ke sini?" Tegur seorang kakak perempuan penjaga ruang logistik.
"Mau ambil ID card kami Teh!" Jawabku sopan.
"Mau apa?" Kakak itu pura-pura budek.
"Mau ambil kartu identitas!" Jawabku lagi.
"Ooo... Ngambil kartu identitas ya? Yayayaya!" Kakak itu berlagak beloon sekarang.
"Tapi ada syaratnya dulu!" Kakak itu berseru membuatku dan Indra terkejut.
Ekspresinya cengengesan dengan penampilannya yang tomboy.
"Syaratnya apa Teh?" Aku dan Indra bertanya berbarengan.
"Syaratnya gampang! Coba kalian nyanyikan lagu Balonku Ada Lima pake nada lagu Syukur!" Perintahnya asal jeplak.
"Kaya apa Teh?" Aku dan Indra melongo.
"Mana Teteh tahu atuh! Kan yang disuruh nyanyi kalian!" Kakak itu berkacak pinggang.
"Hadeuh! Ini sih penganiyaan batin namanya!" Batinku.
"Gih, tahu gak?" Indra melirikku.
Kutolehkan pandanganku pada siswa lain di belakang kami. Mereka semua tampak ragu untuk mencobanya.
"Teteh!" Aku mengangkat tangan.
"Udah tahu ya? Coba nyanyiin kaya apa lagunya!" Perintah si senior aneh bin ajaib itu.
Kupimpin teman-teman di belakangku, "Kalian ikutin ya!"
Ba...lonku a...da... lima
Ru...pa-ru...pa war...nanya
Hi...jau kuning ke...labu
Me...rah mu...da... Dan... biru
Me..letus ba...lon hijau
Ha...tiku sa...ngat kacau
Ba...lonku ting...gal empat
Kupegang erat-erat!
Cukup sulit juga menyanyikan lagu Balonku yang diubah nadanya menjadi lagu Syukur. Namun usahaku membuahkan hasil, si Teteh nyentrik yang tidak kuketahui sama sekali namanya itu akhirnya bersedia mengembalikan kartu identitas kami yang tadi sempat disita oleh Akang Gatot si penjaga gerbang tol. Buru-buru kami berlari menuju lapangan utama untuk mengikuti upacara penyambutan siswa baru.