It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Diminta kawan menjenguknya di Malaysia sekalian ambil beasiswa S².
engko yo Nduk, saiki aku masih neng perjalanan mulih neng wumah.
oh ya bang itu no hp bener gak ntr salah kirim lagi
di tunggu updatenya ya
@balaka
@solous
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakshima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@mustaja84465148
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@ularuskasurius
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@sasadara
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@rey_drew9090
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@boy_filippo
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo@icha_fujo
@inlove @Zhar12
@Anju_V@hehe_adadeh
@abiDoANk
@aicasukakonde@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@TULEP_ORIGIN
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@Cowoq_Calm
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@waterresistant2
@boy_filippo
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
Kutulis kelanjutan kisahku ini dalam perjalanan pulang dari Palangka Raya menuju Lamandau sambil sesekali melirik Yosef, kawanku yang duduk di sebelahku menyetir mobil. Ia pun sesekali membalas lirikanku seraya melemparkan senyuman manis. Wajah Dayaknya sangat kusuka meski tidak begitu tampan pesona yang dimilikinya, bahkan cenderung terlihat biasa-biasa saja. Namun aura yang dipancarkannya saat aku memandangnya membuatku selalu terbuai pada senyumannya. Kadang tangannya meremas jemari tanganku seakan memberiku kekuatan akan kesedihan yang baru saja kualami tetapi juga sekaligus bahagia. Sedih karena aku melihat mantanku masih menyimpan dan memakai barang-barang pemberianku. Bahagia karena aku dapat melihatnya kembali meski hanya dari kejauhan. Setelah sekian lamanya aku tak melihatnya.
Aries. Mantan terindahku! Tanpa terasa air mataku mengalir di kedua belah pipiku.
"Mengapa masih kamu pakai jaket pemberianku dulu itu? Tidakkah jaket itu sudah usang? Dan mengapa masih kau bawa-bawa mug cangkir yang dulu pernah kuberikan untukmu? Dan, arrrrgh... Mengapa kau benar-benar menepati janjimu dulu itu bahwa kau akan selalu mencium mug itu sehabis minum meskipun kita berdua sudah putus? Benar-benar menyesakkan dada! Katakanlah Aries, kalau kau masih menyimpan perasaan untukku, walau sedikit saja! Aku tak akan berharap banyak!" Desahku dalam hati gelisah.
Aries menolehkan pandangannya tepat ke arahku. Buru-buru aku bersembunyi di balik punggung Yosef agar aku tidak ketahuan olehnya. Seorang gadis datang menghampiri Aries dan mengajaknya berbincang kemudian mereka berdua pergi meninggalkan bangku di Lapangan Sanaman Mantikey yang baru saja didudukinya, tempat ia biasa menuliskan kisah-kisah yang indah dalam imajinasinya. Tempat ini selalu menjadi kenangan yang indah bagi kami berdua. Karena di atas panggung tempat inilah kami dulu pernah beraksi menampilkan gaya kami sebagai putra-putri pariwisata provinsi kami. Tepat di hadapan ribuan pasang mata yang menyaksikan kami, beberapa orang duta besar negara-negara tetangga, bahkan belasan wartawan asing yang meliput kegiatan kami.
"Aku tahu Aries, kamu selalu menyimpan kenangan itu," batinku lirih.
Yosef langsung mengemudikan mobilnya. Hari-hariku selama di Palangka Raya senantiasa ditemani Yosef. Dia menguatkan aku agar aku bisa bangkit dari kesedihanku akan Aries. Aku senang bisa mengenalnya lebih dekat setelah berkunjung ke rumahnya di Palangka Raya. Yosef telah bercerita banyak padaku tentang persamaan agamaku dengan agama yang dianutnya, begitu juga dengan persamaan adat-istiadat yang dimiliki suku kami. Benar-benar telah membuka pikiranku untuk berpandangan lebih luas mengenai keragaman yang dimiliki bangsa ini. Puas rasanya bisa refreshing melepas kejenuhan yang selama ini kurasakan, hidup di desa pedalaman, sunyi jauh dari keramaian, dan pekerjaan yang selama ini menjejali pikiranku. Rasanya aku telah menjadi seekor burung yang telah terlepas dari kurungannya. Masih 12 jam lagi kami baru tiba di rumah. Segera kulanjutkan kembali kisahku yang terputus beberapa hari lalu...
:::::::Bukan Dia Ayah yang Kuinginkan!:::::::
Lelaki tua itu bernama Pak Sobri, teman baik kakekku sesama tentara dan juga sudah pensiun. Beliau sudah menganggap ibuku yang biasa kupanggil mama, seperti anak kandungnya sendiri. Tetapi anehnya ibuku selalu memanggilnya Abang dengan alasan biar tetap awet muda katanya. Padahal sudah nyata sangat tua. Beliau pun menganggapku sebagai cucunya, dan aku berhak untuk memanggilnya 'Bapak'. Pernah beberapa kali aku diajak mama berkunjung ke rumahnya di Gadog, antara Ciawi-Puncak. Beliau dan keluarganya mengisi masa pensiunnya dengan membuat home industry layang-layang. Aku merasa senang sekali setiap kali berkunjung ke sana seluruh keluarga beliau sangat ramah kepada kami. Pak Sobri dan istrinya dikaruniai 7 orang anak sama seperti Apih Hada, kakekku. Ibuku adalah anak tertua dalam keluarganya dan memiliki 6 orang adik, 2 adik perempuan (Bibi Rida dan Bibi Harti, yang pernah kuceritakan sebelumnya) dan sisanya semua laki-laki. Sedangkan di antara 7 anak Pak Sobri itu hampir semuanya perempuan, dan hanya anak bungsunya yang berjenis kelamin laki-laki, seakan menjadi pelengkap sekaligus penutup keutuhan keluarga Pak Sobri. Seluruh anggota keluarga Pak Sobri sangat baik kepada kami. Mereka selalu memberi kami macam-macam baik makanan, sayur dari kebun, ikan dari kolam mereka, dan terutama aku selalu diberi 5 sampai 10 lembar layang-layang dengan corak yang berbeda saat aku dan mama berpamitan pulang. Hatiku girang tidak terkira menerima layang-layang plastik lengkap dengan benang kenur dan gelasannya. Hanya mama yang mencibir seolah tidak suka aku mendapat mainan khas laki-laki tersebut. Pernah suatu kali, sepulangnya kami dari Gadog, layang-layang pemberian keluarga Pak Sobri, mama berikan kepada Dody anak tetangga kami di Tajur. Betapa kesalnya aku kepada mama. Tidak sadarkah dirinya bahwa aku ini laki-laki?
"Ma, mana layang-layang pamasihan Pak Sobri?" (Ma, mana layang-layang pemberian Pak Sobri?) Tanyaku pada mama.
"Tos dipasihkeun ka si Dody!" (Sudah diberikan ke si Dody!) Jawab mama enteng.
"Naha dipasihkeun, Ma?" (Kenapa dikasihkan, Ma?) Balasku penuh rasa kecewa.
"Emang Ugih bisa kitu maenna?" (Emang Ugih bisa gitu mainnya?) Mama balik bertanya menatapku dengan pandangan melecehkan.
Rasanya kesal bukan main. Laki-laki akan berkembang dengan sendirinya secara alami dengan mainan yang dimainkannya. Seharusnya mama tahu itu! Tapi aku hanya dapat dongkol dan merajuk seharian di rumah.
--v--
Kedatangan Pak Sobri ke tempat kami waktu itu adalah membujuk mama untuk pindah bekerja dan pindah rumah kontrakan. Aku tidak tahu apa maksud Pak Sobri menyuruh kami untuk pindah karena saat itu aku masih kecil. Apakah Pak Sobri ingin memisahkan mama dengan Om Kasmin yang sangat kusayangi? Tidak, lebih tepatnya kucintai! Baru kusadari setelah dewasa kalau aku ternyata sangat mencintai Om Kasmin ketika aku masih kecil. Sering kupandangi foto-foto kenangan kami bersama dan aku tersenyum sendiri bila mengingat kenanganku bersama Om Kasmin. Rasanya kami berdua yang sedang berpacaran saking mesranya kami dulu. Karena mama sering menghindar darinya, maka hanya aku yang selalu diajaknya jalan-jalan. Kami sering berkunjung ke Taman Topi. Sebuah taman di tengah-tengah keramaian Kota Bogor di mana letaknya persis berhadapan dengan Surya Matahari Departmen Store, waktu itu orang lebih mengenalnya sebagai Plaza Kapten Muslihat. Tetapi kami (aku, mama, dan Om Kasmin) lebih senang menyebutnya dengan sebutan Taman Topi karena di dalam taman itu terdapat berbagai macam gedung atau bangunan yang berbentuk topi. Mulai dari topi coboy, topi pesulap, topi gaul, topi khas perempuan dan topi-topi lainnya.
Di dalam Taman Topi terdapat berbagai wahana yang dapat kami nikmati antara lain seperti kereta listrik, komedi putar, bom-bom car, odong-odong, minicoaster, dan masih banyak lagi yang tidak kuingat satu-persatu. Hampir setiap Minggu Om Kasmin membawaku ke sana. Pernah sekali aku menunggangi kuda mengelilingi Taman Topi. Rasanya takut bukan main. Tetapi untung di belakangku ada Om Kasmin, aku jadi merasa terlindungi, aman, dan nyaman. Bahkan sejak saat itu, Om Kasmin jadi sering pula mengajakku menunggangi kuda di kawasan wisata Puncak. Rasanya itu adalah pengalaman romantis yang pernah kualami bersamanya. Sweet sweet!
Selain menunggangi kuda di Taman Topi aku juga suka mengayuh kereta listrik berdua Om Kasmin. Kereta itu melayang di atas sebuah rel tunggal yang melingkar dari suatu ketinggian. Sayangnya aku tidak dapat membantu Om Kasmin mengayuh kereta listrik karena kakiku belum sampai untuk mengayuhnya. Dan lagi aku sangat ketakutan melihat view Taman Topi dari atas ketinggian. Untung tangan-tangan Om Kasmin yang kuat selalu ada untuk melindungiku. Dan, aku senantiasa berpegangan erat pada pinggangnya membenamkan kepalaku di pangkuannya yang tanpa kusadari itu sebenarnya adalah area selangkangannya.
"Om, Ugih takut Om!" Kupegangi erat pinggangnya.
"Gak apa-apa! Pegangan aja sama Om! Lihat tuh, pemandangan di bawah sana bagus kan? Ada air mancurnya!" Om Kasmin berusaha menenangkanku.
Aku mengintip-intip sedikit. Pemandangan yang ditunjuk oleh Om Kasmin memang benar bagus. Aku suka melihat air mancur yang menyembur di dekat patung Kapten Muslihat. Tangan patung Kapten Muslihat terlihat sedang menunjuk sesuatu dengan roman wajah menyeringai seperti sedang menyerukan peperangan. Namun sebentar kemudian rasa takut kembali menghantuiku. Aku phobia ketinggian. Kembali wajahku menelungkup di pelukan Om Kasmin.
"Haahaa... Sugih, Sugih!" Om Kasmin tertawa renyah membelai-belai rambutku.
Terkadang juga kami suka mengemudikan bom-bom car. Menabrak dan ditabrak pengemudi lain saling berkejaran di dalam suatu arena yang tertutup. Rasanya benar-benar seru karena Om Kasmin pandai menghindari tabrakan mobil lain.
"Ayo kita tabrak mobil itu!" Seru Om Kasmin bersemangat mengembungkan kedua pipinya.
"Nah, sudah dekat! Mau ke mana kamu?" Om Kasmin asyik sendiri.
"Ayo kejar Om, mobil yang merah itu!" Sahutku antusias.
"Tuh, yang biru itu juga Om! Dari tadi mengincar kita terus!" Tunjukku pada mobil yang lain.
JLUGH!
Mobil kami berhasil menabrak mobil merah yang tadi diincar Om Kasmin, menyusul mobil biru yang menjadi sasaran berikutnya.
"Horeee!" Aku dan Om Kasmin bersorak girang.
"Awas Om, ada mobil kuning di belakang kita!" Seruku memperingatkan.
"Wah, tidak dapat dibiarkan!" Timpal Om Kasmin sengit segera memutar arah guna menghindari mobil kuning yang akan menyerang kami.
"Awas kau mobil hijau!" Teriak seorang pengemudi mobil kuning.
Rupanya pengemudi mobil tersebut adalah kawanan dari pengemudi mobil merah dan mobil biru yang baru saja kami serang.
Om Kasmin balik berputar memancing mobil merah agar mengejar mobil kami. Mobil merah pun berbalik menyerang kami dari depan. Di saat yang bersamaan mobil kuning masih mengejar mobil kami di belakang. Dengan gesitnya Om Kasmin segera berbelok tepat di saat mobil merah dan mobil kuning mulai dekat jaraknya dengan mobil kami.
DUGH!
Kedua mobil itu pun bertabrakan. Lagi-lagi aku dan Om Kasmin bersorak untuk kedua kalinya.
KRIIIIING!
Tanda waktu permainan telah habis.
"Yaaaah...." Keluhku lesu. "Lagi Om! Lagi!" Pintaku menarik-narik tangan Om Kasmin.
Buru-buru kami keluar dari arena ring dan mengantri tiket di loket untuk ditukarkan dengan koin.
"Yihaaa... Kita main lagi sayang!" Om Kasmin sangat bersemangat sekali.
Tetapi sayang sejak aku dan mama pindah kontrakan dari Bantar Kemang ke Tajur, dan mama pindah bekerja mengikuti anjuran Pak Sobri, dari Rindu Alam ke Galaxy Billiard di Tajur, hubungan antara mama dan Om Kasmin putus. Mama meninggalkannya begitu saja tanpa jejak. Aku sangat sedih sekali kehilangan Om Kasmin yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Berhari-hari aku termenung memikirkan Om Kasmin.
"Kunaon bungsu Mama kasep?" (Kenapa bungsu Mama cakep?) Tanya mama mendekatiku.
"Ugih hoyong Om Kasmin jadi bapa Ugih!" (Ugih ingin Om Kasmin jadi ayah Ugih!) Rengekku pada mama.
Wajah mama langsung berubah pias seketika setelah aku menyebutkan nama Om Kasmin dan mengajukan permintaanku, seakan telah tersentak olehku.
"Budak leutik tong pipilueun urusan kolot deuh!" (Anak kecil gak usah ikut-ikutan urusan orang tualah!) Tegur mama tegas.
"Pokona Ugih hoyong Mama kawin jeung Om Kasmin!" (Pokoknya Ugih ingin Mama kawin sama Om Kasmin!) Rengekku memaksa.
"Arga! Kurang cukup naon Mama gawe keur maneh, malah nitah Mama kawin deui?" (Arga! Kurang cukup apa Mama kerja untuk kamu, malah nyuruh Mama kawin lagi?) Dengus mama sewot.
Kalau sedang marah mama sering memanggilku Arga. Arga adalah nama yang sebenarnya telah dipersiapkan oleh ayahku, saat aku masih berada dalam kandungan mama. Sebelum ayahku tergoda oleh gadis Dayak sialan itu, dan mama belum diganggu oleh temannya yang lurah gila itu. Semua baik-baik saja awalnya. Bulan-bulan pertama aku berada dalam kandungan, ayahku masih mengakui statusku sebagai anaknya. Dan beliau telah menyiapkan sebuah nama untukku, Arga Reynald Septriadi. Nama yang sangat gagah menurutku. Namun sayang, setelah perceraian kedua orang tuaku terjadi, nama itu seolah menjadi nama yang buruk dan hanya pantas untuk mama panggil saat mama sedang marah besar kepadaku.
"Ugih hoyong boga bapa, Ma!" (Ugih ingin punya ayah, Ma!) Sungutku kesal.
"Pokona Ugih hoyong Om Kasmin!" (Pokoknya Ugih ingin Om Kasmin!) Lanjutku lagi.
"Cicing maneh, ulah sok nembalan terus bisi digebot ku sapu nyere, yeuh!" (Diam kamu, jangan suka melawan terus takut digebot sama sapu lidi, nih!) Ancam mama menyorongkan sapu lidi ke arahku.
Namun tindakan mama lebih cepat daripada perkataannya. Sapu lidi tersebut telah melayang lebih dulu ke pantatku.
"Rek ngomong kitu deui moal?" (Mau ngomong gitu lagi gak?) Mama mulai kalap.
PLAK!
Satu-dua sabetan telah mengenai pantatku.
"Ugih hoyong Om Kasmin jadi bapa Ugih!" (Ugih mau Om Kasmin jadi bapak Ugih!) Aku berkeras kepala.
Mama semakin murka dan mengambil seember air dari kamar mandi.
"Yeuh, tiiskeun sirah maneh!" (Nih, dinginkan kepala kamu!) Diguyurkannya air satu ember itu ke atas kepalaku membuat seluruh pakaianku basah kuyup.
Aku menangis meronta-ronta menyebut-nyebut nama Om Kasmin. Berharap dia akan datang menyelamatkanku dari penyiksaan mama. Namun usahaku ternyata sia-sia, air mata yang kukeluarkan tak menyentuh hati mama sama sekali. Mama terus menyiramku dengan air karena kesal menghadapi sikapku yang keras kepala. Sampai aku lelah menangis dan menanti Om Kasmin yang tak kunjung datang, akhirnya aku jatuh tertidur di lantai tanpa mama gubris lagi. Saat kuterbangun dari tidurku kurasakan bekas air mata di pipi menjadi lengket di wajahku. Kukucek kedua mataku dengan ujung-ujung jari tanganku dan kudapati mama tidak ada lagi di rumah. Biasanya mama pergi bekerja pada sore hari. Sejak tinggal di Bantar Kemang dulu aku sudah terbiasa ditinggalkan di rumah sendiri oleh mama. Paling sebelum berangkat mama hanya berpesan menitipkanku kepada tetangga untuk sesekali ditengok oleh mereka.
Aku tak pernah habis pikir mengapa mama harus putus dengan Om Kasmin tanpa sebab yang jelas. Tidakkah Om Kasmin sangat mencintai mama selama ini dan mendambakan mama untuk menjadi istrinya, pendamping hidupnya selamanya. Baru kuketahui alasan mama mengapa dulu mama meninggalkan Om Kasmin begitu saja setelah aku dewasa. Mama bilang padaku, jarak usia mama dengan Om Kasmin terlampau jauh. Mama lebih tua 5 tahun dari Om Kasmin. Menurutku jarak 5 tahun tidaklah terlalu jauh, coba bandingkan dengan jarak Yuni Shara dan Raffi Ahmad saat mereka masih berpacaran! Namun mama merasa gengsi menerima cinta seorang berondong meski mamapun sebenarnya mencintai Om Kasmin. Permasalahan semakin kompleks saat pimpinan mama dan Om Kasmin di Rindu Alam mengetahui hubungan asmara di antara mereka berdua. Pasalnya mama pernah menolak cinta sang pimpinan dan mama tak ingin pimpinannya itu menaruh dendam kepada Om Kasmin karena Om Kasminlah yang telah berhasil mencuri hati mama. Oleh karena itu mama menuruti nasihat yang diberikan oleh Pak Sobri untuk pindah bekerja. Berkat Pak Sobri pulalah mama berhasil diterima bekerja di Galaxy Billiard Tajur. Sebuah tempat hiburan yang mencakup arena billiard, bioskop, dan cafetaria. Mama bekerja sebagai kasir di cafetaria, dan aku pernah diajak mama ke tempat kerjanya beberapa kali.
Saat mama bekerja di Galaxy Billiard pun banyak lelaki yang terus mendekati mama. Mereka tak peduli pada status mama yang janda beranak dua. Bahkan sampai aktor terkenal Dede Yusuf yang kukenal pertama kali dalam sinetron Jendela Rumah Kita, Benang Emas dan film Badut-Badut Kota pun turut tergila-gila pada mama. Padahal saat pertama kali bertemu mama, beliau masih berstatus lajang.
"Tahu nggak Mbak Is? Aku tuh suka banget lho sama kamu!" Ucap Om Dede Yusuf blak-blakan pada mama.
"Ah, pinter ngegombal kamu De! Artis terkenal kaya kamu pasti banyak ceweknya di mana-mana!" Timpal ibuku tidak terpengaruh sama sekali.
"Beneran lho, Mbak! Berani sumpah! Cuma kamu satu-satunya bunga yang sedang berkembang di taman hatiku!" Om Dede mengangkat dua jari tangannya di samping kepala.
"Udah ah males! Aku gak suka digombalin, percuma gak bakalan mempan!" Mama mencebik sambil berlalu dari hadapan sang aktor terkenal.
"Aduh Mbak, please jangan pergi dulu donk Mbak! Aku mohon sama Mbak, mau ya nikah sama aku?" Tangan Om Dede Yusuf menahan tangan mama.
"De, aku tuh lagi kerja! Okelah aku hargai perasaan kamu sama aku, tapi aku mohon kamu untuk mengerti keadaanku. Aku ini seorang janda, De! Anakku sudah dua!" Ungkap mama mengingatkannya.
"Aku tidak peduli dengan statusmu itu!" Om Dede Yusuf menatap mama lekat.
"Sudahlah, De! Kamu itu kan aktor terkenal, banyak perempuan di luar sana yang mendambakan cintamu!" Mama berusaha melepaskan pegangan tangannya.
"Kalau kamu nikah sama aku, apa kata orang nanti? Media massa bakal mencibir dan memuat berita pernikahan kita. Seorang aktor terkenal menikahi seorang janda beranak dua! Lantas bagaimana pula kata Tante Yayuk nanti?" Lanjut mama lagi.
Tante Yayuk adalah nama panggilan akrab ibunda Om Dede Yusuf, Rahayu Effendi. Ibuku mengenal baik keluarga Om Dede Yusuf karena Tante Yayuk sering mengajak sepupu mama yang sangat cantik, Bibi Titin, untuk shooting film dengannya. Sayang, kesempatan tersebut tidak pernah ditawarkan oleh Tante Yayuk kepada mama. Bila tidak, mungkin saat ini mama sudah menjadi seorang aktris terkenal. Tidak disangka pula Galaxy Billiard tempat mama bekerja saat ini adalah tempat bermain Om Dede Yusuf bersama rekan-rekan artis sejawatnya untuk berhura-hura.
Om Dede Yusuf terdiam tatkala mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan mama tadi. Tanpa menunggu jawaban darinya mama langsung pergi meninggalkannya kembali melanjutkan aktivitas pekerjaannya. Aku sendiri kurang sreg bila seandainya Om Dede Yusuf harus menjadi ayah tiriku. Pasalnya aku masih mengharapkan Om Kasminlah yang seharusnya menjadi ayah tiriku. Apalagi Om Dede Yusuf tak pandai mencuri hatiku sebagai anak bungsu mama yang seharusnya didekati lebih dulu. Ini sebuah pertanda kalau Om Dede Yusuf tidak akan bisa menerimaku sebagai anak tirinya. Mungkin kalau istilah kerennya zaman sekarang Om Dede Yusuf bilang padaku, "Siapa elo? So what gitu lho?!"
Ya, walaupun kuakui kadang aku menyukai adegan-adegan birahi yang sering diperankannya bersama aktris papan atas kala itu, Ayu Azhary. Aku sering melongo melihat keindahan tubuh Om Dede Yusuf shirtless di televisi. Padahal saat itu aku masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa tentang dunia sex.
Berita mengejutkan membuatku pusing tujuh keliling tatkala aku mulai masuk sekolah TK di Leuwiliang. Aku dan mama pindah rumah lagi ke Cibungbulang, persis di sebelah rumah sepupu mama yang kupanggil Ibu Munah. Mama menerima lamaran seorang lelaki tua yang lebih layak menjadi ayahnya ketimbang suaminya. Bahkan lelaki tua itu usianya telah mencapai kepala 5 sedangkan mama masih kepala 2. Nama lelaki tua itu adalah Joko. Beliau mempunyai sebuah usaha besar, bengkel bubut di daerah Ciputat-Jakarta.
"Ma, kunaon Mama daek ka nu kolot siga kitu sih?" (Ma, kenapa Mama mau sama yang tua seperti itu sih?) Tanyaku mencari tahu.
"Arga! Lancang biwir maneh!" (Arga! Lancang bibir kamu!) Kulihat mata mama langsung melotot mendengar pertanyaanku.
"Tapi Ma..." Ucapanku terhenti begitu melihat tangan mama siap melayang memberi cap 5 jari di pipiku.
"Gaplok weh Ma! Teu kunanaon kok!" (Tampar saja Ma! Gak apa-apa kok!) Tantangku tanpa merasa takut lagi.
Aku sudah kebal dipukul oleh mama. Bagiku dipukul oleh mama sudah menjadi hal biasa karena kuakui aku memang bandel di mata mama. Aku selalu berani menentang mama atas dasar hal-hal yang sama sekali tidak kusuka.
"Mama butuh perlindungan, Su!" Suara mama melembut.
Meskipun aku masih kecil tetapi mama selalu mengungkapkan padaku segala permasalahan yang sedang di hadapinya. Mungkin hal inilah yang membuatku cepat dewasa sebelum saatnya. Aku selalu tahu masalah yang sedang dihadapi mama, begitu pula sebaliknya mama selalu tahu permasalahan yang sedang kuhadapi karena sedikit-banyak aku selalu menceritakan kepadanya. Hanya hal-hal tertentu saja yang terkadang tidak kuceritakan kepadanya. Mengingat aku ini adalah anak laki-laki dan mama adalah seorang wanita tentu terdapat batasan-batasannya, bukan?
"Demi masa depan Ugih, Mama rela menjadi madu! Yang kita perlukan sekarang bukan ketampanan fisik seperti yang dimiliki Om Kasmin, bukan pula kepopuleran seperti yang dimiliki Om Dede Yusuf! Yang kita perlukan sekarang ini adalah harta! Mama perlu harta untuk membiayai sekolah kamu, membiayai makan kamu, membiayai keperluan kamu. Semua ini Mama lakukan demi kamu! Walau Mama harus mengorbankan kebahagiaan orang lain! Kalau bukan dari Pak Joko, kita tidak mungkin bisa tinggal di rumah sebagus ini, makan enak setiap harinya, membeli keperluan-keperluan kamu, dan Mama bisa membuatkan baju untukmu kapan saja Mama mau!" Kata-kata mama terngiang-ngiang di telingaku.
"Memangnya kita bisa kenyang dengan ketampanan yang dimiliki Om Kasmin? Mama sebenarnya capek Gih, tidak tahu harus berbuat apa lagi agar dapat membahagiakan kamu! Mama ingin kamu bahagia seperti anak-anak lainnya tidak kekurangan suatu apapun! Tak peduli orang akan menggunjing Mama sekalipun kalau Mama ini telah menjadi istri muda seorang pengusaha kaya!" Ucap mama berurai air mata.
Jujur, sebenarnya aku menyangkal perkataan mama. Dalam hati aku berteriak, dalam hati aku menjerit, "Tidak Ma! Aku lebih bahagia bersama Om Kasmin! Hanya Om Kasmin yang bisa memberiku kebahagiaan! Hanya Om Kasmin yang selama ini bisa memberiku perlindungan! Hanya Om Kasmin yang bisa membuatku merasa nyaman! Dan hanya Om Kasmin yang bisa... Ah!" Aku benar-benar putus asa.
Semua figur ayah yang kudambakan terasa lengkap ada pada diri Om Kasmin. Dialah ayah sejati bagiku. Dialah satu-satunya yang bisa mengayomiku. Karena itulah betapa aku sangat mencintainya luar dan dalam. Namun sayang seribu sayang pada akhirnya kami sama sekali tidak berjodoh. Setelah aku tumbuh dewasa aku merasa miris, sepanjang hidup Om Kasmin, beliau terus membujang karena beliau masih terus menantikan mama. Betapa besar cintanya kepada mama.
Setelah pernikahan mama dengan Pak Joko, aku mulai membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan papa. Walau hati enggan sebenarnya memanggilnya demikian. Namun apalah daya, aku tak ingin terus ribut dengan mama. Biarlah ini semua terpaksa kuikuti mengalir apa adanya. Berharap secercah harapan akan membuat mataku berbinar bahagia.
Papa hanya datang menemui kami seminggu sekali pada hari Minggu saja. Banyak alasan yang dikarangnya kepada keluarganya di Jakarta agar papa dapat menemui kami di Cibungbulang dengan mengendarai mobil Mercy kesayangannya yang membuat seluruh mata para tetangga di kampung kami untuk berdecak kagum tergiur ingin memilikinya. Kadang-kadang pula papa datang membawa mobil Carry karena kudengar dari mama, mobil pribadi papa di Jakarta ada empat unit. Belum lagi mobil yang dimiliki anak-anak dan istrinya. Pernah sekali mama ditawari papa sebuah mobil baru, tetapi mama menolaknya secara halus dengan alasan takut mengalami kecelakaan. Meskipun papa kaya raya namun papa tak pernah bersikap sombong akan kekayaan yang dimilikinya. Papa tak pernah lupa membawakan kami oleh-oleh dari Jakarta dengan jumlah yang relatif banyak hingga tetangga satu RT pun mendapat jatah dari kami. Hal itulah yang mungkin membuat para tetangga segan menggunjing masalah rumah tangga mama bersama papa, walaupun mereka tahu bahwa mama adalah seorang istri mudanya papa.
Sikap papa sangat baik kepada semua orang. Beliau adalah sosok yang sangat dermawan senang memberikan dana sumbangan kepada orang yang membutuhkan. Tidak sedikit keluarga mama dan tetangga kami yang telah ditolong olehnya saat mereka terlilit masalah keuangan. Papa bagaikan malaikat yang membantu orang kesusahan. Aku tidak begitu akrab dengan papa. Hubungan kami cenderung kaku karena papa tidak memiliki figur seperti yang dimiliki Om Kasmin.
Setiap kali papa datang, papa langsung diseret mama masuk ke dalam kamar. Mereka asyik menghabiskan waktu di dalam kamar seharian. Ketika hari menjelang sore barulah papa keluar dari kamar dan menikmati hidangan di meja makan yang telah disajikan oleh mama sebelum papa datang.
Desa Cibungbulang terletak di bawah jalan raya karena permukaan tanahnya yang tidak rata. Hal inilah yang menyebabkan mobil papa tidak bisa dibawa masuk ke garasi rumah kami karena jalan turunan menuju desa kami sangat sempit dan hanya dapat dilalui oleh motor. Alhasil papa harus memarkirkan mobilnya di pinggir jalan raya. Setiap papa pamit pulang kembali ke Jakarta aku selalu mengantarkannya ke tempat di mana papa memarkirkan mobilnya.
"Nih, buat jajan Ugih!" Papa mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan bergambar pahlawan wanita RA Kartini dari dalam dompetnya.
Mataku berbinar menyambut uang tersebut. "Terima kasih Pa!" Kataku mencium tangannya.
"Sudah ya, papa pamit dulu, rajinlah belajar!" Pesan papa sambil menyalakan mesin mobil.
"Hati-hati di jalan, Pa!" Aku melambaikan tangan.
Kupandangi uang sepuluh ribu pemberian papa. Untuk anak TK seusiaku pada tahun 1990 uang dengan nilai nominal sekian sangatlah besar. Uang logam seratus rupiah saja dapat kubelikan delapan buah permen Benson kesukaanku. Dengan rasa buah blueberry dan blackcurrant yang ternyata sudah ada sejak dulu bila kumengingatnya. Hanya saja tak banyak orang yang paham akan hal itu.
Mungkin sejak saat itu pulalah aku mulai melupakan Om Kasmin dan berusaha untuk dekat dengan papa meskipun hatiku masih belum siap untuk menerimanya. Bukan karena materi semata, melainkan karena aku sangat mendambakan perhatian seorang ayah. Ternyata papa memang menerimaku sebagai anaknya, apa yang kuinginkan dan kuminta darinya selalu dikabulkan meski mama melarangnya. Yang amat kurasakan kecewa dari papa adalah papa tidak bisa meluangkan waktunya untuk membimbingku dalam belajar dan mengajakku bermain atau bercanda bersama seperti yang sering kulakukan bersama Om Kasmin. Papa benar-benar kaku.
"Jangan suka minta macam-macam sama Papa!" Larangan mama menegurku.
"Ugih hanya minta majalah Bobo dan komik saja kok!" Timpalku suatu kali.
"Pokoknya kamu itu jangan suka banyak tuntutan sama papa! Ingat dia itu bukan papa kamu!" Larang mama lagi.
"Kalau kamu banyak tuntutan sama papa, nanti dikiranya Mama yang mengajarkan kamu seperti itu!" Kilah mama terus berbicara.
Mama tak berhenti menasihatiku agar aku tahu diri bahwa aku ini hanyalah seorang anak tiri yang tak berhak mendapatkan apa-apa dari ayah tiriku. Sedangkan pada kenyataannya tanpa aku yang memintapun, papa sendirilah yang membelikan segala macam barang untukku. Pakaian, sepatu, mainan, dan buku-buku majalah kesukaanku.
"Gih, dengar! Semua masa depan kamu, Mama yang mengatur! Kamu jangan coba-coba sekali melangkahi Mama!" Kata-kata mama terasa tajam menusuk telingaku.
Aku hanya terdiam merenung. Banyak hal yang kupikirkan. Mengapa aku harus terlahir seperti ini, hidup tanpa ayah kandung, dan tinggal bersama ibu yang judes. Inilah yang menyebabkan aku menjadi sosok pribadi yang tertutup di masa kecil. Namun hari-hari harus kujalani tanpa pernah kupeduli entah sampai kapan aku akan terus begini.
Suatu hari Mang Iyan adik sepupu mama, anak sulung dari Umi Wati pindah sekolah ke Leuwiliang. Pasalnya otaknya yang sedikit lemah di pelajaran Mekanika membuatnya merasa jenuh di sekolah sebelumnya di Bogor. Dia dulu sekolah STM. Entah program apa yang diambilnya. Ia sengaja pindah ke sebuah SMA di Leuwiliang untuk menghindari persaingan yang ketat di Kota Bogor. Yang jelas karena kepindahannya ke Leuwiliang, Mang Iyan tinggal menumpang di rumah kami. Mungkin inilah wujud timbal balik kami terhadap keluarga Umi Wati yang pernah menampungku dan mama beberapa kali.
Diam-diam aku mengagumi pamanku yang satu ini. Parasnya tidak tampan tetapi gayanya sangat cool. Kulitnya kuning langsat terang sedikit putih mirip bule didukung oleh bentuk hidungnya yang bangir. Walaupun tubuhnya sangat kurus kurang berisi, tetapi lumayan tinggi kira-kira mencapai 168 atau 170 cm. Aku paling suka mengamatinya bertelanjang dada sepulang sekolah berkumpul bersama teman-temannya di halaman rumah yang diajak main olehnya. Anehnya meski tubuhnya kurus, otot bisep dan trisep di tangannya terbentuk sempurna. Aku juga mengagumi salah seorang sahabatnya yang sering diajak main mengunjungi rumah kami. Namanya adalah Aa Zaenal. Begitulah aku memanggilnya. Sama seperti halnya dengan Mang Iyan, Aa Zaenalpun tak pernah segan-segan bertelanjang dada di rumah kami. Membuat mata para ibu-ibu tetangga gerah dan gatal ingin dicumbu mereka. Sebab paras Aa Zaenal benar-benar sangat tampan dan logat bicaranya tidak kampungan seperti urang kulon kebanyakan. Tahu kan, urang kulon di ujung barat Kabupaten Bogor logat bicaranya seperti apa? Tepat! Seperti suara pita kaset kusut alias NGAGALEONG kata orang Sunda bilang! Meski Aa Zaenal berkacamata, tidak mengurangi kegantengannya sama sekali. Ia memiliki mata yang mirip dengan mata aktor Dude Harlino suami dari Allysa Soebandono. Dan suara bass yang sangat mirip dengan suara bintang HOT Rudy Choirudin pembawa acara kuliner SELERA NUSANTARA! Tidakkah Rudy Choirudin itu adalah bintang hot? Kan setiap hari shootingnya di depan kompor panas, bukan? Haahaa...
Dasar mentang-mentang ganteng, Aa Zaenal ternyata memanfaatkan kegantengannya itu untuk menjadi seorang playboy. Begitu pula dengan Mang Iyan. Pacar mereka banyak di mana-mana. Hampir di setiap kampung pasti ada. Aku sering diajak boncengan motor oleh Aa Zaenal dan Mang Iyan ke rumah Aa Zaenal di Cibatok. Betapa senangnya hatiku diapit di tengah-tengah dua orang pemuda keren bertelanjang dada. Karena jarak antara Cibungbulang dengan Cibatok tidak seberapa jauh. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Aa Zaenal erat. Kepalaku kusandarkan di punggungnya yang kuning mulus. Sementara di belakangku, dada Mang Iyan merapat dengan punggungku. Wah, betapa senangnya hatiku! Sepertinya benih gay dalam diriku memang sudah muncul sejak saat aku masih kecil.
Aku pernah beberapa kali membelai-belai tubuh mereka. Lucunya perbuatanku tersebut dianggap sebagai candaan mengelitiki sekujur tubuh mereka. Hingga terkadang dua bersahabat itu menarik kausku dan melakukan hal yang sama terhadapku. Terang saja akupun kegelian dibuatnya.
"Gih, geli Gih!" Tubuh Aa Zaenal menggelinjang kegelian saat aku meraba-raba puting dadanya.
"Sini sekarang giliran kamu!" Aa Zaenal menangkapku dan menyingkap kausku ke atas.
Dibelai-belainya dadaku yang masih terlalu polos.
"Wah, kamu belum jadi laki-laki, nih! Nanti kalau kamu sudah besar baru kamu punya dada kaya Aa!" Aa Zaenal tertawa cekikikan.
"Ini donk, baru jantan!" Mang Iyan memamerkan otot-otot tangannya.
"Ya, aku sangat berkeinginan memiliki tubuh seindah mereka. Suatu saat nanti pasti aku bisa memilikinya!" Ikrarku dalam hati.
Sayangnya kebersamaan kami hanya berlangsung selama satu tahun. Mang Iyan dan para sahabatnya yang sering bertandang ke rumah telah lulus sekolah. Mang Iyan kembali pulang ke rumahnya di Bogor. Dan di saat yang bersamaan, penghuni baru rumah kami berganti menjadi Apih Hada, kakekku yang sering berkunjung setiap satu minggu sekali. Ternyata selama setahun terakhir kakekku telah pulang dari Padang dan tinggal menetap bersama istri barunya di daerah Hambaro, sebuah kampung terpencil sangat jauh dari Leuwiliang. Untuk bisa mencapai ke sana kita bisa menaiki oplet dari Pasar Leuwiliang. Aku pernah beberapa kali diajak ke sana oleh kakek menemui nenek baruku yang akrab kusapa dengan panggilan Umi Uun. Beliau sangat baik kepadaku meskipun aku bukan cucu kandungnya.
Pada suatu malam Apih Hada datang ke rumah kami sambil berteriak-teriak lantang.
"Iis! Iis! Pokoknya kamu harus melunasi hutang-hutangku dan memberi jaminan kepada Warga Saluyu!" Teriak Apih Hada menggedor-gedor pintu rumah kami.
Kemarin siang Apih Hada memang datang menemui mama untuk menandatangani sebuah surat perjanjian utang-piutang yang diberikan oleh Warga Saluyu, sebuah badan usaha yang memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga yang relatif besar, semacam lintah darat atau tengkulak. Sebenarnya mama tidak berkeberatan untuk membayarkan cicilan utang kakek kepada Warga Saluyu tersebut. Hanya saja mama tidak berkenan untuk menandatangani surat perjanjian tersebut. Yang mana isi dari surat itu menyatakan bahwa sang pemberi jaminan (yaitu mama) berkenan menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya kepada Warga Saluyu sepenuhnya tanpa unsur paksaan dan lain sebagainya apabila Apih Hada tidak mampu melunasi sangkutannya dalam tempo waktu yang telah ditentukan.
Mama bukan anak yang tak berbakti kepada orang tua. Justru menurutku mama adalah anak yang sangat berbakti kepada keluarga, tidak hanya kepada orang tuanya saja. Betapa banyak pengorbanan yang telah dilakukan oleh mama untuk adik-adiknya.
Bulan lalu, Mang Bagas pamanku, adik mama nomor empat, datang memelas kepada mama meminta untuk didaftarkan masuk AKABRI.
"Teh, Bagas rek asup tentara, pang modalan atuh!" (Kak, Bagas mau masuk tentara, tolong modali donk!) Pintanya kala itu.
"Insya Allah, engke ku Teteh dibelaan! Sabaraha kira-kira perluna?" (Insya Allah, nanti sama Teteh dibelakan! Berapa kira-kira perlunya?) Tanya mama penuh antusias.
"Apan Bagas teh kudu periksa gigi, periksa mata, cek kasehatan jeung lain-lain sagala rupa, perkiraan beakna sajutaan!" (Kan Bagas itu harus periksa gigi, periksa mata, cek kesehatan dan lain-lain segala rupa, perkiraan habisnya sejutaan!) Jawab Mang Bagas enteng menyebutkan nominal yang diperlukannya.
"Loba amat Gas?" (Banyak banget Gas?) Tukas mama tak percaya.
Uang satu juta rupiah kala itu nilainya sangatlah besar setara dengan uang sepuluh juta rupiah di masa sekarang. Perkiraan ibuku mungkin Mang Bagas hanya memerlukan Rp300.000,00 saja mengingat banyak anggota keluarga besar kami yang berprofesi sebagai tentara. Jadi mama sudah sangat hafal berapa biaya yang diperlukan sebenarnya. Hanya saja mama tidak ingin ribut dengan adik laki-lakinya itu.
"Emang sakitu nu diperlukeunnana!" (Memang segitu yang diperlukannya!) Ucap Mang Bagas meyakinkan mama.
Meski beliau memiliki modal secara fisik ditambah lagi banyak keluarga kami yang telah menjadi ABRI, namun Mang Bagas tidak memiliki modal secara finansial untuk biaya pendaftaran masuk AKABRI. Kepada mamalah beliau meminta pertolongan sebagai kakak tertuanya. Mang Bagas sampai mengiba kepada mama agar mama berkenan memperjuangkannya masuk AKABRI. Bahkan Mang Bagas rela mencucikan celana dalam mama bekas haid sekalipun agar hati mama tersentuh mengabulkan permintaannya.
"Kadieukeun cangcut kotor Teteh kabeh! Ku Bagas rek dipangnyeuseuhkeun, urut mens oge kajeun!" (Sinikan cangcut kotor Kakak semuanya! Sama Bagas mau dicucikan, bekas mens juga tidak apa-apa!) Ucapnya mencari simpati.
"Ulah Gas, ngewa!" (Jangan Gas, gak pantas!) Cegah mama melarang adiknya.
"Ah, teu kunanaon! Mumpung Bagas keur nyeuseuh!" (Ah, gak apa-apa! Mumpung Bagas lagi nyuci!) Mang Bagas berkeras hati.
Betapa Mang Bagas telah merendahkan harga dirinya sebagai kaum lelaki. Jika aku menjadi dia, aku tidak akan sampai melakukan perbuatan tersebut. Kesannya terlalu hina meski itu perbuatan baik. Lantas mamapun berhasil melobi papa agar papa mencairkan sejumlah dana untuk membantu Mang Bagas masuk AKABRI sesuai yang diinginkannya.
Tidak hanya itu saja, dalam bulan yang sama mama mengirim sejumlah uang melalui wesel untuk mendanai keluarga Bibi Rida yang ingin pulang ke Tanah Jawa. Kabarnya Bibi Rida dan Mang Dicky suaminya bermaksud mendaftar transmigrasi ke Aceh melalui kantor Departemen Transmigrasi yang terdapat di kota kami. Tetapi mereka kekurangan dana transportasi dan bekal persiapan mereka untuk di sana. Mama yang ingat akan jasa Bibi Rida yang pernah mengasuh dan merawatku ketika di Riau selama lebih dari setahun lamanya, tidak bisa berdiam diri membiarkan adiknya yang nomor dua tersebut berada dalam kesulitan.
Belum lagi mama juga tengah memperjuangkan menarik kembali adik bungsunya yang dulu dititipkan oleh Apih Hada setahun terakhir di panti asuhan, karena Apih Hada tidak ingin mengajak Mang Rahmat, adik bungsu mama itu untuk tinggal bersamanya dengan istri barunya. Berhubung saat ini mama merasa telah hidup berkecukupan bersama papa yang sangat kaya raya, mama merasa berkewajiban untuk menafkahi Mang Rahmat dan mengajaknya tinggal bersama kami. Karena itu adalah amanat mendiang nenek di Riau dulu sebelum meninggal dunia.
"Iis bukannya gak mau membayarkan utang-utang Bapak ke Warga Saluyu. Tapi Iis cuma nggak mau menandatangani surat itu aja Pak. Iis merasa keberatan dengan isinya dan malu kepada Pak Joko. Insya Allah, utang-utang Bapak akan Iis bayarkan setiap bulan. Bapak yang sabar, ya! Soalnya bulan kemarin Iis baru habis bantu Bagas masuk AKABRI, kirim wesel ke Rida buat biaya pulang ke Jawa dan daftar transmigrasi ke Aceh, terus Iis juga mau ngambil Rahmat di panti asuhan. Nanti Iis akan bicara pelan-pelan sama Pak Joko supaya dia bisa nolongin Bapak," Kata mama dengan teramat hati-hati karena Apih Hada orangnya mudah sekali tersinggung.
"Sombong kamu, Iis! Berani betul kamu berkata seperti itu padaku! Aku ini bapakmu! Kamu tidak akan lahir kalau tidak ada aku! Sekarang juga cepat kamu tandatangani surat perjanjian ini!" Ujar Apih Hada berang.
BRAK!
Ditaruhnya lembaran kertas surat perjanjian tersebut sambil menggebrak meja.
"Maaf Pak, Iis tidak mau gegabah melakukannya!" Mama merasa was-was.
Dalam hitungan detik wajah Apih Hada berubah beringas di hadapan kami. Ditendangnya kaki meja hingga vas bunga di atasnya terjatuh ke lantai dan pecah. Tangannya berusaha menyambar mama untuk memukulnya. Tak pernah kusangka kakekku memiliki watak yang sangat bengis seperti itu. Buru-buru mama menarikku masuk ke dalam kamar dan mengunci diri sebelum Apih Hada berhasil menangkapnya.
"Kurangajar kamu Iis! Anak durhaka kamu! Terkutuk kamu Iis, cepat keluar! Buka pintunya, atau jika tidak, pintu kamarmu ini akan kudobrak!" Caci-maki Apih Hada dari mulutnya membuatku ketakutan.
Apih Hada bila sedang marah lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia ketimbang Bahasa Sunda yang sering kami pakai sehari-hari.
"Ma, Apih Hada kunaon Ma?" (Ma, Apih Hada kenapa Ma?) Tanyaku ketakutan.
Tubuhku merinding dipenuhi keringat dingin bercucuran. Seakan-akan hidupku berubah menjadi horror dan tengah melanda mempertaruhkan nyawaku di dalamnya.
"Sst, cicingnya! Apih Hada nuju aya masalah!" (Sst, diam ya! Apih Hada lagi ada masalah!) Kata mama menenangkanku.
"Maafkan Iis, Pak!" Mama menahan pintu dengan meja rias agar Apih Hada tidak bisa mendobraknya.
"Pokoknya sampai kapanpun kamu akan kupaksa untuk menandatangani surat ini!" Gertak kakekku lagi dengan sangat murka.
Tak lama kemudian terdengar suara-suara lampu dipecahkan. Bu Munah sepupu mama yang tinggal di rumah sebelah keluar bersama suaminya.
"Aya naon Mang?" (Ada apa Paman?) Tanya Bu Munah kepada Apih Hada.
"Saya sewot sama si Iis! Mentang-mentang sudah kaya, dia lupa kacang sama kulitnya!" Solot Apih Hada beringas.
"Istighfar Mang! Sing sabar! Semuanya bisa dibicarakan baik-baik!" Tegur suami Bu Munah mencoba menenangkannya.
"Aaargh... Batas kesabaran saya sudah habis! Andai saya masih tentara, saya tembak mati dia sama anaknya!" Ucap Apih Hada kalap.
"Astagfirullahaladzim!" Bu Munah dan suaminya beristighfar mendengar ucapan Apih Hada barusan.
Tak lama Apih Hada pun keluar membanting pintu pagar. Setelah situasi dirasa aman, sekitar satu jam kemudian tepat pukul 11 malam mama menuntunku keluar meninggalkan kamar, mengunci rumah dan kami berjalan mengendap-endap menuju jalan raya. Mama sengaja menutupi kepalaku dengan kupluk sweater yang kupakai. Khawatir kalau Apih Hada masih berada di jalan raya dan menangkap kami tiba-tiba. Kami telusuri tepian jalan yang dirasa sangat ramai agar kami selamat dari Apih Hada yang berniat membunuh kami.
"Ini bukan pertama kalinya kakekmu ingin membunuh Mama, Gih!" Mama berkata lirih.
Aku hanya tercenung memikirkan perkataan mama. Mengapa Apih Hada begitu kejam dan sadis?
"Kita pindah ke Bogor ya, sayang!" Mama menyetop sebuah angkot yang kebetulan melintas setelah kami menyeberang jalan.
Segera kami naiki angkot yang telah dihentikan mama. Dalam heningnya malam dan udara yang sangat dingin menusuk tubuh, kami duduk berpegangan tangan di sudut belakang angkot. Mama menangis menahan luka di hatinya yang tak terperi. Tak dihiraukan orang-orang di dalam angkot yang memandang ke arah kami. Aku hanya dapat terdiam menyandarkan kepalaku di pangkuannya. Aku sangat takut.
:::::::Pasti Kusambung Lagi!:::::::
mau dibunuh
yeeee.. bogooor..
@angga_rafael2
@shishunki
@AkhmadZo
Selamat menikmati
dia yg punya utang ngapa orang yg direpotin? ngamuk2 pula! gak tau diri!!! sodara kayak gitu emang dimana-mana ada... shit! #gigitesbatu