It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@callme_DIAZ
@ramadhani_rizky
@hananta
@mustaja84465148
@haha5
@waisamru
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@YANS FILAN
@beepe
@MikeAurellio
@Shishunki
@3ll0
@agova
@Gabriel_Valiant
@leviostorm
@kimo_chie
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@just_Pj
@Dhika_smg
@arieat
@boljugg
@siapacoba
@Edmun_shreek
@The_jack19
@WYATB
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@Cowoq_Calm
@eswetod
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@eizanki
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
@Needu
@andi_andee
@cloudsquirrel
@Black_G
@Daviano
@Adityaa_okk
@lulu_75
@Fours
SEPANJANG HIDUPKU #20
Bogor, Desember 2001
BRUGH
“Udah gue bilang kan, kemampuan kalian nggak seimbang. Lu masih belum menyerah juga?” Anton berhasil menyokong tubuhku sebelum kepalaku benar-benar membentur lantai beton di lapangan. Bila tidak, bukan hanya gegar otak yang mungkin kualami tapi juga kepalaku bisa retak.
Aku hanya tersenyum di pangkuan Anton, “Gue ingat kata lu kemaren Ton. Berjuang sampai titik darah penghabisan!”
Baru kusadari kekuatanku memang belum pantas menyeimbangi kemampuan bela diri Ryan. Dan lagi waktu pertandingan ini terlalu cepat. Sebenarnya waktu latihanku masih kurang sebulan. Berhubung aku dan Ryan sama-sama tidak sabar untuk segera bertanding, maka pertandingan pun dipercepat. Dan inilah kemampuanku.
“Ugie… Ugie… ampun Gie!” Ryan berteriak histeris namun seakan sedang mengolokku.
“Gue nggak akan ngampunin elu! Gue nggak akan pernah maafin elu! Lebih baik lu mati atau menjauh dari gue, sebelum gue bikin lu menyesal seumur hidup!” Ary menghajar Ryan bertubi-tubi. Ryan sama sekali tak berkutik melawannya. Walau Ary yang menghantamnya dia malah meminta ampun kepadaku.
DUAK! DUAK!
Dengkul Ary terus mendepak perut Ryan beberapa kali.
“Udah Ry, cukup jangan diterusin lagi! Gue masih pengen ngelawan dia,” langkahku tertatih-tatih pincang sebelah.
Kuulurkan tanganku pada Ryan, “Ayo, kita tanding lagi! Bantai gue semampu lu sampai gue mampus binasa!”
“Gie!” Ary menyeretku menjauh dari si pengacau itu. Ah, bukan! Menurutnya akulah yang pengacau.
“Bangsat lu, Gie! Lu penghancur kebahagiaan gue! Lu tukang rebut kebahagiaan yang gue impikan! Elu perusak hubungan gue sama Ary!” Ryan menggeletis mencoba menyerangku kembali.
DUAK!
Tubuh Ary berputar 90° memberikan tendangan karate ke belakang tepat mengenai tengkuk Ryan hingga ia jatuh membungkuk. “Berani lu nyerang bokin gue lagi, tangan gue sendiri yang akan bikin lu mampus!” Gertak Ary dengan gigi bergemeletuk.
“Mau sampai berapa cowok yang lu dapat? Kurang puas lu macarin adek-adek kelas di SMP lu dulu? Lu ancam mereka supaya mereka mau macarin elu? Sekarang lu meminta-minta sama Ary supaya dia ninggalin gue? Gue kasian sama lu, Ryan. Ternyata hidup lu itu miskin cinta!” cecarku membuat Ary dan Anton terkesima. Mereka tidak menyangka kalau aku mengetahui semua keburukan Ryan.
Berulang kali aku mencoba melepaskan pegangan Ary di tanganku, cengkeramannya terlalu kuat seakan mengikat. Anton turut membantu Ary memapahku membawaku menjauh dari Ryan. Masih dalam keadaan bersimpuh kulihat Ryan memandangi kepergian kami nanar.
Mama sangat kaget melihatku diantar oleh Ary dan Anton dalam keadaan berantakan. Tubuhku dipenuhi memar biru lebam. “Kunaon ieu teh?” (Kenapa ini nih?)
“Gelut lawan preman, Ma!” kataku berbohong.
#Gelut : berantem.
“Masya Allah! Ngapain pake gelut segala?” Mama geleng-geleng kepala meletakkan sapu ijuk yang dipegangnya. “Bawa ke kamarnya, Ry!”
Ary dan Anton merebahkan tubuhku di pembaringan. Anton duduk menemaniku di tepi ranjang sementara Ary melengos ke dapur menemui mama.
“Kamu dipalak sama preman?” Mama datang membawa beras kencur yang telah dihaluskan. Di belakangnya Ary membawa sebaskom air dingin dan kompresan.
Aku diam tak menjawab. Aku tak ingin menambah dosa dengan membuat satu kebohongan lagi. Bukankah manusia itu senantiasa menutupi suatu kebohongan dengan kebohongan lainnya? Namun tidak demikian denganku. Setiap kali aku berkata bohong, maka aku akan mengungkapkan kebenarannya setelah kebohongan itu terucap di bibirku. Hanya saja kebenaran yang kuungkapkan itu kusampaikan dalam hati saja agar malaikat tidak menambah catatan dosa yang kuperbuat.
“Adeeuh…”
“Eh, diam! Jangan meringis! Jerenges amat sih? Beras kencur ini berkhasiat supaya luka memar kamu tidak membengkak!” Mama menempelkan cuilan-cuilan beras kencur halus ke sekujur tubuhku yang lebam.
“Hebat, anak Mama bisa gelut! Terakhir kali kamu gelut itu kapan ya? Kalau tidak salah waktu kamu kelas 5 SD sama si Jefri kan?” mama mengingat-ingat.
“Emang waktu SD Ugie gelut karena apa Tante?” kulik Anton ingin tahu.
“Entahlah. Memperebutkan si Dewi mungkin!” kata mama meminta Ary untuk melanjutkan pekerjaan yang sedang dilakukannya.
Aku jadi teringat dulu terakhir kali aku berkelahi memang dengan Jefri saat aku kelas 5 SD. Aku berkelahi dengannya karena jijik melihatnya yang terus menciumi sekujur tubuh Erfan, seperti anjing penjilat. Awalnya aku hanya bergumam 'najis' tak kusangka ternyata Jefri mendengar celetukanku itu, dan mau tak mau para pendekar dunia persilatan pun keluar dari persemediannya. Haha...
“Mama mau masak dulu buat makan malam!”
“Aa kenapa?” Dyah adikku datang menghampiri.
“Kok badannya pada biru gitu? Habis digebukin ya? Sama siapa? Aa enggak habis maling kan?” serangnya bertubi-tubi dengan gayanya yang kepo.
Adikku itu walau cantik cerewetnya minta ampun. Dia tidak akan berhenti bertanya sebelum ia puas mendapatkan jawaban yang sedang dicarinya. Di antara semua anak mama, Dyah mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa. Mungkin karena ia satu-satunya anak perempuan yang mama miliki dan dari dulu sebelum kelahiranku dan Aa Fariz kakakku, mama memang sudah mendambakan lahirnya seorang anak perempuan. Sayangnya justru kelakuan anak perempuan mama yang satu ini sangat tomboy. Meski mama sering menjahitkan gaun istimewa untuknya, Dyah tetap tidak suka memakainya. Dyah lebih memilih hanya memakai singlet dan celana dalam daripada harus memakai sebuah gaun. Tak hanya itu, setiap kali mama menyuruhnya tidur siang di kamar dan melarangnya pergi bermain, Dyah akan nekad memanjat pagar rumah kami yang tingginya mencapai 1,5 meter. Mama memang terbiasa menggembok pintu pagar pada jam tidur siang di rumah.
“Aa kamu memang habis maling!” jawab Ary mencandai Dyah. “Kamu habis maling hatiku!” desisnya di telingaku.
“Sialan lu!” tonjokku di dadanya.
“Emangnya Aa habis maling apa? Bukan jemuran tetangga kan?” mata Dyah mengerjap-ngerjap.
“Anak kecil sana deh pergi, bantuin Mama masak tuh di dapur!” usirku pada Dyah.
Dyah pun berbalik meninggalkan kamar, “Ma, Aa habis maling jemuran tetangga katanya!” teriak Dyah lantang mencari mama.
Anton dan Ary tertawa cekikikan membuatku semakin kesal.
"Ary, sebaiknya lu pulang! Biar Anton aja yang ngurusin gue di sini!" Kuraih kain pengompres di tangannya.
"Kok lu ngusir gue?" Mata Ary terbelalak heran.
"Gue kan udah kalah, Ry! Mulai sekarang lu udah bukan cowok gue lagi!"
Dipeganginya kedua bahuku erat, "Gue gak peduli sama pertandingan kalian berdua! Buat gue, lu tetap pacar gue!"
Aku meratap, "Ry, cowok sejati akan selalu memegang teguh janjinya! Gue ikhlas menerima kekalahan gue. Mulai sekarang lu udah bukan milik gue lagi. Jadi, pergilah!"
"Lu ngusir gue?" Mata Ary menghunus tajam.
"Pergi!" Kuulangi perintahku.
Anton berdeham.
"Gue nggak akan pergi!"
Hampir saja kulemparkan segala yang ada di dekatku ke arah Ary.
"Gie, Gie, sabar Gie!" Cegah Anton menenangkanku.
"Setelah perpisahan kita hari ini, lu jalani hidup elu bersama Ryan. Dan gue akan menjalani hidup gue bersama Marissa!" Kutelungkupkan wajahku tergugu.
"Marissa? Siapa itu Marissa? Lu selingkuh dari gua ya?" Tangan Ary mencekal kausku.
Kupandangi Anton yang tampak gelagapan.
"Ry, ada baiknya lu pulang dulu ya! Mungkin si Ugie pengen menenangkan pikiran! Lu kudu sabar ngadepin dia ya!" Anton menarik Ary keluar dari kamarku.
"Tapi Ton, gue kudu tahu ngapain aja dia selama ini?" Ary mencoba melepaskan pegangan Anton.
Sekembalinya Anton dari luar, pandangannya berubah muram penuh perasaan bersalah.
"Sorry ya Gie, gue lupa cerita ke dia kalo elu sekarang punya pacar cewek. Belakangan gue emang jarang ketemu sama dia, makanya jadi lupa buat nyampein amanah dari elu. Sorry banget ya Gie, gue jadi ngerasa bersalah sama kalian!"
"Gak apa-apa Nton, mungkin ini yang terbaik buat kami. Gue gak mau terjebak dalam 2 perasaan sekaligus. Mulai hari ini gue mau jadi cowok tegas!" Kataku setenang mungkin.
"Apapun yang elu lakuin, gue akan selalu dukung!"
"I love you, Brother!" Kurengkuh pinggang ramping Anton teramat kuat.
"Gue nggak bisa ngebayangin kalo seandainya tadi nggak ada lu, mungkin saat ini nyawa gue udah meregang!"
"Waktu gue lihat elu dibanting si Ryan tadi, gue udah takut bakal kehilangan elu. Gue gak nyangka kalo si Ryan bakal ngeekspos kemampuan dia segede itu!"
"Patut gue acungi jempol kemampuan bela diri si Ryan!" Timpalku masih menyandarkan kepalaku di dada Anton.
"Maafin gue Ary, gue gak bisa mempertahankan cinta kita. Gue harus komitmen sama janji yang udah gue buat sama si Ryan. Walaupun jauh di lubuk hati gue gak rela kehilangan elu," Risauku dalam hati.
"Gie, benar ya, kamu habis maling jemuran tetangga?" Mama muncul sambil membawa sutil yang sedang dipakainya memasak.
"Hadeuh... Hadeuh... DYAAAAAAH!" Teriakku memanggil adikku.
"Apa A? Dyah kan nggak ikutan maling," katanya dengan mimik yang polos.
♠♧♠
Susah juga berjalan dalam keadaan pincang. Walau kondisiku belum terlalu pulih, kupaksakan diri untuk berangkat ke sekolah. Minggu depan sudah ulangan semester, aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku untuk berleha-leha di rumah. Mama sempat menyuruhku untuk naik becak ke sekolah, namun aku menolaknya secara halus. Aku bukan anak manja yang selalu meminta perhatian lebih dari mamaku. Lagipula jalan yang kutempuh menuju sekolahku sangat terjal, tanjakannya terlalu tinggi dan tak mungkin mampu untuk dilalui becak. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan kaki saja sambil melatih agar kakiku cepat pulih.
Tepat saat aku memasuki Gang Kayu Manis yang biasa kulewati di sebelah lapangan Lanbau, langkahku terhenti oleh bunyi klakson sebuah motor. Sudah 2 bulan ini aku bertemu dengannya. Pengemudi motor misterius yang tidak pernah kuketahui siapa namanya. Hanya satu yang kuketahui tentangnya, dia juga satu sekolah denganku di SMUN 5. Sayangnya aku tak pernah berhasil menangkap wajahnya. Kepalanya tertutup helm rapat berkaca gelap. Setiap kali berpapasan dengannya, hanya dengan sebuah isyarat yang diberikannya ia memintaku untuk naik ke boncengannya. Dan seperti terhipnotis oleh tampangnya yang misterius keren akupun menurut saja dengan isyarat yang diberikan olehnya. Tak sekalipun kami pernah saling berbicara. Aku hanya dapat berpegangan erat di pinggangnya karena ia melaju sangat cepat. Tidak sampai 5 menit kami pun tiba di halaman parkir sekolah. Aku turun dari motornya, dan sosoknya segera menghilang begitu sekerumunan orang datang menghampirinya. Seolah Tuhan tak pernah mengizinkanku untuk mengenal siapa dia sebenarnya. Aku hanya dapat menulisnya di buku agendaku dengan nama 'Pembalap Misterius'.
"Woy Su, kenapa kaki lu?" Panggil Damayanti membuyarkan lamunanku.
"Biasa jagoan!" Kataku sok aksi.
"Tuh Zapra! Cowok kaya gitu tuh, demenan elu!" Damayanti menunjuk kening seorang temannya.
Gadis yang dipanggilnya hanya tersenyum santai berkipas-kipas menggunakan kipas plastik bergambar Winnie the Pooh.
"Dada, kenapa si Zahra lu panggil Zapra?" Kataku menggodanya.
"Susu, lu pikir si Zahra ini hantu gaul yang ada di novelnya Hilman Hariwijaya? No way! Enggak banget! Lihat dong dandanannya nyentrik gini, mending gue panggil Zapra sekalian!" Damayanti bersungut usil.
Dada dan Susu. Begitulah aku dan Damayanti saling mengakrabkan diri. Dia termasuk perempuan paling gaul di sekolah. Gengnya beranggota sangat banyak, mencapai lebih dari 40 orang. Belum termasuk anggota di luar sekolah kami. Mereka menamakan dirinya sebagai Genk Fivers 'n de Gaulz .
"Oke deh, Dada. Gue cabut dulu ke kelas ya, see you!" Kutinggalkan dia dan genk slengeannya.
"Bye Susu!" Damayanti melambaikan tangannya.
Kulirik Zahra yang tersenyum-senyum kepadaku. Penampilannya berjilbab, tapi sangat junkiest. Lengan kemeja seragamnya digulung mencapai siku, rok panjangnya sengaja dibuat menggantung 3/4 di atas mata kaki dengan belahan di tengah-tengahnya. Kancing kemejanya pun sengaja dibiarkan terbuka di bagian teratas seolah ingin memamerkan 'ini lho bra yang gue pake, bagus enggak?'
"Hadeuh, cewek ini niat berjilbab nggak sih?"
"Eh Gih, Gih, tunggu dong!" Zahra menahan langkahku.
Dikha, Easton, dan beberapa teman-teman genknya yang lain tertawa-tawa melihat Zahra mengejar-ngejarku. Entah apa yang lucu.
"Gih, lu mau nggak ngajarin gue Bahasa Jepang? Berapapun biayanya gue mau dong belajar sama elu. Please ya, lu mau kan jadi guru les privat gue?" Katanya memelas.
"Wah, lumayan nih dapat pekerjaan sampingan, buat nambah uang jajan!" Pikirku.
"Boleh. Tapi di mana lesnya?" Kataku mengabulkan permintaannya.
"Di sekolah aja, seminggu 3 kali bisa? Gue pusing kagak ngerti-ngerti diajarin sama Bu Euis!" Zahra berkipas-kipas sambil menggaruk ketiaknya.
"Oke deh, mau hari apa jadwalnya?"
"Terserah elu aja deh, hari apa aja gue ngikut sama keputusan elu. Terus elu mau berapa bayarannya?"
"Tiga ratus ribu, lu keberatan nggak?" Tawarku.
"Deal. Jam berapa belajarnya?" Zahra tak menego.
"Mulai besok, satu jam sebelum shalat dzuhur!" Tegasku.
"Oke!" Sahutnya riang. Kemudian terdengar ia melonjak mengatakan 'YES' begitu aku berbalik menuju kelasku. Sempat kulihat ia bertos-ria dengan teman-teman genknya.
"Sayang, kakimu kenapa?" Marissa begitu mengkhawatirkan keadaanku.
Kemarin aku sempat tidak masuk sekolah karena rasa sakit di sekujur tubuhku. Malam harinya Marissa langsung meneleponku menanyakan mengapa aku tidak berangkat sekolah. Setelah kujawab sakit badan, Marissa mulai terdengar cemas. Ia begitu mempedulikan keadaanku.
"Yah, nyobain adu tanding lawan anak yang jago silat di RW-ku!"
"Buat apa? Kamu mau jadi jagoan?"
"Yah nyobain aja, aku ini bisa bela diri apa enggak. Lumayan kan, siapa tahu aku bisa jagain kamu kalau ada orang yang berniat gangguin kamu," ucapku manis.
"Ih, kamu romantis banget sih sayang, jadi makin cinta deh sama kamu!" Marissa menggamit lenganku manja.
"Woy, pasangan baru. Jadian enggak bilang-bilang, mau maen rahasia-rahasiaan ya?" Panggil Kang Triko keluar dari kelasnya diikuti oleh Teh Ocha pacarnya.
"Buat apa cerita, Trik? Kita kan bukan seleb!" Kilahku menggaruk kepala.
"Ya enggak gitu sih, asyik kan kalo kita bisa ngedate bareng?" Himbau Kang Triko membuat wajahku merona.
"Kencan bareng? Kayanya seru tuh!" Marissa sangat antusias mendengarnya.
"Nah kan, cewek lu aja setuju!" Kang Triko semakin bersemangat.
"Ya udah, mumpung baru aja gajian, entar hari Minggu kita nongkrong di AW yuk!" Aku mengalah.
"Cie, enak nih punya teman yang udah kerja. Traktir ya?" Kang Triko cengengesan.
"Yoa, beres deh!" Sahutku pendek.
"Eh, ngomong-ngomong muka lu kenapa tuh? Kaya bonyok gitu. Kaki lu juga kelihatan pincang," Kang Triko mengamati sekujur tubuhku.
"Biasa cuy, gini nih keturunan jagoan Jampang Surade," gantian aku yang cengengesan.
"Habis berapa orang yang elu gibas?" Tanyanya lagi.
"Haha... Sepuluh paling!" Candaku tertawa berderai.
"Wah, gila lu. Hebat juga lu ya, kaya jagoan di film-film India!" Puji Kang Triko berdecak.
"Kita cabut dulu ya. Ingat lho hari Minggu nanti, lu telepon gue biar gue enggak lupa!" Kang Triko pun berlalu digandeng Teh Ocha.
Teman-teman sekelasku terlihat heboh melihat keadaanku namun kutanggapi rasa penasaran mereka hanya dengan senyuman.
"Sayang, aku boleh nggak maen ke rumah kamu, minta diajarin bikin pempek sama mama kamu?" Marissa mengeluarkan bekal makan siang yang dibawanya. Lalu ia menyuapiku sebelum jam pelajaran dimulai.
"Ngapain minta diajarin sama mamaku? Aku kan juga bisa!" Aku memamerkan diri.
Mata Marissa terbelalak tak percaya,"Serius sayang? Kalo gitu aku diajarin kamu aja ya! Kamu mau kan ngajarin aku bikin pempek?" Pintanya penuh harap.
"Apa yang pernah kujual waktu SMP, aku juga bisa membikinnya. Mamaku enggak cuma sekadar bikin buat kujual, tapi juga sambil ngajarin aku supaya aku punya jiwa wirausaha. Siapa tahu suatu saat nanti aku buka rumah makan atau waralaba kecil-kecilan," lanjutku lagi.
"Wah, kamu keren banget sih. Beneran ya, kamu nanti kapan-kapan ngajarin aku!" Marissa semakin lengket kepadaku.
Sebenarnya aku sengaja mencegahnya untuk datang ke rumah. Pasalnya aku tidak pernah bercerita kepada mama kalau aku sudah mempunyai pacar. Aku takut mama melarangku berpacaran, mengingat biaya sekolahku saja kudapat dari beasiswa pemberian Bu Sjahandari dan bantuan Pak Pardi yang membantu meringankanku dalam pembayaran DSP sekolahku. Mungkin mama akan marah besar bila mengetahuiku sudah memiliki pacar.
"Nih, aku buatin cumi pedas manis spesial buat kamu!" Marissa kembali menyuapiku.
"Keseringan gaul sama si Sachi bikin kamu ngikutin budayanya dia ya? Makan aja mesti pake sumpit!" Keluh Marissa yang gagal mengambilkan nasi untukku.
"Haha... Begini nih, cara megang yang benar!" Kuajari Marissa cara memegang sumpit sesungguhnya.
Kulihat di luar kelas Kang Adam memberi isyarat padaku agar anggota LIMIT nanti sore kumpul sepulang sekolah.
"Eh Tan, lu tahu anak yang namanya Mathofany nggak? Dia anak kelas mana sih?" Kucolek Intan yang duduk di depanku.
"Maksud lu Mathofany alias si Topan ya? Dia anak kelas 1-4! Kenapa emangnya?" Intan memutar kepalanya menghadapku.
"Topan? Panggilannya Topan ya? Dia itu terdaftar di LIMIT tapi tiap kumpul dia nggak pernah nongol!"
"Entar deh Intan tanya sama Sofie, dia kan pacarnya!" Intan kembali berbalik menghadap ke depan.
"Owh, biar aja deh Tan. Entar gue minta tolong sama Makbul aja, dia anak kelas 1-4 kan?" Kumasukkan buku daftar anggota LIMIT ke dalam tasku.
"Setahu gue sih gitu. Topan itu pintar lho, dia hacker. Dia terkenal suka ngehack komputer orang, ngirim virus-virus gitu!" Informasi Intan.
"Owh, jahat banget ya dia, suka ngerusak komputer orang!" Komentarku kurang suka.
"Ya enggak jugalah! Dia justru ngirim virusnya ke komputer yang suka ngejahatin komputer orang!" Urai Intan lagi.
Aku hanya manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasannya. Satu kata yang kuucapkan setelah itu : "KEREN!"
"Aku balik ke kelasku dulu ya, bentar lagi mau masuk," pamit Marissa mengemasi box makan siangnya.
"Thanks ya, honey!" Ucapku padanya.
Tak lama selang beberapa saat bel masuk pun berbunyi nyaring.
NEEET. . . NEEET... NEEET...
"Konnichi wa!" (Selamat siang!) Bu Euis guru Bahasa Jepang masuk ke dalam kelas dengan tergopoh-gopoh.
"Konnichi wa!" Sahut seisi kelas.
Wahyu segera memimpin doa dan menyiapkan salam. Bu Euis membalik-balikkan halaman buku absen yang dibukanya.
"Coba kelas 1-7, Ibu mau tahu di sini mana yang namanya Sugih? Sudah satu semester Ibu ngajar kalian tapi Ibu belum hafal-hafal nama kalian semua," Tanya Bu Euis memandangi wajah kami satu-persatu.
"Saya Bu!" Kuacungkan telunjukku.
"Sugih-san, Nihon e itta koto ga arimasu ka," (Sugih sudah pernah pergi ke Jepang?) Tanya beliau teramat sopan. Seharusnya beliau memanggilku Sugih-kun, karena aku masih muda. Namun beliau memang terbiasa menggunakan gaya Bahasa Jepang yang formal agar terkesan resmi.
Aku sangat kaget, tidak biasanya Bu Euis bertanya menggunakan Bahasa Jepang langsung. Biasanya pola beliau mengajar hanya menyuruh kami menirukan apa yang beliau ucapkan berdasarkan text book yang kami pegang dari AOTS.
Aku menggeleng,"Iie, mada desu!" (Tidak, belum!)
"Tadashii desu ka. Uso dewa arimasen ka," (Benarkah? Tidak berbohongkah?) Bu Euis tidak mempercayai jawabanku.
"Hai, tadashii desu. Watashi wa uso ga kirai desu!" (Iya, benar. Saya benci kebohongan!) Kataku menegaskan.
"Watashi wa Nihon e itta koto ga arimasen. Itsuka asoko e ikitai to omoimasu." (Saya belum pernah pergi ke Jepang. Suatu hari nanti saya ingin pergi ke sana.)
"Shikashi Sugih-san no Nihon-go wa taihen ii desu yo!" (Tetapi Bahasa Jepang Sugih sangat bagus!) Puji Bu Euis lagi.
"Arigatou gozaimasu!" (Terima kasih!) Tandasku setelah mendengar pujian beliau.
"Iie!" (Sama-sama) Balas beliau.
Seisi kelas terperangah menyimak percakapan kami. Banyak di antara teman-temanku yang tidak mengerti.
"Kalian ngomongin apaan sih? Ada uso-usonya, lagi pada ngomongin makanan ya?" Tanya Wahyu setengah berdesis di telingaku.
"Bu Euis tuh nanya gue pernah ke Jepang apa belum, terus gue bilang belum. Tapi beliau nggak percaya!" Bisikku di telinga Wahyu.
"Oh kirain gue lagi pada ngebahas makanan. Kali aja uso yang kalian sebutin tadi itu artinya usus sapi!" Balas Wahyu terkikik.
"Uso itu artinya kebohongan!" Timpalku.
Wahyu menganggung-anggipkan kepalanya pertanda mengerti.
"Jadi begini, di antara semua murid kelas 1 dari 1-1 sampai kelas 1-8, hanya ada satu anak yang nilai hariannya sempurna. Tidak ada satupun nilai anak itu yang di bawah 100. Semua nilai tugas dan ulangan harian selalu 100. Setelah Ibu periksa di absen, ternyata anak itu bernama SUGIH!" Kata Bu Euis menjelaskan.
Semua teman memandang ke arahku dengan tatapan takjub. Ule langsung berdiri menghampiriku dan menjepit kepalaku di bawah ketiaknya.
"Heuh, pintar amat sih lu, Gie? Bagi-bagi sama gue dong otaknya!" Ujar Ule gemas.
"Oleh karena itu ulangan umum minggu depan, soal untuk Sugih akan Ibu buatkan secara khusus agar di antara kalian tidak ada yang meminta contekan pada Sugih!" Lanjut Bu Euis.
What? Soal khusus? Aku benar-benar kaget. Teman-temanku semakin terpukau padaku. Ternyata kehebohan kabar tersebut langsung cepat merebak ke seluruh penjuru sekolah. Sejak saat itu ke manapun aku melangkah, semua teman dan kakak kelasku mendadak segan kepadaku. Mereka selalu menunduk sopan bila berpapasan denganku di koridor sekolah.
"Sugih!" Sapa teman-teman dari kelas lain seraya menganggukkan kepala kemudian menunduk.
"Ugie!" Panggil teman-teman yang sangat akrab denganku diiringi senyuman mereka dan kemudian menunduk.
"Halah, berasa selebritis banget disegani semua orang!"
♪♬♪
Pada suatu sore sepulang sekolah tanpa sengaja aku melihat sosok Bang Lubis di kejauhan. Ia menghentikan motornya di pinggir jalan dan memeluk seseorang. Aku mengintainya dari jarak sepuluh meter. Aku tidak mau ia melihat kehadiranku dan seperti biasanya ia akan menggodaku, membujukku untuk melakukan macam-macam hal yang disukainya. Lama kuamati siapa orang yang sedang dipeluknya itu. Dan setelah kusadari orang yang sedang dipeluknya itu ternyata...
"Ryan?" Kulepas kacamata yang kupakai dan kugosok-gosok kedua mataku seakan tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat.
Ryan tampak murung sekali. Ia terlihat sangat tidak bergairah. Tapi Bang Lubis sangat agresif kepadanya. Ditariknya tangan Ryan untuk masuk ke rerimbunan semak belukar tepat di belakang komplek perumahannya. Di sebelah rimbunan semak belukar yang sangat lindung itu terdapat sebuah bangunan tua bekas peninggalan zaman Belanda. Orang sekampung menyebut bangunan tua itu dengan julukan KALENG KERUPUK karena bentuknya yang menyerupai kaleng biskuit Nissin yang berbentuk silinder dan biasa dipakai warga kampungku sebagai tempat penyimpanan kerupuk. Konon menurut cerita para sesepuh di kampungku bangunan tua itu sangat angker dan berbau mistis. Hampir setiap malam Jumat di sekitar bangunan tua itu muncul penampakan-penampakan aneh yang sangat menakutkan seperti kuntilanak tanpa kepala, sundel bolong dengan dadanya yang berlubang, sampai genderuo berbadan besar dan tubuhnya dipenuhi bulu. Namun alhamdulillah sepanjang hidupku tinggal di Cimanggu, aku belum pernah sekalipun melihat penampakan-penampakan itu. Faktanya berdasarkan cerita yang kudengar dari Pak Sarmiad bapaknya Indra yang sering berpatroli di wilayah bangunan tua tersebut, bangunan itu sebenarnya adalah gudang penyimpanan batang-batang jagung di perkebunan BALITBIO yang sengaja dijadikan pupuk oleh para peneliti. Hanya saja karena jarang dibuka gudang itu menjadi terlihat angker dan menyeramkan dikelilingi oleh alang-alang berbatang tinggi serta semak-semak belukar yang sangat liar.
Apa yang sedang dilakukan Bang Lubis bersama Ryan di dalam sana? Mereka sangat lama tak kunjung keluar. Hari sudah malam saat kudapati mereka keluar dari persembunyiannya. Cahaya lampu penerangan jalan membantu penglihatanku mengamati mereka lebih jeli. Bang Lubis menarik kembali resleting celananya saat ia menghampiri motornya. Sementara Ryan tampak sedang membenahi pakaiannya yang sedikit kotor dipenuhi dedaunan kering. Bang Lubis mengeluarkan selembar uang bergambar WR Supratman kepada Ryan. Ryan menerima uang itu dengan lesu. Kemudian Bang Lubis mencium kening Ryan dan segera mengemudikan Vespa kesayangannya.
"Ryan dan Bang Lubis ternyata?" Aku masih terpaku di balik persembunyianku.
Jalanan tampak sepi dan sunyi. Tak seorangpun atau kendaraan yang berlalu-lalang. Ryan berjalan dengan pandangan menelungkup. Tampak benar suasana hatinya sedang sedih. Setelah langkah Ryan cukup jauh di depanku kulanjutkan kakiku melangkah pulang ke rumah. Untung kemarin kakiku diurut oleh Pak Sarmiad, jadi sekarang kakiku sudah sembuh.
"Gie, Anton dah cerita semuanya soal hubungan lu sama Marissa. Maafin gue udah nuduh elu selingkuh waktu itu!" Ary tengah duduk di kamarku saat aku tiba di rumah.
"Gak ada yang perlu dimaafin kok!" Kataku dingin.
"Lu kok jadi kaya gini sih? Lu sekarang sinis sama gue," desak Ary mengangkat daguku.
"Gue biasa aja kok. Lu sebaiknya cepat pulang Ry, sebelum Ryan tahu kalo elu ada di sini!" Usirku padanya.
"Gue udah putusin, gue tetap milih elu, gak peduli elu kalah atau menang ngelawan si Ryan!" Ary menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
"Sst... Jangan keras-keras Ry, takut mama sama Dyah dengar!" Telunjukku mendarat di bibirnya.
"Gue nggak pernah cinta sama si Ryan! Selama ini gue cuma nganggap dia sebatas sahabat!" Terang Ary dengan tegasnya.
Aku percaya pada kata-kata yang diucapkan Ary. Akan tetapi aku tak ingin menjadi orang munafik dan egois. Aku tak ingin mengingkari janji yang telah kuucapkan kepada Ryan. Bagaimanapun janji tersebut harus tetap kutepati betapa menyakitkan sekali bagiku.
"Gie, kita tetap pacaran ya? Jangan pernah tinggalin gue! Karena cuma elu yang bisa ngebahagiain gue!" Ary mencium keningku.
"Gue kangen sama elu, Ry. Gue kangen! Tapi enggak kaya gini keadaannya!" Kupeluk tubuh Ary seakan tak pernah ingin melepasnya.
'Yang Kumau'
By Krisdayanti
Seringnya ku berpikir sampai pernah
Tak jua kutemukan jalan keluarnya
Jika memang bukan ini sudah tamatkanlah
Karena ku tak mau waktuku terbuang
Jangan memaksakan ini
Jika memang bukan ini
Karena sesuatu yang peka
Buat kita jadi masalah
Yang ku mau ada dirimu
Tapi tak begini keadaannya
Yang ku mau selalu denganmu
Jika Tuhan mau begini
Rubahlah semua jadi yang ku mau
Karena ku ingin
Semua berjalan seperti yang ku mau
Jangan memaksakan ini
Jika memang bukan yang ini
Karena sesuatu yang peka
Buat kita jadi masalah
Malam itu Ary menginap di rumahku dan memeluk erat tubuhku sepanjang malam. Hatiku benar-benar luluh tak kuasa memegang kata-kata yang sebelumnya pernah kuikrarkan.
♯♬♭♪♯
Hari masih pagi tatkala mama pulang belanja dari warung sayur Mbak Tati, tetangga kami yang menempati rumah bekas kontrakan kami dulu. Seperti biasa mama pasti membawa gosip terhangat yang biasa didengungkan oleh tukang sayur nyentrik itu.
"Gie, dengar enggak? Teman kamu si Ryan yang tinggal di Komplek TOGA RT1 itu, kabarnya tadi malam masuk rumah sakit!" Cerita mama sedikit mengejutkanku.
"Hah, yang benar Ma? Ryan sakit apa?" Aku tercengang.
"Bukan sakit Gie, tapi katanya bunuh diri!" Mama menambah keterangan.
Bukan main terkejutnya aku mendengar kabar tersebut. Baru saja tadi malam aku melihatnya meladeni nafsu binatang Bang Lubis yang bejad itu, sekarang aku mendengar berita yang sangat mengenaskan menyangkut keadaannya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ryan? Semalam aku sempat menceritakan apa yang telah kulihat kepada Ary. Dan Ary menceritakan sedikit peristiwa nahas yang pernah dialami Ryan semasa kecil. Semua yang kudengar ini benar-benar membuatku sangat shock.
Padahal rencananya hari ini aku dan Marissa akan melakukan kencan ganda bersama Kang Triko dan Teh Ocha di AW Restaurant. Terpaksa kuurungkan niatku dan kuhubungi mereka untuk mengonfirmasikan pembatalan.
"Maaf ya Trik, gue jadi nggak enak nih!" Kataku menelepon Kang Triko.
"Enggak apa-apa kok, lagian besok kita kan mau ulangan. Minggu depan juga masih bisa kan?" Terdengar suara Kang Triko renyah.
"Iya, gue janji minggu depan nggak batal lagi deh," ikrarku.
"Kalo sampe elu lupa gue tagih, deh!" Guraunya diiringi gelak tawa.
"Yoi, itu hak elu kok!" Sahutku santai.
Segera kuhubungi Marissa setelah perbincanganku dengan Kang Triko kututup.
"Iya, kamu besuk aja teman kamu itu. Apa perlu kutemani sayang?" Kata Marissa tanpa merasa kecewa padaku.
"Gak usah deh sayang, aku ditemani Ary kok! Kamu belajar saja di rumah ya!" Saranku padanya.
"Iya, hati-hati di jalan ya. Salam untuk temanmu itu. Daah sayang!" Marissa memberi kecupan mesra.
Kututup telepon bersiap-siap menemui Ary di rumahnya dan mengajaknya pergi menjenguk Ryan.
"Ry, kita harus menjenguk Ryan sekarang!" Panggilku pada Ary yang baru saja selesai mencuci motornya.
"Ogah ah, males!" Ary melengos masuk ke dalam rumah menuju kamarnya.
Kususul langkahnya. Ia melepaskan kaus yang dipakainya. Tubuhnya basah dibanjiri keringat.
"Udah mandi belum? Mandi bareng yuk!" Tanpa malu Ary pun menanggalkan celana dan sempak yang dipakainya. Memamerkan batang kejantanannya yang kian tegak setelah digosok-gosok oleh tangannya. Ary tersenyum nakal padaku. Sejurus kemudian ia menyambar handuk di rak jemuran kamarnya.
"Terangsang ya?" Matanya berkedip.
"Kagak!" Ucapku datar.
Kemudian ia menutup pintu kamar mandi dan berpura-pura mengerang seolah sedang onani.
"Ah Ugie, aaah... aaaah... aaah... " Racau Ary membuatku geregetan.
"Terus Ry, yang banyak sabunnya!" Kataku sedikit ketus.
Tak sampai sepuluh menit Ary telah keluar dari kamar mandi berlilit handuk di pinggang.
"Sayang, lu sangat memuaskan!" Ucapnya genit.
Kulemparkan pakaian yang harus dipakainya pagi ini.
"Nih, pake!" Titahku.
"Aduh, pacar gue baek sekali ya, sudah menyiapkan pakaian ganti buat gue. Coba setiap hari kaya gini!"
"Bawel lu! Pokoknya anterin gue jenguk si Ryan sekarang juga!" Sosorku padanya membantunya berpakaian.
"Aaah, enggak mau. Ary nggak mau ketemu makhluk satu itu. Kita kan udah sepakat buat ngelupain dia," Ary merengut menghentakkan kakinya ke lantai seperti anak kecil yang sedang ngambek.
"Kolokan banget sih, lu!" Kucubit pinggangnya teramat kencang.
"Adaaaw..." Ary memekik kesakitan.
"Ry, gimanapun juga seburuk-buruknya Ryan, dia tetap sahabat kita. Sahabat di masa kecil. Gue ngerasa selama ini dia punya masalah yang dia pendam seorang diri. Gue kasihan ngeliatnya, Ry!" Kucoba untuk terus membujuk Ary.
"Hati lu tuh baek banget sih? Udah dibantai habis-habisan sama dia tapi lu kagak nyimpan dendam ke dia," Ary menatapku aneh.
"Buat apa dendam? Dendam gak akan pernah menyelesaikan persoalan!" Kataku sedikit menghindar.
"Eh, ada Ugie. Rapi benar, mau pergi ke mana?" Tanya mama Ary di ruang depan.
"Kami mau membesuk Ryan di rumah sakit, Tante!" Jawabku hangat.
"Nah, bagus deh ada yang ngajakin. Dari tadi juga Tante dah nyuruh Ary supaya cepat jenguk Ryan, eh Arynya malah cuek bebek. Padahal temenan dah dari kecil juga!" Cerocos mama Ary setengah ngedumel pada anaknya yang ganteng itu.
"Ini juga dipaksa Ma, sama Ugie!" Ary melangkah gontai mengekoriku.
"Tante, kami pamit dulu ya!" Kusalami tangan mertuaku itu.
"Hati-hati di jalan ya! Awas jangan ugal-ugalan lho, Ry!" Nasihat mama Ary.
"Iya, iya. Cerewet amat sih!" Gerutu Ary jengkel.
"Itu tandanya nyokap lu sayang banget sama elu, Ry. Nyokap lu nggak mau terjadi apa-apa sama lu!" Kutepuk punggungnya yang tak henti-hentinya terus ngedumel.
"Lu sama cerewetnya dengan nyokap gue!" Tangan Ary meregang telingaku.
"Aaa..." Aku memekik pelan.
Motor pun melaju memboncengku menuju Rumah Sakit Salak tempat Ryan dirawat. Sebelum tiba di tempat tujuan kuajak Ary untuk singgah di minimarket terlebih dahulu guna membeli buah dan makanan ala kadarnya untuk Ryan. Saat aku sedang memilih-milih buah apel untuk Ryan, sempat kulihat Ary membayar belanjaannya di kasir tanpa mau menyatukannya dengan belanjaan yang kubeli.
"Kenapa gak disatuin aja sih sama belanjaan gue?" Kuraih kantung belanjaan di tangannya, kendati tangan Ary lebih sigap merebutnya kembali.
"Emang apaan sih yang lu beli? Pake rahasia-rahasiaan segala!" Selidikku sedikit curiga.
"Ada deh..." Ary bersiul-siul kecil.
"Ya udah yuk, keburu siang nih!" Kutarik tangannya ke tempat parkir.
Setibanya kami di rumah sakit, mama Ryan baru selesai menyuapi Ryan makan.
"Gimana kondisi Ryan, Tante?" Kusalami tangan mama Ryan sopan.
"Alhamdulillah sudah membaik Gie. Terima kasih sudah mau datang menjenguk. Maaf ya, Ryan jadi bikin repot kalian," mama Ryan menerima buah tangan yang kubawa.
"Enggak repot kok, Tante. Ugie sampai kaget mendengar kabar dari tetangga," kataku menghampiri Ryan yang terbaring lemah di hospital bed.
"Tante mau nebus obat dulu di apotek, kalian ngobrol aja dulu ya!" Pamit mama Ryan meninggalkan kami.
"Baik, Tante!" Sahutku pelan.
Sepeninggal mama Ryan, tatapan Ryan berubah tajam menghadapku.
"Ngapain lu ke sini? Lu mau ngetawain gue ya karena Ary lebih memilih elu daripada gue?" Ucapnya sinis.
"Oh, jadi karena itu alasan elu bunuh diri semalam? Jadi elu beneran serius megang kata-kata elu yang dulu pernah lu ucapin ke si Anton dan si Ary ya? Salut gue sama lu. Benar-benar cowok sejati lu ya. Tapi asal lu tahu, tindakan lu itu sama kaya orang yang kagak punya iman!" Cecarku bertubi-tubi padanya.
Ryan tersentak oleh perkataanku seakan pipinya baru saja ditampar olehku.
"Iman? Apa itu iman? Lu mau nyuruh gue inget sama Tuhan? Di mana Dia waktu gue mengalami tragedi pas gue kecil? Kenapa Dia nggak pernah bikin gue bahagia pas gue ngerasain yang namanya jatuh cinta? Bahkan Dia tega ngejauhin Ary dari sisi gue!" Solot Ryan dengan tatapannya yang tajam.
"Ryan, Allah itu nggak pernah tidur! Dia selalu ngedengerin doa umat-Nya yang teraniaya. Dia selalu ngabulin apa yang jadi permohonan umat-Nya selama itu masih menjadi kehendak-Nya!" Tegurku mengingatkannya. "Semua itu akan indah pada waktunya!" Imbuhku lagi mempertegas pernyataanku.
"Ngomong emang gampang, tapi realitanya semua omongan lu itu cuma nonsense!" Ucapnya ketus.
"Ryan, lu kalo ada masalah bilang dong sama kita! Kita kan udah bersahabat dari kecil, kenapa sih lu malah nyembunyiin semuanya dari kita? Banyak hal yang enggak gue ketahui soal elu semenjak persahabatan kita putus waktu kita kelas 2 SMP!" Kugenggam tangan Ryan menguatkan perasaannya yang sedang rapuh.
"Buat apa lu ngebaikin gue? Selama ini gue nggak pernah nganggap lu sebagai sahabat! Lu gak lebih dari seorang penjilat yang ngerebut orang yang gue suka dari gue kecil!" Ryan menepis tanganku kasar.
"Lu lihat kan, Gie! Gue dah yakin dia bakal gini sebelum kita ke sini! Dikasih hati mintanya jantung!" Ary mendengus sewot menunjuk wajah Ryan geram.
"Ary, lu juga mesti tenang dong! Kondisi Ryan itu lagi labil, dia lagi nggak bisa berpikir jernih. Makanya kaya gini!" Kuusap punggung Ary meredakan emosinya.
Ary menghela napas sejenak seraya memejamkan mata. Diurutnya keningnya yang terasa pening.
"Walaupun elu gak pernah nganggap gue sebagai sahabat lu, tapi gue udah anggap elu kaya saudara gue sendiri. Percayalah sama gue Ryan, gue akan selalu ada buat elu!" Kutatap wajah Ryan dalam-dalam mencoba memberinya keyakinan bahwa aku tidak main-main dengan ucapanku.
Lama Ryan membalas tatapanku dengan sangat beringas, namun pada akhirnya tatapannya melemah tak berdaya menghadapi tatapan teduhku.
"Lu pasti bingung kan kenapa gua kaya gini? Kenapa gue jadi seorang homo?" Tanyanya lemah.
Aku menggeleng menjawabnya, "Gue udah tahu semuanya kok!"
"Apa yang elo tahu soal gue? Lu gak pernah tahu kan tragedi yang pernah menimpa gue waktu gue kecil?" Kerongkongan Ryan tercekat untuk bersuara.
Aku tercenung sejenak mengingat kejadian 3,5 tahun lalu saat Ryan mengamuk di rumahku di tengah kesunyian malam.
"Ryan, gue ingat kejadian waktu kita kecil. Lu ngamuk di rumah gue, dan ngigau-ngigau soal titit, terus elu juga manggil Aki Eben 'Abang'. Gue jadi yakin apa semua itu berhubungan sama Bang... " Suaraku terhenti.
Mata Ryan melotot, kedua tangannya mencengkeram tanganku tiba-tiba.
"Dia yang udah bikin gue kaya gini! Dia yang udah bikin gue jadi sakit. Dia yang udah bikin gue gak suka sama cewek. Dia yang udah mempengaruhi gue supaya menjauh dari cewek. Dia bilang memek cewek itu nggak enak. Dia juga yang udah nyodomi lobang pantat gue!" Ryan mulai mengamuk membabi buta. Tiang selang infusnya sampai jatuh terguling akibat tendangannya yang merawak. Aku baru ingat kalau Ryan juga mengalami gangguan kejiwaan.
"Astagfirullah, Ryan, istigfar Ryan!" Kataku menahan tubuhnya dan mencoba menegakkan kembali tiang infusnya yang terjungkir.
PLAK!
Tangan Ary berhasil menapaki pipinya dan sukses membuatnya kembali tenang.
"Apa yang lu harapin dari dia, Gie? Apa? Dia gila! Dia stress! Dia psycho!" Cerca Ary berapi-api.
Dijambaknya rambut Ryan seraya menatapnya tajam,"Lu, kenapa lu nggak mampus aja sekalian? Kenapa lu nggak mati pas bunuh diri semalam? Gue benci sama lu! Gue benci!" Bentak Ary padanya membuat Ryan tak berdaya.
"Ary, Ary, udah Ary lepasin dia! Kasihan batin dia tersiksa, Ary! Apa lu gak bisa ngeliat kondisi dia yang memprihatinkan kaya gitu?" Kulerai tangan Ary dari rambut Ryan.
"Orang kaya dia gak perlu dikasihani! Selama dia masih hidup dia enggak akan pernah senang ngeliat kita berdua bahagia! Jadi mendingan dia mampus sekalian!" Ary benar-benar kalap.
Kudongakkan kepalaku menghadapnya, dengan penuh rasa kecewa aku berkata,"Gue gak nyangka orang yang gue sayang sama sekali nggak punya hati nurani! Gue gak nyangka ternyata elu lebih kejam daripada si Ryan sendiri. Coba lu bayangin kalo seandainya elu itu adalah dia! Coba lu renungin gimana rasanya kalo elu ada di posisi dia!"
"Ryan, elu yang tegar ya. Semoga Allah memberikan kesembuhan buat elu. Semoga elu bisa cepat bangkit menghadapi segala persoalan hidup elu!" Kurengkuh tubuh Ryan seerat mungkin seakan dia adalah saudaraku sendiri.
Ryan menitikkan air matanya dan sejurus kemudian ia melepaskan pelukanku hingga aku terdorong ke belakang dan nyaris jatuh terjengkang ke lantai. Untung saja Ary berhasil menopang tubuhku hingga akupun bisa bangkit berdiri kembali.
"Udah, percuma jengukin dia. Sampai kapanpun dia gak bakalan bisa berubah. Dia udah gak waras, Gie!" Ary menyeretku meninggalkan ruangan tempat di mana Ryan dirawat.
Setelah kami sampai di luar ruangan, Ary berbalik kembali menemui Ryan di dalam. Dikeluarkannya bungkusan belanjaannya yang tadi ia bawa dan enggan disatukan dengan belanjaanku.
"Oh ya, gue sampai lupa. Nih, kalo elu masih belum kenyang sama racun yang elu minum tadi malam!" Ucap Ary sangat ketus.
BRAAK!
Diletakkannya sebotol Baygon di atas meja samping ranjang Ryan. Kembali ia meraih genggaman tanganku dan berjalan meninggalkan rumah sakit. Kami sempat berpapasan dengan Sari, kakaknya Ryan, di koridor rumah sakit. Namun Ary bersikap acuh tak acuh kepada Sari seolah ia tidak melihat sosok gadis itu melintas di depan kami.
Dalam hati aku merasa pedih. Mengapa sahabatku harus menjadi korban lelaki busuk itu? Bang Lubis, mengapa kau tega menghancurkan sahabatku? Mengapa kau menyodomi Ryan ketika dia berumur 6 tahun? Mengapa kau terus merusak Ryan sepanjang hidupnya hingga menjadi gila seperti itu? Selamanya perbuatanmu ini tidak akan pernah kumaafkan, Bang Lubis! Pantas saja selama ini aku selalu ketakutan setiap kali bertemu dengan Bang Lubis, ternyata feelingku tentangnya selama ini adalah benar. Bang Lubis adalah ular yang selalu membelenggu kebahagiaan bocah-bocah lelaki sepertiku.
"Gie, ayo cepat naik!" Ary menyerahkan sebuah helm ke tanganku.
"Gue gak kuat, Ry. Gue gak kuat. Kita laporin Bang Lubis ke polisi, yuk!" Ratapku mengiba.
"Jangan bego lu! Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, punya bukti apa kita nuntut Bang Lubis ke meja hijau?" Ary menyeringai seakan sedang melecehkanku.
"Keluarga Ryan nggak mau nama baik mereka tercoreng kalau sampai membawa perkara ini ke pengadilan!" Paparnya tegas.
Aku hanya bisa terdiam tergugu mendengar ucapan Ary yang terus terngiang di telingaku.
"Ryan, maafin gue. Gue gak mampu berbuat apa-apa buat nolongin elo keluar dari semua masalah lu ini! Semoga Tuhan mau ngedengerin doa gue supaya elu cepat sembuh dan kembali pulih jadi sahabat gue seperti dulu!" Harapku dalam hati.
Every gay has their own history why should they choose to be!
Kulingkarkan tanganku di pinggang Ary menatapi jalanan yang kami lalui mengantarkan kami pulang menuju rumah.
つづく
Mengetik dengan menggunakan layar sentuh lebih lambat dibandingkan dengan tombol timbul.
Selamat membaca, berkomentar, dan klik suka ♬♪♬
♔PrinceArga♔
♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡♥
bang Lubisss!!! gimana kabarnya dia bang? ishhh pengen tak pites rasanya!!
dan.... Ary!!
sumpah gokil!!! orang habis nyoba bunuh diri eh dikasih baygon ) ) )
@Tsu_no_YanYan terakhir aku mendapat kabar dari Umi Wati via telepon, katanya warung Bang Lubis sudah bangkrut, Mbak Irma istrinya menggugat cerai lalu membawa Anggi dan Leman kedua anak mereka pulang ke Medan. Sementara Bang Lubis memulai kembali usahanya dari nol di Bekasi. Ary? menurutmu egois gak dia?
@Just_PJ waduh maaf Kang, semenjak lulus SMA dia pindah ke Eropa ikut kursus penerbangan. Sekarang sudah jadi FA tapi tidak pernah ketemu fbnya.
Ditunggu lanjutannya.
ini malah dadanya(OOT)
ary keren, berani bgt nawarin tambahan racun biar mati sekalian..,
ini malah dadanya(OOT)
ary keren, berani bgt nawarin tambahan racun biar mati sekalian..,