BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

(Cerpen) Another story of unrequited love

Salah satu cerpen yang gak disimpen di laptop karena termasuk 'berbahaya', jadi setelah dibikin langsung di post, jadi maaf kalau ada salah salah kata. Maaf juga kalo ceritanya jelek , soalnya tanpa perencanaan dulu. Selamat membaca!


Aku tidak ingat apa yang kulakukan semalam sampai harus terbangun dengan rasa sakit di bawah punggungku, dan pusing hebat di kepala.
Matahari sudah bersinar terang ketika aku terbangun, dan menyadarkanku bahwa aku tidak mengenakan sehelai kainpun.

Aku baru memakai celana dalam ketika pintu kamar – yang aku kenali sebagai kamar hotel – diketuk dua kali.

“Permisi , ada barang titi-“ . Kalimat pegawai hotel itu langsung terputus ketika melihatku hampir telanjang.

“iya ada apa?” tanyaku cuek , hanya dengan memakai celana dalam. Well , aku bukan tipe pria yang setiap minggu ke GYM untuk mengejar perut sixpack ataupun lengan yang berotot, namun aku cukup percaya diri dengan tubuh tegap tanpa lemak hasil lari setiap hari.

“Teman anda menitipkan barang, a-atau pesan lebih tepatnya.” Pegawai itu menyerahkan sebuah kartu nama.

Entah hanya perasaanku atau bukan , laki-laki muda di depanku memperhatikan tonjolan di bawah pusarku terus menerus.

“Terima kasih” jawabku ketika kartu nama itu sudah berpindah tangan. Ada nama seseorang lengkap dengan nomor telefon yang tercantum.

“Ada yang bisa dibantu lagi?” tanya pegawai di depanku.

Aku merasakan maksud lain dari kata – kata itu.

“Tidak, terima kasih.” Aku menutup pintu di depan mukanya.

Saat pusing di kepalaku sudah reda , aku mulai ingat apa yang terjadi. Aku merelakan badanku tadi malam , untuk seorang pria yang bahkan tak pernah aku kenal sebelumnya.


‘Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif , atau berada di luar service are-‘

“Ah Bullshit!”

Handphone yang tadinya ku pegang sekarang melayang ke kursi belakang, mendarat tanpa suara di jok yang empuk. Aku tahu nomer itu bukannya tidak aktif ataupun di luar service area , tapi pemiliknya sengaja menghindariku.

Setelah handphone tak lagi di tangan , aku bisa menyetir dengan lebih aman , namun pikiranku tetap tertuju pada pemilik nomer yang tak kunjung mengangkat panggilanku.

Sudah hampir setahun ini aku tidak bertemu dengannya , setelah insiden itu.

Aku mengenalnya sejak hari pertama kuliah. Laki-laki tinggi dengan rambut pendek berwarna hitam legam. Dia mengulurkan tangannya dan kami berkenalan. Se-sederhana itu awalnya.

Sejak saat itu kami sering menghabiskan waktu bersama, kadang aku menginap di kosannya , kadang dia menginap di kosanku , kadang aku memakai bajunya dan kadang dia memakai bajuku.

Kami pernah bertaruh siapa yang akan lebih dulu punya pacar , dan saat itu aku hanya mengikuti permainannya. Dengan tampang seperti kami berdua , memikat hati perempuan bukanlah perkara sulit. Yang menjadi masalah adalah setelahnya.

Memang akhirnya aku menjadi pemenang dari taruhan bodoh kami , namun aku hanya puas melihat wajah kekalahannya , bukan berarti aku memiliki perasaan khusus pada perempuan yang telah menaruh hati padaku.

Namun tidak dengan dirinya, yang rupanya serius mengejar perempuan itu.

Hubunganku dengan perempuan yang menjadi bahan taruhan itu tidak berlangsung baik – sangat buruk sebenarnya. Awalnya seperti tipe perempuan lain , ia bisa menerima kenyataan bahwa aku sangat cuek , dan berharap bahwa semakin lama dia bisa membuatku mencintainya.

Seperti perempuan lain juga, akhirnya dia pergi dan menyebutku bajingan , ketika harapan yang ia buat seenaknya tak terwujud. Aku tak pernah bisa memahami makhluk yang bernama perempuan itu. Mereka seenaknya berharap , mereka seenaknya membuat impian-impian kosong, namun ketika kenyataan berkata lain, mereka tak bisa terima dan selalu menyalahkan laki-laki.

Begitu juga dengan perempuan yang laki-laki itu taksir.

Entah masalah apa yang menimpa mereka , yang aku tahu perempuan itu akhirnya pergi dengan laki-laki lain yang – menurutku – sangat jelek dibandingkan temanku.

Aku dan dia tak pernah membahas kejadian itu lagi. Yang aku tahu , setelah kejadian itu ia tak pernah memiliki hubungan lagi dengan perempuan.

Tahun pun berlalu , dan orang-orang di kampus sudah hafal di luar kepala tentang kami. Dimanapun ada aku , pasti ada dia dan sebaliknya. Bahkan dia lebih sering menginap di kamarku daripada di kamar kos nya sendiri.

Kami bahkan pernah menonton film biru bersama , namun yang menjadi fokus utama ku justru dia , dibanding adegan panas di depan kami. Namun aku tidak berani mengungkapkannya , walau aku sangat ingin menggantikan tangannya yang bergerak naik turun itu.

Aku ingat percakapan kami ketika memasuki tahun ketiga sejak kami berkenalan.

“Woy” kataku.

“Ape?”

“Lo gak bosen apa bareng gue mulu?” tanyaku langsung.

“Maksud lu?” ia malah bertanya balik.

“Iya lo kan kemana mana ama gue , kuliah bareng gue , makan bareng gue , tidur bareng gue , cuman mandi doang yang sendiri-sendiri”

“Wah iya juga ya” ia mengangguk-angguk , seakan berfikir. “Kapan-kapan mandi bareng deh kalo gitu.”

Aku melempar mukanya dengan bantal.

“Serius dong woy , lo gak bosen apa sama gue?”

“Ya emang kenapa harus bosen? Atau elo yang bosen bareng gue mulu?” sekali lagi , ia malah bertanya balik.

“Iya, sebenernya gue yang bosen bareng lo mulu” candaku , dengan muka serius seakan aku mengatakan hal itu dari hati.

Kali ini dia yang melempar bantal ke mukaku.

“Biarin lah kalo lo bosen.” ujarnya. “Gue sih gak bakal bosen sama lo sampe kapanpun.”

Kata-kata itu. Kata-kata yang membuatku berharap seenaknya , kata-kata yang membuatku memiliki impian kosong , kata-kata yang membuatku melakukan kesalahan seperti para perempuan naif itu.
Pada akhirnya , dia yang meninggalkanku.

Sehari setelah wisuda , ketika kami sedang bingung apa yang akan kami lakukan setelah lulus , akhirnya aku menyatakan isi hatiku.

Dan aku berani bersumpah aku akan membunuh diriku sendiri jika aku bisa kembali ke masa itu.
Aku berkata bahwa ingin hidup bersamanya terus , dan ia mengira aku bercanda.

Aku mengatakan bahwa kata-kataku tidak main-main, dan ia mulai kehilangan senyum di wajahnya.
Ia menatap mataku dan bertanya apakah aku benar-benar serius dengan perkataanku.

Aku mengangguk , dan ia hanya menatapku kosong. Tinju yang datang kemudian membuat mataku berkunang-kunang.

Ia langsung pergi setelah mengambil barang-barang miliknya di kamarku, dan setelah saat itu ia keluar dari tempat kosnya.

“Ada urusan keluarga katanya, dia harus segera pulang.” Ujar pemilik kosan yang sempat ia tinggali.
Aku tahu itu bohong, aku tahu ia menghindariku karena setiap panggilanku tak pernah tersambung, pesanku tak pernah dibalas.

Kehilangan sebelah jiwamu ternyata hanya cukup membuatmu hidup , tapi tidak cukup untuk membuatmu bahagia.

Sejak saat itu aku uring-uringan , mabuk hampir setiap malam karena memikirkannya. Seperti kemarin malam.

Jadi ketika hari ini aku akhirnya mendapat alamat rumahnya dari seorang teman , aku langsung menginjak gas ke salah satu perumahan di ibukota.

Rasanya menggebu-gebu , seperti melihat mata air di tengah gersangnya gurun dan kamu akhirnya mendapat semangat hidupmu lagi , kira-kira seperti itu yang aku rasakan.

Aku sudah menigirimkan pesan singkat padanya tadi , mengatakan bahwa aku tahu alamatnya dan segera menuju kesana. Dia membalas pesanku , balasan pertama sejak setahun yang lalu. Dan dia membalas :

“JANGAN GANGGU GUE LAGI LO DASAR HOMO”

Aku semakin keras menginjak pedal gas.

Namun ketika sampai pada alamat yang diberikan padaku, satpam yang menahanku di gerbang mengatakan bahwa orang yang aku cari tidak tinggal disitu.

Tidak mungkin , aku yakin benar ini rumahnya dan pasti satpam ini sudah diberitahu untuk mengusir siapapun yang datang. Aku bersikeras untuk masuk , memanggil-manggil namanya dengan lantang dari depan gerbang, menagih kata-kata manisnya yang dulu membuatku berharap.

Yang terjadi setelahnya beberapa pukulan mengenai perutku , aku membalas dengan meninju satpam itu , namun rupanya pelatihan satpam membuatnya bisa bangkit dengan cepat.

Akhirnya aku mengalah, setelah menabrakkan mobilku ke pintu gerbang – meninggalkan goresan besar di mobilku- aku pergi dengan hati yang hancur.

Kehilangan seseorang yang kamu cintai mungkin membuatmu putus asa , namun ketika seseorang yang kamu cintai mengusirmu dari hidupnya , kamu akan merasa lebih dari putus asa.

Malam ini aku bersumpah akan jadi malam terakhir aku melarikan diri dengan alkohol…..

.
.
.
.

Aku tidak ingat apa yang kulakukan semalam sampai harus terbangun dengan rasa sakit di bawah punggungku, dan pusing hebat di kepala.

Comments

Sign In or Register to comment.