This is my very first time to upload a story after a while being a silent stalker for some stories. Hope you like it, please gimme some appreciation through a good motivation words. Don't spam, ok!
*Kreeeeeaak* bunyi engsel pintu kamar apartemenku yang telah mengusang terdengar pelan diiringi senyap yang timbul sesudahnya.
Awalnya, kukira bunyi tersebut disebabkan karena semilir angin yang mungkin baru saja lewat, tapi saat kurasakan dengan seksama, ternyata tak ada angin yang terasa di dalam ruangan ini. Aku-pun terpaksa menarik diri dari alam mimpi, memerintahkan ragaku untuk bergegas mengumpulkan nyawa agar terbangun segera. Sejenak setelahnya, aku mulai mengerjap-ngerjapkan mata dan menguceknya lembut dengan keingintahuan akan apa yang menyebabkan bunyi barusan. Sebelum aku sempat memandang kesekeliling, mataku merasa silau dan kekurangan jarak pandang karena langsung terpapar sinar mentari pagi yang menembus kaca jendela. Gorden yang menutupinya telah tersibak dan tersimpul rapi. Perlahan pikiranku mencoba meracik penjelasan akan apa yang sudah terjadi di sini. Saat penglihatanku mulai membaik, aku melihat sosok dengan senyum yang mengembang berdiri tepat di depanku. Sosok ini menghalangi berkas cahaya yang tadinya sempat membutakan sebentar mataku, seolah ia sedang mencoba untuk melindungi walau tanpa disengaja.
Comments
“Dear? Is that you?” secara otomatis, dengan raut muka yang terlihat lugu, mulutku melontarkan pertanyaan yang seakan sudah terbiasa kuucapkan sebelumnya. Sekarang aku mulai merasa ada lembaran-lembaran memori yang sedari kemarin kembali terputar dengan mode slow motion. Memori yang menjabarkan kegiatan-kegiatan sepasang kekasih yang memadu kasih karena satu alasan sederhana, cinta. Kilas balik yang kuingat ini memberikan perasaan hangat didadaku, menjalar keseluruh tubuh, dan memberikan sensasi aneh diulu hati. Ada ketentraman dan rasa aman yang menjamah bagian itu.
“How silly you are as always, dear.” Ryan terkikik geli mendengar pertanyaan konyolku barusan. Dia mengambil posisi nyaman dan duduk diranjang tepat disebelahku. Diacaknya perlahan rambut ikalku, kebiasaan yang sangat digemarinya selain dari memeluk atau mengemut kedua bibir ini. Dia masih mengelus kepalaku sekarang. Lalu jemari panjangnya beralih merayap kebelakang telinga, satu dari banyaknya titik geli di tubuhku. Dirinya berangsur terus menggelitikiku hingga aku sendiri menggelijang sembari berteriak menyerah. Kami berdua mengambil jeda untuk menghirup kembali napas yang sempat habis karena terkuras oleh tawa tadi.
Matanya yang coklat keemasan beradu pandang dengan mata biru sapphire-ku. Aku tahu kemana arah skenario ini dan bukan aku tak mau, tapi ini masih terlalu pagi dan kurasa semalam sudah cukup untuk merontokkan tulang-belulangku. Belum sempat aku berkata jangan, mukanya sudah mulai bergerak mendekat dan mengurangi jarak antara wajahku dan wajahnya. Aku segera memejamkan mata dengan rapat karena tak tahu mesti berlaku apa. Akan tetapi, sepersekian detik berlalu dan tak ada sesuatu atau apapun itu dari bagian wajahnya yang mendarat di manapun itu yang sedang kunanti. Apa yang terjadi? Aku langsung membuka sebelah mataku dan mengintip keadaannya. Masih didepanku, dirinya terlihat menahan tawa dengan wajah yang aku sendiri bingung untuk mengartikannya.
“Dear, I’m not gonna bite you. Napa harus nutup mata? Am I not allowed to kiss my own husband gonna be?” aku menghela napas. Bukan, moron! Its because that you already bring some huge mess last nite. Kalau masih mau dilanjut jadi genap, tiga ronde! I might have already be a corpse right away. But wait, kenapa aku jadi lemot buat mencerna kata-kata secara mendetail. ‘Husband gonna be?’ Wha-what?! Aku tak tahu raut muka apa yang lagi kupasang saat ini, tapi yang pasti I do make a jaw drops impression.
“Iya sayang, I want to marry you. Would you take this proposal all with your pleasure?” Ryan memang paling pandai membaca ekspresiku sedari dulu dan lalu sebuah kotak berwarna hijau tosca sudah tersodor saja dihadapanku. Bertengger di dalamnya cincin platinum yang dihiasi dua berlian ungu. Entah malaikat yang turun dari mana, diriku serasa sudah dibawa kekhayangan sekarang. Degup jantungku seakan sedang skotjam, suhu tubuhku seketika menjadi panas-dingin, dan yang tak tertahankan adalah kedua mata ini yang sudah pasti tak sanggup membendung tangis bahagiaku.
Kurentangkan kedua lenganku, merengkuhnya dalam dekapan erat yang mungkin tak ingin kulepas selamanya. Just like what a common wish, ‘if only I could break the hands of time, I’d beg to stop at this second for an eternity.’ Sayangnya yang bisa kulakukan sekarang cuma berupa ucapan lirih, “I do.”
Ryan mengecup lembut leherku, lalu melepaskan diri dari pelukanku dan menuntun sepasang lengkung merah diatas dagu terbelahnya itu menyambut keningku. Lanjut beruntun turun menuju bibirku.
“umn!” aku sedikit terkesiap.
“Kenapa?” Ryan terkejut akan reaksiku yang tiba-tiba.
“Ngg-nggak ada. Enak ja, where did you learn that move just now?” dengan muka yang memerah kutanya perihal tentang gaya france kiss-nya yang jarang-jarang dia berikan untukku.
“I’m just following my instinct and a lil help from your movies collection, dear.” Lagi-lagi aku dibuat tersipu malu. Sebegitu sex maniac-nya Ryan-ku, hingga aku sendiri tak tahu bisa sebatas mana dia bisa berimprovisasi.
“aa-“ belum sempat diriku berkata-kata. Dia sudah menutup mulutku dengan lidahnya dan membaringkanku kembali ke kasur. Aku menyerah, kulingkarkan tanganku dipinggangnya yang pada tiap lekuk dipenuhi dengan otot.
“aaarh.” Nafsuku mulai tersulut dihangatnya pagi ini, bukan karena sinar mentarinya, tapi lebih karena hawa tubuh kami saling berbagi keinginan yang sama.
Dengan lambat bibirnya ia lepas dan tersenyum nakal padaku yang sudah tersengal karena merasa masker oksigenku diambil (mulutnya). Lengan kirinya digunakan sebagai tumpuan dan jemari tangan kanannya menelusup kebawah baju piyamaku menelusur bagian rambut bawah ke dada. Lengannya yang berbulu lebat menimbulkan sensasi geli and that instantly made me turn ON.
Aku sudah tak sabaran, ku gapai selangkangannya yang sedari tadi juga sudah menyembul. Sekarang giliranku membalas senyuman nakalnya. Kuelus perlahan si junior yang ukurannya dua setengah kali genggaman tanganku. Ryan mendesah dengan suara beratnya, sejenak memejamkan mata karena menikmati permainan tanganku di sekitar leher kepala penisnya – yang tercetak jelas dari jeans yang lagi dan masih dipakainya. Aku tak ingin cepat-cepat memulai, tapi mukanya sudah memelas. Posisi kepalanya sudah merebah dibahu kananku, desahnya terdengar jelas ditelinga. Lirih beberapa kata ia ulang-ulang dalam bisikannya, “Dear, shirt me off please. I’m begging you.” Lalu dicupangnya leherku.
Sekarang ia seolah ingin dimanja setelah sekian lama memanjakan diriku. Aku kembali mengembangkan senyum bahagiaku karena pengetahuanku akan dirinya bertambah. Ternyata dia juga bisa menjadi seperti anak kecil dibalik postur tubuh kekar dewasanya.
“Mau sekarang?” olokku sembari mempercepat kocokan dan menambah sedikit erat genggamanku pada penisnya di permukaan jeans.
“Aaaargh.” Ia melenguh dengan meremas puting kananku dan mencubitinya pelan.
“eeemmnh.” Aku keenakan. Kualihkan pandanganku yang sedari tadi fokus pada bagian bawah ke wajahnya yang berkumis tipis. Matanya melihatku teduh dengan bibir yang dijilatinya, seakan menemukan mangsa untuk dilumat. Tanpa diberi aba-aba, kami berpagutan.
*Tok! Tok!* “Cleaning service sir.” Tiba-tiba momen indah kami ter-pause dengan sangat terpaksa. Kami berdua menghentikan aksi ‘ah-ah’ barusan dan saling memandang satu sama lain dengan perasaan yang campur aduk.
“Don’t you hang the sign at the knob?” aku bertanya dengan nada kecewa.
“What sign?” dijawabnya pertanyaanku dengan muka yang dibuat seolah-olah dungu.
“Don’t pretend like you don’t get it. The ‘Don’t Disturb’ sign-lah or if you want to, I could hang mine, which is saying, ‘ ‘Re Doing Sex ‘.” Mulutku memonyong menahan kesal.
“Ahahaha. That would be great!” lagi-lagi kesalku bertambah kuadratnya. Mataku kusipitkan dan mulut kugembungkan sebagai isyarat kalau aku sudah mulai tak menyukai leluconnya. Apalagi disaat aku sedang serius bertanya.
“Oh dear, well it was my fault, but how am I supposed to think about the sign when I’m in a middle of proposing matter to you.” Oh boy, well yeah. This is my boyfriend after all. I know him deeper even than himself.
“No need, sorry lady!” I scream it out loud. That's for interrupting my sacred activity with my partner even I knew she has made an unintentional mistake.
“Oh o-okay sir.” Aku hanya berharap si lady CS kabur menyelamatkan diri dari kemungkinan yang selanjutnya bisa kuberikan. Aku benar-benar disappointed, a well-upset.
“Dear, don’t blame her. Okay?” Ryan menurunkan tensi darah yang sempat naik dengan kecupan di keningku. I regain my spirit in no time, but not my desires and he knows it well.
Jadi kami hanya mematung, masing-masing dengan posisi telentang. Aku tak suka keheningan ini, tapi aku tak tahu mesti melakukan hal apa. Serangan fajar yang beramplitudo curam baru saja kulewati, mulai dari lamaran Ryan dan Lady CS. Hufh, huummn, oh iya!
“Dear, mana cincinnya? Tadi belum sempat sayang pakein sama aku karna udah ngajakin ‘maen’ ja.” Ku lihat kembali wajahnya yang tampan. Aku baru sadar, kalau ia baru menyukur janggut dan berewoknya. Tampak bagian kulit yang biru keabu-abuan dimana seharusnya mereka tumbuh. Potongan rambut lurusnya yang tipis dibagian kiri, kanan, dan belakang hanya menyisakan rambut yang ditegakkannya dengan gel dibagian atas. He looked gorgeous!
“Oh my! Tadi masih aku genggam sayang.” Ok, ini pertanda kalau lamaranku mungkin akan di-postpone due to a property loss.
“Haaah, sayang-sayang. Muach!” aku mencium pipinya dan tidur di atas dada bidang yang gempal dengan otot.
“Nggak mau dicari?” dia heran akan sikapku yang biasa-biasa saja.
“Lemme take my first sleep with ex-boyfriend.”—kurasakan jantung Ryan mendadak mempercepat degupnya—“a.k.a my future husband.” Lalu ia dengan khidmatnya menghembuskan napas lega. Aku hanya terkekeh pelan.
“Nanti kita cari sayang. Aku nggak mau wedding day kita jadi telat gara-gara cincinnya lenyap.” Anggukannya terasa diatas kepalaku, menyusul setelahnya sebuah kecupan. Saatnya memejamkan mata, tidur beraromakan dirinya dan berbantal guling badannya adalah sebuah pengantar tidur menuju mimpi yang sudah kupastikan indah.
-To be continued -
Bakalan dilanjutin kalo ada respon positif dari pembaca
@yuzz , @Gabriel_Valiant , @arifinselalusial @Yohan_Pratama
*Kriiiiiiiing! Kriiiiiiiiiing!* “Uwaaaaaah!” *Dubraaak!* “Aduuuuh.” Aku mencoba untuk duduk setelah secara mendadak jam wekerku berteriak membangunkan – atau lebih tepatnya mengejutkanku yang sedang lelap tertidur. Jeritan kedua adalah buktinya dan bunyi bahwa ada benda dengan seberat enam puluh kilo menghantam lantai dari atas ranjang adalah diriku sendiri. Alhasil menimbulkan rintihan yang mengikuti setelahnya.
Aku masih terduduk sembari mengelus-elus pantatku yang berdenyut nyeri. “Sial!” umpatku dalam hati. Si weker tetap saja berbunyi tak hentinya, seolah tak peduli dengan sang tuan yang bisa saja sudah mengalami fraktur tulang ekor.
“Lo tuh yaa!” aku mengangkat tinggi-tinggi tanganku yang sudah terkepal kuat. Belum sempat amarahku berkuasa dan melancarkan aksi balas dendam dengan tinju membabi buta. Aku menghela napas, sadar bahwa rusaknya jam weker merupakan bencana yang kedepannya mesti kutanggung sendiri. Soalnya siapa lagi yang setia untuk berkicau dipagi buta seperti ini kalau bukan dia.
“Kalo mau bangunin orang tuh yang enakan dikit. Ntar silikon di pantat gwa yang montok ni bisa pindah tempat tau. Lama-lama gwa jual juga lo ke tukang loak buat beli sayur genjer.” Aku berceramah sambil me-reset ulang alarmnya.
Sekian menit aku mengutak-atik beberapa tombol dan putaran yang berada di belakang jam weker. Akhirnya bangkit juga diriku dari lantai dengan susah payah.
“Huueeh!” aku masih mendengus kesal dengan tangan tetap menempel di pantat. Akan tetapi lama-kelamaan jari-jemariku bergerilya menuju tempat yang berbeda. Terhantar oleh rasa gatal yang menyangat, aku menggaruk daerah dimana juniorku berada.
“Hadooooh! Itchy tingkat kerak bumi nih! Gwa digigitin semut rang-rang apa ya?” dengan refleks kubuka boxerku lebar-lebar, tidak sampai dilepas. Aku hanya membukanya untuk sekedar dapat mengintip dan mendapatkan pandangan yang cukup untuk mengekspos si junior.
“Aduh dek-dek. Baru juga tadi malem diajakin main, napa ni pagi dah keluar ja.” Kudapati ternyata diriku dalam keadaan habis dari mimpi basah. Cairan putih kental masih menempel disekitar rambut kemaluanku, ada yang masih terlihat fresh from the oven dan juga sudah ada yang mulai mengering. Aku heran, seingatku semalam sudah hampir tiga film yang membantuku melancarkan aksi. Maksudnya untuk mencegah kejadian seperti ini. Sayangnya mungkin sebelum efek dari tingkat kepuasanku overloaded, maka si ‘dedek’ pasti minta lebih. Sekarang akibat dari sensasi tanganku yang terasa menggesek-gesek, perlahan-lahan ada yang bangkit dari tidurnya juga dan menonjol tinggi dari balik boxer.
Aku masih keasyikan dengan garuk-menggaruk sebelum tiba-tiba membeku saat berbalik melihat Mama yang sudah melotot melihat tingkahku di ambang pintu. Ekspresi mama lebih seram dari Medusa, sampai kerigatpun tak jadi keluar, napasku tertahan, dan tubuhku terdiam. Beliau juga mungkin sudah menguping baik sedikit maupun keseluruhan perkataanku tadi. “Mati kita dek!” ucapku dalam hati. Aku hanya sanggup menelan ludah karena tenggorokanku merasa tercekat dengan tangan masih terkunci pada posisi memegang si ‘dedek’ di dalam boxer.
“MAAA! Mike udah bangun belum? Hayo disuruh cepat! Papa udah telat nih.” Teriakan papa yang terdengar dari bawah memecah awkward moment yang sedang berlangsung antara aku dan Mama.
“Sudah pa! Udah bangun sama dedeknya.” Mama menjawab sekenanya. Mata Mama memicing tepat diselangkanganku lalu beralih ke muka, kemudian kembali keselangkanganku.
“Hah! Aphaa Mhaa?” papa kembali menyahut, tapi kali ini sepertinya dengan mulut yang penuh makanan.
“Nggak da Pa!” dengan santainya Mama kembali menjawab dan berlalu pergi dari hadapanku. Baru saja aku melepaskan genggamanku dan membenarkan letak ‘dedek’ yang sudah pingsan gara-gara dilihat oleh Mama. Beliau kembali, berdiri dengan berkacak pinggang dan menggerakkan bibir tanpa bersuara. Yang mana kalau diterjemahkan berbunyi semacam ultimatum, “Mandi! Cuci seprai! Makan! Kuliah! Cepat!” ok, she’s mad at me. Raut mukaku menjadi pucat, mirip maling ayam yang kepergok lagi mencoba menjinakkan ayam yang sedang berontak. Oh Lord!
Tepat setelah Mama kembali menemani Papa makan pagi. Aku beringsut sadar dari kebekuanku dan menjalankan aktivitas pagi sesuai perintah Mama secara berurutan. Ini gara-gara dirinya yang mampir ke mimpiku. Dirinya, iya, pasti dirinya.